HUKUM-HUKUM TERKAIT PERCERAIAN
Di dalam syariat Islam, saat hubungan antara suami istri sudah tidak dapat dipertahankan kembali, maka sebagai jalan terakhir ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar hubungan pernikahan ini terselesaikan dengan baik dan tidak menimbulkan permasalahan lainnya. Di dalam ilmu fikih perkara ini kita kenal dengan talak/ perceraian.
Talak menurut bahasa Arab adalah “melepaskan ikatan”. Adapun pengertian talak menurut istilah agama yaitu melepas ikatan perkawinan (nikah). Pengertian talak yang lain adalah melepaskan ikatan nikah dengan lafaz. Hal ini akan disebutkan kemudian. Kata talak sebenarnya sudah ada semenjak zaman jahiliah (sebelum datangnya Islam). Akan tetapi, syariat menyetujuinya dan menggunakannya.
Kemudian talak ini tidak akan sah, kecuali jika terpenuhi syarat-syaratnya. Yang terpenting adalah harus menggunakan lafaz. Oleh karena itu, talak tidak terjadi dan tidak dihitung jika masih berbentuk niat di dalam hati. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إن الله تجاوز عن أمتي ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم
“Sesungguhya Allah memaafkan bisikan hati dalam diri umatku, selama belum dilakukan atau diucapkan.” (HR. Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 127)
Oleh karena itu, jika ada orang yang mengatakan dalam hatinya, “Aku akan menulis surat cerai untuk istriku sekarang.” Kemudian dia mengambil kertas dan pena, akan tetapi dia tidak jadi melakukannya. Maka, talak belum jatuh kepada istrinya. Hal ini dikarenakan yang ia lakukan masih berupa niat dan belum terucap lafaznya.
Baca Juga: Janji Allah Akan Menolong Orang yang Menikah Untuk Menjaga Kehormatan
Hukum Asal Cerai Adalah Dilarang
Hukum perceraian dalam Islam bisa beragam. Hal ini berdasarkan pada masalah, proses mediasi, dan lain sebagainya. Beberapa ulama berpendapat bahwa hukum asal bercerai adalah haram dan dilarang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
إنَّ الأصل في الطلاق الحظر، وإنما أُبيح منه قدر الحاجة
“Sesungguhnya hukum asal perceraian/ talak adalah dilarang. Sesungguhnya dibolehkan hanya sesuai kadar kebutuhan.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 32/293)
Beliau juga menyebutkan, “Kalau saja bukan karena kebutuhan terhadap perceraian, dalil-dalil menunjukkan akan keharamannya sebagaimana atsar-atsar dan pokok-pokok ajaran Islam yang menunjukkan hal tersebut. Akan tetapi, Allah Ta’ala membolehkan hal tersebut sebagai rasa kasih sayang terhadap hamba-Nya. Karena mereka terkadang butuh kepada perceraian tersebut.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 3/74).
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Asy-Syarh Al-Mumti’, “Talak, hukum asalnya adalah makruh. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala tentang orang-orang yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya selamanya atau lebih dari empat bulan (ila’),
لِّلَّذِينَ يُؤۡلُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ تَرَبُّصُ أَرۡبَعَةِ أَشۡهُرٍۖ فَإِن فَآءُو فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ٢٢٦ وَإِنۡ عَزَمُواْ ٱلطَّلَٰقَ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٢٧
“Orang-orang meng-ila’ istri-istri mereka wajib menunggu selama empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Jika mereka bertekad untuk menalaknya, sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahatahu.” (QS. Al-Baqarah: 226—227)
Dalam masalah talak, Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa diri-Nya Mahamendengar lagi Mahatahu, dan ini mengandung ancaman. Sementara itu, jika dia kembali (kepada istrinya), Allah subhanahu wata’ala memberitakan bahwa diri-Nya Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Semua ini menunjukkan bahwa talak tidak disukai oleh Allah subhanahu wata’ala dan pada asalnya adalah makruh. Memang demikianlah hukumnya.”
Hal ini semakin kuat ditinjau dari segi makna bahwa perceraian akan mengakibatkan tercerai berainya anak-anak, terlantarnya wanita yang dicerai, dan boleh jadi lelaki yang menceraikan akan telantar juga dan tidak mendapatkan istri lain sebagai gantinya, dan alasan-alasan lainnya.
Perceraian juga bisa bernilai wajib, sunah, makruh, mubah, hingga haram. Tergantung berdasarkan keadaan kedua pasangan, menjadi sunah jika demi kemaslahatan istri serta mencegah kemudaratan dari dirinya akibat kebersamaannya dengan suami. Meskipun, sesungguhnya suaminya sendiri masih mencintainya. Talak disukai untuk dilakukan meski suami pada keadaan ini dan terhitung sebagai kebaikan terhadap istri.
Hal ini termasuk dalam keumuman firman Allah subhanahu wata’ala,
وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Macam-Macam Lafaz Talak
Dilihat dari shighat atau lafaznya, talak bisa dibagi menjadi dua macam. Yaitu talak sharih (tegas) dan talak kinayah (sindiran).
Pertama, talak sharih (tegas) yaitu ucapan talak yang dapat dipahami dengan jelas sebagai kata-kata cerai, seperti “Kau aku ceraikan!” atau “Kita cerai!”
Dalam mazhab Syafi’i, lafaz-lafaz talak yang tergolong dalam talak sharih (tegas) ada tiga, yaitu الطلاق، الفراق، السراح (cerai, pisah dan lepas) yang semua itu tercantum dalam Al-Qur’an Al-Karim. Allah Ta’la berfirman,
اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِ ۖ فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229)
Allah juga berfirman,
أَوْ فَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ
“Atau lepaskanlah mereka dengan baik.” (QS. At-Talaq: 2)
فَتَعَالَيۡنَ أُمَتِّعۡكُنَّ وَأُسَرِّحۡكُنَّ سَرَاحٗا جَمِيلٗا
“Maka, marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab:28)
Kedua, talak kinayah (sindiran) yaitu talak dengan menggunakan kata-kata yang tujuan aslinya tidak berarti menceraikan, tetapi juga bisa berarti cerai. Dan agar dinilai sah sebagai kalimat perceraian maka harus disertai niat. Contoh: “Kamu lain ya.” Kata-kata ini bisa berarti “Kamu bukan istriku lagi.”, tetapi juga bisa berarti “Kamu berbeda dari biasanya.”
Contoh lain: “Kau haram untukku.” Ini bisa berarti “haram aku setubuhi” dan bisa juga berarti “haram aku aniaya.”
Talak kinayah atau sindiran tidak bisa mengakibatkan jatuhnya talak, kecuali dengan keterangan yang jelas. Jadi, apabila ada orang yang mengucapkan talak sharih, tetapi dia mengaku tidak bermaksud menceraikannya, maka alasan tersebut tidak bisa diterima dan talak pun benar-benar jatuh. Dan sebaliknya, apabila orang tersebut mengucapkan talak kinayah (sindiran), sedangkan ia mengaku tidak bermaksud menceraikan istrinya, maka alasan tersebut bisa diterima dan talak pun tidak jatuh.
Hukum Talak Saat Istri Haid
Dilihat dari kondisi suci dari haid atau tidaknya istri, talak terbagi menjadi dua, yaitu talak sunni dan talak bid’i.
Pertama, talak sunni adalah talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang telah dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan sejak masa haid terakhir istrinya berakhir dia belum mencampurinya lagi. Allah Ta’ala berfirman,
يَـأَيُّـهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْـتُـمُ النِّسَـآءَ فَطَلِّقُو هُنَّ لِعِدَّ تِهِنَّ
“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu ‘iddah mereka (waktu yang wajar).” (QS. At-Thalaq: 1)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haid. Kemudian Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda,
“Perintahkan agar ia kembali kepada (istri)nya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haid dan suci lagi. Setelah itu, bila ia menghendaki, ia boleh tetap menahannya menjadi istri. Atau bila ia menghendaki, ia boleh menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa ‘iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.” (Hadis sahih. Riwayat Bukhari no. 5332, Muslim no. 1471)
Kedua, talak bid’i yaitu talak yang menyelisihi ketentuan syariat. Sehingga hukum talak ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa. Keadaan ini berlaku manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haid atau dalam masa suci setelah ia mencampuri istrinya.
Hikmahnya, talak di masa haid akan memperpanjang masa ‘iddah-nya, karena masa haid yang tersisa tidak dihitung sebagai masa ‘iddah. Hal ini tentu saja membahayakan wanita tersebut, sehingga dilarang. Adapun talak di dalam masa suci, namun ia telah mencampurinya, bisa jadi ia akan menyesali talaknya setelah tahu istrinya hamil, menyesal karena telah meninggalkan calon ibu anaknya. Lebih-lebih kalau talak tiga yang mana suami tidak bisa merujuk, kecuali dengan akad baru sesuai syarat-syaratnya.
Mayoritas ulama berpendapat, talak bid’i statusnya sah, dan dihitung sebagai satu talak. Namun, suami diperintahkan untuk merujuk istrinya dan menahannya sampai suci dari haid, kemudian haid lagi yang kedua, sampai suci. Selanjutnya terserah suami, apakah dia mau menceraikan ataukah mempertahankannya. Inilah pendapat mayoritas ulama.
Sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dalam hadis Umar radhiyallahu ’anhu di atas, “Perintahkanlah kepada Ibnu Umar untuk merujuk istrinya.” menunjukkan bahwa talak tersebut jatuh, karena kata muraja’ah (merujuk) dalam syariat maknanya adalah kembalinya suami kepada istrinya setelah terjadi (jatuh) talak yang diperhitungkan.
Wallahu a’lam.
Semoga Allah senantiasa menjaga keluarga kita dan memberkahinya dengan kebaikan.
Bersambung.
Penulis: Muhammad Idris, Lc.