Arab Saudi Setujui Kuota Haji Indonesia

Kementerian Haji dan Umrah telah menyetujui kuota jemaah haji dari semua negara di dunia untuk haji tahun 2022, termasuk yang diajukan oleh Indonesia. Indonesia, melalui Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas mengajukan kuota haji 100.051 jamaah.

Dilansir dari Saudi Gazette pada Sabtu (23/4), Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar dan memiliki jumlah jamaah haji tertinggi. Saat ini, jumlah kuota terbanyak dialokasikan untuk jamaah dari Indonesia sebanyak 100.051 orang.

Urutan kedua dari Pakistan dengan 81.132 jemaah dan India di urutan ketiga dengan 79.237 jemaah. Sementara Bangladesh akan mengirimkan jumlah jamaah haji terbesar keempat dengan kuota 57.585. Negara Angola di Afrika berada di urutan terbawah dengan jumlah peziarah 23 orang. 

Adapun negara-negara Arab, Mesir dengan 35.375 peziarah untuk ziarah tahunan yang akan datang haji. Di antara negara-negara Afrika, Nigeria mendapat bagian terbesar dari 43.008. Kuota yang dialokasikan untuk Iran mencapai 38.481 sementara kuota Turki adalah 37.770. 

Menurut sumber, kuota yang dialokasikan untuk Amerika Serikat adalah 9504, sedangkan kuota untuk Rusia 11318, China 9190, Thailand 5885, dan Ukraina 91.

Kementerian mengumumkan sebelumnya bahwa jemaah asing merupakan 85 persen dari total satu juta jemaah yang akan diizinkan untuk melakukan haji tahun ini. 

Sebanyak 850 ribu jemaah haji asing akan diizinkan untuk melakukan haji sementara jumlah jemaah haji domestik dibatasi pada 150 ribu. Jumlah total 850 ribu jemaah haji asing hanya merupakan 45,2 persen dari kuota aktual jemaah yang dialokasikan untuk masing-masing negara sebelum merebaknya pandemi virus corona. 

Kementerian Haji Arab Saudi telah menetapkan syarat dan ketentuan tertentu bagi jemaah haji asing untuk haji tahun ini. Ini termasuk tidak mengizinkan jemaah di atas usia 65 dan jemaah harus sudah mengambil dua dosis vaksin virus corona.

Sumber: https://saudigazette.com.sa/article/619683/SAUDI-ARABIA/Hajj-Ministry-approves-quota-of-pilgrims-Indonesia-tops-while-Angola-the-lowest

IHRAM

Kisah Teladan dari Para Ulama Hebat di Bulan Ramadan (Bag. 2)

Kisah Sedekah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan. Beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al-Qur’an. Di saat itu kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi angin yang berhembus. (HR. Bukhari, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

أفضل الصدقة صدقة في رمضان

“Sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan Ramadan.” (HR. Tirmidzi, dari Anas bin Malik)

Kisah Sedekah Umar dan Abu Bakr

Zaid bin Aslam meriwayatkan kisah dari ayahnya, “Aku mendengar Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu berkata, ‘Rasulullah memerintah kami untuk bersedekah. Kebetulan ketika itu aku sedang ada harta. Aku bergumam, ‘Hari ini aku akan bisa mengalahkan Abu Bakr.’ Ketika itu, aku sedekahkan setengah hartaku.’

ما أبقيت لأهلك؟

Berapa yang kamu sisakan untuk keluargamu?” tanya Rasulullah.

Aku jawab, “Sejumlah yang saya sedekahkan ini, ya Rasulullah.”

Tak berselang lama Abu Bakr datang, ternyata dia menyedekahkan semua harta yang beliau miliki.

ما أبقيت لأهلك؟

Berapa yang kamu sisakan untuk keluargamu?” tanya Rasulullah kepada Abu Bakr.

Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya”, jawab Abu Bakr.

Aku kemudian berkata kepada Abu Bakr,

لا أسابقك لا أسابقك إلى شيء  أبدا

Aku tidak akan pernah bisa mengalahkanmu dalam amal saleh.”

Kisah Sedekah Sahabat Thalhah bin Ubaidillah

Dari Thalhah bin Yahya bin Thalhah, dia bercerita, “Nenekku Sa’di binti ‘Auf Al-Mariyah -istri dari sahabat Thalhah bin Ubaidillah- bercerita kepadaku.”

Suatu hari Thalhah menemuiku dalam keadaan gelisah.

Aku bertanya, “Apa gerangan yang membuatmu gelisah? Apa yang bisa saya bantu?”

“Tidak ada.” jawab Thalhah.

“Tapi kamu adalah istri orang yang muslim”, lanjutnya.

Aku bertanya kembali, “Apa yang sedang kamu alami?”

“Hartaku makin banyak dan menyusahkanku”, kata Thalhah.

“Oh tidak mengapa, dibagi saja harta itu”, sambutku.

Lalu, harta itu pun aku bagi–bagi sampai hanya tersisa 1 dirham.

Thalhah bin Yahya (perawi kisah) berkata, “Aku kemudian bertanya kepada berdaharanya Thalhah, “Berapa duitnya ketika itu?” Dia menjawab, “400.000 dirham.”

Sedekah di Bulan Ramadan Lebih Istimewa

Sedekah di bulan Ramadan tentu lebih istimewa. Maka, segeralah lakukan. Tunaikan semampu anda. Berikut ini jenis sedekah yang prioritas dilakukan di bulan Ramadan:

Pertama, memberi makan orang yang membutuhkan.

Allah Ta’ala telah memotivasi kita melakukan amal ini,

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ‎﴿٨﴾‏ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا ‎﴿٩﴾‏ إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا ‎﴿١٠﴾‏ فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا ‎﴿١١﴾‏ وَجَزَاهُم بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا

“Penduduk surga itu di dunia gemar memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (8) Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (9) Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (10) Maka, Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. (11) Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” (QS. Al-Insan: 8-12)

Para Salafush Shalih sangat semangat dalam beramal sosial yang mereka niatkan ibadah dengan berbagi makanan kepada orang yang membutuhkan. Bahkan, sering kali mereka mengedepankan amalan ini dari banyak ibadah. Baik dengan cara membantu orang yang kelaparan atau sekedar berbagi makanan dengan rekan-rekan yang saleh. Karena ibadah memberi makan tidak disyaratkan hanya kepada fakir miskin saja. Ibadah yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

يا أيها الناس أفشوا السلام أطعموا الطعام وصلوا الأرحام وصلوا بالليل والناس نيام تدخلوا الجنة بسلام

“Wahai manusia, sebarkan salam, berikanlah makan, sambung silaturahmi dan salat malamlah ketika manusia tidur. Maka, Engkau pun akan masuk surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Tirmidzi, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Sebagian ulama mengatakan,

لأن أدعو عشرة من أصحابي فأطعمهم طعاما يشتهونه أحب إلي من أن أعتق عشرة من ولد إسماعيل

Aku mengundang sepuluh temanku untuk makan makanan yang mereka sukai, itu lebih aku sukai daripada membebaskan sepuluh budak dari keturunan Nabi Ismail.

Banyak pula ulama salaf yang membatalkan puasa sunahnya saat diundang makan. Seperti Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, Dawud At-Tha’i, Malik bin Dinar, dan Ahmad bin Hambal.

Ibnu Umar tidak berbuka puasa, kecuali bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

Ada pula ulama salaf yang menyuguhkan makanan kepada rekan-rekannya, padahal dia sedang sendiri puasa. Dia duduk menemani makan dan menuangkan minuman kepada para tamu. Contohnya seperti Hasan Al-Basri dan Abdullah bin Mubarak.

Abu Suwar Al-‘Adawi berkabar,

كان رجال من بني عدي يصلوم في هذا المسجد، ما أفطر أحد منهم على طعام قط وحده، إن وجد من يأكل معه أكل، وإلا أخرج طعامه إلى المسجد فأكله مع الناس وأكل الناس معه

Masyarakat Bani ‘Adi salat magrib di masjid ini. Mereka tidak pernah berbuka puasa sendirian. Di saat ada orang yang bisa mereka ajak buka bersama, barulah mereka makan. Jika tidak ada, maka mereka bawa makanan ke masjid, kemudian berbuka bersama dengan para jemaah masjid.”

Ada banyak ibadah yang terkandung di dalam ibadah berupa berbagi makanan. Di antaranya menumbuhkan kasih sayang pada saudara anda yang Anda beri makanan. Amalan seperti ini bisa memasukkan Anda ke surga. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

لن تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا و لن تؤمنوا حتى تحابوا

Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan tidak akan menjadi orang mukmin, kecuali kalian saling mencintai.” (HR. HR. Muslim)

Kedua, memberi makan buka untuk orang yang puasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Barangsiapa yang memberi makan buka puasa orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan semisal pahala orang yang puasa itu tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” (HR.  Ahmad, An-Nasai, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Kisah Membaca Al-Qur’an

Kami akan paparkan dua keadaan terkait para salaf bersama Al-Quran:

Pertama, mereka banyak membaca Al-Qur’an.

Kedua, mudah menangis saat membaca atau mendengarkan ayat Al-Qur’an. Karena khusyuknya hati mereka  serta tunduk kepada Allah yang Mahamulia.

Banyak Membaca Al-Quran

Bulan Ramadan adalah bulan Al-Qur’an (Syahrul Qur’an). Sebuah momen yang tepat bagi seorang muslim untuk memperbanyak bacaan Al-Qur’an di bulan ini. Para pendahulu kita (Salafus Shalih) adalah teladan dalam membaca Al-Quran. Berikut ini teladan yang dapat diambil.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyimakkan hafalan Al-Qur’an beliau kepada malaikat Jibril di bulan Ramadan.

‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ketika bulan Ramadan mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam sehari.

Sebagian salafush shalih mengkhatamkan Al-Qur’an di dalam salat malam Ramadan selama tiga hari. Ada pula yang mengkhatamkan sepekan sekali. Ada yang khatam sepuluh hari sekali. Mereka membaca Al-Qur’an baik ketika salat maupun di luar salat.

Imam Syafi’i rahimahullah kalau bulan Ramadan khatam Al-Qur’an enam puluh kali. Itu yang beliau baca di luar salat.

Qotadah rahimahullah biasa menghatamkan Al-Qur’an sepekan sekali. Namun, untuk bulan Ramadan, beliau menghatamkannya dalam tiga hari. Saat sepuluh hari terakhir, beliau khatamkan dalam satu malam.

Az-Zuhri rahimahullah apabila tiba Ramadan, beliau meliburkan aktivitas membaca hadis dan bermajlis dengan para ulama. Beliau habiskan waktu untuk membaca Al-Qur’an pada mushaf.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah apabila masuk bulan Ramadan, beliau meliburkan semua ibadah, kemudian beliau fokuskan semua waktu untuk membaca Al-Qur’an.

Bukankah ada hadis yang melarang mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari?

Ibnu Rajab rahimahullah telah menjawabnya,

وإنما ورد النهي عن قراءة القرآن في أقل من ثلاث على المداومة على ذلك ، فأما في الأوقات المفضلة كشهر رمضان خصوصاً الليالي التي يطلب فيها ليلة القدر، أو في الأماكن المفضلة كمكة لمن دخلها من غير أهلها فيستحب الإكثار فيها من تلاوة القرآن اغتناماً للزمان والمكان ، وهو قول أحمد وإسحاق وغيرهما من الأئمة

“Sesungguhnya riwayat yang menerangkan larangan mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari hanya berlaku jika dilakukan terus menerus. Namun, pada waktu-waktu mulia seperti bulan Ramadan, lebih-lebih di malam-malam yang terdapat lailatul qadr, atau di tempat-tempat mulia seperti Mekah bagi pengunjung yang tidak menetap di sana, dianjurkan untuk memperbanyak bacaan Al-Qur’an. Dalam rangka optimalisasi waktu dan tempat yang mulia. Inilah pendapat Ahmad bin Hambal, Ishaq, dan para imam lainnya.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 171)

Menangis Saat Membaca dan Mendengar Al-Quran

Melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan syahdu layaknya syair, namun tanpa tadabur, bukan termasuk petunjuk dari Salafus Shalih. Mereka itu orang-orang yang mudah tersentuh dengan ayat Al-Quran. Berikut kisah mereka:

Tangisan Rasulullah

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu pernah menceritakan, “Rasulullah pernah memintaku,

اقْرَأْ عَلَيَّ القُرْآنَ

“Tolong bacakan ayat Al-Quran kepadaku.”

Aku jawab,

يَا رسولَ الله، أَقْرَأُ عَلَيْكَ، وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟!

“Bagaimana mungkin, ya Rasulullah? Aku membaca Al-Quran kepadamu padahal Al-Qur’an diturunkan pada Anda?”

إنِّي أُحِبُّ أَنْ أسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي

“Aku senang mendengar bacaan Al-Quran dari selainku”, jawab Nabi.

فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُورَةَ النِّسَاءِ، حَتَّى جِئْتُ إِلَى هذِهِ الآية: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا} قَالَ: «حَسْبُكَ الآنَ» فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ، فَإذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ. متفقٌ عَلَيْهِ.

“Saya lalu membacakan ayat dalam surah An-Nisa’. Saat sampai pada ayat ini (yang artinya), “Bagaimanakah jika Kami datangkan kepada setiap umat seorang saksi dan Engkau Kami jadikan saksi atas umat ini?” (QS. An-Nisa’ 42).

Setelah itu beliau bersabda, “Cukup … cukup.”

Saya menoleh ke arah beliau. Ternyata, beliau bercucuran air mata.” (Muttafaq ‘alaih)

Tangisan Ahlu Sufah (para sahabat yang tinggal di emperan masjid Nabawi)

Al-Baihaqi rahimahullah menukil sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Beliau berkisah, “Di saat turun ayat

أَفَمِنْ هَٰذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ ‎﴿٥٩﴾‏ وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ ‎﴿٦٠﴾

“Apa kamu merasa heran kepada kabar ini? Kamu mentertawakan dan tidak menangis?!” (QS. An-Najm: 59-60)

para Ahlu Sufah ketika itu menangis, sampai air mata menetes dari dagu mereka. Ketika Rasulullah mendengar tangisan Ahlu Sufah ketika itu, beliau pun ikut menangis. Kami pun menangis melihat Rasulullah menangis. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يلج النار من بكى من خشية الله

“Orang yang menangis karena takut kepada Allah, tak akan disentuh oleh api neraka.”

Tangisan Sahabat Ibnu Umar

Ketika Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu membaca surat Al-Muthaffifin sampai pada ayat,

يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“Hari kebangkitan adalah hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.”

Beliau menangis sampai jatuh tersungkur, sampai tak mampu melanjutkan bacaan.

Tangisan Sufyan As-Tsauri

Dari Muzahim bin Zufar, beliau menceritakan, ”Kami pernah salat magrib bersama Sufyan As-Tsauri rahimahullah. Di saat beliau membaca ayat

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)

beliau menangis sampai tak sanggup melanjutkan ayat. Kemudian beliau mengulang lagi dari “Alhamdu…”

Tangisan Fudhail bin Iyadh

Dari Ibrahim bin Al-Asy’ats, beliau berkisah, ”Pada suatu malam aku mendengar Fudhail membaca surah Muhammad. Beliau menangis mengulang-ulang ayat ini,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّىٰ نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ

“Sungguh Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian, dan agar Kami mengabarkan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (QS. Muhammad: 31)

Beliau selalu mengulang kalimat ayat “Wa nabluwa akh-baarokum.. (Kami menguji (baik buruknya) hal ihwalmu).”

“Engkau akan menguji ihwal kami?! Bila Engkau menguji baik buruknya hal ihwal kami, sungguh aib kami akan tampak, menjadi tersingkaplah yang tertutupi dari kami. Jika Engkau menguji keadaan kami, sungguh kami bisa binasa dan Engkau akan mengazab kami”, lanjut beliau. Kemudian beliau menangis.

[Bersambung]

***

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/74426-kisah-teladan-dari-para-ulama-hebat-di-bulan-ramadan-bag-2.html

Kisah Teladan dari Para Ulama Hebat di Bulan Ramadan (Bag. 1)

Pendahuluan

Bismillah

Selalu saja decak kagum menghampiri, saat membaca kisah para salafus shalih (orang-orang saleh terdahulu). Jejak kehidupan hamba-hamba Allah Ta’ala yang jujur. Hari-hari mereka sibuk dengan amal kebajikan. Seperti mustahil amalan dahsyat itu dilakukan oleh manusia. Namum, mereka manusia, sebagaimana kita juga manusia. Mereka bisa, kita pun punya peluang untuk bisa, dengan taufik dan bimbingan dari Allah ‘Azza wa jalla.

Bila ingin memcari inspirasi, kisah hidup mereka amat pantas dijadikan bahan. Membaca biografi mereka, menumbuhkan secercah semangat untuk menghadapi kehidupan ke depan. Menjadi insan yang lebih baik dan meninggalkan kenangan-kenangan indah di kehidupan fana. Sebelum melangkah bertemu Sang Pencipta.

Tidak berlebihan apabila sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

من كان منكم مستناً فليستن بمن قد مات، فإن الحي لا تؤمن عليه الفتنة، أولئك أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، كانوا أفضل هذه الأمة، أبرها قلوباً، وأعمقها علماً، وأقلها تكلفاً، قوم اختارهم الله لصحبة نبيه، وإقامة دينه، فاعرفوا لهم فضلهم، واتبعوهم في آثارهم، وتمسكوا بما استطعم من أخلاقهم ودينهم، فإنهم كانوا على الهدى المستقيم

“Siapa yang ingin mencari teladan, carilah teladan dari orang-orang yang sudah meninggal. Karena sesungguhnya orang yang masih hidup itu tidaklah aman dari fitnah (ketergelinciran). Mereka adalah sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Generasi termulia dari umat ini yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling anti berlebihan dalam tindakan.

Allah Ta’ala memilih mereka untuk menjadi sahabat nabi-Nya. Demi menegakkan agama-Nya. Maka dari itu, akuilah keutamaan mereka dan ikutilah prinsip mereka. Dan contohlah budi pekerti mereka semampu kalian. Karena sungguh mereka berada di atas petunjuk.” (Dinukil oleh Ibnu Abdil Baar dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih).

Lebih-lebih, di bulan mulia seperti Ramadan, saat pahala dilipatgandakan lebih daripada bulan-bulan yang lain. Kita dapati hari-hari mereka penuh dengan kegiatan ibadah dan berlomba-lomba berbuat baik kepada sesama. Banyak riwayat yang mengisahkan kesungguhan mereka dalam beribadah di bulan penuh berkah ini. Pada artikel yang ringkas ini, akan dipaparkan beberapa ibadah yang sangat istimewa bila mengisi bulan Ramadan kita dan ditambahkan keteladaan ibadah para salaf di bulan Ramadan.

Puasa itu sangat istimewa

Allah Ta’ala mengabarkan bahwa kitab suci yang mulia; Al-Quran, diturunkan di bulan Ramadan. Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)” (QS. Al-Baqarah: 185).

Ditambah lagi, banyak keistimewaan yang Allah Ta’ala tetapkan di bulan suci ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, bau mulut orang yang puasa, di sisi Allah Ta’ala itu lebih harum dari kasturi.

Kedua, para malaikat mendoakan ampunan untuk orang yang berpuasa hingga tiba waktu berbuka.

Ketiga, setiap hari di bulan Ramadan Allah Ta’ala memperindah surga-Nya, seraya mengatakan,

يوشك عبادي الصالحون أن يلقوا عنهم المئونة والأذى ثم يصير إليك

“Hamba-hambaku yang saleh hampir saja memikul beban berat dan kesusahan. Kemudian mereka menuju kepadamu wahai surga.”

Keempat, setan-setan dibelenggu.

Kelima, pintu-pintu surga dibuka.

Keenam, ada malam lailatul qadr yang lebih baik dari 1000 bulan. Siapa yang tak beruntung bertemu dengan malam itu, sungguh dia telah terhalang dari kebaikan yang dahsyat.

Ketujuh, orang-orang yang puasa mendapatkan ampunan di malam akhir Ramadan.

Kedelapan, setiap malam puasa, Allah Ta’ala membebaskan orang-orang yang akan masuk neraka.

Mengingat keistimewaan Ramadan yang demikian dahsyat, kira-kira bagaimana sikap yang tepat dalam menyambutnya? Apakah pantas direspon dengan aktivitas tak bermanfaat, bahkan mengandung dosa? Atau begadang bukan untuk amal kebaikan dan bermalas-malasan? Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari sikap-sikap buruk itu.

Hamba yang saleh akan menyambut Ramadan dengan taubat yang jujur dan tulus. Selain itu, diiringi tekad yang kuat untuk mengisinya dengan amal-amal saleh. Seraya memohon kepada Allah Ta’ala agar diberi pertolongan untuk bisa beribadah dengan baik.

Ibadah puasa

Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كل عمل بن آدم له الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف، يقول عز: إلا الصيام فانه لي و أنا أجزى به ترك شهوته وطعامه وشرابه من أجلى للصائم فرحتان فرحة عند فطره و فرحة عند لقاء ربه و لخلوف فم

الصائم أطيب عند الله من ريح المسك الصيام جنة فإذا كان صوم يوم أحدكم فلا يرفث و لا يصخب فان سابه أحد أو قاتله فليقل إني صائم

“Seluruh amal baik anak Adam pahalanya akan dilipatkan sepuluh sampai tujuh ratus kali, kecuali puasa. Kata Allah, sungguh puasa itu untuk-Ku. Aku memberi ganjaran puasa. Karena orang yang puasa telah meninggalkan syahawatnya, makanan, dan minumannya. Orang yang puasa mendapatkan dua kebahagiaan. Bahagia saat berbuka dan bahagia ketika berjumpa Rabbnya. Dan bau mulut orang puasa lebih wangi di sisi Allah dari pada bau minyak kesturi” (HR. Bukhari dan Muslim).

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang melakukan puasa Ramadan karena motif keimanan dan harapan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun ingat, bahwa pahala besar di atas tidak cukup diraih hanya dengan tidak makan tidak minum saja. Akan tetapi, harus disertai pengamalan terhadap pesan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan zur (perkataan dusta), mengamalkannya, atau tindakan bodoh, maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga” (HR. Bukhari).

Dan juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

الصوم جنّة، وإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث، ولا يفسق ولا يجهل، فإن سابّه أحد فليقل: إني امرؤ صائم

“Puasa adalah perisai. Jika kalian sedang puasa janganlah berkata kotor, jangan berbuat fasik, jangan berbuat bodoh (dosa). Bila ada yang menghinanya, responlah dengan ucapan ‘Aku sedang berpuasa.’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Memperbanyak salat malam

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ومن قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Barang siapa yang berdiri (menunaikan salat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari dan Muslim).

Al-Qur’an juga mengandung motivasi salat malam. Allah Ta’ala berfirman,

وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا ‎﴿٦٣﴾‏ وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا

“Hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 63-64).

Melakukan salat malam adalah kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat beliau. Ibnunda Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah berpesan,

لا تدع قيام الليل فإن رسول الله كان لا يدعه وكان إذا مرض أو كسل صلى راقدا

“Jangan kalian tinggalkan salat malam. Karena Rasulullah tidak pernah meninggalkan salat malam. Jika beliau sakit atau sedang tidak fit, beliau salat malam dengan duduk.”

Umar bin Khotob Radhiyallahu ’anhu menghidupkan malam Ramadan dengan salat sampai batas akhir kemampuan beliau. Kemudian bila telah tiba tengah malam, beliau membangunkan keluarga beliau supaya bersama menjalankan solat. Saat membangunkan, biasanya Umar berkata,

Salat… salat…

Seraya membaca ayat,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

Perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan salat dan bersabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa” (QS. Taha: 132).

Suatu hari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu membaca ayat,

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّه

“Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya” (QS. Az Zumar: 9).

Kata Ibnu Umar, yang dimaksud ayat ini adalah Ustman bin ‘Affan Radhiyallahu ’anhu. Kemudian Ibnu Abi Hatim menerangkan ucapan Ibnu Umar,

وإنما قال ابن عمر ذلك لكثرة صلاة أمير المؤمنين عثمان وقرائته حتى أنه ربما قرأ القرآن في ركعة

“Ibnu Umar menjelaskan demikian, karena Amirul Mukmini; Utsman sering melakukan salat malam dan banyak membaca Al-Qur’an. Bahkan dikatakan seakan beliau membaca Al-Qur’an seluruhnya dalam satu rakaat.”

Kemudian kisah tentang salat malamnya sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ’anhu yang diceritakan oleh Alqamah bin Qais,

بت مع عبد الله بن مسعود رضي الله عنه ليلة فقام أول الليل، ثم قام يصلي فكان يقرأ قرائة الإمام في مسجد حيه يرتل ولا يراجع، يسمع من حوله ولا يرجع صوته حتى لم يبق من الغلس إلا كما بين أذان المغرب إلى الانصراف منها ثم أوتر

“Aku pernah menginap bersama Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu. Di awal malam beliau salat. Beliau membaca ayat-ayat yang dibaca imam masjid kampung beliau. Beliau membaca dengan tartil dan pada rakaat berikutnya, beliau tidak mengulang kembali ayat yang beliau baca. Orang-orang yang berada di sekitar beliau malam itu mendengar bacaan beliau. Beliau terus salat hingga malam hanya tersisa sedikit, seukuran jarak waktu antara azan magrib sampai selesai salat magrib. Lalu beliau menutup salat malam dengan witir.”

Di dalam hadis dari sahabat Said bin Zaid diceritakan, ”Imam salat malam (di masa sahabat, pent.) membaca ratusan ayat. Hingga kami para makmum harus bertumpu pada tongkat karena saking lamanya salat.” Beliau menambahkan, “Para sahabat Nabi biasanya tidak selesai salat malam kecuali di saat waktu subuh tiba.”

Catatan penting:

Diusahakan mengikuti salat tarawih bersama imam sampai selesai. Agar mendapat pahala seperti orang-orang yang rajin salat malam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من قام  مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة

“Siapa yang salat Tarawih bersama imam, maka akan dicatat untuknya salat malam satu malam penuh” (HR. Ahlus Sunan).

[Bersambung]

Sumber: https://muslim.or.id/74424-kisah-teladan-dari-para-ulama-hebat-di-bulan-ramadan-bag-1.html

Sujudkan Mata, Lisan dan Hati Kita

Kita tidak hanya perlu sujud fisik, tetapi juga sujud mata dan sujud hati agar Allah mendengar dan mengabulkan semua doa kita

SAAT ini adalah tahun ketiga kita menghadapi pandemi. Selain pandemi yang telah menguras waktu, tenaga, pikiran dan hilangnya banyak nyawa, sebelumnya kita juga pernah dihadapkan dangan musibah sambung menyambung, silih berganti. 

Dari Timur ke Barat, dari pulau ke pulau dari samudera ke samudera.  Awal tahun 2021 telah dibuka dengan musibah jatuhnya pesawat SJ 182, penerbangan Jakarta ke Pontianak. 

Belum kering air mata,  disambung bencana gempa di Sulawesi Barat (Majene dan Mamuju),  banjir di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.  Disusul lagi gempa di Pangandaran. Di tengah kepanikan tersebut, mendapat kabar lagi meletusnya Gunung Semeru.  

Masyaallah, Allah Akbar. Engkau Tuhan yang Maha Besar, dan jiwa kita semua ada di genggaman-Nya.  Demikian dahsyat dan bertubi-tubi Tuhan mengguji kita, di tengah palung keterpurukan akibat pandemi Covids 19 yang belum  ada tanda-tanda akan berhenti. Berlipat-lipat kepiluan mendera negeri ini.  Semakin sendu tangis lara ibu pertiwi.  

Ebit G. Ade mengingatkan kita ini bukanlah hukuman, melainkan sebuah isyarat agar kita mesti banyak berbenah.  Kita semua,  anak bangsa, harus me-reset sejenak kehidupan ini, guna bersujud kepada-Nya.  Bukan hanya merendahkan kepala ke tanah, akan tetapi menyujudkan pikiran dan hati kita ke dasar yang paling rendah, yaitu “ketiadaan” (kefanaan).   

Sujud sejatinya bukan hanya secara lahiriah, akan tetapi persujudan yang hakiki adalah persujudan kesadaran dari lubuk hati yang paling dalam. Meletakkan kening atau muka ke tanah atau tempat sujud adalah simbol empirisnya, namun jika hati, pikiran dan kesadaran tidak ikut serta, maka sujudnya tiada guna. 

Maka,  sujud yang sejati adalah menghadirkan kesadaran bahwa kita adalah hamba yang kecil, hina dan tak berdaya di hadapan Ke-Maha Besaran Tuhan YME. Sujud adalah manifestasi kerendahan dan penyerahan diri secara total manusia kepada Sang Penciptanya.   

Yakinlah, ketika manusia hilang elan vital kesujudannya, maka menyeruaklah arogansi dan sifat dan tabiat merusak manusia.  

Negeri ini lahir dari semangat persujudan para founding father dan founding mother kepada Tuhan YME.  Atas berkat rahmat Tuhan YME, bukan dibentuk semena-mena atas usaha manusia. Makanya,  negeri ini meletakkan pengakuannya atas eksistensi Tuhan di dalam “jantung” dasar konstitusinya,  baik dalam Pancasila maupun UUD 1945.  Denyut nadi bangsa Indonesia adalah Ketuhanan, sebagai lambang persujudan bangsa ini.  

Oleh karenanya, bangsa ini hendaknya memahami bencana sebagai isyarat Tuhan kepada kita semua,  apakah kita masih memelihara kesujudan tersebut.  Barangkali selama ini, kita terlalu banyak mendongak,  membusungkan dada, dan memandang rendah kepada sesama.  Barangkali kita juga terlalu jumawa dengan segala kuasa yang kita punya.  Atau kita mulai terlena dan lupa dari mana asal dan hendak kemana haluan hidup di dunia. 

Berhentilah sejenak, bersujudlah kepada Tuhan YME dan teruslah bersujud. Sujudkan segala jiwa dan raga,  sujudkan pikiran, jiwa dan segala kedigjayaan kita, ke tanah ke-Maha kasih sayang-Nya. Hirup dalam-dalam semesta kepasrahan, rendahkan diri dengan serendah-rendahnya derajat kemakhlukan kita.  Menyelamlah ke dasar kekerdilan kita,  agar kita menemukan kefanaan kita di hadapan Kebesaran-Nya.   

Sujudkan telunjuk kekuasaan kita, sujudkan jari-jari pemetik pelatuk bedil,  sujudkan palu-palu penekan hukum, sujudkan segala kuasa politik yang mengharu biru, sujudkan ke tanah Ke-Maha Besaran Tuhan.   Agar tiada kesemena-menaan, agar tiada jumawa dan agar tegak hukum demi keadilan.  

Sujudkan lisan-lisan kita dari perkataan kasar, kebencian penuh caci maki. Sujudkan mata-mata kita, yang  selalu memandang rendah kepada saudara sebangsa. Sujudkan seluruh jiwa raga kita ke dasar pengampunan Tuhan yang pintu kemaafan tiada berbatas.  

Lepaskan segala atribut dunia yang membuat berat hati kita tunduk bersujud. Pangkat, kedudukan, tahta, harta dan kuasa. Kembalilah ke “kebayian” kita, yang lemah, rapuh, dan tak berdaya tanpa sehelai benangpun terlahir ke dunia. Agar otentik sujud kita dihadapan kuasa-Nya.  

Jujurlah mengakui berapa banyak garam kedzaliman yang kita taburkan di atas hati-hati yang luka.  Berterus teranglah akan pengkhianatan atas amanah yang kita pikul. Atas lalai dan kealpaan, segala kemurahan dan karunia-Nya yang tak pernah kita syukuri. 

Tanah yang subur, kekayaan alam yang berlimpah, di daratan, di lautan dan di angkasa, yang terus menerus kita eksploitasi tanpa menimbang secara bijaksana akan kelangsungannya bagi anak cucu kita kelak. 

Jujurlah mengakui segala keangkuhan ini, kemudian bersujudlah menadah ampunanNya.  Agar tanah tempat kita berdiri ini tidak kehilangan tuahnya.  

Negeri ini tak akan menjadi kecil, jika penduduknya merendahkan kepala dan jiwanya kepada Ke-maha Besaran Tuhan. Tak kan hilang kedaulatannya, jika pemimpin mensujudkan kekuasaan dan otoritasnya kepada Ke-Maha Agungan Tuhan.   

Tak kan hilang tuahnya, jika anak negerinya mensujudkan segala pikiran, sikap dan asanya kepada Ke-Maha Luasan karuni Tuhan YME.  

Bencana,  adalah isyarat kepada hati dan jiwa negeri ini, agar tetap menjadi mercusuar cahaya pencerahan dari Timur.  Berbagai bencana yang menimpa akan  menjadi “madrasah”, tempat mengasah jiwa kesabaran,  jiwa kebersamaan dan jiwa senasib sepenanggungan antara sesama anak bangsa. Tuhan selalu memberikan optimisme bahwa dibalik segala “kegelapan” akan datang “terang benderang”. 

Demi tuah ibu pertiwi,  bersujudlah, baik dalam “kesendirian” maupun “keriuh rendahan” kita sebagai bangsa.  Tuhan, hanya kepadaMu kami berlindung dan berserah diri. *

Eka Hendry Ar. Dosen IAIN Pontianak

HIDAYATULLAH

Tantangan yang Diterima Haji Khusus

Anggota Dewan Pembina Gabungan Perusahaan Haji Umroh Nusantara (Gaphura) Muharom Muhammad mengatakan, penetapan kuota Indonesia oleh Kerajaan Saudi Arabia sebesar 100.051 harus segera ditindaklanjuti dengan penetapan jumlah jamaah dan petugas haji khusus. Hal ini sangat mendesak karena hanya ada 60 hari waktu persiapan jelang keberangkatan awal jamaah haji khusus.

“Banyak tantangan yang perlu segera diatasi oleh PIHK mempersiapkan haji khusus tahun 1443/2022 ini,” kata Muharom saat dihubungi Republika, Kamis (21/4/2022).

Muharom merinci di antara tantangan yang dihadapi PIHK ialah kepastian jumlah perolehan jamaah setiap PIHK, kenaikan biaya haji khusus dan sempitnya waktu persiapan. Sementara di sisi Saudi Arabia tengah terjadi transisi manajemen penyemenggaraan haji.

“Yaitu dari bentuk Muasasah menjadi Syarikah yang cenderung berorientasi profit,” katanya.

Muharom mengatakan, efek pandemi selama dua tahun terakhir diperkirakan akan membebani jamaah haji khusus karena harus menambah biaya hajinya. Berbeda dengan haji reguler yang selisih ke naikannya ditanggulangi BPKH.

“Jamaah haji khusus sampai saat ini belum mendapat kepastian apakah akan memperoleh hasil optimalisasi dana setoran awal dan setoran lunasnya dari BPKH,” katanya.

Sepatutnya Kemenag, DPR dan BPKH turut memperhatikan 8.000 jamaah haji khusus yang berangkat haji tahun ini dengan diserahkannya hasil pengelolaan $ 8.000 yang sudah lama dikelola BPKH. Meskipun hasil penempatan dana setoran haji khusus relatif kecil dibanding setoran haji reguler karena berupa dolar Amerika.

“Namun hasil pengelolaan dana tersimpan sekitar 5 juta dolar dalam beberapa tahun, selayaknya bisa mengurangi beban jamaah haji khusus,” katanya.

Muharom mengatakan sudah saatnya kini jamaah haji khusus memperoleh haknya setelah lebih sepuluh tahun setoran haji khusus tidak diterima langsung oleh jamaah haji khusus. Dengan diberikannya hak atas hasil kelola setoran hajinya, selain azas keadilan yang diperintahkan UU PIHU juga menunjukan kesetaraan hak.

“Semua jamaah haji yang telah memenuhi kewajibannya dalam menempatkan setoran awal dan setoran lunasnya di BPKH,” katanya.

IHRAM

Qashar Shalat dan Syarat-syarat Pelaksanaannya

Qashar shalat  memiliki pengertian meringkas shalat menjadi dua rakaat. Qashar shalat merupakan salah satu rukhsah yang diberikan oleh Allah kepada umat muslim. Sebelum melaksanakan shalat qashar, muslim harus memperhatikan syarat-syarat pelaksanaannya.

Sebelum mengetahui syarat diperbolehkannya, mari kita ketahui tentang dalil pensyariatan shalat qashar dari nash baik Alquran maupun hadis juga ijma atau kesepakatan para ulama.

Dalam surat an-Nisa ayat 101, dalil tentang meringkas shalat diperbolehkan.

وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ

Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qasar salat.

Kemudian dalam beberapa hadis disebutkan, Rasulullah melakukan qashar shalat saat di beberapa perjalanan jarak jauh seperti haji, umroh, atau perang. Berdasarkan riwayat Ibnu Umar, Nabi shalat dua rakaat saat safar tanpa menambahkan rakaatnya lagi. Begitulah yang dilakukan oleh beberapa sahabat Nabi setelahnya.

Qashar sendiri berarti meringkas shalat yang berjumlah empat rakaat menjadi dua. Shalat yang bisa diqashar atau diringkas hanyalah shalat Zuhur, Ashar, dan Isya.

Berikut beberapa beberapa syarat diperbolehkannya mengqashar shalat.

Pertama, menempuh jarak safar. Beberapa ulama mazhab berbeda mengenai jarak tempuh safar yang memperbolehkan seseorang untuk mengqashar shalat.

Dalam kitab Darul Mukhtar, ulama mazhab Hanafi mengatakan bahwa perjalanan yang memakan waktu tiga hari memperbolehkan seseorang untuk mengqashar shalat. Dengan syarat, perjalanan tersebut merupakan perjalanan darat dan ditempuh dengan mengendarai unta atau berjalan kaki.

Pada masa moda transportasi belum berkembang, perjalanan tersebut menempuh jarak tiga marhalah atau setara dengan sekitar 117 KM.

Sedangkan ulama mazhab Syafi’i dan mayoritas ulama berpendapat bahwa jarak tempuh yang memperbolehkan seseorang mengqashar shalat adalah dua marhalah atau setara saat ini dengan ukuran 88,7 KM.

Kedua, perjalanan yang dilakukan bukanlah perjalanan yang diharamkan. Perjalanan yang diharamkan seperti mencuri atau begal bukanlah syarat yang memperbolehkan seseorang mengqashar shalatnya. Demikian menurut pendapat ulama mayoritas kecuali mazhab Hanafi.

Ketiga, sudah keluar dari tempat asalnya. Beberapa ulama memiliki definisi yang berbeda mengenai ini. Ulama mazhab Hanafi mengartikan bahwa keluar dari tempat mukimnya adalah seseorang telah keluar dari batas wilayahnya yang memisahkan ia dengan rumahnya.

Ulama mazhab Syafi’i mensyaratka seseorang keluar dari batas wilayah desanya. Misal, desa tersebut memiliki perbatasan berupa pagar, jembatan, atau bangunan tertentu, dia boleh mulai mengqashar shalatnya.

Keempat, berniat melakukan perjalanan jauh yang menempuh jarak minimal safar. Jika seseorang melakukan perjalanan tanpa ia ketahui tujuannya, hal ini tidaklah menjadi alasan seseorang boleh melakukan safar.

Menurut mayoritas ulama pun, qashar tidak boleh dilakukan jika seseorang berhenti atau niat bermukim (lebih dari tiga hari) di tengah-tengah perjalanan jauhnya.

Kelima, tidak mengikuti shalatnya seseorang yang tidak melakukan qashar. Dalam perjalanan, jika seseorang meringkas shalatnya, ia tidak boleh bermakmum dengan imam yang tidak mengqashar shalatnya.

Keenam, tetap dalam safar saat shalat berakhir. Hal ini merupakan syarat dari ulama mazhab Syafi’i. Misal, seseorang sudah sampai tempat tujuannya di waktu Ashar maka ia sudah tidak boleh melakukan qashar shalat Asharnya.

Demikian penjelasan tentang qashar shalat dan syarat-syarat pelaksanaannya.

BINCANG SYARIAH

Agar Khatam Alquran dalam Sebulan, Ini Caranya

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. M.Cholil Nafis menjelaskan ada dua model orang dalam membaca Alquran. Ada orang yang memilih model kuantitatif yakni berupaya untuk mengkhatamkan Alquran dengan target waktu tertentu, misalnya khatam satu kali atau dua kali dalam bulan Ramadhan. Ada juga orang yang membaca Alquran dengan model kualitatif, yakni membaca setiap ayat Alquran dan mentadaburinya hingga mengerti maksud kandungan ayat yang dibacanya.

Kiai Cholil mencontohkan sahabat Qatadah memiliki kebiasaan mengkhatamkan Alquran seminggu sekali pada bulan-bulan selain Ramadhan. Sedang pada saat Ramadhan, ia mampu mengkhatamkan Alquran setiap tiga hari. Bahkan bila memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan, Qatadah dapat mengkhatamkan Alquran setiap hari. Namun menurut kiai Cholil ada juga sahabat yang enggan pindah dari satu ayat ke ayat lainnya sampai ia memahami ayat tersebut.

Kiai Cholil membagikan kiat-kiat bagi orang yang memilih untuk mengejar target mengkhatamkan Alquran minimal satu kali dalam bulan Ramadhan. Salah satunya yakni dengan membaca sekitar 50 ayat Alquran setiap selesai melaksanakan shalat maktubah. Sehingga seseorang dapat membaca sekitar 250 ayat dalam sehari semalam. Jumlah ini sudah melampaui satu juz. Atau menyelesaikan dalam semalam satu juz sehingga dapat mengkhatamkan Alquran di penghujung Ramadhan.

“Kita bertadarus itu biasa satu malam satu juz, akhir ramadhan tiga puluh juz. Langsung selamatan, khataman, syukuran,” kata kiai Cholil dalam program kultum Ramadhan yang disiarkan TV NU pada Rabu (20/4/2022).

Selain itu, kiai Cholil mengatakan seseorang yang hendak mengkhatamkan Alquran lebih dari satu juz selama Ramadhan dapat memanfaatkan semaksimal mungkin waktu luang atau saat istirahat. Seperti pada malam hari dan sebelum dan sesudah shalat dzuhur. Di mana dalam satu waktu dapat mencapai target satu juz.  

Bertadarus Alquran adalah salah satu ibadah yang utama pada bulan suci Ramadhan. Kiai Cholil mengatakan setiap Ramadhan Rasulullah SAW bertadarus bersama malaikat Jibril. Sahabat Zaid bin Tsabit menyaksikan bagaimana Rasulullah bertadarus Alquran yakni memulainya dari surat Al Fatihah hingga An Nas. Susunan surat yang dibaca Rasulullah saat bertadarus bersama Jibril itulah yang kemudian menjadi pedoman saat kodifikasi Alquran. 

IHRAM

Membenci dan Mengolok-olok Syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (Bag. 2)

Menghina, Mengejek atau Mengolok-olok Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Perkara berikutnya yang harus kita perhatikan adalah seseorang yang menghina, mengejek atau mengolok-olok ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika seseorang mengetahui bahwa sesuatu tersebut termasuk dalam ajaran (syariat) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka menghina atau mengejeknya termasuk tindakan kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam.

Barangsiapa yang menghina Al-Qur’an, mengolok-olok kandungan (isi) Al-Qur’an, mengejek ajaran agama, atau menghina dan merendahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun hanya mengejek satu saja dari sifat (karakter) beliau, ini semua adalah kekafiran yang bisa mengeluarkan seseorang dari agama. Misalnya, seseorang yang menghina dan mengejek jenggot yang lebat, padahal dia mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki (memelihara) jenggot. Jika seseorang mengatakan, “Jenggot itu kotor (jelek), tidak cocok dengan peradaban modern, yang memeliharanya hanyalah orang-orang kuno dan kampungan”, padahal dia mengetahui jenggot itu termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini termasuk kekafiran.

Demikian pula orang-orang yang menghina, mengejek atau sekedar bersenda gurau dengan adanya surga, neraka, atau mengolok-olok kenikmatan di surga seperti bidadari, atau mengejek jenis adzab (hukuman) tertentu di neraka, ini juga termasuk kekafiran.

Semua tindakan ini tidaklah muncul dari seseorang yang di dalam hatinya terdapat pengagungan terhadap Allah Ta’ala, terhadap Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga pengagungan terhadap agama dan syariat Allah Ta’ala. Kekafiran ini termasuk kekafiran yang dilakukan oleh orang-orang munafik.

Allah Ta’ala berfirman,

يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ

Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka, “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan rasul-Nya).” Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu (yaitu dengan menampakkan kemunafikan mereka, pen.)(QS. At-Taubah [9]: 64).

Mereka (orang-orang munafik) mengolok-olok agama Allah Ta’ala, mengejek Al-Qur’an, Rasul-Nya, dan kaum muslimin, meskipun mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

Tindakan ini tetap saja terlarang, sehingga mereka pun diancam, bahwa Allah Ta’ala akan menyingkap apa yang ada dalam hati mereka dan Allah Ta’ala mengetahui keadaan mereka ketika bersama dengan setan-setan mereka, yaitu mengolok-olok agama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala ancam mereka bahwa Allah Ta’ala akan menampakkan kemunafikan yang mereka sembunyikan,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja(QS. At-Taubah [9]: 65).

Yaitu, ketika ditampakkan kemunafikan mereka yang mengejek agama Allah Ta’ala dengan sembunyi-sembunyi, mereka berkilah, “Kami tidak berkeyakinan seperti itu, kami ini orang-orang beriman (mukmin), kami hanya ngobrol bersenda gurau dengan teman-teman kami, hanya bermain-main dan bersenang-senang saja.”

Apakah alasan mereka Allah Ta’ala terima? Tidak. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa(QS. At-Taubah [9]: 65-66).

Allah Ta’ala tidak menerima alasan mereka, namun Allah Ta’ala akan menerima taubat mereka, dengan hilangnya kemunafikan dari dalam hati mereka.

Ketika dalam perang Tabuk, ada seseorang yang berkata, Belum pernah kami melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini, orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya, dan lebih pengecut dalam peperangan.

Maksudnya, orang tersebut mengejek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang ahli baca (menghapal) Al-Qur’an.

Salah seorang sahabat, ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, berkata kepadanya, “Yang kamu katakan itu dusta. Bahkan kamu adalah orang munafik. Niscaya akan aku beritakan kepada  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Hal ini karena para sahabat mengetahui bahwa ucapan seperti ini tidaklah keluar dari seseorang yang beriman secara lahir dan batin.

Lalu pergilah ‘Auf bin Malik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada beliau.

Tetapi sebelum dia sampai, telah turun wahyu Al-Qur’an kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu ayat dalam surat At-Taubah yang kami sebutkan di atas).

Kata ‘Abdullah bin Umar, “Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu, sambil berkata,

إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ

“Sebenarnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? [1]

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَيُجَادِلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَمَا أُنْذِرُوا هُزُوًا

Dan tidaklah kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan(QS. Al-Kahfi [18]: 56).

Ini adalah di antara sebab kekafiran orang-orang kafir. Yaitu, mereka menjadikan ancaman dan peringatan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya hanya sebagai olok-olokan saja.

Ayat-ayat di atas adalah di antara dalil tegas bahwa barangsiapa yang mengejek, menghina dan mengolok-olok satu saja dari ajaran (syariat) Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah membatalkan keislamannya dan telah menampakkan kemunafikan dari dalam hatinya.

Demikian pula, ketika dia menghina orang-orang shalih karena agamanya, ini juga termasuk kekafiran. Misalnya, seseorang menghina orang lain yang memanjangkan jenggotnya, dia hina jenggotnya (yaitu, perbuatan memanjangkan jenggot), dan dia mengetahui bahwa memanjangkan jenggot termasuk ajaran agama, maka tindakan ini juga termasuk kekafiran. Juga termasuk kekafiran ketika menghina wanita muslimah yang mengenakan jilbab atau cadar.

Adapun jika yang dihina adalah orangnya, bukan agama (perbuatan) yang ada pada orang tersebut, maka ini kefasikan (dosa besar), sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ

Mencela seorang muslim adalah kefasikan (dosa besar)[2]

Orang-orang yang mentauhidkan Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya, tentu dia akan mengangungkan apa yang Allah Ta’ala agungkan dan mencintai apa yang Allah Ta’ala cintai. Dia akan benar-benar mengagungkan dan mencintai Allah Ta’ala, Rasul-Nya, syariat-Nya, dan juga mencintai orang-orang shalih yang melaksanakan syariat tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mungkin orang seperti ini, yang benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, akan menghina, mengejek, dan mengolok-olok syariat-Nya. Perbuatan seperti ini hanyalah muncul dari orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kemunafikan, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat dan hadits di atas. [3]

***

Diselesaikan ba’da subuh, Rotterdam NL, 17 Rajab 1439/4 April 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] HR. Ibnu Jarir (X/119, 120), Ibnu Abi Hatim (IV/64) dari Ibnu Umar. Syaikh Muqbil di dalam Ash-Shahihul Musnad berkata, “Sanad-sanad Ibnu Abi Hatim adalah hasan.”

[2]     HR. Bukhari no. 48, 6044, 7076 dan Muslim no. 64.

[3]     Disarikan dari: Al-Ilmaam bi Syarhi Nawaaqidhil Islaam li Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, karya Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah Ar-Ruhaili hafidzahullah, hal. 40-41.

Sumber: https://muslim.or.id/38336-membenci-dan-mengolok-olok-syariat-muhammad-shallallahu-alaihi-wa-sallam-bag-2.html

Membenci dan Mengolok-olok Syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (Bag. 1)

Kewajiban seorang muslim adalah taat dan patuh kepada semua ajaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh kepasrahan dan ketundukan. Dia meyakini bahwa syariat Islam diturunkan untuk maslahat umat manusia, meskipun dia mungkin belum bisa memahami hikmah di balik syariat tersebut. Hal ini karena syariat Islam telah Allah Ta’ala tetapkan berdasarkan ilmu dan hikmah-Nya yang sempurna.

Oleh karena itu, termasuk pembatal keislaman jika seseorang justru membenci syariat tersebut dan lebih dari itu, dia mengolok-olok syariat Islam, meskipun satu jenis saja. Tindakan ini mungkin dianggap remeh bagi sebagian orang, padahal di sisi Allah Ta’ala, perkaranya sangatlah serius.

Membenci Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Barangsiapa yang membenci satu saja dari syariat atau ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun dia mengamalkannnya, maka dia telah kafir. Allah Ta’ala befirman,

وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ (8) ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ (9)

“Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad [47]: 8-9)

Ayat ini menunjukkan bahwa kebencian terhadap syariat yang Allah Ta’ala turunkan merupakan sifat kekafiran yang terbesar, sehingga hapuslah pahala amal kebaikan mereka disebabkan kekafiran yang mereka kerjakan. Ayat ini adalah dalil yang sangat jelas tentang masalah ini.

Jika kebencian itu ditampakkan secara terang-terangan, diucapkan dengan jelas, meskipun dia mungkin mengamalkan syariat tersebut, maka hal ini termasuk kufur i’tiqadi (kafir karena keyakinan yang rusak).

Misalnya, seseorang mengatakan, “Aku membenci hukum potong tangan bagi pencuri, aku benci (tidak suka dengan) hukum cambuk atau hukum rajam bagi pezina”, maka hal ini adalah kufur i’tiqadi.

Jika kebencian itu adalah kebencian di dalam hati, tidak ditampakkan secara terang-terangan, meskipun dia sendiri mungkin mengamalkan syariat tersebut, maka ini adalah kufur karena nifaq (kemunafikan). Hal ini karena orang tersebut secara lahiriyahnya menampakkan bahwa dia adalah seorang yang beragama atau mengamalkan Islam, namun dia menyembunyikan kekafiran di dalam hatinya. Ini adalah contoh kufur karena nifaq.

Hal ini jika seseorang membenci ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sendiri.

Adapun jika seseorang tidak suka terhadap suatu tindakan tertentu (yang termasuk dalam hukum syariat), karena dia tidak sanggup (tidak kuat) melihatnya, maka hal ini bukanlah kekafiran. Misalnya, seseorang tidak suka (tidak ingin) melihat eksekusi hukuman potong tangan, bukan karena dia membenci hukuman tersebut, namun semata-mata karena dirinya tidak sanggup melihatnya, dalam kondisi dia menerima dan mencintai hukum Allah Ta’ala tersebut sepenuhnya, maka kasus semacam ini tidak termasuk kekafiran.

Contoh lainnya, seorang wanita yang tidak ingin suaminya menikah lagi, karena dia sangat mencintai suaminya dan tidak ingin melihat suaminya menikah lagi, bukan karena dia membenci syariat ta’addud (poligami) yang telah Allah Ta’ala tetapkan, maka hal ini tidak termasuk kekafiran. Adapun jika yang dia benci adalah syariat ta’addud itu sendiri, maka hal ini termasuk kekafiran (pembatal Islam).

Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk membedakan antara membenci syariat Islam semata-mata karena syariat itu sendiri atau karena faktor eksternal (faktor luar), bukan karena syariat itu sendiri. Misalnya, karena takut melihat eksekusi hukuman potong tangan, hukum cambuk, dan sebagainya.

Jadi tidak tepat ucapan seorang suami kepada istrinya, “Jika Engkau tidak suka aku menikah lagi, maka Engkau kafir.” Ini adalah ucapan yang tidak tepat dan sangat berbahaya bagi yang mengucapkannya.

Seorang muslim, hendaklah dia mencintai dan mengagungkan syariat Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun dia belum bisa melaksanakan dengan sempurna sesuai tuntutan syariat. Hal ini mencakup semua ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk di dalamnya syariat memakai cadar bagi wanita muslimah, memanjangkan jenggot bagi kaum lelaki, tidak memanjangkan kain melebihi mata kaki, poligami (ta’addud),  syariat adzan ketika masuk waktu shalat, syariat berpuasa di bulan Ramadhan, dan syariat-syariat yang lainnya.

***

Diselesaikan ba’da isya’, Rotterdam NL, 16 Rajab 1439/4 April 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 —

Catatan kaki:

[1]   Disarikan dari: Al-Ilmaam bi Syarhi Nawaaqidhil Islaam li Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, karya Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah Ar-Ruhaili hafidzahullah, hal. 38-39.

Sumber: https://muslim.or.id/38279-membenci-dan-mengolok-olok-syariat-muhammad-shallallahu-alaihi-wa-sallam-bag-1.html

Inilah Empat Hikmah Disyariatkan Zakat

Berikut penjelasan terkait inilah empat hikmah disyariatkan zakat.  Pasalnya salah satu rukun Islam adalah menunaikan zakat. Kewajiban ini, sama seperti ibadah lainnya, memiliki syarat dan ketentuan tertentu.

Ada empat hikmah disyariatkan zakat menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Allah mensyariatkan zakat karena manusia dilebihkan satu hal dari lainnya, termasuk rezeki berupa materi. Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 71;

وَاللّٰهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ فِى الرِّزْقِۚ

Artinya: Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa sebagian hambaNya dilebihkan dalam harta. Maka pensyariatan zakat dimaksudkan untuk berbagi kepada yang membutuhkan dan menyadari bahwa rezeki materi itu juga datangnya dari Allah. Di dalamnya terdapat hak orang lain,

وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ

Artinya: Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.

Syekh Wahbah Zuhaili merangkum empat hikmah disyariatkannya zakat kepada umat muslim yang memenuhi syarat tertentu.

Pertama, menjaga harta dari penyalahgunaan.. Penunaian zakat dimaksudkan untuk menjaga harta dari penyalahgunaan baik oleh orang-orang zalim dan tak bertanggung jawab.

Jika seseorang dilebihkan dalam hartanya, ia cenderung menginginkan benda atau materi dalam mengalokasikannya. Maka hikmah zakat salah satunya adalah demikian. Hal ini merujuk pada hadis Nabi riwayat Ibnu Mas’ud,

حَصِّنُوا أَمْوَالَكُمْ بِالزَّكَاةِ وَدَاوَوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ وَأَعِدُّوْا لِلْبَلَاءِ الدُّعَاءَ

Artinya: Jagalah hartamu dengan menunaikan zakat dan sembuhkanlah sakit kalian dengan bersedekah dan cegahlah bahaya dengan doa. (HR. Thabrani dan Abu Na’im) Meski sanad hadis ini berstatus dhaif, tapi maknanya bisa diamalkan karena berupa keutamaan amal.

Hikmah ini lebih pada pengendalian diri yang bersifat individual.

Kedua, menolong orang miskin dan yang membutuhkan. Hikmah ini menunjukkan bahwa zakat menjadi ibadah yang bersifat sosial. Masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap orang miskin yang ada di sekitarnya.

Dengan menunaikan zakat, seseorang berpartisipasi menumbuhkan dan memperkuat perekonomian dan daya beli orang miskin dan yang membutuhkan. Dengan zakat pula, konsep kesalingan dan tukar peran antar masyarakat bisa terwujud.

Ketiga, membersihkan diri dari sifat bakhil dan rakus. Zakat juga memiliki hikmah untuk membiasakan seseorang memiliki sifat mulia dan lapang dada karena mereka merayakan sebagian hartanya.

Seseorang yang menunaikan zakat juga berpartisipasi dalam meningkatkan ekonomi yang juga menjadi peran pemerintah.

Keempat, wujud bersyukur. Membayar zakat menjadi salah satu bentuk syukur kepada Allah atas harta yang dititipkan. Bersyukur artinya mentasarufkan rezeki sesuai dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah.

Demikian empat hikmah disyariatkannya zakat oleh Allah. Hikmah yang tidak hanya kembali pada diri sendiri tapi juga orang lain. Dari empat hikmah tersebut, kita memahami bahwa zakat merupakan ibadah bersifat individual karena sebagai pemenuhan kewajiban hamba kepada Allah yang tertuang dalam nash baik Alquran maupun hadis.

Zakat juga bersifat sosial karena memangkas kesenjangan ekonomi dalam suatu lingkup masyarakat.  Demikian penjelasan terkait empat hikmah disyariatkan zakat.

BINCANG SYARIAH