Kisah Fudhail bin Iyadh Ditegur Nabi Muhammad

Inilah kisah Fudhail bin Iyadh, yang ditegur Nabi sebab lupa melakukan sunnah wudhu. Beliau adalah seorang sufi besar pada era dinasti Abbasiyah. Yang kealimannya masyhur hingga hari ini. 

Sebagai hamba yang patuh terhadap tuannya, manusia selayaknya selalu menghiasi diri dengan kebaikan. Mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Di mana perintah dan larangan tersebut ada yang bersifat “jazm”, paten  dan tidak paten. Perintah paten oleh syariat dilabeli dengan hukum wajib sedang yang tidak memaksa tapi dianjurkan dilabeli dengan sunnah.

Namun, kriteria tersebut ternyata tidak berlaku untuk segelintir orang yang “istimewa”. Mereka tetap akan terkena teguran ketika mereka meninggalkan amalan sunnah, bahkan meski dilakukan dengan tidak disengaja. Banyak kisah yang dapat menceritakannya. 

Salah satunya ialah kisah ditegurnya Fudhail bin Iyadh, salah satu pembesar ulama era kesultanan Abbasiyah berikut ini. 

Nama lengkapnya ialah Fudhail bin Iyadh bin Mas’ud bin Bisyr Abu at-Tamimi al-Yarbu’i al-Khurasani. Ia lahir di kota Samarkand pada abad ke-2 Hijriah dan tumbuh di daerah Abiwarda. Ia hidup pada masa kesultanan Abbasiyah. 

Kisah hidupnya terhitung unik. Fudhail mulanya seorang penyamun yang beroperasi di jalan antara Abiwarda dan Sarkhas, sebelum kemudian ia bertaubat dan menjadi orang shalih, ahli ibadah bahkan sehingga ia menjadi ulama yang faqih. 

Fudhail bin Iyadh Ditegur Nabi Sebab Lupa Sunnah Wudhu

Kisah ini disarikan dari kitab “Irsyad al-Ibad” hal 88 karya Zainudin Ahmad bin Muhammad al-Ghazali al-Funnani al-Malibari.

Syahdan, dikisahkan dari Fudhail bin Iyadh bahwa suatu ketika ia pernah lupa meninggalkan salah satu sunnah wudhu dengan hanya membasuh tangan sebanyak dua kali. Setelah ia selesai melaksanakan shalat dan tidur pada malam itu, ia mimpi bertemu Nabi Muhammad Saw.

Nabi Saw berkata kepadanya: “Wahai Fudhail, saya heran terhadapmu, engkau mengaku umatku tapi engkau meninggalkan dalam wudhu salah satu sunnahku?”. Fudhail bangun seketika, karena mendapat teguran dari Nabi tersebut.

Ia kemudian memperbarui wudhunya dan sebagai ganti atau kafarat dari teguran Nabi tersebut ia berniat melaksanakan shalat sunnah lima ratus rakaat selama satu tahun.

Ada banyak hal yang dapat diambil dari laku kehidupan yang ia jalani. Termasuk kata-kata mutiara nasihat-nasihatnya yang baik. Berikut di antara kata-kata mutiara, nasihat-nasihat bijak Fudhail bin Iyadh yang disarikan dari kitab “Siyar a’lam an-Nubala” Juz VIII hal 426, karya Imam ad-Dzahabi:

قَالَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ الْأَشْعَثِ: سَمِعْتُ الْفُضَيْلِ يَقُوْلُ: رَهْبَةُ الْعَبْدِ مِنَ اللهِ عَلَى قَدْرِ عِلْمِهِ بِاللهِ, وَزَهَادَتُهُ فِي الدُّنْيَا عَلَى قَدْرِ رَغْبَتِهِ فِي الْأَخِرَةِ, مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ اسْتَغْنَى عَمَّا لَا يَعْلَمُ, وَمَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَفَّقَهُ اللهُ لِمَا لَا يَعْلَمُ, وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ شَانَ دِيْنَهُ وَحَسْبَهُ وَمُرُوْءَتَهُ.

Ibrahim bin al-Asy’ats berkata: aku pernah mendengar Fudhail berkata: “Ketakutan seorang hamba kepada Allah sesuai dengan kadar pengetahuannya terhadap Allah, kezuhudan seorang hamba terhadap dunia sesuai kadar cintanya terhadap akhirat. 

Barangsiapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui maka ia tidak butuh terhadap yang ia tidak ketahui, barangsiapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui maka Allah akan memberinya taufiq terhadap ilmu yang ia tidak ketahui, dan barangsiapa yang akhlaknya buruk maka ia telah menjatuhkan agama, keluarga dan wibawanya.”

وَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: أَكْذَبُ النَّاسِ الْعَائِدُ فِي ذَنْبِهِ, وَأَجْهَلُ النَّاسِ الْمُدِلُّ بِحَسَنَاتِهِ, وَأَعْلَمُ النَّاسِ بِاللهِ أَخْوَفُهُمْ مِنْهُ, لَنْ يَكْمُلَ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْثِرَ دِيْنَهُ عَلَى شَهْوَتَهُ, وَلَنْ يَهْلِكَ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْثِرَ شَهْوَتَهُ عَلَى دِيْنِهِ

Dan aku mendengarnya (Fudhail) berkata: “Orang yang paling bohong ialah ia yang mengulangi kembali dosa yang ia perbuat, orang yang paling bodoh ialah ia yang menunjukkan amal baiknya, orang yang paling alim ialah ia yang paling takut terhadap Allah.

Seorang hamba tidak akan sempurna sehingga ia lebih mendahulukan agamanya daripada syahwatnya, dan seorang hamba tidak akan hancur sehingga ia lebih mendahulukan syahwatnya daripada agamanya”.

Demikian kisah Fudhail bin Iyadh ditegur Nabi Muhammad sebab tak melaksanakan sunnah wudhu. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Bacaan Doa untuk Mendapatkan Malam Lailatul Qadar

Di dalam Qur’an Surat Al-Qadr ayat 2 dijelaskan, wama adraka ma lailatul qadar (dan tahukah kamu malam lailatul qadar itu?).

Wahyu Allah SWT tersebut ingin menegaskan bahwa betapa mulianya malam lailatul qadar dan hal itu dijelaskan oleh ayat-ayat selanjutnya dalam QS Al-Qadr tersebut.

Dikutip NU, penulis Kitab Tafsir Al-Misbah Prof Dr Muhammad Quraish Shihab (Membumikan Al-Qur’an, 1999) menjabarkan tentang potongan ayat wama adraka. Semua uraian Al-Qur’an yang dimulai dengan wama adraka menunjukkan bahwa sesuatu itu tidak terjangkau atau hampir tidak terjangkau oleh nalar manusia.

Lailatul qadar sedemikian agung sehingga tidak terjangkau oleh nalar manusia. Sebab itu datangnya malam lailatul qadar tidak seorang pun yang mengetahui tepatnya kapan. Selama ini umat Islam hanya membaca tanda-tanda malam yang menurut Al-Qur’an lebih baik dari 1.000 bulan ini.

Betapa mulianya malam lailatul qadar karena mampu membawa seorang hamba pada ketakwaan yang hakiki. Untuk bertemu dengan malam lailatul qadar, seorang hamba sesungguhnya bisa mempersiapkan diri sedari awal Ramadhan tiba. Ini menunjukkan bahwa kebaikan harus bersifat kontinu sebagaimana kemuliaan yang ditunjukkan pada malam lailatul qadar dan dampaknya terhadap kehidupan di masa-masa yang akan datang.

Quraish Shihab mengungkapkan amalan-amalan agar seorang hamba bisa bertemu malam tersebut. Namun, yang harus diperhatikan ialah selain bertemu malam lailatul qadar, manusia juga mendapatkannya sehingga amalan-amalan baik harus dilakukan untuk mendapatkan kemuliaan malam tersebut.

Melakukan kebaikan

1. Al-Qur’an menyatakan, bahwa dalam malam lailatul qadar, Malaikat turun (QS Al-Qadr: 4). Ketika Malaikat turun dan mengunjungi seseorang, Malaikat senang dengan kebaikan, melingkupi kebaikan apa saja. Malaikat mendukung manusia yang berbuat baik. Dengan demikian, melakukan kebaikan secara terus-menerus bisa mengantarkan manusia mendapatkan malam lailatul qadar.

Lalu kebaikan yang seperti apa?

Berbuat baik juga terkait dengan kesempatan dan waktu. Artinya, manusia jangan menunda kebaikan, apalagi ketika orang lain sangat membutuhkan bantuan dan kebaikan tersebut saat itu juga. Di situlah malam kemuliaan akan datang kepada manusia yang Malaikat juga turut datang kepadanya.

2. Di malam lailatul qadar ada kedamaian sampai fajar (QS Al-Qadr: 5).

Artinya, damai dengan diri dan damai dengan orang lain. Damai itu ada damai aktif dan ada damai pasif. Misal ketika manusia naik bus, banyak orang di bus, lalu hanya duduk diam, tidak menyapa samping kiri dan samping kanannya. Hal itu termasuk damai, tetapi damai pasif.

Lain halnya dengan damai aktif yaitu ketika saling menyapa atau memberi sesuatu kepada orang lain dengan tujuan yang baik. Hal ini juga berlaku bahwa ketika manusia tidak bisa memuji orang lain, tidak perlu memakinya. Kalau tidak bisa memberi sesuatu kepada orang lain, jangan lalu mengambil haknya. Begitu juga kalau tidak bisa membantunya, jangan menjerumuskannya. Ini prinsip kedamaian yang dapat mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin seperti dijelaskan QS Al-Qadr ayat 5.

Di saat itulah manusia mendapat malam kemuliaan, yaitu malam lailatul qadar. Wallahu ‘alam bisshawab. (Fathoni) Berikut QS Al-Qadr: 1-5

(1) إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan.

(2) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?

(3) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.

(4) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.

(5) سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

Amalan malam Lailatul Qadar

Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Adzkar menjelaskan ada beberapa amalan yang sangat dianjurkan di malam lailatul qadar. Ia menjelaskan:

روينا بالأسانيد الصحيحة في كتب الترمذي والنسائي وابن ماجه وغيرها عن عائشة رضي الله عنها قالتْ: قلتُ: يارسول اللَّه إن علمتُ ليلة القدر ما أقول فيها؟ قال: ” قُولي: اللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فاعْفُ عَنِّي قال أصحابَنا رحمهم الله: يُستحبّ أن يُكثِر فيها من هذا الدعاء، ويُستحبّ قراءةُ القرآن وسائر الأذكار والدعوات المستحبة في المواطن الشريفة…..قال الشافعي رحمه الله: أستحبّ أن يكون اجتهادُه في يومها كاجتهاده في ليلتها، هذا نصّه، ويستحبّ أن يُكثرَ فيها من الدعوات بمهمات المسلمين، فهذا شعار الصالحين وعباد الله العارفين.

Artinya, “Kami riwayatkan dari sanad yang shahih dalam kitab al-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lain-lain bahwa Aisyah pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, andaikan aku mengetahui lailatul qadar, apa yang bagus aku baca?’

Rasulullah menjawab, ‘Bacalah Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni’

(Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, menyukai orang yang minta ampunan, ampunilah aku).’ Ulama kami berkata, disunahkan memperbanyak baca doa ini, baca Al-Qur’an, zikir, dan doa-doa yang disunahkan pada tempat atau waktu yang mulia….

Meskipun kita tidak tahu secara pasti kapan datangnya lailatul qadar, yang penting amalan ini dilakukan selama bulan Ramadhan, khususnya sepuluh terakhir Ramadhan.

Dianjurkan juga memperbanyak baca Al-Qur’an, zikir, dan doa-doa yang bermanfaat untuk umat Islam. Dalam pandangan Imam As-Syafi’i, amalan ini sebaiknya tidak hanya dilakukan di malam hari saja, tapi juga diperbanyak siang hari. Pasalnya, ia sendiri sangat menyukai melakukan amalan ini di siang hari, sebagaimana kesungguhannya di malam hari.

LIPUTAN6

Fatwa Ulama: Hukum dan Tata Cara Iktikaf

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan

Apakah hukum iktikaf? Apakah diperbolehkan bagi mu’takif (orang yang melaksanakan iktikaf) untuk buang air, makan, dan sejenisnya, atau keluar untuk berobat? Dan apa sunah-sunah iktikaf? Bagaimana tata cara iktikaf dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam?

Jawaban

Iktikaf adalah menetap di masjid untuk menyendiri mendirikan ibadah (ketaatan) kepada Allah Ta’ala. Iktikaf disunahkan dalam rangka mencari Lailatulqadar. Allah Ta’ala mengisyaratkan hal itu dalam Al-Qur’an di dalam firman-Nya,

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf di dalam masjid” (QS. Al-Baqarah: 187).

Terdapat dalil sahih di Ash-Shahihain dan selain kedua kitab hadis tersebut bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beriktikaf dan para sahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum beriktikaf bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam (HR. Bukhari no. 2036). Sehingga iktikaf tetap disyariatkan (sepeninggal beliau), dan tidak dihapus hukumnya (tidak di-naskh, pent.).

Dalam Ash-Shahihain, dari ibunda ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beriktikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau beriktikaf setelah kepergian beliau” (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172).

Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam iktikaf di sepuluh malam pertama bulan Ramadan, kemudian iktikaf di sepuluh malam pertengahan Ramadan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنِّي اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ، أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ، ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ، ثُمَّ أُتِيتُ، فَقِيلَ لِي: إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ

Aku telah iktikaf sejak sepuluh awal bulan untuk mendapatkan Lailatulqadar, kemudian sepuluh yang pertengahan. Kemudian dikatakan kepadaku bahwa Lailatulqadar itu terdapat pada sepuluh akhir Ramadan. Karena itu, siapa yang ingin iktikaf, iktikaflah.’

Maka para sahabat pun ikut iktikaf bersama-sama dengan beliau” (HR. Muslim no. 1167).

Sehingga para sahabat pun iktikaf bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad Rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui satu pun dari para ulama yang berbeda pendapat bahwa hukum iktikaf adalah sunah.”

Berdasarkan perkataan beliau Rahimahullah ini, maka hukum iktikaf adalah sunah, dan ini berdasarkan dalil nash (Al-Qur’an dan As-Sunah) dan ijmak.

Adapun tempat iktikaf adalah di masjid, yaitu yang di dalamnya didirikan salat berjemaah di negeri mana pun. Hal ini berdasarkan cakupan makna umum dari firman Allah Ta’ala,

وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“ … sedang kamu beriktikaf di dalam masjid.

Yang lebih utama adalah di masjid yang di dalamnya didirikan salat Jumat, supaya tidak perlu keluar masjid ketika waktu salat Jumat tiba. Akan tetapi, jika iktikaf di masjid yang tidak didirikan salat Jumat, tidak mengapa datang lebih awal untuk salat Jumat (di masjid lain, pent.).

Hendaknya seorang mu’takif menyibukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, berupa salat, membaca Al-Qur’an, dan berzikir kepada Allah Ta’ala karena inilah yang menjadi tujuan dari iktikaf. Diperbolehkan untuk sesekali bercakap-cakap dengan temannya yang lain, terlebih lagi jika ada faedah di dalamnya. Diharamkan bagi mu’takif untuk jimak (berhubungan badan, pent.) dan awalan dari jimak.

Adapun keluar dari masjid, maka para ulama fikih membagi dalam tiga jenis:

Pertama, diperbolehkan keluar karena perkara-perkara yang harus dikerjakan, baik secara syar’i maupun tabiat (sebagai manusia). Misalnya, keluar menuju salat Jumat (jika dia iktikaf di masjid yang tidak didirikan salat Jumat, pent.), makan, minum (jika tidak ada yang membawakan makan minum untuknya), keluar masjid untuk berwudu, mandi wajib, atau buang hajat, baik buang air kecil atau buang air besar.

Kedua, keluar masjid untuk melakukan ketaatan yang tidak wajib baginya. Misalnya, menjenguk orang sakit atau menyaksikan pemakaman jenazah. Jika dia mensyaratkan hal itu ketika memulai iktikaf, maka diperbolehkan. Jika tidak, maka tidak boleh.

Ketiga, keluar untuk perkara yang bertentangan dengan tujuan iktikaf. Misalnya, pulang ke rumah, jual beli, jimak dengan istri, dan semacamnya. Hal itu tidak diperbolehkan, baik dengan syarat atau tanpa syarat.

Wallahul muwaffiq.

***

@Rumah Kasongan, 21 Ramadan 1443/ 23 April 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/74858-fatwa-ulama-hukum-dan-tatacara-iktikaf.html

Berikut Inilah Waktu Melakukan I’tikaf

Berikut inilah waktu melakukan i’tikaf. Terlebih dalam 10 hari terkahir Ramadhan. Animo masyarakat tinggi untuk melaksanakan i’tikaf.  Pasalnya, guna meningkatkan ibadah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah i’tikaf adalah salah satu upaya menjalaninya.

Selain itu, ini adalah salah satu ikhtiyar menggapai malam lailatul qadar. I’tikaf dilakukan di dalam masjid dengan diisi sholat, membaca Alquran, dan membaca zikir. Bagaimana mengenai waktunya? Adakah batasan waktu melakukan i’tikaf? Apakah sehari, semalam, atau berapa lamanya?

Batasan waktu dalam melakukan i’tikaf ternyata memiliki ragam pendapat. Setiap ulama mazhab memiliki pendapatnya karena perbedaan atsar yang dijadikan hujjah. Dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Zuhaili menampilkan keempat pandangan ulama mazhab utama panutan muslim dunia.

Ulama Mazhab Hanafi menyebutkan bahwa waktu mengerjakan i’tikaf tidak ada batas waktunya. Asal sudah berniat melakukan i’tikaf dan menetap sejenak di masjid sudah dianggap i’tikaf.

Ibadah apapun, berapapun lamanya, sudah dianggap i’tikaf. Mereka pun tidak mensyaratkan puasa untuk melakukan i’tikaf. Jika merujuk pada dalil ini, itu artinya tiap kali kita memasuk masjid maka bisa diniati untuk melakukan i’tikaf.

Tidak jauh berbeda dengan ulama Mazhab Hanafi, ulama Mazhab Syafi’i tidak mensyaratkan bermalam untuk melakukan i’tikaf. Asal waktunya melebihi kadar tuma`ninah pada ruku dan sujd, itu sudah cukup untuk melakukan i’tikaf.

Hal yang berbeda adalah ulama Mazhab Syafi’i tidak mewajibkan puasaBeda halnya dengan ulama Mazhab Maliki yang mewajibkan sehari semalam dalam beri’itikaf. Atau bisa dilakukan berapapun lamanya tapi tidak kurang 10 hari baik pada bulan Ramadhan atau tidak.

Dan ulama Mazhab Maliki mensyaratkan puasa untuk melakukan i’tikaf. Artinya dalam pandangan ulama mazhab ini, i’tikaf tidak sah bagi orang yang tidak berpuasa pada siang harinya.

Adapun pada Mazhab Hanbali, waktu melaksanakan i’tikaf paling sebentar adalah sepanjang waktu ia dianggap menetap, walau sebentar. Maka ulama mayoritas bersepakat untuk menetapkan waktu i’tikaf baik pada bulan Ramadhan atau di luarnya adalah sebentar, selama ia berniat dan menetap di masjid. Hanya Mazhab Maliki yang menetapkan minimal melakukan sehari semalam.

Hal yang membuat pendapat ulama menjadi berbeda adalah pemahaman mereka terhadap hadis Rasulullah. Hadis itu berbunyi:

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Manshur] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Yahya bin Sa’id Al Qaththan] dari [Ubaidullah bin Umar] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar] dari [Umar] ia berkata,

“Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, pada masa Jahilliyah aku pernah bernadzar untuk beriktikaf di masjidil haram selama satu malam?” beliau menjawab: “Laksanakanlah nadzarmu.” Ia berkata; “Dalam bab ini hadits serupa diriwayatkan dari Abdullah bin Amru dan Ibnu Abbas.” Abu Isa berkata; “Hadits Umar derajatnya hasan shahih.

Beberapa ulama menafsirkan berbeda. Mereka memaknai hadis tersebut adalah batasan dari Rasulullah dalam melaksanakan i’tikaf. Atau mengqiyaskan tidak ada batasannya karena Umar mewajibkan dirinya melaksanakan i’tikaf semalam dengan nazar, dan nazar wajib dilaksanakan.

Adapun sebagian ulama mengartikan dari hadis ini bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktunya.

Maka dapat disimpulkan, jika mengikuti pendapat ulama mayoritas bahwa i’tikaf bisa dilakukan pada waktu kapanpun, berapapun lamanya tanpa diikuti dengan berpuasa. Memulainya dengan niat dan melakukan ibadah sebentar saja sudah dianggap i’tikaf.

BINCANG SYARIAH

Mau I’tikaf? Inilah yang Harus Dilakukan Saat I’tikaf

Pada 10 malam terakhir Ramadhan, banyak orang yang melaksanakan i’tikaf di masjid. Ada yang melakukan di tengah malam sampai menjelang subuh. Ada juga di tengah hari. Nah berikut penjelasan mau i’tikaf? inilah yang harus dilakukan saat i’tikaf.

Masih tersisa beberapa hari lagi untuk menghabiskan bulan Ramadhan dengan beri’tikaf. Hal-hal yang semestinya kita pahami adalah apa saja yang harus dilakukan saat i’tikaf. Tentunya di dalamnya kita beribadah, shalat, membaca Al-Qur’an, dan membaca zikir.

Syekh Wahbah Zuhaili mencatatnya dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, terkait pelbagai hal yang harus dilakukan saat i’tikaf.  Pertama, para ulama fikih sepakat bahwa orang yang sedang i’tikaf untuk menetap di dalam masjid. Inilah yang harus dilakukan dalam i’tikaf.

Pasalnya, berdiam diri di masjid salah satu rukun dari i’tikaf adalah menetap di dalam masjid dan tidak keluar dari masjid kecuali uzur syar’i atau darurat.

Kedua, perbanyaklah shalat, membaca Alqur’an, dan zikir dengan membaca tahlil dan istighfar. Selain itu, saat i’tikaf  perbanyak juga membaca shalawat kepada Nabi serta merenungi penciptaan alam semesta serta hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup.

Ketiga, sibukkanlah diri dengan membaca tafsir alquran, hadis, kisah-kisah Nabi dan cerita orang-orang shaleh. Sebab ibadah tak sebatas shalat, membaca zikir, dan puasa, tapi juga mempelajari ilmu adalah ibadah terutama ilmu-ilmu agama.

Karena tujuan dari melakukan i’tikaf adalah menjernihkan hati, mendekatkan diri kepada Allah, serta rehat dari kesibukan dunia. Tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan pahala semata, tapi juga untuk membersihkan hati dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Disunnahkan juga saat melakukan i’tikaf untuk berpuasa menurut mayoritas ulama. Karena saat berpuasa, nafsu lebih terkendali dan jiwa lebih bersih. Begitu juga disunnahkan melakukan i’tikaf di masjid yang di dalamnya dilaksanakan shalat jumat.

I’tikaf Terbaik di Ramadhan

Ibadah i’tikaf boleh dilakukan kapanpun, tapi waktu yang paling utama adalah bulan Ramadhan. Sebab Ramadhan adalah bulan yang utama, apalagi pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Di dalamnya tersimpan rahasia malam lailatul qadr dan beruntunglah yang mendapatkannya. Karena lailatul qadr nilai pahalanya setara dengan seribu bulan bahkan lebih baik.

Kesunnahan melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan berdasarkan hadis Nabi riwayat Sayyidah Aisyah:

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَأ  قَالَتْ: كَانَ رسُول اللَّهِ ﷺ: إِذا دَخَلَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ مِنْ رمَضَانَ، أَحْيا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَه، وجَدَّ وَشَدَّ المِئزرَ متفقٌ عَلَيهِ.

Artinya: Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, berkata: “Rasulullah s.a.w. itu apabila telah masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, maka beliau menghidup-hidupkan malamnya -yakni melakukan ibadah pada malam harinya itu-, juga membangunkan istrinya, bersungguh-sungguh -dalam beribadah- dan mengeraskan ikat pinggangnya -maksudnya adalah sebagai kata kinayah menjauhi berkumpul dengan istri-istrinya-.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan disunnahkan juga untuk beri’tikaf pada malam idul fitri. Karena salah satu kesunnahan saat malam lebaran adalah menghidup-hidupkannya dengan berzikir dan beribadah. Berdasarkan hadis:

عن أبي أمامة رضي الله عنه عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: (مَنْ قَامَ لَيْلَتَيِ الْعِيدَيْنِ مُحْتَسِبًا لِلَّهِ , لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ)

Artinya: Dari Abi Umamah R.a dari Nabi Saw bersabda, : barang siapa yang menghidupkan dua malam hari raya (idul fitri dan idul adha) maka hatinya tidak mati sampai hari di mana hati dimatikan. (HR. Ibnu Majah)

Bahkan diperkuat dengan hadis yang semakna riwayat at-Thabrani:

عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (من صلَّى ليلة الفطر والأضحى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ).

Artinya: Dari ‘Ibadah bin as-Shamit R.a bahwa Nabi Saw bersabda, “barang siapa yang shalat pada malam idul fitri dan idul adha maka tidak akan mati hatinya pada hari di mana hati dimatikan.

Meski Imam Nawawi dalam al-Majmu’ megomentari bahwa kedua hadis ini bersanad lemah, para ulama tetap mengamalkannya sebab berkaitan dengan Fada`il a’mal, keutamaan amal.

Orang yang sedang i’tikaf pun dilarang berkata-kata yang buruk, berbuat yang buruk. Dilarang juga bertengkar dan melakukan perbuatan keji. I’tikaf memang tidak jadi batal karena melakukan hal-hal tersebut, tapi makruh melakukan perbuatan yang sia-sia itu.

Demikian beberapa hal yang bisa dilakukan saat melakukan i’tikaf. Semoga apa yang kita upayakan untuk mendapatkan ridha Allah, hati yang jernih, dan menuju Allah senantiasa dimudahkan dan diterima oleh Allah. Aamiin.

BINCANG SYARIAH

Anjuran I’tikaf di 10 Hari Terakhir Bulan Ramadhan

Inilah penjelasan anjuran i’tikaf di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Kendati puasa semakin terasa berat, tapi di situlah letak kemenangan setiap muslim.

Selain itu, Allah menjanjikan malam Lailatul Qadr pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan yang tak diketahui secara pasti kedatangannya. Setiap hamba dijanjikan pahala setara 1000 bulan lamanya atau setara dengan sekitar 83 tahun. Maka dari itu, terdapat anjuran i’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Jika ditinjau, i’tikaf bermakna “al-Labts” yang berarti menetap baik selama menetap itu berbuat baik atau buruk. Makna tersebut diambil dari asal katanya yaitu huruf ‘ain, kaf, fa`. Dan diambil dari Alquran pada surat al-A’raf ayat 138:

وَجَاوَزْنَا بِبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ الْبَحْرَ فَاَتَوْا عَلٰى قَوْمٍ يَّعْكُفُوْنَ عَلٰٓى اَصْنَامٍ لَّهُمْ ۚقَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗقَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ

Artinya: Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu (bagian utara dari Laut Merah). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata,

“Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.”

Ya’kufu bermakna “tetap”. Kemudian makna tersebut disempitkan dalam istilah terminologi yang lahir dari para ulama fikih. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan i’tikaf sebagai berdiam diri dalam masjid yang dibangun untuk shalat jama’ah, yang harus dibarengi dengan niat menyengaja i’tikaf.

Adapun syarat puasa dalam i’tikaf hanya berlaku untuk i’tikaf yang dinazari dan bersifat wajib. Dalam hal ini Syekh Wahbah Zuhaili dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu mengkhususkan perempuan untuk shalat di rumah, di tempat yang dikhususkan untuk shalat. Baginya, perempuan makruh untuk shalat atau i’tikaf di masjid. Sedangkan laki-laki diutamakan melakukan i’tikaf di masjid.

Sedangkan ulama Mazhab Maliki mewajibkan puasa baik itu puasa sunnah atau puasa wajib pada bulan Ramadhan dalam menjalani i’tikaf. I’tikaf paling sedikit dilakukan selama sehari semalam dan tidak ada batasan maksimal waktunya. Begitu juga seperti ibadah lain, i’tikaf harus disertai niat.

Adapun ulama Mazhab Syafi’i hanya mendefinisikan sebatas sebuah ibadah dengan berdiam diri di masjid disertai niat. Tanpa diwajibkan puasa baik wajib maupun sunnah.

Selebihnya, Ulama Mazhab Hanbali mendefinisikan i’tikaf dengan berdiam di masjid dalam bentuk ketaatan kepada Allah yang dilakukan oleh muslim yang tamyiz, berakal, suci dari hadas dan durasi paling sedikit adalah satu jam.

Ibadah i’tikaf disebutkan oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 187:

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

Artinya: Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.

Ayat tersebut mendeskripsikan bahwa masjid adalah tempat yang dikhsusukan untuk ibadah. Oleh karena itu dilarang melakukan hubungan seksual saat beri’tikaf. Dan ayat ini menunjukkan salah satu syarat i’tikaf adalah sepenuhnya melakukan ibadah di dalamnya.

Adapun dalil hadisnya adalah pada apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. yaitu hadis dari istri Rasulullah, Aisyah R.a yang tercatat dalam shahih Bukhari:

 أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأوَاخِرَ مِن رَمَضَانَ حتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أزْوَاجُهُ مِن بَعْدِهِ

Artinya: Sesungguhnya Nabi Saw melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya, kemudian istri-istrinya pun melakukannya setelah Nabi Muhammad wafat. (HR. Bukhari)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad memperbanyak ibadah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan dengan i’tikaf. Ibadah tersebut kemudian diteruskan oleh istri-istrinya.

Demikian keterangan anjuran i’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan karena Nabi juga melakukannya begitu juga istri-istrinya. Semoga kita semua dikuatkan untuk menjalani ibadah i’tikaf di 10 hari terakhir.

BINCANG SYARIAH

Allah Tidak Akan Melupakan Orang yang Berpuasa

BANYAK sekali keistimewaan yang akan didapat oleh orang yang berpuasa –baik di dalam dan di luar Ramadhan– yang didasari keimanan dan harapan kepada Allah, misalnya: diampuni dosanya yang telah lalu, mendapat pahala khusus yang hanya Allah yang mengetahuinya, mendapatkan surga dan masih banyak lainnya. Keistimewaan itu menunjukkan bahwa Allah tidak akan melupakan orang-orang yang berpuasa. Mereka berada dalam lindungan dan penjagaan Allah. 

Dalam kitab “Hilyatul-Auliyā”, Abu Nu’aim Al-Ashbahani meriwayatkan sebuah kisah menarik terkait seorang bernama Syibl yang tidak dilupakan oleh Allah karena puasa yang ditunaikannya. Suatu hari, ia sangat menginginkan makan daging. Diambillah sebuah daging kemudian akan dia bawa ke rumah untuk dimasak.

Sayangnya, dia harus gigit jari (kecewa), karena yang diharapkannya tidak terwujud karena saat perjalanan ke rumah dagingnya tiba-tiba disambar burung rajawali. Setelah dagingnya dirampas, Syibl memutuskan untuk pergi ke masjid dan berniat puasa.

Mungkin dia ingin segera melupakan keinginannya dan ingin lebih dekat kepada Allah Ta’ala dengan melakukan ibadah di masjid.

Pada saat yang lain, rupanya burung rajawali yang telah merampas daging Syibl tadi sedang berebut dengan burung rajawali lainnya tepat di atas rumah Syibl. Tanpa disangka, akibat perebutan itu, daging pun jatuh ke pangkuan istri Syibl. Kemudian ia berinisiatif untuk segera memasaknya.

Saat Syibl pulang hendak berbuka puasa, betapa herannya dia karena di meja makan telah disediakan masakan berupa daging. Kemudian ia bertanya, “Dari mana kamu mendapatkan daging ini?” Lantas istrinya menceritakan secara detail dari mana asal mula mendapat daging. Yaitu didapat dari daging yang diperebutkan dua burung rajawali yang sedang berada di atas rumah Syibl.

Seketika itu juga Syibl berkaca-kaca matanya. Beliau menangis sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak pernah melupakan Syibl, meski Syibl melupakan-Nya.”

Diksi yang disampaikan Syibl ini sangatlah menarik. Memang benar adanya. Allah tidak akan melupakan hambanya yang berpuasa.

Saat daging Syibl dirampas burung rajawali, dia mungkin sudah kehilangan harapan untuk menikmatinya. Pada waktu itu mungkin dia tidak menyadari bahwa Allah Mahakuasa dan Maha Pemberi Rezeki.

Sehingga hal ini terkesan dirinya seolah-olah melupakan Allah. Namun, langkanya untuk pergi ke masjid dan berniat puasa sudah sangat tepat. Sehingga, terjadilah apa yang terjadi.

Justru dengan berpuasa dan fokus ibadah di masjid, adalah bentuk keinsafan Syibl agar tidak melupakan Allah. Allah pun membalasnya dengan hal-hal yang tidak pernah ia sangka sebelumnya.

Orang berpuasa itu pasti ingat Allah. Walau dia berada dalam keramaian atau di tempat yang sepi, dia akan tetap puasa. Sebab, yang dilihat adalah pengawasan Allah; bukan karena manusia. Maka tidak mengherankan, sekali lagi, kalau mereka mendapat banyak keutamaan dari Allah.

Di antara keutamaannya dalam hadits Nabi, orang-orang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan:

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

“Dan untuk orang yang shaum akan mendapatkan dua kegembiraan yang dia akan bergembira dengan keduanya, yaitu apabila berbuka dia bergembira dan apabila berjumpa dengan Rabnya dia bergembira disebabkan ibadah shaumnya itu.” (HR. Bukhari)

 Pertama, ia gembira karena telah menjalankan puasa dan bisa berbuka. Kedua, kegembiraan itu berlanjut hingga di akhirat yaitu saat bertemu Allah dia bangga dengan amal puasanya. Orang yang demikian tidak akan dilupakan oleh Allah.

Kalau dilihat dari surah Al-Jatsiyah ayat 34, di antara sebab orang dilupakan Allah di akhirat kelak adalah:

وَقِيلَ الْيَوْمَ نَنسَاكُمْ كَمَا نَسِيتُمْ لِقَاء يَوْمِكُمْ هَذَا وَمَأْوَاكُمْ النَّارُ وَمَا لَكُم مِّن نَّاصِرِينَ

“Dan dikatakan (kepada mereka): ‘Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak memperoleh penolong’.”

Dalam tafsir Al-Jalalain diterangkan demikian makna ayat ini, “(Dan dikatakan kepada mereka, “Pada hari ini Kami melupakan kalian) Kami membiarkan kalian berada di dalam neraka (sebagaimana kalian telah melupakan pertemuan dengan hari kalian ini) yaitu kalian tidak mau beramal sebagai bekal untuk menghadapinya (dan tempat tinggal kalian ialah neraka dan kalian sekali-kali tidak memperoleh penolong”) yang dapat mencegah diri kalian dari azab neraka.”

Di sini didapati fakta penting bahwa penyebab orang-orang dilupakan Allah karena mereka melupakan pertemuan dengan Allah di akhirat atau mereka tidak percaya akhirat. Di sampung itu, mereka juga tidak menyiapkan amal shalih sebagai bekal untuk menuju akhirat. Maka sangat pantas jika mereka kemudian dilupakan oleh Allah.

Sedangkan orang berpuasa. Selagi dijalankan dengan iman dan ikhlas, maka dia sedang menyiapkan bekal menuju akhirat. Dan ketika mereka kelak di akhirat, akan sangat bergembira sebab bisa bertemu dengan amal puasanya saat di dunia. Dari sudut pandang ini, maka apa yang dialami Syibl dengan puasanya tadi menegaskan bahwa Allah tidak akan melupakan orang-orang yang berpuasa.

Menariknya, di dalam Al-Qur`an dalam al-Qur`an, orang-orang berpuasa baik dari laki-laki atau perempuan disandingkan dengan orang-orang yang mengingat Allah. Dan kelak di akhirat mereka mendapat ampunan dan ganjaran yang besar.

“Laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab [33]: 35).

Ini menunjukkan bahwa orang yang berpuasa tidak akan dilupakan oleh Allah. Ketika ada masalah, Allah pasti akan membantunya. */Mahmud B Setiawan

HIDAYATULLAH

3 Tanda Amal Diterima Sesudah Ramadhan

Di antara tanda amal nya diterima bagi seseorang sesudah berlalunya bulan Ramadhan adalah keistiqamahan dalam beramal shalih

DI ANTARA doa yang sudah masyhur di kalangan umat Islam dan biasa diulang-ulang oleh khatib dalam mimbar Jum’at adalah:

اَللّٰهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

Allahumma taqobbal Minna innaka antas sami’ul Alim watub Alaina innaka antat tawwabur Rohim

“Ya Allah, terimalah dari (amal-amal) kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui; dan terimalah tobat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat dan Maha Penyayang.”

Doa ini menunjukkan bahwa setiap mukmin sejatinya ingin amalnya diterima. Terlebih yang telah diamalkannya selama bulan Ramadhan. Lalu, bagaimana cara mengetahui amal diterima?

Dalam bulan Ramadhan di antara keutamaan besar yang dijanjikan Allah di dalamnya adalah ketika seseorang berpuasa dan shalat malam karena iman dan mengharap ridha Allah, maka disediakan baginya ampunan untuk dosa-dosanya yang lalu.

Sebagaimana hadits berikut:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)

Dalam hadits lain diungkapkan;

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”  (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka, ampunan ini merupakan salah satu tanda amal diterima di bulan Ramadhan. Dengan ungkapan lain, Ramadhan bisa dikatakan sukses ketika keluar bulan Ramadhan, mukmin mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala.

Maka tidak heran jika Nabi, suatu ketika bersabda,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ

“Nabi bersabda: Celakalah seseorang, aku disebut-sebut di depannya dan ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku. dan celakalah seseorang, Bulan Ramadhan menemuinya kemudian keluar sebelum ia mendapatkan ampunan, dan celakalah seseorang yang kedua orang tuanya berusia lanjut namun kedua orangtuanya tidak dapat memasukkannya ke dalam Surga (karena kebaktiannya).” (HR. Tirmidzi).

Tanda diterimanya amal Ramadhan

فَإِنَّ اللهَ إِذَا تَقَبَّلَ عَمَلَ عَبْدٍ وَفَّقَهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ بَعْدَهُ

“Sesungguhnya, jika Allah menerima amal seorang hamba, (maka) dia diberi taufiq untuk (melakukan) amal shalih setelahnya.”

Sebagai contoh adalah puasa. Puasa sebulan penuh bulan Ramadhan berlanjut pada puasa-puasa sunnah yang dikerjakan setelah Ramadhan.

Misalnya, puasa 6 hari pada bulan Syawal, Senin dan Kamis, Puasa Daud, Ayyāmul-Bīdh dan lain sebagainya. Intinya, amal puasa tetap dijalankan secara istiqamah di luar bulan Ramadhan.

Senada dengan makna ini, Ibnu Rajab juga mengutarakan perkataan salafush-shālih (ulama shalih terdahulu): “Pahala kebaikan adalah kebaikan (yang dikerjakan) setelahnya. Maka barangsiapa yang melakukan kebaikan kemudian diikuti dengan kebaikan, maka itu tanda bahwa kebaikan pertamanya diterima. Sebagaimana juga, orang yang telah mengamalkan kebaikan kemudian diikuti dengan keburukan (amal jelek) maka itu tanda bahwa kebaikan (pertamanya) ditolak.”

Begitu juga dengan membaca Al-Qur`an. Ibadah yang mulia ini bukan hanya dilakukan saat Ramadhan saja. Pada bulan-bulan berikutnya juga terus dibaca bahkan ditadabburi maknanya. Nabi pernah berpesan terhadap orang yang menanyakan amal yang paling dicintai oleh Allah:

«الحَالُّ المُرْتَحِلُ» . قَالَ: وَمَا الحَالُّ المُرْتَحِلُ؟ قَالَ: «الَّذِي يَضْرِبُ مِنْ أَوَّلِ القُرْآنِ إِلَى آخِرِهِ كُلَّمَا حَلَّ ارْتَحَلَ»

“AL-HALLU dan AL MURTAHILU.” Dia bertanya: “Apakah yang dimaksud AL- HALLU dan AL MURTAHILU?” beliau menjawab: “Yaitu orang yang terus menerus menyambung (selalu mengkhatamkan) dari awal Al-Qur`an sampai akhir, seusai (menghatamkan Al Qur’an), dia memulainya lagi.” (HR. Tirmidzi).

Artinya, setelah khatam terus membaca lagi dari awal hingga khatam lagi dan seterusnya. Ada kesinambungan amal dalam membacanya.

Apalagi jika amal shalih ini bisa kontinu hingga akhir hayat. Maka orang demikian disebut Nabi sebagai orang yang dikehendaki Allah mendapat kebaikan. Simak sabda beliau berikut ini:

«إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ» فَقِيلَ: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ المَوْتِ»

“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan menggunakannya.” Lalu ditanyakanlah pada beliau, “Bagaimanakah Allah menggunakannya wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Dia akan memberinya taufiq untuk beramal shalih sebelum dijemput kematian.” (HR. Tirmidzi)

Tanda lain yang bisa disebutkan dalam tulisan ini terkait diterimanya ibadah seseorang sesudah Ramadhan adalah rasa syukur kepada Allah yang tidak hanya terucap pada lisan, terpatri pada hati, bahka dimanifestasikan dalam perbuatan. Sebagai contoh di sini adalah shalat malam.

Ibadah ini yang biasa disebut juga shalat Tarawih saat bulan Ramadhan, juga perlu dijaga kedawamannya di bulan lainnya sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah.

Suatu ketika, A’isyah melihat Nabi shalat malam hingga kakinya bengkak. Maka istri tercintanya itu bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa Anda melakukan ini padahal Allah telah mengampuni dosa Anda yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau bersabda: “Apakah aku tidak suka jika menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari).

Perhatikan, bukan berarti ketika dosa-dosa yang telah lalu terampuni kemudian membuat diri berdiam saja tanpa melakukan ibadah. Justru Nabi ﷺ malah giat shalat malam, hingga kakinya bengkak.

Ketika ditanya alasannya, ternyata itu sebagai wujud rasa syukur beliau kepada Allah.

Ketika Wahab bin Al-Warad Rahimahullah ditanya tentang pahala dari suatu amal seperti thawaf dan semisalnya, maka respon beliau sangat menarik untuk diperhatikan. Katanya, “Janganlah kalian bertanya tentang pahalanya, tapi tanyakanlah apa yang dikerjakan oleh orang yang sudah diberi taufik untuk beramal, berupa rasa syukur karena telah diberi taufik dan pertolongan dalam melakukannya.”

Ini berarti ada hal lebih penting setelah diberi taufik untuk beramal, yaitu rasa syukur kepada Allah yang dimanifestasikan dalam amalan-amalan shalih selanjutnya yang berkesinambungan.

Jadi, jika ingin tahu apa amal ibadah dibulan Ramadhan diterima oleh Allah, maka lihatlah 3 tanda ini: Pertama, mendapat ampunan Allah. Kedua, istiqamah beramal di bulan lainnya. Ketiga, melahirkan rasa syukur kepada Allah yang termanifestasi dalam amal shalih yang berkelanjutan.*/ Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Kisah Penggali Kubur dan Khalifah Abdul Malik

Inilah kisah penggali kubur dan khalifah Abdul Malik bin Marwan. Syahdan, seorang pemuda yang berprofesi sebagai penggali kubur datang kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan, pemuda itu datang dalam keadaan sedih dan menangis.

Si pemuda berkata kepada kepada Abdul Malik bin Marwan, “Wahai Abdul Malik bin Marwan aku melakukan dosa yang sangat besar, apakah masih ada pintu taubat bagiku?

Abdul Malik bin Marwan berkata: “Dosa apa yang kamu lakukan? Pemuda itu menjawab, dosa yang sangat besar!  Abdul Malik bin Marwan menimpalinya, “Bertaubatlah kepada Allah karena Allah maha menerima taubat”.

Si pemuda berkata: “Wahai Abdul Malik bin Marwan aku pernah menggali  beberapa kuburan, dan aku melihat sesuatu yang ajaib, Abdul Malik bin Marwan berkata: “Apa yang kamu lihat? Si pemuda menceritakan keajaiban itu.

Pertama, aku pernah menggali kubur seseorang, ketika itu aku melihat mayat yang tidak meghadap ke kiblat, dan aku berusaha untuk menghadapkannya ke arah kiblat, ketika aku hendak keluar dari kuburan, tiba-tiba ada suara dari dalam kuburan;

 ” Engkau jangan bertanya kenapa mayat itu tidak menghadap kiblat” Aku bertanya kenapa mayat ini berpaling dari kiblat? Suara misterius itu menjawabnya, “karena mayat itu melalaikan kewajiban sholat”.  

Kedua, aku menggali kuburan yang lain, aku melihat mayat yang berubah wajahnya, wajah si mayat menyerupai khimar, badannya dipenuhi ikatan rantai besi, dan lehernya dibelenggu dengan rantai besi yang sangat kuat. Aku berusa untuk melepaskan lilitan rantai itu, ketika aku hendak keluar dari dalam kubur, tiba-tiba ada suara dari dalam kubur;

“Engkau jangan bertanya amal apa yang diperbuat oleh mayat itu, dan kenapa mayat itu disiksa” Aku  bertanya kenapa mayat ini disiksa seperti itu? Suara misterius itu menjawabnya, “Mayat itu disiksa karena dimasa hidupnya ia gemar minum-minuman keras dan ia tidak sempat untuk bertaubat. 

Ketiga, aku menggali kubur dan menemukan mayat yang diikat ke tanah dengan tali api dan dia mengeluarkan lidahnya dari punggungnya. Ketika aku hendak keluar dari kuburan itu ada suara yang memanggilku “Jangan engkau bertanya kenapa mayat itu diberi cobaan seperti itu” Aku bertanya Mengapa? 

Ia menjawab, “Mayat itu tidak berhati-hati dengan air seni, dan ia menyebarkan percakapan diantara orang-orang, itulah balasan baginya”

Keempat, aku menggali kuburan dan menemukan mayat yang terbakar, ketika aku ingin keluar dari kuburan itu, tiba-tiba ada suara yang menyatakan, “Kenapa kamu tidak bertanya tentang mayat itu”.

Lalu aku bertanya kenapa dengan mayat itu? Suara itu menjawab, “Ia adalah orang yang meninggalkan sholat lima waktu”.

Kelima,aku menggali kubur dan aku melihat kubur itu luas sekali, seluas mata memandang, dan ada cahaya yang meneranginya, mayatnya tidur di atas ranjang dengan pakaian yang sangat bagus. Ketika aku hendak keluar dari kuburan ada suara yang menyatakan; 

” Kenapa kamu tidak bertanya kenapa mayat itu dimulkanan” Aku bertanya kenapa? Ia menjawab, “Mayat itu adalah seorang pemuda yang rajin beribadah dengan ibadahnya tersebut Allah telah memuliakannya”.

Mendengar cerita itu Abdul Malik bin Marwan berkata kepada pemuda itu, “Cerita yang kamu sampaikan adalah gambaran bagi orang-orang yang bermaksiat dan juga bagi orang-orang yang taat”. 

Demikian penjelasan terkait kisah penggali kubur dan Khalifah Abdul Malik bin Marwan.   Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Agar Kita Meraih Malam Lailatul Qadar

Setiap Ramadhan, Allah SWT menurunkan malam yang paling istimewa di antara malam-malam lainnya. Malam itu adalah malam Lailatul Qadar, malam yang lebih utama dibandingkan dengan malam seribu bulan.

Karena itu malam yang istimewa, umat Islam berbondong- bondong untuk menjemput malam tersebut. Meski demikian, umat Islam sejatinya perlu secara ikhlas dan istiqamah dalam beribadah. Bagaimana sebenarnya kemuliaan Lailatul Qadar? Seperti apa ciri-ciri datangnya Lailatul Qadar?

Wartawati Republika Imas Damayanti mewawancarai pakar ilmu Alquran KH Ahsin Sakhomelalui sambungan telepon, Selasa (12/4). Berikut kutipannya.

Apa keutamaan malam Lailatul Qadar?

Lailatul Qadar adalah malam yang istimewa bagi umat Islam. Allah SWT sudah sebut dalam Alquran surah al-Qadar ayat 1-5. Allah berfirman, Inna anzalnahu fi lailatil-qadr. Wa maa adraaka maa lai latul-qadr. Lailatul-qadri khairun min alfi syahr. Tanazzalul-malaa- ikatu warruhu fiha bi-idzni Rabbihim min kulli amr. Salaamun hiya hatta mathla’il-fajr.

Artinya, Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Alquran) pada malam Qadar. Dan tahukah kamu apa Lailatul Qadar itu? (Yaitu) malam kemuliaan yang lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar. Tentunya keutamaan itu menjadi sangat istimewa bagi umat Islam. Pada malam ini, Allah menurunkan Alquran, Allah menurunkan kemuliaan.

Apa saja tanda-tanda datangnya Lailatul Qadar?

Tanda-tanda datangnya malam Lailatul Qadar sesungguhnya dapat dilihat dengan tanda-tanda alam semesta. Pertama, itu tidak ada hujan, terang. Pada waktu Subuhnya, tidak terlalu terang. Mengapa ketika Subuhnya itu tidak terlalu terang? Karena menurut riwayat, banyak malaikat yang turun pada malam itu sehingga mereka pergi di waktu Subuh dan sayap-sayap mereka menutupi cahaya matahari. Sayap-sayap malaikat itu kanbesar sekali sehingga ketika sayap mereka menutupi matahari, otomatis cahaya matahari juga meredup ke bumi.

Malam Lailatul Qadar juga biasanya diturunkan Allah pada tanggal-tanggal ganjil pada bulan Ramadhan. Seperti tanggal 21, 25, dan 29 Ramadhan karena Allah suka dengan sesuatu yang ganjil. Namun, bukan berarti, karena kita ingin dapat Lailatul Qadar, kita hanya beribadah dengan intens pada tanggal- tanggal tersebut. Tidak seperti itu juga.

Apa yang perlu dilakukan umat Islam agar dapat merengkuh Lailatul Qadar?

Pertama-tama, kita harus ikhlas dan istiqamah dalam beribadah.Tujuan kita jika beribadah itu hanya kepada Allah, tujuannya ke Allah.Lailatul Qadar yang Allah ciptakan, jangan sampai membuat kita lupa dengan tujuan utama kita, yaitu kepada Allah SWT.

Maka kalau orang sudah ikhlas dalam beribadah, biasanya intensitas ibadahnya tidak hanya pada malam- malam yang dipercaya dekat dengan malam Lailatul Qadar. Orang yang ikhlas akan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT kapanpun di manapun.

Tentunya, pada malam-malam terakhir Ramadhan, kita dianjurkan untuk memperbanyak amalan ibadah. Baca Alquran, berdoa, berzikir, iktikaf, shalat malam, sedekah, semua itu adalah ibadah-ibadah yang baik yang perlu kita lakukan.

Dan terutama, kita harus selalu ingat bahwa keikhlasan itu menjadi yang paling penting. Orang yang ikhlas dalam beribadah, raut wajahnya akan berbeda. Sel-sel di wajahnya itu memancarkan binaran- binaran yang apabila orang memandangnya akan merasa teduh dan tenang. Kita tiru Rasulullah SAW. Beliau adalah pribadi yang mulia, yang istiqamah dalam ibadah dan amalan- amalan baik. 

IHRAM