Jamaah Umroh Disarankan Cek Kesehatan Sebelum Berangkat ke Tanah Suci

Jamaah umroh diminta selalu memperhatikan kondisi kesehatannya sebelum berangkat, meski Arab Saudi telah melonggarkan protokol kesehatannya di masa pandemi ini.

Permintaan itu disampaikan Ketua Program Studi Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Budi Sampurna, dalam talkshow dengan tema ‘Adaptasi Kebiasaan Baru Ibadah Umroh di Masa Pandemi’ yang digelar Center Satgas Penanganan Covid-19, Rabu (20/4/2022). 

“Jadi para jamaah ini tentu mereka akan melakukan aktivitas yang cukup berat. Saya kira perlu juga buat mereka dalam keadaan sehat,” katanya. 

Budi memastikan semua pihak patut bersyukur bahwa keadaan sekarang ini sudah jauh lebih aman daripada dua tahun kebelakang. 

Meski demikian orang yang akan berangkat beribadah umroh harus perhatikan kesehatannya dengan melakukan medical check up. “Saya kira yang penting buat kita adalah sudahkah kita tahu status kesehatan kita sendiri,” ujarnya.

Menurutnya, medical check up penting dilakukan oleh jamaah sebelum berangkat umroh untuk mengetahui riwayat kesehatannya. Kalau jamaah sudah mengetahui bahwa dia memiliki penyakit bawaan, maka harus mempertimbangkan keberangkatannya.

“Kita ini memang banyak penyakitnya banyak komorbid, harus minum obat terus menerus itu termasuk yang kita hati-hati. Kita pada saat berangkat pertama harus siap dengan mengetahui kondisi terakhir,” katanya.

Akan tetapi jika kondisi kesehatan jamaah baik-baik saja, tidak ada penyakit yang membahayakan, maka silakan jamaahnya berangkat beribadah umroh. Imbauan ini penting dilakukan demi keselamatan jamaah.

“Tetapi kalau kita sudah ok sekali menganggap bahwa semuanya baik silakan. Maka yang penting buat kita adalah sudahkah kita tahu status kesehatan kita,” katanya.

Selain itu ilmu pengetahuan untuk jaga kebugaran tubuhnya sebelum berangkat dan selama dalam perjalanan ibadah umroh. 

Untuk dapat menjaga kebugaran tubuh itu jamaah bisa melakukan olahraga ringan yang tidak menghabiskan banyak energi. “Selain kita tahu keadaan kesehatan, kita juga harus menjaga kebugaran kita,” katanya.

Karena kata Budi, jamaah ketika melakukan ibadah umroh akan banyak bergerak. Untuk itu sangat penting jamaah menyiapkan dirinya dengan banyak olahraga.

“Jangan memilih olahraga yang berat, pilih olahraga yang ringan tetapi dilakukan terus menerus, itu yang itu akan lebih baik,” katanya. 

Pada kesempatan ini Budi meminta kepada jamaah yang memiliki penyakit bawaan agar dapat mempertimbangkan untuk berangkat umroh di masa pandemi. Hal ini perlu diperhatikan demi menjaga keselamatan dirinya dan orang lain. 

“Buat mereka yang punya penyakit kronik yang degeneratif yang mungkin berupa komorbid maka lebih hati-hati keadaan kesehatan yang lebih dipikrkan itu,” katanya.  

IHRAM

Apakah Video Call Sex (VCS) di Siang Hari Ramadhan Harus Membayar Kafarat?

Dalam tulisan sebelumnya disebutkan bahwa mengeluarkan mani dengan cara Video Call Sex (VCS) di siang hari bulan Ramadhan dapat membatalkan puasa. Sehingga jika ada orang yang sedang berpuasa melakukan Video Call Sex (VCS), maka puasanya batal dan wajib mengqadhanya di lain hari di luar bulan Ramadhan. Namun, apakah Video Call Sex (VCS) di siang hari Ramadhan harus membayar kafarat juga?

Video Call Sex (VCS) adalah aktivitas seks via online, dimana sepasang kekasih saling menyentuh bagian-bagian intim tubuhnya masing-masing dan dipertontonkan kepada pasangannya dengan media yang disebut dengan video call.

Aktivitas semacam ini dapat membatalkan puasa akibat mengeluarkan sperma dengan sengaja di siang hari bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana dalam keterangan imam Nawawi dalam kitab Nihayatuz Zain berikut,

واستمناء) أى طلب خروج المني وهو مبطل للصوم مطلقا سواء كان بيده أو بيد حليلته أو غيرهما بحائل أولا بشهوة أولا

Artinya : “Bersenang senang artinya mengeluarkan mani dengan sengaja dapat membatalkan puasa baik itu dilakukan dengan menggunakan tangannya sendiri atau menggunakan tangan istrinya atau yang lain.

Baik hal tersebut dilakukan dengan penghalang atau tidak dengan syahwat atau tidak tetap membatalkan puasa.”

Namun demikian, masih terjadi perbedaan pendapat diantara ulama mengenai wajibnya membayar kafarat bagi orang yang sengaja mengeluarkan mani dengan cara Video Call Sex (VCS)  di siang hari bulan Ramadhan.

Menurut pendapat mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah, orang yang sengaja mengeluarkan mani dengan cara Video Call Sex (VCS) di siang bulan Ramadhan hanya wajib qadha saja, dan tidak wajib bayar kafarat. 

Hal ini karena yang wajib membayar kafarat hanya jika puasa batal karena jimak (bersetubuh), sementara Video Call Sex (VCS) tidak bisa disebut dengan jimak (bersetubuh) karena tidak ada hubungan badan secara langsung dari masing-masing pasangan melainkan hanya melakukan rangsangan sendiri dengan melihat bagian tubuh pasangan.

Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut,

وَلاَ كَفَّارَةَ فِيهِ مَعَ الإْبْطَال عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ، وَهُوَ مُقَابِل الْمُعْتَمَدِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ، وَأَحَدُ قَوْلَيِ الْحَنَابِلَةِ، لأِنَّهُ إفْطَارٌ مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ، وَلأِنَّهُ لاَ نَصَّ فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ فِيهِ وَلاَ إجْمَاعَ

Artinya : “ Tidak harus bayar kafarat, menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah. Ini berlawanan dengan pendapat yang kuat di kalangan ulama Malikiyah, juga ini salah satu dari dua pendapat ulama Hanabilah. Ini disebabkan karena onani membatalkan tanpa jimak, dan juga tidak ada nash mengenai kewajiban membayar kafarat sebab onani, serta tidak ada kesepakatan para ulama.”

Sementara menurut kalangan ulama Malikiyah, selain wajib qadha, orang yang sengaja mengeluarkan mani dengan cara onani di siang hari bulan Ramadhan juga wajib bayar kafarat. Hal Ini karena dia telah sengaja membatalkan puasanya. 

Menurut mereka, sengaja membatalkan puasa dengan cara yang dilarang dan diharamkan, seperti dengan jimak, onani, makan dengan sengaja tanpa udzur, selain wajib qadha, juga wajib membayar kafarat.  Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

وَمُعْتَمَدُ الْمَالِكِيَّةِ عَلَى وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ مَعَ الْقَضَاءِ

Artinya : “Pendapat yang kuat di kalangan ulama Malikiyah adalah kewajiban membayar kafarat beserta qadha.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa masih terjadi perbedaan pendapat diantara ulama mengenai wajibnya membayar kafarat bagi orang yang sengaja mengeluarkan mani dengan cara Video Call Sex (VCS) di siang hari bulan Ramadhan. Menurut ulama Malikiyah selain wajib qadha, orang yang sengaja mengeluarkan mani dengan cara onani di siang hari bulan Ramadhan juga wajib bayar kafarat. 

Sementara menurut pendapat mazhab yang dianut penduduk Indonesia yakni Mazhab Syafi’iyah, orang yang sengaja mengeluarkan mani dengan cara Video Call Sex (VCS) di siang bulan Ramadhan hanya wajib qadha saja, dan tidak wajib bayar kafarat. 

Demikian penjelasan mengenai hukum Video Call Sex (VCS) di siang hari bulan Ramadhan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Alhamdulillah, Kuota Jamaah Haji Indonesia 100.051 Orang

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengumumkan kuota jamaah haji untuk Indonesia pada penyelenggaraan ibadah haji 1443 Hijriyah/2022 Masehi sebanyak 100.051 orang.

“Alhamdulillah atas ikhtiar dan doa kita semua, pada tahun ini kita akan memberangkatkan kembali jamaah haji dengan kuota 100.051 jamaah dan 1.901 petugas,” ujar Yaqut dalam Peringatan Nuzulul Quran Tingkat Kenegaraan 1443 Hijriyah yang diikuti dari Jakarta, Selasa (19/4/2022).

Yaqut mengatakan rencananya pemberangkatan kloter pertama akan dilakukan pada 4 Juni 2022. Dengan adanya kepastian ini, menjadi kado Ramadhan bagi jamaah asal Indonesia yang telah menunggu selama dua tahun.

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia tidak memberangkatkan jamaah haji imbas dari pandemi Covid-19. Ketiadaan pemberangkatan itu semakin menambah daftar panjang antrean haji Indonesia.

Sebelumnya, Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto mengatakan kuota haji untuk Indonesia yang jumlahnya berkisar 48 persen dari kuota 2019 merupakan kuota dari Pemerintah Arab Saudi terbanyak dibandingkan negara lain pada tahun ini. “Kelihatannya memang Indonesia yang paling banyak kuotanya dari seluruh dunia. Ini patut kita syukuri walaupun memang ada pembatasan umur, tapi itu bisa kita selesaikan dengan berkomunikasi secara baik-baik melalui Kanwil Kemenag seluruh Indonesia,” ujar dia.

Yandri menuturkan total Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) pada 2022 mencapai Rp 81 juta per orang. BPIH yang disepakati untuk masing-masing calon jamaah haji sebesar Rp 39,8 juta, naik dari rata-rata BPIH pada 2020 sebesar Rp 35 juta per orang.

Meski demikian, ia memastikan calon jamaah haji yang akan berangkat tahun ini atau yang mengalami tunda berangkat pada 2020 tidak akan dipungut biaya tambahan sama sekali. “Walaupun kami sudah ketok palu Rp 39.800.000, tapi jamaah haji tidak akan setor tambahan biaya satu rupiah pun. Ini komitmen DPR dan pemerintah,” katanya.

Oleh sebab itu, biaya yang dibebankan untuk calon jamaah haji di Indonesia, menurut Yandri, merupakan yang paling murah di dunia.

IHRAM

Tidak Berpuasa karena Pekerjaan Berat, Bagaimakah Hukumnya?

Ancaman Bagi Mereka yang Sengaja Berbuka di Bulan Ramadan Tanpa Ada Alasan

Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun Islam yang telah ditetapkan baik di dalam Al-Qur’an, sunah maupun ijmak. Di dalam sebuah hadis disebutkan dengan jelas ancaman bagi mereka yang tidak berpuasa di bulan Ramadan maupun mereka yang membatalkannya secara sengaja tanpa ada uzur syar’i. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِي رَجُلَانِ فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ فَأَتَيَا بِي جَبَلًا وَعْرًا فَقَالَا لِي: اصْعَدْ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ فَإِذَا أَنَا بِصَوْتٍ شَدِيدٍ فَقُلْتُ: مَا هَذِهِ الْأَصْوَاتُ؟ قَالَ: هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ, ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٍ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا, فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ فَقِيلَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ, ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِقَوْمٍ أَشَدِّ شَيْءٍ انْتِفَاخًا وَأَنْتَنِهِ رِيحًا وَأَسْوَئِهِ مَنْظَرًا, فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قِيلَ: الزَّانُونَ وَالزَّوَانِي

“Ketika aku tidur, (aku bermimpi) melihat ada dua orang yang mendatangiku. Kemudian keduanya memegang lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Mereka mengatakan, ‘Naiklah!’ Ketika aku sampai di atas gunung, tiba-tiba aku mendengar suara yang sangat keras. Aku pun bertanya, ‘Suara apakah ini?’ Mereka menjawab, ‘Ini adalah teriakan penghuni neraka.’ Kemudian mereka membawaku melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, aku melihat ada orang yang digantung dengan mata kakinya (terjungkir), pipinya sobek, dan mengalirkan darah. Aku pun bertanya, ‘Siapakah mereka itu?’ Kedua orang ini menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum waktunya (meninggalkan puasa).’ Mereka membawaku melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba ada beberapa orang  yang badannya bengkak, baunya sangat busuk, dan wajahnya sangat jelek. Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’ Kedua orang itu menjawab, ‘Mereka para pezina lelaki dan wanita’.” (HR. Ibnu Hibban no. 7491; Al-Hakim no. 2837; Ibnu Khuzaimah no. 1986; dinilai sahih oleh banyak ulama, di antaranya Syekh Albani).

Para ulama mengambil kesimpulan bahwa orang yang tidak berpuasa pada bulan Ramadan tanpa alasan (yang dibenarkan), berarti dia telah melakukan salah satu dari perbuatan dosa besar. Adz-Dzahabi rahimahullah di dalam kitabnya Al-Kabaair (Dosa-Dosa Besar) mengatakan, “Dosa besar yang keenam adalah orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa alasan (yang dibenarkan)…”

Lalu, alasan (uzur) apa saja yang memperbolehkan seseorang untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan?

Uzur Syar’i yang Memperbolehkan Tidak Berpuasa di Bulan Ramadan

Pertama, sakit yang bisa membahayakan diri seseorang jika berpuasa

Mayoritas ulama mengatakan bahwa orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah yang jika berpuasa itu dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan serius pada kesehatannya. Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Kedua, melakukan safar (perjalanan jauh)

Orang yang bersafar boleh meninggalkan puasa Ramadan, baik perjalanannya sulit dan berat jika dilakukan dengan berpuasa, maupun perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa. Dalilnya adalah ayat yang telah kita sebutkan pada pembahasan uzur sakit di atas.

Para ulama khilaf (berbeda pendapat) mengenai musafir yang perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa, semisal menggunakan pesawat atau kendaraan yang sangat nyaman, apakah lebih utama berpuasa ataukah tidak berpuasa. Yang lebih kuat, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama, lebih utama tetap berpuasa.

Ketiga, sudah tua renta

Orang yang sudah tua renta dan tidak lagi mampu untuk berpuasa dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadan. Ulama bersepakat akan hal ini. Sebagai gantinya, wajib bagi mereka untuk membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Keempat, hamil dan menyusui

Wanita hamil atau sedang menyusui boleh meninggalkan puasa Ramadan, baik karena ia khawatir terhadap kesehatan dirinya maupun khawatir terhadap kesehatan si bayi. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah salat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil, dan menyusui.” (HR. An-Nasa’i no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih).

Ulama berbeda pendapat mengenai apa kewajiban wanita hamil dan menyusui ketika meninggalkan puasa. Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup meng-qadha tanpa fidyah. Pendapat ini dikuatkan oleh Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin, Syekh Shalih Al-Fauzan, Al-Lajnah Ad-Daimah, juga pendapat Hanafiyah dan Malikiyah. Insya Allah inilah pendapat yang paling kuat dan lebih rajih.

Bagaimana dengan Mereka yang Tidak Berpuasa karena Alasan Pekerjaan Berat?

Sebagaimana yang sudah kita paparkan di atas, seorang muslim dilarang keras membatalkan puasa atau tidak berpuasa di bulan Ramadan, kecuali karena uzur yang sudah kita sebutkan. Adapun pekerjaan berat, maka itu bukanlah uzur yang diterima oleh syariat sehingga membolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadan.

Lihatlah bagaimana jawaban Syekh Ibnu Baaz rahimahullah terkait hal ini. Beliau rahimahullah berkata,

الواجب على المؤمن أن يستكمل الصوم في رمضان، وألا يفطر بسبب العمل، إذا كان عمله شاقًا لا يعمل، بل يترك العمل حتى يؤدي الفريضة، أو يعمل بعضه، يعمل بعض العمل، ويترك العمل الذي يسبب له الفطر: فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Wajib hukumnya bagi setiap mukmin untuk berpuasa di bulan Ramadan secara sempurna, dan tidak boleh baginya untuk tidak berpuasa/ membatalkan puasa karena sebab pekerjaan. Kalau dia tahu pekerjaan tersebut berat dan melelahkan, maka hendaknya ia meninggalkan pekerjaan tersebut sehingga ia bisa menunaikan kewajiban berpuasanya, atau ia mengganti pekerjaannya dan meninggalkan pekerjaan yang membuatnya membatalkan puasanya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.’”

Oleh karena itu, mereka yang memiliki pekerjaan berat sangat ditekankan untuk mencari pekerjaan yang lain, atau mengganti waktunya di malam hari. Harus diyakini bahwa bentuk mencari nafkah itu sangat banyak macamnya, dan tidak terbatas pada pekerjaan yang membutuhkan kerja fisik yang sangat keras. Sungguh jika seorang mukmin itu benar-benar berniat mencari pekerjaan yang memungkinkannya untuk melakukan kewajiban yang telah Allah wajibkan, maka atas izin Allah ia akan menemukan pekerjaan yang tepat. Allah Ta’ala berfirman,

ومن يتق الله يجعل له مخرجاً . ويرزقه من حيث لا يحتسب . ومن يتوكل على الله فهو حسبه إن الله بالغ أمره قد جعل الله لكل شيء قدراً

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu”. (QS. At-Talaq: 2-3)

Namun, jika ternyata ia benar-benar tidak bisa mendapatkan pekerjaan, kecuali pekerjaan tersebut, maka di hari kerjanya ia tetap meniatkan diri untuk berpuasa dan tidak boleh menjadikan pekerjaan berat tersebut sebagai sebab ia tidak berpuasa di hari itu.

Barulah saat ia benar-benar butuh berbuka untuk melanjutkan pekerjaannya, apalagi jika tidak berbuka, maka akan menyebabkan madharat pada dirinya, di saat itulah ia diperbolehkan untuk berbuka dengan makan dan minum sebatas apa yang menguatkan dirinya kembali. Kemudian ia menahan diri dan tidak makan dan minum sampai waktu berbuka (sebagai bentuk penghormatan terhadap agungnya puasa Ramadan).  Dan ia tetap diwajibkan meng-qadha (mengganti) puasanya tersebut di hari yang lain.

Di dalam Fatwa Lajnah Daimah (10: 234-236) disebutkan,

… فإذا لم يتيسر له شيء من ذلك كله واضطر إلى مثل ما ذكر في السؤال من العمل الشاق صام حتى يحس بمبادئ الحرج فيتناول من الطعام والشراب ما يحول دون وقوعه في الحرج ثم يمسك وعليه القضاء في أيام يسهل عليه فيها الصيام ” انتهى .

“Maka, apabila tidak dimungkinkan untuk melakukan suatu apa pun dari semua hal yang telah disebutkan (mencari pekerjaan yang lain), sehingga ia benar-benar terdesak dan membutuhkan pekerjaan sebagaimana yang disebutkan di dalam pertanyaan, yaitu pekerjaan yang memberatkan, maka ia harus tetap berpuasa, sampai ia merasakan tanda-tanda kritis (yang membahayakan dirinya). Barulah ia diperbolehkan untuk makan dan minum sebatas apa yang dapat mencegahnya dari kritis dan bahaya. Kemudian ia menahan diri (dari makan dan minum), dan wajib baginya untuk mengganti puasanya di hari-hari yang akan datang.”

Wallahu A’lam bisshowaab.

Semoga Allah menjadikan diri kita termasuk hamba-Nya yang istikamah di dalam ketaatan serta tidak bermudah-mudahan di dalam urusan membatalkan puasa Ramadan atau bahkan meremehkan kewajiban puasa ini.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: www.muslim.or.id

Referensi:

Website resmi Syekh Ibnu Baaz rahimahullah binbaz.org.sa

Sumber-sumber lainnya.

Sumber: https://muslim.or.id/74299-tidak-berpuasa-karena-pekerjaan-berat.html

Ya Allah, Aku Tidak Kuasa Menjalani Ramadhan tanpa Pertolongan-Mu (Bag. 3)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Prinsip keempat: hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan

Allah Ta’ala berfirman,

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 5).

Dalam ayat tersebut terdapat dua hal penting, yakni:

Pertama, tujuan yang paling mulia, yaitu ibadah kepada Allah semata. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (saja)” (QS.Adz-Dzaariyaat: 56).

Kedua, sarana yang paling mulia, yaitu isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah Ta’ala semata.

Faedah penghayatan ayat kelima: keutamaan tawakal kepada Allah semata

Hakikat hidup kita adalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata dan tidak bisa tercapai hal itu kecuali dengan memohon pertolongan kepada-Nya. Memohon pertolongan kepada Allah semata itu termasuk tanda bagusnya tawakal kepada Allah Ta’ala semata.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُه

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. Ath-Thalaq: 3).

Siapa saja yang bertawakal kepada Allah semata dalam urusan agama dan dunianya, maka akan mencukupi seluruh keperluan dan urusannya, baik agamanya maupun dunianya. Dengan demikian, dia tidak membutuhkan kepada selain-Nya. Dia bersandar kepada Allah dalam mendatangkan apa yang bermanfaat baginya dan menolak apa yang membahayakannya. Dia percaya kepada-Nya bahwa Allah Ta’ala Maha Mampu memudahkan hal itu.

Tawakal kepada Allah itu terbangun atas dua perkara, yakni:

Pertama, seorang hamba meyakini bahwa pada hakekatnya, dia tidak memiliki apapun; dan

Kedua, bahwa semua makhluk dan seluruh urusannya berada di tangan Allah semata. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Baik, dan Maha Sempurna seluruh sifat-sifat-Nya.

Seorang hamba yang didalam hatinya terdapat dua keyakinan ini akan merasa tidak lepas dari membutuhkan kepada Allah Ta’ala. Mereka memiliki harapan besar kepada-Nya dan husnuzan kepada Allah Ta’ala dalam setiap aturan dan takdir dari-Nya. Sehingga dirinya merasa pasrah kepada aturan dan takdir-Nya dengan diiringi usaha yang bermanfaat secara sungguh-sungguh.

Tidak ada iman, ibadah, dan Islam seorang hamba kecuali dengan hatinya tergantung dan bersandar kepada Allah semata. Pusat Agama Islam ini terbangun atas ketergantungan dan bersandarnya hati kepada Rabbul ‘alamin, baik dari sisi tauhid rububiyyah maupun uluhiyyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam Majmu’ul Fatawa (1: 39) [1] menyatakan bahwa setiap kali seorang hamba lebih merendahkan diri, lebih tunduk, dan lebih merasa butuh kepada Allah Ta’ala, maka ia lebih dekat kepada-Nya, lebih mengagungkan-Nya, dan lebih bahagia. Manusia yang paling bahagia adalah orang yang paling besar penghambaannya kepada Allah Ta’ala.

Sebaliknya, orang yang paling mulia dan paling terhormat di sisi manusia adalah orang yang tidak membutuhkan kepada makhluk dan tidak merendahkan diri kepadanya diiringi dengan ia berbuat baik kepada mereka. Namun, tatkala seseorang butuh kepada manusia meski hanya seteguk air, maka akan berkurang kadarnya di mata manusia. Ini adalah kebijaksanaan Allah, agar seluruh ketaatan dan penghambaan itu hanya untuk Allah Allah Ta’ala semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan,

الْفَرَجُ يَأتِي عند انقطاع الرجاء عن الخلق

“Solusi akan datang saat terputusnya harapan kepada makhluk” (Majmu’ul Fatawa, 10: 331).

Alasannya, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah [2],

سبب هذا تحقيق التوحيد‏:‏ ‏توحيد الربوبية‏ و‏توحيد الإلهية‏‏‏‏

“Penyebabnya adalah karena merealisasikan tauhid, yaitu tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah.”

Baca Juga: Berpuasa Ramadhan Selama 28 Atau 31 Hari, Apa Yang Harus Dilakukan?

Prinsip kelima: memahami tarbiyah Allah yang khusus untuk para hamba-Nya yang beriman dalam berbagai peristiwa yang dialaminya

Tarbiyah (pemeliharaan) Allah Ta’ala kepada hamba-Nya itu ada dua, yaitu:

Tarbiyah umum,  yaitu pemeliharaan Allah terhadap seluruh makhluk dalam bentuk menciptakan, memberi rezeki, dan memberi petunjuk kepada mereka untuk bisa hidup di dunia ini. Sehingga tarbiyyah Allah Ta’ala jenis umum ini terkait dengan kenikmatan duniawi.

Tarbiyah khusus, yaitu pendidikan dan pemeliharaan-Nya terhadap seorang mukmin [3], dalam bentuk memberi taufik kepada setiap kebaikan, dan menolak berbagai keburukan serta hal yang merusak keimanan mereka.

Barangkali inilah rahasia mayoritas doa para Nabi ‘Alaihis shalatu was salamu yang diungkapkan dengan lafaz Ar-Rabb” karena semua permintaan mereka terkait rububiyyah dan tarbiyyah-Nya yang khusus. Inti tarbiyyah khusus ini adalah Allah Ta’ala mendidik seorang mukmin agar terjaga dan sempurna imannya.

Allah Ta’ala berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia” (QS. Asy-Syura: 11).

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya. Allah itu tuhan yang Maha Sempurna. Sedangkan makhluk itu penuh kekurangan dan kelemahan.

Pengaturan Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya jauh lebih bagus dari pengaturan hamba atas dirinya sendiri. Kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya jauh lebih besar dari kasih sayang hamba-Nya kepada dirinya sendiri.

Allah Ta’ala paling tahu apa yang bermanfaat bagi hamba-Nya. Allah Ta’ala paling mampu mewujudkan kemaslahatan untuk hamba-Nya. Allah Ta’ala paling baik kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan paling bijak serta adil dalam memberikan takdir kepada hamba-Nya. Setiap takdir-Nya tidak keluar dari kasih sayang, kebaikan, karunia, hikmah, atau keadilan-Nya.

Oleh karena itu, ketika Allah Allah Ta’ala mentakdirkan seorang mukmin dan mengaturnya dengan berbagai kejadian yang tidak ia inginkannya saat melakukan berbagai macam amal ibadah, maka yakinilah bahwa Allah Ta’ala tidak sama dengan makhluk-Nya. Dan hal itu bagian dari tarbiyyah Allah Ta’ala atas keimanannya.

Simak beberapa renungan tarbiyyah Allah yang khusus berikut ini.

Baca Juga:

Apakah di hati kita ada kecintaan kepada selain Allah yang mengotori tauhid kita dan menjauhkan kita dari beribadah kepada Allah dengan baik di bulan Ramadan?

Berlebihan dalam menyukai kuliner saat Ramadan, berburu baju baru sehingga lupa waktu ibadah, sibuk dengan bisnis sampai mengorbankan ibadah wajib, atau berlebihan sampai terluput berbagai pahala besar amalan-amalan bulan Ramadan, menyebabkan bukan mustahil Allah Ta’ala akan menegur hamba-Nya yang terjatuh ke dalamnya dengan berbagai kejadian sebagai bentuk tarbiyyah-Nya kepadanya.

Allah men-tarbiyah Nabi Adam dan Rasulullah Ibrahim ‘Alaihimas salam [4]

Ibnul Qoyyim Rahimahullah menjelaskan bahwa di antara bentuk cemburu Allah adalah Dia cemburu kepada hamba-Nya yang dicintai-Nya, yaitu Adam ‘Alaihis salam, saat kelezatan surga mengisi relung hatinya dengan kuat dan ia begitu semangatnya tinggal kekal di dalamnya, maka Allah-pun mengeluarkannya dari surga. Tarbiyyah Allah untuk Nabi Adam ‘Alaihis salam dalam bentuk Allah biarkan Adam ‘Alaihis salam berbuat dosa, sehingga Allah keluarkan beliau dari surga. Sehingga nantinya ibadah berupa cintanya kepada Allah tetap terjaga dan steril dari semua kotoran.

Demikian pula, tatkala masuk ke dalam hati salah satu dari hamba yang paling dicintai-Nya, Khalilullah Ibrahim ‘Alahis salam, kecintaan yang besar kepada Isma’il, maka Allah-pun memerintahkan beliau untuk menyembelihnya sehingga keluar rasa cinta kepada selain Allah tersebut dari hatinya. Apabila tidak demikian, maka cinta tersebut berpotensi mendominasi dan mengotori kecintaannya kepada Allah Allah Ta’ala.

Semua itu karena Allah tidak ridho hati hamba yang dicintai-Nya berpaling kepada selain-Nya, karena Allah mencintai tauhid dan tidak ridho terhadap syirik. Serta agar ibadah cinta, takut, dan harap tetap dan terus untuk Allah semata, tidak mendua dalam hati hamba-Nya!

Tarbiyyah Allah ini pun juga melahirkan sikap bersegera kepada keridhoan Allah dengan lebih baik sampai mencapai derajat tauhid dan iman yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Sebagaimana hal ini terbukti pada diri Nabi Adam ‘alaihis salam saat terjatuh dalam maksiat. Allah Ta’ala berfirman dalam ayat ke-121 dari surah Tha-Ha:

فَاَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْءٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفٰنِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَّرَقِ الْجَنَّةِۚ وَعَصٰىٓ اٰدَمُ رَبَّهٗ فَغَوٰى

“Kemudian keduanya memakannya, lalu tampaklah oleh keduanya aurat mereka dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga. Dan Adam telah bermaksiat kepada Tuhannya, maka tersesatlah dia (dari jalan kebenaran).”

Namun, justru itu menjadi pelajaran besar bagi beliau untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Allah-pun dalam ayat setelahnya (ayat ke-122) berfirman:

ثُمَّ اجْتَبٰىهُ رَبُّهٗ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدٰى

“Kemudian Tuhannya memilih dia, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.”

Jadilah Adam ‘alaihis salam sebagai hamba yang Allah pilih sebagai nabi-Nya, Allah terima taubatnya dan Allah sempurnakan hidayah-Nya untuknya dan sempurnakan pula keimanannya, setelah sebelumnya disebut bermaksiat dan tersesat dari jalan kebenaran. [5]

Apakah kita suka mengingat-ingat amal ibadah kita saat bulan Ramadan dengan pandangan kekaguman dan membangga-bangakannya?

Di bulan Ramadan, banyak terdapat janji pahala Allah, seperti pahala puasa Ramadan, pahala salat lima wajib lima waktu, pahala salat tarawih, pahala melakukan ibadah pada malam lailatul qadr, pahala memberi ifthar orang yang berpuasa, pahala menjadi panitia Ramadan, dan lain-lain. Semua ini akan berpotensi terbukanya pintu ujub bahkan sombong, khususnya bagi orang yang tidak berhati-hati memonitor hatinya.

Di antara bentuk tarbiyyah Allah untuk hamba-Nya yang beriman adalah Allah jadikan seseorang memandang remeh dan sedikit amal-amal yang telah diperbuatnya serta menghadirkan dalam hatinya bahwa amal saleh tersebut tidaklah bisa memenuhi hak Rabb-nya yang demikian agung atas dirinya.

Demikian pula Allah terkadang jadikan hamba tersebut lupa akan amal-amal saleh yang telah ia lakukan dalam bentuk pikirannya sibuk dengan kebaikan-kebaikan yang sedang dilakukan maupun yang akan dilakukan serta memikirkan dosa-dosa dirinya. Sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk memuji, mengagumi, dan membanggakan amal salehnya. Jadilah hamba itu suka bertaubat dan beristighfar serta terus semangat beramal saleh, karena ia lupa terhadap amal salehnya dan merasa amal salehnya masih sangat sedikit.

Ibnul Qoyyim Rahimahullah menyebutkan,

وعلامة قبول عملك : احتقاره واستقلاله وصغره في قلبك

“Dan tanda diterimanya amal salehmu adalah Engkau memandang remeh, sedikit, dan kecil amalan saleh tersebut di dalam hatimu!” (Madarijus Salikin, 2: 62) [6]

Apakah kita pernah di bulan Ramadan saat bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah, lalu masih saja terjatuh ke dalam dosa?

Di zaman medsos ini, pintu-pintu kemaksiatan terbuka luas, Allahul Musta’aan. Dengan mudah kemaksiatan hati maupun zhahir bisa terjadi via medsos. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita semua.

Salah satu bentuk tarbiyah Rabbani yang sangat bermanfaat untuk membebaskan seorang hamba dari penyakit mengagumi diri sendiri dan membanggakannya adalah membiarkan hamba melakukan dosa, membiarkan ia bersama kelemahannya, dan menyerahkannya kepada nafsunya yang banyak menyuruh kepada keburukan, sehingga rasa percaya dirinya pun goyah, dan ketika itulah ia kembali menyadari hakekat dirinya.

Ibnul Qoyyim Rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya seorang hamba melakukan kebaikan, lalu ia mengungkit-ungkit amalan kebaikannya tersebut di hadapan Rabb-nya, ia menyombongkan diri, memandang dirinya besar, membangga-banggakannya, dan meninggikan dirinya serta berkata, “Aku telah melakukan ini dan itu”, sehingga melahirkan sikap ujub, sombong dan memuji diri, tinggi hati yang menghantarkan kepada kebinasaan.” (Al-Wabilush Shoyyib, hal. 8)

Beliau Rahimahullah juga menjelaskan,

“Apabila Allah ‘Azza wa Jalla menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba, maka Ia akan mencampakkan hamba itu ke dalam dosa, yang meremukkan hati nuraninya, mengenalkan kadar dirinya pada dirinya, menjadikan hal itu pelajaran baginya untuk tidak berbuat kejahatan kepada sesamanya, dan memaksanya untuk menundukkan kepala serta menarik keluar dari dirinya penyakit ujub, sombong, dan menyebut-nyebut amal kebaikannya, baik di hadapan Allah maupun di hadapan sesamanya. Dengan demikian, dosa teresebut lebih ampuh untuk mengobati penyakit ini daripada berbagai ketaatan yang banyak. Jadi, dosa tersebut tidak ubahnya seperti obat pahit yang dapat mengeluarkan penyakit yang kronis.” (Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 170)

Sebuah kemaksiatan yang melahirkan rasa rendah diri dan keluluhan hati lebih mending daripada ketaatan yang melahirkan ujub dan kesombongan. Sa’id bin Jubair pernah ditanya, “Siapakah hamba yang paling taat?” Beliau pun menjawab “Seorang yang hatinya terluka lantaran dosa-dosa yang diperbuatnya. Setiap kali ia mengingat dosanya, iapun akan memandang hina dirinya.

Dari keterangan tersebut jelaslah bagi kita, salah satu bentuk tarbiyah Allah terhadap hamba-Nya yaitu dengan membiarkan dan tidak menjaganya dari terjatuh dalam dosa sehingga dengan demikian ia terpaksa menundukkan kepala dan goyahlah ke-aku-an dirinya. Dan ini lebih dicintai oleh Allah daripada berbuat banyak ketaatan tapi ujub. Sebab, senantiasa berada dalam ketaatan dan tidak pernah terjatuh ke dalam lumpur dosa, bisa jadi menimbulkan sikap ujub.

Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata,

لو أنَّ ابن آدم كلَّما قالَ أصاب، وكلَّما عملَ أحسَن، أوشكَ أن يجنَّ من العُجب

“Kalau seandainya manusia setiap kali bicara selalu benar, dan setiap kali beramal selalu bagus, maka dikhawatirkan ia akan gila karena ujub.” (Lathaif Ma’arif, hal. 18)

Hikmah kesalahan seorang mukmin adalah penyesalan. Hikmah dari dosanya adalah permohonan maafnya. Hikmah kebengkokannya adalah kelurusan setelahnya. Serta hikmah keterlambatan adalah kesegeraannya setelahnya.

Perhatian!

Tarbiyah Allah atas seorang mukmin yang terjatuh ke dalam dosa, bukan dimaksudkan agar seorang hamba menyengaja berbuat dosa, bahkan suka terjatuh ke dalam dosa. Hal ini karena setiap dosa itu wajib dihindari, dan jika dilakukan akan berdampak keburukan dan pelakunya terancam adzab. Obat pahit ini tidak patut sengaja dicari oleh seorang hamba, meski dengan alasan ingin mendapatkan khasiatnya. Hal ini karena Allah Maha Mengetahui siapa yang cocok mendapatkan obat pahit ini!

Pernahkah kita gagal mencapai target-target ibadah kepada Allah semata di bulan Ramadan?

Mungkin gagal meraih target membaca Al-Qur’an, dzikrullah, birrul walidain, atau target salat di shaf pertama?

Ketahuilah di antara bentuk tarbiyyah Rabbani yang sangat bermanfaat bagi seorang mukmin adalah menutup pintu ketaatan untuk melindungi dan memeliharanya dari sikap sombong, ujub, mengagumi dan menyanjung dirinya sendiri, atau “silau” terhadap prestasi ibadahnya kepada Allah Ta’ala. Ini pada hakekatnya adalah bentuk rahmat dan penjagaan dari Allah Ta’ala. Dan Allah Maha Tahu siapa di antara hamba-Nya yang jika dibukakan pintu ketaatan menjadi ujub dan sombong.

Seorang pria bertanya kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Mengapa ketika aku meminta sesuatu kepada Allah Ta’ala, Dia mencegahku dari memperolehnya?”

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah menjawab, “Allah mencegahmu untuk memperolehnya itu hakikatnya merupakan anugerah.

Sebab, Allah bukan mencegahmu karena kikir atau tidak punya apa yang kamu minta, dan bukan pula karena Dia sendiri memerlukannya atau membutuhkannya, tapi Dia mencegahmu tidak lain karena kasih sayang-Nya kepadamu.”

Jika demikian halnya, maka pertanyaan yang muncul adalah mana yang lebih baik bagi seorang hamba, apakah lebih baik, misalnya, ia mendirikan salat malam lalu dipagi hari ia kagum dan membanggakan dirinya, ataukah lebih baik ia tidur dan di pagi hari menyesali kelalaiannya?

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,

“Anda tidur di malam hari (sehingga tidak salat malam) dan menyesal di pagi harinya adalah lebih baik daripada Anda salat malam dan di paginya Anda ‘ujub. Sebab seorang yang ujub tidak naik amalnya. Anda tertawa tetapi Anda mengakui dosa itu lebih baik daripada Anda menangis untuk memamerkannya. Rintihan orang-orang yang berdosa sesungguhnya lebih dicintai Allah daripada lantunan dzikir dari orang-orang yang bertasbih namun memamerkannya.” (Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 120)

Di sisi yang lain, Allah bisa jadi juga mentarbiyah seseorang dengan ditutupnya pintu ketaatan baginya, akibat dosa yang dia lakukan sehingga Allah beri kesempatan kepadanya untuk bertaubat darinya. Karena ketaatan kepada Allah Ta’ala itu tidaklah terealisasi kecuali dengan taufik dari Allah Ta’ala. Sedangkan kemaksiatan itu adalah sebab penghalang mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, sebagian penukilan dari salaf saleh mengaitkan dosa dengan ketidakberhasilan melakukan ketaatan.

Pernahkah di antara kita terkena musibah di bulan Ramadan berhari-hari, bahkan sebulan penuh, dan tidak segera mendapatkan pertolongan Allah?

Di antara bentuk tarbiyah Allah atas seorang mukmin adalah Allah tidak segera menolongnya dan tidak segera mengangkat musibah yang menimpanya. Tarbiyyah Ilahi ini memiliki banyak faedah, di antaranya si hamba akan menemukan hakikat kelemahan dirinya dan ketergantungan yang amat sangat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan menyadari sesungguhnya dia tidak mampu berbuat apa-apa untuk dirinya.

Faedah lainnya, ia akan segera meruntuhkan arogansi dan rasa ke-aku-an dalam kepemilikan seolah-olah semua kemampuan, ilmu, harta, dan fisik yang dimilikinya itu selalu bisa dia kerahkan sekehendak hatinya. Hal ini mengakibatkan kadar merendahkan diri, merasa butuh, serta rasa harapnya kepada Allah Ta’ala menjadi melemah, karena ke-aku-annya dan silau dengan kehebatannya selama ini serta arogansinya.

Tarbiyah Allah ini menuntun diri hamba tersebut agar tetap selalu merasa tidak bisa terlepas dari membutuhkan pertolongan Allah, meski sekejap pandangan mata. Sehingga ibadah harapnya, takutnya, dan cintanya hanya untuk Allah Ta’ala semata serta hatinya bergantung kepada Allah semata. Barangsiapa yang ada hal ini semua dalam dirinya, maka akan meyakini bahwa saat Allah tidak segera mengangkat musibah dari dirinya dan tidak segera menolongnya, pada hakekatnya Allah menyayangi dirinya!

Nasehat besar bagi diri dan seluruh pendakwah dan aktifis dakwah sunnah

Di antara bentuk tarbiyah Allah jenis ini adalah Allah menunjukkan keberlangsungan dakwah sunah ini sama sekali tidaklah tergantung kepada orang atau person tertentu, termasuk kita. Apabila kita tidak berada dalam barisan pembela dan pemakmur dakwah sunah, maka Allah Maha Mampu memilih orang lain yang akan menunaikan dakwah sunah dalam bentuk yang lebih sempurna dan jauh lebih baik daripada apa yang telah kita lakukan.

Bukan dakwah sunah yang membutuhkan kita, namun kitalah yang membutuhkan dakwah sunah!

Itulah lima prinsip yang penting kita terapkan, dan semua prinsip tersebut adalah masalah keyakinan dan penghayatan hati. Mengapa? Karena memperhatikan hati adalah dasar kebaikan, obyek penilaian Allah, dan sebab terbesar untuk mendapatkan pertolongan Allah. Di sisi yang lain, target akhir seorang hamba di akherat adalah seorang hamba membawa hati yang salim (selamat) ketika menghadap Sang Penciptanya!

Kesimpulan

Pertama, kita tertuntut untuk bersungguh-sungguh dalam meraih ketakwaan kepada Allah, melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, apalagi di bulan Ramadan yang merupakan bulan ibadah kepada Allah Ta’ala semata.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” QS. Al-‘Ankabut: 69)

Maksudnya adalah orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsu buruknya dalam bertaubat kepada Allah dan bersungguh-sungguh melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, dengan mengharap pahala-Nya dan takut siksa-Nya, niscaya Allah akan memberikan taufik kepada mereka untuk melaksanakan agama Islam, diberi petunjuk perkara yang tidak mereka ketahuinya, serta Allah jadikan mereka ikhlas niatnya dalam sedekah, salat, puasa, dan ibadah-ibadah mereka serta sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, di antara bentuk bersungguh-sungguh meraih ketakwaan kepada Allah di bulan Ramadan dan bulan selainnya adalah bertawakal kepada Allah Ta’ala semata dengan banyak berdoa dan memohon pertolongan kepada-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أعجز الناس من عجَز عن الدعاء

“Orang yang paling lemah adalah orang yang lemah berdoa kepada Allah.” (HR. Ath-Thabarani rahimahullah, dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullah)

Ketiga, jika masih gagal setelah berusaha maksimal, maka jangan putus asa dari rahmat Allah, husnuzh zhonlah kepada Allah, karena pada hakekatnya itu adalah bentuk tarbiyah-Nya.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

“Bersemangatlah untuk mendapatkan perkara yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah Engkau lemah!” (HR. Muslim) .

Dalam Shahih Bukhari, dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

أنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بي، وأنا معهُ إذا ذَكَرَنِي

“Aku sesuai dengan sangkaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku bersama-Nya jika ia mengingat-Ku.”

Wallahu a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74285-ya-allah-aku-tidak-kuasa-menjalani-ramadhan-tanpa-pertolongan-mu-bag-3.html

Dahsyatnya Sedekah di Bulan Ramadhan

Bismillah, pada kesempatan kali ini kami akan coba membahas terkait sedekah di bulan Ramadhan. Semoga pembahasan sedekah di bulan Ramadhan ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

Kedatangan bulan Ramadhan setiap tahunnya tak henti menjadi penghibur hati orang mukmin. Bagaimana tidak, beribu keutamaan ditawarkan di bulan ini. Pahala diobral, ampunan Allah bertebaran memenuhi setiap ruang dan waktu. Seorang yang menyadari kurangnya bekal yang dimiliki untuk menghadapi hari penghitungan kelak, tak ada rasa kecuali sumringah menyambut Ramadhan. Insan yang menyadari betapa dosa melumuri dirinya, tidak ada rasa kecuali bahagia akan kedatangan bulan Ramadhan.

Mukmin Sejati Itu Dermawan

Salah satu pintu yang dibuka oleh Allah untuk meraih keuntungan besar dari bulan Ramadhan adalah melalui sedekah. Islam sering menganjurkan umatnya untuk banyak bersedekah. Dan bulan Ramadhan, amalan ini menjadi lebih dianjurkan lagi. Dan demikianlah sepatutnya akhlak seorang mukmin, yaitu dermawan. Allah dan Rasul-Nya memerintahkan bahkan memberi contoh kepada umat Islam untuk menjadi orang yang dermawan serta pemurah. Ketahuilah bahwa kedermawanan adalah salah satu sifat Allah Ta’ala, sebagaimana hadits:

‏إن الله تعالى جواد يحب الجود ويحب معالي الأخلاق ويكره سفسافها

“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Ia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, Ia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, di shahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami’, 1744)

Dari hadits ini demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pelit dan bakhil adalah akhlak yang buruk dan bukanlah akhlak seorang mukmin sejati. Begitu juga, sifat suka meminta-minta, bukanlah ciri seorang mukmin. Bahkan sebaliknya seorang mukmin itu banyak memberi. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‏اليد العليا خير من اليد السفلى واليد العليا هي المنفقة واليد السفلى هي السائلة

“Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Tangan di atas adalah orang yang memberi dan tangan yang dibawah adalah orang yang meminta.” (HR. Bukhari no.1429, Muslim no.1033)

Selain itu, sifat dermawan jika di dukung dengan tafaqquh fiddin, mengilmui agama dengan baik, sehingga terkumpul dua sifat yaitu alim dan juud (dermawan), akan dicapai kedudukan hamba Allah yang paling tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّما الدنيا لأربعة نفر: عبد رزقه الله مالاً وعلماً فهو يتقي فيه ربه ويصل فيه رحمه، ويعلم لله فيه حقاً فهذا بأفضل المنازل

“Dunia itu untuk 4 jenis hamba: Yang pertama, hamba yang diberikan rizqi oleh Allah serta kepahaman terhadap ilmu agama. Ia bertaqwa kepada Allah dalam menggunakan hartanya dan ia gunakan untuk menyambung silaturahim. Dan ia menyadari terdapat hak Allah pada hartanya. Maka inilah kedudukan hamba yang paling baik.” (HR. Tirmidzi, no.2325, ia berkata: “Hasan shahih”)

Keutamaan Bersedekah

Allah Subhanahu Wa Ta’ala benar-benar memuliakan orang-orang yang bersedekah. Ia menjanjikan banyak keutamaan dan balasan yang menakjubkan bagi orang-orang yang gemar bersedekah. Terdapat ratusan dalil yang menceritakan keberuntungan, keutamaan, kemuliaan  orang-orang yang bersedekah. Ibnu Hajar Al Haitami mengumpulkan ratusan hadits mengenai keutamaan sedekah dalam sebuah kitab yang berjudul Al Inaafah Fimaa Ja’a Fis Shadaqah Wad Dhiyaafah, meskipun hampir sebagiannya perlu dicek keshahihannya. Banyak keutamaan ini seakan-akan seluruh kebaikan terkumpul dalam satu amalan ini, yaitu sedekah. Maka, sungguh mengherankan bagi orang-orang yang mengetahui dalil-dalil tersebut dan ia tidak terpanggil hatinya serta tidak tergerak tangannya untuk banyak bersedekah.

Diantara keutamaan bersedekah antara lain:

Sedekah dapat menghapus dosa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

والصدقة تطفىء الخطيئة كما تطفىء الماء النار

“Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi, di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi, 614)

Diampuninya dosa dengan sebab sedekah di sini tentu saja harus disertai taubat atas dosa yang dilakukan. Tidak sebagaimana yang dilakukan sebagian orang yang sengaja bermaksiat, seperti korupsi, memakan riba, mencuri, berbuat curang, mengambil harta anak yatim, dan sebelum melakukan hal-hal ini ia sudah merencanakan untuk bersedekah setelahnya agar ‘impas’ tidak ada dosa. Yang demikian ini tidak dibenarkan karena termasuk dalam merasa aman dari makar Allah, yang merupakan dosa besar. Allah Ta’ala berfirman:

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf: 99)

Orang yang bersedekah akan mendapatkan naungan di hari akhir

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang 7 jenis manusia yang mendapat naungan di suatu, hari yang ketika itu tidak ada naungan lain selain dari Allah, yaitu hari akhir. Salah satu jenis manusia yang mendapatkannya adalah:

رجل تصدق بصدقة فأخفاها، حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه

“Seorang yang bersedekah dengan tangan kanannya, ia menyembunyikan amalnya itu sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari no. 1421)

Sedekah memberi keberkahan pada harta

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما نقصت صدقة من مال وما زاد الله عبدا بعفو إلا عزا

“Harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dan seorang hamba yang pemaaf pasti akan Allah tambahkan kewibawaan baginya.” (HR. Muslim, no. 2588)

Apa yang dimaksud hartanya tidak akan berkurang? Dalam Syarh Shahih Muslim, An Nawawi menjelaskan: “Para ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud disini mencakup 2 hal: Pertama, yaitu hartanya diberkahi dan dihindarkan dari bahaya. Maka pengurangan harta menjadi ‘impas’ tertutupi oleh berkah yang abstrak. Ini bisa dirasakan oleh indera dan kebiasaan. Kedua, jika secara dzatnya harta tersebut berkurang, maka pengurangan tersebut ‘impas’ tertutupi pahala yang didapat, dan pahala ini dilipatgandakan sampai berlipat-lipat banyaknya.”

Allah melipatgandakan pahala orang yang bersedekah

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Qs. Al Hadid: 18)

Terdapat pintu surga yang hanya dapat dimasuki oleh orang yang bersedekah

من أنفق زوجين في سبيل الله، نودي في الجنة يا عبد الله، هذا خير: فمن كان من أهل الصلاة دُعي من باب الصلاة، ومن كان من أهل الجهاد دُعي من باب الجهاد، ومن كان من أهل الصدقة دُعي من باب الصدقة

“Orang memberikan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga: “Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.” (HR. Bukhari no.3666, Muslim no. 1027)

Sedekah akan menjadi bukti keimanan seseorang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

والصدقة برهان

“Sedekah adalah bukti.” (HR. Muslim no.223)

An Nawawi menjelaskan: “Yaitu bukti kebenaran imannya. Oleh karena itu shadaqah dinamakan demikian karena merupakan bukti dari Shidqu Imanihi (kebenaran imannya)”

Sedekah dapat membebaskan dari siksa kubur

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‏إن الصدقة لتطفىء عن أهلها حر القبور

“Sedekah akan memadamkan api siksaan di dalam kubur.” (HR. Thabrani, di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib, 873)

Sedekah dapat mencegah pedagang melakukan maksiat dalam jual-beli

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يا معشر التجار ! إن الشيطان والإثم يحضران البيع . فشوبوا بيعكم بالصدقة

“Wahai para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa keduanya hadir dalam jual-beli. Maka hiasilah jual-beli kalian dengan sedekah.” (HR. Tirmidzi no. 1208, ia berkata: “Hasan shahih”)

Orang yang bersedekah merasakan dada yang lapang dan hati yang bahagia

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan yang bagus tentang orang yang dermawan dengan orang yang pelit:

مثل البخيل والمنفق ، كمثل رجلين ، عليهما جبتان من حديد ، من ثديهما إلى تراقيهما ، فأما المنفق : فلا ينفق إلا سبغت ، أو وفرت على جلده ، حتى تخفي بنانه ، وتعفو أثره . وأما البخيل : فلا يريد أن ينفق شيئا إلا لزقت كل حلقة مكانها ، فهو يوسعها ولا تتسع

“Perumpamaan orang yang pelit dengan orang yang bersedekah seperti dua orang yang memiliki baju besi, yang bila dipakai menutupi dada hingga selangkangannya. Orang yang bersedekah, dikarenakan sedekahnya ia merasa bajunya lapang dan longgar di kulitnya. Sampai-sampai ujung jarinya tidak terlihat dan baju besinya tidak meninggalkan bekas pada kulitnya. Sedangkan orang yang pelit, dikarenakan pelitnya ia merasakan setiap lingkar baju besinya merekat erat di kulitnya. Ia berusaha melonggarkannya namun tidak bisa.” (HR. Bukhari no. 1443)

Dan hal ini tentu pernah kita buktikan sendiri bukan? Ada rasa senang, bangga, dada yang lapang setelah kita memberikan sedekah kepada orang lain yang membutuhkan.

Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang mengabarkan tentang manfaat sedekah dan keutamaan orang yang bersedekah. Tidakkah hati kita terpanggil?

Pahala sedekah terus berkembang

Pahala sedekah walaupun hanya sedikit itu akan terus berkembang pahalanya hingga menjadi besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللهَ يقبلُ الصدقةَ ، ويأخذُها بيمينِه ، فيُرَبِّيها لِأَحَدِكم ، كما يُرَبِّي أحدُكم مُهْرَه ، حتى إنَّ اللُّقْمَةَ لَتَصِيرُ مِثْلَ أُحُدٍ

sesungguhnya Allah menerima amalan sedekah dan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Lalu Allah mengembangkan pahalanya untuk salah seorang dari kalian, sebagaimana kalian mengembangkan seekor anak kuda. Sampai-sampai sedekah yang hanya sebiji bisa berkembang hingga sebesar gunung Uhud” (HR. At Tirmidzi 662, ia berkata: “hasan shahih”)

Sedekah menjauhkan diri dari api neraka

Sesungguhnya sedekah itu walaupun sedikit, memiliki andil untuk menjauhkan kita dari api neraka. Semakin banyak sedekah, semakin jauh kita darinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

اتَّقوا النَّارَ ولو بشقِّ تمرةٍ ، فمن لم يجِدْ فبكلمةٍ طيِّبةٍ

jauhilah api neraka, walau hanya dengan bersedekah sebiji kurma. Jika kamu tidak punya, maka bisa dengan kalimah thayyibah” (HR. Al Bukhari 6539, Muslim 1016)

Boleh iri kepada orang yang dermawan

Iri atau hasad adalah akhlak yang tercela, namun iri kepada orang yang suka bersedekah, ingin menyaingi kedermawanan dia, ini adalah akhlak yang terpuji. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لا حسدَ إلا في اثنتين : رجلٌ آتاه اللهُ مالًا؛ فسلَّطَ على هَلَكَتِه في الحقِّ ، ورجلٌ آتاه اللهُ الحكمةَ؛ فهو يَقضي بها ويُعلمُها

tidak boleh hasad kecuali pada dua orang: seseorang yang diberikan harta oleh Allah, kemudia ia belanjakan di jalan yang haq, dan seseorang yang diberikan oleh Allah ilmu dan ia mengamalkannya dan mengajarkannya” (HR. Al Bukhari 73, Muslim 816)

Kedermawanan Rasulullah di Bulan Ramadhan

Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, teladan terbaik bagi kita, beliau adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawanan beliau lebih dahsyat lagi di bulan Ramadhan. Hal ini diceritakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس ، وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه جبريل ، وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيُدارسه القرآن ، فالرسول الله صلى الله عليه وسلم أجودُ بالخير من الريح المرسَلة

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi angin yang berhembus.” (HR. Bukhari, no.6)

Dari hadits di atas diketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dasarnya adalah seorang yang sangat dermawan. Ini juga ditegaskan oleh Anas bin Malik radhiallahu’anhu:

كان النبي صلى الله عليه وسلم أشجع الناس وأجود الناس

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling berani dan paling dermawan.” (HR. Bukhari no.1033, Muslim no. 2307)

Namun bulan Ramadhan merupakan momen yang spesial sehingga beliau lebih dermawan lagi. Bahkan dalam hadits, kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan melebihi angin yang berhembus. Diibaratkan demikian karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat ringan dan cepat dalam memberi, tanpa banyak berpikir, sebagaimana angin yang berhembus cepat. Dalam hadits juga angin diberi sifat ‘mursalah’ (berhembus), mengisyaratkan kedermawanan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki nilai manfaat yang besar, bukan asal memberi, serta terus-menerus sebagaimana angin yang baik dan bermanfaat adalah angin yang berhembus terus-menerus. Penjelasan ini disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari.

Oleh karena itu, kita yang mengaku meneladani beliau sudah selayaknya memiliki semangat yang sama. Yaitu semangat untuk bersedekah lebih sering, lebih banyak dan lebih bermanfaat di bulan Ramadhan, melebihi bulan-bulan lainnya.

Dahsyatnya Sedekah di Bulan Ramadhan

Salah satu sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi teladan untuk lebih bersemangat dalam bersedekah di bulan Ramadhan adalah karena bersedekah di bulan ini lebih dahsyat dibanding sedekah di bulan lainnya. Diantara keutamaan sedekah di bulan Ramadhan adalah:

Puasa digabungkan dengan sedekah dan shalat malam sama dengan jaminan surga

Puasa di bulan Ramadhan adalah ibadah yang agung, bahkan pahala puasa tidak terbatas kelipatannya. Sebagaimana dikabarkan dalam sebuah hadits qudsi:

كل عمل ابن آدم له الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف قال عز و جل : إلا الصيام فإنه لي و أنا الذي أجزي به

“Setiap amal manusia akan diganjar kebaikan semisalnya sampai 700 kali lipat. Allah Azza Wa Jalla berfirman: ‘Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.’” (HR. Muslim no.1151)

Dan sedekah, telah kita ketahui keutamaannya. Kemudian shalat malam, juga merupakan ibadah yang agung, jika didirikan di bulan Ramadhan dapat menjadi penghapus dosa-dosa yang telah lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من قام رمضان إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang shalat malam karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.37, 2009, Muslim, no. 759)

Ketiga amalan yang agung ini terkumpul di bulan Ramadhan dan jika semuanya dikerjakan balasannya adalah jaminan surga. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إن في الجنة غرفا يرى ظاهرها من باطنها وباطنها من ظاهرها أعدها الله لمن ألان الكلام وأطعم الطعام وتابع الصيام وصلى بالليل والناس نيام

“Sesungguhnya di surga terdapat ruangan-ruangan yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar. Allah menganugerahkannya kepada orang yang berkata baik, bersedekah makanan, berpuasa, dan shalat dikala kebanyakan manusia tidur.” (HR. At Tirmidzi no.1984, Ibnu Hibban di Al Majruhin 1/317, dihasankan Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/47, dihasankan Al Albani di Shahih At Targhib, 946)

Mendapatkan tambahan pahala puasa dari orang lain

Kita telah mengetahui betapa besarnya pahala puasa Ramadhan. Bayangkan jika kita bisa menambah pahala puasa kita dengan pahala puasa orang lain, maka pahala yang kita raih lebih berlipat lagi. Subhanallah! Dan ini bisa terjadi dengan sedekah, yaitu dengan memberikan hidangan berbuka puasa untuk orang lain yang berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا

“Orang yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)

Padahal hidangan berbuka puasa sudah cukup dengan tiga butir kurma atau bahkan hanya segelas air, sesuatu yang mudah dan murah untuk diberikan kepada orang lain.

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفطر على رطبات قبل أن يصلي فإن لم تكن رطبات فعلى تمرات فإن لم تكن حسا حسوات من ماء

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa dengan beberapa ruthab (kurma basah), jika tidak ada maka dengan beberapa tamr (kurma kering), jika tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (HR. At Tirmidzi, Ahmad, Abu Daud, dishahihkan Al Albani di Shahih At Tirmidzi, 696)

Betapa Allah Ta’ala sangat pemurah kepada hamba-Nya dengan membuka kesempatan menuai pahala begitu lebarnya di bulan yang penuh berkah ini.

Bersedekah di bulan Ramadhan lebih dimudahkan

Salah satu keutamaan bersedekah di bulan Ramadhan adalah bahwa di bulan mulia ini, setiap orang lebih dimudahkan untuk berbuat amalan kebaikan, termasuk sedekah. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya manusia mudah terpedaya godaan setan yang senantiasa mengajak manusia meninggalkan kebaikan, setan berkata:

فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ

“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.” (Qs. Al A’raf: 16)

Sehingga manusia enggan dan berat untuk beramal. Namun di bulan Ramadhan ini Allah mudahkan hamba-Nya untuk berbuat kebaikan, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إذا جاء رمضان فتحت أبواب الجنة ، وغلقت أبواب النار ، وصفدت الشياطين

“Jika datang bulan Ramadhan, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Bukhari no.3277, Muslim no. 1079)

Dan pada realitanya kita melihat sendiri betapa suasana Ramadhan begitu berbedanya dengan bulan lain. Orang-orang bersemangat melakukan amalan kebaikan yang biasanya tidak ia lakukan di bulan-bulan lainnya. Subhanallah.

Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar. Karena yang mendasari keyakinan ini adalah hadits yang lemah, yaitu hadits:

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،

“Wahai manusia, telah datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh berkah. Di dalamnya terdapat satu malam yang nilai (ibadah) di dalamnya lebih baik dari 1000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai perbuatan sunnah (tathawwu’). Barangsiapa (pada bulan itu) mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa yang mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, dan kesabaran itu balasannya surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong, di mana di dalamnya rezki seorang Mukmin bertambah (ditambah). Barangsiapa (pada bulan itu) memberikan buka  kepada seorang yang berpuasa, maka itu menjadi maghfirah (pengampunan) atas dosa-dosanya, penyelamatnya dari api neraka dan ia memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa (itu) sedikitpun.” Kemudian para Sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan sebagai buka orang yang berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan buka dari sebutir kurma, atau satu teguk air atau susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Al Hakim, Ibnu Khuzaimah (no. 1887) dan Al Ash-habani dalam At Targhib (178). Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115), juga oleh Dhiya Al Maqdisi di Sunan Al Hakim (3/400), bahkan dikatakan oleh Al Albani hadits ini Munkar, dalam Silsilah Adh Dhaifah (871).

Ringkasnya, walaupun tidak terdapat kelipatan pahala 70 kali lipat pahala ibadah wajib di luar bulan Ramadhan, pada asalnya setiap amal kebaikan, baik di luar maupun di bulan Ramadhan akan dilipatgandakan oleh Allah 10 sampai 700 kali lipat. Berdasarkan hadits:

‏إن الله كتب الحسنات والسيئات ثم بين ذلك فمن هم بحسنة فلم يعملها كتبها الله له عنده حسنة كاملة فإن هو هم بها فعملها كتبها الله له عنده عشر حسنات إلى سبع مائة ضعف إلى أضعاف كثيرة

“Sesungguhnya Allah mencatat setiap amal kebaikan dan amal keburukan.” Kemudian Rasulullah menjelaskan: “Orang yang meniatkan sebuah kebaikan, namun tidak mengamalkannya, Allah mencatat baginya satu pahala kebaikan sempurna.  Orang yang meniatkan sebuah kebaikan, lalu mengamalkannya, Allah mencatat pahala baginya 10 sampai 700 kali lipat banyaknya.” (HR. Muslim no.1955)

Oleh karena itu, orang yang bersedekah di bulan Ramadhan akan dilipatgandakan pahalanya 10 sampai 700 kali lipat karena sedekah adalah amal kebaikan, kemudian berdasarkan Al A’raf ayat 16 khusus amalan sedekah di bulan Ramadhan dilipatkan-gandakan lagi sesuai kehendak Allah. Kemudian ditambah lagi mendapatkan berbagai keutamaan sedekah. Lalu jika ia mengiringi amalan sedekah di bulan Ramadhan dengan puasa dengan shalat malam, maka diberi baginya jaminan surga. Kemudian jika ia tidak terlupa untuk bersedekah memberi hidangan berbuka puasa bagi bagi orang yang berpuasa, maka pahala yang sudah dilipatgandakan tadi ditambah lagi dengan pahala orang yang diberi sedekah di bulan Ramadhan. Jika orang yang diberi hidangan berbuka puasa lebih dari satu maka pahala yang didapat lebih berlipat lagi.

Subhanallah…

Itulah dahsyatnya sedekah di bulan Ramadhan…

Ayo jangan tunda lagi…

Yuk sedekah di bulan Ramadhan…

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/1282-dahsyatnya-sedekah-di-bulan-ramadhan.html

Jangan Mudah Menyebarkan Foto dan Video Korban Bencana dan Tragedi Kemanusiaan!

Bismillah, pada kesempatan kali ini kami akan coba membahas hal terkait hukum menyebarkan foto orang kecelakaan. Bagaimana sebenarnya pandangan islam dalam masalah ini? Simak penjelasannya di artikel berikut ini.

Tragedi jatuhnya crane di Masjidil Haram dan tragedi Mina pada musim haji yang telah lalu, yang memakan ratusan korban jiwa adalah musibah yang sangat memilukan dan cukup mengundang simpati kaum muslimin di seluruh dunia. Tak terkecuali di dunia maya, di mana sangat mudah ditemui foto-foto dan video korban tragedi bertebaran di beranda facebook dan twitter.

Ada satu catatan penting yang nampaknya luput dari perhatian khalayak. Adalah satu fenomena yang marak akhir-akhir ini yaitu mengabadikan dan menyebarkan video atau foto orang kecelakaan. Fenomena tersebut patut kita kaji bersama secara seksama karena menyangkut kemaslahatan orang banyak. Sudah tentu dalam hal ini kita selalu menyandarkan pada aturan syari’at yang senantiasa memberikan solusi tanpa ada pihak yang dirugikan.

Kecelakaan, maupun bencana alam adalah salah satu bentuk musibah, di mana banyak orang terluka dan meninggal dunia. Demikian Allah Ta’ala menyebut kematian sebagai musibah.

إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ

Jika kamu dalam perjalanan di bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (QS. Al Maidah: 106).

Bagaimana seharusnya sikap muslim ketika musibah menimpa kaum muslimin? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberikan arahan kepada umatnya lewat sebuah hadits:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Perumpaan seorang mukmin dalam kasih sayang terhadap saudaranya ibarat satu tubuh. Apabila salah satu bagian mengerang kesakitan, maka yang lain pun turut merasakan demam dan tidak bisa tidur” (HR. Muslim).

Demikianlah profil setiap muslim, sudah sepantasnya dia selalu menjadi yang terdepan dalam membantu saudaranya yang tertimpa musibah sekuat tenaga. Tentu semua itu harus sesuai dengan cara yang dibenarkan syari’at. Tidak boleh berlebihan, sehingga bisa merugikan dan mengurangi hak-hak saudaranya. Seperti yang dilakukan sebagian saudara kita di atas patut untuk ditinjau ulang. Seolah menjadi hal yang lumrah, banyak di antara kaum muslimin yang latah sehingga begitu mudahnya mengabadikan foto-foto korban meninggal dan luka-luka, lalu menyebarkan foto orang kecelakaan tersebut di media sosial.

Jika kita perhatikan dengan seksama maka kita dapati perilaku tersebut telah mengusik privasi dan melanggar kehormatan orang lain yang dilarang dalam syari’at. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan pelarangannya adalah:

Perihal kehormatan seorang muslim

Allah sangat memuliakannya dalam Al Qur’an:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

Dan sungguh telah Kami muliakan anak keturunan Adam.” (QS. Al-Isra: 70).

Oleh karenanya, segala hal yang bisa mengakibatkan rusaknya kehormatan seorang muslim dilarang oleh syari’at.

Keumuman perintah untuk menutup aib kaum muslimin

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati Hazzal radhiallah ‘anhu sesaat setelah ia menyuruh Ma’iz radhiallahu ‘anhu untuk mengakui perbuatannya (berzina) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga Ma’iz pun dihukum rajam,

يا هَزَّال، لو سَتَــرْته بردائك، لكان خيرًا لك

Wahai Hazzal, seandainya tadi kau tutupi aibnya dengan bajumu (tidak kau suruh ia menghadapku), maka itu lebih baik bagimu.” (HR. Malik).

Demikian juga anjuran yang lain,

من ستر مسلما ستره الله في الدنيا والاخرة

Barang siapa yang menutup (aib/cacat) seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim).

Kalau saja seorang di antara kita hendak bepergian berusaha menjaga penampilan, berdandan di depan cermin, dan selalu ingin tampil dalam kondisi yang paling baik, maka bagaimana mungkin ia tega memperlihatkan fisik saudaranya yang sudah terbujur kaku dengan kondisi yang tidak enak dipandang?

Bayangkan jika itu terjadi pada diri Anda, apakah Anda rela kondisi Anda saat itu diabadikan, baik foto maupun video lalu diunggah di youtube atau dibagikan di media sosial? Tentu tidak ada yang mau diperlakukan seperti itu.

Jika yang masih hidup saja belum tentu rela difoto tanpa sepengetahuannya, apalagi yang sudah mati? Bagaimana dia mau dimintai izin? Belum lagi jika si mayit ini dalam keadaan tersingkap auratnya, atau rusak fisiknya.

Pernahkah Anda berpikir, bagaimana jika orang tersebut kelak menuntut Anda di hadapan Allah pada hari kiamat? Wahai Rabb kami, tanyalah orang ini kenapa dulu dia mengabadikan fotoku? Kenapa dia sebarkan auratku di hadapan orang banyak? Kenapa dia membuat sedih keluargaku, anak dan istriku?

Larangan untuk menyebarluaskan segala hal yang menyangkut pribadi seorang muslim yang tidak ingin diketahui oleh publik.

Dalam istilah Bahasa arab disebut tajassus alias memata-matai dan mencari-mencari kesalahan orang lain. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَجَسَّسُوا

Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (QS. Al Hujurat: 12).

Dalam hadits yang statusnya marfu’ sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan:

وَلا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ

Janganlah kalian mencari-cari aurat (aib) kaum muslimin” (HR. Abu Dawud).

Mengabadikan foto tanpa sepengetahuan yang difoto termasuk dalam larangan tajassus, di mana orang merasa tidak aman karena privasinya terganggu.

Alasan lain menyebarkan foto orang kecelakaan

Sebagian orang beralasan kurang bisa mengambil pelajaran dari sebuah tragedi kecuali setelah melihat langsung para korban. Benarkah separah ini sampai kita tidak bisa membayangkan orang mati kecuali dengan melihat tayangan mayat korban tewas dan luka-luka?

Kaidah dalam syari’at mengatakan:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Mencegah mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat”.

Oleh karenanya, mencegah rusaknya hak privasi dan kehormatan korban lebih didahulukan daripada memberikan pelajaran bagi orang lain dengan menyebarkan foto orang kecelakaan.

Dan maslahat apa yang hendak diraih jika dilakukan dengan cara yang tidak dibenarkan syari’at. Itu namanya takalluf, berlebih-lebihan. Kecuali dalam kondisi-kondisi darurat yang menuntut hal itu, seperti dokumentasi oleh pihak berwajib guna penyelidikan. Dan sekali lagi, itu pun bukan konsumsi publik.

Berkaitan dengan hak keluarga korban

Wahai saudaraku, orang yang Anda foto atau yang Anda share fotonya, ia punya anak, istri, dan keluarga. Ia memiliki orang-orang yang sangat mencintainya, pun orang-orang yang membencinya. Sementara orang tersebut sudah mati. Tidakkah Kau berpikir apa akibatnya? Siapa yang mengizinkan Anda untuk mengabadikan fotonya?

Tidak lain hal itu justru semakin menambah kesedihan orang-orang yang mencintainya, seperti anak, istri, dan orang tuanya. Apalagi jika korban dalam kondisi yang mengenaskan, berlumuran darah, atau tidak lagi utuh fisiknya, lalu terlanjur disebar di media sosial. Bukankah suatu saat foto-foto itu bisa membangkitkan kembali kesedihan yang telah lama terkubur, dan membuat luka lama yang sudah terobati kembali menganga?

Sebagai ahli waris, keluarga korban adalah pihak yang paling berhak dengan hak-hak yang berkaitan dengan korban. Mereka pun berhak menuntut pihak-pihak yang menyebarkan gambar korban tanpa izin.

Tidakkah kita belajar dari pengalaman salah satu saluran TV nasional beberapa waktu lalu yang akhirnya meminta maaf secara terbuka karena telah menayangkan jasad korban jatuhnya pesawat? Artinya, dalam norma kemasyarakatan pun hal itu tidak bisa diterima, karena tayangan tersebut menyakiti keluarga korban di mana kehormatan keluarganya diusik sedemikian jauh.

Masih banyak pintu kebaikan untuk menunjukkan kepedulian kita kepada para korban yang tentu selaras dengan syari’at, yaitu dengan bertakziah kepada keluarganya bagi yang dekat, atau mengulurkan bantuan, dan mendoakan bagi yang jauh. Kalau pun hendak mengabarkan kondisi tragedi di lapangan dengan gambar, hendaknya sebisa mungkin menghindarkan segala sesuatu yang menakut-nakuti dan membuat sedih kaum muslimin, baik dengan tidak memperlihatkan para korban, atau menyamarkan foto sehingga identitasnya tidak dikenali secara utuh. Itu pun jika kebutuhan mendesak untuk itu.

Tidakkah tragedi-tragedi kecelakaan dan bencana sudah terjadi sejak zaman dahulu sebelum ramainya foto dan video? Apakah para pendahulu kita menganjurkan untuk datang ke tempat kejadian hanya untuk mengambil pelajaran? Sedarurat itukah untuk memberi pelajaran kepada umat hanya bisa dengan menampilkan foto-foto korban?

Sungguh syari’at Islam mengajarkan kita untuk selalu menjaga kehormatan orang yang sudah mati sebagaimana ketika masih hidup. Di mana kita diperintahkan untuk menampakkan yang baik-baik dah menutup aib si mayyit. Bahkan orang yang memandikan jenazah pun tidak boleh menceritakan apa yang ia lihat jika itu buruk.

Wallahu a’lam.

Referensi:

Ditulis di asrama UIM, pada hari selasa 15 Zulhijjah 1436.

Penulis: Ganang Prihatmoko

Sumber: https://muslim.or.id/26625-jangan-mudah-menyebarkan-foto-dan-video-korban-bencana-dan-tragedi-kemanusiaan.html

Siapa Saja Kerabat yang Boleh Disalurkan Zakat dan Manakah yang Tidak Boleh?

Apakah boleh menyalurkan zakat kepada kerabat kita sendiri?

Nah, ini butuh rincian.

Yang jelas, golongan yang menerima zakat sudahlah jelas sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut ini,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk (1) orang-orang fakir, (2) orang-orang miskin, (3) amil zakat, (4) para mu’allaf yang dibujuk hatinya, (5) untuk (memerdekakan) budak, (6) orang-orang yang terlilit utang, (7) untuk jalan Allah (fii sabilillah), dan (8) untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)

Keterangan:

  1. Fakir: orang yang pendapatannya 0 – 49% dari kebutuhan hidupnya.
  2. Miskin: orang yang pendapatannya 50 – 99 % dari kebutuhan hidupnya.
  3. Amil: orang yang mengumpulkan dan menyalurkan zakat.
  4. Muallaf: orang non-muslim yang diharapkan keislamannya dan orang yang baru masuk Islam yang diharapkan keteguhannya dalam Islam.
  5. Riqob: hamba sahaya.
  6. Gharim: orang yang berutang untuk tujuan syari yang tidak menemukan harta untuk melunasi utang tersebut.
  7. Fii sabilillah: orang yang berjihad, dai, penuntut ilmu agama, dan semacamnya.
  8. Ibnu sabil: musafir yang terpisah dari kelompoknya.

Baca juga: Golongan Penerima Zakat

Adapun memberikan zakat kepada kerabat itu punya keutamaan sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Salman bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

Sesungguhnya sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah. Sedangkan sedekah kepada kerabat pahalanya dua, yaitu pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan kekerabatan.” (HR. An-Nasai, no. 2582; Tirmidzi, no. 658; Ibnu Majah, no. 1844. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Baca juga: Memberi Zakat Kepada Kerabat

Adapun siapa saja yang berhak diberi zakat dari keluarga dan yang tidak berhak, kami bantu dengan menjelaskan dalam tabel berikut ini.

Hubungan KerabatHukumCatatan
Ayah dan ibuTIDAK BOLEHWajib memberikan nafkah kepada mereka
Kakek dan nenekTIDAK BOLEHWajib memberikan nafkah kepada mereka
Anak laki-laki dan anak perempuanTIDAK BOLEHWajib memberikan nafkah kepada mereka
IstriTIDAK BOLEHWajib memberikan nafkah kepadanya
Suami[1]BOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf
Saudara laki-laki dan saudara perempuanBOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf
Saudara laki-laki dan perempuan dari ayahBOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf
Saudara laki-laki dan perempuan dari ibuBOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf
Kerabat yang lainBOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf

[1] Bolehnya seorang istri menyalurkan zakat pada suaminya atau anaknya karena istri tidak punya kewajiban menanggung nafkah suami dan anaknya. Yang menjadi penanggung jawab nafkah untuk anak-anak adalah suami. Jadi sah-sah saja jika istri menyerahkan zakat pada suami atau anaknya.

Hal di atas dapat dilihat dari kisah Zainab Ats-Tsaqafiyah, istri ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, di mana ia memberikan zakat kepada suaminya dan disetujui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari, no. 1466 dan Muslim, no. 1000).

Baca juga: Zakat kepada Kerabat yang Janda

Silakan unduh buku PDF: PANDUAN PRAKTIS ZAKAT MAAL KONTEMPORER

Semoga menjadi ilmu yang manfaat.

Senin sore, 16 Ramadhan 1443 H, 18 April 2022

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/33295-siapa-saja-kerabat-yang-boleh-disalurkan-zakat-dan-manakah-yang-tidak-boleh.html

Ini Doa Taubat Nasuha dari Imam Al-Ghazali

Berikut ini adalah doa taubat nasuha dari Imam Al-Ghazali. Adapun doa taubat nasuha dari Imam Al- Ghazali ini cocok diamalkan saat bulan Ramadhan. Yang bertujuan meminta ampunan dan rahmat Allah.

Dalam kitab Minhajul ‘Abidin, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ketika seseorang hendak bertaubat dengan sungguh-sungguh, maka hendaknya dia melaksanakan shalat 4 rakaat, kemudian setelah salam bersujud sambil menyebut dosa-dosa semampunya, dan jika sudah dirasa sudah cukup, lalu membaca doa munajat taubat berikut;

إِلهِيْ عَبْدُكَ الآبِقُ رَجَعَ إِلَى بَابِكَ، عَبْدُكَ الْعَاصِيْ رَجَعَ إِلَى الصُّلْحِ، عَبْدُكَ الْمُذْنِبُ أَتَاكَ بِالْعُذْرِ فَاعْفُ عَنِّيْ بِجُوْدِكَ، وَ تَقَبَّلْنِيْ بِفَضْلِكَ، وَ انْظُرْ إِلَيَّ بِرَحْمَتِكَ اللهُ اِغْفِرْ لِيْ مَا سَلَفَ مِنَ الذُّنُوْبِ وَ اعْصِمْنِيْ فِيْمَا بَقِيَ مِنَ الأَجَلِ فَإِنَّ الْخَيْرَ كُلُّهُ بِيَدِكَ وَ أَنْتَ بِنَا رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ

يَا مُجَلِّيَ عَظَائِمِ الأُمُوْرِ، يَا مُنْتَهِيَ هِمَّةِ الْمَهْمُوْمِيْنَ، يَا مَنْ إِذَا أَرَادَ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُوْلُ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنَ، أَحَاطَتْ بِنَا ذُنُوْبَنَا أَنْتَ الْمَذْخُوْرُ لَهَا يَا مَذْخُوْرًا لِكُلِّ شِدَّةٍ أُذْخِرُكَ لِهذِهِ السَّاعَةِ فَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ يَا مَنْ لاَ يُشْغِلُهُ شَأْنٌ عَنْ شَأْنٍ وَ لاَ سَمْعٌ عَنْ سَمْعٍ، يَا مَنْ لاَ تُغَالِطُهُ كَثْرَةُ الْمَسَائِلِ، يَا مَنْ لاَ يُبْرِمُهُ إِلْحَاحً الْمُلِحِّيْنَ، أَذَقْنَا بَرْدَ عَفْوِكَ وَ حَلاَوَةَ مَغْفِرَتِكَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Wahai Tuhanku, inilah hamba-Mu yang tersesat telah kembali di hadapan pintu-Mu, seorang hamba yang berlumuran dosa maksiat kembali kepada kebenaran, hamba-Mu yang berdosa datang menghadap kepada-Mu memohon ampunan.

Ampunilah aku dengan kemurahan-Mu, dan terimalah aku dengan karunia-Mu, pandanglah aku dengan pandangan rahmat-Mu. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang telah lalu, dan peliharalah sisa-sisa hidupku.

Sungguh, segala kebaikan itu seluruhnya berada pada-Mu, Engkau bagi kami adalah Maha Pemurah dan Maha Pengasih kami.

Wahai Dzat yang menampakkan persoalan-persoalan besar. Wahai Dzat yang menjadi tujuan kehendak orang-orang yang tercekam kegelisahan. Wahai Dzat yang apabila menghendaki suatu perkara, cukup berfirman “Jadilah” maka jadilah ia.

Dosa-dosaku telah mengungkungku. Engkaulah Dzat yang kupilih untuk menanggulangi kesulitanku. Aku mengandalkan Engkau untuk menghadapi keadaan seperti sekarang ini. Maka terimalah taubatku, sungguh, Engkaulah Dzat Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.

Wahai Dzat yang tidak pernah disibukkan oleh suatu perkara hingga mengabaikan perkara yang lain; tidak pula oleh suatu suara hingga tidak menghiraukan suara yang lain. Wahai Dzat yang tidak salah dengan banyaknya permintaan.

Wahai Dzat yang tidak pernah merasa bosan menerima permintaan yang terus menerus, curahkanlah kepadaku kesejukan karena ampunan-Mu dan lezatnya ampunan-Mu dengan rahmat-Mu. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih dari segala yang mengasihi. Engkau adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Demikian penjelasan terkait doa taubat nasuha dari Imam Al-Ghazali. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Buta Aksara Alquran Masih Memprihatinkan

Literasi Alquran menjadi salah satu solusi menekan angka buta aksara Alquran.

Memasuki hari Nuzulul Quran atau diturunkannya Alquran, umat Islam menghadapi permasalahan yang pelik. Meski tercatat sebagai agama mayoritas di Indonesia, angka buta aksara Alquran masih memprihatinkan. Mengutip data Sensus Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, buta huruf Alquran mencapai 53,57 persen. 

Penanggung Jawab Program Indonesia Bisa Baca Quran (IBBQ) Cinta Qur’an Denny Rahman Hakim menjelaskan, masih banyak masyarakat Indonesia di pedalaman yang buta huruf Alquran. Dalam perjalanannya ke beberapa daerah, Denny menyaksikan minimnya kemampuan peserta dalam membaca Alquran. 

Selama 2022 ini, Denny mengaku sudah pergi ke berbagai daerah untuk melakukan pelatihan Alquran di pedalaman. Dia menyusuri berbagai kepulauan di Kalimantan Barat yang mayoritas penduduknya merupakan mualaf suku Dayak.

“Di daerah Empanang dan Kenelang (Kabupaten Kapuas Hulu), Muslim di situ kebanyakan mualaf Dayak. Selama 30 tahun ini baru kali ini mereka mendapatkan guru Alquran,” ujar dia saat berbincang dengan Republika di Bogor, Jawa Barat, kemarin. 

Tidak hanya daerah dengan Muslim sebagai minoritas, dia menjelaskan, ada pula masyarakat di daerah perbatasan Aceh yang belum mengenal bacaan Alquran. Fenomena tersebut pun membuat Denny merasa heran, mengingat Aceh dikenal sebagai Serambi Makkah.

“Di masyarakat perkotaan di daerah Kali Code, Yogyakarta, pun tingkat kemampuan bacaan Alqurannya juga masih memprihatinkan,” ujar dia. 

Untuk itu, Denny bersama Yayasan Cinta Quran menggemakan kampanye IBBQ yang bertujuan membebaskan masyarakat nusantara dari buta huruf Alquran. Program ini menargetkan satu juta Muslim mendapatkan pelatihan dengan metode tahrir agar bisa mengenal huruf-huruf Alquran secara cepat dan tepat. Saat ini, peserta program masih berkisar 100 ribu orang.

Pelatihan yang menggunakan metode bercerita ini diikuti warga di Jalan Ceremai Ujung, Bogor Utara.  Para peserta tampak antusias dengan training yang dilakukan dari pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB tersebut. Mereka pun memeragakan berbagai gerakan instruksi Ustaz Ahmad Ruba’i Muslim yang juga trainer IBBQ. Terkadang gerakan tersebut pun diikuti oleh nyanyian yang sudah familiar.

Denny menjelaskan, tujuan pelatihan ini memang bukan untuk bisa baca Alquran langsung lancar. Menurut Denny, pelatihan ini dilakukan untuk mengenalkan huruf hijaiyah meski dengan terbata-bata. Peserta pun tidak langsung dikenalkan huruf hijaiyah, melainkan bunyi yang terkandung lewat huruf latin. “Peserta diminta untuk hafal dulu ceritanya baru ditampilkan huruf hijaiyahnya,” ujar dia. 

Setelah pelatihan tersebut, peserta diarahkan untuk mengikuti kelas membaca Alquran yang lebih intensif. Menurut dia, antusiasme peserta meningkat selama Ramadhan mengingat pada bulan ini merupakan bulan diturunkannya Alquran ke bumi. 

Denny menjelaskan, program ini bekerja sama dengan pengurus dewan kemakmuran masjid (DKM) setempat. “Mereka mendaftar lewat DKM kemudian pelatihannya kami yang fasilitasi,” ujar dia. 

Salah satu peserta, Muhammad Ngaidin (47 tahun), mengaku baru pertama kali mendapatkan pengajaran Alquran lewat metode tahrir ala Cinta Quran. Menurut dia, metode tersebut mudah dipahami oleh orang yang baru belajar Alquran seperti dirinya. 

Dia pun berpesan agar setiap Muslim yang belum bisa membaca Alquran agar tidak minder dalam belajar. “Belum bisa baca hindari rasa minder dan rasa malu karena ilmu kewajiban,” kata dia. 

KHAZANAH REPUBLIKA