Membayar Qadha Puasa Ramadhan Dulu atau Puasa Syawal Dulu?

Mayoritas muslimah pasti memiliki hutang puasa Ramadhan, sebab perempuan mengalami haid yang merupakan siklus bulanan yang alami terjadi pada tubuh perempuan. Pertanyaannya, membayar qadha puasa Ramadhan dulu atau puasa Syawal dulu?

Dalam sebuah hadis yang diriyawatkan dari Abi Ayyub al Anshari ra. bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian diiringi enam hari di bulan Syawwal, maka seakan-akan ia melaksanakan puasa satu tahun.” (HR. Imam Muslim).

Hadis ini mengindikasikan bahwa syarat mendapatkan ganjaran seperti puasa satu tahun adalah pertama berpuasa selama bulan Ramadhan penuh dan kedua puasa enam hari di bulan Syawwal.

Syarat yang pertama ini menyisakan tanya bagi orang yang memiliki hutang puasa, apakah boleh seseorang yang berhutang puasa Ramadhan melakukan puasa sunnah syawal ? Ataukah ia harus mengqadha’ hutang puasa Ramdhan dulu setelah itu puasa syawal ?

Di dalam kitab al-Syarqawi ala at-Tahrīr karya Imam as-Syarqawi disebutkan bahwa jika seseorang itu memiliki hutang puasa ketika Ramadhan karena adanya udzur dan ingin puasa syawwal maka boleh, tetapi ia tidak mendapatkan pahala sebagaimana hadis nabi saw. di atas, yakni disyaratkannya puasa syawal setelah melakukan puasa Ramadhan.

Tetapi jika ia memiliki hutang puasanya tidak karena udzur syar’i (yakni karena adanya pelanggaran yang ia lakukan), maka ia haram berpuasa sunnah tersebut. Karena ia mengakhirkan qadha’ yang seharusnya dilaksanakan segera.

Oleh karena itu tidak sah jika dilakukan sebelum menqadha’ puasa Ramadhan. Maka seharusnya ia mengqadha’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dan mengakhirkan puasa sunnah enam hari setelah mengqadha’. Sehingga ia akan mendapatkan pahala yang sempurna, yakni menyempurnakan hutang puasa Ramadhannya dan pahala puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal.

Sedangkan Imam Abdurrahman Ba’lawi dalam Bughyatul Mustarsyidin mensunnahkan secara mutlak puasa sunnah enam hari di bulan Syawal meskipun ia memiliki hutang puasa Ramadhan.

Berbeda dengan pendapat sebelumnya, imam Abu Makhramah justru menganggap tidak sahnya puasa enam hari di bulan Syawwal bagi orang yang masih memiliki hutang puasa Ramadhan.

Berkenaan dengan masalah orang yang memiliki hutang puasa dan ingin melaksanakan puasa sunnah syawwal, maka ulama’-ulama’ fiqh telah memiliki solusinya. Yakni ia boleh meniatkan puasa qadha’/membayar hutang puasa Ramadhan disertai dengan niat puasa syawwal sekaligus.

Hal ini dianggap sah oleh ulama’ fiqh sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fath al-Mu’inHasyiyatu al-Bajuri (syarh fathul qarib), dan al-Asybah wa an-Nazhair.

Bahkan Imam as-Syarqawi dalam kitab as-Syarqawi ‘ala at-Tahrir mengatakan bahwa orang yang masih memiliki hutang puasa Ramadhan (puasa qadha’), ia dapat melaksanakan puasa sunnat enam hari di bulan syawwal ini dengan niat puasa qadha’, puasa nadzar atau puasa sunnah lainnya.

Maka ia berarti telah mendapatkan balasan puasa enam hari di bulan syawal, meskipun orang yang melaksanakan tersebut tidak meniatkan puasa enam hari di bulan syawal. Karena tujuannya adalah adanya puasa enam hari di bulan syawal telah tercapai.

Dengan demikian, solusi bagi orang yang sangat ingin mendapatkan pahala puasa sunnah enam hari di bulan syawwal, tetapi masih memiliki tanggungan hutang puasa Ramadhan adalah ia boleh meniatkan puasa qadha’ Ramadhan dan puasa syawwal sekaligus, karena diperbolehkannya menggabungkan niat puasa wajib dengan puasa sunnah. Atau ia meniatkan puasa qadha’ saja tanpa niat puasa syawal, dan ini hanyalah suatu kemudahan.

Namun jika ia ingin mendapatkan pahala yang sempurna maka afdhalnya adalah ia melaksanakan qadha’ puasa terlebih dahulu, lalu ia melanjutkan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal. Wallahu A’lam bis Showab.

BINCANG SYARIAH

Menjaga Kebiasaan Puasa Setelah Ramadhan

Profesor Universitas Islam Internasional Malaysia, Sano Koutoub Moustapha mengungkap setelah Ramadhan berakhir, hendaknya kebiasaan baik terus dilanjutkan seperti menjaga puasa. Menurutnya, hal tersebut merupakan niat mulia untuk mempertahankan puasa sebagai kebiasaan setelah Ramadhan.

Dia menjelaskan ada puasa khusus yang dianjurkan setelah Ramadhan seperti enam hari Syawal , tiga hari setiap bulan (11, 12, 13 atau 13, 14, 15), dan Senin dan Kamis sepanjang tahun.

Dalam hadits Abu Dawud disebutkan,

   عَنْ أَبِي أَيُّوبَ صَاحِبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ

عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ 

Dari Abu Ayyub sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata:

“Barangsiapa yang melakukan puasa pada Bulan Ramadhan kemudian ia ikutkan dengan puasa enam hari pada Bulan syawal, maka seolah-olah ia berpuasa satu tahun.” 

Seorang muslim dapat mempertimbangkan untuk melakukan salah satu dari puasa yang direkomendasikan ini meskipun kita diizinkan untuk berpuasa tanpa mengikuti sunnah tertentu yang direkomendasikan oleh Nabi Muhammad. Selain itu tetaplah untuk memohon kepada Allah SWT untuk memperkuat iman dan membantu untuk menegakkan perintah dan tugas-Nya.

IHRAM

Puasa Syawal akan Sempurnakan Puasa Ramadhan

Puasa Syawal juga akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh.

Dikutip dari buku Fikih Bulan Syawal oleh Muhammad Abduh Tuasikal, Puasa Syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib. Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa Syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib.

Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunnah. (Lathaif Al-Ma’ari)

Di samping itu, Puasa Syawal juga akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh, dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضانَ ثُمَّ أَتَبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كانَ كصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim, no. 1164).

Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan). (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim)

IHRAM

Puasa Syawal, Bentuk Nikmat Bersyukur

Dikutip dari buku Fikih Bulan Syawal oleh Muhammad Abduh Tuasikal, Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari anugerah pengampunan dosa dari Allah.” (Lathaif Al-Ma’arif).

Sampai-sampai Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan.

‘Aisyah mengatakan, “Kenapa engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni

dosa-dosamu yang lalu dan akan datang?”. Beliau lantas mengatakan,

“Tidakkah pantas aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari, no. 4837).

Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idulfitri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengagungkan Allah melalu bacaan takbir ”Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengangungkan pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185).

Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud. Inilah bentuk syukur mereka.

Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun, setelah mendapatkan satu nikmat kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan terus ada sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat.

Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna).” (Lathaif Al-Ma’arif).

IHRAM

Sayap-Sayap Malaikat

Di luar sepuluh malaikat, ada malaikat-malaikat lain yang memiliki banyak tugas

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang  mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (QS Fathir 1).

Fathir merupakan salah satu surah dalam Alquran yang berbicara tentang malaikat. Prof Dr M Yunan Yusuf dalam Tafsir Al Izzah menjelaskan, kata Fathir mengandung makna pencipta awal yang tiada bahan sebelumnya.

Itulah apa yang ditangkap Ibnu Abbas dari pembicaraannya dengan seorang Arab dusun tentang kata Fathir tersebut. Imam Ibnu Katsir pun menurunkan sebuah riwayat berkaitan dengan ayat ini yang berasal dari Ibnu Abbas.

“Dahulu aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan faathirus samaawati wal ardli (Yang menciptakan langit dan bumi) hingga dua orang Arab desa datang kepadaku berselisih tentang satu buah sumur. Salah satu dari kedua orang tersebut berkata kepada temannya: ‘Ana fathartu haa samaawaati wal ardli’, yaitu Badi’ius samaawati wal ardli (Pencipta pertama kali langit dan bumi). Karena itu, kata fathir disimpulkan sebagai pencipta awal, yakni mengawali penciptaan sesuatu. Dalam kaitan ini, Allah adalah Pencipta, yakni sebagai penciptaan awal yang memulai adanya langit dan bumi.”

Untuk menyelenggarakan tata kelola langit dan bumi, Allah menciptakan malaikat seperti yang tercantum dalam ayat pertama surah Fathir di atas. Ayat tersebut menjelaskan, para malaikat berfungsi sebagai utusan Allah dalam arti mewakili-Nya dalam mengatur dan melaksanakan tugas-tugas yang telah ditetapkan bagi mereka masing-masing.

Alquran tidak menyebutkan kejadian malaikat itu dibuat dari bahan apa. Hanya, ada hadis yang menjelaskan jika malaikat diciptakan dari nur atau cahaya. 

Ayat di atas menggambarkan tentang malaikat-malaikat yang mempunyai sayap. Ada yang dua, tiga dan empat. Para ulama memiliki perbedaan pandangan mengenai sayap-sayap ini.   Ayat di atas menggambarkan tentang malaikat-malaikat yang mempunyai sayap. Ada yang dua, tiga dan empat.    

Ada yang memahaminya dalam arti hakiki, jika malaikat itu memang memiliki sayap sebagaimana disebut dalam teks Alquran. Ada juga yang memandang ungkapan tersebut hanya kiasan. Artinya, tingkat kecepatan gerak malaikat itu sangat tinggi dengan sayap-sayap yang dimiliki masing-masing malaikat.

Ada juga gambaran dari Rasulullah SAW mengenai makhluk Allah yang ghaib ini. “Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak kalian lihat. Aku mendengar sesuatu yang tidak kalian dengar. Langit merintih.. Dan layak baginya untuk merintih. Tidak ada satu ruang selebar empat jari, kecuali di sana ada malaikat yang sedang meletakkan dahinya, bersujud kepada Allah. Demi Allah, andaikata kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan sedikit menangis… “ (HR Ahmad dan Tirmidzi). 

Hadis ini menjelaskan, tidak ada satu ruang selebar empat jari kecuali di sana ada malikat yang sedang meletakkan dahinya sedang bersujud kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ungkapan ini adalah kalimat simbolis atas malaikat yang sangat banyak. Meski demikian, dalam Arkanul Iman, dijelaskan hanya ada sepuluh malaikat yang wajib dipercaya Allah sesuai dengan tugas masing-masing.   Demi Allah, andaikata kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan sedikit menangis.    

Di luar sepuluh malaikat, memang ada malaikat-malaikat lain yang memiliki banyak tugas. Ada yang bertugas pada malam hari saja. Ada juga yang tugasnya hanya pada siang hari. Para malaikat ini akan serah terima pada waktu Subuh dan Ashar dengan catatan masing-masing. Mereka pun membuat laporang khusus siapa saja hamba-hamba Allah yang sedang melaksanakan shalat.

“Malaikat bergantian melihat kalian pada siang dan malam. Para malaikat itu bertemu di Shalat Subuh dan Shalat Ashar. Kemudian, yang bermalam dengan kalian naik (ke langit) dan ditanya oleh Rabb mereka, dan Dia lebih tahu keadaan hamba-hambanya. Bagaimana kondisi hamba-hamba Ku ketika kalian tinggalkan? Para malaikat menjawab, “Kemi meninggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami mendatangi mereka dalam keadaan shalat.” (HR Bukhari dan Muslim.   Tidak ada satu ruang selebar empat jari kecuali di sana ada malikat yang sedang meletakkan dahinya sedang bersujud kepada Allah.    

Hadis lainnya dari Imam Muslim meriwayatkan, ada juga malaikat yang berdiri di depan pintu masjid setiap Jumat. Dia mencatat satu persatu siapa yang memasuki masjid untuk shalat Jumat sampai khatib naik mimbar. Malaikat itu pun ikut mendengarkan khutbah dari khatib tersebut.

Sementara, hadis lain dari Imam Bukhari dan Muslim menceritakan jika malaikat lainnya mencatat orang yang pergi mencari rezeki. Dia memperoleh rezeki itu dengan ikhlas dan menafkahkan untuk kebaikan.

Malaikat pun mendoakannya agar rezekinya ditambah lebih banyak lagi. Jika dia tidak menginfakkannya, malaikat akan mendoakannya agar harta itu dipunahkan. 

Begitulah kuasa Allah bersama pasukannya para malaikat. Karena itu, kita wajib mengimani makhluk Allah yang ghaib itu.

Wallahu a’lam.

OLEH A SYALABY ICHSAN

KHAZANAH REPUBLIKA

Amalan yang Pahalanya Melebihi Haji dalam Manuskrip Hadis Nusantara

Haji ialah mendatangi baitul haram untuk melakukan ibadah pada bulan yang ditentukan yaitu dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Zulhijah.

Jumhur ulama membagi hukum haji menjadi lima; Pertama, fardu ‘ain bagi yang mampu; kedua, fardu kifayah untuk menghidupkan ka’bah setiap tahunya; ketiga, sunnah seperti hajinya anak kecil dan budak; keempat, haram ketika ada bahaya yang nyata atau diduga membahayakan; kelima, makruh ketika ada perasaan takut maupun ragu.

Di bulan Syawal ini seharusnya pemerintah sudah memulai memberangkatkan kloter demi kloter jemaah haji ke tanah suci. Namun akibat pandemi covid-19 global belum kunjung mereda, Pemerintah memutuskan tidak memberangkatkan jamaah haji di tahun. Alhasil 221.000 jemaah yang berangkat tahun ini harus sabar menunggu tahun depan.

Sebagai calon jemaah haji yang mempunyai niat untuk ta’abbud dan taqarrub dengan sungguh-sungguh tidak akan merasa resah dan gelisah akibat gagalnya ibadah haji tahun ini. Mereka sadar bahwa masih banyak amalan-amalan yang pahalanya setara dengan ibadah haji, salah satunya ialah shalat berjamaah.

Rasulullah Saw menjelaskan keutamaan shalat berjamaah yang pahalanya setara dengan ibadah haji bahkan lebih besar pahalanya dari pada haji. Diantara hadis Nabi tersebut telah terabadikan dalam  manuskrip yang berisi kumpulan empat puluh hadis Nabi yang diterjemahkan dengan bahasa Melayu, dan menjadi salahsatu koleksi Pemerintah Malaysia.

Namun sayangnya manuskrip ini tidak ada keterangan siapa penulisnya serta sejarahnya. Manuskrip ini tersimpan rapi di perpustakaan Malaysia dan telah di digitalisasi dengan judul “Hadis Empat Puluh” dan kode MS595. Dalam naskah digital tidak ada penjelasan ciri maupun struktur manuskripnya. Saya belum mengetahui apakah dalam naskah aslinya dijelaskan atau tidak.

Seperti naskah-naskah kumpulan hadis empat puluh lainya misal kitab Arba’in an-Nawawiyah, manuskrip ini juga di awali dengan penjelasan keistimewaan seseorang yang hafal empat puluh hadis maka ia akan digolongakan kedalam kelompok ahli fikih (fuqaha’).

Bentuk penulisan manuskrip ini menggunakan dua warna yaitu merah dan hitam. Warna merah digunakan untuk membatasi antar teks hadis dan terjemahnya, sedangkan warna hitam digunakan untuk teksnya. Manuskrip ini mempunyai sepuluh halaman beserta covernya dan diantara halaman terdapat coretan penulis di samping teks berisi catatan tambahan  teks yang kurang.

Hadis Pahala Shalat Berjamaah Setara dengan Haji

Shalat berjamaah merupakan amalan yang sangat di anjurkan oleh Rasulullah Saw, bahkan ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasul tidak segan membakar rumah para sahabat ketika meninggalkan shalat jamaah. Hal ini semata-mata untuk memberikan peringatan dan ancaman keras bagi yang meninggalkan jamaah tanpa ada uzur yang jelas sesuai syariat.

Dibawah ini adalah riwayat dalam manuskrip tersebut, bahwa Rasulullah Saw menjanjikan bagi orang yang shalat subuh dengan berjamaah, pahalanya seperti malaksanakan haji bersama Nabi Adam dua puluh kali. Setiap waktu shalat berbeda tingkatan hajinya, shalat zuhur pahalanya setara dengan haji bersama Nabi Ibrahim empat puluh kali dan seterusnya sampai shalat isya’ berjamaah yang pahalanya seperti haji bersama Nabi Muhammad seratus kali.

Berikut kutipan hadis Nabi beserta terjemah yang tertulis dalam manuskrip Melayu

http://myrepositori.pnm.gov.my/handle/123456789/892

Qalan-nabiyu shallallahu ‘alaihi wa sallam man shalla shalatal fajri ma’a jama’ati  fakaannama hajja ma’a adam ‘isyrina marrati hajjin, artinya barang siapa sembahyangkan sembahyang subuh serta imam  maka serasa naik haji serta Nabi Adam dua puluh kali haji. Qalan-nabiyu Shallallahu ‘alaihi wa sallam man shalla shalata zuhri ma’al jam’ati fakaannama hajja ma’a nabi Ibrahim arba’ina marrati hajjin, barang siapa sembahyangkan sembahyang zuhur serta imam serasa  naik haji serta Nabi Ibrahim empat puluh kali haji. Qalan-nabiyu shallallahu ‘alaihi wa sallam man shalla shalatal ‘isya’i ma’al jama’ati fakaannama hajja ma’a Muhammadin sallallahu ‘alaihi wa sallama miata marratin, arti sabda Nabi barang siapa sembahyangkan sembahyang isya’ serta berimam pahalanya serasa naik haji serta Nabi Muhammad seratus kali haji.

Teks hadis tersebut tidak disertai periwayat satupun. Padahal suatu hadis sampai kepada kita melalui jalur rantai periwayatan. Nah yang menjadi permasalahanya apakah hadis-hadis tersebut di jamin otentisitasnya? Setelah penulis telusuri, hadis-hadis diatas tidak ditemukan di kitab shahih Bukhari maupun Muslim, namun terdapat hadis lain yang mempunyai kandungan sama walaupun lafaznya bersama.

Nabi Saw telah bersabda dalam hadis yang di riwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kitab Sunan at-Tirmidzi, 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِك قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم “مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةِ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى تَطْلِعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ” “قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ”. قال أبو عيسى: هذا حديث حسن غريب

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, “ Barang siapa melaksanakan shalat subuh berjamaah, kemudian dilanjutkan duduk berdzikir hingga terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat, maka baginya pahala yang setara dengan haji dan umrah.” Rasul Saw kemudian bersabda, “sempurna,sempurna,sempurna”. (HR. at-Tirmidzi, At-Tirmidzi berkomentar: Hadis ini Hasan Gharib)

Meskipun belum diketahui keshahihan hadis-hadis tersebut, mayoritas ulama hadis membolehkan berpendapat boleh mengamalkan hadis tersebut tujuan untuk diamalkan sebagai fadailul a’mal selama tidak bertentangan dengan syari’at.

Selain fadilah yang telah di sebutkan, manuskrip ini juga mencatumkan fadilah-fadilah berjamaah yang lain, yaitu barang siapa shalat berjamaah secara terus-menerus tanpa putus selama empat puluh hari maka ia dijamin bebas dari api neraka dan terhindar dari golongan orang munafik.

Qalan-nabiyu shallallahu ‘alaihi wa sallam man shalla salatan ma’al-jama’ati arba’ina  yauman lam taqtha’ rak’atun kataballahu ta’ala lahu baraatun minan-nar wa baraatun minan-nifaq,

Rasululullah bersabda: barang siapa bersembahyang serta berimam sampai empat puluh hari belum luput dari pada satu waktu dan rakaat Allah ta’ala baginya lepas dari pada neraka dan lepas dari pada munafik.

Dengan mengetahui bahwa ada amalan yang mempunyai keutamaan pahala setara bahkan lebih besar dari pada haji diharapkan dapat memunculkan sikap legowo dalam menyikapi pemerintah yang membatalkan pemberangkatan jemaah haji. Pemerintah dalam hal ini tidak menginginkan warganya mengalami hal buruk, apalagi rata-rata jamaah haji asal Indonesia berusia lanjut yang mana mudah terkena penyakit. Ini secara implisit selaras dengan salah satu kaidah dalam fikih, tasharraful imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah.

BINCANG SYARIAH

Belajar dari Rasulullah yang Pernah Gagal Berhaji

Calon jamaah haji di atas 65 tahun tak bisa berangkat tahun ini.

Sedihnya hati (sebut saja) bude, tetangga saya yang sudah berusia 67 tahun di tahun ini begitu mendengar informasi Arab Saudi sudah mengizinkan pengiriman jamaah haji dari seluruh dunia, tapi tidak bagi yang berusia di atas 65 tahun. Dia yang sudah mendaftar haji sejak tahun 2012 dan seharusnya berangkat pada 2020 kemarin, harus kembali bersabar untuk bisa menyempurnakan rukun Islam-nya.

Seperti diketahui, pada awal April ini,  Arab Saudi memberikan kuota haji untuk Indonesia pada tahun ini sebanyak 100.051 orang.  Namun, dari jumlah yang kurang dari separuh kuota haji di masa normal itu, masih ada aturan yang mensyaratkan calon jamaah haji usianya tidak boleh lebih dari 65 tahun per 8 Juli 2022.

Berdasarkan data dari Puskes Haji Kemenkes, dari 221 ribu kuota jamaah tahun 2020, yang berusia kurang 65 tahun sebanyak 164.541 orang, dan usia di atas 65 tahun berjumlah 50.636 orang. Artinya 50.636 jamaah usia diatas 65 tahun tidak bisa diberangkatkan dengan alasan usia.

Tentu kita wajib syukuri dengan pemberian kuota haji dari Arab Saudi dengan jumlah yang sedikit itu. Apalagi, sejak dua tahun terakhir kita belum pernah lagi mengirimkan jamaah haji akibat pandemi.

Namun, bagi kondisi calon jamaah haji yang berusia di atas 65 tahun tak bisa berangkat, tentu kita prihatin. Dan, kita harap mereka bersabar dan kita doakan tahun depannya untuk bisa berangkat.

Dan  kita perlu ingat, kegagalan keberangkatan haji bukan hanya dialami oleh kita baru-baru ini saja. Namun, juga pernah dialami oleh Nabi Muhammad.

Seperti dikisahkan, pada tahun kedelapan Hijriyah negeri Makkah berhasil ditaklukkan, meski orang Quraisy sendiri yang memungkiri perjanjian Hudaibiyah. Di waktu menaklukkan Makkah itu, secara langsung beliau perintahkan menghancurkan dan meruntuhkan berhala-berhala itu.

“Dan beliau perintahkan Sayidina Bilal azan kepuncak Kabah,” kata Prof Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar.

Lalu, pada tahun kesembilan beliau perintahkan Abu Bakar as-Shiddiq menjadi Amirul-Hajj. Kemudian beliau usulkan dengan memerintahkan Ali bin AbuThalib membacakan Surat Baraah (at-Taubah), meyampaikan beberapa perintah.

“Di antaranya ialah bahwa tahun depan tidak boleh lagi ada orang yang tawaf keliling Ka’bah dengan bertelanjang,” katanya.

Menurut informasinya kata Buya Hamka, karena beliau tidak mau melihat orang telanjang bertawaf itulah maka beliau tidak naik haji tahun itu. Dan akhirnya memerintahkan Abu Bakar memimpin haji.

“Baru tahun depannya, di tahun kesepuluh beliau memimpin sendiri naik haji, setelah Ka’bah benar-benar bersih,” katanya.

Dan haji beliau yang terakhir itulah yang dinamai Haji Wada’ Haji Selamat Tinggal atau haji perpisahan. Setelah beberapa bulan dari itu Rasulullah wafat.

Jadi, sekali lagi kita harapkan calon jamaah haji yang belum bisa berangkat, jangan terlalu larut dalam kesedihan karena tidak jadi berangkat. Insya Allah, niat haji kita sudah sampai dan kita mendapatkan pahala.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, disebutkan “Sesungguhnya Allah mencatat berbagai kejelekan dan kebaikan lalu Dia menjelaskannya. Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lantas bisa ia penuhi dengan melakukannya, maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.”

Sementara,Sa’id bin Al Musayyib, seorang ulama yang termasuk golongan tabi’in berkata, “Barangsiapa bertekad melaksanakan sholat, puasa, haji, umroh atau berjihad, lantas ia terhalangi melakukannya, maka Allah akan mencatat apa yang ia niatkan.”

Oleh : Muhammad Hafil, Jurnalis Republika.co.id

IHRAM

Calon Haji Diminta Persiapkan Bekal Ilmu dan Kesehatan

Pada tahun ini, pemerintah Indonesia akan memberangkatkan 100.051 calon jamaah dan 1.901 petugas haji ke Tanah Suci Makkah. Karena itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PP IPHI), Ismed Hasan Putro meminta kepada para jamaah haji untuk mulai membekali diri dengan ilmu tentang prosesi pelaksanaan ibadah haji.

 “Itu semua harus dibekali dengan pengetahuan yang memadai agar mereka di dalam menjalankan prosesi itu tidak semata-mata sebagai sesuatu yang sifatnya rutin, namun harus dipahami maknanya,” ujar Ismed kepada republika.co.id, Jumat (6/5).  

Menurut dia, setiap jamaah haji harus mengetahui  makna thawaf dan prosesi ibadah haji lainnya. Karena itu, menurut dia, para jamaah harus diberikan pemahaman yang cukup tentang ibadah haji sejak di Tanah Air.  

“Di sinilah tugas dari KBIH untuk memberikan pengetahuan yang memadai kepada para calon jamaah haji,” ucap Ismed.  

Dalam konteks ini, menurut dia, Kementerian Agama (Kemenag) juga harus banyak memberikan pemahaman kepada Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) dan juga kepada para jamaah. “Sehingga di dalam mempersiapkan ini, mereka benar-benar memiliki bekal yang cukup pada saat mereka menjalankan ibadah haji itu,” kata Ismed.  

Selain itu, menurut dia, yang paling penting juga jamaah harus mempersiapkan kesehatannya di tengah situasi pandemi yang masih mengintai dan mengancam pada sebagian negara. “Tentu saja ini harus dipersiapkan juga kepada jamaah haji Indonesia. Apalagi, usia jamaah haji kita kan rata-rata di atas 50 tahun,” jelas Ismed. 

Karena itu, lanjut dia, para calon jamaah haji Indonesia harus rutin dalam beberapa waktu ke depan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Di samping itu, kata dia, mereka tentu juga harus rajin berolahraga agar secara fisik benar-benar memiliki kekuatan dan daya tahan yang memadai untuk melaksanakan prosesi haji. 

“Karena, haji ini beda dengan umrah. Kalau umrah kan relatif lebih santai. Umrah itu hanya ada thawaf, ada sai, tidak ada lempar humroh, tidak ada bermalam di Mina dan tidak ada prosesi yang berat yang menggunakan fisik,” kata Ismed.

IHRAM

Tidak Mudah Persiapkan Haji Tahun 2022

Ketua Umum Rabithah Haji Indonesia Ade Marfuddin mengatakan, persiapan penyelenggaraan haji tahun ini memang sangat singkat waktunya. Persiapan semakin rumit karena harus memilih jamaah yang berusia di bawah 65 tahun.

“Persiapan ini memang agak sedikit crowded, menentukan 100.051 orang dengan membagi kepada 34 provinsi dengan urut kacang dari umur 65 tahun kebawah,” kata Ade Marfuddin, saat dihubungi Republika, Jumat (6/5/2022). 

Ade mengatakan, tidak mudah mencari data jamaah haji di bawah 65 tahun. Untuk itu Kemenag perlu hati-hati menentukan jamaah haji yang waktunya mendekati 65 tahun agar tetap bisa diberangkatkan. 

“Jadi menyisirnnya ini merupakan pekerjaan yang cukup rumit. Sehingga Pak Dirjen kelihatannya lebih kehati-hatian supaya tidak menimbulkan gejolak,” katanya. 

Ade meyakini, Kemenag setelah menentukan siapa saja nama-nama calon jamaah haji yang siap diberangkatkan tahun ini. Saat ini Kemenag tinggal menunggu Keputusan Presiden (Keppres) tentang pelunasan pembayaran. 

“Penentuan nama-nama ini sebenarnya sudah ada tinggal dipublish saja. Karena masih menunggu keputusan presiden dengan Kepresnya kapan mulai pembayaran,” katanya. 

Karena, kata dia calon jamaah yang boleh bayar pelunasan itu yang sudah dinyatakan valid untuk berangkat tahun ini. Dia memastikan kuota haji sudah dibagi ke kabupaten dan kota sesuai kebijakan. 

“Justru yang saya soroti bukan penentuan nama-namanya. Itu insya Allah kuotanya akan dibagi habis dan ini lebih kehati-hatian aja,” katanya. 

Sementara itu Muhammad Amin, jamaah haji asal Makassar bersyukur akhirnya dia dihubungi Kemenag untuk berangkat tahun ini. Muhammad Amin bersama istrinya Nuraini telah menunggu 12 tahun untuk bisa diberangkatkan. 

“Alhamdulillah saya sudah menerima pengumuman dari Kemenag berangkat tahun ini 12 tahun saya menunggu kabar bisa diberangkatkan,” katanya. 

Muhammad mengaku dia telah melunasi biaya ibadah haji pada tahun 2020. Jadi tahun ini dirinya tinggal mempersiapkan diri untuk bisa diberangkatkan. “Sudah lunas sejak 2 tahun yang lalu,” katanya. 

Muhammad mengatakan, hari Senin (9/5/2022) rencananya dia akan mengikuti manasik haji yang diselenggarakan oleh Kemenag setempat. Meski demikian dia belum tahu kapan tanggal pastinya dia akan diberangkatkan. “Saya dengar tanggal 4 Juni jamaah mulai diberangkatkan,” katanya.  

IHRAM

Anjuran Memperbanyak Jemaah ketika Salat Jenazah

Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ

“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, dan disalatkan oleh lebih dari empat puluh orang, dalam kondisi mereka tidak menyekutukan Allah sedikitpun, niscaya Allah akan mengabulkan syafaat (doa) mereka untuknya.” (HR. Muslim no. 948)

Dalam hadits tersebut, meskipun disebutkan dengan lafaz “muslim”, akan tetapi wanita muslimah juga tercakup dalam kandungan makna hadits tersebut.

Terdapat beberapa faedah dari hadits tersebut yang telah dijelaskan oleh para ulama, di antaranya:

Faedah pertama

Hadits tersebut menunjukkan dianjurkannya memperbanyak jemaah salat jenazah. Karena siapa saja yang disalati oleh jemaah sebanyak bilangan tersebut (empat puluh), dan mereka memiliki sifat sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan (tidak menyekutukan Allah sedikitpun), maka Allah Ta’ala akan menerima (mengabulkan) syafaat (doa) mereka tersebut.

Dalam perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ

“ … mereka tidak menyekutukan Allah …  ”; terdapat isim nakirah (kata benda indefinitif) dalam konteks kalimat negatif (nafi), yaitu kata “tidak menyekutukan”. Dalam bahasa Arab, model kalimat semacam ini memberikan faedah makna umum. Sehingga maksudnya, mereka tidak menyekutukan Allah sedikitpun, baik berupa syirik besar (syirik akbar) maupun syirik kecil (syirik ashghar). Hal ini karena salat yang dikerjakan oleh pelaku syirik besar tidak akan diterima. Sedangkan untuk pelaku syirik kecil, tidak ada jaminan syafaat mereka diterima, meskipun bisa jadi dikabulkan. Hal ini karena pemberi syafaat itu tidak boleh memiliki cacat (noda) yang bisa mengotori aqidahnya. (Lihat Fathu Dzil Jalaal wal Ikram, 5: 491)

Terdapat hadits yang diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ

“Jenazah yang disalatkan oleh kaum muslimin dengan jumlah melebihi seratus orang, dan semuanya mendoakannya, maka doa mereka untuknya akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 947)

Baca Juga: Berdiri Sejenak Mendoakan Jenazah setelah Dimakamkan

Al-Qadhi Iyadh rahimahullah menjelaskan bahwa hadits-hadits ini (yaitu yang menyebutkan bilangan empat puluh atau seratus orang) merupakan respon atau jawaban atas pertanyaan tentang hal tersebut pada kesempatan yang berbeda. Sehingga masing-masing dijawab sesuai dengan konteks pertanyaannya. Sehingga maknanya, baik yang mensalatkan itu sejumlah 40 atau 100 orang, jenazah tersebut tetap akan mendapatkan syafaat dari orang-orang yang mensalatinya. (Lihat Ikmaalul Mu’lim, 3: 407)

An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa ada kemungkinan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan wahyu diterimanya syafaat dari 100 orang, kemudian beliau mengabarkannya. Kemudian beliau mendapatkan wahyu diterimanya syafaat dari 40 orang, kemudian beliau pun mengabarkannya. Atau kemungkinan lain, bahwa kalimat ini dalam bahasa Arab disebut sebagai mafhum ‘adad (suatu kesimpulan yang diambil dari luar dari teks lafaz yang berkaitan dengan penyebutan bilangan). Sehingga tidaklah memiliki makna, “jika yang mensalatkan kurang dari 100, syafaatnya tidak diterima”. Tidak demikian. Karena kedua hadits tersebut sama-sama diamalkan. Sehingga syafaat pun akan Allah Ta’ala terima meskipun yang mensalati kurang dari 100.

Selain itu, hadits tentang penyebutan bilangan yang lebih kecil (40 orang) itu datang belakangan daripada bilangan yang lebih besar (100 orang). Maksudnya, hadits riwayat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma itu datang belakangan dibandingkan dengan hadits riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Mungkin inilah pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah yang lebih memilih untuk mencantumkan hadits Ibnu Abbas daripada hadits Aisyah di kitab Bulughul Maram, meskipun keduanya sama-sama terdapat di dalam Shahih Muslim.

Allah Ta’ala adalah Dzat yang tidak pelit dalam mencurahkan nikmat dan keutamaan. Bukan menjadi kebiasaan Allah, apabila menjanjikan ampunan berdasarkan suatu syarat, kemudian Dia mengurangi keutamaan itu. Namun sebaliknya, Dia justru akan menambahkannya. Hal tersebut menunjukkan curahan anugerah dan kedermawanan Allah Ta’ala yang senantiasa ditambahkan bagi hamba-Nya.

Baca Juga: Bolehkah Perempuan Mengiringi Jenazah?

Faedah kedua

Hadits ini merupakan dalil penetapan syafaat dari orang-orang yang beriman. Syafaat dari orang-orang yang mendirikan salat jenazah kepada si mayit itu diterima dan bermanfaat dengan izin Allah Ta’ala, sesuai dengan sifat yang telah disebutkan. Yaitu bahwa orang yang memberikan syafaat (asy-syaafi’) tidak menyekutukan Allah sedikit pun, demikian pula orang yang mendapatkan syafaat (al-masyfu’). Syafaat untuk meningkatkan derajat orang mukmin merupakan salah satu bentuk syafaat yang disebutkan oleh para ulama.

Faedah ketiga

Salat jenazah itu hanya khusus untuk jenazah muslim, berdasarkan teks lafaz hadis di atas,

مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia … “

Adapun orang kafir yang meninggal dunia, maka tidak boleh disalati ketika mereka meninggal di atas kekafiran dan tidak boleh didoakan untuk mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)

Berdasarkan ayat tersebut, jika orang kafir itu meninggal di atas kekafirannya, maka tidak boleh didoakan, tidak boleh dimintakan ampunan, dan tidak boleh didoakan untuk mendapatkan rahmat Allah Ta’ala. Karena itu semua merupakan bentuk wala’ (loyalitas) kepada orang kafir yang terlarang.

***

@Rumah Kasongan, 27 Ramadan 1443/ 29 April 2022

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/75025-anjuran-memperbanyak-jemaah-ketika-salat-jenazah.html