Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan, sebelum menerangkan tentang niat haji dan umrah, perlu diketahui bahwa terdapat tiga model pelaksanaan haji.
Ada 1) haji ifrad, yaitu mendahulukan haji pada bulan haji dengan syarat umrah harus dilakukan setelah melakukan haji. 2) haji tamattu’, mendahulukan umrah daripada haji dan ia dikenakan denda atau dam. 3) haji qiran, yaitu menjalankan haji dan umrah sekaligus dalam waktu bersamaan.
Berikut ini niat-niat haji dan umrah berdasarkan model-model pelaksanaan haji tersebut
Pandemi Covid-19 membuat umat Muslim di seluruh dunia tidak dapat melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji hanya diperuntukkan bagi warga Arab Saudi atau warga luar Arab Saudi yang sudah bermukim di sana sebagai tenaga kerja. Nah, sudah maklum bahwa ketika ada seseorang hendak berangkat ke Tanah Suci, selain mengadakan walimatus safar, dia melakukan shalat sunnah terlebih dahulu. Baru setelah melakukan shalat sunnah, dia berpamitan pada sanak saudara dan tetangga untuk berangkat haji dan umrah. Bagaimana hukum praktik melaksanakan shalat sunnah sebelum berangkat haji atau umrah ini, apakah dianjurkan?
Melakukan shalat sunnah sebelum berangkat haji atau umrah hukumnya adalah sunnah. Dalam Islam, jika seseorang hendak berangkat bepergian, baik bepergian untuk melaksanakan ibadah haji, umrah atau lainnya, maka dia dianjurkan untuk melaksanakan shalat sunnah dua rakaat terlebih dahulu. Shalat sunnah dua rakaat ini oleh para ulama disebut sebagai shalat sunnah safar.
Yang dimaksud shalat sunnah safar adalah shalat sunnah sebanyak dua rakaat dengan niat safar atau bepergian. Dianjurkan pada rakaat pertama setelah membaca surah Al-Fatihah untuk membaca surah Al-Kafirun dan pada rakaat kedua dianjurkan membaca surah Al-Ikhlas.
Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berikut;
يستحب إذا أراد الخروج من منزله أن يصلي ركعتين يقرأ في الأولى بعد الفاتحة قل يا أيها الكافرون وفي الثانية قل هو الله أحد ففي الحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ما خلف عبد أهله أفضل من ركعتين يركعهما عندهم حين يريد سفرا
Dianjurkan jika seseorang hendak keluar dari rumahnya untuk mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, pada rakaat pertama membaca surah Al-Kafirun dan pada rakaat kedua membaca Qul huwallaahu ahad. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda; Tidak ada perbuatan yang lebih utama bagi seorang hamba yang hendak bepergian meninggalkan keluarganya daripada melaksanakan shalat sunnah dua rakaat.
Di antara hadis yang dijadikan dasar mengenai kesunnahan melaksanakan shalat sunnah sebelum bepergian, baik bepergian untuk haji, umrah dan lainnya, adalah hadis riwayat Imam Al-Hakim, dari Anas bin Malik, dia berkata;
كان النبي صلى الله عليه وسلم لا ينزل منزلا إلا ودعه بركعتين
Nabi Saw tidaklah mampir pada suatu tempat dan meninggalkannya, kecuali dengan melakukan shalat sunnah dua rakaat.
Dengan demikian, praktek melaksanakan shalat sunnah yang dilakukan oleh masyarakat sebelum berangkat haji atau umrah merupakan perkara yang memang dianjurkan dalam Islam. Bahkan hal itu telah dipraktekkan langsung oleh Rasulullah Saw.
Menunaikan ke tanah suci tentunya menjadi impian setiap muslim. Sayangnya, tak semua orang bisa melaksanakan ibadah yang satu ini. Tetapi di sisi lain, banyak pula muslim beruntung yang dianugerahi harta berlimpah sehingga bisa sering bolak-balik ke tanah suci untuk berumrah. Lantas bagaimana hukum naik haji berkali-kali? Atau hukum umrah berkali-kali?
Sebelum dijawab, perlu kiranya dipaparkan haji dan umrah yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Beliau seumur hidup hanya sekali melakukan ibadah haji dan empat kali umrah. Padahal jika melihat jarak tempuh ke kota Mekkah, bisa saja Nabi berkali-kali ibadah haji dan umrah. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi;
عنِ ابنِ عبّاسٍ: “أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم اعْتَمَرَ أرْبَعَ عُمَرٍ: عُمْرَةَ الحُدَيْبِيّةِ وَعُمْرَةَ القَضَاءِ منْ قابِلٍ وعمرة الجِعْرَانَةِ وَعُمْرَتَهُ اَلَّتِي مَعَ حَجّتِهِ
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Nabi Saw. mengerjakan umrah sebanyak 4 kali, yaitu umrah Hudaibiyah, umrah Qodlo`, umrah Ji`ronah dan umrah yang bersamaan dengan pelaksanaan haji beliau.”
Hukum Naik Haji Berkali-kali
Haji yang dilakukan Nabi ini terjadi pada tahun ke-10 Hijriyah yang dikenal dengan haji wada. Haji ini adalah haji terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah. Disebut haji wada karena merupakan haji perpisahan.
Meskipun Nabi hanya sekali melakukan haji, namun dalam sabdanya beliau menyatakan bahwa melakukan haji lebih dari sekali hukumnya adalah sunnah sebagaimana hadis yang telah disebutkan di atas berkenaan dengan kewajiban haji sekali seumur hidup.
Kemudian berkenaan dengan hukum umrah berkali-kali ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Malik melakukan umrah setiap tahun adalah sunnah, namun jika dalam setahun melakukan 2 atau 3 kali umrah, maka hukumnya adalah makruh.
Hal ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah yang tetap menghukumi sunnah meskipun dilakukan berkali-kali dalam setahun. Hanya saja Imam Abu Hanifah memakruhkan melakukan umrah pada hari Arafah, Nahar dan hari-hari tasyriq. [Bidayatu al-Mujtahid: Mabhatsu Syuruti al-Ihram]
Sepertinya pendapat yang cukup sosialis adalah pendapatnya Imam Malik yang membatasi kesunnahan umrah setahun sekali. Betapa bermanfaatnya apabila dana-dana yang hendak digunakan haji dan umrah kesekian kalinya didonasikan untuk kepentingan sosial, menyantuni fakir miskin dan yatim piatu.
Karena haji dan umrah adalah ibadah individual yang manfaatnya terbatas bagi pelakunya saja. Sedangkan membantu saudara yang membutuhkan uluran tangan adalah ibadah sosial yang manfaatnya tidak hanya terbatas pada diri pelaku, namun menular dan merembes kepada kalangan yang lebih luas.
Dalam kaidah fikih disebutkan,
الْمُتَعَدِّي أَفْضَلُ مِنْ الْقَاصِرِ
“Sesuatu yang memiliki jangkauan luas lebih utama daripada yang terbatas.” [al-Asybah Wa an-Nadzhair, I: 259]
Maka perlu diketahui bahwa surga tidak hanya bisa didapatkan dari ibadah individual, namun surga juga bisa ditemukan dalam ibadah sosial. Ketaatan yang paling utama adalah yang paling memiliki dampak kemaslahatan.
Akan tetapi, apabila seseorang bisa naik haji dan umrah berkali-kali sekaligus banyak berinfak kepada faqir miskin, maka hal itu lebih baik lagi. Terlebih haji dan umrah justru bisa mendatang rezeki yang berlipat serta berkah dari Allah.
Demikian penjelasan mengenai hukum naik haji dan umrah berkali-kali. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Tim promosi kesehatan (promkes) PPIH Arab Saudi bidang Kesehatan membawa perlengkapan khusus saat menyambut kedatangan jamaah haji di Bandara Internasional Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA), Sabtu (4/6). Di antara perlengkapan yang dibawa tim promkes adalah air minum kemasan ukuran 200 ml yang sudah diisi oralit.
Anggota tim Promkes Bandara dr Nugraheni Ratna Palupi mengatakan, tujuan air minum kemasan diisi oralit ini untuk menghindari dehidrasi pada jamaah haji. Dehidrasi ini disebabkan karena kehilangan elektrolit tubuh pada jamaah haji yang kurang minum air putih.
“Cuaca di Arab Saudi kelembabannya rendah, sementara suhu tinggi, sehingga menyebabka elektrolit tubuh cepat menguap,” katan dr Nugraheni saat menyampaikan pesan promosi kesehatan, di Bandara, Sabtu (4/6).
Maka dari itu, kata dia, jamaah perlu diberikan cairan elektrolit pada minumannya. Minuman ini perlu selalu dikonsumsi oleh jamaah haji terutama pada mereka yang sering melakukan aktivitas di luar pondokan yang panas.
Nugraheni mengatakan, kekurangan elektrolit dapat menyebabkan jamaah lemas, pusing, mual. Bahkan bisa terjadi penurunan kesadaran atau pingsan dan juga dikhawatirkan bisa mengakibatkan kekambuhan penyakit bawaan (komorbid).
Nugraheni memastikan, sangat mudah membuat minuman elektrolit. Jamaah tinggal mencampurkan satu bungkus oralit dengan 200 ml air mineral kemas. “Air minum elektrolit ini bagus dikonsumsi jamaah yang sering keluar pondokan,” ujarnya.
Selama ini kita sudah terbiasa masuk rumah mengucapkan salam. Akan tetapi, bisa jadi ada di antara kita ketika tahu rumah itu tidak berpenghuni, kita tidak mengucapkan salam. Kita dianjurkan untuk tetap mengucapkan salam ketika masuk rumah yang tidak berpenghuni dengan lafaz sebagai berikut,
“Apabila kamu memasuki rumah-rumah, hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah.” (QS. An-Nuur: 61)
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan mengenai keumuman makna ayat ini dan beliau juga menjelaskan rincian salam ketika masuk ke rumah. Beliau rahimahullah berkata,
والأوجه أن يقال : إن هذا عام في دخول كل بيت ، فإن كان فيه ساكن مسلم يقول : السلام عليكم ورحمة الله وبركاته ، وإن لم يكن فيه ساكن يقول : السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين ، وإن كان في البيت من ليس بمسلم قال : السلام على من اتبع الهدى ، أو السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين اهـ
“Dan nampak bagi kami bahwa makna ayat ini bersifat umum, perintah salam ketika masuk semua (jenis) rumah.
Apabila penghuninya muslim, hendaknya mengucapkan, ‘Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.’
Apabila penghuninya tidak ada, mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis shalihin.’
Apabila penghuninya nonmuslim, mengucapkan, ‘Assalamu ‘ala manittaba’al huda’, atau ‘Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibaadillaahis shaalihiin.’” (Lihat Tafsir Qurthubi)
Demikian, semoga penjelasan yang singkat ini bermanfaat untuk kaum muslimin.
Cinta harta dan kekayaan merupakan fitrah Bani Adam. Allah Ta’ala di dalam surah Al-‘Adiyaat bersumpah atas senangnya dan cintanya manusia dengan harta,
وَاِنَّهٗ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ ۗ
“Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.” (QS. Al-‘Adiyat: 8)
Di dalam surah Al-Kahfi, Allah Ta’ala menggandengkan antara harta dan anak keturunan karena keduanya merupakan perhiasan dunia, dan karena keduanya mendatangkan rasa tenteram serta kelapangan. Allah Ta’ala berfirman,
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46)
Islam memandang harta kekayaan hanya sebatas wasilah dan perantara, yang wajib hukumnya untuknya dimanfaatkan sebaiknya-baiknya demi kebahagiaan di alam akhirat. Harta kekayaan merupakan sebuah nikmat dan kebaikan apabila ia menjadi tangga pijakan menuju kesuksesan di alam akhirat. Jika tidak, maka ia merupakan perdagangan yang mengecewakan dan merugikan. Allah Ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)
Ayat ini mengandung pengajaran, yaitu memprioritaskan hal-hal yang lebih bermanfaat bagi diri kita (mengingat Allah), serta mengajarkan bahwa harta dan anak-anak dapat melalaikan diri kita. Oleh karenanya, harta yang baik adalah yang bermanfaat bagi seorang hamba, baik itu menunjangnya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala ataupun harta yang membuat pemiliknya ikut andil di dalam menyejahterakan bangsa dan negaranya.
Anjuran menabung dan hidup sederhana
Harta merupakan pondasi dan tiang kehidupan. Oleh karena itu, Islam menganjurkan dan memotivasi pemeluknya untuk bijak di dalam mengelola pengeluaran, serta menabungnya sebagai antisipasi atas apa yang bisa saja terjadi di masa depan. Saat melakukan hal-hal tersebut, maka seorang muslim layak dan berhak mendapatkan pertolongan Allah di kala tertimpa sebuah musibah dan kemalangan.
Lihatlah bagaimana kisah nabi Yusuf ‘alaihissalam dan bagaimana akuratnya beliau di dalam mengelola. Tatkala ia memprediksi masa depan kaumnya, lalu ia berusaha untuk bijak di dalam mengatur pengeluaran setiap harinya dan menabung serta menyimpan untuk menghadapi masa sulit.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,
اغتنمْ خمسًا قبل خمسٍ شبابَك قبل هرمكَ وصحتَك قبل سَقمِكَ وغناكَ قبل فقرِك وفراغَك قبل شغلِك وحياتَكَ قبل موتِكَ
“Jagalah lima perkara sebelum datangnya lima perkara: (1) Mudamu sebelum datang masa tuamu, (2) sehatmu sebelum datang masa sakitmu, (3) waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, (4) kayamu sebelum miskinmu, (5) hidupmu sebelum matimu.” (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya di dalam kitab Al-Qasru Al-Amal no. 111 dan Al-Hakim no. 7846 dan Al-Baihaqi di dalam Syu’abu Al-Iman no. 10248)
Istilah ‘menabung’ di dalam Islam mengandung makna yang sangat luas dan menyeluruh. Tidak terbatas hanya pada mengumpulkan rupiah demi rupiah saja, namun mencakup bagaimana efektifnya seseorang di dalam mengelola pengeluaran dari seberapa pun harta yang dimiliki. Rezeki yang bermanfaat adalah yang terus ada dan mencukupi kebutuhan, walaupun jumlahnya sedikit dan terbatas. Rasulllah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
أحب الأعمال إلى الله: أدومها وإن قل
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling konsisten, meskipun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783)
Rezeki yang tak terputus tak akan terwujud bagi mereka yang boros di dalam mengeluarkan harta, menyia-nyiakan kesehatannya, dan masa mudanya. Sungguh pemborosan termasuk salah satu cobaan yang paling berat serta merupakan sumber keburukan dan permasalahan. Allah Ta’ala telah begitu keras melarang manusia dari pemborosan. Ia berfirman,
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am: 141)
Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menjelaskan kepada Nabi-Nya tentang cara mengatur dan memberdayakan harta yang baik dan adil, serta juga menjelaskan akibat dari terlalu berlebih-lebihan di dalam memberikan dan menafkahkan harta. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’: 26-27)
Di beberapa ayat selanjutnya, Allah Ta’ala menjelaskan, jangan sampai terlalu menahan diri dari berinfak, pelit sekali di dalam mengeluarkannya, dan jangan pula terlalu berlebihan di dalam membelanjakan harta sehingga harta tersebut habis ludes dan tak ada yang tersisa.
Tips menabung yang paling baik dan bermanfaat
Tips pertama: Berbuat baik dengan harta yang kita miliki, baik menyedekahkannya, memberi nafkah kepada mereka yang tidak mampu dan lain sebagainya. Karena semua itulah tabungan dan bekal yang sangat berguna untuk kehidupan akhirat kita. Allah Ta’ala berfirman,
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Di dalam kitab Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir disebutkan, “Yakni sebaik-baik bekal ke kampung akhirat adalah ketakwaan, dan sebaik-baik bekal untuk di dunia adalah apa saja yang dapat membantu untuk menjalankan ketakwaan.”
Dan tentu saja sedekah termasuk hal-hal yang membantu seseorang menjalankan ketakwaan kepada Allah Ta’ala.
Tips kedua: Menginvestasikan dan mengembangkan harta yang dimiliki untuk masa depan anak keturunan, agar mereka menjadi anak saleh yang bermanfaat bagi umat. Hal inilah yang senantiasa diusahakan oleh para nabi terbaik dahulu kala. Bagaimana doa mereka dan apa yang mereka kerahkan untuk anak keturunannya, sehingga Allah jadikan anak keturunan mereka sebagai orang-orang yang saleh. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran melebihi segala umat (pada masa masing-masing), (sebagai) satu keturunan, sebagiannya adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Imran: 33-34)
Di dalam sebuah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية ، أو علم ينتفع به ، أو ولد صالح يدعو له
“Jika anak adam meninggal, maka amalnya terputus, kecuali dari tiga perkara: (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631 dan Ibnu Abi Ad-Dunya di dalam An-Nafaqah ‘ala Al-Iyaal no. 430)
Larangan pelit di dalam mengeluarkan harta dan menimbunnya
Syariat Islam melarang keras dari sifat kikir dan pelit di dalam mengeluarkan harta, melarang juga dari menimbun harta, karena perbuatan-perbuatan itu mengandung sifat ketidakpedulian dan menelantarkan hak-hak keluarga dan orang-orang yang tidak mampu. Allah Ta’ala mengancam perbuatan ini,
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.(Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung, dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.’” (QS. At-Taubah: 34-35)
Setan terkadang akan menggoda para pengikutnya, membisikkan kepada siapa yang terjerat godaannya agar mereka pelit di dalam mengeluarkan harta. Sehingga mereka menganggap bahwa harta yang ia hasilkan adalah karena jerih payahnya sendiri, dan lupa akan firman Allah Ta’ala,
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka, orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya akan memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadid: 7)
Islam telah meletakkan kaidah-kaidah yang sangat jelas, tentang bagaimana mengelola dan memanfaatkan harta yang dimiliki oleh seseorang. Jangan sampai harta tersebut membuatnya celaka dan sombong, dan hendaknya ia tidak melupakan hak-hak orang lain pada hartanya, berbuat baik kepada mereka yang membutuhkan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadanya dengan limpahan rezeki yang telah Ia berikan.
Sesungguhnya kunci keberkahan harta dan kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah bertakwa kepada Allah, menunaikan kewajiban-kewajiban yang ada pada harta, baik itu menafkahi, mengeluarkan zakat, ataupun menghidupi anak yatim dan lain sebagainya.
Saat ini tengah viral Ormas Khilafatul Muslimin. Ormas ini bertujuan menegakkan syariat Islam, dengan cara mendirikan khilafah di Indonesia. Tindakan ini diwaspadai karena muncul dugaan adanya pemberontakan. Lantas, bagaimanakah makna pemberontakan dalam Islam?
Mencermati fenomena Ormas Khilafatul Muslimin, kita perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai bughat (pemberontak).
Bughot, dalam khazanah fiqih berarti “pemberontakan”. Berasal dari akar kata bagha, yang memiliki banyak makna, antara lain thalaba (mencari, menuntut), zhalama(berbuat zalim), i’tada / tajawaza ilhada (melampaui batas), dan kazaba(berbohong). [Kamus Munawwir, 98].
Bughot (Makar) dalam Perspektif Ulama Fikih
Dalam definisi syar’i yaitu definisi menurut nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah bughat memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqih, meskipun ada yang berdekatan maknanya atau ada unsur kesamaannya. Berikut kami sebutkan beberapa definisi bughot menurut keterangan empat mazhab fikih :
1. Menurut Ulama Hanafiyah.
Dalam mazhab ini, bughat diartikan sebagai kelompok yang keluar dari ketaatan kepada pemerintah yang adil. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mazhab ini adalah telah terbukti bahwa pemerintah telah melakukan amanah dengan adil.
Apabila ditemukan bahwa pemerintah yang ditentang berlaku tidak adil, maka pemberontak ini tidak bisa dikategorikan bunghat, melainkan harus dibantu demi terwujudnya pemerintahan yang adil dan sejahtera. [Hasyiyah Ibnu Abidin, 3:426, Syarah Fathul Qadir, 4:48].
2. Menurut Ulama Malikiyah
Mazhab yang sering dijuluki dengan mazhab ahlul atsar ini mendefinisikan bughat sebagai kelompok dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham baik itu kepala pemerintahan atau wakilnya.
Unsur-unsur utama dalam pemberontakan menurut mazhab ini ada tiga. Pertama, keluar dari barisan imam atau pemerintah. Kedua, mencoba menghalangi orang lain untuk taat kepada pemerintah.
Ketiga, memiliki penafsiran atau takwil sendiri yang mereka yakini benar untuk melangsungkan pemberontakan. [Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60].
3. Menurut Ulama Syafi’iyah
Dalam mazhab yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia ini, bughat didefinisikan sebagai kelompok yang menentang dan membangkang terhadap segala kebijakan pemerintah sekalipun pemerintah itu zalim. Sedangkan persyaratan yang harus dipenuhi dalam mazhab ini ada tiga.
Pertama, golongan ini diharuskan memiliki power yang signifikan dan kawanan yang cukup banyak. Disamping itu, terdapat seorang figur yang sangat ditaati oleh mereka. Kedua, membelot dari kekuasaan pemerintah.
Ketiga pemberontak memiliki motivasi tertentu dalam melakukan gerakan mereka. [Nihayatul Muhtaj, 8:382, Al-Muhadzdzab, 2:217, Kifayatul Akhyar, 2:197-198, Fathul Wahhab, 2:153].
Menurut Ulama Hanabilah
Defisi bughat menurut mazhab ini hampir sama dengan mazhab syafii yaitu kelompok yang membangkang terhadap pemerintah sekalipun berlaku zalim terhadap rakyatnya.
Dalam mazhab ini juga disyaratkan tiga hal. Pertama, kelompok ini memiliki ta`wil atau penafsiran sendiri yang mereka anggap benar. Kedua, mempunyai kekuatan (syaukah). Ketiga, mempunyai pemimpin yang ditaati di antara mereka. [Syarah Al-Muntaha ma’a Kasyaf al-Qana’, 4:114].
Melihat syarat dan unsur yang harus dipenuhi dari berbagai macam mazhab, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai Ormas Khilafatul Muslimin apakah dapat dikategorikan sebagai bughat.
Apabila muncul fakta di lapangan yang memperlihatkan Ormas Khilafatul Muslimin secara nyata mengangkat senjata melawan pemerintah, apalagi sampai melibatkan masyarakat sipil, maka mereka dapat tergolong pemberontak yang harus diberantas sampai akarnya.
Diskursus relasi agama dan negara kerap kali menjadi topik utama dalam banyak forum ilmiah, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Dari sudut substansi, tema sistem tata negara cukup penting dan strategis guna mencari pola hubungan sosial yang ideal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Inilah penjelasan mendialogkan sistem ketatanegaraan Islam.
Karena itu, tidak mengherankan jika tema ini selalu up-to date diperbincangkan dalam rangka membingkai konsep ketatanegaraan dalam Islam, di tengah pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika sosial kemasyarakatan.
Sistem Ketatanegaraan Islam
Wacana sistem ketatanegaraan Islam semakin signifikan untuk terus digagas, lantaran al-Qur’an dan hadits sebagai sumber primer ajaran Islam tidak pernah berbicara secara mendetail (juz’i) dan terperinci (tafshili) menyangkut relasi agama dan negara.
Sebaliknya, teks wahyu banyak mengungkap soal hubungan negara dan agama secara global (ijmali) dan garis besar (kulli).
Dalil-dalil kulli yang hanya memberikan aturan, secara global dapat tercermin, misalnya, dalam pesan pesan moral tentang pentingnya penegakan keadilan (al-adalah), asas persamaan di muka hukum (al-musawah), demokratisasi (asy-syura), penegakan HAM dan kebebasan (al-hurriyah), dan lain-lain.
Dalam konteks ini, pemaknaan teks dengan mempertimbangkan perubahan konteks yang terus terjadi mempunyai arti yang sangat strategis. Tujuan akhirnya adalah untuk mengimplementasikan kemaslahatan, di tengah kehidupan masyarakat melalui instrumen politik yang beradab.
Dominannya dalil-dalil kulli tentang hubungan negara dan agama, menyiratkan kelenturan Islam dalam mengapresiasi perkembangan masyarakat yang terus terjadi sepanjang sejarah. Peran nalar manusia lalu menjadi sangat sentral dalam menghubungkan teks-teks agama dengan realitas masyarakat yang cenderung mengalami perubahan.
Kenyataan seperti ini menunjukkan adanya suatu kewajaran, jika persoalan relasi agama dan negara selalu menarik untuk diperbincangkan oleh banyak kalangan. Terlebih pada abad kita sekarang, ilmu ketatanegaraan mengalami perkembangan yang cukup pesat dan dinamis.
Persoalannya ialah bagaimana hubungan agama dan negara dapat memunculkan nilai-nilai keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, keharmonisan, serta sesuai dengan tujuan akhir diturunkannya ajaran agama, yakni menebar kemaslahatan dan mencegah kerusakan.
Tujuan akhir seperti ini, dalam terminologi yurisprudensi Islam, disebut dengan maqashid asy-syariah.
Dalam Islam, seluk-beluk persoalan politik masuk kategori fiqh muamalah (hukum sosial). Dalam nomenklatur fiqh, terdapat kaidah (maxim) yang menyatakan bahwa pada prinsipnya, hukum muamalah ialah ibahah. Kaidah fiqh mengatakan:
الأصل في المعاملة الاباحة
“Hukum asal Muamalah adalah boleh dilakukan (kecuali terdapat dalil yang melarangnya)”.
Kaidah lain mengatakan:
المعاملة طلق حتى يعلم المنع
“Pada dasarnya fiqh muamalah bebas dilakukan, hingga diketahui adanya larangan”.
Dengan mengacu pada kedua kaidah fiqh tersebut, ketentuan mengenai persoalan politik dan sistem pemerintahan tidak memerlukan dalil teks agama yang rinci.
Dasar pembentukan sebuah pemerintahan dalam Islam ialah kemaslahatan yang dituangkan secara verbal dalam bentuk dalil kulli, yakni berupa prinsip-prinsip umum dalam berbagai seruan moral.
Sementara, menyangkut detail operasionalnya, Islam sangat akomodatif dan kompatibel dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu ketatanegaraan.
Sistem Ketatanegaraan Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pengalaman politik umat Islam sendiri dilalui dengan penuhi keragaman pola dan bentuk pemerintahan, sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat. Pada masa Rasulullah Saw, misalnya, wacana relasi negara, dan agama belum mengemuka lantaran beliau sendiri yang menangani berbagai persoalan negara melalui bimbingan wahyu.
Fase Makkah yang dijalani Rasulullah Saw, selama 13 tahun belum banyak mengupas persoalan relasi agama dan negara. Sebab, pada masa ini fokus ajaran agama diarahkan pada konsolidasi akidah dan dasar-dasar ajaran agama lainnya.
Pada fase Madinah, wacana hubungan agama dan negara mulai muncul ke permukaan, khususnya ketika selama sepuluh tahun komunitas Islam kerap bersinggungan dengan komunitas lain, seperti Yahudi dan Nasrani.
Wacana ini pun mampu diselesaikan oleh Rasulullah Saw. sehingga tidak banyak menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam saat itu.
Otoritas Rasulullah Saw dapat mengikat seluruh umat Islam saat itu karena mereka mempercayai bahwa beliau, selain menjadi pemimpin, juga sebagai seorang rasul yang diberi wahyu untuk memimpin dan membimbing mereka.
Posisinya sebagai seorang nabi dan rasul, memberikan otoritas untuk memerintah dan mewajibkan setiap pengikutnya supaya mengikuti ajaran-ajarannya.
Syahdan, sepeninggal Rasulullah Saw, wacana kepemimpinan mulai muncul. Dinamika ilmu ketatanegaraan, pun terus bergulir untuk merespon hubungan simbiosis antara negara dan agama, dengan tetap mengacu pada teks wahyu yang sebagian memang masih bersifat multitafsir.
Sebelum, jenazah Rasulullah dikebumikan, terjadi perdebatan politik di balai Tsaqifah Bani Sa’idah menyangkut khalifah yang berhak menjadi pengganti beliau.
Perselisihan ini lalu menorehkan keputusan monumental menyangkut prinsip syura (permusyawaratan ) dalam sejarah ketatanegaraan Islam. Hal ini ditandai dengan terpilihnya Abu Bakar ash Shiddiq Ra. sebagai khalifah pertama.
Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, Abu Bakar yang diusung kubu sahabat Muhajirin mengalahkan kandidat lain dari kubu sahabat Anshar.
Pada era pembesar sahabat, sistem pemerintahan yang disepakati ialah Khalifahan. Dalam sistem ini, diangkatlah seorang pemimpin yang kemudian lazim disebut dengan khalifah.
Tugas seorang khalifah ialah melanjutkan perjuangan Rasulullah Saw. Sepeninggal Abu Bakar, jabatan khalifah diganti secara berturut-turut oleh Umar bin Khattab Ra, Ustman bin Affan Ra, Ali bin Abi Thalib Ra.
Pada periode kekhalifahan ini, persoalan pemerintah terutama suksesi kepemimpinan diputuskan secara demokratis melalui mekanisme sistem musyawarah. Namun, sistem demokrasi pada era ini mulai banyak dipertanyakan sejak awal pemerintah Ustman, dan kemudian berlanjut pada masa kekhalifahan Ali.
Pun juga pada masa ini persaingan kekuasaan mulai berlangsung sengit, bahkan hingga mengarah pada konflik kepentingan dan perang saudara.
Terpilihnya Utsman sebenarnya juga melalui mekanisme demokrasi. Namun, sebelum Umar meninggal, ia menunjuk enam orang supaya bermusyawarah untuk menetapkan penggantinya. Keputusan Umar inilah yang membedakan pemilihan Utsman dengan pemilihan khalifah sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kericuhan dan alotnya peralihan kekuasaan.
Akhirnya, terpilihlah Utsman meski disertai rasa ketidakpuasan diantara enam orang yang ditunjuk tersebut, hingga menimbulkan friksi-friksi tajam di kalangan pembesar sahabat. Setelah Utsman terbunuh akibat ketidakpuasan yang terjadi di daerah-daerah, peralihan kekuasaan menjadi semakin berdarah-darah.
Pemilihan penggantinya, Ali bin Abi Thalib, dinilai kian menjauh dari tata cara demokrasi yang pernah diterapkan sebelumnya.
Demikian penjelasan terkait Sistem Ketatanegaraan Islam. Semoga bermanfaat.
Banyak sekali cerita tentang kehilangan seseorang baik itu sahabat atau anggota keluarga. Entah hilang saat dalam perjalanan, atau kecelakaan. Inilah doa mencari orang hilang agar kembali.
Baru-baru ini, kita mendapat kabar kehilangan yang datang dari anak Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang bernama Eril. Ia terbawa arus sungai di Swiss saat berenang. Hingga kini, belum ada kabar terbaru tentang penemuan dirinya.
Kabar tentang kehilangannya ramai sekali dibahas di media sosial dan menarik banyak simpati orang. Netizen pun mendoakan kebaikan dan keselamatan untuknya. Doa-doa terus dipanjatkan agar Eril kembali.
Sebagai muslim, sembari berusaha mengerahkan tenaga dan bantuan, kita juga harus melakukan usaha batin dengan terus memanjatkan doa mencari orang hilang kepada Allah untuk orang tersayang yang hilang agar kembali. Agar proses pencarian juga dimudahkan.
Doa Mencari Orang Hilang
Doa mencari orang hilang ini berdasarkan apa yang pernah dilakukan oleh Sahabat Umar bin Khattab riwayat at-Thabrani dan Abi Syaibah,
Sesungguhnya, sesiapa yang kehilangan sesuatu maka berwudhulah dan shalat dua rakaat maka saat ia melakukan tasyahud berdoalah di akhir dengan doa;
“bismillaahi ya haadiyaddholaal wa rooddaddhoollati urdud ‘alaa dhoolatii bi’izzatika wa sulthoonika fa innahaa min ‘athoo`ika wa fadhlika”
Dengan menyebut nama Allah Wahai Pemberi Petunjuk kesesatan dan Yang Mengembalikan sesuatu yang hilang. Kembalikanlah kepadaku sesuatu yang hilang itu dengan sifat KemuliaanMu, KuasaMu dari pemberianMu dan anugerahMu.
Berdasarkan catatan al-Hakim, hadis ini diriwayatkan oleh para periwayat yang terpercaya dan tidak ditemukan cacat. Maka bisa dipastikan bahwa hadis ini berstatus shahih.
Amalan dan doa mencari orang hilang ini tidak hanya dilakukan saat kehilangan barang, tapi juga bisa diamalkan saat ada anggota keluarga atau orang tersayang yang hilang agar kembali.
Tidak ada batasan berapa kali doa ini dibaca dan sampai kapan doa ini terus dipanjatkan. Selama proses pencarian berlangsung, amalan dan doa ini bisa terus dilakuka sebagai upaya batin untuk menemukan orang atau barang yang hilang.
Ulama beda pendapat kapan status wafat berlaku untuk ahli waris yang hilang
Islam telah mengatur tentang besaran pembagian harta waris serta siapa saja yang berhak menerima warisan. Namun bagaimana bila ahli waris menghilang dan keberadaannya tidak diketahui sama sekali?
Pengasuh Pondok Pesantren Annur Bekasi, KH Mumtaz Mukhtar, mengatakan seseorang disebut hilang adalah ketika ketidakadaannya sudah lama dan tidak diketahui keberadaannya serta tidak diketahui masih hidup atau sudah meninggal.
Menurutnya perlu analisis fiqih tersendiri bagi seseorang yang statusnya menjadi ahli waris namun keberadaannya tidak diketahui. Sebab hal tersebut dapat berpengaruh pada besaran pembagian harta waris kepada ahli waris yang lainnya.
Para ulama empat mazhab berbeda-beda tentang memberi batasan waktu seseorang yang tidak diketahui keberadaannya hingga ditetapkan meninggal.
Para ulama Mazhab Hanafi menjelaskan beberapa kesimpulan tentang orang yang menghilang.
Pertama, orang yang hilang dianggap meninggal jika teman-teman seusianya di kampungnya sudah meninggal semuanya sementara dia belum juga kembali pulang ke kampungnya. Pendapat inilah yang paling kuat dan banyak digunakan oleh para ulama dikalangan Mazhab Hanafi.
Kedua, orang yang hilang dianggap sudah meninggal apabila sudah sampai 120 tahun dari tanggal kelahirannya. Pendapat ini diungkapkan Imam Hasan yakni murid Imam Abu Hanifah.
Ketiga, orang yang hilang dianggap sudah meninggal apabila sudah sampai 100 tahun dari tanggal kelahirannya. Pendapat ini disampaikan Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah.
Keempat, sebagian ulama Hanafiah menghukumi orang yang hilang dianggap sudah meninggal apabila sudah melewati 90 tahun dari tanggal kelahirannya.
“Sedangkan Imam Maliki berpendapat bahwa seorang hakim bisa menganggap orang yang hilang itu telah wafat jika sudah sampai 40 tahun dan tanggal kehilangannya,” kata kiai Mumtaz dalam kajian Mawaris di Masjid Istiqlal Jakarta, sebagaimana dikutip Harian Republika, Jumat (3/6/2022).
Sedang para ulama Mazhab Maliki salah satunya Ibnu Qasim berpendapat bahwa ada tiga kemungkinan bagi orang yang menghilang dianggap meninggal.
Pertama, orang yang hilang dan tak diketahui keberadaannya bisa dihukumi meninggal kira-kira 40 tahun dari tanggal kehilangannya.
Kedua, orang yang hilang ketika berperang melawan musuh maka hartanya tidak boleh diwariskan hingga benar-benar ada kejelasan tentang kabarnya.
Ketiga, orang yang hilang ketika berperang melawan musuh maka istrinya tidak boleh menikah lagi hingga benar-benar ada kejelasan tentang kabar suaminya atau sampai benar-benar meyakini dengan ijtihadnya bahwa suaminya itu sudah tak ada.
Sedangkan para ulama Mazhab Syafii berpendapat bahwa bila sudah melampaui waktu yang kira-kira seseorang sudah dianggap meninggal maka hakim boleh memutuskan bahwa orang tersebut telah wafat. Sebab itu para ulama Mazhab Syafii menyerahkan prihal jarak waktu tentang keputusan orang yang menghilang menjadi ditetapkan meninggal kepada hakim.
Sementara para ulama Hanbali seperti Ibnu Qudamah mengatakan orang yang menghilang ada dua macam. Pertama, ada yang menghilang dalam peperangan atau menghilang dalam kecelakaan maka dalam kasus seperti itu ditunggu 40 tahun setelah tanggal kehilangannya.
Setelah 40 tahun tidak diketahui kabarnya maka sudah dianggap meninggal. Sebelum mencapai 40 tahun dari tanggal hilangnya, pewaris boleh membagikan harta waris kepada ahli waris yang menghilang tersebut namun harta itu tidak boleh di apa-apakan.
Bila sebelum 40 tahun ditemukan maka harta waris langsung diberikan. Apabila ahli waris yang meninggal itu berhasil ditemukan setelah pewaris wafat, lalu tak berselang lama ahli waris tersebut juga wafat, maka harta waris diberikan kepada ahli waris dari orang yang tadinya menghilang tersebut.
Sedang bila sudah lewat 40 tahun dan tidak diketahui keberadaannya maka harta warisan bagianya diberikan kepada ahli waris yang utama.
Kedua, orang yang menghilang seperti karena melakukan perjalanan jauh, maka harta warisnya jangan dibagikan terlebih dulu sampai diyakini benar-benar meninggal atau telah lewat waktu yang kemungkinan besar orang tidak lagi hidup atau diserahkan keputusannya pada hakim atau ditunggu sampai 90 tahun dari tanggal kehilangannya.
“Kalau kita yang mayoritas menganut Mazhab Syafii berarti kalau kita pakai pendapat ulama Mazhab Syafii, dikatakan bahwa tidak ada batas waktu orang meninggal. Itu semua nanti diserahkan kepada keputusan hakim, dalam hal ini di Indonesia Pengadilan Agama. Kalau hakin menetapkan meninggal berarti kita melakukan sesuatu dengan status dia meninggal. Harta yang ditinggalkannya sudah sah menjadi harta warisan dan harus dibagikan kepada ahli warisnya,” ujar dia.