Doa Sunnah Jemaah Haji Ketika Pulang Ke Tanah Air

Inilah doa sunnah jemaah haji ketika pulang ke tanah air. Doa ini seyogianya dibaca para jemaah yang hendak pulang ke Indonesia. (Baca: Doa Nabi Menyambut Orang yang Baru Pulang Ibadah Haji).

Orang yang diberi kesempatan melaksanakan haji mungkin akan sangat sulit mengulanginya, meski hanya dua kali dalam seumur hidup. Selain karena keterbatasan biaya, kuota jamaah tiap tahun, antrian yang panjang, banyak faktor lain yang membuat orang di zaman sekarang sulit untuk mengulangi ibadah haji.

Oleh karenanya, mereka yang telah selesai melaksanakan rangkaian ibadah haji terkadang akan berwisata terlebih dahulu sebelum pulang ke tanah air.

Namun, meski demikian, selayaknya bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji sebelum keluar dari Mekkah dan hendak pulang ke tanah air untuk menyempatkan diri berpamitan kepada Allah dan bait-Nya serta berdoa agar diberi keridhoan oleh-Nya.

Doa Sunnah Jemaah Haji Ketika Pulang Ke Tanah Air

Sebagaimana Imam Nawawi menjelaskannya dalam kitabnya “al-Adzkar an-Nawawi hal 287 yang artinya sebagai berikut:

“Ketika seseorang hendak keluar dari Mekkah dan hendak pulang ke tanah airnya, hendaknya ia melakukan thawaf wada’ (thawaf perpisahan) kemudian mendatangi Multazam, dan membaca doa:

اللَّهُمَّ أَلْبَيْتُ بَيْتُكَ, وَالْعَبْدُ عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ, حَمَلْتَنِيْ عَلَى مَا سَخَّرْتَ لِيْ مِنْ خَلْقِكَ, حَتَّى سَيَّرْتَنِيْ فِيْ بِلَادِكَ, وَبَلَّغْتَنِيْ بِنِعْمَتِكَ حَتَّى أَعَنْتَنِيْ عَلَى قَضَاءِ مَنَاسِكِكَ, فَإِنْ كُنْتَ رَضِيْتَ عَنِّي فَازْدَدْ عَنِّيْ رِضًا, وَإِلَّا فَمُنَّ الْاَنَ قَبْلَ أَنْ تَنْأَى عَنْ بَيْتِكَ دَارِيْ, هَذَا أَوَانُ انْصِرَافِيْ إِنْ أَذِنْتَ لِيْ غَيْرَ مُسْتَبْدِلٍ بِكَ وَلَا بَيْتِكَ, وَلَا رَاغِبٍ عَنْكَ وَلَا عَنْ بَيْتِكَ.

اللَّهُمَّ فَأَصْبِحْنِيَ الْعَافِيَةَ فِيْ بَدَنِيْ وَالْعِصْمَةَ فِيْ دِيْنِيْ, وَأَحْسِنْ مُنْقَلَبِيْ, وَارْزُقْنِيْ طَاعَتَكَ مَا أَبْقَيْتَنِيْ, وَاجْمَعْ لِيْ خَيْرَيِ الْأَخِرَةِ وَالدُّنْيَا, إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.

Allahumma albaytu baytuka, wal’abdu ‘abduka wabnu ‘abdika wabnu amatika, hamaltanii ‘ala maa sakhkharta lii min kholqika, hattaa sayyartanii fi bilaadika, wa ballaghtanii bini’matika, hattaa a’antanii ‘ala qadha-i manaasikika,

fa-in kunta radhiita ‘annii fazdad ‘annii ridhan, wa-illaa famunna al-aana qobla an tan-aa ‘an baytika daarii, hadzaa awaanu –ngshiraafii in adzinta lii ghaira mustabdilin bika walaa baytika, walaa rooghibin ‘anka walaa ‘an baytika.

Allahumma fa-asbihni –al’aafiyata fii badanii wal ‘ishmata fii diinii, wa ahsin munqolabii, warzuqnii thoo’ataka maa abqoytanii, wajma’ lii khoyroyi –l-akhiroti wadduniya, innaka ‘alaa kulli syai’in qodiirun.

Yang artinya:

Ya Allah, rumah ini (baitullah) adalah rumah-Mu, hamba (ini) adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu yang laki-laki dan yang perempuan. Engkau telah membawaku dengan kendaraan yang Engkau tundukkan dari makhluk-Mu, sehingga Engkau langkahkan kami ke negeri-Mu, dan sampaikan kami dengan nikmat-Mu, sehingga Engkau menolong kami melaksanakan ibadah (haji) kepada-Mu.

Maka jika Engkau ridho atasku maka tambahkanlah atasku keridhoan-Mu. Dan jika tidak, maka berilah anugerah-Mu sekarang sebelum aku jauh dari rumah-Mu.

Ini adalah waktuku kembali, jika Engkau mengizinkanku, bukan aku menjadikan pengganti bagi-Mu dan tidak juga bait-Mu, juga tidak karena membenci-Mu dan bait-Mu.

Ya Allah berikanlah kesehatan kepada badanku, penjagaan terhadap agamaku, jadikanlah baik tempat kembaliku, dan berilah aku rezeki untuk selalu taat kepada-Mu selagi Engkau memberiku umur, serta berikanlah kepadaku kebaikan akhirat dan dunia. Sungguh Engkau Maha berkuasa atas segala sesuatu”.

Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa disunnahkan untuk memulai serta mengakhirinya dengan memuji Allah dan membaca shalawat kepada Nabi Saw. Dan adapun untuk perempuan yang sedang haid disunnahkan untuk membacanya di depan pintu Masjidil haram.

Demikian penjelasan terkait doa sunnah jemaah haji ketika pulang ke tanah air. Wallahu a’lam.

HIDAYATULLAH

Viral Ajaran Dewa Matahari, Bagaimana Pandangan Syariah?

aru-baru ada seorang dari Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, bernama Natrom, mengaku sebagai Dewa Matahari. Selain itu kakek 62 tahun itu melarang pengikutnya untuk melakukan salat lima waktu agar cepat kaya, dan melarang mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. 

Natrom mengaku kepada pengikutnya bahwa raganya telah bersatu dengan Allah SWT. Dia juga mengatakan, air zamzam tidak pernah habis karena berasal dari air kencing Suku Baduy di Arab Saudi. Bahkan “Dewa Matahari” menyebut Baginda Nabi Muhammad SAW dengan sebutan “Si Muhammad”.

Pada dasarnya, semua yang dikatakan Natrom tersebut tidak sesuai dengan ajaran syariat:

Kewajiban Salat Lima Waktu

Islam mewajibkan salat lima waktu sebagaimana difirmankan Allah SWT:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusuk.” (Q.S. Al-Baqarah [02] : 238).

Kewajiban Mengikuti Ajaran Nabi Muhammad

Islam memerintahkan pemeluknya untuk mengikuti ajaran Baginda Nabi Muhammad SAW, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)”. (Q.S. Al-Anfal [08] : 20)

Larangan Meyakini Tuhan Menyatu dengan Manusia

Keyakinan semacam itu disebut dengan hulul, yang dalam pengertian umum diartikan: “salah satu dari dua perkara bertempat pada yang lain”.

Kepercayaan hulul tidak dibenarkan karena Allah tidak membutuhkan tempat. Seandainya Allah membutuhkan tempat, berati Allah sama dengan mahkluknya, dan hal tersebut adalah sesuatu yang mustahil.

Sifat Allah juga tidak mungkin berada dalam diri manusia. Karena seandainya itu terjadi, akan ada dua kemungkinan: pertama, sifat Allah masih ada pada Dzat-Nya. Kedua, sifat Allah akan berpindah pada manusia.

Jika yang terjadi adalah kemungkinan pertama, maka akan ada satu sifat yang berada dalam dua dzat. Dan jika yang terjadi adalah kemungkinan kedua, maka Allah tidak lagi memiliki sifat, karena sifatnya telah menyatu dengan diri manusia. Kedua kemungkinan di atas adalah salah. (Tafsir al-Lubab, j. 11, h. 67-69)

Terkait dengan kepercayaan ini, Imam Suyuthi, mengutip pendapat Syekh Izzuddin bin Abdus Salam dalam al-Qawaaid al-Qubra:

وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الْإِلَهَ يَحُلُّ فِي شَيْءٍ مِنْ أَجْسَادِ النَّاسِ أَوْ غَيْرِهِمْ فَهُوَ كَافِرٌ

Siapa saja yang meyakini bahwa Tuhan, bertempat dalam tubuh manusia atau yang lain, maka dia kafir”. (Al-Hawi lil Fatawa, j. 3, h. 193)

Fakta Sejarah tentang Zamzam

Pengakuan tentang air Zamzam yang berasal dari urine suku Baduy juga tidak benar, karena bertentangan dengan fakta sejarah yang menyebutkan bahwa air Zamzam berasal dari kisah Nabi Ibrahim yang menghijrahkan Hajar ke Makkah.

Ketika Hajar mengalami kehausan bersama Ismail, malaikat turun dan bertanya, “Apakah engkau haus?” maka Hajar menjawab, “Benar”. Kemudian malaikat mencari-cari dengan sayapnya, kemudian keluarlah air dari sumur Zamzam.

Hajar lantas mengumpulkan air tersebut dan meminumnya. Seandainya Hajar tidak melakukan itu, maka Zamzam akan menjadi mata air yang mengalir. (Akhbaaru Makkah lil Fakihani, j. 3, h. 113.) 

Tidak Boleh Memanggil Rasulullah dengan Namanya

Allah mewajibkan kita untuk memuliakan dan mengagungkan Rasulullah, sehingga tidak boleh memanggil nama beliau secara langsung, semisal “Wahai Muhammad”, atau julukannya, semisal “Wahai Abul Qasim”. Bahkan kita harus memanggil dengan panggilan memuliakan, semisal “Ya Nabiyallah” atau “Ya Rasulallah”.

Allah berfirman:

لا تَجْعَلُواْ دُعَاءَ الرسول بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُمْ بَعْضاً…

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)…” (Q.S. An-Nur [24] : 63).

Mengaku Sebagai Dewa Matahari

Islam tidak mengenal istilah dewa, melainkan istilah tersebut dikenal dari agama-agama non-islam.

Dikutip dari Wikipedia, Dewa adalah entitas supra natural yang menguasai unsur-unsur alam, atau aspek-aspek tertentu dalam kehidupan manusia. Para dewa tersebut disembah, dianggap suci, dikeramatkan, dan dihormati oleh manusia. Mereka yang berjenis kelamin pria disebut “Dewa”, sedangkan yang berjenis kelamin wanita disebut “Dewi”. 

Secara etimologi, biasanya istilah “Dewa” dipakai sebagai kata sandang untuk menyebut penguasa alam semesta yang jamak, bisa dibayangkan, dan dilukiskan secara nyata. Sedangkan istilah “Tuhan” untuk penguasa alam semesta yang maha tunggal dan abstrak, tidak bisa dilukiskan, dan tidak bisa dibayangkan. 

Dalam aliran politeisme menyebut adanya Tuhan, tetapi dalam bahasa Indonesia yang dipakai adalah istilah “Dewa”, semisal “Dewa Zeus”, bukan “Tuhan Zeus”.

Sedangkan dalam agama monoteisme, sebutan yang umum dan layak digunakan adalah “Tuhan”.

Agama Hindu dan Budha meyakini satu Tuhan, kemudian Dewa adalah makhluk yang diyakini berada di bawah derajat Tuhan.

Dalam filsafat Hindu, para Dewa tunduk pada sesuatu yang Maha Kuasa, yang Maha Esa. Dan yang menciptakan mereka disebut Brahman.

Sementara dalam filsafat agama Budha, para Dewa bukanlah makhluk sempurna dan memiliki wewenang mengatur umat manusia. Para Dewa terikat dengan hukum mistik, berupa karma dan samsara.

Dengan demikian istilah “Dewa” dalam agama yang memiliki konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, dianggap sebagai makhluk suci dan tidak sederajat dengan Tuhan. (Dewa, id.m.wikipedia.org).

Kemudian terkait dengan Dewa Matahari, Dewa satu ini memiliki nama yang berbeda-beda di setiap mitologi. Dalam mitologi Afrika disebut dengan Anyanwu, dalam mitologi Arab disebut dengan Malak Bel, dalam mitologi Mesir disebut Ra, dalam mitologi Yunani disebut Apollo, dalam mitologi Hindu disebut Surya, dan lain sebagainya. (Dewa Matahari, (id.m.wikipedia.org).

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “Dewa” dalam kepercayaan politeisme setara dengan “Tuhan” yang disembah. Sementara dalam agama yang menganut konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, “Dewa” adalah makhluk yang derajatnya di bawah Tuhan, akan tetapi mereka juga disembah. 

Jadi, istilah “Dewa” adalah untuk menyebut sesuatu yang disembah selain Allah, termasuk Dewa Matahari. 

Islam melarang seseorang menyebut dirinya sebagai Dewa Matahari, karena dalam pandangan Islam, tidak ada yang berhak disembah kecuali hanya Allah, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:

مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ

Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (Q.S. al-Mu’minun [23] : 91)

Allah juga berfirman dalam al-Qur’an:

وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ

dan Barangsiapa di antara mereka, mengatakan: “Sesungguhnya aku adalah Tuhan selain daripada Allah”, Maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim.” (Q.S. Al-Anbiya [21] : 29)

Demikian penjelasan terkait viral ajaran dewa matahari, bagaimana pandangan syariah?  Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Pesan Rasulullah dalam Khutbah Haji Wada; Muliakan Perempuan

Pada tahun ke-10 Hijrah merupakan tahun yang terbilang istimewa. Pada tahun itu, bertepatan pada 9 Dzulhijjah, Rasulullah melakukan haji yang terakhir, sehingga populer dengan haji Wada (perpisahan). Khutbah Rasulullah pada Haji Wada berlangsung di Padang Arafah.

Namun ada satu yang menarik dari khutbah Rasulullah di haji wada, seperti didokumentasikan oleh Ibnu Hisyam dalam kitab Sirah Nabawi, bahwa Rasulullah menyuruh manusia untuk memuliakan perempuan. Nabi juga melarang laki-laki untuk menyakiti perempuan, termasuk istrinya.

أيها الناس، إن لنسائكم عليكم حقًّا، ولكم عليهن حقٌّ؛ ألا يُوطِئنَ فُرُشَكم غيرَكم، ولا يُدخِلنَ أحدًا تكرهونه بيوتكم إلا بإذنكم، ولا يأتِينَ بفاحشةٍ، فإذا فعلنَ ذلك، فإنَّ الله أذِنَ لكم أن تَهجروهُنَّ في المضاجع، وتَضربوهُنَّ ضربًا غير مُبَرِّحٍ، فإن انتهينَ وأطعنكم، فعليكم رزقهُنَّ وكِسوتهُنَّ بالمعروف، وإنما النساء عوانٍ عندكم – يَعني أسيرات – ولا يَملكنَ لأنفسهِنَّ شيئًا، أخذتموهُنَّ بأمانة الله، واستحللتم فروجَهنَّ بكلمة الله، فاتقوا الله في النساء واستوصوا بهنَّ خيرًا، ألا هل بلغت، اللهم فاشهد.

Artinya; Wahai manusia, sebagaimana kamu mempunyai hak atas istrimu, mereka juga mempunyai hak atasmu. Sekiranya mereka menyempurnakan hak mereka atasmu, maka mereka juga mempunyai hak atas nafkahmu secara lahir maupun batin.

Berlaku lemah lembut terhadap mereka, karena sesungguhnya mereka adalah teman dan sahabatmu yang setia, serta halal hubungan suami-istri atas kalian. Dan kamu berhak melarang mereka memasukkan orang yang tidak kamu sukai ke dalam rumahmu

Jika istri-istri kalian mengerjakan hal-hal tersebut, Allah mengizinkan kalian untuk mendiamkan mereka di tempat tidur dan memukul mereka namun jangan sampai melukai mereka.

Jika mereka telah sadar dan bertaubat, mereka berhak mendapatkan nafkah dan pakaian dengan cara yang baik. Berbuat baiklah kepada para istri kalian, karena mereka seperti tawanan yang tidak memiliki sesuatu apa pun.

Sudah seyogianya, kita menghayati pesan Rasulullah dalam haji wada. Pasalnya, dalam peristiwa Wada merupakan fondasi keislaman dan keimanan umat. Hal ini sebagaimana tergambar dalam sebuah Riwayat yang bersumber dari Ahmad.

 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع: ألا أخبركم بالمؤمن؟ من أمنه الناس على أموالهم وأنفسهم، والمسلم من سلم الناس من لسانه ويده، والمجاهد من جاهد نفسه في طاعة الله، والمهاجر من هجر الخطايا والذنوب

Artinya, “Nabi SAW bersabda saat haji wada; Maukah kalian kuberitahu pengertian mukmin? (Mukmin) Yaitu orang yang memastikan dirinya memberi rasa aman untuk jiwa dan harta orang lain.

Sementara muslim ialah orang yang memastikan ucapan dan tindakannya tidak menyakiti orang lain. Sedangkan mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada Allah SWT. Sedangkan orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa.”

Demikin pesan Rasulullah dalam Khutbah Haji Wada, yakni Muliakan Perempuan. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Mengendalikan Nafsu Binal

Nafsu tidak bisa disalahkan, hanya saja nafsu terkadang tidak pada tempatnya, karena itu tugas kita mengendalikan nasfsu dan syahwat

SUNGGUH mengerikan membaca beberapa berita akhir-akhir ini. Setiap hari disuguhi berita tentang pelecehan seksual, pencabulan, perzinahan, perselingkuhan, percintaan, kumpul kebo dan kalimat-kalimat lainnya yang mengarah pada pertemuan dua alat kelamin.

Alat kelamin yang tidak bergerak sendiri, atau masuk dengan sendirinya. Ia hanya bias digerakkan oleh seseorang yang masih punya nafas.

Miris, pelecehan atau pencabulan tidak hanya di lorong-lorong, atau di gang-gang, atau di kebun-kebun, tapi ia juga berada di beberapa lembaga yang disakralkan. Ngeri!

Mengapa bisa terjadi? Karena urusan nafsu tidak pernah mengenal ras, suku, agama, dan golongan.

Ia benar-benar buta, tergantung siapa yang mengendalikannya. Kalau ia mampu mengendalikannya, maka akan mampu lepas dari perangkap kelezatan sesaat itu. Itu pun kalau merasakan kelezatan.

Nafsu kok disalahkan? Tidak, nafsu itu tidak salah, hanya saja terkadang tidak pada tempatnya. Kalau tempatnya benar, maka semakin bernafsu/bersyahwat, semakin dianjurkan. Bahkan, kalau tidak bernafsu bisa mendatangkan ketidakharmonisan.

Maksudnya begini. Nafsu seksual itu akan terus membuncah pada siapa pun saja, yang masih punya rasa pada lawan jenis. Baik pada seorang laki-laki, atau pada seorang perempuan.

Bahkan hewan pun sama, walau ia mungkin bukan nafsu, tapi gharizah hewaniyah. Ia akan terus ada, dan mengalir dalam diri manusia.

Bagaimana agar nafsu dapat dikendalikan? Bagaimana ya, tidak ada yang pintar kalau sudah berurusan dengan yang satu ini, tetapi apakah mau atau tidak.

Ada kata-kata yang dulu sering saya dengar, “Idza qama dzakar, faamiya al-bashar, apabila kemaluan sudah berdiri tegak, maka buta segala mata”. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana agar ia tidak berdiri sembarangan, atau bukan pada saatnya berdiri?. Berat juga menjawabnya.

Karena itu menarik apa yang disabdakan oleh Rasulullah ﷺ,

“Pandangan merupakan anak panah beracun dari anak-anak panah iblis. Maka barang siapa yang menahan pandangannya dari kecantikan seorang wanita karena Allah, niscaya Allah akan mewariskan rasa manis dalam hatinya sampai hari pertemuan dengan-Nya.” (HR: Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).

Mengapa pandangan? Karena ia termasuk bagian dari sumber terjadinya berbagai perzinahan dan pencabulan. Seandainya seseorang tidak dapat melihat, atau ia dapat menjaga pandangannya, maka akan selamat.

Rasulullah ﷺ memberikan gambaran, bahwa pandangan seseorang laksana panah yang beracun. Mengapa panah? Karena, bila ia sudah masuk ke tubuh seseorang tidak hanya melukai dan menusuk, tetapi ujungnya akan sulit dilepas, berbeda dengan pedang, keris, dan beberapa senjata lainnya yang tidak punya cantolan.

Tidak hanya itu, panah yang punya racun, racun yang akan menjalar ke sekujur tubuh, hati, pikiran, perut, tangan, kaki, dan kemaluan. Dan dari pandangan itulah kemaluan digerakkan, dan tidak hanya kemaluan, semuanya digerakkan.

Dan yang menarik sebagaimana dalam Firman Allah:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ(30)

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS: An-Nur [24]: 30).

Pandangan didahulukan dari kemaluan, mengapa? Karena dari pandanganlah, kemaluan itu ia digerakkan.

Bagaimana cara menjaga pandangan? Wah, ini butuh diskusi lebih panjang.

Yang jelas bukan memejamkan mata secara keseluruhan, nanti takutnya kebentur tembok, atau jatuh ketika berjalan. Intinya menjaga. Dan ini butuh perangkat lainnya, agar pandangan tidak bebas untuk melihat sesuatu yang tidak halal untuk dipandang. Seperti puasa, istighfar, dan lainnya. Berat memang, memang berat. Ya Allah, jagalah kami.*/Dr, Halimi Zuhdy, penulis berdoa pada Allah, agar setiap pandangan dijaga olehNya, dan berharap terjaga dari pandangan yang selalu tidak terkendali.

HIDAYATULLAH

النَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيْسَ، فَمَنْ غَضَّ بَصَرَهُ عَنْ مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ لله أَوْرَثَ الله قَلْبَهُ حَلاَوَةً إِلىَ يَوْمِ يَلْقَاهُ

Lima Tuntunan Tatkala Mendengar Azan

Mengagungkan suara azan

Azan adalah syiar Islam yang agung, merupakan tanda iman, penangkal setan, membuat hati menjadi tentram, dan membuat jiwa menjadi tenang. Di dalam sunah-sunah yang meyertai azan terdapat pahala yang melimpah. Di sana ada pengampunan dosa, janji untuk dimasukkan ke surga, dan mendapat syafaat Nabi yang mulia. Oleh karena itu, seorang muslim selayaknya memuliakan dan mengagungkan suara azan yang didengarnya.

Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari Al-Hafidz ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij rahimahullah,

«حُدِّثت أن ناسا كانوا فيما مضى كانوا ينصتون للتأذين كإنصاتهم للقرآن فلا يقول المؤذن شيئا الا قالوا مثله»

Diceritakan bahwa dahulu orang-orang diam tatkala mendengarkan azan sebagaimana diamnya mereka ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Tidaklah muazin mengumandangkan azan, kecuali mereka menirukan suara yang diucapkan olehnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

«لا ينبغي لأحد أن يدع إجابة النداء »

Tidak layak bagi orang yang beriman untuk meninggalkan menjawab seruan azan.

Lima tuntunan ketika mendengar azan

Pertama: Mengucapakan seperti yang diucapkan oleh muazin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

((إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» فَقَالَ أَحَدُكُمُ «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» ، ثُمَّ قَالَ «أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» قَالَ «أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» ، ثُمَّ قَالَ «أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ» قَالَ «أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ» ، ثُمَّ قَالَ «حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ» قَالَ «لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ» ، ثُمَّ قَالَ «حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ» قَالَ «لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ» ، ثُمَّ قَالَ «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» قَالَ اللَّهُ «أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» ، ثُمَّ قَالَ «لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» قَالَ «لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ))

Jika muazin mengucapkan «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» dan salah seorang dari kalian juga mengucapkan «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ». Kemudian muazin mengucapkan «أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» dan dia pun mengucapkan «أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ». Kemudian muazin mengucapkan «أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ» dan dia pun mengucapkan «أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ». Kemudian muazin mengucapkan «حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ» dan dia mengucapkan «لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ». Kemudian muazin mengucapkan «حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ» dan dia mengucapkan «لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ». Kemudian muazin mengucapkan «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» dan dia pun mengucapkan «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ». Kemudian muazin mengucapkan «لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» dan dia pun mengucapkan «لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ». (Dan dia mengucapkan itu semua dengan penghayatan) dalam hatinya, maka dia akan masuk surga.” (H.R Muslim)

Kedua: Mengucapkan dua kalimat syahadat setelah selesai mendengar azan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

((مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ وَأَنَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا؛ غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ))

Barangsiapa ketika selesai mendengar muazin mengumandangkan azan mengucapkan,

وَأَنَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا

(Dan aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Ta’ala semata, sesembahan satu-satunya, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Aku rida Allah sebagai Rabbku, Muhammad sebagai rasulku, dan Islam sebagai agamaku); maka akan diampuni dosa-dosanya. “ (HR. Muslim)

Ketiga: Mengucapakan selawat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

((إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ

Jika kalian mendengar muazin mengumandangkan azan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muazin kemudian berselawatlah kepadaku.“ (HR. Muslim)

Keempat: Mengucapkan doa setelah azan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

((مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ : اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ ؛ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ))

Barangsiapa ketika selesai mendengar azan mengucapkan :

(اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ )

(Ya Allah, Tuhan Pemilik seruan yang sempurna ini dan salat yang tegak, berilah Muhammad kedudukan dan keutamaan, dan bangkitkan beliau pada tempat terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya.); maka akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.” (HR. Bukhari)

Kelima: Berdoa antara azan dan ikamah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

((الدَّعْوَةُ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ لاَ تُرَدُّ ؛ فَادْعُوا))

Doa antara azan dan ikamah tidak akan ditolak, maka berdoalah di waktu tersebut!“ (HR. Abu Dawud)

***

Penulis :  Adika Mianoki

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/74458-lima-tuntunan-tatkala-mendengar-azan.html

Azan di Telinga Bayi yang Baru Lahir

Terdapat perbedaan pendapat ulama tentang apa hukum azan di telinga bayi yang baru lahir. Sebagian ulama lagi merinci, yaitu azan di telinga kanan dan ikamah di telinga kiri. Ada ulama yang menyatakan bahwa itu disyariatkan dan ada ulama yang menyatakan hal tersebut tidak disyariatkan. Dalam hal ini, kami memegang pendapat ulama yang menyatakan bahwa azan di telinga bayi baru lahir itu tidak disyariatkan. Akan tetapi, kami menyakini bahwa perbedaan pendapat terkait hal ini adalah ikhtilaf mu’tabar. Sehingga kita perlu saling menghormati dan berlapang-lapang terkait hal ini.

Berikut sedikit pembahasannya.

Perbedaan pendapat ulama terkait hal ini berdasarkan perbedaan menilai derajat hadis mengenai azan di telinga bayi. Ada beberapa hadis yang terkait. Dalam pembahasan singkat ini, kami bawakan satu hadis, yaitu hadis dari sahabat Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ .

Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumandangkan azan di telinga Husain bin Ali ketika Fatimah melahirkannya, dengan azan untuk salat.” (HR. Tirmidzi)

At-Tirmidzi menyatakan bahwa hadis ini hasan sahih setelah membawakan hadis tersebut. Sedangkan beberapa ulama lainnya menyatakan hadis tersebut dha’if. Bahkan, riwayat-riwayat mengenai azan di telinga bayi semuanya tidak sampai derajat sahih.

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menjelaskan lemahnya hadis di atas. Beliau rahimahullah berkata,

مداره على عاصم بن عبيد الله ، وهو ضعيف

Sebab lemahnya hadis adalah ‘Ashim bin Abdullah. Ia adalah perawi dha’if.” (At-Talkhis Al-Habir, 4: 149)

Demikian juga, Syekh Al-Albani rahimahullah yang juga melemahkan hadis tersebut. Beliau rahimahullah berkata,

فحسنت حديث أبي رافع به في “الإرواء” (4/400/1173) ، والآن وقد طبع – والحمد لله – كتاب البيهقي: “الشعب “، ووقفت فيه على إسناده، وتبين لي شدة ضعفه؛ فقد رجعت عن التحسين المذكور،

Aku pernah menghasankan hadis Abu Rafi’ di dalam kitab Al-Irwa’ (4: 400, 1173). Sekarang, kitab Al-Baihaqi Asy-Syu’b telah dicetak -alhamdulilah-. Aku periksa sanadnya dalam kitab tersebut dan nampak jelas bagiku bahwa hadis tersebut parah kelemahannya. Aku pun menyatakan rujuk dari menghasankan hadis tersebut.” (Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 13: 272)

Berikut beberapa pendapat ulama terkait hal ini. Ulama yang menyatakan disyariatkan seperti Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah. Beliau rahimahullah berkata,

“وسر التأذين ـ والله أعلم ـ أن يكون أول ما يقرع سمع الإنسان كلماته المتضمنة لكبرياء الرب وعظمته والشهادة التي أول ما يدخل بها في الإسلام فكان ذلك كالتلقين له شعار الإسلام عند دخوله إلى الدنيا كما يلقن كلمة التوحيد عند خروجه منها

Rahasia (hikmah) azan di telinga bayi adalah agar yang pertama kali terdengar oleh bayi adalah kalimat yang mengandung kebesaran dan keagungan Allah serta kalimat syahadat yang merupakan kalimat yang pertama kali diucapkan ketika masuk Islam. Hal tersebut (azan di telinga bayi) seperti menalqinkan syiar-syiar Islam padanya ketika ia pertama kali masuk ke alam dunia sebagaimana ditalqin juga ketika ia akan keluar dari dunia (wafat).” (Tuhfatul Maulud, hal. 31)

Demikian juga An-Nawawi menyatakan hukumnya sunah. Beliau rahimahullah berkata,

السنة أن يؤذن في أذن المولود عند ولادته ذكرا كان أو أنثى، ويكون الأذان بلفظ أذان الصلاة، لحديث أبي رافع الذي ذكره المصنف قال جماعة من أصحابنا: يستحب أن يؤذن في أذنه اليمنى، ويقيم الصلاة في أذنه اليسرى

Termasuk sunah mengazankan bayi yang baru lahir baik itu laki-laki maupun perempuan. Azannya dengan lafaz azan untuk panggilan salat berdasarkan hadis Abu Rafi’ yang disebutkan penulis. Ulama mazhab kami berpendapat disunahkan azan di telinga kanan dan ikamah di telinga kiri.” (Al-Majmu‘, 8: 442)

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga menilai disyariatkan hal ini. Beliau rahimahullah berkata,

هذا مشروع عند جمع من أهل العلم، وقد ورد فيه بعض الأحاديث وفي سندها مقال، فإذا فعله المؤمن فحسن؛ لأنه من باب السنن ومن باب التطوعات، والحديث في سنده عاصم بن عبيد الله بن عاصم بن عمر بن الخطاب وفيه ضعف وله شواهد

Azan di telinga bayi adalah disyariatkan menurut beberapa ulama. Terdapat beberapa hadis yang membahas hal tersebut, namun pada sanadnya ada pembahasan. Akan tetapi, jika seorang mukmin melakukannya, maka ini adalah kebaikan. Karena hal ini masuk bab sunah dan tathawu’. Hadis tersebut di dalam sanadnya terdapat ‘Ashim bin ‘Ubaidillah bin ‘Ashim bin ‘Umar bin Al-Khattab. Dan padanya terdapat ke-dha’if-an dan syawahid (penguat).” (sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/7045)

Yang melarang hal ini adalah semisal Imam Malik rahimahullah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Abu Muhammad bin Abi Zaid,

وكره مالك أن يؤذَّن في أذن الصبي المولود

Imam Malik membenci azan pada bayi yang baru lahir.” (Lihat Mukhtashar Al-Khalil, 2: 86)

Adapun beberapa ulama yang menyatakan tidak disyariatkan ikamah di telinga kiri, adapun azannya adalah sunah, seperti Syekh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin. Beliau rahimahullah berkata,

الآذان عند ولادة المولود سنة. وأما الإقامة فحديثه ضعيف فليست بسنة

Azan ketika bayi baru lagi adalah sunah. Adapun ikamah (di telinga kiri), maka hadisnya dhaif dan bukan termasuk sunah.” (Nur ‘Alad Darb, kaset no. 307)

Sebagaimana penjelasan di awal, kami cenderung terhadap pendapat yang menyatakan tidak disyariatkan azan di telinga bayi yang baru lahir dengan alasan:

Pertama: Hadis-hadis terkait tidak sampai derajat sahih.

Kedua: Lebih bebas dari perselisihan ulama. Jika tidak melakukan, maka kita terlepas dari melakukan ibadah yang tidak disyariatkan.

Ketiga: Mengingat hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang menyatakan disyariatkannya,

الأصل في العبادة التحريم

Hukum asal ibadah adalah haram.”

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Penulis: Raehanul Bahraen

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76679-adzan-di-telinga-bayi-yang-baru-lahir.html

Benarkah Membela Pelaku Pelecehan Seksual Termasuk Jihad?

Benarkah Membela Pelaku Pelecehan Seksual Termasuk Jihad? Pasalnya, viral video tentang ajakan jihad membela Moch Subchi Azak Tani yang juga pelaku kekerasan seksual. Lantas benarkah klaim membela pelaku pelecehan seksual termasuk jihad fi sabilillah?

Pelecehan seksual di Indonesia seperti tak henti-hentinya terjadi. Setelah kejadian beberapa bulan yang lalu di Jawa Barat, tepatnya di kawasan Ciparay Kabupaten Bandung selesai, yang dilakukan oleh salah satu pimpinan instansi, kini Jawa Timur juga dihebohkan dengan kejadian yang sama, yaitu pelecehan seksual kepada santri putri.

Kejadian yang baru saja heboh dan sangat disayangkan ini berasal dari salah satu putra pengasuh Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyah, Ploso, Kabupaten Jombang Jawa Timur, yaitu Moch Subchi Azal Tani alias Mas Bechi.

Kejadian ini tentu sangat mengherankan. Bagaimana tidak, seorang anak pimpinan pesantren yang seharusnya menjadi teladan dan contoh bagi semua santri-santrinya, justru menjadi bias yang mencontohkan perbuatan hina dan sangat nista.

Bahkan, yang sangat disayangkan dari semua itu, efek dari perbuatan bejatnya itu tidak hanya berakibat pada dirinya saja, namun juga mencemarkan nama baik pesantren, bahkan menjadi penyebab surat izin pesantren tersebut dicabut oleh pemerintah.

Uniknya, ada saja beberapa kelompok yang meneriakkan jihad perjuangan untuk mempertahankan pondok pesantren tersebut. Bahkan, beredar video di media sosial perihal ajakan untuk memperjuangkannya. Lantas, tepatkah membela pelaku seksual masuk dalam kategori jihad yang dibenarkan dalam Islam? Mari kita bahas.

Benarkah Membela Pelaku Pelaku Kekerasan Seksual Jihad?

Dalam ajaran Islam, perbuatan dengan model apapun tidak bisa dibenarkan, sekalipun mengatasnamakan jihad, jika motifnya berupa menolong terhadap hal-hal yang dilarang dalam ajaran Islam, seperti kasus di atas misalnya. Islam sangat melarangnya, sebagaimana firman Allah swt dalam al-Quran, yaitu:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 2)

Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits,

مَنْ أَعَانَ عَلَى مَعْصِيَةٍ وَلَوْ بِشِطْرِ كَلِمَةٍ كَانَ شَرِيْكًا فِيْهَا

“Barangsiapa yang (memberikan) pertolongan atas kemaksiatan, sekalipun setengah kalimat, maka ia telah terlibat dalam maksiat tersebut.”

Imam al-Ghazali dalam salah satu kitab monumentalnya, Bidayah al-Hidayah juga mengatakan,

اِنَّ الْاِعَانَةَ عَلَى الْمَعْصِيَةِ وَلَوْ بِكَلِمَةٍ أَوْ اِشَارَةٍ مَعْصِيَةٌ

“Sungguh, menolong (memperjuangkan) kemaksiatan, sekalipun satu kalimat, atau sebatas isyarah, juga dianggap maksiat.” (al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hal. 3)

Lebih lanjut, al-Ghazali juga menjelaskan bahwa motif seperti apapun, bahkan motif mencari ilmu tidak bisa dibenarkan jika dalam praktiknya sudah ada maksiat di dalamnya. Oleh karena itu, ajakan jihad sebagaimana yang sudah terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai ajakan jihad yang tepat secara syariat Islam.

Makna Jihad yang Benar

Jihad memang tidak saja berupa perang, sebagaimana yang dipahami oleh beberapa orang yang ngajinya korang abit (kurang lama: Madura). Namun, bukan berarti setiap ajakan yang diserukan oleh seseorang dengan motif kebaikan juga dikatakan jihad, tidak! Sebab, jihad harus memenuhi beberapa ketentuan di dalamnya.

Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, jihad terdiri dari beberapa motif. Bisa jihad dengan hati, misalnya memiliki keinginan untuk berjuang di jalan Allah. Bisa dengan berdakwah dengan menyampaikan ajaran Islam. Bisa juga dengan cara berdebat dengan orang-orang yang tidak benar pemahamannya.

Namun, dari beberapa ketentuan itu, yang terpenting adalah harus ada naf’u li al-muslimin yaitu manfaat bagi semua umat Islam. Jika tidak ada, maka sudah jelas tidak bisa dikategorikan sebagai jihad yang dibenarkan dalam Islam. (Wazaratul Auqaf, Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz XVI, halaman 174).

Demikian penjelasan perihal kejadian yang sedang viral yang menyebutkan bahwa membela pelaku kejahatan seksual termasuk jihad. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Doa Sunnah Jemaah Haji Ketika Pulang Ke Tanah Air

Inilah doa sunnah jemaah haji ketika pulang ke tanah air. Doa ini seyogianya dibaca para jemaah yang hendak pulang ke Indonesia.

Orang yang diberi kesempatan melaksanakan haji mungkin akan sangat sulit mengulanginya, meski hanya dua kali dalam seumur hidup. Selain karena keterbatasan biaya, kuota jamaah tiap tahun, antrian yang panjang, banyak faktor lain yang membuat orang di zaman sekarang sulit untuk mengulangi ibadah haji.

Oleh karenanya, mereka yang telah selesai melaksanakan rangkaian ibadah haji terkadang akan berwisata terlebih dahulu sebelum pulang ke tanah air.

Namun, meski demikian, selayaknya bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji sebelum keluar dari Mekkah dan hendak pulang ke tanah air untuk menyempatkan diri berpamitan kepada Allah dan bait-Nya serta berdoa agar diberi keridhoan oleh-Nya.

Doa Sunnah Jemaah Haji Ketika Pulang Ke Tanah Air

Sebagaimana Imam Nawawi menjelaskannya dalam kitabnya “al-Adzkar an-Nawawi hal 287 yang artinya sebagai berikut:

“Ketika seseorang hendak keluar dari Mekkah dan hendak pulang ke tanah airnya, hendaknya ia melakukan thawaf wada’ (thawaf perpisahan) kemudian mendatangi Multazam, dan membaca doa:

اللَّهُمَّ أَلْبَيْتُ بَيْتُكَ, وَالْعَبْدُ عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ, حَمَلْتَنِيْ عَلَى مَا سَخَّرْتَ لِيْ مِنْ خَلْقِكَ, حَتَّى سَيَّرْتَنِيْ فِيْ بِلَادِكَ, وَبَلَّغْتَنِيْ بِنِعْمَتِكَ حَتَّى أَعَنْتَنِيْ عَلَى قَضَاءِ مَنَاسِكِكَ, فَإِنْ كُنْتَ رَضِيْتَ عَنِّي فَازْدَدْ عَنِّيْ رِضًا, وَإِلَّا فَمُنَّ الْاَنَ قَبْلَ أَنْ تَنْأَى عَنْ بَيْتِكَ دَارِيْ, هَذَا أَوَانُ انْصِرَافِيْ إِنْ أَذِنْتَ لِيْ غَيْرَ مُسْتَبْدِلٍ بِكَ وَلَا بَيْتِكَ, وَلَا رَاغِبٍ عَنْكَ وَلَا عَنْ بَيْتِكَ.

اللَّهُمَّ فَأَصْبِحْنِيَ الْعَافِيَةَ فِيْ بَدَنِيْ وَالْعِصْمَةَ فِيْ دِيْنِيْ, وَأَحْسِنْ مُنْقَلَبِيْ, وَارْزُقْنِيْ طَاعَتَكَ مَا أَبْقَيْتَنِيْ, وَاجْمَعْ لِيْ خَيْرَيِ الْأَخِرَةِ وَالدُّنْيَا, إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.

Allahumma albaytu baytuka, wal’abdu ‘abduka wabnu ‘abdika wabnu amatika, hamaltanii ‘ala maa sakhkharta lii min kholqika, hattaa sayyartanii fi bilaadika, wa ballaghtanii bini’matika, hattaa a’antanii ‘ala qadha-i manaasikika,

fa-in kunta radhiita ‘annii fazdad ‘annii ridhan, wa-illaa famunna al-aana qobla an tan-aa ‘an baytika daarii, hadzaa awaanu –ngshiraafii in adzinta lii ghaira mustabdilin bika walaa baytika, walaa rooghibin ‘anka walaa ‘an baytika.

Allahumma fa-asbihni –al’aafiyata fii badanii wal ‘ishmata fii diinii, wa ahsin munqolabii, warzuqnii thoo’ataka maa abqoytanii, wajma’ lii khoyroyi –l-akhiroti wadduniya, innaka ‘alaa kulli syai’in qodiirun.

Yang artinya:

Ya Allah, rumah ini (baitullah) adalah rumah-Mu, hamba (ini) adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu yang laki-laki dan yang perempuan. Engkau telah membawaku dengan kendaraan yang Engkau tundukkan dari makhluk-Mu, sehingga Engkau langkahkan kami ke negeri-Mu, dan sampaikan kami dengan nikmat-Mu, sehingga Engkau menolong kami melaksanakan ibadah (haji) kepada-Mu.

Maka jika Engkau ridho atasku maka tambahkanlah atasku keridhoan-Mu. Dan jika tidak, maka berilah anugerah-Mu sekarang sebelum aku jauh dari rumah-Mu.

Ini adalah waktuku kembali, jika Engkau mengizinkanku, bukan aku menjadikan pengganti bagi-Mu dan tidak juga bait-Mu, juga tidak karena membenci-Mu dan bait-Mu.

Ya Allah berikanlah kesehatan kepada badanku, penjagaan terhadap agamaku, jadikanlah baik tempat kembaliku, dan berilah aku rezeki untuk selalu taat kepada-Mu selagi Engkau memberiku umur, serta berikanlah kepadaku kebaikan akhirat dan dunia. Sungguh Engkau Maha berkuasa atas segala sesuatu”.

Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa disunnahkan untuk memulai serta mengakhirinya dengan memuji Allah dan membaca shalawat kepada Nabi Saw. Dan adapun untuk perempuan yang sedang haid disunnahkan untuk membacanya di depan pintu Masjidil haram.

Demikian penjelasan terkait doa sunnah jemaah haji ketika pulang ke tanah air. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Pesantren Darurat Kekerasan Seksual, Ini Tiga Hal Perlu Dilakukan

Saat ini pesantren darurat kekerasan seksual. Pun seolah tidak habis-habis bermunculan kasus kekerasan seksual yang berada di dalam lembaga pendidikan. Ranah yang seharusnya dapat memberikan rasa aman malah berbalik menjadi bumerang. 

Walau pelaku merupakan oknum, perbuatan yang telah dilakukan tentu saja telah mencoreng nama baik instansi terkait. Kasus kekerasan seksual terjadi tanpa memandang strata dan usia. (Baca: Pelecehan Seksual Zaman Rasulullah, Sahabat dan Kekhalifahan )

Korban bisa saja kanak-kanak yang masih duduk dibangku TK. Tidak luput korban juga masih mengenakan seragam merah putih. Apalagi di bangku sekolah menengah atas hingga perguruan tinggi.

Lalu baru-baru ini, kasus yang cukup membuat gaduh media sosial adalah pelaku pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak dari pemimpin pesantren di Jombang.  Korban merupakan santri dan di antaranya telah menjadi korban saat masih di bawah umur. Kasus ini menunjukkan bahwa pesantren kini sedang darurat kekerasan seksual.

Modus yang digunakan oleh pelaku adalah dengan menggunakan dogma agama. Mengiming-iming akan dinikahi atau sebagai bentuk penyempurnaan ilmu. Tentu saja kesempatan ini didapatkan oleh pelaku karena memiliki otoritas dominan di dalam pesantren tersebut.

Sebagai anak pemimpin dari pondok pesantren tersebut, segala titah merupakan perintah yang harus dilaksanakan. Hal yang paling disayangkan adalah sang ayah yang merupakan Kyai terpandang di daerah sana justru mencoba ‘melindungi’ sang anak.

Sebelum ini ada kasus kekerasan seksual yang cukup membuat masyarakat tanah air tercengang. Mungkin masih teringat dalam pikiran Hery Irawan yang telah memperkosa 13 santrinya. Padahal Hery adalah pimpinan dari sebuah pesantren di Jawa Barat.

Beberapa Upaya yang Perlu Dilakukan

Segelintir kasus di atas dapat menunjukkan betapa daruratnya situasi lembaga pendidikan kita, termasuk pesantren dari tindak kekerasan seksual. Berbagai usulan sebenarnya telah diberikan baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat.

Dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) ini misalnya. Mendesak Kementerian Agama untuk segera untuk menciptakan regulasi pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama.

Pengadaan Peraturan Menteri Agama (PMA) terkait Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Berbasis Agama menjadi harapan besar.

Jika aturan ini dibuat, kelak akan memberikan perlindungan yang konkret secara hukum dari kekerasan seksual. Perlindungan ini mencangkup pada lembaga pesantren, seminari, pasraman, dhammasekha dan sebagainya.

Sekali lagi, regulasi ini penting untuk diadakan. Mengingat, dilansir dari Tirto.id satuan pendidikan pesantren di Indonesia sekitar 33.980 buah. Sedangkan madrasah mencapai 83.468 buah.

Dari data di atas, hanya sekitar 5 persen yang merupakan milik pemerintah. Sisanya adalah dikelola oleh pihak swasta. Ada juga pesantren dan madrasah yang belum terdaftar di dalam Kementerian Agama.

Pemaparan di atas bisa menjadi langkah pertama yang bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual di institusi pendidikan berbasis keagamaan.

Selain itu, penting pula dibentuknya sebuah unit yang memastikan regulasi bisa dijalankan secara benar dan tepat. Perlu pula membentuk petugas yang siap siaga menangani kasus kekerasan seksual.

Dan tidak kalah pentingnya adalah menciptakan semacam ‘kotak pengaduan’ jika ada keluhan dari pada santri terkait kekerasan seksual. Tidak cukup berhenti di sana, jika sudah ada korban, pesantren juga perlu menyediakan ruang awam. Lalu memberikan dukungan secara fisik dan psikis.

Kedua, tidak cukup diregulasi saja. Dari pesantren juga dibutuhkan edukasi mengenai kesetaraan dan keadilan hak asasi perempuan di dalam pesantren. Literasi terkait hal ini masih sangat jarang ditemukan di pesantren, bahkan masih terbilang tabu.

Bagi sebagian kelompok, konsep ini masih diyakini sebagai salah satu produk barat yang mesti dijauhi. Sudah semestinya konsep ini digunakan dalam pengajaran pesantren. Lalu membuka ruang dialog terbuka antara pengajar, Kyai dengan santri.

Sudah saatnya pesantren mempertimbangkan adanya kurikulum terkait keadilan gender. Pendidikan yang mengajarkan kesetaraan antar manusia dan ramah pada perempuan. Selain itu memberikan pemahaman terkait bentuk kekerasan seksual dan mengajari santri untuk berkata tidak.

Itu lah pentingnya diajarkan edukasi seksual yang lebih membahas terkait alat-alat reproduksi, bagian tubuh mana yang terlarang disentuh oleh orang lain dan sebagainya. Pengajaran ini membuat santri mempunyai bekal dengan harapan bisa kebal dari para predator.

Ketiga, pemerintah pun turut memiliki peran yang besar. Sudah semestinya negara memberikan fasilitas untuk menyokong beberapa hal di atas. Sehingga beberapa saran yang diajukan bisa dijalankan demi pencegahan munculnya kasus kekerasan seksual.

Oleh karena itu dapat disimpulkan jika sudah saatnya pesantren serta pemerintah terkait mempertimbangkan beberapa usulan di atas. Demi mencegah terus jatuhnya korban kekerasan seksual. Pesantren darurat kekerasan seksual, perlu sebuah regulasi untuk melindungi para santri.

Demikian penjelasan terkait pesantren darurat kekerasan seksual. Di samping itu, ini tiga hal perlu dilakukan. (Baca: Bolehkah Perempuan Korban Kekerasan Menerima Zakat?).

Tulisan ini telah terbit di Bincangmuslimah.com

Musim Umrah akan Dimulai pada 30 Juli, Saudi Mulai Buka Permohonan Visa

Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi pada Rabu (13 Juli) mengumumkan bahwa musim umrah baru akan dimulai pada 1 Muharram 1444 setara dengan 30 Juli 2022, lapor Saudi Gazette. Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi mengumumkan permohonan visa umrah 1444 Hijriah bagi jamaah haji asing akan dibuka mulai hari ini.

Kantor Berita Arab Saudi (SPA) mengutip pernyataan kementerian pada hari Rabu yang melaporkan bahwa jamaah umrah dari dalam dan luar Arab Saudi akan ibadah akan dimulai pada tanggal 30 Juli 2022.  Izin juga dapat dikeluarkan untuk jamaah haji domestik melalui aplikasi Eatmarna.

Bagi lembaga umrah dan ziarah dari luar Arab Saudi yang ingin mengajukan izin layanan umrah, informasi lebih lanjut dapat ditemukan di

https://umralicense.haj.gov.sa.

Hal ini akan mengikuti sistem terpadu pelayanan kesehatan terpadu yang disetujui oleh otoritas terkait untuk menjamin keselamatan dan kesehatan jamaah dan pengunjung melalui prosedur sederhana untuk memastikan pelaksanaan umrah dapat dilakukan dengan mudah dan nyaman.

Perusahaan agen umrah dan haji juga diingatkan untuk melampirkan dokumen registrasi bisnis, keanggotaan IATA dan dokumen terkait. Menurut keterangan tersebut, pemohon visa juga diwajibkan telah melakukan vaksinasi Covid-19 yang diakui oleh pemerintah Arab Saudi, selain memiliki sertifikat vaksinasi lengkap yang disertifikasi oleh negara masing-masing untuk memastikan pencegahan penularan Covid-19.

Kementerian Haji dan Umrah juga mencatat bahwa kementerian bekerja dengan otoritas yang dapat diandalkan untuk meresepkan langkah-langkah pencegahan kesehatan untuk melindungi terhadap virus corona, termasuk menerima suntikan vaksin yang disetujui Pemerintah; menyertakan sertifikat vaksinasi yang disetujui oleh otoritas negara asal jamaah di samping pernyataan kebenaran informasi yang disampaikan. *

HIDAYATULLAH