Apakah Meninggal di Idul Fitri Langsung Masuk Surga? 

Apakah meninggal di Idul Fitri langsung masuk surga?   Sebagaimana yang telah jamak diketahui bahwasanya waktu dan tempat yang mulia ini memiliki implikasi positif dan negatif, semisal berbuat dosa dan beribadah di bulan Ramadhan atau bulan haram ini sama-sama dilipat gandakan. Atau juga tempat-tempat tertentu, semisal Mekkah, Madinah dan Baitul Maqdis yang beramal di sana dilipat gandakan.

 Lalu apakah yang demikian ini juga berlaku dalam bab kematian, yakni apakah orang yang meninggal di idul Fitri ini langsung masuk surga? Dari banyaknya riwayat, hanya meninggal di hari Jum’at saja yang memiliki riwayat yang valid. Sehingga meninggal di hari Idul Fitri ini tidak menjamin seseorang langsung masuk surga. 

Dalam konteks meninggal pada hari Jum’at atau malamnya pun sebenarnya berlandaskan hadis Daif, namun dikuatkan dengan berbagai syawahid. Dalam sunan-nya, Imam al-Tirmidzi meriwayatkan;

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَأَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْن أَبِي هِلَالٍ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ سَيْفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ قَالَ وَهَذَا حَدِيثٌ لَيْسَ إِسْنَادُهُ بِمُتَّصِلٍ رَبِيعَةُ بْنُ سَيْفٍ إِنَّمَا يَرْوِي عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَلَا نَعْرِفُ لِرَبِيعَةَ بْنِ سَيْفٍ سَمَاعًا مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو

“Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basyar], telah menceritakan kepada kami [Abdurrahman bin Mahdi] dan [Abu ‘Amir Al ‘Aqadi] berkata; telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin Sa’id] dari [Sa’id bin Abu Hilal] dari [Rabi’ah bin Saif] dari [Abdullah bin ‘Amr] berkata; 

Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” Abu Isa berkata; “Ini merupakan hadits gharib.” 

(Abu Isa At Tirmidzi) berkata; “Hadits ini sanadnya tidak muttasil. Rabi’ah bin Saif meriwayatkan dari Abu Abdurrahman Al Hubuli dari Abdullah bin ‘Amr dan kami tidak mengetahui kalau Rabi’ah bin Saif pernah mendengar Abdullah bin ‘Amr.” (HR. Imam Al-Tirmidzi, No. 1074) 

Komentator hadis ini, menyatakan;

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ) الظَّاهِرُ أَنَّ أَوْ لِلتَّنْوِيعِ لَا لِلشَّكِّ (إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ) أَيْ حَفِظَهُ (فِتْنَةَ الْقَبْرِ) أَيْ عَذَابَهُ وَسُؤَالَهُ وَهُوَ يَحْتَمِلُ الْإِطْلَاقَ وَالتَّقْيِيدَ وَالْأَوَّلُ هُوَ الْأَوْلَى بِالنِّسْبَةِ إِلَى فَضْلِ الْمَوْلَى. وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ شَرَفَ الزَّمَانِ لَهُ تَأْثِيرٌ عَظِيمٌ كَمَا أَنَّ فَضْلَ الْمَكَانِ لَهُ أَثَرٌ جَسِيمٌ

“Seorang Muslim yang meninggal pada hari Jumat atau malamnya, ia akan dijaga dari siksa kubur dan pertanyaannya. Hadits ini menunjukkan bahwasanya waktu yang mulia ini memiliki pengaruh yang besar sebagaimana keutamaannya lokasi yang memberikan keutamaan”.

Adapun terkait status hadisnya, beliau menyatakan bahwa hadis ini daif. Namun dikuatkan dengan berbagai syawahid, beliau menyatakan;

 فَالْحَدِيثُ ضَعِيفٌ لِانْقِطَاعِهِ لَكِنْ لَهُ شَوَاهِدُ….قال القارىء فِي الْمِرْقَاةِ ذَكَرَهُ السُّيُوطِيُّ فِي بَابِ مَنْ لَا يُسْأَلُ فِي الْقَبْرِ وَقَالَ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ والترمذي وحسنه وبن أبي الدنيا عن بن عمرو ثم قال وأخرجه بن وَهْبٍ فِي جَامِعِهِ وَالْبَيْهَقِيُّ أَيْضًا مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ عَنْهُ بِلَفْظِ إِلَّا بَرِئَ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ

وأَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ أَيْضًا ثَالِثَةً عَنْهُ مَوْقُوفًا بِلَفْظِ وُقِيَ الْفَتَّانَ

“Hadis ini statusnya daif, karena sanadnya terputus. Namun masih memiliki syawahid, Ali al-Qari menyatakan bahwa hadis ini juga ditakhrij oleh Imam al-Suyuthi, Imam Ahmad, Imam Al-Tirmidzi (menurut beliau hadis ini statusnya Hasan), Ibnu Abi Dunya (yang bersumber dari Abdullah bin Umar), Ibn Wahab, dan Al-Baihaqi. Hanya saja ketiga yang terakhir ini merieayatkannya dengan redaksi mauquf yang sedikit berbeda”. (Tuhfat al-Ahwadzi, Juz 4 Halaman 160)

Hingga artikel ini ditulis, idak kami temui riwayat yang secara jelas menyatakan bahwa siapa yang meninggal di hari tertentu bisa masuk surga, kecuali meninggal di saat berpuasa. Al-Munawi menyatakan;

(من ختم له بصيام يوم) أي من ختم عمره بصيام يوم بأن مات وهو صائم أو بعد فطره من صومه (دخل الجنة) أي مع السابقين الأولين أو من غير سبق عذاب. (البزار) في مسنده (عن حذيفة) بن اليمان قال الهيثمي: رجاله موثقون. 

“Barang siapa yang meninggal di saa berpuasa atau pada bulan Ramadhan, niscaya ia akan masuk surga bersama para sahabat al-sabiqun al-awwalun (kalangan sahabat yang masuk Islam duluan) atau ia akan masuk surga tanpa disiksa dulu.

Hadis ini ditakhrij oleh Al-Bazzar dalam musnadnya yang bersumber dari Hudzaifah bin Al-Yaman, yang mana dalam pandangan Al-Haitsami ini, para transmitternya tsiqah”. (Faidh al-Qadir, Juz 6 Halaman 123) 

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya keutamaan meninggal di waktu tertentu yang bisa masuk surga adalah hanya saat berpuasa atau meninggal di bulan Ramadhan saja, selebihnya hanya sebatas diringankan siksa kuburnya.

Adapun terkait keutamaan meninggal di Idul Fitri, mungkin masuk pada riwayatnya Imam Al-Suyuthi ini;

 عَن إِبْنِ مَسْعُود قَالَ قَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم من وَافق مَوته عِنْد إنقضاء رَمَضَان دخل الْجنَّة وَمن وَافق مَوته عِنْد إنقضاء عَرَفَة دخل الْجنَّة وَمن وَافق مَوته عِنْد إنقضاء صَدَقَة دخل الْجنَّة

“Abu Nu’aim meriwayatkan bahwasanya Abdullah Bin Masud mendengar Rasulullah SAW bersabda barangsiapa yang meninggal di penghujung bulan Ramadhan, hari Arafah, dan saat bersedekah, niscaya ia akan masuk surga”. (Syarh al-Shudur bi Syarh hal al-Mauta wa al-Qubur, halaman 306).

Maka bisa ditarik kesimpulan bahwasanya meninggal dunia di idul fitri ini bisa menyebabkannya langsung masuk surga, hanya saja Imam al-Suyuthi tidak menjelaskan terkait status hadis ini. 

Demikian penjelasan terkait apakah meninggal di Idul Fitri langsung masuk surga? Wallahu A’lam bi al-shawab. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

4 Tradisi Nabi dalam Menyambut Hari Raya Idul Fitri

Bagaimana tradisi Nabi Muhammad Saw dalam menyambut hari raya idul Fitri? Mari kita ulas dengan detail tentang kebiasaan-kebiasaan nabi dalam menyambut hari kemenangan tersebut.

Hari raya Idul Fitri merupakan salah satu hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua umat Islam seantero dunia. Pada hari itu, mereka semua merayakan kemenangan atas keberhasilannya dalam menjalankan ibadah wajib puasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan.

Pada hari itu, semua umat Islam menunjukkan kebahagiaan dan kegembiraannya dengan cara membaca takbir di berbagai tempat, kemudian dilanjut dengan shalat hari raya idul Fitri, selanjutnya bersilaturrahim kepada sesame untuk saling meminta maaf dan memaafkan.

Tradisi seperti itu menunjukkan sikap dan empati mereka yang sangat tinggi untuk terus mengikuti ajaran Rasulullah (ittiba’ lin nabi), sebagaimana Rasulullah yang senang dalam menyambut hari kemenangan tersebut. Lantas, seperti apakah cara nabi dalam menambut hari raya idul Fitri? Berikut penulis kupas tuntas cara tersebut.

Pertama, Nabi menunaikan zakat fitrah sebelum hari raya

Tradisi atau kebiasaan pertama dan pesan nabi yang paling inti dalam menyambut hari raya adalah menunaikan zakat firah terlebih dahulu sebelum menunaikan shalat sunnah hari raya. Kebiasaan pertama ini penting untuk ditunaikan, karena ibadah puasa tidak akan diterima oleh Allah Swt sebelum ditunaikannya zakat fitrah. Dalam sebuah hadits, nabi bersabda:

شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلاَ يُرْفَعُ إلَى الله إلاَّ بِزَكَاةِ الفِطْرِ

Artinya, “(Pahala puasa) pada bulan Ramadhan digantungkan antara langit dan bumi, dan tidak diangkat kepada Allah Swt, kecuali dengan (menunaikan) zakat fitrah.” (HR. Ibnu Syahin).

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ كَانَ يَأْمُرُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ

Artinya, “Dari Ibnu Umar, bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw menyuruh untuk menunaikan zakat (fitrah) sebelum pergi untuk mengerjakan shalat sunnah pada hari raya fitri.”

Kedua, Nabi memperbanyak membaca takbir

Tradisi nabi yang lain dalam menyambut hari raya idul Fitri adalah nabi memperbanyak membaca takbir sebelum berangkat untuk menunaikan shalat sunnah hari raya Fitri. Hal ini nabi lakukan karena ada anjuran dalam Al-Quran, Allah Swt berfirman:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya, “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Ketiga, Nabi makan terlebih dahulu

Tradisi nabi yang lain dalam menyambut hari raya idul Fitri adalah dengan menyempatkan diri untuk mandi terlebih dahulu sebelum merayakan hari kemenangan. Berdasarkan hal ini, para ulama menganjurkan kepada umat Islam untuk mandi terlebih dahulu sebelum menunaikan shalat sunnah idul Fitri. Dalam sebuah riwayat, nabi bersabda:

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَأْكُلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ إِلَى الْمُصَلَّى

Artinya, “Nabi Muhammas Saw makan terlebih dahulu pada hari raya idul Fitri sebelum pergi menuju tempat shalat (untuk menunaikan shalat hari raya Fitri).” (HR. Abu Said al-Khudri).

Keempat, Nabi mandi terlebih dahulu

Tradisi nabi yang ketiga dalam menyambut hari raya idul Fitri adalah dengan menyempatkan diri terlebih dahulu untuk mandi sebelum pergi merayakan hari kemenangan. Selanjutnya nabi menggunakan pakaian terbaik dan minyak wangi. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَغْتَسِلُ لِلْعِيدَيْنِ

Artinya, “Sungguh Nabi Muhammad Saw mandi terlebih dahulu untuk menunaikan dua shalat hari raya.” (HR. Abdullah bin Abbas).

عَنِ الْحَسَنِ بنِ عَلِي قَاَل: أَمَرَنَا رَسُوْلُ الله فِي الْعِيْدَيْنِ أَنْ نَلْبِسَ أَجْوَدَ مَا نَجِدُ وَأَنْ نَتَطَيَّبَ بِأَجْوَدِ مَا نَجِدُ

Artinya, “Dari Hasan bin Ali ra, ia berkata: Rasulullah Saw memerintahkan kami pada kedua hari raya untuk menggunakan pakaian yang bagus, memakai wangi-wangian terbaik yang ada.” (HR. Al-Hakim).

Demikian empat tradisi atau kebiasaan Nabi Muhammad Saw dalam menyambut hari raya idul Fitri. Dengan mengetahuinya semoga kita termasuk orang-orang yang mengikuti jejak nabi dalam menyambut hari raya, amin. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Bus Madinah kembali Beroperasi setiap Hari

Bus Madinah akan beroperasi penuh dari jam 6 pagi hingga 10 malam.

Otoritas Pengembangan Wilayah Madinah (MDA) melanjutkan layanan angkutan umum di proyek bus Madinah pada hari kedua Idul Fitri. Bus kembali memberikan layanan kepada penerima manfaat setiap hari antara pukul 6 pagi hingga 10 malam.

Lima jalur telah diidentifikasi, termasuk 98 stasiun yang mencakup seluruh bagian Madinah, untuk menyediakan layanan angkutan umum bagi penerima manfaat dengan bus yang dilengkapi ke beberapa tujuan di Madinah. 

Dilansir dari Saudi Gazette, Ahad (23/4/2023), Mereka termasuk jalur “Kereta Al-Haramain – Masjid Nabawi” yang memiliki tiga stasiun di sepanjang jalur di mana bus tiba setiap 60 menit.

Jalur “Bandara Pangeran Muhammad Bin Abdulaziz – Masjid Nabawi”, memiliki dua stasiun yang menyediakan layanan setiap 30 menit, dan jalur “Universitas Taibah — Mal Al-Alia” mencakup 34 stasiun yang beroperasi setiap 15 menit untuk mengangkut penerima manfaat di beberapa lingkungan.

Jalur “Meeqat – Al-Khalidiya” mencakup 38 stasiun tempat bus tiba setiap 15 menit. Rute “Al-Qaswaa – Sayed Al-Shuhada”, mencakup 21 stasiun, dengan tarif 20 menit untuk mengangkut penerima manfaat di sepanjang jalur tersebut.

https://saudigazette.com.sa/article/631839/SAUDI-ARABIA/Madinah-buses-resume-operating-daily

Tegar di Atas Jalan Kebahagiaan (Bag. 2)

Mengenal Allah Ta’ala

Tentang kewajiban hamba untuk mengenal Rabbnya, renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الأمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allahlah yang telah menciptakan tujuh langit dan demikian pula dengan bumi. Perintah Allah berlaku di antara keduanya, agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” [1]

Maka, pada ayat ini, Allah Ta’ala menyampaikan kepada segenap hamba bahwa tujuan penciptaan langit dan bumi beserta segala ketetapan yang belaku di antara keduanya adalah agar hamba tersebut mengenal Allah. Rabb yang telah menciptakan dirinya beserta seluruh makhluk selainnya. Maka, sudah sepatutnya seorang hamba mencari tahu siapakah Allah dan seperti apa Dia Subhanahu Wa Ta’ala?

Pengetahuan umum tentang Allah, bisa diperoleh seorang hamba melalui tafakkur terhadap ayat-ayat kauniyah atau melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Bahwasanya segala kerumitan, kompleksitas, dan keragaman yang ada pada makhluk, dari tingkatan atom, molekul, sel, organisme hidup, bumi, langit, dan seluruh alam semesta, menunjukkan bahwa keberadaan mereka tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Mereka tidak mungkin muncul secara tiba-tiba dan tidak mungkin menciptakan diri mereka sendiri. Pasti ada Intelligent Design (perancangan cerdas) di balik segala hal yang mengada. Ada Zat Yang Mahasempurna ilmu dan kuasanya yang telah menciptakan mereka. Dan bahwasanya Zat itu pasti tunggal dan Maha Esa (Al-Ahad). Karena jika ia berbilang, tentu para pencipta itu akan saling tanding menghasilkan ciptaan terbaik versi mereka masing-masing, dan terjadilah kehancuran dunia akibat peperangan mereka [2]. Namun, Mahasuci Allah dari yang demikian. Buktinya, dunia ini masih tegak tanpa cacat sedikit pun. Dia, Allah Ta’ala, sangat jauh dari apa yang disangkakan oleh manusia yang lemah dan terbatas daya nalarnya.

Adapun pengetahuan rinci tentang Allah, dan ini hanya didapatkan sebagian kecil saja, tentu harus diambil dari ayat-ayat qauliyah. Melalui apa yang Dia sampaikan sendiri kepada hamba-Nya melalui kitab-Nya. Yakni, melalui Al-Qur’an yang Mulia. Karena tidak ada yang lebih mengenal diri-Nya, kecuali Dia sendiri ‘Azza wa Jalla. Begitu juga, kabar tentang-Nya dapat diperoleh melalui sabda Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni melalui hadis-hadis yang sahih. Karena dialah hamba yang paling dekat dengan-Nya dan beliau mendapatkan pengetahuan langsung tentang Rabb-Nya dari-Nya sendiri ‘Azza wa Jalla. Selain itu, makrifat tentang Allah ini harus diambil sesuai dengan  pemahaman para salaf, yakni para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Karena kepada merekalah Al-Qur’an turun dan kepada mereka jugalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbicara secara langsung.

Di antara pengetahuan yang disarikan dari kedua sumber tersebut adalah bahwa Allah Ta’ala adalah Zat yang azali yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dialah Al-Awwal dan Al-Akhir [3]. Di suatu masa, setelah menciptakan ‘Arsy sebagai makhluk pertama [4], kemudian Allah menciptakan sang pena dan memerintahkannya untuk menuliskan seluruh kejadian pada makhluk dari awal hingga akhir, di dalam sebuah kitab yang terjaga, lauhul mahfudz [5]. Lima puluh ribu tahun setelah itu, Allah kemudian menciptakan tujuh lapis langit beserta bumi dalam enam masa [6]. Begitu juga Allah ciptakan kursi, surga, neraka, malaikat, jin, manusia, hewan, dan seluruh yang ada. Dialah Allah, Rabb semesta alam. Segala sesuatu selain Dia adalah makhluk. Dan segala sesuatu selain dia adalah fana.

Dialah Zat yang memiliki nama-nama yang terindah (asma’ul husna) [7] dan sifat-sifat yang Mahasempurna dan Mahatinggi (sifatul ‘ulya) [8]. Dan inilah poros, sumber, serta sebab asal muasal segala sesuatu. Seluruh ciptaan dan kejadian yang menimpa makhluk adalah pengejawantahan dari seluruh sifat-sifat yang Dia Subhanahu wa Ta’ala miliki [9].

Dialah Yang Maha Pencipta (Al-Khaliq), maka seluruh makhluk menjadi ada. Dialah yang Maha Menguasai (Al-Qadir) dan Maha Mengatur lagi Maha Memelihara (Al-Muhaimin), sampai-sampai matahari, bumi, bulan, dan planet-planet yang beredar di orbitnya serta berputar pada porosnya, tidak bergeser sedikitpun darinya. Semuanya atas pengaturan dan kuasa Yang Maha Merajai (Al-Malik). Dialah Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) yang kebaikan-kebaikan-Nya dinantikan seluruh makhluk, baik ikan-ikan di kedalaman lautan, burung-burung di awang-awang, hingga semut-semut yang berbiak di bawah permukaan tanah.

Dialah Al-Bashir (Yang Maha Melihat), As-Sami’ (Yang Maha Mendengar), dan Al-Mujib (Yang Maha Mengabulkan) yang mengijabah doa hamba-Nya yang berada di tiga lapis kegelapan [10]. Dialah Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) dan At-Tawwab (Maha Menerima tobat) yang kepada-Nya manusia yang lengah dan lemah bermaksiat. Bahkan, kegembiraan Allah terhadap tobat hambanya melebihi kegembiraan seorang pengelana yang kehilangan tunggangannya, kemudian tiba-tiba tunggangan itu muncul di hadapannya setelah ia kehilangan harapan dan berputus asa [11]. Seorang hamba yang datang mendekat kepada-Nya sambil berjalan, maka Dia akan menghampiri dan menyambut hamba-Nya dalam keadaan berlari [12].

Sungguh Dialah Rabb Yang Mahabaik (Al-Barr) yang kebaikannya tidak bisa Anda hitung dan tidak bisa pula Anda rinci. Dialah Yang Mahakaya (Al-Ghani) yang tidak membutuhkan rezeki, ibadah, pujian, dan ketaatan hamba-Nya. Bahkan, merekalah yang butuh kepada rahmat dan kasih sayang-Nya. Dan, jika seluruh makhluk berkumpul untuk menghitung nikmat yang diberikan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mampu menghitungnya [13].

Begitu pula pengetahuan dan ilmu Allah, sempurna dari segala sisinya. Dialah Al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui hingga yang rinci) yang ilmunya mencakup yang nampak maupun yang tersembunyi, serta yang global maupun yang detail. Mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Bahkan ia mengetahui segala yang tidak terjadi jika ia terjadi. Pengetahuannya meliputi segala hal dan tidak berbatas [14].

Sungguh, Dialah Al-Kabir (Yang Mahabesar). Ia ciptakan manusia dari tanah dan mani yang hina [15], kemudian ia tempatkan mereka sebagai khalifah di atas permukaan bumi [16], di langit lapis pertama. Kemudian, langit pertama ini diliputi oleh langit kedua, yang jarak antara keduanya sejauh 500 tahun perjalanan. Begitu juga langit ketiga, langit keempat, hingga langit ketujuh, saling melingkupi satu sama lain, yang jaraknya masing-masing juga 500 tahun perjalanan. Kemudian tujuh langit ini diliputi oleh kursi Allah [17]. Yang perbandingannya seperti cincin dilemparkan di atas padang pasir.

Begitu juga kursi Allah diliputi oleh ‘Arsy-Nya, yang perbandingannya juga seperti cincin yang dilemparkan di atas padang pasir [18]. ‘Arsy inilah makhluk-Nya yang paling besar, yang dipikul oleh delapan malaikat [19]. Dan salah satu malaikat pemikul ‘Arsy, jarak antara daging telinga dengan pundaknya sejauh tujuh ratus tahun perjalanan [20]. Dan Allah tentu jauh lebih besar dibandingkan semua ini. Dan ia ber-istiwa di atas ‘Arsy [21], di atas semua makhluk-Nya. Dialah  Allah, Rabb Yang Mahaagung lagi Mahabesar. Sementara Anda hanyalah debu dan atom di antara makhluk-makhluk-Nya yang ada.

Maka, apa yang baru Anda baca, berkisar pada dua dari tiga jenis tauhid yang biasa dibicarakan oleh para ulama, yakni tauhid asma wa shifat dan tauhid rububiyah. Pengenalan seorang hamba pada dua jenis tauhid ini berbanding lurus dengan kecintaan dan ketundukannya kepada Rabb-Nya. Semakin ia mengenal Rabb-Nya, maka ia akan semakin taat, semakin khusyuk, semakin berharap, dan semakin cinta kepada-Nya, sekaligus semakin takut akan murka dan siksa-Nya. Sikap ini kemudian akan melahirkan penghambaan diri yang sejati berupa ibadah kepada Allah saja, yang merupakan tujuan kedua penciptaan seorang hamba.

Disarikan pada Malam 20 Ramadhan 1444 H

Di bawah langit kota Yogyakarta,

Oleh Al-Faqir yang membutuhkan Rahmat dan ampunan dari Rabb-Nya

Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84463-tegar-di-atas-jalan-kebahagiaan-bag-2.html

Tegar di Atas Jalan Kebahagiaan (Bag. 1)

Sebuah prolog

Saya ingin merasakan kebahagiaan di dalam hidup saya. Ya, itulah hal yang didambakan setiap manusia, tidak terkecuali Anda. Dan jika Anda cermati, kebahagiaan ini pada dasarnya adalah buah dari kehendak atau cita-cita yang berhasil diraih oleh seseorang. Hasil panen yang melimpah akan sangat menggembirakan seorang petani. Lulus ujian dengan predikat terbaik akan menyukacitakan dan mendatangkan senyuman lebar pada seorang pelajar. Menang tender akan membuat seorang pengusaha atau kontraktor tertawa sambil melompat kegirangan. Lahirnya anak yang didambakan akan membungahkan para ayah dan membuatnya lalai akan peluh yang ada di kening sang istri. Begitu juga berbagai hal lain yang dimimpikan manusia, tentunya akan melahirkan kebahagiaan di dalam hati mereka, tatkala apa yang diangan-angankan tersebut berhasil ia capai.

Demikianlah remah-remah kebahagiaan yang Allah Ta’ala simpankan di kotak-kotak kehidupan manusia. Seperti itulah kebahagiaan semu yang dibagikan kepada setiap hamba yang bernyawa. Namun, tahukah Anda? Kebahagiaan yang hakiki tidaklah dirasakan semua insan. Mengapa? Karena ia ditempatkan di kotak khusus yang hanya bisa diraih oleh manusia-manusia istimewa. Kebahagiaan ini hanya dimiliki oleh mereka yang menemukan dan mewujudkan perkara paling penting di dalam hidup mereka. Apakah itu? Hal terpenting dari hidup adalah tujuan kehidupan itu sendiri. Yakni tujuan penciptaan manusia dan seluruh makhluk yang ada di alam raya, termasuk Anda.

Tujuan penciptaan

Coba Anda pikirkan dan perhatikan keadaaan di sekitar Anda! Bahwa segala gerak dan diam yang dilakukan oleh makhluk, pasti memiliki tujuan. Dari ayam yang berkokok ketika dini hari, burung-burung yang berterbangan di atas angkasa, hewan melata yang bertebaran di permukaan bumi, sampai singa pejantan yang mengendus keberadaan singa betina, semuanya itu memiliki tujuan. Termasuk seluruh aktivitas yang dilakukan manusia, dari ia bangun tidur hingga tidur lagi, pasti memiliki tujuan yang ia ingin capai.

Jika makhluk saja memiliki keinginan yang ingin ia raih, bagaimana lagi dengan Sang Khalik yang menciptakan tujuh lapis langit beserta bumi dan segala isinya, merajai, serta mengatur seluruh detak dan perputaran di alam semesta? Tentu lebih-lebih lagi, bahwa Dia pasti memiliki kehendak yang ingin diwujudkan. Simaklah apa yang Allah katakan tentang perkara ini,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا

“Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu (sekedar) main-main?” (QS. Al-Mu’minun: 115)

Orang yang memiliki akal yang sehat dan hati yang bersih tentu akan mengatakan,  “Tidak, ya Rabb!” Dengan demikian, apakah tujuan Allah mengadakan semua yang ada di jagad raya ini? Tentunya kita sebagai manusia tidak bisa menebak dan menerkanya. Mengapa? Karena ia perkara yang transeden dan di luar jangkauan akal manusia. Namun, Allah tidak membiarkan anak Adam terombang-ambing mencari sendiri tujuan kehidupan mereka. Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam kepada setiap generasi untuk menyampaikan hikmah kehidupan dan kematian. Bersama mereka ‘alaihimussalam, Allah Ta’ala turunkan kitab-kitab serta suhuf-suhuf sebagai petunjuk dan pedoman hidup agar para hamba dapat merealisasikan tujuan penciptaan tersebut secara benar.

Di dalam Al-Qur’an yang mulia, Allah Ta’ala setidaknya menyebutkan 3 tujuan pewujudan manusia bersama ciptaan yang lain, yaitu: 1) untuk mengenal Allah Ta‘ala; 2) untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata; dan 3) untuk diuji oleh Allah Ta’ala.

Lanjut ke bagian 2

***

Disarikan pada Malam 20 Ramadan 1444 H

Di bawah langit kota Yogyakarta,

Oleh Al-Faqir yang membutuhkan rahmat dan ampunan dari Rabb-Nya,

Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84461-tegar-di-atas-jalan-kebahagiaan-bag-1.html

Khotbah Salat Idulfitri: Tugas Kita Setelah Ramadan Pergi

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ،

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ چالَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

أما بعد،

فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخير الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وكل ضلالة في النار

اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ واللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر وَلِلَهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Jemaah salat Idulfitri yang semoga senantiasa dirahmati dan dilindungi oleh Allah Ta’ala.

Di hari yang berbahagia ini, marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena ketakwaan merupakan sebab seorang hamba mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Sungguh, manusia yang paling mulia di muka bumi ini bukanlah mereka yang memiliki harta yang mewah, bukan juga mereka yang memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi. Akan tetapi, mereka yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Yaitu, mereka yang senantiasa menunaikan segala kewajiban yang telah diperintahkan dan menjauhi segala kemaksiatan yang dilarang.

Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi mulia, suri teladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga, dan para sahabatnya.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Hari raya Idulfitri sejatinya adalah bentuk pengagungan kita kepada Allah Sang Maha Pencipta atas limpahan rezeki yang begitu banyak. Di antaranya adalah nikmat kesempatan menyelesaikan kewajiban berpuasa di bulan Ramadan, nikmat kesempatan mengisi malam-malamnya dengan salat tarawih dan bacaan Al-Qur’an. Hari raya Idulfitri sekaligus merupakan kegembiraan seusai menunaikan ibadah kepada Allah Ta’ala, dengan harapan semoga apa yang telah kita lakukan di bulan ini diterima oleh Allah, mendapatkan pahala yang besar serta ganjaran yang berlipat.

Jemaah salat Idulfitri yang berbahagia, seorang muslim tentu harus berbesar hati bahwa amalannya akan diterima Allah Ta’ala. Hanya saja rasa harap (raja’) ini harus diimbangi dengan rasa khawatir (khauf) bahwa amal kita bisa jadi belum diterima oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah menegaskan bahwa ibadah yang dilakukan seorang hamba tidak semuanya diterima. Allah Ta’ala hanya akan menerima amal ibadah dan ketaatan yang dilandasi dengan ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Allah hanyalah menerima amal dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: 27)

Kondisi inilah yang membuat sebagian ulama di masa silam merasa resah ketika Idulfitri. Mereka resah, bukan karena tidak punya baju baru. Mereka resah, bukan karena jauh dari keluarga. Mereka resah karena mereka tidak tahu, apakah amalannya selama bulan Ramadan diterima oleh Allah Ta’ala ataukah tidak.

Mu’alla bin Al-Fadhl rahimahullah, seorang ulama tabi’uttabi’in, menceritakan kondisi para sahabat,

كَانُوا يَدْعُونَ اللهَ تَعَالَى سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُم رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُونَهُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَ مِنهُمْ

Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang Ramadan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadan. Kemudian, selama enam bulan sesudahnya, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka selama bulan Ramadan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 264)

Oleh karena itu juga, ketika saling bertemu dengan saudara dan kawan kerabat di hari raya Idulfitri, ucapan yang diamalkan oleh para sahabat dan kita dianjurkan untuk memperbanyaknya adalah

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ

Semoga Allah Ta’ala menerima (seluruh amal perbuatan) dari kami dan dari kalian.

Sebuah doa berisi harapan semoga Allah Ta’ala menerima amal ibadah kita dan saudara yang kita temui.

Baca juga: Bagaimanakah Seharusnya Kaum Muslimin Merayakan Hari Raya?

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Jamaah salat Idulfitri yang berbahagia.

Selama bulan Ramadan, kita telah banyak belajar. Belajar untuk menyesuaikan diri dengan aturan syariat. Belajar juga untuk menjadi orang baik. Yang harus kita ingat, perjuangan menjadi hamba Allah yang baik tidak boleh hanya dilakukan ketika Ramadan saja. Menjadi hamba Allah yang baik harus berlanjut dan berkesinambungan sepanjang kehidupan kita. Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ

Istikamahlah sebagaimana kamu diperintahkan.” (QS. Hud: 112)

Setelah bulan Ramadan yang penuh dengan kebaikan ini pergi, tugas kita yang paling utama adalah beristikamah, konsisten, dan kontinyu di dalam menjalankan segala perintah Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini Allah Ta’ala perintahkan dalam ayat yang baru saja kita baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang paling dicintai di sisi Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walau jumlahnya sedikit.” (HR. Bukhari no. 5861 dan Muslim no. 782, 783)

Lantas, bagaimana caranya agar kita mudah beristikamah setelah perginya bulan Ramadan yang mulia ini?

Pertama, jangan pernah tinggalkan amalan wajib.

Ada beberapa ibadah dan amalan yang telah Allah Ta’ala wajibkan kepada setiap muslim. Jangan sampai kewajiban kewajiban tersebut kita tinggalkan dan kita sia-siakan ataupun dikerjakan di luar waktu yang telah ditentukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengingatkan,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا وَحَرَّمَ حُرُمَاتٍ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا

Sesungguhnya Allah menetapkan beberapa kewajiban. Oleh karena itu, jangan kalian menyepelekannya. Allah mengharamkan beberapa larangan, jangan kalian melanggarnya. Dan Allah menetapkan beberapa aturan, jangan melampaui batasnya.” (HR. Daruquthni no. 4445)

Ketahuilah, kewajiban yang paling utama adalah menjaga salat lima waktu secara berjemaah bagi laki-laki dan di rumah bagi perempuan.

Kedua, rutinkan amal sunah yang ringan.

Menjaga rutinitas amalan sunah sekalipun itu ringan, akan membuat ibadah kita kepada Allah Ta’ala selalu terjaga. Karena ingin kita rutinkan, maka cobalah yang ringan terlebih dahulu.

Dimampukan oleh Allah dengan keluasan rezeki? Bersedekahlah secara rutin, penuhi kebutuhan saudara, kerabat terdekat kita. Mudah untuk bangun malam? Rutinkan bangun di sepertiga malam terakhir walau sesaat. Sungguh, amalan-amalan sunah yang sedikit dan ringan ini, jika kita lakukan secara kontinyu dan konsisten tentu lebih baik dari amalan yang besar, namun jarang kita lakukan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Wahai para manusia, beramallah sesuai dengan kemampuan kalian. Karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan sampai kalian bosan.” (HR. Bukhari no. 5861)

Di antara amalan sunah yang bisa kita kerjakan setelah perginya bulan Ramadan ini adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

Puasa ini boleh dilakukan di tanggal berapa pun pada bulan Syawal. Mau dilakukan secara berurutan ataupun terpisah, maka ini tidak masalah.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Tips ketiga untuk menjaga keistikamahan kita selepas Ramadan adalah berteman dengan orang saleh.

Mengapa? Karena teman memiliki pengaruh besar bagi seseorang. Jangan sampai, teman-teman yang kita miliki menyeret diri kita ke jurang bahaya sementara kita tidak menyadarinya. Bertemanlah dengan orang-orang yang baik lagi saleh. Jikalau kita tidak mampu menyamai kesalehan mereka, minimal akan mendapatkan keberkahan dan nasihat-nasihat baik mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

Perumpamaan teman orang saleh dan orang yang jelek adalah bagaikan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101)

Tips keempat yang akan membantu kita untuk terus istikamah adalah tidak pernah lupa berdoa kepada Allah Ta’ala agar dimudahkan menjadi hamba yang istikamah.

Seorang hamba tidak akan bisa menjadi baik dan istikamah, kecuali berkat pertolongan dan taufik dari Allah Ta’ala. Oleh sebab itu, di antara bentuk semangat kita untuk menjadi baik dan istikamah adalah banyak memohon agar dibantu oleh Allah Ta’ala menjadi hamba yang baik.

Salah satu doa yang bisa kita rutinkan untuk kita baca setelah selesai salat adalah,

اللَّهُمَّ أَعِنّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Ya Allah bantulah kami agar senantiasa bisa berzikir (mengingat-Mu), bersyukur kepada-Mu, dan memperbagus ibadah kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud no. 1522)

Jemaah salat Idulfitri yang dirahmati Allah Ta’ala,

Di antara sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berkhotbah Idulfitri adalah memberikan nasihat khusus untuk kaum muslimah. Maka, di sini kami sampaikan nasihat kepada ibu-ibu dan wanita muslimah semuanya untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Senantiasalah selalu dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bertakwalah kepada Allah dalam setiap gerakan dan kegiatan, berucaplah dengan jujur, jauhi gibah, dan berpakaianlah dengan pakaian yang menutup aurat. Ingatlah selalu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

ما ترَكتُ بعدي فتنةً هي أضرُّ على الرِّجالِ مِن النساءِ

Tidaklah ada sepeninggalku ujian/cobaan yang lebih besar bahayanya bagi laki-laki daripada ujian/cobaan wanita.” (HR. Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2740)

Jadilah wanita yang menjaga diri dan menjaga kehormatan. Jauhilah zina dan sebab-sebabnya. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا

Dan janganlah kalian mendekati zina. (Zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)

Jemaah yang berbahagia,

Nasihat terakhir kami adalah sebuah nasihat yang disampaikan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, Beliau mengatakan,

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجدِيْد إِنَّماَ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْد * لَيْسَ الْعِيْد لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوْبِ إِنَّمَا العِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْب

Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian baru tanpa cacat. Hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang semakin bertambah ibadah dan ketaatannya. Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya. Hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.

Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilaaha illallahu wallahu akbar… Allahu akbar walillahil hamd…

Akhir kata, marilah kita berdoa memohon kepada Allah, agar diberikan sebab-sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat, dimudahkan juga istikamah, dan konsisten dalam beramal. Semoga Allah Ta’ala memberikan kesabaran dan kemudahan bagi kaum muslimin Indonesia secara khusus dan kaum muslimin di segala penjuru dunia secara umum dalam setiap kesulitan dan musibah yang menimpa, berikut jalan keluar terbaik dalam menghadapi setiap masalah mereka.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِيْ أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْ مَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِيْ رِضَاكَ، وَارْزُقْهُ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ النَاصِحَةَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلا مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لا يَرْحَمُنَا

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84531-khotbah-salat-idulfitri-tugas-kita-setelah-ramadan-pergi.html

Katering Jamaah Haji 30 Persen Bahan Harus Produk Indonesia

Katering jamaah haji harus memenuhi kebutuhan gizi jamaah haji.

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief memastikan produk makanan Indonesia akan digunakan dalam penyelenggaraan ibadah haji 1444 H/2023 M. Hal ini disampaikan usai menandatangani kontrak kerja sama antara Ditjen PHU Kementerian Agama (Kemenag) dengan para penyedia layanan katering jamaah Indonesia.

Penandatanganan kontrak kerja sama dilakukan dengan para pemilik dapur layanan katering di Kantor Urusan Haji, KJRI, Jeddah.

Hadir menyaksikan Irjen Kemenag Faisal Ali Hasyim, Inspektur Wilayah IV yang juga Plt. Sekretaris Itjen Kastolan, Direktur Layanan Haji dalam Negeri Saiful Mujab, serta Konsul Haji KJRI Jeddah Nasrullah Jasam dan Pelaksana Staf Teknis Haji 1 yang juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Agus Mi’raji.

Katering menjadi salah satu layanan yang disiapkan Kemenag bagi jamaah haji Indonesia. Jutaan boks makanan akan disiapkan untuk jamaah saat berada di Madinah, Makkah, Masyair (Arafah, Muzdalifah, Mina), serta di Bandara. 

“Tahun ini kita ingin agar bahan makanan yang digunakan untuk layanan katering jamaah haji kita adalah produk Indonesia. Kita cantumkan dalam kontrak kerja sama bahwa 30 persen dari komponen katering harus berupa produk Indonesia,” ucap Hilman dalam keterangan yang didapat Republika co.id, Rabu (19/4/2023).

Tahun ini, layanan katering jamaah akan disiapkan oleh sekitar 76 dapur. 53 dapur akan melayani katering bagi jamaah selama di Makkah, 21 dapur di Madinah, serta dua dapur memberikan layanan katering untuk jamaah saat di Bandara Saudi.

“Kita akan memberikan penghargaan bagi perusahaan katering yang menggunakan produk-produk Indonesia lebih banyak dari yang lain,” lanjut dia.

Bersamaan penandatanganan kontrak kerja sama, Kemenag juga berupaya mempertemukan para importir bahan makanan Indonesia dengan penyedia layanan katering jamaah di Arab Saudi. Menurutnya, hal ini dilakukan agar para pihak bisa langsung saling berkomunikasi dan bersinergi.

Kepada para penyedia katering, Hilman berpesan agar dapat memberikan layanan terbaik kepada jamaah. Dengan kuota jamaah haji tahun ini kembali normal, setiap dapur harus melakukan langkah strategis dan antisipatif agar dapat memberikan layanan terbaik kepada jamaah.

Hilman juga menyebut tahun ini kali pertama ada dua petugas haji yang bertugas mengawasi dapur katering, mulai dari proses penyiapan, distribusi dan kelayakan. Ini dilakukan untuk memastikan layanan katering berjalan dengan baik. 

Hadir di lokasi, Irjen Kemenag Faisal menegaskan proses pengadaan penyedia layanan katering ini dilakukan dengan mematuhi prinrip-prinsip transparan dan akuntable.

“Para penyedia layanan tidak perlu berpikir untuk memberikan sesuatu kepada pihak Indonesia, baik misi haji maupun pihak terkait lainnya. Ini kita selenggarakan dengan mengedepankan professionalisme saja,” ucap Faisal.

Menurutnya, para penyedia layanan yang terpilih adalah mereka yang dinilai terbaik. Karena itu, harus dibuktikan dalam memberikan layanan saat operasional haji tahun ini. 

IHRAM

Kisah Cucu Rasulullah Meminta Baju Lebaran 

Ada satu kisah yang unik di masa lalu, tentang kisah cucu Rasulullah yang meminta baju lebaran. Tidak terasa lebaran tinggal menghitung hari. Sejumlah persiapan dilakukan demi menyambut hari penuh kemenangan tersebut. Mulai dengan menyajikan hidangan makanan yang lezat, membersihkan rumah, hingga membeli pakaian baru. Lantas apakah ada keharusan memakai pakaian baru saat Idul Fitri?

Baju Baru di Hari Raya Sunnah dan Tidaklah Diwajibkan dalam Islam

Budaya mengenakan pakaian baru bukanlah hal yang diwajibkan dalam Islam ketika berhari raya. Akan tetapi maksud dari mempersiapkan pakaian baru tidak lain adalah, ekspresi maupun ungkapan kebahagian akan datangnya hari kemenangan.

Selain itu pakaian baru juga merupakan perwujudan rasa syukur kita kepada Allah SWT, karena diberikan kesempatan dan nikmat yang begitu besar, yaitu dapat melewati bulan suci Ramadhan.

Nah di Indonesia sendiri, memakai pakaian baru justru menjadi tradisi di masyarakat, bahkan juga di berbagai belahan dunia yang lain. Tak heran menjelang lebaran orang berusaha untuk menyisihkan gajinya selama sebulan untuk bisa membelikan baju baru sanak saudara mereka.

Para orang tua pun akan merasa sedih jika menjelang lebaran mereka belum mampu menghadiahkan baju baru kepada anak-anak mereka. 

Begitu juga kalian bukan? Sejatinya yang baru adalah diri dan hati kita yang lebih bersih, suci, dan ketakwaan yang bertambah. Baju baru hanyalah simbol rasa syukur, dan jaga justru disalahartikan sebagai ajang pamer atau simbol kesombongan dan kecongkakan. 

Sebagaimana pesan Al Bahjah KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya menurutnya, membeli baju baru lebaran adalah kebiasaan orang dalam berhari raya. Imam Bukhari meriwayatkan satu hadis dari Sayyidina Abdullah bin Umar. 

“Bahwasanya Rasulullah pernah berpesan pada Sayyidina Umar bahwa menyenangkan keluarganya di hari raya itu sunnah. Seperti dengan menyediakan makan enak, hingga baju bagus. Tentunya dengan catatan tidak boleh melakukan sunah dengan cara yang haram, mencuri, mengambil harta orang lain, dan sebagainya.”

Hadits Tentang Pakaian Baru Saat Idul Fitri

Memakai baju baru merupakan tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari perayaan Idul Fitri tersebut. Bagaimana Islam memandang fenomena tersebut? Apakah ada anjuran dari Rasulullah SAW untuk memakai baju baru sewaktu lebaran? Simak ulasan berikut.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menganjurkan umat muslim untuk mengenakan pakaian terbaiknya di dua hari raya yakni, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.   

عَنِ الْحَسَنِ ابْنِ عَلِيٍّ قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فِى الْعِيدَيْنِ أَنْ نَلْبِسَ أَجْوَدَ مَا نَجِدُ … (رواه البيهقي والحاكم)

“Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW telah memerintahkan kami pada dua hari raya agar memakai pakaian terbaik yang kami temukan.” (HR Al-Baihaqi dan Al-Hakim). 

Perlu diketahui kesedihan juga pernah dirasakan oleh putri Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah RA ketika dirinya tidak mampu memberikan baju baru untuk putra-putranya. Putri kesayangan Nabi SAW itu suatu ketika pernah bersedih ketika hari raya tinggal menghitung hari, karena melihat Hasan dan Husein yang bersedih pula karena belum memiliki pakaian baru menjelang hari raya. 

Kita ketahui bersama, bahwa rumah tangga Sayyidah Fatimah RA dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, tidak semewah sahabat-sahabat yang lain. Mereka termasuk barisan keluarga yang tergolong kekurangan di kala itu, sekalipun keluarga Rasulullah SAW.

Kisah Cucu Rasulullah Meminta Baju Lebaran

Alkisah, Hasan dan Husein yang merupakan cucu Rasulullah tidak memiliki pakaian baru untuk lebaran, sedangkan hari raya sebentar lagi datang. Kesedihan mereka berdua nampak begitu jelas ketika melihat teman-teman seusia mereka di seluruh penjuru Madinah sudah memiliki pakaian baru untuk menyambut hari raya. 

Mereka pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Wahai, Ibu! Anak-anak di Madinah telah dihiasi dengan pakaian hari raya kecuali kami, mengapa bunda tidak menghiasi kami?”.

Sayyidah Fathimah menjawab, “Baju kalian masih di tukang jahit.” Malam hari raya tiba, sementara pakaian baru belum juga terlihat sehingga dua pemuda itu bertanya lagi kepada ibunya. Sontak Sayyidah Fathimah tak mampu membendung air matanya, dirinya pun menangis karena tidak memiliki uang untuk membeli baju buat kedua buah hatinya itu.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahnya. Sayyidah Fathimah menghampiri seraya bertanya, “Siapa?” kata Fatimah.Lalu terdengar jawaban dari balik pintu. “Wahai putri Rasulullah, saya adalah tukang jahit. Saya datang membawa hadiah pakaian untuk kedua putramu.”

Pintu dibuka dan tampaklah seorang membawa bingkisan lalu diberikan kepada Sayyidah Fathimah. Beliau membuka bingkisan tersebut dan di dalamnya terdapat 2 gamis, 2 celana, 2 mantel, 2 sorban dan 2 pasang sepatu hitam yang semuanya terlihat indah. 

Lalu Sayyidah Fathimah memanggil kedua putra kesayangannya dan memakaikan mereka busana indah hadiah tersebut. Kemudian Rasulullah datang dan melihat kedua cucunya sudah rapi mengenakan pakaian baru yang indah.

Dengan senang Rasulullah SAW menggendong keduanya dan menciumi mereka dengan penuh cinta dan kasih sayang. Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada Sayyidah Fathimah, 

Apakah engkau melihat sang tukang jahit tersebut?” Sayyidah Fathimah menjawab, “Iya, aku melihatnya.” Lalu Rasulullah menjelaskan, “Duhai putriku, dia bukanlah tukang jahit, melainkan Malaikat Ridwan sang penjaga surga.”

Demikian kisah cucu Rasulullah meminta baju lebaran. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Khutbah Idul Fitri 2023: Menyongsong Kemenangan Idul Fitri  

Saat ini kita tengah berada di akhir Ramadhan. Tak berselang lama lagi kita akan berada di bulan Syawal. Artinya, kita akan menyambut Idul Fitri. Nah berikut judul Khutbah Idul Fitri 2023; menyongsong kemenangan Idul Fitri.

Khutbah I

(اللهُ أَكْبَرُ x9) اللهُ أَكْبَرُ كُلَّمَا هَلَّ هِلاَلٌ وَأَدْبَرَ. اللهُ أَكْبَرُ كُلَّمَا صَامَ صَائِمٌ وَأَفْطَرَ. اللهُ أَكْبَرُ كُلَّمَا نَبَتَ نَبَاتٌ وَأَزْهَرَ. وَكُلَّمَا أَوْرَقَ عُوْدٌ وَأَثْمَرَ. وَكُلَّمَا أَطْعَمَ الْقَانِعُ وَالْمُعْتَرُّ. اللهُ أَكْبَرُ… اللهُ أَكْبَرُ… اللهُ أَكْبَرُ… لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ… وَاللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Hadirin Jamaah  pendengar Khutbah Idul Fitri 2023 

Cemas dan harap yang dalam istilah tasawuf disebut khauf dan raja’ adalah dua kualitas penempuh laku spiritual yang mesti dijalankan secara bergandengan. Imam al-Qusyairi menukil perumpamaan yang indah untuk menjelaskan perlunya menyelaraskan antara keduanya dari Abu Ali al-Rudzbari.

الخوف والرجاء هما كجناحي الطائر إِذَا استويا استوى الطير وتم طيرانه وإذا نقص أحدهما وقع فِيهِ النقص وإذا ذهبا صار الطائر فِي حد الْمَوْت.

“Cemas dan harap ibarat sepasang sayap burung. Apabila keduanya selaras, maka burung pun dapat bertengger dan terbang dengan sempurna. Tapi apabila terdapat cacat pada salah satunya, terbangnya pun akan menjadi cacat. Sedangkan apabila kedua sayapnya lenyap, itu artinya burung itu telah tiba di ambang kematian.” (al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, 1/260).

Secara pengamalan, al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din, menyebut kombinasi khauf dan raja sebagai salah satu syarat batin dari puasa. Al-Ghazali mengatakan;

 السادس أن يكون قلبه بعد الإفطار معلقاً مُضْطَرِبًا بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ إِذْ لَيْسَ يَدْرِي أَيُقْبَلُ صَوْمُهُ فَهُوَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ أَوْ يُرَدُّ عَلَيْهِ فَهُوَ مِنَ الْمَمْقُوتِينَ وَلْيَكُنْ كَذَلِكَ فِي آخر كل عبادة يفرغ منها

“Syarat batin dari puasa yang keenam yaitu setelah berbuka, hati orang yang berpuasa terpaut dengan rasa pesimis dan optimis. Sebab belum tentu puasanya diterima sehingga ia termasuk golongan orang-orang yang didekatkan dengan Allah. Atau justru puasanya tak diterima lantas ia termasuk kalangan yang dibenci. Hendaklah bersikap demikian setiap kali selesai melakukan ibadah.” (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, 1/235).

Hadirin Jamaah  pendengar Khutbah Idul Fitri 2023 

Dalam menghadapi momentum Idul Fitri rasa pesimis dan optimis mestinya juga tidak boleh dikesampingkan. Memang tidak salah menunjukkan rasa bahagia atas hadirnya hari yang mulia ini. Bahkan memang seharusnya. Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari mengungkapkan;  

أَنَّ إِظْهَارَ السُّرُورِ فِي الْأَعْيَادِ مِنْ شِعَارِ الدِّينِ

“Sesungguhnya menampakkan rasa bahagia pada hari-hari Id merupakan syiar agama,” (Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 2/433).

Akan tetapi, ingar-bangar Idul Fitri dengan aneka suguhan dan makanan lezat, juga riasan dan busana istimewa berpadu suasana hangat berkumpul dengan sanak keluarga dan orang-orang terkasih di hari itu rentan menyeret kita pada euforia.

Alih-alih menjadi cerminan keberhasilan puasa kita, Idul Fitri justru menjadi momentum berfoya-foya; melampiaskan hawa nafsu yang diredam selama sebulan penuh. Lupalah kita pada urusan akhirat.

Pada momen demikian, tentu yang kita butuhkan adalah pengingat. Nah, dalam rangka itu, Ulama kita khususnya dari kalangan Syafi’iyah menganjurkan agar kita membaca Surah Qaf pada rakaat pertama dan Surah al-Qamar di rakaat kedua salat id, atau Surah al-A’la pada rakaat pertama dan Surah al-Ghasyiyah pada rakaat kedua. Yang mana masing-masing surah tersebut mengandung narasi-narasi tentang dahsyatnya kiamat dan hari akhir.

Abdul Wahhab al-Sya’rani mengatakan bahwa membaca surah-surah tersebut diproyeksikan sebagai reminder (pengingat) agar kita tidak terlena oleh euforia hari raya. Yuris cum mistikus yang hidup pada abad ke-X Hijriyah ini menyatakan, 

فكان قراءة هذه السورة المعينة كالمذكر للعبد لئلا يطول عليه زمن الغفلة عن الله تعالى وعن الدار الأخرة فيموت قلبه أو يضعف

“Membaca surah-surah tertentu tersebut adalah sebagai pengingat bagi seorang hamba. Agar ia tidak terlalu lama lalai dari Allah Ta’ala dan kampung akhirat lantas hatinya mati atau melemah.” (Abdul Wahhab al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, 1/213).

Hadirin Jamaah  pendengar Khutbah Idul Fitri 2023 

Dalam beberapa literatur, kita dapat mengambil pelajaran dari generasi salah. Di saat galibnya umat Islam berbahagia menyambut hari raya, sebagian generasi salaf justru merasa sedih. Alih-alih bergembira ria, sebagian mereka justru tampak murung karena akan berpisah dengan bulan Ramadhan yang penuh keberkahan. Di samping itu mereka khawatir amal ibadah yang mereka lakukan tidak diterima dan dosa-dosa mereka tidak diampuni. 

Ibn Rajab al-Hanbali dalam Lathaif al-Ma’arif misalnya, menukil riwayat yang mengisahkan Umar bin Abdul Aziz. Dikisahkan bahwa pada hari Idul Fitri sang Khalifah keluar dari istana. Sang Khalifah pun berkhotbah di hadapan masyarakatnya. 

“Wahai manusia! Kalian telah berpuasa karena Allah sebulan penuh. Kalian juga telah menghidupkan malam Ramadhan selama tiga puluh malam. Hari ini kalian keluar seraya berharap agar Allah menerima amal ibadah kalian semua. Ketahuilah bahwa sebagian generasi salaf justru tampak bersedih ketika hari Idul Fitri. 

Lantas sebagian mereka itu ditanya, ‘Bukankah ini hari berbahagia dan suka cita?’ Sebagian mereka pun menjawab, ‘Kalian benar ini adalah hari berbahagia. Namun aku hanya seorang hamba yang oleh Tuhanku diperintahkan untuk beramal untuk-Nya. Sementara aku tak tahu apakah amal diterima’” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, 209).

Hampir serupa dengan kisah dalam riwayat di atas, Ibn al-Jauzi dalam al-Tabshirah menukil kisah Shalih bin Abdul Jalil. Disebutkan bahwa ketika Idul Fitri tiba, Shalih bin Abdul Jalil mengumpulkan keluarganya. Ia duduk di tengah mereka sembari menangis. Saudara-saudaranya mengherankan mengapa ia bersedih padalah ini adalah hari bergembira. 

Shalih bin Abdul Jalil menjawab, “Kalian benar ini adalah hari bergembira. Tetapi aku hanya seorang hamba yang oleh Tuhanku diperintahkan  beramal untuk-Nya. Aku pun beramal namun aku tak tahu apakah Tuhanku menerima atau menolak amalku. Maka bersedih lebih utama bagiku,” (Ibn al-Jauzi, al-Tabshirah, 2/110).

Namun demikian, bukan berarti kita juga harus dilahap kesedihan. Sebab idealnya kita bisa memadukan perasaan sedih dan gembira secara simultan pada momen hari raya. Sebagaimana diungkapkan al-Sya’rani,

الكامل من شرطه أن يجمع بين الفرح والحزن معا في يوم العيد 

“Yang purna adalah memadukan senang dan sedih di hari Id”. (Abdul Wahhab al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, 1/213)

Dan terahir, semoga puasa yang kita lakukan selama satu bulan penuh di terimah oleh Allah Saw. Perlakuan atau pekerjaan baik seperti tadarus, tarawih dan lainnya menjadi tambahan dari pahala yang sudah kita dapat atau paling tidak menjadi penembel dari kesalahan yang telah kita perbuat selama bulan Ramadhan. Dan yang pasti semoga kita bisa berjumpa dengan bulan Ramadhan berikutnya. Amin amin ya rabb alamin.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسَتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبِلْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ مِمَّا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ. اللهُ أَكْبَرُ… اللهُ أَكْبَرُ… اللهُ أَكْبَرُ… اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

BINCANG SYARIAH

Mengenal Hak Allah Ta’ala

Hak Allah Ta’ala merupakan hak yang paling utama, wajib (ditunaikan) dan paling agung di antara hak-hak yang lain. Karena hak Allah Ta’ala merupakan hak yang Maha Pencipta, Mahaagung, Maha Penguasa, Maha Pengatur atas segala urusan. Hak pemilik segalanya yang nyata. Yang hidup kekal mengurus makhluk-Nya. Yang dengannya tegak langit dan bumi. Dia pula yang telah menciptakan segala sesuatu, kemudian menetapkan takdirnya dengan kebijaksaannya yang nyata. Hak Allah Ta’ala yang Dia telah menghadirkan Anda (di dunia) dari yang tidak ada dan dari sesuatu yang tidak pernah disebutkan sebelumnya. Hak Allah Ta’ala yang telah mengurus diri Anda dengan memberikan berbagai kenikmatan. Di mana Anda berada di perut ibu dalam 3 tahap kegelapan yang tidak satu pun makhluk yang sanggup memberikan makanan yang bergizi, menjadi sumber perkembangan dan kehidupanmu. Mengalirkan air susu untukmu dari dua payudara. Menghadirkan dua orang tua untukmu. Dia pula yang menyediakan dan mempersiapkan segala sesuatu untukmu. Menyediakanmu dengan kenikmatan, akal, dan pemahaman. Dan mempersiapkanmu dengan mampu menerima itu semua dengan cara memanfaatkannya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَٱللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)

Seandainya anda tertutup dari melihat keutamaan-Nya tersebut walau sekejap mata, pasti anda akan binasa. Seandainya anda terhalang dari kasih sayang-Nya, anda tidak mampu hidup di dunia. Jika demikian besar karunia dan rahmat Allah Ta’ala pada anda, maka sesungguhnya hak-Nya atasmu adalah hak yang terbesar. Karena sesungguhnya hak itu adalah hak penciptamu, pengatur hidupmu, dan penolongmu. Dan Dia tidak menginginkan darimu rezeki dan tidak juga makan.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًا ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَٱلْعَٰقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Taha: 132)

Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya menginginkan dari anda satu perkara yang maslahatnya juga untuk dirimu sendiri. Allah Ta’ala menginginkan anda agar hanya beribadah kepada Allah Ta’ala semata tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Allah Ta’ala befirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَآ أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلْقُوَّةِ ٱلْمَتِينُ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58)

Allah Ta’ala menginginkan anda agar menjadi hamba bagi-Nya dengan segala makna ‘ubudiyah (penghambaan). Karena Dia juga merupakan Rabbmu dengan segala kesempurnaan makna Rububiyah. Menjadi hamba-Nya yang merasa rendah di hadapan-Nya, yang tunduk pada-Nya, mematuhi perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan membenarkan yang dikabarkan-Nya. Karena anda melihat nikmat-Nya bergantian satu per satu pada dirimu secara sempurna. Apakah anda tidak malu kemudian membalas semua nikmat ini dengan kekufuran?

Seandainya ada seseorang yang memiliki keutamaan bagi diri anda, anda sangat malu dan enggan untuk melawannya dengan bermaksiat dan menyelisihinya. Lantas, bagaimana dengan Rabbmu yang seluruh keutamaan dan nikmat padamu tidak lain adalah dari-Nya? Segala bahaya yang dijauhkan darimu adalah dari bagian kasih sayang-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْـَٔرُونَ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya). Dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53)

Ini adalah hak yang Allah Ta’ala wajibkan bagi diri-Nya. Kemudahan bagi mereka yang Allah Ta’ala mudahkan. Karena Allah Ta’ala tidak pernah menjadikan agama ini sulit, sempit, dan sukar. Allah Ta’ala berfirman,

وَجَٰهِدُوا۟ فِى ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦ ۚ هُوَ ٱجْتَبَىٰكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَٰهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِى هَٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعْتَصِمُوا۟ بِٱللَّهِ هُوَ مَوْلَىٰكُمْ ۖ فَنِعْمَ ٱلْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ ٱلنَّصِيرُ

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu. Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini. Supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka, dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (QS. Al-Hajj: 78)

Sesungguhnya itu adalah akidah yang utama, keimanan yang benar, buah amal saleh, keimanan dengan hal gaib, dan keimanan dengan yang nyata. Sebagai pondasi rasa cinta dan penghormatan. Buah akhirnya ikhlas dan ketekunan.

Salat 5 waktu sehari semalam menjadi sebab Allah Ta’ala hapuskan kesalahan, meninggikan derajat, memperbaiki hati dan keadaan, sesuai kadar seorang hamba dalam ketaatannya. Allah Ta’ala berfirman,

فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ

Bertakwalah kamu kepada Allah sesuai kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata pada Imran bin Husain, ketika Imran sedang sakit, “Salatlah dalam keadaan berdiri, jika kamu tidak mampu dalam keadaan duduk, jika tidak mampu berbaring.” (HR. Bukhari no. 1117)

Zakat merupakan salah satu jalan bagi pemilik harta untuk menunaikan kebutuhan orang fakir dan miskin, serta ibnu sabil (musafir), gharim dan yang lainnya dari penerima zakat. Allah Ta’ala berfirman,

فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعْتَصِمُوا۟ بِٱللَّهِ هُوَ مَوْلَىٰكُمْ ۖ فَنِعْمَ ٱلْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ ٱلنَّصِيرُ

Maka, dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (QS. Al Hajj: 78)

Puasa di bulan Ramadan. Jika sakit atau safar, maka (puasalah) sebanyak hari yang ditinggalkan tersebut pada hari-hari lain. Jika tidak mampu puasa karena kesulitan yang menetap, maka berilah makan orang miskin sejumlah hari yang tidak berpuasa.

Haji ke baitullah merupakan salah amal saleh bagi yang mampu.

Beberapa hal di atas merupakan pokok-pokok hak Allah Ta’ala. Demikian, semoga bermanfaat.

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84452-mengenal-hak-allah-taala.html