Hakikat Riba

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Riba secara bahasa artinya bertambah. Sedangkan secara syara’ adalah penambahan pada ra’sul maal (harta pokok) sedikit atau banyak.

Hukum Riba

Riba hukumnya haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279}

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.—-Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Al Baqarah: 278-279)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang bermu’amalah dengan riba dengan ancaman yang yang sangat berat, Dia berfirman:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (QS. Al Baqarah: 275)

Di ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa orang yang bermu’amalah dengan riba tidak dapat bangkit dari kuburnya pada hari Kiamat melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila, hal ini disebabkan mereka memakan riba ketika di dunia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengancam neraka kepada orang yang memakan riba (Lihat Al Baqarah: 275), mencabut keberkahan pada harta yang bercampur riba, yaitu pada firman-Nya “Yamhaqullahurr ribaa,” (Al Baqarah: 276) sehingga harta itu hanyalah membuat kelelahan baginya ketika di dunia, azab baginya ketika di akhirat dan ia tidak dapat mengambil manfaatnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menamai pemakan riba sebagai “Kaffaar” (lihat surat Al Baqarah ayat 276), yang artinya sangat kufur, yakni sangat kufur terhadap nikmat Allah, karena ia tidak kasihan kepada orang yang lemah, tidak membantu orang fakir, tidak memberi tempo kepada orang yang kesusahan. Dan bisa mengeluarkannya dari Islam, jika ia menganggap halal melakukan riba. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengumumkan perang dari-Nya dan dari Rasul-Nya kepada orang-orang yang memakan riba, dan menyifati orang-orang yang memakan riba sebagai orang yang zalim (lihat Al Baqarah: 279)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaknat semua orang yang ikut serta dalam ‘akad riba, Beliau melaknat orang yang memberi pinjaman (yakni yang mengambil riba), orang yang meminjam (yakni yang akan memberikan riba), penulis yang mencatatnya dan dua saksinya. Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberinya, dua saksinya dan penulisnya. Beliau juga bersabda, “Mereka sama (dosanya).”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pengharaman riba lebih keras daripada pengharaman maisir, yaitu judi.”

Bahkan memakan riba adalah sifat orang-orang Yahudi yang mendapatkan laknat, lihat surat An Nisaa’: 161.

Hikmah Diharamkan Riba

Hikmah diharamkannya riba adalah karena di dalamnya:

–     Sama saja memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

–     Menimbulkan peremusuhan di antara sesama dan menghilangkan ruh ta’awun (tolong-menolong).

–     Memadharratkan kaum fakir’ dan orang-orang yang membutuhkan.

–     Menghilangkan kerja dan usaha.

–     Menimbulkan kemalasan bekerja.

–     Wasilah yang menjadikan suatu negeri mudah dijajah.

–     Dll.

Riba dan Pembagiannya

Riba terbagi dua; Riba Nasii’ah dan Riba Fadhl.

1. Riba Nasi’ah

Riba Nasii’ah diambil dari kata nas-’ yang berarti penundaan, yakni riba karena adanya penundaan. Riba Nasii’ah artinya tambahan yang disyaratkan oleh pemberi pinjaman dari si peminjam sebagai ganti dari penundaan. Riba ini jelas haram berdasarkan Al Qur’an, sunah dan Ijma’.

Riba Nasii’ah ada dua macam:

a)  Qalbud dain ‘alal mu’sir, yaitu orang lain mempunyai hutang kepadanya dengan pembayaran ditunda, ketika tiba waktu menagih, ia (pemberi pinjaman) berkata kepada penghutang, “Anda ingin membayar atau akan ditambah hutang anda?” Jika tidak membayar, maka si pemberi pinjaman menambahkan lagi waktunya dan menambahkan pembayaran yang sebelumnya contoh 1.000.000,- menjadi 10.50.000,-  dsb. Inilah riba di zaman Jahiliyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan riba ini dengan firman-Nya:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)

Oleh karena itu, jika waktu penagihan tiba, namun si peminjam tidak mampu membayar, tidak boleh bagi si pemberi pinjaman menambahkan hutangnya, bahkan ia wajib menunggunya.

b)  Riba Nasii’ah jenis kedua, yaitu menjual barang yang terdiri dari dua jenis; yang sama dalam hal ‘illat riba fadhl dengan adanya pengaruh yang timbul jika diterima keduanya atau salah satunya. Misalnya menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam secara penundaan salah satunya.

2. Riba Fadhl

Riba Fadhl artinya terjadinya kelebihan di salah satu barang, yakni menjual uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan adanya kelebihan. Riba fadhl hukumnya haram berdasarkan sunah dan Ijma’, karena bisa mengarah kepada riba nasii’ah.

Di dalam hadits disebutkan lebih jelas pengharaman riba pada enam barang; emas, perak, bur/gandum, sya’ir, kurma dan garam. Jika barang-barang ini dijual dengan barang yang sejenis, diharamkan adanya kelebihan di antara keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ مِثْلٌ بِمِثْلٍ مَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الْآخِذُ وَالْمُعْطِي سَوَاءٌ

Emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, sya’ir dengan sya’ir, gandum dengan gandum, garam dengan garam, sama dan sebanding. Barang siapa menambah-nambah atau minta ditambah maka ia telah melakukan riba, baik yang mengambil atau yang meminta hukumnya sama.” (HR. Ahmad dan Bukhari)

Di hadits ini jelas sekali haramnya menjual emas dengan emas; apa pun macamnya, perak dengan perak apa pun macamnya kecuali secara sama di samping langsung serah terima.

Diqiaskan dengan enam barang ini adalah barang-barang yang sama illatnya dengan enam barang ini, sehingga barang-barang tersebut haram juga jika ada kelebihan di salah satunya. Namun para ulama berselisih tentang batasan ‘illat. Yang jelas bahwa enam barang tersebut merupakan asas yang dibutuhkan manusia.

Pendapat yang shahih (benar) adalah bahwa illat pada mata uang (emas dan perak) adalah “Bisa dijadikan sebagai alat pembayaran.” Oleh karena itu, masuk ke dalamnya setiap barang yang bisa dijadikan alat pembayaran. Misalnya uang kertas yang dipakai zaman sekarang, maka haram hukumnya ada kelebihan apabila salah satunya dijual dengan barang yang sama jenisnya; yakni uang tersebut dikeluarkan oleh negara yang sama.

Pendapat yang benar bahwa illat pada gandum, sya’ir, kurma dan garam adalah bisa “ditakar atau ditimbang di samping bisa dimakan”[1], sehingga setiap barang yang bisa bisa ditakar atau ditimbang yang termasuk bisa dimakan, maka haram terjadi kelebihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Illat diharamkan Riba Fadhl adalah “bisa ditakar” atau “bisa ditimbang” di samping bisa dimakan, ini adalah salah satu riwayat Ahmad.”

Oleh karena itu, setiap barang yang masuk ke dalam enam barang yang disebutkan nasnya karena sama ‘illatnya; yakni bisa ditakar atau ditimbang serta bisa dimakan atau adanya ‘illat “bisa dijadikan alat pembayaran” jika berupa mata uang, maka bisa masuk riba. Jika di samping sama ‘illatnya adalah sama jenisnya; seperti jual beli gandum dengan gandum maka haram adanya kelebihan dan adanya penangguhan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ , وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ , وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ , وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ , وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ , وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ ; مَثَلًا بِمَثَلٍ , يَدًا بِيَدٍ

 “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sejenis dan langsung serah terima (sebelum berpisah).”

Kesimpulan

Dengan demikian, apabila dijual barang ribawi dengan yang sejenisnya, seperti emas dengan emas atau gandum dengan gandum, maka harus terpenuhi dua syarat:

1)   Sama jumlahnya, tanpa melihat kepada bagus atau jeleknya (yang ditakar dengan yang ditakar dan yang ditimbang dengan yang ditimbang)

Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id yang diriwayatkan oleh Muslim sbb.: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diberi kurma.” Lalu beliau bertanya. “Apakah kurma ini dari kurma kita?” Maka laki-laki yang memberi menjawab, “Wahai Rasulullah, kami menukar dua sha’ kurma dengan satu sha’ kurma seperti ini.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Inilah yang dinamakan riba, kembalikanlah kurma ini kemudian jualah kurma milik kita, lalu uang hasil penjualan kurma tersebut kamu belikan kurma seperti ini.”

2)   Salah satunya tidak ditunda (serah terima di majlis akad sebelum berpisah)

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ

Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali harus sama, dan janganlah kamu melebihkan salah satunya. Janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali secara sama dan janganlah kamu melebihkan salah satunya, dan janganlah kamu menjual yang tidak di tempat dengan yang ada di tempat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id)

Namun, jika sama ‘illatnya  dan berbeda jenisnya, seperti menjual bur dengan sya’ir, maka tidak boleh terjadi penangguhan di salah satunya dan boleh adanya kelebihan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَشْيَاءُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika barang-barang ini berbeda, maka juallah semau kalian dengan syarat langsung serah terima.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Maksud “langsung serah terima” adalah langsung serah terima di majlis itu sebelum salah seorang di antara keduanya berpisah dari yang lain.

Dan jika illat dan jenisnya berbeda, maka boleh dua hal ini; adanya kelebihan dan adanya penangguhan. Misalnya emas dengan gandum dan perak dengan sya’ir.

Beberapa Contoh:

  1. Menjual 100 gram emas dengan 100 gram emas yang ditunda setelah sebulan. Hal ini riba, karena tidak langsung serah terima di majlis akad.
  2. Membeli 1 kg sya’ir (salah satu jenis gandum) dengan 1 kg bur (gandum) adalah boleh karena berbeda jenis, namun disyaratkan langsung serah terima di majlis akad.
  3. Menjual 50 kg gandum dengan seekor kambing adalah boleh secara mutlak, baik adanya serah terima di majlis maupun tidak.
  4. Tukar menukar uang dolar, misalnya 100 dolar ditukar dengan 120 dolar. Hal ini tidak boleh.
  5. Meminjamkan 1.000 dolar dengan syarat dikembalikan setelah sebulan atau lebih 1.200 dolar. Hal ini juga tidak boleh.
  6. Menukar 100 dirham perak dengan 10 junaih emas yang akan dibayarkan setelah berlalu setahun. Hal ini tidak boleh, karena harus langsung serah terima.
  7. Jual beli saham bank ribawi juga tidak boleh, karena termasuk menjual uang dengan uang tanpa ada kesamaan dan serah terima.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.

Oleh: Marwan bin Musa

Maraji’: Al Fiqhul Muyassar, Al Mulakhkhash Al Fiqhiy  dll.


[1] Yang lain ada yang berpendapat bahwa ‘illat empat barang ini (gandum, sya’ir, tamar/kurma dan garam) adalah sebagai makanan pokok. Oleh karena itu jika terdapat hal yang sama illatnya (yakni sebagai bahan makanan pokok) pada barang-barang selain empat hal tersebut, maka diharamkan juga terjadi kelebihan dan haram terjadi penundaan (yakni harus langsung serah terima).

Read more https://yufidia.com/3274-hakikat-riba.html

Perbanyak Amalan Ini dalam Kondisi Apapun

Ada  ibadah yang istimewa karena mudah dilakukan baik dalam kondisi dan waktu apapun. Dilansir di Masrawy, Kamis (11/11), Pendakwah Islam Dr. Amr Khaled menjelaskan bahwa dalam semua amalan ibadah, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa memanjatkan doa.

Ada  ibadah yang istimewa karena mudah dilakukan baik dalam kondisi dan waktu apapun. Dilansir di Masrawy, Kamis (11/11), Pendakwah Islam Dr. Amr Khaled menjelaskan bahwa dalam semua amalan ibadah, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa memanjatkan doa.

Khaled menjabarkan bahwa berdzikir dan mengingat Allah adalah satu-satunya ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya dengan sebanyak-banyaknya. Berzikir merupakan suatu amalan ibadah yang perlu dilakukan sesering mungkin.

Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah Al-Ahzab penggalan ayat 35, “Wadzzakiriinallaha katsiran wadzzaakiraati a’addullahu lahum maghfiratan wa ajran azhiman,”. Yang artinya, “Dan laki-laki serta perempuan yang banyak menyebut (asma/berzikir) Allah, maka Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar,”.

Dan di dalam Surah Thaha ayat 33-34, Allah berfirman, “Kay nusabbihuka katsiran, wa nadzkuruka katsiran,”. Yang artinya, “Supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau. Dan banyak mengingat Engkau,”.

Dia juga menambahkan, apabila seseorang telah melakukan dosa besar, atau merasa benci dengan diri sendiri, bingung membedakan mana kebenaran dan kebatilan di dalam diri, maka sebaiknya dia segera berdzikir selama 20 menit. Sebab dengan berzikir, kata dia, alam bawah sadar seseorang akan bertindak secara otomatis mengingat Allah tanpa seseorang itu perlu berusaha lebih keras.

Khaled juga menjelaskan bahwa berdzikir merupakan amalan ibadah yang sangat mudah dilakukan. Ibadah ini tidak mengharuskan pelakunya mengambil wudhu terlebih dahulu, sehingga inilah ibadah yang sangat mudah untuk dikerjakan dalam kondisi dan waktu kapanpun.

IHRAM

Dzikir Miliki Banyak Keutamaan, Apa Saja?

Mantan Mufti Mesir yang juga Anggota Dewan Ulama Senior Mesir, Syekh Ali Jum’ah mengatakan, berdzikir itu posisinya lebih besar dari sholat dan dzikir itulah yang menjadi tiang agama. Dzikir juga lebih besar dari puasa dan haji.

“Dalam artian, dzikir adalah ibadah yang mencakup semua ibadah. Dzikir adalah awal dari sholat,” kata dia dilansir Elbalad, Jumat (7/1).

Syekh Ali Jum’ah mengutip perkataan Abu Amr Al-Awza’i yang berkata:

“Tidak ada satu jam pun di dunia kecuali dipersembahkan kepada seorang hamba pada Hari Kiamat kelak hari demi hari dan jam demi jam. Tidak ada satu jam pun yang berlalu ketika tidak berdzikir selama waktu itu, kecuali jiwanya terputus oleh patahnya hati. Jadi bagaimana supaya jam demi jam dan hari demi hari berlalu?”

Begitu pentingnya dzikir sehingga sudah sepatutnya seorang Muslim dalam setiap waktunya diisi dengan dzikir. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya.” (QS Al-Ahzab ayat 41)

Allah SWT juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak (berzikir dan berdoa) agar kamu beruntung.” (QS Al-Anfal ayat 45)

“Berdzikir tentu mudah dikerjakan oleh semua orang. Dan dzikir adalah salah satu amal sholeh yang paling utama dan mulia. Semakin seseorang memiliki keimanan dan keterikatan kepada Sang Pencipta, maka semakin banyak ia berdzikir dan memuji-Nya,” kata Syekh Ali Jum’ah menjelaskan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kemenag dan Duta Besar Arab Saudi Melepas 419 Jamaah Umroh Perdana

Direktur Bina Umroh dan Haji Khusus Nur Arifin bersama Wakil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia melapas keberangkatan 419 jamaah umroh, di Asrama Haji Pondok Gede, Sabtu (9/1). Jamaah ini diberangkatkan setelah pemerintah mengirim tim advance untuk uji coba umroh di masa pandemi.

“Alhamdulillah hari ini telah diberangkatkan 419 jamaah umrah perdana, menggunakan 10 bus dari Asrama Haji Pondok Gede menuju Bandara Soekarno Hatta Jakarta,” kata Nur Arifin saat dihubungi, Sabtu (8/1).

Nur Arifin mengatakan, sebelum diberangkatkan, jamaah dikarantina selama satu hari satu malam. Hal ini untuk memastikan sebelum diberangkatkan mereka dalam kondisi sehat dan bebas Covid-19. 

“Mereka dikarantina 1 x 24 jam sebelum keberangkatan para jamaah bermukim di Asrama Haji Pondok Gede untuk dilakukan screening kesehatan,” ujarnya.

Nur Arifin menuturkan, screening kesehatan meliputi cek kesehatan, pemeriksaan sertifikat vaksin masing-masing jamaah, dan dilakukan PCR oleh RS yang direkomendasikan Saudi Arabia. Screening kesehatan ini menjadi standar yang harus dijalani para jamaah umroh demi tercapainya umroh tanpa terpapar Covid-19. 

“Keberhasilan jamaah umroh perdana ini menjadi tolok ukur untuk evaluasi umroh dan haji 2022.  Yaitu apakah perlu terus ditingkatkan pemberangkatan umrah Indonesia dan pemberangkatan jamaah haji tahun 2022,” katanya.

Nur Arifin memastikan pemberangkatan jamaah umroh ini menggunakan kebijakan one gate policy di Bandara Soekarno Hatta. Kebijakan ini baru bisa dievaluasi sampai empat kali keberangkatan.

“Rencana setelah 4 kali keberangkatan dievaluasi,” katanya.

IHRAM

Ini Dalil Keharaman Terorisme

Terorisme, dalam bahasa Arab disebut “Irhab” secara bahasa bermakna menciptakan kekhawatiran, ketakutan, perasaan ngeri dan teror. Hal ini seperti dijelaskan oleh Ibnu Mandzur dalam Lisanul ‘Arab.

Sedangkan definisinya menurut syariat seperti ditulis oleh Badr bin Nashir al Badr dalam Irhabul Musta’minin wa Mauqiful Islam minhu adalah seorang, kelompok dan atau organisasi global yang melakukan anarkisme, kekacauan dan permusuhan dengan tujuan mendzalimi orang lain; agama, nyawa, harta dan kehormatannya.

Definisi ini mencakup kepada semua kelompok yang menebar ketakutan kepada orang lain, menyakiti, mengintimidasi dan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan. Demikian juga, masuk dalam definisi tersebut provokator, preman jalanan dan begal.

Intinya, Irhab atau terorisme adalah semua bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap seseorang atau kelompok dengan teror, ketakutan, menyakiti, penghilangan nyawa, perampasan kebebasan, menciptakan suasana tidak aman, dan segala tindakan yang membahayakan orang lain.

Semua tindakan tersebut merupakan contoh “berbuat kerusakan di bumi” yang dilarang oleh agama. Al Qur’an tegas mengatakan hal itu (al Qashash: 77).

Dengan demikian, terorisme adalah kejahatan besar dalam pandangan Islam. Segala bentuk kedzaliman dan perampasan hak; hak beragama, harta dan kehormatan adalah dosa besar. Semua perbuatan tersebut secara tegas diancam oleh Allah dengan balasan siksa, baik pelaku maupun mereka yang berperan dibaliknya. Janji tegas Allah disampaikan dalam al Qur’an (al Maidah: 33).

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.

Ayat ini sebagai penegasan terhadap siksaan bagi orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Tsaur ayat ini turun sebagai respon atas orang-orang yang keluar dari agama Islam (murtad), kemudian membuat keonaran dan berbuat kerusakan di bumi. Namun, menurut mereka, seperti juga pendapat mayoritas mufassir, ayat ini tidak hanya terkhusus untuk mereka yang murtad dan orang Yahudi saja, melainkan berlaku umum untuk semua orang yang melakukan kerusakan atau terorisme di muka bumi, baik muslim maupun non muslim.

Dengan demikian, terorisme dengan segala bentuknya seperti telah dijelaskan, bukan ajaran Islam. Sebaliknya, adalah larangan dan diancam dengan siksa yang pedih. Baik di dunia maupun di akhirat. Karenanya, kalau ada individu atau kelompok yang melakukan kejahatan terorisme atas nama agama Islam tidak lain hanyalah kedok belaka. Tindak kejahatan yang berlindung dibalik agama Islam dan memanipulasi penafsiran ayat al Qur’an.

ISLAM KAFFAH

Riba dalam Pandangan Al-Quran

Melakukan kegiatan ekonomi merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh rezeki, dan dengan rezeki itu dia dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi orang  Islam, al-Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang absolut. Sunnah Rasulullah saw berfungsi menjelaskan kandungan al-Qur’an.

Terdapat banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang merangsang manusia untuk rajin bekerja dan mencela orang menjadi pemalas. Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan oleh al-Qur’an. Apabila kegiatan itu memiliki watak yang merugikan banayak orang dan menguntungkan sebagian kecil orang, seperti monopoli, calo, perjudian dan riba, pasti akan ditolak.

Dalam syariat Islam, riba diartikan dengan bertambahnya harta pokok tanpa adanya transaksi jual beli sehingga menjadikan hartanya itu bertambah dan berkembang dengan sistem riba. Maka setiap pinjaman yang diganti atau dibayar dengan nilai yang harganya lebih besar, atau dengan barang yang dipinjamkannya itu menjadikan keuntungan seseorang bertambah dan terus mengalir, maka perbuatan ini adalah riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala dan RasulNya Shalallaahu alaihi wasalam, dan telah menjadi ijma’ kaum muslimin atas keharamannya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَآ أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُهُۥ ۗ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

Artinya : “Allah menghilangkan berkah riba dan menyuburkan shadaqah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah: 270).

Barang-barang haram yang tiada terhitung banyaknya sampai menyusahkan dan memberatkan mereka ketika harus cepat-cepat berjalan pada hari Pembalasan. Setiap kali akan bangkit berdiri, mereka jatuh kembali, padahal mereka ingin berjalan bergegas-gegas bersama kumpulan manusia lainnya namun tiada sanggup melakukannya akibat maksiat dan perbuatan dosa yang mereka pikul. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Artinya : “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).

Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu berkata:

“Orang yang memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila lagi tercekik”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/40).

Imam Qatadah juga berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta riba akan dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan gila sebagai tanda bagi mereka agar diketahui para penghuni padang mahsyar lainnya kalau orang itu adalah orang yang makan harta riba.” (Lihat Al-Kaba’ir, Imam Adz-Dzahabi, hal. 53).

Dalam Shahih Al-Bukhari dikisahkan, bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bermimpi didatangi dua orang laki-laki yang membawanya pergi sampai menjumpai sebuah sungai penuh darah yang di dalamnya ada seorang laki-laki dan di pinggir sungai tersebut ada seseorang yang di tangannya banyak bebatuan sambil menghadap kepada orang yang berada di dalam sungai tadi. Apabila orang yang berada di dalam sungai hendak keluar, maka mulutnya diisi batu oleh orang tersebut sehingga menjadikan dia kembali ke tempatnya semula di dalam sungai. Akhirnya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bertanya kepada dua orang yang membawanya pergi, maka dikatakan kepada beliau: “Orang yang engkau saksikan di dalam sungai tadi adalah orang yang memakan harta riba.” (Fathul Bari, 3/321-322).

Inilah siksa yang Allah berikan kepada orang-orang yang suka makan riba, bahkan dalam riwayat yang shahih, sahabat Jabir Radhiallaahu anhu mengatakan, “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya dan kedua orang yang memberikan persaksian, dan beliau bersabda: “Mereka itu sama”. (HR. Muslim, no. 1598).

Semaraknya praktek riba selama ini tidak lepas dari propaganda musuh-musuh Islam yang menjadikan umat Islam lebih senang untuk menyimpan uangnya di bank-bank, lebih-lebih dengan semaraknya kasus-kasus pencurian dan perampokan serta berbagai adegan kekerasan yang semakin merajalela. Bahkan sistem simpan pinjam dengan bunga pun sudah dianggap biasa dan menjadi satu hal yang mustahil bila harus dilepaskan dari perbankan. Umat tidak lagi memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram.

 Riba dianggap sama dengan jual beli yang diperbolehkan menurut syari’at Islam. Kini kita saksikan, gara-gara bunga berapa banyak orang yang semula hidup bahagia pada akhirnya menderita tercekik dengan bunga yang ada. Musibah dan bencana telah meresahkan masyarakat, karena Allah yang menurunkan hukumNya atas manusia telah mengizinkan malapetaka atas suatu kaum jika kemaksiatan dan kedurhakaan telah merejalela di dalamnya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Ya’la dan isnadnya jayyid, bahwasannya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:

مَا ظَهَرَ فِيْ قَوْمٍ الزِّنَى وَالرِّبَا إِلاَّ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عِقَابَ اللهِ.

Artinya : “Tidaklah perbuatan zina dan riba itu nampak pada suatu kaum, kecuali telah mereka halalkan sendiri siksa Allah atas diri mereka.” (Lihat Majma’Az-Zawaid, Imam Al-Haitsami, 4/131).

Sebenarnya praktek riba pada awal mulanya adalah perilaku dan tabi’at orang-orang Yahudi dalam mencari nafkah dan mata pencaharian hidup mereka. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha untuk menularkan penyakit ini ke dalam tubuh umat Islam melalui bank-bank yang telah banyak tersebar. Mereka jadikan Umat ini khawatir untuk menyimpan uang di rumahnya sendiri seiring disajikannya adegan-adegan kekerasan yang menakutkan masyarakat lewat jalur televisi dan media-media massa lainnya, sehingga umatpun bergegas mendepositokan uangnya di bank-bank milik mereka yang mengakibatkan keuntungan yang besar lagi berlipat ganda bagi mereka, menghimpun dana mendepositokan uang kita di bank-bank mereka.

Dalam firman-Nya Allah Subhannahu wa Ta’ala menegaskan:

وَأَخْذِهِمُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَقَدْ نُهُوا۟ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلْبَٰطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَٰفِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Artinya : “Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih”. (QS. An-Nisa’: 161).

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan riba merupakan perbuatan yang diharamkan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shalallaahu alaihi wasalam, dan telah menjadi ijma’ kaum muslimin atas keharamannya. Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita kepada jalan-Nya yang lurus.

ISLAM KAFFAH

Praktek Riba dalam Transaksi Online

Pembaca yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Ta’ala, kita semua telah mengetahui bahwa riba adalah salah satu dosa besar. Allah Ta’ala berfirman,

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).

Allah Ta’ala berfirman,

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ

“Allah akan menghancurkan riba dan menumbuhkan keberkahan pada sedekah” (QS. Al-Baqarah: 276).

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ  آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan harta riba, orang yang memberi riba, juru tulisnya, dan saksi-saksinya. Beliau berkata, ‘Mereka semua sama’” (HR. Muslim no. 2995).

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

اجتنبوا السبعَ الموبقاتِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ ، وما هن ؟ قال : الشركُ باللهِ ، والسحرُ ، وقتلُ النفسِ التي حرّم اللهُ إلا بالحقِّ ، وأكلُ الربا ، وأكلُ مالِ اليتيمِ ، والتولي يومَ الزحفِ ، وقذفُ المحصناتِ المؤمناتِ الغافلاتِ

“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa saja itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, kabur ketika peperangan, menuduh wanita baik-baik berzina’” (HR. Bukhari no. 2766, Muslim no. 89).

Begitu pun dalil-dalil yang lainnya yang sangat jelas menunjukkan keharaman riba dan besarnya dosa riba. Maka sudah semestinya kita menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari riba dan tidak terlibat sama sekali dalam transaksi riba.

Definisi riba

Syekh Shalih Al Fauzan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (hal. 272) menjelaskan, “Riba secara bahasa artinya: tambahan. Secara istilah syar’i, riba adalah adanya tambahan dalam pertukaran dua barang tertentu (yaitu komoditas ribawi).”

Sebagaimana hadis dari Ubadah bin Shamit Radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

الذَّهبُ بالذَّهبِ . والفضَّةُ بالفِضَّةِ . والبُرُّ بالبُرِّ . والشعِيرُ بالشعِيرِ . والتمْرُ بالتمْرِ . والمِلحُ بالمِلحِ . مِثْلًا بِمِثْلٍ . سوَاءً بِسَواءٍ . يدًا بِيَدٍ . فإذَا اخْتَلَفَت هذهِ الأصْنَافُ ، فبيعوا كيفَ شئْتُمْ ، إذَا كانَ يدًا بِيَدٍ

Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka kalian, selama dilakukan dari tangan ke tangan (kontan)” (HR. Al Bukhari, Muslim no. 1587, dan ini adalah lafaz Muslim).

Dalam riwayat lain,

الذَّهَبُ بالذَّهَبِ، والْفِضَّةُ بالفِضَّةِ، والْبُرُّ بالبُرِّ، والشَّعِيرُ بالشَّعِيرِ، والتَّمْرُ بالتَّمْرِ، والْمِلْحُ بالمِلْحِ، مِثْلًا بمِثْلٍ، يَدًا بيَدٍ، فمَن زادَ، أوِ اسْتَزادَ، فقَدْ أرْبَى

Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba” (HR. Muslim, no. 1584).

Tidak semua barang dapat terkena hukum riba. Hanya barang-barang tertentu saja yang disebut sebagai al amwal ar ribawiyah (komoditas ribawi); yakni enam komoditas yang disebutkan dalam hadis di atas. Barang tersebut diantaranya emas, perak, burr (gandum kering), sya’ir (gandum basah), garam dan kurma, serta semua barang yang di-qiyas-kan kepada enam komoditas ini.

Dengan menggunakan qiyas, para ulama mengelompokkan komoditas ribawi terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Semua yang termasuk ats-tsamaniyah (alat tukar), di-qiyas-kan kepada emas dan perak. Sehingga uang dengan secara bentukmya (kertas, logam, fiat, digital, dst.) termasuk dalam komoditas ribawi.

2. Semua yang termasuk ath thu’mu ma’al kayli (makanan yang ditakar ukurannya), di-qiyas-kan kepada burr, sya’ir, garam dan kurma. Sehingga beras yang diukur dengan ukuran liter, ini termasuk komoditas ribawi.

3. Semua yang termasuk ath thu’mu ma’al wazni (makanan yang ditimbang beratnya), yang juga di-qiyas-kan kepada burr, sya’ir, garam dan kurma. Sehingga tepung, jagung, gula ini termasuk komoditas ribawi.

Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Kaidah riba dalam hutang-piutang

Kaidah umum mengenal riba dalam hutang-piutang adalah,

كل قرض جَرَّ نفعاً فهو ربا

“setiap hutang-piutang yang mendatangkan manfaat atau tambahan (bagi orang yang menghutangi) maka itu adalah riba.”

Kaidah ini bukanlah sebuah hadis yang sahih dari Nabi. Namun para ulama sepakat bahwa maknanya benar dan diamalkan para ulama. Syekh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, “Hadis ini lemah menurut para ulama, tidak sahih. Namun maknanya benar menurut mereka. Bahwasanya hutang yang mendatangkan manfaat, maka itu terlarang berdasarkan kesepakatan para ulama” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no. 463).

Misalnya jika Fulan berhutang seratus juta rupiah kepada Alan dengan syarat pengembaliannya sebesar 120 juta. Maka 20 juta yang didapat Alan ini adalah manfaat atau tambahan yang datang dari transaksi hutang-piutang. Sehingga transaksi ini disebut riba sebagaimana kaidah di atas.

Sebagaimana juga disebutkan dalam hadis yang telah disebutkan di atas, “Emas dengan emas, perak dengan perak … siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba.” Sedangkan uang di-qiyas-kan kepada emas dan perak, sehingga pertukaran uang dengan uang dalam hutang-piutang tidak boleh ada tambahan. Jika ada tambahan maka termasuk riba.

Hadiah pun termasuk riba

Hadiah yang diberikan penghutang kepada pemberi hutang sebelum pelunasan, juga termasuk riba. Karena ini termasuk tambahan dalam hutang piutang. Sebagaimana hadis,

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قال : أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا

“Dari Abu Burdah, ia berkata: Suatu hari saya datang di  kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam Radhiallahu’anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, “Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba. Jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu, lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak, jangan Anda mengambilnya, karena itu riba” (HR. Al-Bukhari no. 3814).

Asy-Syaukani Rahimahullah menjelaskan rincian hukum terkait hadiah dari penghutang,

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِغَرَضٍ أَصْلًا فَالظَّاهِرُ الْمَنْعُ لِإِطْلَاقِ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَّا الزِّيَادَةُ عَلَى مِقْدَارِ الدَّيْنِ عِنْدَ الْقَضَاءِ بِغَيْرِ شَرْطٍ وَلَا إضْمَارٍ فَالظَّاهِرُ الْجَوَازُ مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الزِّيَادَةِ فِي الصِّفَةِ وَالْمِقْدَارِ وَالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي رَافِعٍ وَالْعِرْبَاضِ وَجَابِرٍ، بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ

“Jika hadiah tersebut diberikan tidak untuk suatu tujuan yang diketahui, maka pendapat yang tepat adalah hal ini terlarang karena larangan dalam masalah ini sifatnya mutlak. Adapun tambahan yang diberikan ketika pelunasan yang tidak disyaratkan sebelumnya dan tanpa ada kesepakatan sebelumnya maka yang tepat ini dibolehkan, baik berupa tambahan dalam sifatnya atau kadarnya, baik tambahannya sedikit atau banyak. Berdasarkan hadis Abu Hurairah, Abu Rafi’, Al Irbadh dan Jabir (tentang melebihkan pelunasan hutang). Bahkan ini mustahab (dianjurkan)” (Nailul Authar, 5/275).

Beberapa bentuk riba dalam transaksi online

1. Kartu kredit

Sebagaimana kita ketahui kartu kredit adalah kartu yang digunakan untuk melakukan pembayaran dengan pinjaman hutang dari penerbit kartu, kemudian dilunasi di kemudian hari. Biasanya penerbit kartu adalah bank, dan biasanya ada bunga yang dikenakan atas pinjaman yang telah dilakukan oleh pemegang kartu. Maka jelas di sini ada tambahan dalam transaksi hutang-piutang, sehingga termasuk riba.

Demikian juga kartu kredit yang mempromosikan bunga 0% namun pemegang kartu akan dikenai denda jika melunasi hutang lewat dari batas waktu tertentu. Dimana denda ini pada hakikatnya juga termasuk tambahan dalam transaksi hutang-piutang, sehingga termasuk riba.

Para ulama dalam Majma’ Fiqhil Islami dalam muktamar ke-12 di Riyadh, pada tanggal 25 Jumadal Akhirah 1421H merilis ketetapan tentang hukum kartu kredit. Ketetapan tersebut tercantum pada ketetapan nomor 108, yang mana di dalamnya menjelaskan, “Pertama, tidak boleh menerbitkan kartu kredit dan tidak boleh menggunakannya, jika dipersyaratkan adanya tambahan riba. Walaupun pemegang kartu kredit berkomitmen untuk melunasi hutang pada jangka waktu tertentu yang bunganya 0%. Kedua, dibolehkan menerbitkan kartu kredit jika tidak mengandung ketentuan adanya tambahan ribawi terhadap pokok hutang.”

2. Pinjaman online (pinjol)

Di masa-masa belakangan ini semakin merebak adanya layanan pinjaman online (pinjol) di negeri kita. Menawarkan pinjaman dengan proses yang cepat hanya bermodalkan handphone dan foto KTP. Uang ratusan dan jutaan rupiah pun sudah di tangan. Namun jelas di sana ada bunganya. Bahkan bunga besar dan mencekik. Andaikan bunga pinjaman ini kecil, tetap termasuk riba yang diharamkan dalam agama. Apalagi jika bunganya besar.

Ulama sepakat tidak ada khilafiyah di antara mereka bahwa bunga dalam hutang-piutang adalah riba. Ibnu Munzir Rahimahullah mengatakan,

أَجْمَعَ كُلُّ مِنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى إبْطَالِ الْقِرَاضِ إذَا شَرَطَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا لِنَفْسِهِ دَرَاهِمَ مَعْلُومَةً

“Para ulama yang pendapatnya dianggap telah bersepakat tentang batilnya akad hutang, jika dipersyaratkan salah satu atau kedua pelakunya menambahkan sejumlah dirham tertentu” (Al Mughni, 5/28).

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabia menegaskan, “Bunga yang diambil bank dari para penghutang, dan bunga yang diberikan kepada para nasabah wadi’ah (tabungan) di bank, maka semua bunga ini termasuk riba yang telah valid keharamannya berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta, juz 13, no. 3197, hal. 349).

3. Diskon karena simpan saldo

Dr. Erwandi Tarmizi Hafizhahullah dalam buku Harta Haram Muamalat Kontemporer (hal. 279 – 281) menjelaskan bahwa saldo digital seperti OVO, DANA, Gopay, Shopeepay, dan semisalnya, hakikatnya adalah transaksi hutang-piutang. Artinya, ketika nasabah melakukan deposit saldo, hakikatnya nasabah sedang memberikan hutang kepada provider layanan. Bukan akad wadi’ah (penitipan). Karena dalam akad wadi’ah, orang yang dititipkan tidak boleh menggunakan barang titipan tanpa izin dari pemiliknya. Sedangkan sudah menjadi rahasia umum, bahwa perusahaan pembayaran digital menggunakan saldo yang terkumpul untuk investasi dan semisalnya.

Ketika yang terjadi adalah transaksi hutang-piutang, maka tidak boleh ada manfaat tambahan yang diberikan kepada nasabah, seperti cashback, diskon, hadiah dan semisalnya. Karena adanya manfaat tambahan tersebut, membuat ia menjadi transaksi riba. Sebagaimana riwayat dari Abu Burdah, ia berkata, “suatu hari saya datang di  kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam rRadhiallahu’anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba, jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak. Jangan Anda mengambilnya karena itu riba’” (HR. Al-Bukhari no. 3814).

Para ulama dalam Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, “Akad top-up Gopay adalah akad hutang seperti deposit uang di bank. Maka diskon harga bagi konsumen adalah manfaat yang didapatkan dari menghutangi dan ini adalah riba. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar dan kaidah baku dalam muamalah, “Semua hutang yang menghasilkan manfaat maka itu adalah riba.” Artinya, diskon Gopay adalah riba” (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 3).

Namun boleh saja menggunakan saldo digital selama tidak ada manfaat tambahan seperti cashback, diskon, hadiah , dan semisalnya. Karena pada prinsipnya, boleh saja melakukan transaksi hutang-piutang selama tidak ada tambahan riba. Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, “Hukum memakai Gopay pada asalnya adalah halal, asalkan tidak memakai atau mendapatkan potongan harga maupun manfaat tambahan lainnya, karena hal itulah yang menjadikannya riba” (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 4).

4. Jual-beli emas secara online

Jika pembaca sekalian telah memahami hadis yang telah disebutkan di atas, disebutkan di sana “Emas dengan emas, perak dengan perak … kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (serah terima langsung)” (HR. Muslim, no. 1584). Maka jual-beli emas disyaratkan harus serah terima barang secara langsung, tidak boleh ada penundaan. Jika terjadi penundaan maka terjadi riba nasi’ah. Para ulama dalam Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ketika ditanya tentang jual-beli emas melalui telepon, mereka menjawab,

هذا العقد لا يجوز أيضا؛ لتأخر قبض العوضين عنه، الثمن والمثمن، وهما معا من الذهب أو أحدهما من الذهب والآخر من الفضة، أو ما يقوم مقامهما من الورق النقدي، وذلك يسمى بربا النسأ، وهو محرم، وإنما يستأنف البيع عند حضور الثمن بما يتفقان عليه من الثمن وقت العقد يدا بيد‏.‏

“Akad yang seperti ini tidak diperbolehkan juga. Karena adanya penundaan qabdh (serah-terima), antara dua barang yang ditukarkan, antara tsaman dengan tsaman. Sedangkan barang yang dipertukarkan adalah sama-sama emas atau salah satunya emas dan yang lainnya perak, atau juga barang-barang yang menempati posisi keduanya seperti uang kertas dan logam. Ini dinamakan riba nasi’ah, dan ini haram hukumnya. Solusinya, akad jual-belinya diulang kembali ketika menyerahkan pembayaran nominal harga yang telah disepakati dan barang diserah-terimakan secara langsung di majelis akad ketika itu” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 13/475).

Wallahu ta’ala a’lam, demikian beberapa contoh praktek riba dalam transaksi online. Hendaknya jauhkan diri kita dari model-model transaksi demikian. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/71668-praktek-riba-dalam-transaksi-online.html

Lima Raihan Terbaik

Nabi Muhammad SAW mengajarkan sebuah doa yang berisi lima raihan terbaik bagi seorang Muslim.

Sejatinya, mencapai kesuksesan hidup tidak terlepas dari dua kekuatan, yakni doa dan ikhtiar. Doa menunjukkan tekad untuk meraih sesuatu yang diinginkan.

Sedangkan, ikhtiar menandakan kesungguhan dalam menggapai tujuan. Keduanya saling menguatkan. Doa tanpa usaha itu bohong dan usaha tanpa doa itu sombong.

Terkadang, doa dan ikhtiar menjadi kenyataan. Namun, ada kalanya belum sesuai dengan harapan. Memang, ada rahasia di antara doa dan ikhtiar, yakni takdir (ketentuan Allah SWT.).

Segala sesuatu terjadi sesuai dengan takdir Ilahi. Jika keduanya sesuai dengan takdir, itulah keberuntungan. Namun, jika meleset dari takdir-Nya, kita mesti berlapang dada.

Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari mengatakan, “Tertundanya pemberian setelah engkau mengulang-ulang permintaan, janganlah membuatmu berpatah harapan. Sebab, Allah menjamin pengabulan doa sesuai dengan apa yang Dia pilih buatmu, bukan menurut apa yang engkau pilih sendiri. Dan, pada saat yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau kehendaki.” (Al-Hikam, No 6).

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengajarkan sebuah doa yang berisi lima raihan terbaik bagi seorang Muslim (HR Muslim).  Pertama, agama yang baik. “Allahumma ashlih lii diinii alladzi huwa ‘ishmatu amri” (Ya Allah, perbaikilah agamaku yang menjadi pelindung segala urusanku).

Raihan terbaik adalah agama yang baik, yakni kita sanggup menjalankan apa yang diperintah dan menjauhi larangannya. Dengan bimbingan agama (dinul Islam), kita akan sadar berasal dari mana, sedang di mana, dan hendak ke mana. (QS al-Baqarah[2]: 156). 

Kedua, dunia yang baik. “Wa ashlih lii dunyaa-ya allatii fiiha ma’aasyii” (perbaikilah duniaku tempatku menjalani hidup). Raihan terbaik yang didambakan setiap Muslim adalah kehidupan dunia yang baik, yakni perhiasan, harta benda, kekuasaan, kehormatan, istri, atau suami, dan anak yang saleh. (QS Ali Imran[3]: 14).

Ketiga, akhirat yang baik. “Wa ashlihlii aakhiratii allatii fihaa ma’aadii” (perbaikilah akhiratku sebagai tempatku kembali). Raihan terbaik bukan hanya dunia, melainkan yang lebih utama adalah akhirat. Karena itu, kita selalu berdoa agar diberi kebaikan dunia dan akhirat serta dijauhkan dari neraka. (QS al-Baqarah [2]: 201).

Keempat, kehidupan yang baik. “Waj’al hayaata ziyadatan lii fi kulli khair” (jadikanlah kehidupan ini tempat menambah kebaikan). Hidup di dunia ini bukan hanya hidup seperti binatang, melainkan untuk melakukan yang terbaik. (QS al-Mulk [67]: 2]. Setiap kesempatan selalu menjadi ladang amal kebajikan, sebab sekecil apa pun akan dapat ganjaran yang berlimpah. (QS al-Zalzalah [98]: 7-8).

Kelima, kematian yang baik. “Waj’al mauta raahatan lii min kulli syarrin” (jadikanlah kematian sebagai istirahat bagiku dari setiap keburukan). Hidup dunia ini tidak abadi dan akan berakhir pada waktunya (ajal).  Raihan terbaik seorang Muslim adalah mati dalam iman dan husnul khatimah. (QS al-Baqarah [2]: 132).

Akhirnya, kita mesti mujahadah dan istiqamah agar dapat mencapai lima raihan terbaik tersebut.

Allahu a’lam bish-shawab.

OLEH HASAN BASRI TANJUNG 

KHAZANAHREPUBLIKA

https://www.republika.id/posts/23744/lima-raihan-terbaik

Alasan Mengapa Kita Diminta Ajari Anak Sholat Usia 7 Tahun

Rasulullah SAW menganjurkan kita mengajari anak sholat usia 7 tahun.

Rasulullah SAW telah menyampaikan bahwa usai mengajarkan anak belajar agama (sholat) ketika sudah tujuh tahun. Jika belum genap tujuh tahun anak tidak boleh dituntut untuk bisa belajaran agama kecuali hanya memperkenalkannya.

“Karena pada usia inilah anak sudah mampu menerima perintah atau sudah paham menerima perintah yang disebut dengan istilah mumayyiz. Karena di usia ini kritis dan cerdas,” kata Dr H Abdul Majid Khon dalam bukunya “Hadis Tarbawi. Hadis-Hadis Pendidikan”.

Demikian juga pada usia ini, kata Abdul, anak didik diperkirakan sudah mampu belajar sholat dengan baik, sudah mulai mengenal bacaan dan gerakan gerakan sholatdengan baik. Kalau pada usia sebelumnya anak hanya ikut-ikutan, pada usia ini sudah mulai mampu belajar sholat dengan baik.   

“Usia secara kebetulan sama dengan usia anak sekolah dipedomani dalam penerimaan masuk sekolah formal di sekolah tingkat dasar titik konsekuensinya anak yang telah mampu belajar sholat dengan baik berarti pula ia telah menerima hukuman jika meninggalkannya.

Tugas belajar mengajar adalah tugas suci dan tugas kewajiban bagi semua orang. Orang yang belum tahu ilmu tugasnya wajib mencari atau belajar dari orang berilmu dan tugas orang berilmu adalah mengajarkan ilmunya kepada orang yang belum tahu.  

Singkatnya, kata Abdul orang yang belum tahu wajib belajar dan orang yang sudah tahu wajib mengajar. Guru dan murid harus ada kerjasama yang baik dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dengan metode pendekatan dan model yang relavan.  

عن عمرو بن شعيب، عن أبيه، عن جده -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: مُرُوا أولادَكم بالصلاةِ وهم أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، واضْرِبُوهُمْ عليها، وهم أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ 

Dari Amr Bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Perintahkan anak-anakmu melaksanakan sholat sedang mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka karena tinggal sholat sedang mereka berusia 10 tahun dan pisahkan antara mereka di tempat tidurnya.”

Hadits ini, kata Abdul, menjelaskan bagaimana mendidik agama pada anak-anak, pendidikan agama diberikan kepada anak sejak kecil, sehingga nanti usia dewasa perintah-perintah agama dapat dilakukan secara mudah dan ringan. 

Di antara perintah agama yang disebutkan dalam hadis ada tiga perintah yaitu perintah melaksanakan sholat, perintah memberikan hukuman pemerintah memberikan hukuman bagi pelanggarnya dan perintah mendidik pendidikan seks. 

Menurut Abdul, perintah di sini maknanya dilakukan secara tegas, sebab pada umumnya perintah sholat sebenarnya sudah dilakukan orang tua sejak sebelum usia tersebut. 

Anak-anak sejak usia empat tahun atau lima tahun sudah diajak orang tuanya melaksanakan sholatbersama-sama. 

Anak-anak melakukannya walaupun dengan cara ikut-ikutan atau menirukan gerakan-gerakan sholat. 

Anak pada usia ini, kata Abdul, sekadar ikut-ikutan, belum melakukannya secara baik, baik gerakan-gerakannya maupun bacaannya. Anak-anak kadang mau melakukannya dan kadang-kadang tidak mau melakukannya.  

“Nah setelah usia anak mencapai tujuh tahun perintah orang tua hendaknya secara tegas tidak seperti pada saat usia dibawah tujuh tahun,” katanya. 

Perintah sholat, kata Abdul, berarti pula perintah mengajarkan cara sholat, karena tidak mungkin anak hanya diperintahkan sholat sementara dia belum bisa melakukannya. Dalam riwayat Al-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda:

عَلِّمُوا الصَّبِيَّ الصَّلَاةَ لِسَبْع سِنِينَ “Ajarkan anak-anak sholat sedangkan dia berumur tujuh tahun.” Hadits ini perintah mengajarkan sholat pada anak-anak tentang syarat-syarat, rukun-rukun dan beberapa sunnah dalam shalat. Al-Alaqiy dalam syarah al-Jami’ al-Shaghir mengatakan.  

“Orang tua hendaknya mengajarkan apa yang dibutuhkan dalam sholat seperti syarat dan rukunnya. Orangtua hendaknya perintah melaksanakan sholatsetelah diajarkannya. Upah pengajaran diambil dari harta anak jika punya harta dan jika tidak punya upahnya dibebankan pada awalnya.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Jenis-Jenis Iri Hati, Apa Saja?

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah hasad (iri), karena dapat memakan kabaikan seperti api memakan kayu bakar.” (HR Muslim)

Masih dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW juga mengingatkan kepada umatnya untuk tidak saling menghina, saling menzalimi, saling membohongi, dan saling merendahkan. Nabi SAW menyampaikan bahwa setiap Muslim itu bersaudara. Dan terhadap Muslim lainnya itu haram dan terjaga darah, harta dan kehormatannya

Rasulullah bersabda, “Takwa itu letaknya di sini (sambil menunjuk ke dada beliau sebanyak tiga kali). Dan cukuplah seseorang dalam kejelekan selama dia merendahkan saudaranya sesama Muslim.”

Iri hati adalah sifat manusia yang membenci ketika orang lain mendapatkan sesuatu yang melebihi darinya.

Sifat iri hati sendiri terbagi ke beberapa jenis.

Pertama, iri hati yang berusaha menghilangkan kenikmatan yang diperoleh orang lain dengan perbuatan buruk, baik melalui perkataan maupun perbuatan.

Kedua, iri hati yang berusaha mendapatkan kenikmatan orang lain tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri.

Ketiga, yaitu iri hati yang berupaya hanya untuk mencabut kenikmatan yang diterima orang lain tanpa ada keinginan untuk mendapatkannya. Justru yang ketiga inilah iri hati yang paling buruk dan berbahaya.

Allah SWT juga telah menggambarkan orang-orang Yahudi dengan sifat iri mereka. “Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah ayat 109)

Selain itu, Allah SWT juga berfirman, “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) yang besar.” (QS An-Nisa ayat 54)

IHRAM