Pengamat Haji: Sertifikasi Pembimbing Haji Perlu Sosialisasi

Pengamat Haji dan Umrah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, menyebut upaya Kementerian Agama mendorong sertifikasi pembimbing haji oleh BNSP merupakan hal yang bagus. Namun, program tersebut perlu sosialisasi yang baik.

“Secara umum respon saya positif dan menyambut baik usulan ini. Sepengetahuan saya, rencana ini sudah diusulkan sejak sebelumnya, dimana ada keinginan dari pemerintah memformilkan profesi pembimbing haji dan meningkatkan kapasitas maupun layanan kepada jamaah,” kata dia saat dihubungi Republika, Kamis (21/10).

Sebelumnya, pelaksanaan sertifikasi pembimbing haji dilakukan bekerja sama dengan UIN. Meski sudah berlaku, namun sifatnya belum absolut atau mengikat dan wajib. Kali ini, ia menyebut pemerintah rasanya ingin lebih formil dengan menggandeng lembaga pemberi sertifikasi yang bonafit. Untuk sebuah kebijakan yang penting seperti ini, ia mempertanyakan kesiapan dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) maupum pembimbing haji.

Selanjutnya, ia mempertanyakan seberapa siap dan bersedia pemerintah maupun lembaga sertifikasi dalam melakukan proses sertifikasi ini. Dalam kondisi normal, dimana Indonesia mengirimkan 220ribu jamaah haji ke Saudi, maka diperlukan 5ribu pembimbing haji setiap tahunnya.

“Hal-hal seperti ini harus benar-benar dipikirkan. Kebijakan baru yang bagus ini harus disiapkan sematang mungkin. Sejauh ini saya belum melihat turunan dari gagasan ini,” lanjutnya.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama (Kemenag) memiliki kepedulian yang sangat tinggi kepada jamaah. Namun, sudah siapkah lembaga menyiapkan sertifikasi ini dalam kurun waktu yang tidak sebentar, jika mengejar haji tahun depan berjalan kembali normal.

Dadi Darmadi lantas memberikan saran agar Dirjen PHU melakukan sosialisasi dan menyampaikan pentingnya sertifikasi ini. Jangan sampai, di kalangan masyarakat maupun KBIH, muncul ketakutan atau keresahan baru yang menganggap sertifikasi ini sebagai kebijakan yang rumit.

“Kebijakan yang bagus ini perlu didukung, namun juga perlu disosialisasikan dengan baik, agar tidak memunculkan kebingungan dan keresahan yang tidak perlu,” kata dia.

Selain itu, ia menyoroti keberadaan pembimbing haji, dimana sejak dulu biasanya ditunjuk berdasarkan kepercayaan. Mereka ditunjuk bukan oleh lembaga penjamin mutu, atau dalam konteks modern saat ini.

Hal ini disebut serupa dengan Ustaz atau Kiai di dalam negeri. Para tokoh agama ini diberi label oleh masyarakat, yang dipengaruhi oleh kredibilitas atau kepercayaan dari masyarakat.

Pembimbing haji dimana berhubungan dengan ibadah, lebih banyak berdasarkan kenyamanan jamaah. Jangan sampai, program sertifikasi yang bagus ini menghilangkan unsur kenyamanan yang ada.

IHRAM

Cinta dan Benci yang Berlebihan

CINTA dan benci adalah sesuatu yang alami. Namun jika berlebih-lebihan maka kurang baik.

Di antara cinta yang berbahaya adalah sikap fanatisme pada kelompok, Ormas, partai dan sejenis. Hal ini akan menimbulkan sikap ghuluw.

Jika berlebihan dengan kelompoknya, maka akan muncul klaim kelompok di luarnya tidak baik atau salah. Bahwa ustad di luar kelompoknya, pasti salah, sesat dan menyesatkan, dan ini merupakan sikap tercela.

Klaim bahwa kalau urusan umat tidak dipegang kelompoknya bisa salah semua adalah klaim yang berlandaskan pada sikap fanatik. Dan ini tidak baik.

Kita hidup dalam keaneragaman agama, ajaran, budaya, dan madzhab. Dibutuhkan sikap toleran bukan intoleran. Dibutuhkan sikap kedewasaan bukan kekanak-kanakan. Dibutuhkan sikap lapang dada bukan sempit pikiran dan wawasan.

Rasulullah ﷺ bersabda :

أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا

“Cintailah orang yang engkau cintai seperlunya, karena bisa saja suatu hari dia akan menjadi musuhmu, dan bencilah orang yang kamu benci seperlunya, karena bisa jadi suatu hari kelak dia akan menjadi orang yang engkau cintai.” (HR: Turmudzi)

Hadits ini berisi nasihat yang memberi petunjuk kepada kita agar bersikap moderat dan menghilangkan sikap berlebihan dalam mencintai dan membenci seseorang atau sesuatu.

Bisa jadi, kita di pagi ini menyukai seseorang dengan rasa suka yang melebihi batas, sampai-sampai ia melihat hanya orang yang ia cintailah orang yang terbaik. Namun siapa sangka di sore hari, hati berubah menjadi benci sebenci-bencinya.

Di sore hari, kita sangat membenci seseorang, bisa jadi keesokan hari kita berubah menjadi cinta kepadanya. Tentu keadaan ini akan membuat kita malu sebab kita sudah terlanjur sebelumnya mengatakan hal-hal yang tidak baik kepadanya.

Solusi dari semua itu adalah bersikap adil dan obyektif. Kalau benar katakan benar meski bukan dari kelompoknya. Kalau salah katakan salah meski dari kelompoknya sendiri. Dasari setiap rasa cinta dan benci karena Allah bukan berdasarkan dari mana dia, siapa dia, apa kelompoknya, apa partainya, apa madzhabnya.

Cinta yang karena Allah akan memompa semangat kita untuk saling mengasihi dalam urusan kebaikan dan kemaslahatan bersama, dengan tujuan meraih ridha Allah SWT. Cinta semacam inilah yang dijanjikan oleh Allah yang mendapat naungan di akhirat kelak, naungan keselamatan dan kebahagiaan.

Demikian pula dalam urusan benci. Ada dua macam benci:

Pertama, benci yang terpuji dan dianjurkan. Yaitu kebencian kita dari perbuatan maksiat dan kemunkaran. Benci kepada perbuatan orang-orang kafir dan ahli maksiat.

Kedua,  benci yang tercela. Yaitu sikap saling membenci sesama umat Islam tanpa sebab yang jelas selain dilatari oleh kedengkian di hati. Sikap ini akan mencerabut kekokohan persaudaraan menjadi terurai bercerai berai, merusak hubungan persaudaraan dan menggoncang kehidupan sosial yang sebelumnya berjalan harmonis.  Wallahu a’lam.*/Ali Akbar bin Aqil

HIDAYATULLAH

Larangan Mengultuskan Nabi Muhammad

Memuji Nabi Muhammad ada adabnya.

Sangat banyak kemuliaan yang akan dapatkan umat Islam yang memuji Nabi Muhammad Saw dengan shalawat. Karena, dalam setiap pujian yang dihaturkan terdapat senang dan bahagianya Nabi.

Dalam setiap kebahagiaan Nabi tentunya tersimpan keridhaan beliau. Hal inilah yang otomatis membuat Allah Swt juga ridha kepada hamba yang selalu memuliakan dan memuji Rasul-Nya. 

Namun, Nabi Muhammad Saw pernah mengatakan dengan tegas dalam sebuah hadits bahwa umat Islam tidak boleh mengkultuskan seorang nabi seperti halnya kaum non Muslim.

Dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari No: 3189 dari sahabat Umar RA. Rasulullah bersabda:

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ

“Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku sebagaimana orang Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka itu katakanlah (bahwa Aku hanyalah) ‘abduhu wa rasuuluhu (hamba Allah dan utusan-Nya.”

Karena itu, ketika umat Islam memuji Rasulullah Saw hendaknya dilakukan dengan adab yang dibenarkan syariat, sehingga niat baik memuji banginda Nabi tak berubah menjadi hal yang malah membuatnya terjerumus dalam kesalahan dan berujung dosa.

Dikutip dari Tanwirulafkar, hal itu telah diwanti-wanti oleh pengarang Qashidah al-Burdah Imam Syarif al-Din Muhammad bin Sa’id al-Bushiri dalam baitnya,

دَعْ مَا ادَّعَتْهٌ النَصَارَى فِي نَبِيِّهِمِ

وَاحْكُمْ بِمَا شِئْتَ مَدْحًا فِيْهِ وَاحْتَكِمِ

وَانْسُبْ إِلَى ذَاتِهِ مَا شِئْتَ مِنْ شَرَفٍ

وَانْسُبْ إِلَى قَدْرِهِ مَا شِئْتَ مِنْ عِظَمِ

“Jauhilah (jangan kau ikuti)  pujian yang dilakukan orang Nasrani terhadap Nabi Mereka. Dan tetaplah menyanjung Nabi Muhammad Saw dengan pujian sesukamu, dan teruslah kau tetapkan keutamaan untuknya.”

“Nisbahkan semua bentuk kemuliaan pada zat Nabi Muhammmad saw. sesukamu. Dan nisbahkan pula semua penghormatan dan ketinggian sebuah derajat pada derajat Nabi Muhammmad saw. sesukamu.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Tafsir Surah Al Baqarah 228; Benarkah Derajat Suami Lebih Tinggi dari Istri?

Dalam rumah tangga suami istri pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang setara. Namun, ada sebagian golongan yang menempatkan suami diposisi yang lebih tinggi atau superior. Superioritas tersebut dikarenakan suami diberikan satu tingkat kelebihan atas istri atau bahasa Al-Qurannya adalah derajat oleh Allah swt sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an [ QS. Al Baqarah 228 ].

Allah swt berfirman;

{ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228)} [البقرة: 228]

Artinya, “Dan bagi para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya secara makruf dan bagi laki-laki memiliki satu tingkat kelebihan atas mereka istri. Dan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”  [ Al Baqarah 228 ]

Syeh Muhammad Aly Shabuni dalam kitab Rawai’ul Bayan [286] menerangkan kata darajat tersebut. Menurutnya, derajat secara bahasa adalah tangga yang dijadikan alat untuk menuju tempat tinggi. Beliau juga menegaskan bahwa yang dimaksud dengan derajat dalam ayat tersebut bukanlah derajat tasyrif melainkan derajat taklif.

Adapun yang dimaksud dengan derajat tasyrif sebagaimana penafsiran-penafsiran lainnya yaitu kemuliaan atau keistimewaan sang suami atas istrinya. Semisal penafsiran derajat menurut Imam Sayuthi dan Mahalli dalam tafsirnya Al-Jalalain yang menyebutkan bahwa derajat yang dimaksud adalah fadilah, kelebihan ataupun keistimewaan seorang suami atas istrinya.

Keistimewaan tersebut berupa ketaatan sang istri kepada suami karena suami telah memberikan mahar kepada sang istri. Intinya, derajat tasyrif lebih berkonotasi terhadap superior seorang suami terhadap istrinya atau laki-laki secara umum.

Sementara kalau derajat taklif adalah derajat yang diemban oleh sang suami yaitu berupa kepemimpinan yang berdasarkan musyawarah bukan kesewenangan, dan pengayom terhadap apa-apa yang terjadi dalam rumah tangga dan pertanggung jawaban untuk memberikan nafkah kepada unit-unit keluarga missal istri dan anak-anaknya. Inilah yang dimaksud dengan derajat taklif.

Derajat taklif inilah penafsiran yang lebih relevan untuk menafsirkan term derajat yang disandangkan kepada suami dalam ayat Al-Qur’an di atas. M Quraish Shihab mengatakan, “derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban sang istri”

Sebagaimana dikutip Quraish Shihab, Imam Athabari menegaskan dalam tafsirnya Jamiul Bayan [4/124];

وَإِنْ كَانَ ظَاهِرُهُ ظَاهِرَ الْخَبَرِ، فَمَعْنَاهُ مَعْنَى نَدَبَ الرِّجَالَ إِلَى الْأَخْذِ عَلَى النِّسَاءِ بِالْفَضْلِ لِيَكُونَ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ فَضْلُ دَرَجَةٍ

“walaupun ayat tersebut tersusun dalam redaksi berita, namun maksudnya adalah perintah yang ditekankan kepada para suami untuk memeperlakukan istrinya secara terpuji agar suami dapat memperoleh derajat itu”

Dari penafsiran derajat taklif bisa kita pahami bahwa derajat yang disandangkan kepada suami oleh Tuhan tidak menunjukan keistimewaan atau kelebihan suami karena ia suami. As-Shabuni menegaskan bahwa pertimbangan dalam keistimewaan tidak didasarkan kepada jenis kelamin laki-laki atau perempuan ataupun didasarkan kepada segi ekonomis semisal karena suami memberi nafkah kepada istri, melainkan pertimbangannnya adalah takwa dan amal saleh. Karena terkadang satu perempuan lebih istimewa di sisi Allah dibandingkan seribu laki-laki [As-Shabuni, Rawaiul Bayan: 268]

Hal ini, juga dikuatkan dengan firman Allah swt dalam Al-Qur’an [QS. Al-Hujarat: 13]

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)

“Sesungguhnya paling mulia-nya kalian di sisi Allah swt adalah paling kalian. Dan sesungguhnya Allah swt Maha Mengetahui lagi Maha Tahu[QS. Al-Hujarat:13]

Akhiran, meski secara skripturalistik – ditambah dengan penafsiran yang “patriarkis” – ayat yang menerangkan derajat bagi suami itu menunjukan bahwa suami lebih istimewa namun dengan mengenal istilah derajat taklif dan derajat tasyrif kita tahu bahwa tidak semua derajat menunjukan keistimewaan semata. Tidak hanya itu, kita juga menjadi tahu sesungguhnya ayat itu tidak menunjukan superioritas laki-laki sebagaimana budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Wallahu A’la.

BINCANG SYARIAH

Dewas BPKH: Biaya Haji Rp 35 juta, Harusnya Rp 72 Juta

Ketua Dewan Pengawas Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Yuslam Fauzi menuturkan, saat ini biaya riil haji sebesar Rp 72 juta sedangkan biaya yang disetor oleh calon jamaah haji total hanya Rp 35 juta. Dengan rincian, setoran pertama Rp 25 juta dan kedua Rp 10 juta.

“Berarti total Rp 35 juta, sedangkan biaya riilnya Rp 72 juta. Kalau berdasarkan hukum istithaah, mestinya yang berangkat itu harus sanggup mengeluarkan Rp 72 juta. Karena riilnya segitu,” kata dia dalam agenda ‘Diseminasi Pengawasan Keuangan Haji’ di Bandung, Kamis (28/10).

Sisanya itu, kata Yuslam, selama ini disubsidi hasil keuntungan dari pengelolaan dana haji. Hasil keuntungan ini juga didistribuskan ke rekening maya atau virtual account para calon jamaah haji.

Yuslam mengatakan, sebetulnya biaya haji dari tahun ke tahun itu terus naik. Saat ini Rp 72 juta, sebelumnya Rp 70 juta, dan sebelumnya lagi Rp 65 juta. Biaya riil haji terus meningkat karena faktor inflasi, harga minyak, kurs dolar, kurs riyal Saudi, dan lainnya.

“Ini nggak bisa begini terus. Jika begini terus, tentu tidak bisa berkesinambungan dan pada 2026, 5 tahun lagi, bisa tidak cukup menutup subsidi. Jadi harus ada perjuangan dari berbagai pihak untuk menghindari terjadinya ketidaksinambungan,” ujarnya.

Menurut Yuslam, berangkat haji seharusnya tidak ada subsidi dan harus sesuai memenuhi istithaah. Artinya, calon jamaah haji harus membayar sebesar biaya haji riilnya karena dalam Islam, yang wajib berangkat haji adalah mereka yang mampu atau istithaah, baik dari segi finansial dan kesehatan.

“Harapan kami, subsidi itu tidak diberlakuan lagi dan fatwa istithaah diperkuat lagi, karena memang (yang sekarang) itu tidak istithaah. Maka MUI (Majelis Ulama Indonesia) seharusnya mengedukasi publik mengenai istithaah,” ujarnya.

Dia menambahkan, Islam mengajarkan bahwa orang pergi haji hanya jika mampu atau istithaah. Artinya kalau ada uang Rp 35 juta, tapi harganya Rp 72 juta, berarti belum mampu karena harus sanggup bayar Rp 72 juta.

“Kalau tidak istithaah, berarti kan tidak wajib, dan kewajiban agama menjadi tidak berlaku. Jadi nggak perlu ngoyo. Dan pemerintah dan DPR harus terbuka bahwa riil biaya haji sekian,” tutur dia.

IHRAM

Apakah Doa Bisa Mengubah Takdir?

Dar al-Ifta Mesir, menjelaskan soal apakah doa bisa mengubah takdir. Anggota Fatwa Dar al-Ifta Mesir, Syekh Mahmud Syalabi menjelaskan takdir itu ada dua jenis.

Pertama ialah takdir yang pasti terjadi. Kedua adalah takdir yang bisa ditangguhkan dan bisa dihindari dengan doa. Karena itu, jika seseorang berdoa atau bersedekah, Allah SWT dapat menghindarkannya sebagai tanggapan atas permohonan hamba tersebut. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada yang akan menolak qodho kecuali doa.”

Lantas, apakah dapat dikatakan bahwa doa itu bisa mengubah takdir? Mantan mufti Mesir yang saat ini menjadi anggota Majelis Ulama Senior di Al-Azhar Mesir, Syekh Ali Jum’ah menjelaskan, pada prinsipnya doa itu tidak mengubah pengetahuan Allah.

Namun, doa bisa mengubah isi catatan Lauhul Mahfudz atau kitab al-Mastur yang dilihat para malaikat. Syekh Jum’ah mengatakan, ada takdir yang tak terelakkan atau takdir yang pasti. Takdir itu ada dalam pengetahuan Allah SWT, dan pengetahuan-Nya tidak akan tertinggal.

Jadi, Allah SWT mengetahui ketika ada permohonan atau doa. Dan Allah SWT juga tahu bahwa ada peristiwa yang terjadi, yang mungkin bertentangan dengan apa yang tercatat dalam Lauhul Mahfudz.

“Tapi (peristiwa) itu tidak bisa bertentangan dengan pengetahuan Allah SWT yang ada dalam diri-Nya sendiri. Tidak pula diketahui oleh seorang nabi yang diutus atau malaikat yang dekat dengan Allah kecuali dengan izin-Nya,” terangnya.

Syekh Jum’ah kemudian mengumpamakan, misalnya, di Lauhul Mahfudz tertulis bahwa seorang Muslim bernama Budi akan gagal dalam ujian. Lalu si Budi berdoa, “Ya Allah, berikan aku keberhasilan.” Lalu Allah membantunya dan Budi pun berhasil, yang artinya bertentangan dengan Lauhul Mahfudz yang diketahui para malaikat.

“Mengapa itu bisa terjadi? Karena doa mampu mengubah apa yang tercatat dalam Lauhul Mahfudz. Dan Allah SWT mengetahui bahwa orang tersebut akan berdoa, dan mengetahui bahwa apa yang tercatat dalam Lauhul Mahfudz itu akan berubah, serta juga mengetahui bahwa orang itu akan berhasil dalam ujian,” tutur Syekh Jum’ah.

IHRAM

Antara Dosa yang Diampuni dan Tidak Diampuni

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Dalam surah An-Nisa ayat 48 dan 116, Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa di bawah tingkatan syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. An-Nisa: 48, 116).

Dalam ayat tersebut, dosa terbagi menjadi dua, yaitu:

Pertama, dosa yang tidak diampuni oleh Allah Ta’ala, jika pelakunya tidak bertaubat.

Kedua, dosa yang diampuni oleh Allah Ta’ala, namun hanya bagi orang yang dikehendaki-Nya, meskipun pelakunya meninggal dalam keadaan tidak bertaubat dari dosa tersebut.

Dan yang dimaksud dengan “dosa yang tidak diampuni” dalam ayat ini adalah apabila pelakunya mati dalam keadaan tidak bertaubat darinya. Hal ini karena dosa apa pun itu, apabila seseorang bertaubat darinya dengan memenuhi syarat-syarat diterimanya taubat, maka akan diampuni oleh Allah Ta’ala.

Karena Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗ اِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (QS. Az-Zumar: 53).

Dan ampunan Allah atas seluruh dosa hamba-Nya dalam ayat ini dimaksudkan untuk orang yang bertaubat dari dosanya. Allah Ta’ala berfirman,

وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung” (QS. An-Nur: 31).

Allah Ta’ala juga berfirman,

قُلْ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ يَّنْتَهُوْا يُغْفَرْ لَهُمْ مَّا قَدْ سَلَفَ

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu” (QS. Al-Anfal: 38).

Sedangkan syarat diterimanya taubat ada tujuh, yaitu:

Pertama, Islam.

Kedua, ikhlas.

Ketiga, menyesal.

Keempat, berhenti dari dosa saat itu juga.

– Bertaubat dari dosa terkait dengan hak Allah, dengan cara melakukan kewajiban yang ditinggalkan atau meninggalkan keharaman yang terlanjur dilakukan.

– Bertaubat dari dosa terkait dengan hak makhluk, dengan cara menunaikan hak mereka atau meminta kehalalan/maaf kepadanya.

Kelima, bertekad untuk tidak mengulangi.

Keenam, sebelum sakaratul maut (sebelum nyawa sampai tenggorokan).

Ketujuh, sebelum matahari terbit dari barat.

Dosa yang tidak diampuni (jika pelakunya mati dalam keadaan tidak bertaubat)

Ulama rahimahumullah berbeda pendapat dalam menafsirkan dosa yang tidak diampuni dalam ayat ini.

Pendapat pertama

Syirik besar (dan setingkatnya) dan syirik kecil, karena di dalam kalimat tersebut mengandung keumuman jenis syirik dan tidak terdapat pengkhususan jenis syirik tertentu saja.

Pendapat kedua

Syirik besar (dan setingkatnya) saja, karena mayoritas ayat dalam Alquran, maksud lafaz “syirik” ketika disebut secara mutlak (hanya disebut kata “syirik” saja, tanpa ada tambahan keterangan apapun) adalah “syirik besar”, dan bukan syirik kecil. Contohnya dalam surah Al-Maidah: 72 dan Al-Hajj: 31. Dan inilah pendapat yang terkuat.

Catatan:

Catatan pertama, definisi syirik besar

Menyamakan selain Allah dengan Allah dalam perkara yang khusus milik Allah, yaitu perbuatan ketuhanan (rububiyyah), hak untuk diibadahi (uluhiyyah), dan nama dan sifat Allah (al-asma’ wash shifat).

Syirik ini disifati dengan sifat “besar”, karena mengeluarkan pelakunya dari Islam atau menghancurkan dasar iman. Sedangkan akibat syirik besar bagi pelakunya adalah sebagai berikut:

– Tidak diampuni jika mati dalam keadaan tidak bertaubat.

– Kekal selamanya di neraka.

– Menggugurkan seluruh amalan salih yang telah dilakukan.

Catatan kedua, dosa setingkat syirik besar (selain syirik besar)

– kufur besar

– nifaq besar

Dosa yang diampuni oleh Allah Ta’ala, namun hanya bagi orang yang dikehendaki-Nya, meskipun pelakunya meninggal dalam keadaan tidak bertaubat dari dosa tersebut.

Sebelum kita mengetahui dosa yang diampuni oleh Allah Ta’ala, agar lebih jelas, maka kita perlu mengetahui macam-macam dosa dalam ajaran Islam:

1. Syirik besar (dan setingkatnya)

2. Syirik kecil (dan setingkatnya)

3. Bid’ah

4. Maksiat (dosa besar dan dosa kecil)

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam Bada’iul Fawaid [1] dan Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah. Syaikh ‘Abdul Azin bin Baz Rahimahullah berkata,

المراتب: الشرك الأكبر ثم الأصغر ثم البدعة ثم كبائر الذنوب ثم صغائر الذنوب

“Tingkatan dosa-dosa, yaitu: syirik besar, lalu syirik kecil, lalu bid’ah, lalu dosa besar, kemudian dosa kecil” [2].

Sedangkan dalam surat An-Nisa: 48, Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa di bawah tingkatan syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. An-Nisa: 48).

Berarti dalam ayat ini terdapat 2 kelompok besar dosa, yaitu:

a) Syirik besar dan yang setingkatnya

b) Dosa di bawah syirik besar dan yang setingkatnya.

Penjelasan ahli tafsir terhadap surat An-Nisa’: 48

Berikut ini tafsir para ulama tentang ayat di atas:

1. Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

“Allah mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik (besar), baik dosa kecil maupun dosa besar, dan ampunan tersebut terealisasi ketika Allah menghendakinya, (dan hal itu) tatkala kebijaksanaan-Nya menuntut pengampunan-Nya”. (Taisiir Karimir Rahman)

2. Dalam Tafsir Jalalain,

ويَغْفِر ما دُون  Maksudnya dosa-dosa selain itu (di bawah syirik besar dan setingkatnya, pent.)

لِمَن يَشاء Ampunan untuknya berupa Allah memasukkannya ke dalam surga tanpa adzab. Dan barangsiapa yang Allah berkehendak menyiksanya, maka Allah akan menyiksa sebagian orang mukmin karena dosanya, kemudian Allah memasukkannya ke dalam surga.

3. Dalam Mahasinut Ta’wil, Al-Qasimi rahimahullah berkata,

“Yaitu (Allah mengampuni) dosa di bawah tingkatan syirik (besar) berupa maksiat-maksiat, baik dosa besar maupun dosa kecil.

لِمَن يَشاءُ Sebagai bentuk karunia dan kebaikan dari-Nya”.

4. Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata [3],

“Yaitu (Allah mengampuni dosa-dosa) di bawah syirik (besar), seperti zina, durhaka, minum khamr, dan semacamnya. Ini semua di bawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, Allah mengampuni pelakunya pada hari kiamat dengan amal salihnya yang lain, dan dengan kebaikannya yang lain sebagai bentuk karunia Allah, kedermawanan-Nya, dan kebaikan-Nya.

Dan jika Allah berkehendak, Allah menyiksanya sesuai kadar kemaksiatan yang dia mati di atasnya, berupa kedurhakaannya kepada orangtuanya atau durhaka kepada salah satu dari keduanya, atau berupa meminum minuman yang memabukkan, berzina, ghibah, namimah, dan yang lainnya”.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan tentang jenis dosa yang diampuni dalam An-Nisa: 48 tersebut [4],

“Kesimpulannya: bahwa seluruh dosa semuanya di bawah kehendak Allah, sama saja apakah dosa itu berkaitan dengan hak Allah ataupun berkaitan dengan hak makhluk seperti ghibah, membunuh, namimah, dan yang semacamnya. Ini semua di bawah di bawah kehendak Allah. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak, Allah mengampuni pelakunya. Dan jika Allah berkehendak (lain), Allah menyiksanya karena dosa yang dia belum bertaubat darinya.

Adapun jika dia telah bertaubat, maka dosanya terhapus oleh taubatnya. Akan tetapi untuk hak makhluk yang terzhalimi, Allah tidak akan terlantarkan. Bahkan Allah akan memenuhi hak orang yang dizhalimi tersebut, meskipun orang yang menzhalimi tersebut telah bertaubat darinya (namun belum meminta penghalalan kepada orang yang dizhalimi, pent.). Allah akan memenuhi hak orang yang dizhalimi tersebut.

Allah akan membuat orang yang dizhalimi ridha atas pahala Allah untuknya. Jika orang yang menzhalimi itu jujur dalam taubatnya, maka Allah akan membuat ridha orang yang terzhalimi dengan pahala sesuai kehendak-Nya”.

Kesimpulan:

Dari tafsir para ahli tafsir dan penjelasan tentang macam-macam dosa tersebut, maka jenis dosa yang diampuni oleh Allah bagi orang yang dikehendaki-Nya meskipun pelakunya mati dalam keadaan tidak bertaubat darinya adalah segala dosa di bawah kesyirikan besar dan setingkatnya, yaitu:

– Syirik kecil dan setingkatnya

– Bid’ah

– Maksiat (dosa besar dan dosa kecil)

Apakah dosa terkait dengan hak makhluk itu termasuk dosa yang memungkinkan diampuni oleh Allah?

Contoh dosa terkait dengan hak makhluk adalah mencuri, membunuh, menuduh zina, merampas harta, ghibah, mencela, menghina, dan lain-lain.

Ulama menjelaskan bahwa taubat dari dosa berkaitan dengan hak makhluk haruslah dengan mengembalikan hak mereka atau meminta kehalalan/maaf kepada mereka. Jika tidak bisa melakukan hal itu, maka pasti ada tuntutan di akhirat.

Hal ini tidaklah bertentangan dengan surat An-Nisa’ ayat 48 dan 116, karena dalam ayat ini disebutkan bahwa dosa di bawah tingkatan syirik besar diampuni Allah jika Allah menghendakinya. Berarti juga mencakup dosa berkaitan dengan hak makhluk yang tidak sampai membatalkan keislaman sebagaimana syirik besar!

Lalu bagaimana nasib orang yang menzhalimi saudaranya di akhirat jika Allah berkehendak mengampuninya, apakah berarti masih ada tuntutan kepadanya?

Dan jika Allah berkehendak mengampuni orang yang menzhalimi, maka bagaimanakah nasib orang yang dizhalimi di akhirat, apakah tidak mendapatkan haknya di sana?

Yang jelas, Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana, namun bagaimana penjelasannya, akan kami jelaskan di kesempatan yang lain.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/69776-antara-dosa-yang-diampuni-dan-tidak-diampuni.html

Antara Rasa Takut (Khauf) dan Harap (Raja’)

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah

Pertanyaan:

Bagaimanakah mazhab ahlus sunnah wal jamaah dalam masalah raja’ (berharap rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala, pent.) dan khauf (sikap takut dari hukuman dan makar Allah Ta’ala, pent.)?

Jawaban:

Para ulama berselisih pendapat tentang apakah seseorang lebih mendahulukan sikap raja’ atau khauf, menjadi beberapa pendapat.

Imam Ahmad Rahimahullah berkata,

“Hendaknya rasa takut dan harapnya itu menjadi satu kesatuan. Maka (seseorang) tidak lebih memenangkan khauf dan juga tidak lebih memenangkan raja’” (Lihat Al-Mustadrak ‘ala Majmu’ Al-Fataawa, 1: 147).

Beliau Rahimahullah juga berkata,

“Siapa saja yang lebih memenangkan salah satunya, dia akan binasa.”

Hal ini karena siapa saja yang lebih memenangkan raja’, dia akan merasa aman dari makar Allah Ta’ala. Dan jika seseorang lebih memenangkan khauf, dia akan terjatuh dalam sikap berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala.

Sebagian ulama Rahimahumullah mengatakan, “Hendaknya seseorang lebih memenangkan raja’ ketika mengerjakan ketaatan, dan lebih memenangkan khauf  ketika ingin berbuat maksiat.”

Hal ini karena jika seseorang hendak melakukan ketaatan, maka dia harus memiliki sikap-sikap yang bisa mendatangkan husnuzan (berprasangka baik bahwa amalnya akan diterima oleh Allah Ta’ala, pent.)Sehingga dalam kondisi seperti ini, dia lebih memenangkan raja’, yaitu berharap amalnya diterima. Sedangkan ketika dia ingin berbuat maksiat, dia lebih memenangkan khauf, supaya dia tidak terperosok dalam maksiat.

Ulama yang lain Rahimahumullah mengatakan, “Hendaknya orang sehat lebih memenangkan sisi khauf. Sedangkan orang sakit hendaknya lebih memenangkan sisi raja’.”

Hal ini karena jika orang sehat lebih memenangkan sisi khauf, dia akan menjauhi maksiat. Sedangkan ketika orang sakit lebih memenangkan sisi raja’ (kemudian meninggal dunia, pent.)dia akan bertemu Allah Ta’ala dalam kondisi husnuzan kepada-Nya.

Adapun pendapatku dalam masalah ini bahwa hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi (keadaaan) seseorang. Kalau dia khawatir (takut) akan menjadi berputus asa dari rahmat (kasih sayang) Allah Ta’ala ketika lebih memenangkan sisi khauf, maka wajib baginya untuk berhenti dan menguatkan sisi raja’.

Adapun kalau dia khawatir akan menjadi merasa aman dari makar Allah Ta’ala ketika lebih memenangkan sisi raja’, maka hendaklah dia berhenti dan lebih memenangkan sisi khauf. Sehingga seseorang itu pada hakikatnya adalah dokter (tabib) untuk dirinya sendiri, jika hatinya masih hidup. Adapun pemilik hati yang mati, yang tidak mengobati penyakit hatinya dan tidak melihat kondisi hatinya, maka dia tidak akan peduli masalah ini.

***

@Rumah Kasongan, 15 Rabi’ul awwal 1442/ 22 Oktober 2021

Referensi:

Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 67-68, pertanyaan no. 22.

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/69754-antara-khauf-dan-raja.html

Karantina Membuat Percepatan Umroh Terhambat

Ketua Umum Sarikat Penyelenggaraan Umrah Haji Indonesia (Sapuhi) Syam Resfiadi mengatakan, banyaknya persoalan yang menjadi jamaah merasa terhalang untuk berangkat umroh di masa pandemi. Salah satu di antaranya terkait kewajiban karantina di dalam dan luar negeri (Arab Saudi) yang memberatkan jamaah.

“Kebijakan inilah menjadi satu hambatan untuk orang bisa mempercepat keberangkatan umroh,” kata Syam Resfiadi saat dihubungi Republika kemarin.

Syam mengatakan, karantina ini sangat erat hubungannya dengan izin cuti jamaah dari masing-masing perusahaannya. Karena masa cuti yang lima hari dan program minimal sembilan hari pulang pergi bisa menjadi 14 Hari pulang pergi.

“Dan ini tidak semua rakyat Indonesia bisa melakukan apalagi mereka yang memang tergantung dengan cuti tahunan di perusahaan,” katanya.

Masalah lain yang memperlambat percepatan umroh adalah, bahwa Indonesia sekarang masih dalam pandemi yang masih menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level tiga. Saat ini masih sedikit sekali yang sudah masuk PPKM level dua.

“Sehingga kalau memang semua sudah rata rata PPKM level dua ya barulah kita bisa menuntut kenegara manapun termasuk Saudi bahwa jamaah umroh kita sudah siap untuk berangkat,” katanya.

Jadi kata Syam jangan samakan Indonesia dengan negara Malaysia yang kasus Covid-19 rendah. Menurutnya data satgas kasus Covid-19 masih terjadi sehingga beberapa wilayah masih memberlakukan PPKM.

“Jadi untuk apa juga memberangkatkan buru-buru toh Malaysia sudah berangkat juga cuman segelintir orang saja tidak banyak yang berangkat,” katanya.

Syam menegaskan, lebih baik menyelamatkan satu bangsa daripada menyelamatkan hanya orang-orang yang ingin umroh. Akan tetapi justru membuat masalah Covid-19 ini menjadi bermasalah lagi di Indonesia.

“Bersabar sebentar sehingga pandemi selesai,” katanya.

IHRAM

Konjen Saudi: Umroh Belum Dibuka untuk Indonesia

Asosiasi yang tergabung dalam Koalisi Haji Umrah melakukan pertemuan dengan Konsul Jenderal (Konjen) Arab Saudi Abdullah Muqed Al Mutiry di Kedutaan Arab Saudi, Jakarta, Rabu (27/10). Asosiasi haji dan umroh tersebut adalah AMPUH, Himpuh, Sapuhi, dan Asphuri.

Sekretaris Jenderal Afiliasi Mandiri Penyelenggara Umrah dan Haji (AMPUH), Wawan Suhada mengatakan dalam pertemuan tersebut Konjen Arab Saudi menegaskan umroh belum dibuka untuk jamaah Indonesia.  

“Konjen menjelaskan sampai saat ini umroh untuk Indonesia belum dibuka, menunggu hasil diskusi intensif antara pemerintah Arab Saudi dan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama masing-masing,” ujar Wawan kepada Republika.co.id, Rabu (27/10).

Menurut Wawan, saat ini pemerintah Indonesia dan Arab Saudi sedang berupaya mengintegrasikan aplikasi Peduli Lindungi dan Tawakkalna. Integrasi ini bertujuan mengendalikan penyebaran Covid-19.

“Permasalahan sinkronisasi data melalui aplikasi Tawakalna dan Peduli Lindungi masih dalam tahap finalisasi melalui berbagai workshop yang dilakukan kedua belah pihak,” ucapnya.

Dia mengatakan, Kedubes Arab Saudi sangat berharap umroh jamaah Indonesia bisa segera dibuka. Karena itu, menurut dia, Kedubes menunggu pengajuan SOP pemberangkatan jamaah umroh melalui asosiasi agar dapat ditelaah dan dievaluasi kemungkinan pelaksanaan di lapangan.

“Tentunya melibatkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI sebagai regulator umroh nasional,” katanya.  

Kedubes Arab Saudi berharap asosiasi dapat mengajukan daftar penyedia PCR di Indonesia untuk selanjutnya dilakukan pengecekan kualitas dan verifikasi keabsahan laboratorium oleh Kedubes. Hal ini dalam rangka memastikan agar hasil PCR tersebut valid dan tidak disalahgunakan.  

“Karena hasil PCR sangat berimbas besar kepada penyelenggaraan ibadah umroh dari sebuah negara. Misal, jika ditemukan hasil PCR yang tidak sesuai atau manipulasi hasil PCR, maka tidak menutup kemungkinan pengiriman jamaah dari negara tersebut akan ditutup,” kata Wawan.

Dalam pertenmuan tersebut, menurut Wawan, Kedubes juga memastikan sampai saat ini Arab Saudi hanya menerima empat jenis vaksin tanpa booster, yaitu Pfizer, Moderna, Astra Zenecca, dan vaksin Jhonson & Jhonson.

“Sedangkan untuk Sinovac dan Sinopharm wajib booster satu kali menggunakan empat vaksin yang diakui Saudi tersebut,” kata Wawa.

Wawan menambahkan, para asosiasi yang tergabung dalam Koalisi Haji Umrah sangat berterima kasih kepada Konjen Arab Saudi yang telah menyambut baik kedatangan delegasi. Menurut dia, Koalisi Haji Umrah berharap Kedubes Arab Saudi dapat memfasilitasi keberangkatan perwakilan asosiasi ke Arab Saudi menggunakan visa yang memungkinkan untuk saat ini.

“Kedutaan mempersilakan asosiasi mendaftarkan permintaan tesebut selama mengikuti prosedur kesehatan yang berlaku di Arab Saudi,” jelasnya.

IHRAM