Hidup Mulia dengan Sikap Qana’ah

Arti kata qana’ah sangat luas. Percaya bahwa memang ada kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, bersabar dalam menerima rezeki jika rezeki tidak berkenan pada diri sendiri, dan mensyukuri nikmat yang diberikan kepada kita, karena bagaimanapun nikmat itu akan sirna.

SERING orang salah paham dalam beragama. Mereka melemparkan tuduhan pada agama, bahwa agama membuat hati mati, otak tidak berpikir. Agama membuat orang malas, karena selalu mengajak umatnya untuk menjauhi dunia, dan menerima saja segala takdir.

Tuduhan semacam itu muncul karena kesalahpahaman masyarakat itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa yang disebut qana’ah adalah menerima saja apa yang ada, sehingga mereka tidak mencoba lagi.

Mereka menyebut taqwa orang orang hanya tenggelam di mihrab dan mimbar masjid. Mereka mengatakan orang-orang shaleh yang memegang sorban besar, tetapi tidak memperhatikan urusan dunia, dan penderitaan orang lain.

Agama Islam memerintahkan umatnya untuk qana’ah. Itulah sebabnya di zaman para sahabat banyak orang kaya,  memiliki kekayaan miliaran,  memiliki banyak unta, berdagang ke luar negeri, tetapi mereka qana’ah.

Arti kata qana’ah sangat luas. Percaya bahwa memang ada kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, bersabar dalam menerima rezeki jika rezeki tidak berkenan pada diri sendiri, dan mensyukuri nikmat yang diberikan kepada kita, karena bagaimanapun nikmat itu akan sirna.

Dalam kasus seperti itu diperintahkan untuk terus bekerja mencari rizki, kewajibannya belum berakhir. Kami bekerja bukan karena kami meminta tambahan yang sudah kami miliki dan tidak merasa cukup dengan apa yang ada, tetapi kami bekerja, karena orang yang hidup harus terus bekerja.

Demikianlah apa yang dimaksud dengan qana’ah. Jelas kesalahpahaman orang yang mengatakan qana’ah ini melemahkan hati, malas pikiran, mengajak bergandengan tangan.

Namun qana’ah merupakan modal terkuat untuk menghadapi subsistensi, sehingga menimbulkan kesungguhan hidup yang benar-benar (energi) mencari rezeki. Jangan takut dan gentar, jangan ragu dan ragu, kuatkan pikiran, kuatkan hati, percaya kepada Tuhan, berharap pertolongan-Nya, dan jangan putus asa.

Barang siapa yang telah memperoleh rezeki, dan telah dapat dimakan pada waktu pagi dan sore hari, hendaklah ia menenangkan hatinya, jangan merasa ragu dan kesepian. Anda tidak dilarang bekerja untuk mencari nafkah, Anda tidak disuruh bermalas-malasan karena harta sudah ada, karena itu bukan qana’ah, yaitu kemalasan.

Bekerjalah, karena manusia diutus ke dunia untuk bekerja, tetapi yakinlah, yakinlah bahwa dalam pekerjaan itu ada yang kalah dan yang menang. Jadi Anda bekerja karena Anda melihat bahwa kekayaan yang Anda miliki tidak cukup, tetapi Anda bekerja karena yang hidup tidak bisa menganggur.

Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah ﷺ bersabda

, قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah berikan kepadanya.”(HR: Muslim).

Hadits ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang muslim yang memiliki sifat qana’ah. Karena dengan itu semua dia akan meraih kebaikan dan keutamaan di dunia dan akhirat, meskipun harta yang dimilikinya sedikit.

Qana’ah bukanlah berarti  hilang semangat untuk berkerja lebih keras demi menambah rezeki. Malah, ia bertujuan senantiasa bersyukur dengan rezeki yang dikurniakan Allah.

Kaya Hati

Karena sikap qana’ah tidak berarti fatalis, menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang-orang qana’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun semua itu bukan untuk menumpuk-numpuk kekayaan, mencintai dunia dan takut mati, lupa infak dan sedekah.

Dari Abu Hurairah Rasulullah ﷺ bersabda

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Yang namanya kaya bukanlah dengan memiliki banyak harta, akan tetapi yang namanya kaya adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR: Bukhari no. 6446)

Sikap qana’ah didefinisikan sebagai sikap merasa cukup, ridha atau puas atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT  qana’ah ialah kepuasan hati dengan rezeki yang ditentukan Allah.

Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qashidin menyampaikan hadits dalam Shahih Muslim dan yang lainnya, dari Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

قَدْ أفْلَحَ مَنْ أسْلَمَ وَرُزِقُ كَفَا فًا، وَ قَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rizki yang sekedar mencukupi dan diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (HR: Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad dan Al-Baghawy).

Karenanya qana’ah itu mengandung lima perkara: Ikhlas menerima apa yang ada, selalu memohon kepada untuk mendapat tambahan rizki yang cukup, dan terus berusaha,  sabar dan menerima menerima ketentuan Allah, tawakal kepada Allah dan tidak tertarik pada tipu daya dunia.* Oase Iman

HIDAYATULLAH

Manfaat Surat Al Jumuah untuk Dapatkan Kekayaan, Ini Caranya

Surat Al Jumuah juga mempunyai banyak manfaat untuk umat Islam

Salah satu keutamaan mengalamkan atau membaca surat Al Jumuah adalah untuk mendapatkan kekayaan. 

Caranya adalah dengan membaca surat Al Jumuah satu kali kemudian membaca doa berikut ini 70 kali, yaitu:

اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan barang yang halal hingga aku tidak butuh kepada yang haram dan cukupkanlah aku dengan keutamaan-Mu hingga aku tidak butuh kepada selain-Mu.” (HR Turmudzi).

Dalam buku “Rahasia Keutamaan Surat Al-Qur’an” karya Muhammad Zaairul Haq dijelaskan bahwa jika amalan di atas dilakukan akan segera mendapatkan kekayaan yang luas dan berkah. 

Dalam kitab Khazinat Al-Asrar disebutkan sebuah riwayat yang mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang membaca doa:

اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ 

pada hari Jumat sebanyak 70 kali, maka dia tidak akan mendapati Jumat berikutnya, kecuali Allah membuatnya kaya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Dalam kitab Khazinat Al-Asrar, menurut Zaairul Haq, juga disebutkan bahwa doa di atas baik sekali diamalkan pada Jumat atau setiap selesai melaksanakan sholat sebanyak 70 kali. 

Disebutkan bahwa barang siapa yang melakukan amalan seperti itu, maka Allah akan menyelesaikan utangnya walaupun utang tersebut setinggi gunung Uhud.

Selain itu, keutamaan lainnya mengamalkan surat Al Jumuah adalah bisa menghilangkan rasa waswas yang ditimbulkan kejahatan setan. 

Caranya dengan istiqomah membaca surat Al Jumuah setiap hari. Ini dijelaskan  Imam Syafii dalam kitab ad-Durr an-Nazhim fi Khawash al-Qur’an al-‘Azhim

KHAZANAH REPUBLIKA

3 Jenis Nazar yang tidak Boleh Diucapkan Muslim

Tidak semua nazar diperbolehkan dalam syariat

Nazar berarti mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud mengagungkan serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Nazar telah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu sebelum masa Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat Ali Imran ayat 35: 

إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Mahamendengar, Mahamengetahui.” 

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

“Maka makan, minum, dan bersenang hatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Mahapengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS Maryam 26)   

Namun ada beberapa ketentuan yang harus dilakukan seseorang ketika bernazar, di antaranya adalah larangan-larangan dalam bernazar yaitu sebagai berikut.:  

Pertama, dilarang bernazar untuk menolak takdir.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَنْهَانَا عَنْ النَّذْرِ وَيَقُولُ إِنَّهُ لَا يَرُدُّ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الشَّحِيحِ

Abdullah bin Umar RA, dia berkata, “Suatu hari Rasulullah SAW melarang kami bernadzar, beliau bersabda: “Sesungguhnya (nazar) tidak dapat menolak sesuatu, hanya saja ia untuk mengeluarkan sesuatu dari orang yang pelit (tidak mau beramal).” (HR Muslim)

Kedua, dilarang bernazar untuk mengubah takdir. Karena nazar tidak akan mempercepat terkabulnya keinginan atau memperlambat datangnya sesuatu. 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ النَّذْرُ لَا يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلَا يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ

Dari Ibnu Umar RA, dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, “Nazar itu tidak dapat mempercepat datangnya sesuatu dan tidak pula melambatkannya, akan tetapi ia untuk mengeluarkan sesuatu dari orang bakhil.” (HR Muslim).

Ketiga, dilarang bernazar untuk maksiat kepada Allah SWT.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ كَانَتْ ثَقِيفُ حُلَفَاءَ لِبَنِى عُقَيْلٍ فَأَسَرَتْ ثَقِيفُ رَجُلَيْنِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَسَرَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ بَنِي عُقَيْلٍ وَأَصَابُوا مَعَهُ الْعَضْبَاءَ فَأَتَى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْوَثَاقِ قَالَ يَا مُحَمَّدُ فَأَتَاهُ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ فَقَالَ بِمَ أَخَذْتَنِي وَبِمَ أَخَذْتَ سَابِقَةَ الْحَاجِّ فَقَالَ إِعْظَامًا لِذَلِكَ أَخَذْتُكَ بِجَرِيرَةِ حُلَفَائِكَ ثَقِيفَ ثُمَّ انْصَرَفَ عَنْهُ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ يَا مُحَمَّدُ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيمًا رَقِيقًا فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنِّي مُسْلِمٌ قَالَ لَوْ قُلْتَهَا وَأَنْتَ تَمْلِكُ أَمْرَكَ أَفْلَحْتَ كُلَّ الْفَلَاحِ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ يَا مُحَمَّدُ فَأَتَاهُ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنِّي جَائِعٌ فَأَطْعِمْنِي وَظَمْآنُ فَأَسْقِنِي قَالَ هَذِهِ حَاجَتُكَ فَفُدِيَ بِالرَّجُلَيْنِ قَالَ وَأُسِرَتْ امْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ وَأُصِيبَتْ الْعَضْبَاءُ فَكَانَتْ الْمَرْأَةُ فِي الْوَثَاقِ وَكَانَ الْقَوْمُ يُرِيحُونَ نَعَمَهُمْ بَيْنَ يَدَيْ بُيُوتِهِمْ فَانْفَلَتَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ الْوَثَاقِ فَأَتَتْ الْإِبِلَ فَجَعَلَتْ إِذَا دَنَتْ مِنْ الْبَعِيرِ رَغَا فَتَتْرُكُهُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْعَضْبَاءِ فَلَمْ تَرْغُ قَالَ وَنَاقَةٌ مُنَوَّقَةٌ فَقَعَدَتْ فِي عَجُزِهَا ثُمَّ زَجَرَتْهَا فَانْطَلَقَتْ وَنَذِرُوا بِهَا فَطَلَبُوهَا فَأَعْجَزَتْهُمْ قَالَ وَنَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَلَمَّا قَدِمَتْ الْمَدِينَةَ رَآهَا النَّاسُ فَقَالُوا الْعَضْبَاءُ نَاقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّهَا نَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ بِئْسَمَا جَزَتْهَا نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ الْعَبْدُ وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ حُجْرٍ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ

Dari ‘Imran bin Hushain dia berkata, bahwa Tsaqif adalah pelayan Bani ‘Uqail, lalu bani Tsaqif menawan dua sahabat Nabi SAW, sementara sahabat Rasulullah menawan seseorang dari Bani ‘Uqail bersama dengan seekor untanya. 

Rasulullah SAW kemudian mendatanginya sementara ia dalam keadaan terikat, laki-laki tawanan itu berkata, “Wahai Muhammad!” Beliau menimpalinya, “Ada apa denganmu?” laki-laki itu berkata, “Apa alasanmu menawanku, dan apa alasanmu menawan unta pacuanku yang larinya cepat?” beliau menjawab: “Itu aku lakukan sebagai pembalasan karena dosa sekutumu, Tsaqif!” Kemudian beliau beranjak pergi. 

Laki-laki itu kembali menyeru beliau seraya mengatakan, “Wahai Muhammad, wahai Muhammad! 

Rasulullah adalah sosok yang pengasih lagi santun lalu beliau kembali menemuinya dan bersabda, “Apa keperluanmu?” laki-laki itu menjawab, “Sekarang saya Muslim.” 

Beliau bersabda, “Sekiranya yang kamu katakan benar, sedangkan kamu dapat mengendalikan urusanmu, sungguh kamu akan mendapatkan segala keberuntungan.”  

Kemudian beliau beranjak pergi, namun laki-laki itu menyerunya sambil berkata, “Wahai Muhammad, wahai Muhammad.” Beliau lalu menemuinya sambil bersabda, “Apa keperluanmu?” Laki-laki itu berkata, “Aku lapar maka berilah makan kepadaku, dan aku juga haus maka berilah aku minum!” Beliau bersabda, “Ini kebutuhanmu.” 

Dikemudian hari, laki-laki itu ditebus dengan dua orang (sahabat Nabi).” Imran berkata, “Lalu seorang wanita Anshar tertawan (musuh) bersama dengan unta beliau yang biasa disebut dengan Adlba`, wanita Anshar tersebut dalam keadaan terikat, sedangkan waktu itu orang-orang (para perampok) tengah beristirahat, sementara unta-unta (hasil curian) mereka kandangkan di depan persinggahan-persinggahan mereka.

Kemudian wanita Anshar tersebut dapat melepaskan dari ikatannya, dan segera mendatangi kandang unta, namun setiap kali ia datangi unta untuk dikendarai, unta itu mendengus-dengus, ia pun meninggalkannya hingga dia temui ‘adlba’.  

Jadilah dia mengendarai unta penurut yang sudah terlatih itu di bagian belakangnya. Lalu dia menghardiknya hingga berlari kencang. Orang-orang yang ketiduran pun kaget dengan kaburnya wanita Anshar tersebut, lalu mereka mengejarnya, namun mereka tidak dapat menagkapnya.  

Wanita itu sempat bernazar, bahwa jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan sembelih unta ‘adlba’ itu. Sesampainya di Madinah, orang-orang melihat unta tersebut, lalu mereka berkata, “Ini adalah adlba’, unta Rasulullah!” 

Wanita itu berkata (dengan redaksi), “Apabila Allah menyelamatkannya, sungguh unta tersebut akan disembelihnya.” Lalu orang-orang menemui Rasulullah SAW dan memberitahukan kepada beliau tentang nazarnya.

Maka Rasulullah berkomentar, “Subhanallah, alangkah jahatnya pembalasan dia kepadanya, ia bernazar kepada Allah apabila Allah menyelamatkannya, maka dia akan menyembelihnya, tidak ada kewajiban melaksanakan nazar dalam kemaksiatan kepada Allah dan tidak pula terhadap sesuatu yang tidak dimiliki seorang hamba.” Dalam riwayat Ibnu Hujr, disebutkan, “Tidak ada nazar dalam bermaksiat kepada Allah.”  

KHAZANAH REPUBLIKA

Bernazar Tapi Tidak Dijalankan, Apa Hukumnya?

Apa hukumnya bila tidak menjalankan sesuatu yang telah dinazarkan?Pertanyaan ini banyak diajukan setiap Muslim.

Anggota Fatwa Dar Al Ifta Mesir, Syekh Mahmud Syalaby, menjelaskan jika seseorang telah bernazar tetapi dia tidak sanggup memenuhi janjinya, maka yang bersangkutan harus menebus dosa tersebut.

Penebusannya yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin masing-masing senilai 10 pound Mesir (1 pound Mesir sekitar Rp 900). Setelah dosa ini ditebus, maka tidak ada nazar.

Anggota Fatwa Dar Al Ifta yang lain, Syekh Uwaidah Utsman juga menyampaikan hal senada. Jika seorang Muslim yang telah bernazar lalu tidak mampu menjalankan nazar tersebut, maka ia harus menebusnya karena telah melanggar nazar tersebut.

Syekh Utsman mengatakan, Rasulullah SAW telah bersabda, “Melanggar nazar adalah (sama saja dengan) melanggar sumpah.” Cara menebusnya adalah dengan memberi makan 10 orang miskin. Allah SWT berfirman:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS Al Maidah ayat 89)

Syekh Utsman juga mengingatkan, seorang Muslim yang telah bersumpah sesuatu kepada Allah SWT harus memenuhi sumpah itu. Sumpah maupun nazar ini wajib dipenuhi. “Memenuhi nazar adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang berjanji untuk melakukan sesuatu demi Allah SWT selama dia mampu,” tutur Syekh Utsman.

Selain itu Allah SWT pun memuji orang-orang yang memenuhi nazarnya dalam ketaatan kepada-Nya. Allah berfirman, “Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS Al-Insan ayat 7)

IHRAM

Isyarat Al-Quran tentang Makhluk dan Kehidupan di Luar Bumi

Pada pertengahan 2019 silam, dunia dikejutkan oleh temuan yang menyebutkan bahwa para astronom telah menemukan air di Planet luar tata surya. Temuan yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Astronomy ini membuat planet bernama K2-18b yang berada di zona layak huni Goldilocks tersebut menjadi kandidat terkuat dalam upaya pencarian kehidupan alien (Kompas, 14/9/2019).

Sepanjang sejarah penelitian yang dilaksanakan oleh para astronom dunia,  planet tersebut diklaim berpotensi dapat dihuni oleh manusia karena temperaturnya tepat dan ada sumber air. Temuan ini, sekali lagi, semakin membuka harapan akan adanya makhluk dan kehidupan di luar bumi. Temuan ini merupakan temuan yang paling spektakuler di abad saat ini.

Jauh sebelum para astronom meneliti dan berusaha keras menemukan kehidupan di luar planet bumi, Alquran lebih dulu sudah memberikan isyarat tentang adanya kehidupan di luar bumi. Berkaitan dengan petunjuk tersebut, para ulama berusaha memahami petunjuk Alquran tentang sains tersebut. Salah satunya adalah Thanthawi Jauhari (1870-1940 M).

Beliau mempunyai karya tafsir yang bercorak ilmiah, yaitu Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir ini mengupas ayat-ayat Alquran dengan pendekatan saintifik. Misalnya, ketika menafsirkan QS. AN-Nur ayat 43 tentang siklus hujan.  Ia menjelaskan bahwa proses turunnya hujan diawali dengan Allah menggerakkan awan hingga terbentuk gumpalan tebal disebabkan dorongan angin sebagaimana disinggung dalam QS. Al-Furqan: 48 dan Al-Hijr: 22 ( Lihat Thanthawi Jauhari, al-Jawahir, juz 6, hlm. 209).

Meskipun Tafsir Jawahir belum secara spesifik mengupas tentang petunjuk Alquran mengenai kehidupan di luar planet tata surya, namun keberadaan tafsir tersebut mendorong umat Islam dalam memahami, mendalami, dan menguasai perkembangan ilmu pengetahuan modern ( Abdul Majid, Ittijahat al tafsir fi ‘Asr al-Rahim, Beirut: Darul Bayariq, 1982, hlm. 149).

Pada gilirannya, bermunculan ulama yang berkhidmat mengkaji Alquran dengan menggunakan pendekatan sains modern, diantaranya ada Fakhrudin ar-Razi, Muhammad Abdul, Nasr Hamid Abu Zayd, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan betapa Alquran tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan juga tidak ketinggalan zaman. Bahkan terkait sisi keilmiahan Alquran, ada orientalis terkenal, yakni Muraice Bucaille menulis buku “Bibel, Quran and Sains Modern (1976).

Isyarat Alquran tentang Kehidupan di Luar Angkasa

Kajian Mahdi Ghulsani menyebutkan bahwa di dalam Alquran, kata ‘ilm’ dan kata-kata turunannya digunakan lebih dari 780 kali ( Ghulsani, Filsafat Sains Menurut Alquran, 2001). Hal ini menegaskan betapa ilmu dalam Islam memiliki posisi yang stragis dan utama.

Kajian tentang makhluk di luar angkasa lazim disebut dengan ilmu astronomi. Dalam sejarah Islam, astronomi dikembangkan untuk kepentingan praktis maupun teoritas serta spiritualis. Di antara ayat dalam Alquran tang menginspirasi ilmuan muslim, khususnya di bidang astronomi adalah: QS. Yunus [10]: 5, QS. An-Nahl [16]: 12-16, QS. Al-Hajj [22]: 65, QS. Yasin [36]: 38-40 dan al-Rahman [55]: 33. (lihat Muqawin, Jaringan Keilmuan Asronomi Dalam Islam pada Era Klasik pada Jurnal Kaunia, vol. III, no. 1, April 2007, glm. 69-70).

Berkaitan dengan kehidupan makhluk di luar tata surya (angkasa) yang menghebohkan dunia beberapa waktu lalu, sesungguhnya Alquran lebih dulu mengkonfirmasi akan fenomena tersebut, salah satunya, sebagaimana termaktub dalam QS. Asy-Syuara ayat 29.

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦ خَلۡقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَثَّ فِيهِمَا مِن دَآبَّةٖۚ وَهُوَ عَلَىٰ جَمۡعِهِمۡ إِذَا يَشَآءُ قَدِيرٞ

Artinya: “Di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata Yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya.”

Fakhrudin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menjelaskan ayat di atas merupakan salah satu keagungan Allah, yakni menciptakan makhluk yang serupa dengan penghuni bumi ( Fakhrudin Ar-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 9, hlm. 261).

Al-Qur’an telah menyatakan bahwa Allah meluaskan langit dengan berekspansinya galaksi-galaksi tersebut,”Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (atau kekuatan) Kami dan sesungguhnya Kamilah yang meluaskannya.” (QS. Adz-Dzariyat: 48). Ini menunjukkan adanya korelasi antara konsepsi al-Qur’an dengan teori Expandingnya Edwin Hubble, di mana benda-benda alam semesta ini terus berkembang meluas sehingga galaksi-galaksi saling menjauh dari yang satu dengan yang lain. Semua itu adalah menurut perintah Allah Yang menciptakannya, dan terus demikian sampai pada waktu yang telah ditentukan. (Ahmad Baiquni, Islam dan Pengetahuan Modern, 1983, hlm. 21).

Jika selama ini para ilmuan menyebutkan bahwa dalam sistem tata surya, terdapat 9 palnet. Namun lain halnya dengan ilmuan Islam Nazwar Syamsu. Berangkat dari QS. Yusuf: 4, ia  menyimpulkan bahwa bahwa planet dalam tata surya ini semula ada 11 buah, yang satu sudah hancur, sehingga kini tinggal ada 10 planet yang permanen. Planet yang kesepuluh itu disebut planet “Muntaha” yaitu planet yang terjauh dalam tata surya ini, dan kesanalah Nabi Muhammad pernah bermi’raj :“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, yaitu di Sidratil Muntaha (QS. An-Najm: 13-14). Lihat Nazwar Syamsu, Alquran dan Tanya Jawab Ilmiah, hlm. 32).

Dengan demikian, temuan planet baru yang memungkinkan dihuni oleh manusia sesungguhnya merupakan isyarat dari Alquran. Langit yang luasnya tidak terjangkau oleh perhitungan akal manusia itu, menurut Alquran, bukanlah ruang yang kosong. Artinya, di luar angkasa terdapat benda-benda dan makhluk Allah. Semua itu merupakan bagian dari kebesaran Allah SWT yang harus kita imani.

ISLAM KAFFAH

Ini Pengalaman Jamaah yang Umroh Saat Pandemi

Arab Saudi telah membuka kembali penyelenggaraan umroh sejak Agustus 2021. Meski begitu, belum semua negara bisa memberangkatkan termasuk Indonesia.

Saat ini Saudi baru memberikan izin bagi jemaah dari 10 negara, yaitu Irak, Nigeria, Sudan, Jordan, Senegal, Bangladesh, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Uni Emirat Arab. Kedatangan jemaah kali pertama di Saudi pada 14 Agustus lalu. Sampai saat ini, tercatat sudah 12 ribu jemaah yang berumroh.

Lalu bagaimana penyelenggaraan umroh di masa pandemi seperti sekarang ini?

Konsul Haji KJRI Jeddah, Endang Jumali membagi pengalamannya. Menurutnya penyelenggaraan umroh saat pandemi berlangsung dengan penerapan protokol kesehatan yang sangat ketat.

Endang menceritakan, jamaah yang sudah mendapatkan dua kali vaksin dengan vaksin yang digunakan Arab Saudi, atau dua kali vaksin selain vaksin yang digunakan Saudi lalu ditambah dengan booster, mereka tidak menjalani karantina setibanya di Jeddah atau Madinah. Mereka bisa langsung menjalankan ibadah.

“Selama di Makkah dan Madinah, jemaah mendapat kesempatan sekali menjalankan umroh dan sekali sholat di Raudah. Adapun untuk sholat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi bisa dilakukan setiap waktu,” tutur Endang dalam rapat virtual tentang persiapan penyelenggaraan ibadah umrah dengan Tim Kemenag, Kemenkes, Kominfo, dan PT Telkom, belum lama ini.

Endang mengatakan, bagi jemaah yang baru mendapatkan satu kali vaksin, maka dia harus menjalani isolasi mandiri terlebih dahulu selama empat hari. Arab Saudi selama ini menggunakan empat jenis vaksin, yaitu: Pfizer, AstraZeneca, Jhonson&Jhonson, serta Moderna.

IHRAM

Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 4)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

وإذ أذنب استغفر

(Dan semoga Allah menjadikan kamu termasuk) orang yang beristigfar apabila terjerumus dalam perbuatan dosa.

Pentingnya melakukan istigfar

Dalam doa yang agung ini, beliau memohon kepada Allah agar memberi taufik kepada orang yang membaca risalahnya, supaya menjadi orang yang kembali kepada Allah, bertaubat kepada-Nya apabila terjatuh dalam maksiat dan dosa. Sebagaimana telah diketahui bahwa manusia seringkali terjerat oleh kemauan hawa nafsunya sehingga melakukan apa yang dilarang oleh Allah atau bahkan meninggalkan kewajiban yang diperintahkan dalam agama.

Untuk itulah seorang muslim diajarkan untuk selalu beristigfar. Dalam banyak kesempatan, kita diperintahkan untuk memohon ampunan. Di antaranya, ketika selesai mengerjakan salat, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk membaca istigfar 3 kali. Hal itu bukan berarti salat adalah perbuatan dosa. Tetapi, memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagus apapun amal yang dilakukan oleh hamba, maka Hak-Hak Allah terlalu Agung dan Maha Sempurna sehingga tidak bisa dihargai dengan ketaatan dan amal manusia yang penuh kekurangan.

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah مطالعة عيب النفس والعمل (muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal). Mencermati dan menyadari begitu banyak aib pada diri dan amal-amal yang kita kerjakan. Karena ibadah kepada Allah itu berporos pada dua pilar, cinta yang sepenuhnya dan perendahan diri yang seutuhnya kepada Allah. Sementara perendahan diri tidak bisa muncul, kecuali dengan menelaah aib pada diri dan amalan hamba. Demikian kandungan makna yang diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib.

Penghambaan kepada Allah berporos pada dua kaidah dasar

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa penghambaan kepada Allah berporos pada dua kaidah dasar yaitu kecintaan yang sepenuhnya dan perendahan diri yang sempurna. Munculnya kedua pokok/kaidah ini berangkat dari dua sikap prinsip yaitu    مشاهدة المنة (musyahadatul minnah), yaitu menyaksikan curahan nikmat-nikmat Allah dan مطالعة عيب النفس والعمل (muthala’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal), yaitu selalu meneliti aib pada diri dan amal perbuatan. Dengan senantiasa menyaksikan dan menyadari setiap curahan nikmat yang Allah berikan kepada hamba, akan tumbuhlah kecintaan. Dan dengan selalu meneliti aib pada diri dan amalan, akan menumbuhkan perendahan diri yang sempurna kepada Rabbnya. (lihat Al-Wabil Ash-Shayyib, hlm. 8 tahqiq Abdul Qadir dan Ibrahim Al-Arna’uth)

Dengan selalu menyaksikan dan menyadari betapa banyak curahan nikmat yang Allah berikan, akan menumbuhkan kecintaan, pujian, dan syukur kepada Allah yang telah melimpahkan begitu banyak kebaikan. Dan dengan memperhatikan aib pada diri dan amal perbuatan, akan melahirkan sikap perendahan diri, merasa butuh, fakir, dan bertaubat di sepanjang waktu. Sehingga orang itu tidak memandang dirinya, kecuali berada dalam kondisi bangkrut. Pintu terdekat yang akan mengantarkan hamba menuju Allah adalah pintu gerbang perasaan bangkrut. Dia tidak melihat dirinya memiliki kedudukan, posisi, dan peran yang layak diandalkan/dibanggakan. Sehingga, dia pun akan mengabdi kepada Allah melalui pintu gerbang perasaan fakir yang seutuhnya dan kondisi jiwa yang merasa dilanda kebangkrutan. (lihat Al-Wabil Ash-Shayyib, hlm. 7)

Apabila kita teliti kembali amal dan ibadah yang kita kerjakan, ada banyak sekali kekurangan dan cacatnya. Dari sanalah, kita mengetahui letak pentingnya muhasabah. Sebagaimana yang dinasihatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu“Hisablah diri-diri kalian sebelum kalian dihisab! Dan timbanglah amal-amal kalian sebelum kalian ditimbang (di akhirat)!”

Istigfar adalah memohon ampunan kepada Allah atas dosa yang dilakukan. Dosa itu sendiri meliputi dua kategori. Terjadi karena menerjang larangan atau karena tidak menunaikan kewajiban. Bisa jadi seorang tidak melakukan perkara yang diharamkan pada suatu waktu, tetapi pada saat itu dia tidak menunaikan kewajiban dan tugasnya dengan baik. Dan inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah taqshir/keteledoran dan cacat amalan.

Sikap seorang mukmin terhadap amalannya

Seorang mukmin, ketika melihat amalannya, maka dia berharap kepada Allah supaya amalnya diterima. Meskipun demikian, dia selalu ingat dan waspada akan dosa dan kekurangannya. Jangan sampai amalnya hancur dan sirna gara-gara dosa. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu sebagaimana dinukil oleh Imam Bukhari dalam Sahihnya mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di bawah gunung. Dia takut gunung itu runtuh menimpa dirinya.”

Karena itulah, Hasan Al-Bashri rahimahullah menjelaskan bahwa seorang mukmin itu memadukan dalam dirinya antara perbuatan ihsan/kebaikan dan ketaatan dengan perasaan syafaqah/takut dan khawatir. Sebaliknya, orang kafir dan fajir memadukan dalam dirinya antara perbuatan jelek/dosa dengan merasa aman/baik-baik saja. Lihatlah sosok para sahabat -manusia terbaik setelah para nabi- yang dituturkan oleh Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah“Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan mereka semua khawatir apabila kemunafikan bersemayam di dalam diri mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengaku bahwa imannya seperti imannya Jibril dan Mika’il.”

Dari sini pula, kita mengetahui bahwa istigfar yang dimaksud bukan hanya ucapan lisan tanpa keyakinan dan kesadaran di dalam hati. Sebab, zikir yang paling utama adalah yang menggabungkan antara ucapan lisan dengan penghayatan di dalam hati terhadap apa yang dibaca. Oleh sebab itu, istigfar yang tidak disertai dengan perendahan diri dan ketundukan kepada Allah, bukanlah istigfar yang hakiki. Karena ketaatan yang Allah terima adalah ibadah yang berakar dari dalam hati. Allah berfirman,

یَوۡمَ لَا یَنفَعُ مَالࣱ وَلَا بَنُونَ

إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبࣲ سَلِیمࣲ

“Pada hari itu (kiamat) tiada berguna harta dan keturunan laki-laki kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy-Syu’ara’ : 88-89)

Sehingga sebagian salaf berkata, “Betapa banyak orang yang lisannya beristigfar tetapi dimurkai. Sedangkan, ada orang-orang yang lisannya diam tetapi senantiasa dirahmati.” Setiap muslim membutuhkan waktu-waktu khusus untuk menyendiri dengan Rabbnya. Mengingat dosa dan kesalahannya untuk bertaubat dan menangisi kedurhakaan yang selama ini dia lakukan. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam manusia terbaik di muka bumi saja beristigfar kepada Allah dalam sehari sampai 70 kali atau seratus kali bahkan lebih. Lalu, bagaimana lagi dengan kita?!

Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari no. 6307)

Imam Nasa’i meriwayatkan dengan sanad jayyid dari Ibnu Umar. Beliau berkata, “Bahwa dirinya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca,

أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه

‘astaghfirullahalladzi laa ilaha illa huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaih’ dalam sebuah majelis sebelum bangkit sebanyak 100 kali.” (lihat Fath Al-Bari oleh Ibnu Hajar, 11/115)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah sebuah gunung. Dia takut apabila gunung itu jatuh/runtuh menimpa dirinya.” (lihat Fath Al-Bari, 11/118)

Demikianlah sifat seorang muslim. Bahwa dia senantiasa merasa takut dan merasa diawasi oleh Allah. Dia menganggap kecil amal salehnya dan dia mengkhawatirkan dampak perbuatan buruknya meskipun itu kecil. (lihat Fath Al-Bari, 11/119)

‘Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan, “Adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah keluar dari buang air (kamar kecil) maka beliau mengucapkan

غفراك

‘ghufroonak’

(Artinya ‘Kami mohon ampunan-Mu, ya Allah).” (HR. Abu Dawud dan lain-lain)

Makna doa ini adalah “Aku memohon ampunan-Mu kepada-Mu, ya Allah.” Yaitu, Engkau tutupi dosa-dosaku dan Engkau tidak menghukumku karena dosa-dosa itu. (lihat keterangan Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram, 1/242)

Hikmah dari bacaan ini adalah apabila seorang telah menunaikan hajatnya (dengan membuang kotoran secara fisik), hendaklah dia mengingat kotoran secara maknawi yang mengganggu kehidupannya yaitu dosa-dosa. Karena, sesungguhnya menanggung dosa lebih berat dan lebih membahayakan daripada menanggung kotoran yang berupa ‘air besar’ atau ‘air kecil’. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kita mengingat dosa-dosa kita dan memohon ampunan Allah atasnya. (lihat keterangan Syekh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Fathu Dzil Jalal wal Ikram, hlm. 306)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai umat manusia, bertaubatlah kepada Allah. Karena sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari kepada-Nya seratus kali.” (HR. Muslim no. 2702)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata setelah menjelaskan kandungan hadis ini, “Adapun kita (apabila dibandingkan dengan Nabi) maka sesungguhnya kita ini jauh lebih membutuhkan istigfar dan taubat.” (lihat Syarh Muslim [8/293]). Benarlah apa yang dikatakan oleh An-Nawawi, semoga Allah merahmati dan mengampuni kita dan beliau.

Dan apabila kita cermati keadaan kaum muslimin di zaman ini, maka akan kita dapati bahwa amalan ini (bertaubat 100 kali dalam sehari) termasuk salah satu amalan yang sudah banyak ditinggalkan manusia (sunnah mahjurah), kecuali pada sebagian manusia yang Allah berikan taufik kepada mereka dan betapa sedikitnya mereka itu. Semoga Allah berikan taufik kepada kami dan segenap pembaca untuk mengamalkannya.

Imam Nasa’i meriwayatkan dengan sanad jayyid dari Ibnu Umar, beliau berkata, “Bahwa dirinya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca,

أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه

‘astaghfirullahalladzi laa ilaha illa huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaih’ dalam sebuah majelis sebelum bangkit sebanyak 100 kali.” (lihat Fath Al-Bari, 11/115). Kepada Allah semata kita mohon pertolongan.

Semoga catatan yang singkat ini bermanfaat.

Barakallahu fiikum.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69223-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-4.html

Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 2)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata,

“Semoga Allah menjadikan kamu termasuk orang yang bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar ketika diberi cobaan/musibah, dan beristigfar apabila berbuat dosa. Karena sesungguhnya ketiga hal ini merupakan tanda-tanda kebahagiaan.”

Penjelasan

Pada bagian sebelumnya, kita telah membahas salah satu tanda kebahagiaan yaitu bersyukur kepada Allah atas nikmat yang dilimpahkan kepada kita. Berikutnya kita akan membahas tanda kebahagiaan yang kedua, yaitu bersabar saat tertimpa musibah dan bencana.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, segala sesuatu yang terjadi di alam dunia ini telah tertulis dalam lauhul mahfuzh 50 ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Sebagaimana telah diterangkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Termasuk di dalamnya musibah yang kita alami. Tidaklah menimpa musibah melainkan dengan izin dari Allah.

Kewajiban kita sebagai seorang muslim adalah bersabar menghadapinya. Sabar yaitu menahan diri dari marah kepada ketetapan Allah, menahan anggota badan dari ekspresi ketidakpuasan seperti merobek-robek kerah baju atau menampar-nampar pipi, dan menahan lisan dari meratap. Sebagaimana digambarkan oleh para ulama salaf, bahwa sabar dalam iman seperti kepala di dalam badan. Apabila sabarnya hilang maka tidak ada lagi kehidupan pada badan.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah dalam Kitab Tauhid juga membuat bab khusus dengan judul “Termasuk keimanan kepada Allah adalah bersabar menghadapi takdir Allah“. Maksudnya adalah takdir yang terasa menyakitkan seperti musibah dan bencana. Iman kepada Allah mencakup iman kepada uluhiyahrububiyah, dan asma’ wa shifat-Nya. Iman kepada takdir merupakan bagian dari iman kepada rububiyah Allah.

Mengimani Allah sebagai Rabb mengandung makna keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta. Sementara takdir Allah merupakan salah satu perbuatan Allah dan kekuasaan Allah. Ketika Allah menakdirkan kita mendapat kebaikan dan nikmat maka yang diperintahkan kepada kita adalah mensyukuri nikmat itu dengan menggunakan nikmat dalam ketaatan. Ketika Allah menakdirkan kita mendapat musibah dan sesuatu yang tidak kita sukai maka yang diperintahkan kepada kita adalah bersabar menerimanya.

Cobaan menempa keimanan

Allah berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh  kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata” (QS. Al-Hajj: 11).

Para ulama tafsir, diantaranya Qatadah dan Mujahid menafsirkan bahwa yang dimaksud beribadah kepada Allah di tepian yaitu di atas keragu-raguan. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah orang munafik. Apabila urusan dunianya baik maka dia pun beribadah tetapi apabila urusan dunianya rusak maka dia pun berubah. Bahkan pada akhirnya dia pun kembali kepada kekafiran. Mujahid menafsirkan “berpaling ke belakang” maksudnya adalah menjadi murtad dan kafir (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/400-401).

Syekh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Sebagian manusia apabila terkena fitnah atau cobaan maka dia pun menyimpang dari agamanya, hal itu disebabkan dia sejak awal tidak berada di atas pondasi yang benar -dalam beragama, pent- …” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hlm. 10).

Beliau juga menjelaskan, “Fitnah-fitnah ini apabila datang, maka manusia menghadapinya dengan sikap yang berbeda-beda. Ada diantara mereka yang tetap tegar di atas agamanya walaupun dia harus mendapati kesulitan-kesulitan bersama itu, dan ada pula orang yang menyimpang; dan mereka yang semacam itu banyak…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hlm. 11).

Hasan al-Bashri Rahimahullah menjelaskan termasuk golongan orang yang beribadah kepada Allah di tepian itu adalah orang munafik yang beribadah kepada Allah dengan lisannya, tetapi tidak dilandasi dengan hatinya (lihat Tafsir al-Baghawi, hlm. 859-860).

Syekh as-Sa’di menafsirkan bahwa termasuk cakupan ayat ini adalah orang yang lemah imannya. Dimana imannya itu belum tertanam di dalam hatinya dengan kuat, dia belum bisa merasakan manisnya iman itu. Bisa jadi iman masuk ke dalam dirinya karena rasa takut -di bawah tekanan- atau karena agama sekedar menjadi adat kebiasaan sehingga membuat dirinya tidak bisa tahan apabila diterpa dengan berbagai macam cobaan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 534).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang paling aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan adalah ketika dunia ini dibukakan untuk kalian sebagaimana ia telah dibukakan untuk orang-orang sebelum kalian. Maka kalian pun berlomba-lomba untuk meraupnya sebagaimana mereka berlomba-lomba untuk meraupnya. Maka dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia membinasakan mereka” (HR. Bukhari).

Syekh Abdul Karim al-Khudhair berkata, “Ujian dalam bentuk kesulitan/musibah bisa dilalui oleh banyak orang. Akan tetapi ujian dalam bentuk kelapangan, terbukanya dunia, dan kekayaan; betapa sedikit orang yang bisa melampauinya. Ini merupakan perkara yang bisa disaksikan oleh semuanya. Kenyataan yang terjadi pada umumnya kaum muslimin ketika dibukakan untuk mereka dunia ternyata mereka justru menyepelekan perintah-perintah Allah ‘Azza wa jalla dan berpaling dari jalan kebenaran. Dan mereka pun menukar nikmat yang Allah berikan dengan kekafiran yang mereka kerjakan…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan min Shahih al-Bukhari, hlm. 13).

Musibah adalah cobaan

Diantara bentuk cobaan itu adalah musibah yang menimpa kaum beriman. Allah berfirman,

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ (٢) وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ(٣)

“Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan begitu saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’ kemudian mereka tidak diberi ujian? Sungguh Kami telah memberikan ujian kepada orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang pendusta” (QS. al-’Ankabut: 2-3).

Musibah dan bencana ini adalah cobaan dari Allah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidaklah menimpakan cobaan atau musibah untuk mencelakakannya, hanya saja Allah memberikan musibah kepadanya untuk menguji kesabaran dan penghambaannya kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah berhak mendapatkan penghambaan dikala susah sebagaimana Dia juga berhak mendapatkan penghambaan di kala senang…” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 4 penerbit Maktabah Darul Bayan).

Ya, dengan adanya musibah dan diikuti dengan kesabaran akan membuahkan keutamaan dan pahala yang sangat besar dari Allah. Allah berfirman,

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar” (QS. Ali ‘Imran: 146).

Allah juga berfirman,

وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. al-Anfal: 46).

Allah berfirman,

مَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya” (QS. at-Taghabun: 11).

Alqomah -seorang ulama tabi’in– mengatakan, “Maksud ayat ini adalah berkenaan dengan seorang yang tertimpa musibah; dia mengetahui bahwa musibah itu datang dari sisi Allah, maka dia pun rida dan pasrah.” Diantara faidah ayat itu adalah bahwa sabar merupakan sebab datangnya hidayah ke dalam hati, selain itu diantara balasan bagi orang yang sabar adalah mendapatkan tambahan hidayah (lihat al-Mulakhkhash fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 278 karya Syekh Shalih al-Fauzan).

Karena itulah tidak heran apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah timpakan musibah kepadanya” (HR. Bukhari). Oleh sebab itulah dikisahkan bahwa sebagian para ulama terdahulu apabila dia melihat bahwa dirinya tidak pernah tertimpa musibah baik berupa tertimpa penyakit/sakit atau yang lainnya maka dia pun mencurigai dirinya sendiri (lihat at-Tam-hid li Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 379).

Dari Anas Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabilah Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya maka Allah segerakan untuknya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman itu akibat dosanya sampai Allah akan sempurnakan hukumannya nanti di hari kiamat” (HR. Tirmidzi dan Baihaqi, dinyatakan sahih oleh al-Albani).

Dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya adanya musibah-musibah adalah salah satu cara untuk menghapuskan dosa-dosa. Selain itu dengan adanya musibah akan membuat orang kembali dan bertaubat kepada Rabbnya. Bahkan dihapuskannya dosa-dosa itu merupakan salah satu bentuk nikmat yang paling agung, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (lihat Ibthal at-Tandid, hlm. 175).

Dengan demikian kesabaran adalah kebaikan yang sangat besar. Sebab dengan bersabar ketika tertimpa musibah akan mendatangkan pahala dan sekaligus menghapuskan dosa-dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang diberikan suatu anugerah yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran” (HR. Bukhari dan Muslim).

Para ulama juga menjelaskan bahwa sabar dalam makna yang luas mencakup sabar dalam melaksanakan perintah dan sabar dalam menjauhi larangan. Selain itu ada juga sabar dalam menghadapi musibah (sebagaimana yang sedang kita bahas). Sabar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan adalah bagian dari syukur kepada Allah; sebab hakikat syukur adalah beramal saleh. Oleh sebab itu dikatakan oleh para ulama salaf bahwa iman mencakup dua bagian; sabar dan syukur.

Dari sini kita juga mengetahui bahwa sesungguhnya sebab kebahagiaan hamba itu ada pada iman dan amal saleh, sabar dan syukur, serta tunduk patuh kepada perintah dan larangan Allah. Allah berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ (١)  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ(٢)  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ(٣)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3).

Demikian pembahasan kita pada kesempatan ini, semoga Allah berikan kemudahan untuk bertemu lagi dalam seri yang akan datang masih bersama risalah al-Qawa’id al-Arba’ karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah.

Barakallahu fiikum.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69221-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-3.html

Amalan Agar Dimudahkan Rezeki dari Imam Nawawi Al Banteni

Setiap  manusia ingin kebutuhan finansial tercukupi. Setiap manusia juga mengiginkan diberikan kemapaman dalam ekonomi.  Untuk itu, segala usaha dilakukan agar mapan secara ekonomi dan mencukupi kebutuhan finansial. Bahkan ada yang rela kerja paruh waktu dan lembur hanya ingin mendapatkan gaji yang lebih.

Di samping itu, ada juga cara yang tak jamak dilakukan manusia untuk cepat kaya. Ada yang memakai jasa jin misalnya. Ada juga pergi kedukun, meminta harta lebih. Tak hanya itu, ada juga melakukan pesugihan di pohon kramat, hutan lebat, makam tua, dan gubugk tua. Semua ini agar memperoleh kekayaan dengan instan.

Pada sisi lain, ada juga yang mengambil jalan nekat. Misalnya menjadi penipu. Tak sedikit orang yang tega menipu saudaranya, hanya untuk memperoleh kekayaan. Pun ada yang tega hati, merampok harta orang lain demi kekayaan.

Semua orang ingin kaya pada hakikatnya, namun ada saja yang menghalangi. Terlebih dalam masa pandemi ini, banyak orang yang sulit memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun sekadar untuk makan dan membayar sewa bulanan kontrakan. Pasalnya, kelesuan aktivitas ekonomi di beberapa sektor.

Agar tidak seperti itu—birahi ingin kaya, justru mengambil jalan yang salah—, ada beberapa amalan yang bisa rutin diamalkan orang yang ingin mudah rezeki. Pasalnya, ketika mencari rezeki, selain ikhtiyar lahiriah, sebaiknya juga dibarengi dengan ikhtiyar batin. Amalan bathin ini untuk mengetuk pintu langit, agar diberi rezeki dari Sang Yang Maha Kaya.

Adapun doa agar dimudahkan rezeki itu terdapat dalam kitab, Maraqil Ubudiyah  karya Syekh Muhammad Nawawi al-Jawiy Al Banteni.  Imam Nawawi Banten mengatakan melazimi membaca surah Asy Syams, al Lail, Al-Falaq, dan An Nas akan memudahkan rezeki. Lebih dari itu, rezekinya mengalir deras seperti air hujan yang jatuh dari langit. Simak penjelasan dalam Maraqil Ubudiyah  berikut ini;

والشمس وضحاها والليل إذا يغشى والمعوذتين} كما قاله القسطلانى فمن قرأ سورة والشمس رزقه الله الفهم  الذكى الفطنة فى جميع الأشياء ومن تلا سورة واليل حفظ من هتك الستر ومن تلا سورة الفلق وقى السوء ومن تلا سورة الناس عصم من البلايز واعيذ من الشيطان ومن دوام على قراءتها كان رزقه كالمطر

Artinya; (Surah Asy Syam, al Lail, dan Muawwizatain—an nas dan Al falaq), sebagaimana  dikatakan oleh Syekh Al Qasthalani,”barang siapa saja yang membaca surah as-syams, maka akan dianugerahkan Allah padanya kemudahan dalam kepandaian dan ketajaman berpikir pada sekalian perkara apapun.

Dan barang siapa saja yang membaca surah Al-lail maka ia akan dipelihara oleh Allah swt daripada terbuka segala aibnya. Barang siapa saja yang membaca surah al falaq, maka akan terpelihara dari keburukan,  dan barang siapa membaca an Nas, maka Allah akan melindunginya dari segala musibah dan syaitan.

Kemudian  barang siapa, senantiasa  melazimi membaca empat  surah (asy Syamsi , al lail, an nas dan al falaq) tersebut setiap hari, maka ia akan di berikan kemudahan rezeki oleh Allah. Rezeki tersebut seperti hujan turun dari langit.

Demikian amalan agar dimudahkan rezeki dari Imam Nawawi Al Banteni. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Adab Islam dalam Bertetangga

ISLAM sangat menekankan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan. Hal ini sering diingatkan oleh Nabi besar Muhammad ﷺ melalui hadis-hadisnya yang menyerukan untuk berbuat baik kepada tetangga tanpa membedakan agama, ras dan warna kulit.

Di antara firman Allah SWT yang menuntut agar terjadi pada tetangga dan menunjukkan adab bertetangga adalah:

وَاعْبُدُوا اللَّـهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Dan hendaklah kamu beribadah kepada Allah dan janganlah kamu sekutukan Dia dengan sesuatu apapun. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga yang jauh, rekan sejawat, musafir yang terlantar dan juga hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS: An-Nisa’:36).

Para ulama menyatakan dalam ayat ini, Allah SWT mengikat ayat tuntutan untuk berbuat baik kepada tetangga dengan ayat tuntutan untuk beribadah kepada Allah SWT tanpa melakukan syirik kepada-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa tuntutan untuk berbuat baik kepada tetangga merupakan tuntutan yang besar seperti halnya tuntutan untuk beribadah kepada Allah SWT. Untuk itu, Allah SWT memberikan azab yang pedih bagi orang yang suka menyakiti tetangganya seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.

Di antara hadits yang menceritakan tentang pentingnya bersikap baik dan memiliki adab bertetangga adalah dari Abi Syuraih RA, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetangganya.” [HR Muslim)

Dari Abdillah bin ‘Amr RA, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ، وَخَيْرُ الجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah orang yang paling baik di antara sahabatnya. Sedangkan tetangga yang terbaik di sisi Allah adalah yang paling baik dengan tetangganya.” [HR: al-Tirmizi, Imam al-Tirmizi).

  • Dari Ibn Umar R.anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

 “Jibril sentiasa berwasiat kepadaku agar berlaku baik kepada tetangga sehingga aku menyangka bahwa tetangga itu akan mewarisi hartaku.” [HR: Bukhari)]

Imam al-Nawawi menukilkan kata-kata daripada Qadhi ‘Iyadh bahwa makna hadis ini adalah siapapun yang beriltizam dengan syariat Islam maka wajib ke atasnya untuk memuliakan atau berlaku baik kepada tetangga dan tetamunya. Semua ini menunjukkan akan kepentingan hak bertetangga serta galakan memeliharanya. Ini karena, Allah SWT telah berpesan atau mewasiatkan agar berlaku baik kepada mereka melalui firman-Nya di dalam al-Quran dan juga hadis Nabi ﷺ . [Lihat: al-Minhaj ‘ala Syarh Sahih Muslim, 18/2]

Demikian itu adalah beberapa buah hadis yang membicarakan berkaitan adab bertetangga karena kedudukan tetangga itu amat tinggi di dalam agama. Berdasarkan masalah di atas, kami ingin menukilkan sebuah kisah yang berlaku di zaman Rasulullah ﷺ  apabila seorang lelaki datang kepadanya dan mengadu akan perihal tetangganya yang suka menyakitinya:

  • Dari Abu Hurairah RA berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْكُو جَارَهُ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَاصْبِرْ. فَأَتَاهُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، فَقَالَ: اذْهَبْ فَاطْرَحْ مَتَاعَكَ فِي الطَّرِيقِ. فَطَرَحَ مَتَاعَهُ فِي الطَّرِيقِ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ فَيُخْبِرُهُمْ خَبَرَهُ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَلْعَنُونَهُ: فَعَلَ اللَّهُ بِهِ، وَفَعَلَ، وَفَعَلَ، فَجَاءَ إِلَيْهِ جَارُهُ فَقَالَ لَهُ: ارْجِعْ لَا تَرَى مِنِّي شَيْئًا تَكْرَهُهُ

Maksudnya: “Telah datang seorang lelaki kepada Nabi ﷺ  mengadu perihal tetangganya. Maka Nabi ﷺ  bersabda: “Pergilah serta bersabarlah.” Setelah itu, lelaki itu datang lagi kepada Rasulullah ﷺ  sebanyak dua atau tiga kali. Lalu Nabi ﷺ  bersabda: “Pergilah dan campakkanlah barang-barang di rumah kamu ke jalan.” Lelaki tersebut kemudiannya mencampakkan barang-barang rumahnya ke jalan hingga menyebabkan orang-orang bertanya kepadanya. Lalu lelaki tersebut menceritakan apa yang berlaku kepada dirinya yang menyebabkan manusia (yang mendengar cerita tersebut) melaknat tetangga tersebut dengan mengatakan: “Allah akan membalas perbuatannya (mendoakan keburukan), Allah akan balas dan Allah akan balas.” Selepas itu, lelaki tersebut didatangi oleh tetangga tersebut dan tetangga itu berkata: “Pulanglah kamu, kamu tidak akan melihat (mendapati) sesuatu yang kamu benci itu lagi.” [Riwayat Abu Daud (5153)][Sanadnya adalah baik menurut Syeikh Syu’aib al-Arna’outh]

Hadis ini menceritakan akan petunjuk Nabi ﷺ  kepada lelaki ini apabila sentiasa disakiti oleh tetangganya. Akan tetapi, berkemungkinan perbuatan atau cara tersebut biasa dilakukan oleh bangsa Arab pada zaman itu tetapi ia tidak lagi sesuai untuk dilakukan pada zaman ini.

Tambahan pula, Imam Ibn Ruslan ketika mensyarahkan hadis ini menyatakan bahwa di dalam hadis ini menunjukkan kelebihan bersabar menghadapi tetangga walaupun perkara tersebut berulang-ulang kali terjadi, di samping berusaha untuk mencegahnya mengikut kemampuan yang ada. Hadis ini juga menunjukkan keharusan berdoa kepada orang yang menyakiti orang lain secara kuat (terang-terangan) sebagai pengajaran kepada orang tersebut serta meninggalkan perbuatan tersebut. [Lihat: Syarah Abi Daud, 440/19]

Seseorang yang disakiti oleh tetangganya sama ada dengan perbuatan atau ucapan perlulah bersabar terlebih dahulu.  Sabar merupakan sifat mulia dan sifat yang dikasihi oleh Allah SWT. Di samping itu juga, seseorang yang disakiti perlulah berusaha dan berikhtiar dengan sehabis-baik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi seperti menasihatinya dengan penuh hikmah, berbuat ihsan (baik) kepadanya walaupun dibalas dengan kejahatan, membantu mereka di dalam kesusahan, menggunakan saluran yang tepat dalam menegur dan lain-lain lagi.

Mudah-mudahan dengan cara sebegini akan melembut hatinya dan tidak lagi akan menyakiti orang tersebut. Selain itu, doa juga merupakan salah satu elemen yang penting dan tidak patut diabaikan karena hanya Allah SWT sahaja yang mampu membaca dan mengubah hati seseorang itu. Sekiranya, seseorang itu telah berusaha dan berikhtiar, memilih berpindah dari tempat tersebut merupakan langkah yang terakhir bagi seseorang yang mampu melakukan sedemikian.

Apa hukumnya menyakiti tetangga?

Di sana terdapat hadis yang menceritakan akan akibat dan balasan yang akan diterima bagi orang yang suka menyakiti tetangganya:

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Tidak akan masuk Surga, orang yang membuat tetangganya tidak merasa aman daripada gangguannya.” [Riwayat Muslim (73)]

Di dalam hadis yang lain pula, juga dari Abu Hurairah RA berkata:

قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا، وَصِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: هِيَ فِي النَّارِ

Telah berkata seorang lelaki kepada Rasulullah ﷺ : “Wahai Rasulullah ﷺ , sesungguhnya wanita ini terkenal dengan banyaknya solat, berpuasa dan bersedekah tetapi dia sentiasa menyakiti tetangganya dengan lidahnya.” Lalu Nabi ﷺ  bersabda: “Dia akan masuk ke dalam neraka.” [Riwayat Ahmad (9675)][Sanadnya adalah hasan berdasarkan penilaian daripada Syeikh Syu’aib al-Arna’outh]

Berdasarkan kedua hadis ini, orang yang suka menyakiti tetangganya sama ada dengan perbuatannya atau lisannya (ucapannya) maka orang seperti ini akan dicampakkan ke dalam api neraka di akhirat kelak walaupun dia merupakan seorang yang banyak melakukan ibadah. Wallahu a’lam.*

HIDAYATULLAH