Benarkah Air Hujan Bisa Digunakan untuk Berobat?

Sebagian kaum muslimin ada yang menyakini bahwa air hujan dapat digunakan untuk berobat, baik untuk mengobati penyakit fisik maupun penyakit non-fisik seperti sihir dan ‘ain. Caranya (klaim mereka), dengan cara diminum ataupun dengan cara dimandikan dengan air hujan. Hal ini tidak tepat, karena perlu dibuktikan terlebih dahulu, apakah ada dalil secara syariat yang menyatakan demikian atau adakah penelitian valid secara kedokteran yang mendukung pernyataan tersebut.

Tidak ada dalil syariat yang menyatakan bahwa air hujan adalah obat.

Syaikh Shalih Al-Munajjid menjelaskan,

ولكن لا ينبغي نسبة الشفاء إلى هذا الماء إلا بدليل ، وإن كانت البركة الثابتة لهذا الماء قد تنفع في العلاج ، ولكن لا نجزم بوقوع العلاج والشفاء ما لم يرد نص شرعي خاص به ، ولا ينبغي الجزم بذلك للناس

“Akan tetapi tidak selayaknya menisbatkan air hujan sebagai obat kecuali dengan dalil, meskipun keberkahan pada air hujan TERKADANG bisa menjadi bermanfaat menjadi obat, akan tetapi memastikan pengobatan dan penyembuhan dengan air hujan tidak ada dalil dalam nash syariat secara khusus. TIDAK LAYAK MEMASTIKAN/MENEGASKAN HAL TERSEBUT (air hujan dapat menjadi obat) kepada manusia.”.[Fatwa Sual Wal Jawab no. 164231]

 

Air hujan memang membawa keberkahan, keberkahan dalam hal ini bersifat sangat umum seperti keberkahan pada rezeki agar selalu dicukupkan dengan qana’ah dan keberkahan pada tubuh agar selalu sehat, akan tetapi poinnya adalah kita tidak boleh mengatakan, memastikan dan menyebarkan pada panusia bahwa air hujan adalah obat secara langsung. Terlebih lagi membawakan dalil-dalil yang tidak pada tempatnya yang mendukung bawah air hujan itu adalah obat.

Demikian juga dalam Fatwa Asy-Syabakiyyah dijelaskan:

فأما الجملة فليس لماء المطر علاقة بعلاج المس والسحر والعين، ولو كان ذلك كذلك لاستعمله النبي صلى الله عليه وسلم حين أصابه السحر

“Tidak ada hubungannya antara air hujan dengan pengobatan sihir dan ‘ain. Sekiranya hal tersebut benar, maka akan diamalkan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam ketika beliau terkena sihir.”[Fatwa no. 137183]

Terdapat salah paham dan terkesan (maaf) “memaksakan dalil” yaitu beranggapan air hujan mengobati sihir dan ‘ain dengan alasan bahwa jin itu diciptakan dengan api dan dapat dihilangkan dengan air hujan. Sebagaimana firman Allah,

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِن مَّارِجٍ مِّن نَّارٍ

“Dan Dia menciptakan jin dari nyala api” [QS. Ar Rahman ayat 14-15.]

Dan firman Allah,

وَالْجَآنَّ خَلَقْنَاهُ مِن قَبْلُ مِن نَّارِ السَّمُومِ

” Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (QS. Al-Hijr: 26-27)

Hal ini tidaklah benar, karena bukan hanya air hujan yang bisa membuat api padam, tetapi semua jenis air, bahkan benda-benda tertentu bisa membuat api menjadi padam.

 

Bagaimana secara kedokteran?

Sampai saat ini kami belum menemukan bukti ilmiah baik berupa penelitian atau jurnal-jurnal terpercaya yang menyatakan bahwa air hujan itu dapat menjadi obat, baik dengan cara diminum atau dimandikan. Dalam dunia medis, klaim “bisa menyembuhkan” itu perlu penelitian yang valid, bukan sekedar testimonial atau pendapat perorangan saja, karena testimoni itu sangat subjektif. Mengenai hal ini, selengkapnya silahkan baca tulisan kami:

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44181-benarkah-air-hujan-bisa-digunakan-untuk-berobat.html

Jejak Dokter Perempuan di Masjid Nabawi dan Kepedulian Rasul

Sumbangsih peradaban Islam terhadap perkembangan dunia kedokteran tak bisa dimungkiri lagi. Ar-Razi, az-Zahrawi, Ibn Zuhr, Ibn Sina dan Ibn an-Nafis hanyalah beberapa ulama atau cendekiawan yang telah banyak berkontribusi pada obat-obatan antara abad kesembilan dan ke-15.

Dilansir New Straits Times, Jumat (16/11), Direktur pada Pusat Studi Ilmu Sains dan Lingkungan Institut Kefahaman Islam Malaysia (Institute of Islamic Understanding Malaysia/IKIM), DR Syekh  Mohd Saifuddeen Syekh  Mohd Salleh mengatakan, bahkan selama masa Nabi Muhammad SAW, bidang pengobatan yang menyerupai prinsip kedokteran sekarang diberi kedudukan.

Nabi Muhammad mendorong para wanita di keluarganya untuk belajar tentang obat-obatan dari wanita lain yang memiliki pengetahuan tentang hal itu. Sangat penting bahwa selama masa Nabi di Madinah, perempuan dihormati karena pengetahuan medis mereka.

Dalam karya at-Thabari yang berpengaruh, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, dinyatakan, perempuan bernama Rufaidah ditunjuk Nabi Muhammad SAW untuk mengelola sebuah rumah sakit lapangan di sekitar Masjid an-Nabawi di Madinah. Rumah sakit lapangan melayani mereka yang membutuhkan perawatan medis, serta tempat penampungan sementara bagi mereka yang baru saja tiba di kota.

Seorang jenderal Muslim, al-Ahnaf Ibnu Qais, yang hidup selama masa Nabi, menekankan bahwa pengetahuan medis adalah salah satu dari tiga bidang pengetahuan penting yang harus dikuasai umat Islam.

Al-Ahnaf disebutkan telah mengatakan tidak ada orang yang berpengetahuan bisa mengabaikan tiga jenis pengetahuan, yakni pengetahuan untuk mempersiapkan dia di akhirat, pengetahuan untuk membantu dia dalam hidupnya di dunia ini dan pengetahuan medis untuk membantunya mengobati penyakit.

Dengan demikian, pengetahuan medis bukanlah hal asing bagi Muslim. Faktanya, dengan banyak inovasi dan kemajuan di bidang medis, kaum Muslim di masa lampau mendorong obat-obatan ke tingkat yang luhur.

Sementara itu, obat modern dibuat di atas pengetahuan medis seperti yang dikembangkan oleh para cendekiawan Muslim di antaranya.

Dalam buku Sejarah dan Peradaban Muslim, Ehsanul Karim menulis bahwa Ibn Sina menciptakan sistem pengobatan di mana praktik medis dapat dilakukan dan di mana faktor fisik dan psikologis, obat-obatan dan diet digabungkan.

Pembedahan modern tidak akan mungkin tanpa sumbangsih pikiran az-Zahrawi, yang dijuluki sebagai penemu pisau bedah, gergaji tulang, tang, gunting halus yang digunakan dalam operasi mata dan tali untuk jahitan internal.

Inokulasi juga bukan hal baru bagi umat Islam. Dua catatan pada 1714 dan 1716 menyoroti metode inokulasi yang digunakan dalam Kekaisaran Utsmaniah, yang kemudian diperkenalkan ke Inggris pada 1721 oleh Lady Mary Wortley Montagu, istri duta besar Inggris untuk Konstantinopel.

 

REPUBLIKA

Beginilah Komitmen Dua Masjid Suci untuk Kaum Disabilitas

Presidensi Umum untuk Urusan Dua Masjid Suci menyediakan fasilitas baru berupa bahasa isyarat, Alquran braile, dan kursi roda listrik di masjid suci Makkah dan Madinah.

Fitur baru itu bertujuan membantu jamaah berkebutuhan khusus yang mengunjungi dua masjid suci.

Dilansir di Arab News pada Ahad (16/12) Presidensi Umum untuk Urusan Dua Masjid Suci menggambarkan jamaah berkebutuhan khusus memiliki motivasi tinggi dalam beribadah.

Karena itu, mereka menyiapkan layanan untuk membantu jamaah tersebut. Layanan itu ditujukan untuk memberi kemudahan dan kenyamanaan, serta menghindari kendala saat musim sibuk.

Salah satu staf di kepresidenan, Ahmed Al-Burqati menjelaskan ada pintu masuk yang ditunjuk untuk memudahkan akses ke tempat-tempat shalat.

Ada juga pena yang berfungsi sebagai pembaca Alquran dan memegangkan Alquran untuk jamaah yang tak bisa membawanya.

Salinan Alquran dan buku lainnya dalam huruf braile juga tersedia. Ada juga spesialis yang membantu dan membimbing jamaah berkebutuhan khusus.

Seorang jamaah umrah asal Mesir, Ahmed Badawi tidak pernah berharap ada layanan seperti itu di Kompleks Masjid al-Haram.

Ada sejumlah layanan khusus lain di masjid-masjid suci, meliputi kursi roda yang diangkut dalam mobil golf ke area shalat, penentuan pintu masuk, menyediakan penerjemah bahasa bagi yang memiliki gangguan pendengaran atau bicara, tongkat untuk tuna netra, kursi roda listrik untuk tawaf.

REPUBLIKA

Percakapan Nabi Isa dan Malaikat Jibril soal Kiamat

JIBRIL bertemu Isa dan berkata kepadanya: “Assalamu ‘alaika ya Ruhullah!” “Wa ‘alaikas-salam ya Ruhullah!” jawab Isa.

Kemudian Isa bertanya: “Ya Jibril, kapan datangnya saat kiamat?” Jibril berdesir dan menjawab: “Yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya. Kiamat amat berat bagi langit dan bumi; dia akan datang kepada kalian secara tiba-tiba.” Dan selain itu dia berkata: “Tentang hal ini hanya Allah yang tahu.”

Keterangan:

Ucapan di atas diriwayatkan oleh pakar hadis ‘Abdallah al-Mawarzi ibn al-Mubarak (… – 181 H) dalam “Kitab al-Zuhd wa al-Raqa’iq”. Bandingkan juga:

QS Al-‘Araf 187

Markus 13: 32 dan Matius 24: 36 di mana Yesus menyatakan bahwa dia dan para malaikat tidak tahu tentang hari dan jam kiamat; hanya Tuhan yang mengetahuinya. []

 

INILAH MOZAIK

Apa Benar Nabi Isa Lahir Bulan Desember?

KITA tahu bahwasanya di antara Nabi-Nabi Ulul Azmi, nabi-nabi yang kita muliakan juga adalah Nabi Isa ‘alaihi salam. Beliau adalah nabi yang kita muliakan. Bahkan beliau dengan ibunya yaitu Maryam itu disebutkan kisahnya dalam satu surat yaitu disebut dengan Surat Maryam.

Di dalam surat ini kita akan mengetahui bagaimanakah Maryam itu melahirkan Nabi Isa dan kita akan mengetahui pula kapankah Nabi Isa itu dilahirkan dan nanti kita bisa bandingkan dengan ajaran Nasrani.

Apakah memang benar natal itu berlangsung pada musim winter atau musim dingin yaitu pada bulan Desember ataukah pada waktu yang lainnya. Kita lihat apa yang disebutkan yaitu dalam Surat Maryam ayat ke 22 sampai 25. Allah berfirman:

“Maka ketika Maryam itu mengandung Nabi Isa lalu ia mengasingkan diri dengan kandungan itu ke tempat yang jauh. Maka ketika rasa sakit ingin melahirkan (berarti ingat ini momen-momen saat Maryam itu akan melahirkan) maka ia menuju ke batang pohon kurma. Lantas Maryam itu mengatakan bahwasanya, “Aduhai alangkah baiknya aku mati sekarang juga dan aku menjadi barang yang tidak berarti lagi dilupakan”.

“Kemudian Malaikat Jibril ketika itu datang menyuruhnya dari tempat yang rendah, ketika itu dikatakan dalam ayat ini, bahwasanya Malaikat Jibril itu datang mengatakan kepada Maryam dari bawahnya, “Janganlah engkau bersedih wahai Maryam, sudah dijadikan oleh Rab-Mu, Allah Ta’ala di bawahmu itu ada sungai yang mengalir”.

Kemudian dikatakan di ayat 25, Allah katakan, disini disebutkan malaikat:

“Memerintahkan dan goyanglah pohon kurma tersebut. (jadi dia tadi bersandar di pohon kurma) dan goyanglah kurma itu ke arahmu (salah satu mukjizat yang di berikan kepada Maryam dia bisa dalam keadaan hamil tua seperti itu dia bisa menggoyangkan pohon kurma) niscaya pohon itu (kata Malaikat) akan menggugurkan buah kurma yang sudah matang kepadamu”

Maka kita lihat, berarti disini Maryam saat itu melahirkan Isa as saat musim kurma itu ada. (Saat-saat musim kurma). Karena dikatakan dalam ayat tadi, Maryam itu mendapatkan apa? Mendapatkan buah kurma yang segar. Berarti buah kurmanya ini baru berbuah ketika itu, pohonnya baru berbuah, lezat dan banyak manfaat.

Lantas kapankah pohon kurma tadi berbuah seperti itu? Kalau kita lihat dan kalau kita pernah hidup di Arab. Di negeri gurun seperti itu tumbuh buah kurma, yang ada buah kurma itu baru ada, pohon kurma. Itu baru panen ketika musim panas yaitu ketika itu suhu diatas empat puluh lima derajat celcius. Keadaannya panas seperti inilah para petani kurma itu mulai panen.

Jadi berarti kalau kita melihat dari apa yang disebutkan Alquran. Maryam itu melahirkan Nabi Isa pada musim kurma yaitu pada musim panas. Dan kalau kita lihat berarti yang disebutkan dalam Alquran bukanlah pada bulan desember Nabi Isa lahir.

Dan ini dalam Kitab Bible yang di pegang orang-orang nasranipun itu menyebutkan demikian pada Bible yang asli pun menyebutkan demikian bahwasanya yang benar Nabi Isa tidak lahir pada bulan Desember yaitu pada musim winter atau musim dingin seperti saat ini. Namun beliau lahir pada musim panas sebagaimana yang dibuktikan juga di dalam Alquran.

Maka kita bisa ambil pelajaran di sini bahwasanya inilah sejarah yang benar. Dan inilah yang sudah di buktikan di Alquran. Dan Alquran itu membenarkan apa yang sudah disebutkan sebelumnya.

Dan kita simpulkan bahwasanya Nabi Isa, nabi kita yang mulia. Nabi diantara nabi ulul azmi dan beliau juga adalah nabi yang dimintai safaatul uzma. Beliau itu dilahirkan pada musim panas dan bukan pada musim dingin, seperti yang diakui orang-orang nasrani.

Jadi prinsip Alquran inilah yang kita pegang yaitu bahwasanya Nabi Isa lahir pada musim panas dan mudah-mudahan aqidah kita semakin lurus dengan memahami hal ini dan tidak tercampur dengan aqidah-aqidah yang lainnya yang dapat merusak prinsip kita dalam beragama.

Demikian mudah-mudahan bermanfaat, semoga Allah memberikan kita taufik untuk mendapatkan aqidah yang benar sesuai apa yang di ajarkan Allah dan rasulnya. Dan kitapun di berikan keistiqomahan diatas ajaran islam yang hakiki ini. [Ustaz Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Tata Cara Shalat Orang Yang Sakit

Agama Islam penuh dengan kemudahan. Semua yang diperintahkan dalam Islam disesuaikan dengan kemampuan hamba. Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Termasuk dalam ibadah shalat, ibadah yang paling agung dalam Islam. Terdapat banyak kemudahan dan keringanan di dalamnya. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas mengenai kemudahan dan keringanan shalat bagi orang sakit.

Orang Yang Sakit Tetap Wajib Shalat

Shalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal. Merekalah mukallaf, orang yang terkena beban syariat. Yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah orang yang bukan mukallaf, yaitu anak yang belum baligh dan orang yang tidak berakal. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

رُفعَ القلمُ عن ثلاثةٍ : عن النائمِ حتى يستيقظَ ، وعن الصبيِّ حتى يحتلمَ ، وعن المجنونِ حتى يعقِلَ

Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal” (HR. An Nasa-i no. 7307, Abu Daud no. 4403, Ibnu Hibban no. 143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3513).

Demikian juga yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah wanita haid dan nifas. Ibunda ‘Aisyah radhiallahu’anha pernah ditanya,

أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ

Apakah kami perlu mengganti shalat kami ketika sudah suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang wanita Haruriyah (Khawarij)? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk menggantinya” (HR. Al Bukhari no. 321).

Ummu Salamah radhiallahu’anha juga mengatakan:

كانت النفساء تجلس على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أربعين يوما

Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam duduk (tidak shalat) selama 40 hari” (HR. Ibnu Majah no. 530, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Maka kita lihat ternyata orang sakit tidak dikecualikan. Sehingga tidak ada udzur untuk meninggalkan shalat selama ia baligh, berakal, tidak haid, dan tidak nifas.

Keringanan-Keringanan Bagi Orang Yang Sakit

1. Dibolehkan untuk tidak shalat berjamaah di masjid

Shalat berjama’ah wajib bagi lelaki. Namun dibolehkan bagi lelaki untuk tidak menghadiri shalat jama’ah di masjid lalu ia shalat di rumahnya jika ada masyaqqah (kesulitan) seperti sakit, hujan, adanya angin, udara sangat dingin atau semacamnya.

Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma:

كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ ‏‏: ” أَلَا صَلُّوا فِي ‏‏الرِّحَالِ ‏” فِي اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوْ الْمَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ

Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu fii rihaalikum/ (shalatlah di rumah-rumah kalian) ketika malam sangat dingin atau hujan dalam safar” (HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

خرجنا مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في سفرٍ . فمُطِرْنا . فقال ” ليُصلِّ من شاء منكم في رَحْلِه “

Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu turunlah hujan. Beliau besabda: ‘bagi kalian yang ingin shalat di rumah dipersilakan‘” (HR. Muslim no. 698).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

صلوا في بيوتكم إذا كان فيه مشقة على الناس من جهة المطر أو الزلق في الأسواق

“Shalatlah di rumah-rumah kalian, maksudnya jika ada masyaqqah (kesulitan) yang dirasakan orang-orang, semisal karena hujan, atau jalan yang licin.”[1]

Dan kondisi sakit terkadang  menimbulkan masyaqqah untuk pergi ke masjid. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun ketika beliau sakit parah, beliau tidak shalat di masjid, padahal beliau yang biasa mengimami orang-orang. Beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menggantikan posisi beliau sebagai imam. ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata:

أن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال في مرَضِه : ( مُروا أبا بكرٍ يصلِّي بالناسِ )

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda: perintahkan Abu Bakar untuk shalat (mengimami) orang-orang” (HR. Bukhari no. 7303).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan:

لقد رَأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّلاةِ إلا منافقٌ قد عُلِمَ نفاقُهُ أو مريضٌ

Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (HR. Muslim no. 654).

Dalil-dalil ini menunjukkan bolehnya orang yang sakit untuk tidak menghadiri shalat jama’ah.

2. Dibolehkan menjamak shalat

Menjamak shalat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah (kesulitan). Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu beliau mengatakan:

جمع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بين الظهرِ والعصرِ ، والمغربِ والعشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مطرٍ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, dan menjamak shalat Maghrib dan Isya, di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan tidak hujan” (HR. Muslim no. 705).

Para ulama mengatakan alasan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak karena ada masyaqqah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

والقصر سببه السفر خاصة ، لا يجوز في غير السفر. وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر

Dibolehkannya men-qashar shalat hanya ketika safar secara khusus, tidak boleh dilakukan pada selain safar. Adapun menjamak shalat, dibolehkan ketika ada kebutuhan dan udzur” (Majmu’ Al Fatawa, 22/293).

Maka, orang yang sakit jika sakitnya membuat ia kesulitan untuk shalat pada waktunya masing-masing, dibolehkan baginya untuk menjamak shalat.

3. Dibolehkan shalat sambil duduk jika tidak mampu berdiri

4. Dibolehkan shalat sambil berbaring jika tidak mampu duduk

Jika orang yang sakit masih sanggup berdiri tanpa kesulitan, maka waijb baginya untuk berdiri. Karena berdiri adalah rukun shalat. Shalat menjadi tidak sah jika ditinggalkan. Dalil bahwa berdiri adalah rukun shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’ shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat Nabi bersabda kepadanya:

ارجِعْ فَصَلِّ فإنك لم تُصلِّ

Ulangi lagi, karena engkau belum shalat

Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap sudah menunaikan shalat. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat yang benar kepadanya dengan bersabda:

إذا قُمتَ إلى الصَّلاةِ فأسْبِغ الوُضُوءَ، ثم اسْتقبل القِبْلةَ فكبِّر…

Jika engkau berdiri untuk shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…” (HR. Bukhari 757, Muslim 397).

Namun jika orang yang sakit kesulitan untuk berdiri dibolehkan baginya untuk shalat sambil duduk, dan jika kesulitan untuk duduk maka sambil berbaring. Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كانتْ بي بَواسيرُ ، فسأَلتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عنِ الصلاةِ ، فقال : صَلِّ قائمًا ، فإن لم تستَطِع فقاعدًا ، فإن لم تستَطِعْ فعلى جَنبٍ

Aku pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda: shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan berbaring menyamping” (HR. Al Bukhari, no. 1117).

Dalam riwayat lain disebutkan tambahan:

فإن لم تستطع فمستلقياً

Jika tidak mampu maka berbaring telentang

Tambahan riwayat ini dinisbatkan para ulama kepada An-Nasa`i namun tidak terdapat dalam Sunan An-Nasa`i. Namun para ulama mengamalkan tambahan ini, yaitu ketika orang sakit tidak mampu berbaring menyamping maka boleh berbaring terlentang.

5. Dibolehkan shalat semampunya jika kemampuan terbatas

Jika orang yang sakit sangat terbatas kemampuannya, seperti orang sakit yang hanya bisa berbaring tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya, namun masih berisyarat dengan kepala, maka ia shalat dengan sekedar gerakan kepala.

Dari Jabir radhiallahu’anhu beliau berkata:

عاد صلى اللهُ عليهِ وسلَّمَ مريضًا فرآه يصلي على وسادةٍ ، فأخذها فرمى بها ، فأخذ عودًا ليصلي عليه ، فأخذه فرمى به ، وقال : صلِّ على الأرضِ إن استطعت ، وإلا فأوم إيماءً ، واجعل سجودَك أخفضَ من ركوعِك

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang yang sedang sakit. Ternyata Rasulullah melihat ia sedang shalat di atas bantal. Kemudian Nabi mengambil bantal tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut lalu mengambil kayu dan shalat di atas kayu tersebut. Kemudian Nabi mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya. Lalu Nabi bersabda: shalatlah di atas tanah jika kamu mampu, jika tidak mampu maka shalatlah dengan imaa` (isyarat kepala). Jadikan kepalamu ketika posisi sujud lebih rendah dari rukukmu“ (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/306, dishahihkan Al Albani dalam Shifatu Shalatin Nabi, 78).

Makna al-imaa` dalam Lisanul Arab disebutkan:

الإيماءُ: الإشارة بالأَعْضاء كالرأْس واليد والعين والحاجب

Al-Imaa` artinya berisyarat dengan anggota tubuh seperti kepala, tangan, mata, dan alis.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin mengatakan:

فإن كان لا يستطيع الإيماء برأسه في الركوع والسجود أشار في السجود بعينه، فيغمض قليلاً للركوع، ويغمض تغميضاً للسجود

“Jika orang yang sakit tidak sanggup berisyarat dengan kepala untuk rukuk dan sujud maka ia berisyarat dengan matanya. Ia mengedipkan matanya sedikit ketika rukuk dan mengedipkan lebih banyak ketika sujud.” [2]

6. Dibolehkan tidak menghadap kiblat jika tidak mampu dan tidak ada yang membantu

Menghadap kiblat adalah syarat shalat. Orang yang sakit hendaknya berusaha tetap menghadap kiblat sebisa mungkin. Atau ia meminta bantuan orang yang ada disekitarnya untuk menghadapkan ia ke kiblat. Jika semua ini tidak memungkinkan, maka ada kelonggaran baginya untuk tidak menghadap kiblat. Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan:

والمريض إذا كان على السرير فإنه يجب أن يتجه إلى القبلة إما بنفسه إذا كان يستطيع أو بأن يوجهه أحد إلى القبلة، فإذا لم يستطع استقبال القبلة وليس عنده من يعينه على التوجه إلى القبلة، يخشى من خروج وقت الصلاة فإنه يصلي على حسب حاله

“Orang yang sakit jika ia berada di atas tempat tidur, maka ia tetap wajib menghadap kiblat. Baik menghadap sendiri jika ia mampu atau pun dihadapkan oleh orang lain. Jika ia tidak mampu menghadap kiblat, dan tidak ada orang yang membantunya untuk menghadap kiblat, dan ia khawatir waktu shalat akan habis, maka hendaknya ia shalat sebagaimana sesuai keadaannya”[3]

Tata Cara Shalat Bagi Orang Sakit

Orang yang sakit tentunya memiliki keadaan yang beragam dan bervariasi, sehingga tidak memungkinkan kami merinci tata cara shalat untuk semua keadaan yang mungkin terjadi pada orang sakit. Namun prinsip dasar dalam memahami tata cara orang sakit adalah hendaknya orang sakit berusaha sebisa mungkin menepati tata cara shalat dalam keadaan sempurna, jika tidak mungkin maka mendekati sempurna. Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

سدِّدوا وقارِبوا

Berbuat luruslah, (atau jika tidak mampu maka) mendekati lurus” (HR. Bukhari no. 6467).

Kaidah fikih yang disepakati ulama:

ما لا يدرك كله لا يترك كله

“Sesuatu yang tidak bisa digapai semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya”

Berikut ini tata cara shalat bagi orang yang kami ringkaskan dari penjelasan Syaikh Sa’ad bin Turki Al-Khatslan[4] dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [5]:

1. Tata cara shalat orang yang tidak mampu berdiri

Orang yang tidak mampu berdiri, maka shalatnya sambil duduk. Dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Yang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak memungkinkan, maka dengan cara duduk apapun yang mudah untuk dilakukan.
  • Duduk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  • Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
  • Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua telapak tangan di lutut.
  • Cara sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan maka, dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika rukuk.
  • Cara tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti biasa.

2. Tata cara shalat orang yang tidak mampu duduk

Orang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil berbaring. Shalat sambil berbaring ada dua macam:

a. ‘ala janbin (berbaring menyamping)

Ini yang lebih utama jika memungkinkan. Tata caranya:

  • Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak bisa menyamping ke kanan maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  • Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
  • Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat.

b. mustalqiyan (telentang)

Jika tidak mampu berbaring ‘ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranya:

  • Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  • Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan diangkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
  • Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat.

3. Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya (lumpuh total)

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya namun bisa menggerakkan mata, maka shalatnya dengan gerakan mata. Karena ini masih termasuk makna al-imaa`. Ia kedipkan matanya sedikit ketika takbir dan rukuk, dan ia kedipkan banyak untuk sujud. Disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun masih sadar, maka shalatnya dengan hatinya. Yaitu ia membayangkan dalam hatinya gerakan-gerakan shalat yang ia kerjakan disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.

Demikian, semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan ‘afiyah dan salamah kepada pembaca sekalian, dan semoga Allah senantiasa menolong kita untuk tetap dapat beribadah dalam kondisi sakit. Wallahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/37763-tata-cara-shalat-orang-yang-sakit.html

Meng-qadha’ Shalat Sunnah Qabliyah Subuh

Keutamaan menjaga shalat sunnah qabliyah subuh

Shalat sunnah dua raka’at qabliyah subuh, atau disebut juga shalat sunnah fajar [1], termasuk di antara shalat sunnah yang ditekankan untuk senantiasa dikerjakan. Shalat ini memiliki keutamaan yang besar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Dua raka’at fajar itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no. 725)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga senantiasa menjaga pelaksanaannya, meskipun beliau dalam kondisi safar (perjalanan jauh), yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga pelaksanaan shalat sunnah yang satu ini.

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

عَرَّسْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ نَسْتَيْقِظْ حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِيَأْخُذْ كُلُّ رَجُلٍ بِرَأْسِ رَاحِلَتِهِ؛ فَإِنَّ هَذَا مَنْزِلٌ حَضَرَنَا فِيهِ الشَّيْطَانُ . قَالَ: فَفَعَلْنَا، فَدَعَا بِالْمَاءِ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ صَلَّى سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَصَلَّى الْغَدَاةَ

“Kami tidur untuk istirahat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terbangun ketika matahari telah terbit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya tiap orang berpegangan dengan tunggangannya. Sesungguhnya tempat ini didatangi oleh setan.” Abu Hurairah berkata lagi, “Kami pun melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau meminta air untuk berwudhu. Lalu beliau mengerjakan shalat (sunnah) dua raka’at. Iqamah kemudian dikumandangkan, dan beliau pun mengerjakan shalat subuh.” (HR. An-Nasa’i no. 623, shahih)

Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar adalah meng-qashar (meringkas) shalat, dan tidak terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi mengerjakan shalat sunnah sebelum atau sesudah shalat wajib, kecuali shalat sunnah witir dan shalat sunnah fajar. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan keduanya, baik dalam kondisi safar atau pun tidak safar (muqim).” (Zaadul Ma’aad, 1: 473)

 

Jika terlewat mengerjakan shalat sunnah qabliyah subuh sebelum shalat subuh

Lalu, bagaimana jika seseorang terlewat mengerjakan shalat sunnah dua raka’at sebelum subuh ini? Misalnya, seseorang yang bangun agak terlambat dan ketika sampai di masjid, dia mendapati shalat jama’ah subuh sudah didirikan, atau sebab-sebab lainnya yang menyebabkan seseorang terlewat mengerjakan pada waktunya (sebelum shalat subuh).

Dalam kondisi tersebut, syariat memperbolehkan untuk mengqadha’ pelaksanaan shalat sunnah qabliyah subuh tersebut. Qadha’ adalah melaksanakan suatu jenis ibadah di luar waktu yang sudah ditentukan untuk ibadah tersebut. Misalnya, seseorang tertidur sehingga terlewat shalat dzuhur dan terbangun ketika waktu ashar. Maka orang tersebut meng-qadha’ shalat dzuhur di waktu ashar.

Adapun qadha’ untuk shalat sunnah qabliyah subuh, terdapat dua waktu yang terdapat penjelasannya dari sunnah, yaitu:

 

Pertama, waktu yang utama

Waktu yang utama untuk meng-qadha’ shalat sunnah qabliyah subuh adalah setelah matahari terbit. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيِ الفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ

“Barangsiapa yang belum melaksanakan shalat dua raka’at fajar, maka hendaklah mengerjakannya setelah matahari terbit.” (HR. Tirmidzi no. 423, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Ke dua, waktu yang diperbolehkan

Dzahir hadits di atas menunjukkan bahwa qadha’ shalat sunnah qabliyah subuh tersebut harus menunggu sampai matahari telah terbit. Akan tetapi, terdapat hadits lain yang menunjukkan bahwa diperbolehkan jika ingin meng-qadha’ shalat tersebut langsung setelah selesai mendirikan shalat subuh.

 

Diriwayatkan dari Qais bin Qahd radhiyallahu ‘anhu,

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَصَلَّيْتُ مَعَهُ الصُّبْحَ، ثُمَّ انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَنِي أُصَلِّي، فَقَالَ: مَهْلًا يَا قَيْسُ، أَصَلَاتَانِ مَعًا ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي لَمْ أَكُنْ رَكَعْتُ رَكْعَتَيِ الفَجْرِ، قَالَ: فَلَا إِذَنْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar (dari rumah), lalu iqamah pun dikumandangkan. Aku shalat subuh bersama beliau. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu, dan menjumpai sedang shalat. Rasulullah bersabda, “Wahai Qais! Bukankah Engkau shalat (subuh) bersama kami? Aku menjawab, “Iya, wahai Rasulullah. Sesungguhnya aku tadi belum mengerjakan shalat sunnah dua raka’at fajar.” Rasulullah bersabda, “Kalau begitu silakan.” (HR. Tirmidzi no. 422, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Hadits ini menunjukkan bolehnya meng-qadha’ shalat sunnah fajar setelah mengerjakan shalat subuh. Sehingga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim di atas dimaknai sebagai perintah anjuran, atau menunjukkan waktu manakah yang lebih utama.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44190-meng-qadha-shalat-sunnah-qabliyah-subuh.html

Kunci Surga: Takwa dan Akhlak yang Baik

DIRIWAYATKAN bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tidak ada sesuatu yang diletakkan di timbangan amal yang lebih berat dari akhlak yang baik. Sesungguhnya orang yang berakhlak baik akan mencapai derajat orang yang salat dan puasa.” (HR Tirmidzi)

Rasulullah ditanya tentang sebab terbanyak manusia masuk ke surga. Beliau bersabda, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” (HR Ahmad)

Selain itu, Hasan al-Basri pernah berkata, “Barangsiapa diberi wajah yang ganteng, akhlak yang baik, dan istri yang saleh maka ia telah diberi kebaikan dunia dan akhirat.”

Begitu pula Al-Junaid berkata tentang keutamaan akhlak baik, “Empat hal yang mengangkat seorang hamba menuju derajat yang paling tinggi, walaupun sedikit amal dan ilmunya, yaitu santun, rendah hati, dermawan, akhlak yang baik.”

Bahkan Al-Fudhail bin ‘Iyadh berujar, “Aku lebih menyukai ditemani seorang fasik yang berakhlak baik daripada seorang ahli ibadah yang berakhlak buruk.”

Kiranya itulah beberapa penuturan Rasulullah dan para alim ulama terdahulu mengenai keuntungan dan keutamaan orang yang berakhlak baik dalam setiap tingkah lakunya.

Semoga kita mampu menyemai dan menumbuh suburkan kebaikan akhlak dalam tiap jiwa kita hingga ajal menjelang. Amin. []

INILAH MOZAIK

Tertutupnya Salah Satu Pintu Surga

PADA suatu hari Harits al-Uqla menangis tatkala mengantarkan jenazah ibundanya.

Dia adalah seorang alim ulama yang seharusnya tabah mendapatkan musibah itu.

Yang seharusnya bersabar mengucapkan Innalillahi wa Inna Ilaihi Roojiuun.

Orangorang yang mendapati dia menangis maka orangorang berkata:

“Kenapa engkau menangis?”, maka dia menjawab: “Bagaimana aku tidak akan menangis, salah satu pintu surga sudah ditutup buatku.”

[Ustaz Dr. Syafiq Basalamah]

 

INILAH MOZAIK

Kuota Haji Indonesia 2019: 210 Ribu

Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin dan Menteri Haji dan Umrah Kerajaan Saudi Muhammad Salih bin Taher Bentin telah menandatangani pakta kerja sama penyelenggaraan haji 2019 di Kantor Kementerian Haji dan Umrah Kerajaan Arab Saudi, Makkah al-Mukarramah, Senin (10/12) kemarin.

Dirjen Penyelenggaan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag, Nizar Ali mengatakan, salah satu yang disepakati dalam pakta kerjasama tersebut yaitu terkait biometrik, kebijakan fast track, dan kuota jamaah haji Indonesia pada penyelenggaraan haji 2019.

Menurut dia, Menag dan Menteri Haji dan Umrah Saudi telah sepakat bahwa kuota jamaah haji Indonesia 1440H/2019M sebanyak 221 ribu, atau masih sama dengan tahun lalu.

“Ya itu kan kesepakatan sudah ada, biometrik dan fast track, kuota jamaah 221.000, kuota petugas 4.100,” ujar Nizar saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (11/12).

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan bahwa kesempatan bertemu Menteri Haji Saudi itu juga digunakannya untuk menyampaikan sejumlah usulan peningkatan layanan terhadap jamaah haji Indonesia.

“Kami usulkan, kebijakan fast track yang tahun lalu telah diterapkan pada 70 ribu jamaah yang berangkat melalui Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pada musim haji 1440H/2019M juga diterapkan di seluruh embarkasi Indonesia,” ucap Lukman.

Selain itu, Lukman juga meminta agar Pemerintah Saudi Arabia tidak menerapkan kebijakan penerbitan visa haji dan umrah yang dikaitkan dengan perekaman biometrik, sehingga tidak membebani calon jamaah haji.

“Menteri Haji sedang mengkaji usulan tersebut dan akan membahasnya secara lebih detail di level teknis,” kata Lukman.