Bagi yang Mau Bermaksiat Bakda Ramadan (1)

SEORANG muslim yang terbaik, ia bisa mengambil pelajaran dari bulan Ramadhan yang telah ia lewati. Tentu saja dengan ia berusaha menjadi lebih baik selepas Ramadhan.

Kalau keadaannya sama saja dengan sebelum Ramadhan atau lebih jelek dari sebelum Ramadhan, sungguh merugi. Karena tanda amalan Ramadhan seseorang diterima, jika selepas Ramadhan menjadi lebih baik. Kebaikan seharusnya diikuti dengan kebaikan selanjutnya, demikian kata para ulama. Harusnya amalan-amalan pada bulan Ramadhan terus dijaga selepas Ramadhan.

Jangan kita menjadi orang yang malah tambah jelek selepas Ramadhan. Sebagaimana kata para ulama, “Bisal qoum laa yarifunallaha illa fii Ramadhan, sejelek-jelek orang adalah yang mau beribadah kepada Allah hanya pada bulan Ramadhan saja.”

Bagi yang mau bermaksiat bada Ramadhan, coba renungkan empat nasihat berikut:

Pesan pertama: Hendaklah bertakwa kepada Allah dan mengoreksi setiap amalan kita.

Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Maksud ayat ini kata Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Lihatlah apa yang telah kalian siapkan untuk diri kalian berupa amal shalih untuk hari di mana kalian akan kembali dan setiap amal kalian akan dihadapkan kepada Allah.”

inilah mozaik

Islam Tinggal Nama, Alquran Tinggal Tulisannya

DARI Ali radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Hampir datang kepada manusia suatu zaman ketika Islam tinggal namanya, Alquran tinggal tulisannya, dan masjid-masjid mereka megah tetapi jauh dari hidayah. Ulama-ulama mereka jahat, dari mereka keluar fitnah, dan kepada mereka fitnah itu kembali.” (HR Baihaqi dalam Asy-Syu’ab)

Artinya, syiar Islam seperti salat, zakat, maupun haji telah habis dan hilang, dan ilmu-ilmu alquran telah hilang pula. Adab dan penulisannya tinggal tradisi bukan sebagai ibadah dan kajian terhdap ilmu.

Ath-Thibi berkata, “Untuk Alquran disebutkan tinggal tulisan saja, sedangkan Islam disebutkan tinggal namanya saja. Ini menunjukkan pentingnya penjagaan terhadap tajwid, makharijil huruf, serta ilmu di dalamnya, di samping memikirkan makna menjalankan perintah dan meninggalkan larangannya.

Tidak demikian halnya dengan Islam, namanya tetap, masih ada, bahkan ia masih diajarkan, tetapi pengamalannya sudah tidak ada dan tidak dirasakan lagi. Sebagai contoh adalah salat, zakat, dan amar ma’ruf, betapa umat Islam pada saat ini telah banyak meninggalkan dan melalaikannya.” [40 Hari Menuju Kematian]

INILAH MOZAIK

Mengenal Sosok Syekh Umar Bin Abdullah Al-Khatib

Di tengah-tengah heterogenitas masyarakat Singapura, ternyata negeri jiran ini juga memiliki deretan tokoh ulama yang karismatik dan disegani. Satu di antara sekian nama yang mendapat tempat di hati umat Islam Singapura adalah Syekh Umar bin Abdullah al-Khatib.

Tak heran bila kepergian tokoh keturunan Yaman Selatan yang menghadap Sang Khalik pada 22 September 1997 itu menyisakan kedukaan yang mendalam bagi Muslim Negeri Singa Putih itu. Bahkan, dunia Islam ikut kehilangan sosok yang semasa hidupnya membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah SWT dan beramal sosial terhadap sesama.

Tokoh kelahiran Tarim, Yaman Selatan, pada 1907 tersebut terkenal dengan ilmunya yang luas. Masyarakat Muslim dari berbagai etnis di Singapura berbondong-bondong mengikuti kelas bimbingannya yang diadakan hampir setiap hari dan malam.

Kelas tadarusnya itu bahkan kemudian terkenal hingga ke mancanegara dan juga diketahui oleh para ulama luar negeri.

Bahkan, namanya masuk ke dalam deretan ulama yang wajib dikunjungi majelis taklimnya kala bertandang ke Asia Tenggara. Ada juga yang datang ke Singapura khusus untuk menemuinya atau mengambil ijazah atau sanad ilmu.

Menariknya, sekolah dan majelis yang ia kelola terbuka untuk umum dan gratis, alias tidak dipungut biaya. Walaupun begitu, rezeki dan hidayah dari Allah SWT senantiasa tetap tercurah datang kepadanya. Bukan hanya dari murid-muridnya, banyak masyarakat umum yang mengenalnya mengajukan diri sebagai donatur.

Rezeki yang didapat sering kali ia sumbangkan kepada keluarga miskin dan panti asuhan. Tak hanya di Singapura, tetapi juga pada keluarga miskin dan panti asuhan yang berada di negeri asalnya. Peran dan jasa Syekh Umar dalam menegakkan syiar Islam di Singapura sangat besar.

Berkah keluarga Syekh Umar lahir dari keluarga yang taat menjalankan agama. Bukan hanya Syekh Umar, banyak dari keluarga besarnya yang menjadi ulama. Sejak kecil, ia telah berguru pada ulama-ulama ternama di negerinya. Setidaknya, ia telah menimba ilmu kepada lebih dari 70 ulama andal di kawasan Jazirah Arab. Sebagian besar ulama Hadramaut telah ia datangi untuk menimba ilmu dari mereka.

Dari sekian nama gurunya, yang tersohor adalah Syekh Abubakar bin Abdullah al-Khatib, Abdur Rahim bin Abdullah bin Salim al-Khatib, Habib Abdur Rahman bin Ubaidillah as-Segaf, Habib Alwi bin Abdur Rahman al-Seri, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, guru yang paling ia segani dan kenang sepanjang masa adalah Habib Abdullah bin Idrus bin Alwi al-Idrus.

Umar kecil sudah menunjukkan kemampuan dan kecerdasan dalam mempelajari syariat Islam. Ia berhasil menghafal Alquran pada usia yang relatif muda, yakni sembilan tahun. Kemampuannya menguasai gramatikal bahasa Arab juga tak diragukan, seperti balaghah, nahwu, dan syair.

Kredibilitas intelektual Syekh Umar pun tersiar seantero Tarim. Sejumlah ulama pernah menawarkanya untuk memegang jabatan sebagai kadi di kota tersebut. Akan tetapi, karena merasa masih belum sanggup, ia menolak tawaran dengan bijaksana.

Pada 1935, Syekh Umar memutuskan untuk berhijrah ke luar negeri, yakni ke Singapura. Selain untuk mencari penghidupan yang lebih baik, ia pun telah berniat mendakwahkan Islam di negeri ini. Ia memulai hidup di Singapura dengan bekerja sebagai pegawai di salah satu lembaga pertanahan.

Kemudian, dia mencoba berdagang secara kecil-kecilan. Namun, sesibuk apa pun dia dengan urusannya, dia tetap tidak mengenyampingkan perhatiannya terhadap majelis ilmu.

Ia selalu menyempatkan mengikuti majelis pengajian. Pada 1967, ia memutuskan berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan juga memperdalam ilmu agama. Kurang lebih 10 tahun ia di Tanah Suci, sebelum akhirnya kembali lagi ke Singapura pada pertengahan 1977 dan kembali memperkokoh dakwah di Negeri Singa Putih itu.

Kredibilitas intelektual Syekh Umar pun tersiar seantero Tarim. Sejumlah ulama pernah menawarkannya jabatan kadi, tetapi ia tolak.

Pribadi yang murah hati dan enggan dipuji

Syekh Umar dikenal sebagai seorang yang ramah, jujur, dan rendah hati. Ia selalu berhati-hati dalam berkata-kata, terutama kepada orang yang lebih tua.

Seorang muridnya, Hasan, menceritakan bagaimana gurunya itu menunjukkan rasa hormat kepada para senior dan ulama-ulama yang berilmu.

Sewaktu pengajian berlangsung di kediamannnya, di wilayah Serangoon, Singapura, tampak Syekh Umar memberikan penghormatan. Saat itu, hadir beberapa orang yang lebih tua dibanding usianya, seperti, Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, mufti Johor pada masa itu, dan Syekh Abdullah bin Syekh Balfaqih.

Ketika pulang, salah satu sahabatnya yang lebih tua, Habib Muhammad, berkata kepada Syekh Umar, “Kamu sungguh alim!” Namun, Syekh Umar menolak pujian itu dan berkata, “Tidak, kamulah yang alim!” Keduanya mengulang perkataan tersebut lebih dari 10 kali. Kisah tersebut menunjukkan kerendahan hati, tawadu, dan enggan dengan pujian.

Ini adalah akhlak mulia yang ditampilkan oleh dua ulama besar yang berharap agar sang teman mendapatkan tempat yang lebih baik dan tinggi di hadapan Allah SWT.

 

REPUBLIKA

11 Bulan ke Depan yang Penuh Duri

Suatu hati, Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab tengah berbincang. Ubay bertanya kepada Umar tentang makna takwa. Khalifah kedua ini malah balik bertanya, Pernahkah engkau berjalan di tempat yang penuh duri?Ubay bin Ka’ab menjawab, Ya, pernah. Apakah yang engkau lakukan? tanya Umar kembali.

“Tentu aku sangat berhati-hati melewatinya! jawab Ubay bin Ka’ab. Itulah yang dinamakan takwa, ujar Umar.

Apakah yang dikatakan Sayyidina Umar akan dihadapi umat Islam selama 11 bulan ke depan. Ramadhan telah dilalui, dengan beragam ilmu di dapat. Sikap disiplin, welas asih, sabar, dan lainnya telah kita pelajari selama sebulan. Ujian sesungguhnya bukan di bulan Ramadhan melainkan setelah Ramadhan. Di bulan-bulan berikutnya, kita akan tahu apakah Ramadhan telah mengubah kita?

Sekiranya, Ramadhan merupakan anuegerah bagi umat Islam. Dalam setahun, ada satu lagi nikmat yang harus disyukuri. Ketika memasuki bulan Rajab, Rasulullah SAW selalu memanjatkan doa, Ya Allah anugerahkan kami keberkahan di bulan Rajab dan Syaban, serta sampaikan kami bulan Ramadhan dan wujudkanlah tujuan kami.”. Dari doa Rasulullah ini, dapat simpulkan betapa istimewanya Ramadhan. Keistimewaan inilah yang harus kita jaga.

Kuncinya adalah Istiqomah. Manusia itu bila diibaratkan seperti sinyal ponsel. Kadang naik. Kadang Turun. Kadang banyak turunnya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan ‘Rabb kami ialah Allah,” kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) berdukacita.  Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang mereka  kerjakan.” (QS al-Ahqaf [46] : 13-14).

Ayat tersebut memberikan petunjuk kepada kita, akan pentingnya istiqamah. Apa itu Istiqamah? Begini cirinya, seseorang yang istiqamah tak ada sedikit pun di hatinya rasa ragu lagi bimbang. Ia teramat yakin  sehingga ia terus melaju dalam rel keimanan. Tak pula didapati dalam hati orang yang istiqamah  kesedihan. Ia bergembira, maka ia ingin terus mempertahankan kegembiraan itu.

Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Mohammad Siddik dalam tulisannya yang dimuat di Republika.co.id, menyebut untuk menjadi Istiqamah ada caranya. Pertama, kita harus menguatkan keyakinan jika Allah SWT. Selanjutnya memperbanyak istighfar, berkumpul dengan orang saleh, dan memperbanyak belajar dari kaum Muslimin.

Pimpinan Majelis Zikir Az-Zikra, Ustaz Muhammad Arifin Ilham menuliskan, amal istiqamah adalah amal malaikat. Seperti kita tahu, dari awal penciptaannya, malaikat terus beribadah dan tidak pernah bermaksiat kepada-Nya. Berarti orang yang istiqamah sedang beramal sebagaimana amal malaikat. Dan, karena itu sangat dikaguminya.

Dalam petuahnya Hujattul Islam, Imam Al Ghazali pernah bertanya kepada murid-muridnya. Apakah yang paling besar di dunia ini. Mendengar pertanyaan tersebut, para murid ada yang menjawab, gunungm matahari, bumi dan lainnya. Lalu beliau menjawab, yang paling besar di dunia ini adalah hawa nafsu.

Kata kunci dari fitrah adalah hawa nafsunya bisa dikendalikan. Karena semua yang mengotori fitrah manusia adalah hawa nafsu.Pakar Fiqih Muamalah, Ustaz Oni Sahroni menyebut, kemampuan manusia menjaga hawa nafsu akan melindungi dirinya dari hal buruk seperti korupsi dan tidak amanah.

Ustaz Hasan Basri Tanjung dalam bukunya Karunia Tak Ternilai menuliskan Idul Fitri akan melahirkan manusia yang mencintai kebenaran, kebaikan dan keindahan yang merupakan nilai-nilai universal. Ia kemudian menjadi tipe manusia yang positif, kontributif, dan produktif.

Manusia-manusia inilah yang akan optimistis menghadapi 11 bulan ke depan. Ingat, tahun politik, tak lama lagi datang. Dapat dipastikan, suhu akan memanas. Manusia-manusia lulusan Ramadhan yang akan membuat perbedaan. Ia akan santun saat memilih dan bijak ketika melihat perbedaan.

Perhatikan sabda Nabi SAW, yakni Sebaik-baiknya manusia di sisi Allah adalah manusia yang paling banyak manfaatnya bagi sesama. Rasulullah mendorong setiap individu untuk mengambil peran, berbagi kelebihan (ilmu, harta, tenaga, dan kekuasaan) kepada insan yang kurang beruntung. Menjadi bagian dari solusi, dan bukan menjadi bagian dari masalah.

Selamat Idul Fitri, Mohon Lahir dan Batin. Selamat datang manusia Ramadhan..

oleh Agung Sasongko, Penulis adalah redaktur Republika.co.id

 

REPUBLIKA

Akikah dan Kurban Digabungkan, Bolehkah?

Akikah dan kurban adalah dua ibadah yang sama-sama menyembelih hewan. Keduanya sama-sama dihukumi sunah mu’akkadah (yang sangat dianjurkan) pelaksanaannya. Waktu pelaksanaan masing-masing juga jelas. Kurban pada hari raya Idul Adha dan tiga hari tasyrik, sedangkan akikah pada hari ketujuh, ke-14, dan ke-21 kelahiran.

Lantas, jika waktu akikah dan kurban bertepatan, apakah boleh pelaksanaannya sekaligus saja? Artinya, ada satu amalan dilakukan dengan dua niat, yaitu niat berkurban dan niat berakikah. Permasalahan juga timbul bagi mereka yang telah dewasa dan belum sempat diakikahkan oleh orang tuanya. Jika ia mempunyai kesanggupan, manakah yang lebih utama baginya, berkurban atau mengakikahkan dirinya terlebih dahulu? Atau, bisakah kedua-duanya digabung terlaksana sekaligus?

Tentang permasalahan ini, ada perbedaan pendapat ulama. Ada yang mengatakan, jika waktu kurban bertepatan dengan waktu akikah, cukup melakukan satu jenis sembelihan saja, yaitu akikah. Pendapat ini diyakini Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali), Abu Hanifah (Mazhab Hanafi), dan beberapa ulama lain, seperti Hasan Basri, Ibnu Sirin, dan Qatadah.

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan kurban, maka kurban tersebut bisa jadi satu dengan akikah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika kurban digabungkan dengan akikah,” demikian seperti diterangkan dalam kitab Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah.

Mereka berdalil, beberapa ibadah bisa mencukupi ibadah lainnya seperti dalam kasus kur ban bisa mencukupi akikah atau sebaliknya. Sebagaimana seorang yang menyembelih dam ketika menunaikan haji tamattu’. Sembelihan tersebut ia niatkan juga untuk kurban, maka ia mendapatkan pahala dam dan pahala kurban. Demikian juga shalat Id yang jatuh pada hari Jumat, maka diperbolehkan tidak mengikuti shalat Jumat karena sudah menunaikan shalat Id pada paginya.

Sedangkan pendapat dari Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i), Imam Malik (Mazhab Maliki), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan tidak boleh digabung. Alasannya, karena keduanya mempunyai tujuan yang berbeda dan sebab yang berbeda pula. Misalkan, dalam kasus pembayaran dam pada haji tamattu’ dan fidyah. Keduanya tidak bisa saling mencukupi dan harus dilaksanakan terpisah.

Masalah ini menyimpulkan, tidak seluruh jenis ibadah yang bisa digabung pelaksanaannya dalam dua niat sekaligus. Kurban dan akikah masuk dalam kategori ini. Tujuan kurban adalah tebusan untuk diri sendiri, sedangkan akikah adalah tebusan untuk anak yang lahir. Jika keduanya digabung, tujuannya tentu akan menjadi tidak jelas.

Ini ditegaskan dalam Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah yang menyebutkan, “Akikah dilaksanakan untuk mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan kurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).”

Bahkan, salah seorang ulama Syafi’iyah, al- Haitami, menegaskan, seandainya seseorang berniat satu kambing untuk kurban dan akikah sekaligus, keduanya sama-sama tidak dianggap. “Inilah yang lebih tepat karena maksud dari kurban dan akikah itu berbeda,” tulis Al Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj.

Pandangan ulama yang lebih kuat dalam dua perbedaan pendapat ini adalah pendapat yang tidak membolehkan untuk menggabung pelaksanaan akikah dan kurban. Terkecuali, waktu akikah pada hari ke-7, ke-14, atau ke-21 kelahiran anak bisa bertepatan jatuh pada hari berkurban. Maka, mereka yang tidak punya kemampuan lebih untuk menyembelih hewan, bisa meniatkan untuk dua pelaksanaan sekaligus, yaitu melaksanakan akikah sekaligus bisa pula berkurban.

Pendapat ini pernah difatwakan Syekh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Dalam Majmu’ Fatawa wa Rosail Al Utsaimin dijelaskan, mereka yang punya kecukupan rezeki dan ada dalam posisi ini, maka hendaklah menyembelih dua ekor kambing jika anaknya laki-laki. Hal itu disebabkan wajibnya akikah untuk anak laki-laki memang menyembelih dua ekor kambing.

Adapun mereka yang telah mencapai usia dewasa, sementara belum diakikahkan orang tuanya, maka tidak wajib baginya mengakikahkan dirinya sendiri. Inilah pendapat ulama yang lebih kuat dari Mazhab Syafi’i dan Hanbali. Akikah hanya menjadi tanggung jawab orang tuanya, atau mereka yang menanggung beban nafkah atasnya. Jadi, ia bisa melakukan kurban dan tidak perlu lagi memikirkan akikah untuk dirinya.

Sementara, beberapa ulama dari Hanbali lainnya memang mengatakan, boleh melakukan akikah kapan pun. Menurut mereka, waktu menunaikan akikah tidak dibatasi (seperti pendapat yang lebih kuat mengatakan hari ke-7, ke-14, dan ke-21). Jadi, mereka yang memegang pendapat ini, ketika sudah mampu, ia disukai jika dia mengakikahkan dirinya sendiri. Namun, pendapat ini lemah dan tidak dianjurkan untuk diikuti. Demikian seperti diterangkan dalam Kitab Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu.

Adapun orang yang sudah dewasa dan ingin mengakikahkan dirinya sendiri sekaligus menunaikan kurban, maka perilaku seperti ini dilemahkan para ulama dan tidak dianjurkan untuk diikuti. Wallahu’alam.

REPUBLIKA

Umar Bin Abdul Aziz, Contoh Penguasa Sederhana dan Adil

Saat itu tengah malam di Kota Madinah. Kebanyakan warga kota sudah tidur. Khalifah Umar bin Khattab berjalan menyelusuri jalan-jalan di kota. Dia coba untuk tidak melewatkan satu pun dari pengamatannya.

Menjelang dini hari, pria ini lelah dan memutuskan untuk beristirahat. Tanpa sengaja, terdengarlah olehnya percakapan antara ibu dan anak perempuannya dari dalam rumah di dekat dia beristirahat.

“Nak, campurkanlah susu yang engkau perah tadi dengan air,” kata sang ibu.

“Jangan, Bu. Amirul mukminin sudah membuat peraturan untuk tidak menjual susu yang dicampur air,” jawab sang anak.

“Namun, banyak orang melakukannya, Nak, campurlah sedikit saja. Insya Allah Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” kata sang ibu mencoba meyakinkan anaknya. “Ibu, Amirul Mukminin mungkin tidak mengetahuinya. Tapi, Rabb-nya dari Amirul Mukminin pasti melihatnya,” tegas si anak menolak.

Mendengar percakapan ini, berurailah air mata Umar. Sehabis memimpin shalat Subuh berjamaah di masjid, ia memanggil putranya dan berkata, “Wahai Ashim putra Umar bin Khattab. Sesungguhnya tadi malam saya mendengar percakapan istimewa. Pergilah kamu ke rumah si anu dan selidikilah keluarganya.”

Ashim pun melaksanakan perintah ayahandanya. Sekembalinya dari penyelidikan, dia menghadap ayahnya dan mendengar ayahnya berkata, “Pergi dan temuilah mereka. Lamarlah anak gadisnya itu untuk menjadi istrimu. Aku lihat insya Allah ia akan memberi berkah kepadamu dan anak keturunanmu. Mudah-mudahan pula ia dapat memberi keturunan yang akan menjadi pemimpin bangsa.”

Maka, kemudian menikahlah Ashim dengan anak gadis tersebut. Dari pernikahan ini, Umar bin Khattab dikaruniai cucu perempuan bernama Laila, yang nantinya dikenal dengan Ummi Ashim. Suatu malam setelah itu, Umar bermimpi. Dalam mimpinya, dia melihat seorang pemuda dari keturunannya, bernama Umar, dengan kening yang cacat karena luka.

Umar melihat pemuda tersebut memimpin umat Islam seperti dia yang sedang memimpin umat Islam. Mimpi ini diceritakan hanya kepada keluarganya. Saat Umar meninggal, cerita ini tetap terpendam di antara keluarganya.

Pada saat Amirul Mukminin Umar bin Khattab terbunuh pada 644 M, Ummi Ashim turut menghadiri pemakamannya. Kemudian, Ummi Ashim menjalani 12 tahun kekhalifahan Usman bin Affan sampai terbunuh pada 656 M. Setelah itu, Ummi Ashim juga ikut menyaksikan lima tahun kekhalifahan Ali bin Abi Thalib hingga akhirnya Muawiyah berkuasa dan mendirikan Dinasti Umayyah.

Kelahiran Umar bin Abdul Aziz

Ketika beranjak dewasa, Ummi Ashim menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan. Abdul Aziz adalah gubernur Mesir pada era Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M), yang merupakan kakaknya. Dari perkawinan itu, lahirlah Umar bin Abdul Aziz. Beliau dilahirkan di Halawan, kampung yang terletak di Mesir, pada 61 H. Ia memiliki ciri fisik; badannya kurus, kedua matanya cekung, dan parasnya tampan.

Umar kecil hidup dalam lingkungan istana. Saat masih kecil, Umar pernah mengalami kecelakaan. Tanpa sengaja, seekor kuda jantan menendangnya sehingga keningnya robek yang menyebabkan tulang keningnya terlihat. Semua orang panik dan menangis, kecuali Abdul Aziz seketika tersentak dan tersenyum, seraya mengobati luka Umar kecil.

“Bergembiralah engkau, wahai Ummi Ashim. Mimpi Umar bin Khattab, insya Allah, terwujud. Dialah anak dari keturunan Umayyah yang akan memperbaiki bangsa ini.”

Umar dikenal sebagai salah seorang ahli fikih dari golongan sahabat. Dia meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik, Sa’id bin Musayyab, Sahl bin Sa’ad, dan Abdullah bin Ja’far. Sementara, para ulama yang meriwayatkan hadis darinya adalah Raja’ bin Hayawah, Ibnu al-Munkadir, dan az-Zuhri.

Dia belajar ilmu agama dari para ulama Quraisy, berakhlak seperti mereka, dan hal ini menjadikan dia sangat terkenal. Setelah kematian ayahnya, pamannya, Abdul Malik, mengambilnya untuk hidup bersama anak-anaknya. Selain itu, Abdul Malik juga menawarkan kepadanya untuk menikahi salah satu dari putrinya. Dia menikah dengan putrinya yang bernama Fathimah.

Semasa Khalifah Walid bin Abdul Malik memerintah, beliau memegang jabatan gubernur Madinah. Ketika itu usianya lebih kurang 28 tahun. Pada zaman Sulaiman bin Abdul Malik memerintah, beliau dilantik menjadi menteri sekaligus penasihat utama khalifah. Pada masa itu, usianya baru menginjak 33 tahun.

Menjadi khalifah

Atas wasiat yang dikeluarkan oleh Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah. Beliau dilantik menjadi khalifah selepas kematian Sulaiman bin Abdul Malik pada 99 H. Usianya saat itu memasuki 37 tahun. Dia menjadi khalifah kedelapan Bani Umayyah.

Ketika sampai di rumah, dari pemakaman Sulaiman dan dibaiatnya sebagai khalifah, Umar terlihat sangat sedih. Salah seorang budaknya menanyakan gerangan penyebabnya. “Orang seperti saya harus merasa sedih. Saya ingin memberikan hak kepada semua rakyat tanpa dia menulis surat dan menuntut kepadaku,” jelas Umar.

Setelah diangkat sebagai khalifah, dia berpidato di hadapan rakyatnya, “Wahai para manusia, sesungguhnya tidak ada lagi kitab suci setelah Alquran, tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Tugas saya adalah bukan mewajibkan, tetapi sebagai pelaksana. Seorang yang melarikan diri dari seorang imam yang zalim, dia tidak salah. Ketahuilah ketaatan kepada makhluk hidup itu tidak diperbolehkan, apabila sampai melanggar Sang Pencipta.”

Begitu secara resmi menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan para ahli fikih yang ada di Madinah. Dia meminta kepada mereka untuk menulis suatu kezaliman yang mereka lihat atau merampas hak orang lain. Mengenai hal ini, ia juga pernah menulis surat kepada salah seorang gubernurnya. “Jika kamu mampu berbuat zalim kepada seseorang, ingatlah akan kemampuan Allah SWT Yang Mahatinggi kepadamu.”

Selama melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, waktunya begitu singkat. Umar bin Abdul Aziz hanya memerintah sekitar dua tahun lima bulan. Dia wafat pada Rajab tahun 101 H/719 M ketika berusia 39 tahun.

Kendati singkat, selama pemerintahannya, umat Islam merasakan ketenangan dan kedamaian. Sebab, sang khalifah telah memberi contoh dan teladan yang luar biasa bagi umat. Setelah wafatnya, kekhalifahan digantikan oleh iparnya, Yazid bin Abdul Malik.

Muhammad bin Ali bin al-Husin berkata tentang beliau, “Kamu telah mengetahui bahwa setiap kaum mempunyai seorang tokoh yang menonjol. Dan, tokoh yang menonjol dari kalangan Bani Umayyah ialah Umar bin Abdul Aziz. Beliau akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak seolah-olah beliau satu umat yang berasingan.”

Pemeluk Islam di Jepang Naik 25 Kali Lipat

Jumlah umat Islam di Jepang saat ini sekitar 160.000 orang. Angka ini masih kecil dan membuat Islam masih menjadi minoritas di Negara Sakura. Akan tetapi, dibanding 50 tahun lampau, terjadi kenaikan hampir 25 kali lipat jumlah masyarakat Jepang yang memeluk Islam.

“Sebelum 50 tahun lalu, jumlah umat  Islam di Jepang hanya sekitar 3.000 orang, jadi jika membanding dengan keadaan sekarang, ada kenaikan. Kondisi ini memperlihatkan masyarakat Jepang tertarik pada Islam mulai meningkatkan,” kata Amin K. Tokumasu, Ketua Organisasi Islam Jepang, yang ditemui usai forum ‘high level consultation of world muslim scholars on wasatyyat Islam‘ yang diselenggarkan Indonesia di Bogor, Jawa Barat, 2 Mei 2018.

Menurutnya, ketertarikan masyarakat Jepang pada Islam akan semakin meningkat di masa mendatang karena Jepang dan negara-negara Islam telah memiliki hubungan yang baik, terutama di bidang ekonomi. Dengan begitu, ada banyak kesempatan bagi masyarakat Jepang untuk bertemu dengan masyarakat Muslim dari negara-negara Islam.

Hampir sama dengan pemeluk Islam di belahan negara lain, masyarakat Muslim Jepang menghadapi tantangan menyusul tingginya tindakan terorisme atas nama Islam. Hal ini dirasakan pula oleh kedua anak Tokumasu.

“Ketika ada aksi terorisme di sejumlah negara-negara, anak-anak saya dituding sebagai ‘pembunuh’. Itu karena adanya kesalahan informasi di kalangan masyarakat Jepang tentang Islam. Pemeluk agama Islam itu banyak, jadi ada beberapa pihak yang berbuat anarki bahkan membunuh, tetapi saya rasa kondisi ini terjadi di hampir semua agama. Sayangnya, sejumlah media seolah menggambarkan Islam sebagai pembunuh. Para pelaku teror mengira ini adalah jihad dan sebagian kelompok menilai Islam sebagai pembunuh karena mereka tidak bisa membedakan,” kata Tokumasu kepada Tempo, Rabu, 2 Mei 2018.

Agama terbesar di Jepang adalah Shinto yang menyembah banyak dewa. Pemeluk agama terbanyak kedua adalah Budha. Masyarakat Jepang tidak begitu mempersoalkan agama, tetapi Tokumasu meyakinkan mereka menjunjung tinggi sikap saling menghormati

TEMPO

Cara Memilih Pemimpin Menurut Islam

DISEBUTKAN dalam riwayat Bukhari,

Ketika Khalifah Umar bin Khatab mendekati ajalnya, beliau menunjuk enam orang yang bertanggung jawab memilih penggantinya. Beliau mengatakan,

“Saya tidak menjumpai orang yang lebih berhak untuk memegang tampuk kekhalifahan ini, selain sekelompok orang ini, yaitu orang-orang yang ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, beliau rida kepada mereka.”

Kemudian Umar menyebut beberapa nama, diantaranya, Ali, Utsman, az-Zubair, Thalhah, Sad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf.

Usai pemakaman jenazah Umar radhiyallahu anhu, enam orang ini berkumpul. Abdurrahman memimpin rapat. Beliau mengatakan, “Limpahkan wewenang kepemimpinan kepada tiga orang di antara kalian.”

Artinya, kerucutkan calon khalifah menjadi tiga orang. Az-Zubair mengatakan, “Aku limpahkan urusan ini kepada Ali.” Thalhah mengatakan, “Aku limpahkan urusan ini kepada Utsman.” Sementara Sad melimpahkan urusannya kepada Abdurrahman bin Auf.

Seketika, Abdurrahman mengarahkan kepemimpinan kepada Ali dan Utsman, “Siapa di antara kalian yang menyatakan tidak bersedia menjadi khalifah, akan aku pilih sebagai khalifah. Allah akan menjadi saksi dan Islam menjadi hukum sesuai yang dia putuskan. Silahkan renungkan masing-masing.”

Mendengar ini, dua sahabat mulia Ali & Utsman terdiam. (HR. Bukhari 3700).

Dr. Utsman al-Khamis menjelaskan bahwa Abdurrahman bin Auf tidak langsung menunjuk salah satu calon khalifah, antara Ali dan Utsman, di rapat itu. Namun beliau tunda penentuannya selama tiga hari.

Selama rentang tiga hari ini, Abdurrahman bin Auf keliling ke setiap rumah di Madinah, menanyakan ke setiap penduduknya, siapakah di antara dua orang ini yang layak untuk menjadi khalifah. Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu mengatakan,

“Demi Allah, tidaklah aku meninggalkan satu rumah milik kaum Muhajirin dan Anshar, kecuali aku tanya kepada mereka. Dan aku tidak menemukan seorangpun yang tidak setuju dengan Utsman.” (Huqbah min at-Tarikh, hlm. 79).

Anda bisa perhatikan, dalam hadis di atas, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu melakukan jajak pendapat, keliling kota Madinah, untuk menentukan siapa yang lebih layak menjadi khalifah. Dan penduduk Madinah, tidak ada yang tidak setuju jika Utsman yang menjadi khalifah.

Ini menunjukkan bahwa semata memilih calon pemimpin yang baik, yang menurut kita lebih mendukung islam, dan tidak berpotensi merugikan masyarakat, insyaaAllah tidak masalah untuk melakukan proses voting. Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK

2 Sifat Dasar Kepemimpinan yang Ideal (2)

TERDAPAT keterangan yang bagus yang dijelaskan Syaikhul Islam dalam karyanya as-Siyasah as-Syariyah tentang kriteria pemimpin yang baik. Beliau menjelaskan,

“Selayaknya untuk diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Karena kepemimpinan yang ideal, itu memiliki dua sifat dasar: kuat (mampu) dan amanah.”

Sifat amanah, itu kembali kepada kesungguhan orang untuk takut kepada Allah, tidak memperjual belikan ayat Allah untuk kepentingan dunia, dan tidak takut dengan ancaman manusia. Tiga kriteria inilah yang Allah jadikan standar bagi setiap orang yang menjadi penentu hukum bagi masyarakat.

Kemudian beliau mengutip firman Allah,

“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)

 

INILAH MOZAIK

2 Sifat Dasar Kepemimpinan yang Ideal (1)

TERDAPAT keterangan yang bagus yang dijelaskan Syaikhul Islam dalam karyanya as-Siyasah as-Syariyah tentang kriteria pemimpin yang baik. Beliau menjelaskan, “Selayaknya untuk diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Karena kepemimpinan yang ideal, itu memiliki dua sifat dasar: kuat (mampu) dan amanah.”

Kemudian beliau menyitir beberapa firman Allah, “Sesungguhnya manusia terbaik yang anda tunjuk untuk bekerja adalah orang yang kuat dan amanah.” (QS. Al-Qashas: 26).

Dalil lainnya, pujian yang diberikan oleh penguasa Mesir kepada Nabi Yusuf, “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi (kuat secara posisi) lagi dipercayai pada sisi kami”. (QS. Yusuf: 54).

Demikian pula karakter Jibril yang Allah amanahi menyampaikan wahyu kepada para rasul-Nya, karakter Jibril yang Allah puji dalam al-Quran, “Sesungguhnya Al Quraan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), ( ) yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arsy, ( ) yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi amanah.” (QS. At-Takwir: 19 21).

Demikianlah kriteria pemimpin ideal yang Allah sebutkan dalam al-Quran. Kuat dalam arti mampu secara profesional dan amanah. Kemudian, Syaikhul Islam menjelaskan batasan kuat (mampu) dan batasan amanah,

Sifat kuat (profesional) untuk setiap pemimpin, tergantung dari medannya. Kuat dalam memimpin perang kembali kepada keberanian jiwa dan kelihaian dalam berperang dan mengatur strategi. Karena inti perang adalah strategi. Demikian pula kembali kepada kemampuan dalam menggunakan senjata perang.

Sementara kuat dalam menetapkan hukum di tengah masyarakat kembali kepada tingkat keilmuannya memahami keadaan yang diajarkan al-Quran dan sunah, sekaligus kemampuan untuk menerapkan hukum itu. Selanjutnya, beliau menjelaskan kriteria amanah

 

INILAH MOZAIK