Jangan Berputus Asa

Orang mukmin tidak akan pernah berputus asa karena kegagalan atau musibah yang menimpanya.

Setiap manusia pasti pernah gagal. Ada cita yang tak tercapai dan harapan yang tak sesuai keinginan. Kegagalan sering kali memunculkan penyesalan. Penyesalan membutakan pikiran dan berujung pada buruk sangka kepada Allah SWT.

Kecewa adalah naluri. Penyesalan adalah manusiawi. Namun, kecewa dan penyesalan yang berlebihan adalah suatu kesalahan. Penyesalan jangan sampai menghilangkan harapan.

Dalam menjalani hidup, kita bak orang yang menaiki perahu yang berbeda di tengah laut yang sama. Hidup bukan untuk dibandingkan, apalagi disandingkan. Setiap orang punya momennya. Setiap individu ada takdirnya.

Berbaik sangkalah kepada Allah. Imani takdir kehidupan. Menari mengikuti alur yang telah ditentukan. Mengharmonisasikan harapan dengan ketentuan yang telah Allah siapkan.

Percayalah bahwa setelah mengalami banyak kegagalan dan kesulitan pasti akan datang berbagai kemudahan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “… Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan; sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan …” (QS al-Insyirah: 5-6).

Teruslah berikhtiar dan berdoa kepada Allah. Kuatkan kesabaran dan jangan berputus asa. Allah SWT berfirman, ” Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya kecuali orang yang sesat” (QS al-Hijr: 56).

Orang mukmin tidak akan pernah berputus asa karena kegagalan atau musibah yang menimpanya. Imannya akan tetap kuat. Sabar dan tabah menjadi senjata untuk menghadapi kesulitan yang menerpa. https://www.youtube.com/embed/-KuSjcmMCuc

Kuatkan keimanan dan yakinlah bahwa orang beriman tidak berjalan sendiri. Belajarlah untuk ikhlas menerima takdir dari Allah SWT. Tanamkan keyakinan bahwa suatu saat nanti Allah akan menghilangkan semua kesulitan itu. Hal itu sesuai dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman” (QS al-Hajj: 38).

Teruslah berharap kepada Allah karena Dia sebaik-baiknya pengharapan. Jadilah orang yang persisten dalam berdoa karena Allah tahu kapan waktu terbaik untuk menjawab doa hambanya.

Mengenai hal ini, ada kata mutiara yang sangat indah dari Ibnu Athaillah, “Jangan sampai tertunda karunia Allah kepadamu, setelah kau mengulang-ulang doamu, membuatmu putus asa. Karena dia menjamin pengabulan doa sesuai pilihannya, bukan sesuai pilihanmu, pada waktu yang diinginkannya, bukan pada waktu yang engkau inginkan.”

Yakinlah pada doa. Cepat atau lambat anugerah dari Allah akan menghampiri kita. Sebagaimana dikatakan oleh Syekh asy-Sya’rawi, “Kamu akan dikejutkan dengan sesuatu yang pernah engkau minta pada Allah sejak waktu yang begitu lama. Mungkin engkau sudah lupa, tapi Allah tidak pernah melupakannya (doamu).”

Wallahu a’lam.

Abdillah

KHAZANAH REPUBLIKA

Peran Perempuan di Ranah Domestik Bernilai dalam Islam

Sebagian besar perempuan kini bisa menjadi apa pun yang diinginkan. Tidak ada lagi tembok yang membatasi dan menghalangi mereka untuk beraktivitas. Ada perempuan yang memutuskan untuk menjadi anggota kepolisian atau tentara, misalnya.

Dimana profesi ini dianggap sebagai pekerjaan yang lumrah untuk laki-laki saja. Lalu ada pula yang memutuskan menjadi guru, pekerja kantor, pengusaha hingga kepala negara.

Ini berkat upaya para pendahulu kita yang memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan hak. Namun, apakah perempuan yang memutuskan untuk tetap fokus di ranah domestik jauh dari kemajuan zaman?

Menjaga, merawat anak, tetap berada di rumah, dan bersuka cita mengurus segala kebutuhan dapur. Apakah semua aktivitas yang dipilih oleh para ibu rumah tangga bertentangan tujuan dengan emansipasi perempuan?

Tentu saja tidak. Namun sebagaian orang beranggapan jika memilih fokus menjadi ibu rumah tangga bukanlah bentuk dari emansipasi perempuan. Kita perlu ingat lini paling awal adalah keluarga.

Keluarga menjadi pondasi yang kuat dalam membentuk karakter generasi muda. Di situlah peran perempuan sebagai ibu dari para anak-anaknya. Wawasan yang dimiliki, dapat diturunkan dan dikenalkan pada anak-anak. Sehingga kelak anak dapat bermamfaat bagi diri sendiri, sosial dan di ranah profesionalitas atau pekerjaan.

Di sisi lain, ibu rumah tangga punya peran penting memenuhi atau menjalankan fungsi fisik, psikologis dan sosial anak. Islam pun memberikan posisi yang amat baik bagi perempuan yang memilih fokus mengarah pada ranah domestik.

Bahkan Rasulullah Saw pun membalikkan perhatian masyarakat yang awalnya tidak memperhitungkan posisi ibu rumah tangga. Hal itu ia sampaikan dalam sebuah hadis.

حديث أبي هريرة  قال: جاء رجل إلى رسول الله ﷺ فقال: يا رسول الله، من أحق الناس بحسن صحابتي؟ -يعني: صحبتي، قال: أمك قال: ثم من؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أبوك

Abu Hurairah Ra menuturkan bahwa ada seorang laki-laki datang dan bertanya pada Rasulullah Saw “Siapakah orang yang paling berhak layani dan temani? Rasulullah Saw menjawab, ‘ibumu’. Lalu siapa?” orang itu bertanya lagii. “Ibumu”. Terus siapa? “Ibumu”. Setelah itu siapa?”Kemudian ayahmu” jawab Rasulullah Saw (H.R Imam Muslim dalam Shahih-nya no 6664).

Menurut Faqihuddin Abdul Kodir di dalam bukunya berjudul 60 Hadits Shahih menjelaskan jika hadis di atas adalah membalikkan kesadaran masyarakat Jahililyah. Dimana kala itu lebih memberikan penghormatan kepada laki-laki ketimbang perempuan.

Posisi perempuan kala itu tidak dianggap. Padahal, perempuan beperan penting dalam regenerasi kemanusiaan. Ia yang telah mengandung, melahirkan, menyusui merawat hingga membesarkan anak.

Di sisi lain, hadis di atas menurut Faqihuddin merupakan bentuk pengakuan Islam terhadap peran domestik dan reproduksi perempuan yang kerap diabaikan masyarakat. Perempuan disuruh untuk menyelesaikan semua peran tersebut tanpa bantuan dari orang terdekat, masyarakat bahkan negara.

Bentuk bantuan atau dukungan tentu saja bukan hanya sekadar pujian atau kalimat pemanis. Namun memberikan hak seperti kesempatan untuk mengenyam pendidikan, memberdayakan perempuan dan mengalokasikan anggaran kesehatan untuk perempuan. Dan masih banyak lagi.

Oleh karena itu dapat disimpulkan, memilih menjadi ibu rumah tangga bukanlah sesuatu yang salah dan berlawanan dengan emansipasi perempuan. Semua keputusan perempuan, selagi dalam kesadaran dan memang karena keinginan hati maka tidak jadi masalah. Hargai, dan selalu saling memberi dukungan.

BINCANG MUSLIMAH

Nafkah Keluarga Boleh Ditanggung Bersama-Sama

Dahulu mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari hampir sepenuhnya ditanggung oleh laki-laki. Begitu pun dalam rumah tangga, tanggung jawab menacari nafkah dipikul oleh sang suami.

Pergerakan laki-laki memang dianggap lebih luwes. Punya tenaga yang kuat dan pemikiran yang luas. Selain itu laki-laki dirasa mampu untuk menjaga dirinya sendiri. Sehingga berada di luar yang penuh marabahaya tidak menjadi masalah.

Laki-laki bekerja di luar rumah, maka perempuan yang mengurus segala sesuatu kebutuhan yang ada di dalamnya. Dimulai dari merapikan isi  rumah, mengurus panganan hingga mengasuh anak-anak.

Seiring berjalannya waktu, perempuan kini punya kesempatan yang sama. Dimulai dari mempunyai hak mendapatkan pendidikan yang sama. Sehingga kaum hawa bisa menempa kemampuan dan wawasan seperti laki-laki.

Mendapatkan hak seperti kesempatan mengenyam dunia pendidikan tentu telah mengubah segalanya. Perempuan terbukti punya kualitas dan profesionalitas yang sama dengan laki-laki. Selain itu mereka juga dapat diberi tanggung jawab dan kredibel dengan urusan di luar domestik.

Sehingga, muncul sosok-sosok perempuan yang turut andil dalam mencari rezeki. Luasnya kesempatan menumbuhkan kepercayaan diri perempuan untuk turut serta dalam dunia kerja. Selain itu, perempuan mulai punya kemampuan melindungi secara mandiri.

Fenomena ini menunjukkan satu hal. Yaitu sudah saatnya pandangan yang menganggap perempuan hanya menerima dan bergantung pada orang lain dihapuskan.

Perempuan yang bekerja dan mencari nafkah bagi keluarga bersama suami bukanlah suatu keganjilan sosial. Bahkan di dalam Islam hal ini diperbolehkan. Itu artinya, nafkah keluarga bisa ditanggung bersama asal tidak bertentangan dengan prinsip keislaman.

Menurut Faqihuddin Abdul Kodir di dalam bukunya yang berjudul 60 Hadis Shahih dijelaskan dalam Islam sendiri, mencari nafkah memang dibebankan kepada pihak laki-laki. Kala itu memang laki-laki punya fleksibelitas  yang memungkinkan untuk bekerja di luar rumah ketimbang perempuan.

عن رائطة امرأة عبد الله بن مسعودرضي الله عنهما, اتت الى النبي صلى الله عليه و سلم, فقالت

إِنِّي امْرَأَةٌ ذَاتُ صَنْعَةٍ , أَبِيعُ مِنْهَا , وَلَيْسَ لِوَلَدِي وَلَا لِزَوْجِي شَيْءٌ. وسألته عن النفقة عليهم, فقال: لك في ذالك اجر ماانفقت عليه

“Diriwayatkan dari Raithah bin Abdullah, istri Abdullah bin Mas’ud. Ia pernah mendatangi Nabi Muhammad Saw dan bertutur “Wahai Rasulullah, aku perempuan pekerja. Lalu aku menjual hasil pekerjaanku. Aku melakukan ini semua karena aku, suamiku, maupun anakku tidak memiliki harta apa pun”. Kamu memperoleh pahal dari apa yang kamu nafkahkan kepada mereka, jawab Nabi Muhammad Saw.

(Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya, Juz 1 hlm 290 no hadits 4239).

Masih dalam buku yang sama, Faqihuddin menjelaskan jika Raithah binti Abdullah R.a mengelola industri kecil. Ia merupakan istri dari seorang ulama besar di kalangan sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud.

Sebagaimana hadis di atas, Raithah menceritakan perihal dirinya yang bekerja mencari nafkah demi menghidupi keluarga. Nabi Muhammad pun tidak melarang dan justru memberkati usaha Raithah. Nabi Muhamamd pun mengatakan sebagaimana laki-laki, perempuan pun diberi pahala saat bekerja dan mencari nafkah.

Sehingga dapat disimpulkan jika saat ini mencari nafkah dalam keluarga tidak hanya dilakukan oleh satu pihak saja.  Namun, nafkah keluarga juga bisa dapat ditanggung secara bersama, begitu pun pada perempuan. Hal ini dikarenakn selain dapat meringankan kebutuhan keluarga, mencari nafkah atau rezeki dikatakan Rasulullah dapat mendatangkan pahala.

BINCANG MUSLIMAH

Fikih Nikah (Bag. 2)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Fikih Nikah (Bag. 1).

Siapakah yang berhak menjadi wali nikah seorang wanita?

Keberadaan wali merupakan satu dari lima rukun nikah. Wali adalah sebutan pihak laki-laki dalam keluarga atau lainnya, yang bertugas untuk mengawasi keadaan atau kondisi seorang perempuan, khususnya berkenaan dengan menikah. Hal ini secara jelas ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha sebagai berikut,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ

“Wanita yang menikah tanpa wali, maka pernikahannya batal. Pernikahannya batal. Pernikahannya batal” (HR. Imam yang lima, kecuali Nasa’i).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda di dalam hadis lain, yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,

لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا

“Hendaklah perempuan tidak menikahkan perempuan, dan hendaklah perempuan tidak menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni).

Wali/wilayah secara bahasa Arab artinya, “menolong” dan “berkuasa” atau pun “mencintai”. Sedangkan di dalam istilah syar’i atau fikih, wali/wilayah artinya, “kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang terhadap manusia ataupun benda, untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri, tanpa harus bergantung (terikat) atas izin orang lain.”

Mengenai siapa saja yang diprioritaskan menjadi wali, Abu Syuja’ dalam rahimahullah Matan al-Ghâyah wa Taqrîb menjelaskannya sebagai berikut,

أولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات ف…الحاكم

“Wali paling utama ialah ayah, kemudian kakek (ayahnya ayah), kemudian saudara laki-laki seayah seibu (kandung), kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu (kandung), kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, kemudian paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka hakim.”

Dari penjelasan di atas, bisa kita pahami bahwa yang berhak menjadi wali nasab adalah para pewaris ‘ashabah dari calon mempelai wanita. Urutan penyebutan dalam keterangan Abu Syuja’ rahimahullah itu merupakan urutan prioritas yang berhak menjadi wali nikah. Urutannya adalah:

1. Ayah;

2. Kakek yang dimaksud dalam hal ini adalah kakek dari pihak ayah;

3. Saudara laki-laki kandung. Maksudnya adalah saudara laki-laki mempelai wanita se-bapak dan se-ibu, baik kakak maupun adik;

4. Saudara laki-laki seayah. Maksudnya adalah saudara laki-laki mempelai wanita dari ayah yang sama, namun beda ibu;

5. Anak saudara laki-laki seayah dan seibu (keponakan);

6. Anak saudara laki-laki seayah;

7. Paman yang dimaksud di sini adalah saudara laki-laki ayah. Baik yang lebih tua dari ayah (Bahasa Jawa: pakde), ataupun lebih muda (Bahasa Jawa: paklik), dengan memprioritaskan yang paling tertua di antara mereka;

8. Anak laki-laki paman dari pihak ayah (sepupu);

9. Jika ternyata semua pihak keluarga (wali nasab) di atas tidak ada, maka alternatif terakhir yang menjadi wali adalah wali hakim.

Apa itu wali hakim dan kapan perwalian itu berpindah dari wali nasab ke wali hakim?

Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh menteri agama, atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها ، فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له .

“Wanita manapun yang melakukan akad nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika dalam pernikahannya (yang batal itu) terjadi dukhul (hubungan seksual, yaitu dengan (maaf) masuknya kemaluan pria ke kemaluan wanita), maka wanita itu berhak mendapat mahar karena penghalalan faraj-nya (kemaluannya). Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan, maka pemerintah (wali hakim) menjadi wali wanita yang tidak mempunyai wali” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah, hadis ini juga disahihkan oleh Syekh Albani dalam Shahih Tirmidzi).

Lalu kapan boleh berpindah pada wali hakim?

Syekh Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya mengenai hal ini, dan beliau menjawab,

فإذا لم يوجد لها عصبة أو كان عصبتها في مكان بعيد لا يمكن الاتصال بهم، أو كان عصبتها قد امتنعوا من تزويجها بمن هو كفء، زوجها قاضي المحكمة.

“Maka apabila tidak ada ashabah untuk seorang wanita, atau ashabah-nya berada di tempat yang jauh sehingga ia tidak dapat dihubungi, atau ashabah-nya melarang wanita tersebut menikah dengan seseorang yang cocok dan layak untuk wanita tersebut, maka yang menjadi wali nikahnya adalah hakim pengadilan.”

Dari jawaban syekh mengenai permasalahan ini, dapat kita simpulkan bahwa wali nasab boleh berpindah pada wali hakim apabila:

1. Sudah tidak ada garis wali nasab;

2. Walinya mafqud (hilang);

3. Walinya baid (tinggal di tempat yang jauh dan tidak bisa datang ataupun tidak bisa dihubungi);

4. Walinya sedang sakit yang tidak memungkinkan dirinya untuk menjadi wali;

5. Walinya sedang ihram (haji/umroh), karena salah satu syarat wali adalah sedang tidak dalam kondisi ihram;

6. Walinya adhol (mogok), maksudnya tidak merestui dan tidak mengizinkan wanita untuk menikahi laki-laki yang layak dan pantas untuknya (berdasarkan keputusan Pengadilan Agama).

Lalu bagaimana dengan wanita yang terlahir dari hasil zina, siapakah walinya?

Pendapat yang kuat dan rajih, anak yang terlahir dari perbuatan zina, maka ia tidak dinisbatkan kecuali kepada ibunya saja, dan ia bukanlah anak untuk bapaknya. Sehingga nasabnya pun terputus dengan bapaknya. Hal tersebut sejalan dengan keumuman hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

الولد للفراش وللعاهر الحجر

“Anak itu menjadi hak pemilik firasy (suami yang menikah dengan sah). Sedangkan untuk pezina, baginya adalah batu (dirajam)” (HR. Bukhari dan Muslim).

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Ketika seorang wanita menikah dengan laki-laki, atau seorang budak wanita menikah dengan seorang laki-laki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si laki-laki. Selanjutnya laki-laki ini disebut “pemilik firasy”. Selama sang wanita menjadi firasy laki-laki, maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil selingkuh yang dilakukan istri dengan laki-laki lain. Sedangkan, laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian. Artinya, tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain” (Syarh Shahih Muslim, 10: 37).

Dari hadis ini bisa kita ketahui bahwa anak hasil zina tidak dinisbatkan kepada bapak (pezina laki-lakinya). Sehingga tentu saja anak perempuan ini tidak memiliki ashabah yang bisa menjadi walinya, karena nasabnya terputus dari bapaknya. Oleh karena itu, ia termasuk kategori wanita yang sudah tidak memiliki ashabah dari garis nasab, sehingga yang menjadi walinya saat ia menikah adalah wali hakim.

Hikmah adanya wali dalam akad nikah

Syariat adanya wali sebagai salah satu rukun pernikahan ini tentu saja memiliki hikmah yang patut kita ketahui. Seorang wanita Allah Ta’ala ciptakan pada dasarnya memiliki sifat lemah dibandingkan pria. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengistilahkan dengan naqishat ‘aql wa din (kurangnya akal dan agama). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم – فِى أَضْحًى – أَوْ فِطْرٍ – إِلَى الْمُصَلَّى، فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ ، فَإِنِّى أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ . فَقُلْنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ : تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ . قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ . قُلْنَ: بَلَى . قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا ، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ بَلَى . قَالَ  فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا . متفق عليه

“Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju masjid pada Idul Adha atau Idul Fitri (nampaknya Abu Sa’id al-Khudri tidak yakin). Beliau melewati kaum wanita, dan bersabda, ‘Wahai kaum wanita, hendaknya kalian bersedekah. Sungguh aku melihat kalian akan menjadi mayoritas penduduk neraka.’ Mereka bertanya, ‘Mengapa demikian, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Kalian banyak mencaci dan kurang bersyukur kepada suami. Aku perhatikan kalian memang kurang akal dan kurang agama.’ Mereka bertanya, ‘Apa bukti bahwa kami kurang akal, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Bukankah kesaksian wanita adalah separuh dari kesaksiah pria?’ Mereka bertanya, ‘Benar.’ Beliau bersabda, ‘Itulah bukti wanita itu kurang akal. Bukankah wanita biasa itu haid, lalu tidak salat, dan tidak puasa?’ Mereka menjawab, ‘Benar.’ Beliau bersabda, ‘Itulah bukti wanita itu kurang agamanya.’” (Muttafaq ‘alaih).

Namun demikian, bukan berarti Islam telah mendiskreditkan kaum wanita. Hadis ini hanya menunjukkan apa yang sudah menjadi fitrah penciptaan dan kodrat seorang wanita. Seperti yang kita ketahui, seorang wanita dalam syariat Islam tidak memikul tanggung jawab yang sama berat dengan pria, karena sifat wainta yang lemah. Seluruh kebutuhan hidupnya pun menjadi tanggung jawab wali. Sampai ketika seorang wanita menikah, tanggung jawab kepada dirinya berpindah kepada sang suami. Akad nikah ini layaknya pelimpahan tanggung jawab pada diri wanita itu, yang semula ada pada pundak walinya, kemudian pindah kepada suaminya.

Sejatinya seorang wali memiliki kedudukan yang tetap sebagai pelindung wanita itu. Maka apabila dalam pernikahan ada masalah dengan suaminya, seorang wali berfungsi sebagai penengah dan pelindung wanita. Walinya berhak menanyakan dan menuntut hak-hak wanita tersebut dari suaminya. Ini juga merupakan salah satu hikmah adanya seorang wali. Wallahu a’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris

Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

Kitab Matan al-Ghâyah wa Taqrîb karya Imam Abi Syuja’ Rahimahullah dengan beberapa penyesuaian.

Sumber: https://muslim.or.id/71774-fikih-nikah-bag-2.html

Hukum Menanyakan Ibadah Orang Lain Menurut Al-Ghazali

Sebagai makhluk sosial, melakukan interaksi sosial antar sesama manusia adalah hal yang wajar. Mulai dari sekedar mengobrol dan berdialog ringan sampai terjadinya akad atau transaksi dagang semisal. Hal tersebut adalah bentuk keseharian kehidupan manusia. Tapi bagaimana hukum menanyakan ibadah orang lain?

Sangat sedikit sekali atau bahkan tidak ada, manusia yang tidak berinteraksi dengan manusia lain, walau hanya sekedar membeli kebutuhan pokok. Itupun musti terjadi dialog atau obrolan. Mengobrol adalah kebutuhan tak tertulis bagi kehidupan manusia.

Namun, jika ditelisik, obrolan-obrolan yang terjadi tersebut  justru terkadang menyentuh hal-hal yang sifatnya fundamental, pokok bagi kehidupan orang lain. Sesuatu yang seharusnya tidak ditanyakan. Menanyakan perihal ibadah orang lain, semisal. Hal ini, saya yakin banyak terjadi di kalangan umat Islam. Sesuatu yang harusnya hanya menjadi rahasia bagi seorang hamba dan Tuhannya.

Misal hari itu adalah hari senin. Karena dilihatnya temannya tidak makan ketika yang lain makan ia berkata: “Apakah kamu berpuasa?”. Pertanyaan yang kelihatan sepele sekilas. Namun jika diteliti dampaknya kurang baik bagi orang yang ditanya.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum Ad-Din dalam bagian “Rubu’ Al-Muhlikat”, (hal-hal yang menghancurkan; red) dalam bab dampak negatif lisan mengatakan demikian:

Diantara bagian dari hal yang membuang-buang waktu ialah ketika engkau menanyakan kepada temanmu sesuatu yang tidak berfaidah sama sekali. Karena engkau dengan pertanya’an tersebut telah membuang-buang waktumu. Dan engkau juga membuat temanmu membuang-buang waktunya. Hal inipun terjadi jika sesuatu yang ditanyakan itu tidak memiliki dampak negatif. Permasalahannya kebanyakan pertanyaan menyimpan dampak negatif di dalamnya.” (Ihya Ulum Ad-Din Jilid 5 Cet Daar Al-Minhaj, Jeddah, 2011, Rubu’ Al-Muhlikat, hal 408)

Ada 4 kemungkinan yang terjadi jika seseorang menanyakan ibadah orang lain menurut Al-Ghazali:

Pertama, jika pertanyaan tersebut dijawab dengan jujur. Semisal engkau bertanya pada temanmu: “Apakah engkau tengah berpuasa?”. Pertanyaan tersebut, jika ia menjawabnya dengan: “iya, saya sedang berpuasa”, maka ia telah menampakkan ibadahnya. Dan konsekuensinya riya akan masuk ke dalam dirinya. Dan jikapun tidak, maka ibadahnya telah keluar dari ruang lingkup “rahasia”, sedang ibadah yang dilakukan secara rahasia itu lebih baik dari ibadah yang dilakukan secara terang-terangan atau diketahui oleh orang lain.

Kedua, jika pertanyaan tersebut dijawab dengan “tidak”, maka otomatis ia telah melakukan kebohongan karena pertanyaan tersebut. Dan engkau sebagai penanya membuatnya melakukan kebohongan.

Ketiga, jika hanya diam dan tidak menjawabnya, maka ia akan mengira ia telah menghinakan dan menyakiti orang yang bertanya kepadanya.

Keempat, jika membuat “hilah”, reka daya dengan mengalihkan pembicaraan, semisal. Jika pun bisa maka untuk melakukannya ia akan kesulitan mencari dan apalagi melakukannya.

Pertanyaan-pertanyaan perihal ibadah seseorang tersebut secara tidak langsung menempatkannya pada situasi sulit di mana ia tidak bisa mengelak dari 4 keadaan di atas: riya, berbohong, menghina ataupun kepayahan dengan melakukan hilah, reka daya.

Hal ini juga berlaku bagi pertanya’an-pertanya’an tidak berfaidah lainnya. Selain membuang-buang waktu kedua belah pihak, kebanyakan pertanyaan tersebut justru tidak baik untuk ditanyakan.

Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Tiga Pertanyaan Besar Soal Zaman ini

Anggota Komite Dakwah Universitas Al Azhar, Dr. Ramadhan Abdul Rozaq menjelaskan bahwa ada ada tiga pertanyaan yang meringkas tentang seluruh kehidupan manusia.

Tiga pertanyaan tersebut adalah:

pertama, apa hal paling mudah terjadi atau dilakukan di zaman kita saat ini?

Kedua, apa hal yang paling sulit terjadi atau dilakukan di zaman kita saat ini?

Ketiga, apa yang diperlukan manusia pada zaman saat ini?

Dr. Ramadhan Abdul Rozaq menjelaskan tentang jawaban dari pertanyaan pertama yakni apa hal paling mudah terjadi atau dilakukan di zaman ini?

Menurutnya yang paling mudah dilakukan zaman ini adalah adalah ketidaktaatan kepada Allah. Seseorang sangat dekat dengan dosa dan itu mudah sekali dilakukan. Sedang jarak manusia dan Allah jauh. 

Adapun pertanyaan kedua, apa hal yang paling sulit terjadi atau dilakukan di zaman kita saat ini?

Menurut Dr. Ramadhan Abdul Rozaq bahwa manusia bukannya taat kepada Allah akan tetapi karena zaman ini, banyak orang berkebalikan perilakunya dan menjadi aneh, bisa jadi lada satu malam orang tersebut qiyamullail dan malam selanjutnya orang itu malah melihat film porno.

Kendati demikian, menurut Dr. Abdul Rozaq selagi orang tersebut berniat dengan sungguh-sungguh untuk bertaubat maka Allah akan mengampuninya. Sebagaimana Allah berfirman: 

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Alquran surat Az Zumar ayat 53).

Menurut Dr Abdul yang paling sulit dilakukan zaman ini adalah konsistensi atau keteguhan dalam menjalankan aturan, keteguhan dalam perkataan, dan ketaatan terhadap Allah. Maka ini menunjukan bahwa pada setiap shalatnya selalu meminta kepada Allah agar dibimbing ke jalan yang lurus. Dan Allah mengajarkan hambanya berdoa:  

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً ۚاِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ

Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi. (Alquran surat Ali Imran ayat 8).

Selain itu doa yang diajarkan Rasulullah :

يا مقلِّبَ القلوبِ ثَبِّتْ قلبِي على دينِك

Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, kokohkanlah hatiku di atas agama-Mu”.

Adapun tentang apa yang di diperlukan manusia pada zaman ini? Menurut Dr Abdul Rozaq yang diperlukan manusia zaman inj adalah kerelaan atau keridhaan pada Allah, pada Asma’ dan Sifat Allah, keridhaan pada takdir dan qada Allah, ridha pada Allah Tuhan Alam Semesta. 

IHRAM

Tebar Kebencian Jadi Penyebab Keras Hati

Memperkuat hubungan antar sesama manusia dengan kasih sayang perlu kita tanamkan dalam kehidupan sehari-hari di tengah memudarnya nilai-nilai toleransi. Kasih sayang dapat menciptaan kedamaian dalam menjalin suatu hubungan. Sebaliknya orang yang mempunyai sifat keras, congkak, dan angkuh akan mengakibatkan  hubungan tidak harmonis dan berjauhan, bahkan dapat jadi penyebab keras hati.

Hubungan semakin erat bilamana antar golongan saling  menghargai perbedaan, tolong-menolong dalam hal kebaikan, serta menghindari kecemburuan sosial yang berlebihan. Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki  dalam karyanya Qul Hadzihi Sabilii (Juz, 1 Hlm. 97) menjabarkan bahwa termasuk sebagian dari penyebab keras hati adalah:

قلة الرحمة بالمسلمين وسوء الظن بهم

Sedikitnya rasa kasih sayang kepada sesama muslim dan berprasangka buruk kepadanya.

Termasuk akhlak tercela ialah tidak mempunyai rasa kasih sayang kepada sesama muslim, dan berprasangka buruk kepadanya. Nabi Muhammad SAW, memberi arahan kepada umatnya untuk saling simpati dan perhatian serta mempunyai rasa kasih sayang  antar sesama. Nabi Muhammad bersabda:

الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء

Orang yang memberi kasih sayang maka dia akan mendapatkan kasih sayang Allah, sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan dikasih sayangi orang yang di langit. (HR.Bukhari)

Orang yang tidak mempunyai rasa kasih sayang kepada sesama muslim yang sedang mengalami musibah dan bencana, juga kepada orang yang lemah dan miskin, menunjukkan bahwa orang tersebut keras hatinya, lemah imannya, dan jauh dari tuhannya. Bahkan hadis di atas memerintahkan kita untuk menebar kasih sayang kepada siapa pun, dari manusia, hewan, hingga tumbuh-tumbuhan yang ada di muka bumi. (Baca: Tafsir Surat at-Taubat 128; Nabi Muhammad yang Penuh Kasih Sayang)

Hendaknya kita bersikap kasih sayang kepada sesama manusia bahkan kepada hewan sekalipun. Ketika ada rasa kasih sayang kepada sesama, maka mereka pun akan disayang oleh Allah SWT. Dalam kitab AlFathu ar-Rabbani wa al-Faidhu ar-Rahmani (Juz 1 Hlm. 70) Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani berkata: “Jika hati manusia telah baik maka hati itu akan dipenuhi perasaan kasih sayang atas yang lain”

Dan jauhilah berprasangka buruk kepada sesama muslim, karena itu perbuatan yang tercela. Nabi Muhammad SAW, bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَاِنَّ الظَّنَّ اَكْذَبُ الْحَدِيث (متفق عليه)

Jauhkanlah diri kamu daripada sangka (jahat) karena sangka (jahat) itu sedusta-dusta omongan, (HR. Bukhari dan Muslim)

Prasangka buruk bisa mendatangkan dosa walaupun prasangkaannya ternyata benar. Oleh karena itu berprasangka baiklah kepada setiap muslim karena hal itu akan mendatangkan pahala, walaupun ternyata salah prasangkaannya.

BINCANG SYARIAH

Istighfar Minta Ampunan Juga Usai Berbuat Kebaikan, Ini Penjelasannya

Istighfar atau meminta ampunan mempunyai banyak keutamaan

Kewajiban mencari pengampunan Allah SWT meski setelah menjalankan ketaatan dan bukan hanya setelah bermaksiat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala seringkali menyuruh manusia untuk beristighfar setelah selesai menunaikan kebajikan, seperti sehabis sholat.  

Dikutip dari buku Jangan Takut Hadapi Hidup karya Dr Aidh Abdullah Al-Qarny, Dalam hadits yang diriwayatkan Tsauban, dan tercantum dalam Shahih Muslim, setiap kali Rasulullah ﷺ usai shalat, beliau mengucapkan, “Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah.” 

Di akhir hayat Rasulullah ﷺ, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan surat An Nashr:   

إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ. وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجً. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًۢا

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan memohonlah ampun kepada-Nya, sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS An Nashr ayat 1-3)  

Allah Subhanahu wa Ta’ala seakan menyuruh Rasulullah Muhammad ﷺ menutup hidupnya dengan mengucapkan istighfar kepada-Nya.  

Ibnu Taimiyyah berkata, “Rahasia di balik perintah untuk beristighfar ketika usai melakukan amal saleh adalah, bahwa amalan kita tidak bisa lepas dari kekurangan, dan terkadang kita terlalu mengagumi apa yang telah kita lakukan, seakan-akan kita berkata, “Aku telah melaksanakan amal shalih, jadi mengapa aku harus beristighfar?”  

Waktu sahur adalah waktu para ulama sedang giat melaksanakan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Mengapa meminta pengampunan setelah setiap sholat? Penasihat Ilmiah Mufti Agung dan anggota Fatwa Dar Al Iftaa Mesir, Syekh Dr Magdi Ashour mengatakan, memohon ampunan adalah ibadah yang tidak terbatas pada orang-orang yang bermaksiat saja, tetapi juga sangat baik dilakukan orang-orang yang taat.  Nabi sendiri memberi contoh untuk terus-menerus mencari pengampunan usai sholat. 

Contoh ini juga untuk mendorong Umat Islam untuk mencari pengampunan setelah sholat untuk menebus dosa-dosa yang dilakukan. 

Dia menambahkan, seorang Muslim mungkin lalai dalam sholatnya dengan tidak khusyuk dan fokus saat menjalaninya karena memikirkan hal-hal duniawi. 

Oleh karena itu, taubat setelah setiap sholat menjadi wajib untuk menebus dosa yang dilakukannya dalam sholat. 

Syekh Asyur juga menekankan bahwa mencari pengampunan adalah penting setelah setiap ibadah, bukan hanya saat sholat saja. Allah SWT berfirman: 

ثُمَّ أَفِيضُوا۟ مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ ٱلنَّاسُ وَٱسْتَغْفِرُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ  “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS Al Baqarah 199).    

KHAZANAH REPUBLIKA

Cara Perlakukan Alquran yang Rusak dengan Benar

Pusat Darul Kalam Quran menyediakan jasa pembuangan Alquran dan buku-buku agama yang rusak akibat banjir bandang atau lumpur.  Dibanding membuangnya langsung ke tempat sampah, pusat ini menyediakan prosedur pembuangan yang benar dan terhormat untuk menjaga kesucian ayat-ayat Alquran. 

Setiap halaman akan dikeringkan di atas meja atau digantung menggunakan jepitan di bawah kanopi oleh para sukarelawan pusat yang dikelola  Departemen Agama Islam Wilayah Federal (JAWI) ini. Halaman-halaman tersebut kemudian akan dibakar menjadi abu sebelum dimasukkan ke dalam sumur di belakang Darul Kalam atau dibuang ke laut.

“Pembuangan Alquran yang rusak adalah salah satu hal yang paling menyedihkan, kita tidak bisa sembarangan membuang kitab suci,” kata Abdul Mu’az Jabai yang dikutip Republika.co.id, Kamis (13/1). 

“Jadi, cara terbaik untuk membuangnya adalah dengan mengeringkan halaman sebelum membakar sekitar 10 kg salinan (untuk setiap sesi) dalam tungku menjadi abu. Setiap sesi akan memakan waktu sekitar dua jam,” jelas salah satu dari 40 relawan di Darul Kalam itu.  

Senior Assistant Director JAWI Research Division Anisah Musa mengatakan, salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah memisahkan Alquran dan buku agama yang basah dan menempel satu sama lain, atau dengan buku-buku lain. 

“Sebelumnya abu Al-Qur’an ditempatkan di sumur Darul Kalam, namun karena banyaknya Al-Qur’an yang terkena banjir dan terbatasnya ruang, kami memutuskan untuk membuang abunya ke laut,” kata dia, sekaligus menghimbau kepada masyarakat untuk mengikuti cara yang benar sebelum membuang Alquran yang rusak sendiri.

Direktur JAWI Datuk Mohd Ajib Ismail, mengatakan sejauh ini, pusat ini telah menerima sekitar 25,28 metrik ton Alquran rusak, berasal dari individu, sekolah, dan Perusahaan Pengelolaan Limbah Padat dan Pembersihan Umum (SWCorp).

“Insya Allah, JAWI akan melakukan kampanye donasi atau inisiatif wakaf al-Quran bekerja sama dengan masjid dan suriah di Wilayah Persekutuan untuk disumbangkan kepada masing-masing pihak yang terkena dampak banjir,” katanya.

IHRAM

Alquran Ungkap Dampak Terlalu Cinta Dunia

Alquran menerangkan bahwa orang-orang yang tidak percaya adanya kehidupan setelah kematian atau kehidupan akhirat, karena mereka terlalu mencintai dunia. Mereka juga mengabaikan ayat-ayat Alquran karena terlalu mencintai dunia. Hal ini dijelaskan dalam Surah Yunus Ayat 7-8 dan tafsirnya.

اِنَّ الَّذِيْنَ لَا يَرْجُوْنَ لِقَاۤءَنَا وَرَضُوْا بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَاطْمَـَٔنُّوْا بِهَا وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنْ اٰيٰتِنَا غٰفِلُوْنَۙ

اُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمُ النَّارُ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan (kehidupan) itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya di neraka, karena apa yang telah mereka lakukan. (QS Yunus: 7-8).

Menurut Tafsir Kementerian Agama, ayat-ayat ini menerangkan bahwa alasan orang-orang yang tidak meyakini akan adanya pertemuan dengan Allah di akhirat nanti, di mana semua amal perbuatan akan ditimbang dengan adil, karena mereka lebih mencintai kehidupan dunia. Mereka rela menukar kesenangan hidup di akhirat dengan kesenangan hidup di dunia yang fana ini.

Hal itu juga karena mereka terpengaruh oleh kelezatan duniawi, demikian pula orang-orang yang lalai dan tidak mengindahkan ayat-ayat Alquran, serta tidak mau mempelajari, memahami dan mengamalkannya, maka tempat mereka kelak adalah neraka Jahannam. Balasan azab yang demikian itu adalah karena dosa-dosa yang mereka kerjakan selama hidup di dunia, dan balasan itu setimpal dengan perbuatan mereka.

Dalam ayat ini disebutkan dua macam sikap dan perbuatan manusia yang menyebabkan mereka masuk neraka. Yaitu, pertama tidak percaya akan adanya hidup sesudah mati nanti, karena telah terpengaruh oleh kesenangan duniawi. Kedua, tidak mengindahkan ayat-ayat Alquran.

Tidak percaya adanya hidup sesudah mati, untuk menemui Allah, berarti tidak percaya akan keadilan Allah, dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya. Orang-orang yang demikian biasanya adalah orang-orang yang mengira bahwa segala sesuatu yang telah didapatnya itu adalah semata-mata atas usahanya sendiri, bukanlah sebagai rahmat dan karunia dari Tuhan.

Seakan-akan manusia (dirinya sendiri) yang menentukan segala sesuatu. Sifat-sifat yang demikian dapat menjurus pada kepercayaan atheisme yang berpendapat bahwa Tuhan itu tidak ada, hanya manusia sendirilah yang mengadakan segala sesuatu. Hal ini sangat bertentangan dengan pokok utama akidah Islamiyah.

Jika tidak mengindahkan ayat-ayat Alquran berarti tidak percaya bahwa Alquran sebagai kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi yang terakhir. Artinya tidak percaya bahwa kitab itu dapat menjadi pedoman bagi manusia dalam melayarkan bahtera hidup di dunia untuk mencapai kehidupan abadi di akhirat nanti 

Kepercayaan kepada adanya hidup sesudah mati, dan Alquran itu Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah pokok utama ajaran Islam. Mengingkari kedua ajaran pokok itu berarti mengingkari ajaran Islam. Itulah sebabnya Allah mengancam dengan sangsi yang berat berupa azab neraka Jahannam terhadap orang-orang yang mengingkari-Nya.

IHRAM