Bolehkah Memegang Al-Qur’an Terjemahan Tanpa Wudhu?

Untuk membaca Al-Qur’an yang merupakan kitab suci, memegangnya pun diharuskan dalam keadaan suci dari hadas kecil maupun besar. Kemudian muncul pertanyaan, apakah  Al-Qur’an terjemahan statusnya sama dengan Al-Qur’an tanpa terjemah? Bolehkah memegang Al-Qur’an terjemahan tanpa wudhu?

Mengenai kewajiban seseorang dalam keadaan suci disaat menyentuh atau membawa Al-Quran, telah ditegaskan dalam firman Allah dan sabda Nabi. Hal ini dikarenakan Al-Quran merupakan kalamullah, yang mencakup  keagungannya dan keutamaannya di atas segalanya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT, Surat Al-Waqi’ah, ayat 79 berikut,

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

Artinya : “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” 

Begitu juga dengan sabda Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak berikut,

لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ

Artinya : “Tidak boleh menyentuh Al–Quran kecuali engkau dalam keadaan suci.”

Melalui ayat dan hadis tersebut, mayoritas ulama mengharamkan menyentuh dan membawa Al-Qur’an tanpa wudhu. Pasalnya, membawa, menyentuh, dan membaca  Al-Qur’an harus ada wudhu. 

Kendati demikian, para  ulama masih memberikan dispensasi dalam tafsir Al–Quran ketika di dalamnya lebih dominan penafsiran Al-Qur’an dari pada teks asli Al-Qur’an dalam segi hurufnya.Sehingga diperbolehkan untuk menyentuhnya meski tanpa wudhu, sebab hal tersebut tidak lagi dinamakan mushaf Al-Qur’an tapi beralih menjadi kitab Tafsir.

Namun demikian, terjemah Al-Qur’an tidak berstatus sama seperti tafsir Al-Qur’an. Sebab dalam tafsir sendiri isinya adalah memperjelas kalam Allah, baik dengan menggunakan bahasa asli yakni bahasa Arab atau dengan bahasa yang lain. Baik penjelasan tersebut secara global ataupun dengan cara penafsiran secara rinci. 

Dalam tafsir sendiri juga mencakup terhadap keseluruhan makna dan maksud dalam Al-Qur’an, berbeda dengan terjemah Al-Qur’an yang hanya menerjemahkan lafad dari Al-Qur’an saja.

Hal ini sebagaimana keterangan Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, dalam kitab Manahil al-Irfan, Juz 2, Halaman 80 berikut;

 وان التفسير: هو التوضيح لكلام الله تعالى سواء كانت بلغة الأصل )اللغة العربية (أم بغيرها، بطريق اجمالي أو تفسيري، متناولا كافة المعانى والمقاصد أو مقتصرا على بعضها دون بعض 

Artinya : “Tafsir adalah memperjelas kalam Allah, baik dengan menggunakan bahasa asli (bahasa Arab) atau dengan Bahasa yang lain. Baik penjelasan secara global ataupun dengan cara penafsiran yang rinci, mencakup terhadap keseluruhan makna dan maksud dalam Al-Qur’an ataupun meringkas dengan sebagian makna dan tujuan tanpa menjelaskan makna dan tujuan yang lain” 

Berdasarkan penjelasan diatas, terjemahan Al-Qur’an tidak bisa disamakan hukumnya dengan tafsir Al-Qur’an. Hal ini karena terjemah Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang memperjelas kandungan makna dalam Al-Qur’an, akan tetapi hanya sebatas mengartikan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir. 

Oleh sebab itu, maka orang yang memegang terjemahan wajib dalam keadaan suci ketika memegang atau membawa Al-Qur’an terjemahan. Sebagaimana dalam keterangan Muhammad Nawawi al-Bantani, dalam kitab Nihayah az-Zain juz 1, Halaman 33 berikut,

 أما ترجمة المصحف المكتوبة تحت سطوره فلا تعطي حكم التفسير بل تبقى للمصحف حرمة مسه وحمله كما أفتى به السيد أحمد دحلان 

Artinya : “Adapun terjemahan mushaf Al-Qur’an yang ditulis dibawah kertas dari mushaf maka tidak dihukumi sebagai tafsir, akan tetapi tetap berstatus sebagai mushaf yang haram memegang dan membawanya, hukum ini seperti halnya yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan.” 

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa terjemahan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang memperjelas kandungan makna dalam Al-Qur’an, akan tetapi hanya sebatas mengartikan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir. 

Oleh sebab itu, maka orang yang memegang terjemahan wajib dalam keadaan suci ketika memegang atau membawa Al-Qur’an terjemahan.  Pendek kata, memegang Al-Qur’an terjemahan tanpa wudhu tidak diperbolehkan. Mesti dalam keadaan ada wudhu/suci. 

Demikian penjelasan mengenai hukum memegang Al-Qur’an terjemahan tanpa wudhu. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kemenag Mulai Mengatur Jumlah Jamaah Umroh

Kementerian Agama (Kemenag) terus memantau keberangkatan sampai kepulangan jamaah umroh. Pemantauan tersebut untuk memastikan umroh di masa pandemi berjalan lancar.

“Kita atur tiap hari,” kata Direktur Bina Umroh dan Haji Khusus Nur Arifin saat dihubungi Republika, Jumat (21/1/2022).

Nur Arifin tidak menjelaskan seperti apa teknis pengaturannya itu, namun ia memastikan, sampai saat ini masih ada keberangkatan jamaah umroh dari bandara Soekarno Hatta.

“Yang berangkat sekitar 500 jamaah,” katanya.

Nur Arifin mengatakan, jumah 500 ini merupakan hasil dari jumlah yang dibatasi Kemenag. Pembatasan jumlah ini untuk menghindari penumpukan jamaah saat keberangkatan di Bandara Soekarno Hatta yang menyebabkan jamaah terpapar Covid-19.

“Iya 500 ini jumlah yang dibatasi kemenag,”

Pada kesempatan ini, Nur Arifin menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada Kemenag. Sehingga sampai saat ini Kemenag masih dipercaya sebagai pihak yang mengatur usaha di sektor umroh.

“Kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan pada Kemenag sebagai regulator perjalanan umrah,” katanya.

Kemenag, memastikan siap meningkatkan pelayanannya kepada jamaah umroh, sejak keberangkatan ke tanah suci sampai kembali lagi di tanah air. Peningkatan pelayanan agar jamaah tidak terpapar covid varian baru umicron.

“Dengan senang hati dan kami menyatakan siap untuk meningkatkan layanan keberangkatan dan pemulangan jamaah umrah agar jamaah semakin tertib dan terhindar dari penyebaran omicron,” katanya.

Saat ini asrama haji menjadi tempat karantina bagi jamaah haji yang berangkat dan pulang umroh. Hal ini juga sesuai dengan apa yang disampaikan Menteri Agama Menag Yaqut Cholil Qoumas saat rapat di DPR.

“Juga kami berterima kasih Asrama Haji dipercaya menjadi tempat karantina,” katanya.

Bahkan kata Nur Arifin, asrama haji ini kelaikannya sudah disurvei oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB menyatakan asrama haji ini laik menjadi tempat karantina.

“Saat ini kami sedang rapat membahas kesiapan asrama haji sebagai tempat karantina agar sesuai standar,” katanya.

IHRAM

Buah dari Ketulusan

Ketegaran dan kebahagiaan lahir dari besarnya sebuah ketulusan.

Kebaikan menjadi pelipur segala kecemasan. Kebijaksanaan menjadi simbol ketegasan. Maka sungguh ketegaran dan kebahagiaan pun lahir dari besarnya sebuah ketulusan.

Telah menceritakan Abu at-Thahir Ahmad bin Amru bin Sarh, telah menceritakan Ibnu Wahab dari Usamah bahwa dia mendengar Abu Sa’id dari Abdullah bin Amir bin Kuraiz dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat kepada ketulusan hati kalian” (HR Muslim).

Pertama, ketenangan. Hati menjadi pusat kendali pada diri. Dengan ketulusan yang tak henti terpahat pada diri, hal tersebut akan senantiasa menjadi jembatan untuk selalu mengingat Sang Ilahi.

Allah SWT berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS ar-Ra’d: 28).

Kedua, jaminan diterimanya amal. Capaian terbesar tak selalu tentang kedudukan yang tinggi dan banyaknya pujian. Capaian terbesar terletak pada beribu-ribu buih cinta yang disimbolkan pada setiap ketulusan dan padad saat itu pula Allah tak segan-segan untuk memberikan cinta-Nya secara kontan. Semua itu tersaji atas dasar kekuatan iman dan takwa yang senantiasa menjadi pelengkap perjalanan kehidupan.

Dari Abu Umamah al-Bahili RA ia berkata bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW lalu berkata, “Bagaimana pendapat Anda mengenai seseorang yang berjihad mengharapkan upah dan sanjungan, apakah yang ia peroleh?

Rasulullah SAW menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa,”  lalu ia mengulanginya tiga kali, Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.”Kemudian beliau bersabda, “Allah tidak menerima amalan kecuali jika dilakukan dengan ikhlas dan mengharapkan wajah-Nya (keridhaan-Nya)” (HR an Nasa’i).

Ketiga, pahala yang melimpah. Ketulusan menjadi pintu utama dalam menggapai limpahan pahala. Dengan ketulusan, kita akan senantiasa mendapatkan anugerah kebaikan dari-Nya.

Dari Sa’ad bin Abu Waqash RA mengabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah (tulus mengharap ridha Allah) kecuali kamu akan diberi pahala termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu” (HR Bukhari).

Ibarat lantunan melodi indah yang diperdengarkan. Ketulusan menjadi sumber ketenangan. Jalan istimewa untuk menggapai kebahagiaan. Tanpanya, kehidupan tampak tak elegan. Lewat ketulusan, keridhaan-Nya pun didapatkan.

Wallahu a’lam.

OLEH MUHAMAD YOGA FIRDAUS

KHAZANAH REPUBLIKA

Mualaf Nana, Tertarik Masuk Islam Setelah Dengar Adzan Subuh

Muala Nana merasakan teduhnya panggilan adzan subuh

Fauzan Nana Sudiana terlahir dengan nama Rafael Nana Sudiana. Pria berumur 27 tahun itu lahir dan tumbuh di tengah keluarga Non-Muslim yang taat. Tak hanya keluarganya, namun lingkungan tempat tinggalnya juga mayoritas Non-Muslim.

Meski demikian, pria yang akrab disapa Nana itu memiliki banyak teman Muslim di luar lingkungan tempat tinggalnya. Karenanya, nuansa keislaman sudah tak asing baginya. Hatinya pun merasa syahdu setiap kali mendengar lantunan suara adzan, terutama adzan subuh. Ada kedamaian yang menelisik dalam ruang kalbunya. 

Hidayah Allah SWT pun datang. Semakin sering mendengar adzan, Nana semakin merasa tertarik pada Islam. Dia pun banyak bertanya pada teman-teman muslimnya mengenai Islam. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan Ustadz Syahri, yang menjadi pembimbing para mualaf di Yayasan Mualaf Ikhlas Madani Indonesia (Mukmin) Kabupaten Kuningan. 

Ustadz Syahri mampu menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Nana tentang Islam. Hingga akhirnya, dia merasa mantap untuk memeluk Islam. Dengan dituntun Ustadz Syahri, dia mengucapkan dua kalimat syahadat. 

Pilihan Nana untuk meninggalkan agamanya yang dulu dan beralih pada Islam tentu mendapat penolakan dari keluarganya. Meski demikian, dia tetap membulatkan tekad untuk tetap berpegang teguh pada agama Allah SWT.  

Untuk menghindari intrik dengan keluarga, Nana memutuskan meninggalkan rumahnya yang ada di Desa Rambatan, Kecamatan Ciniru, Kabupaten Kuningan. Dia kemudian memilih tinggal di rumah singgah mualaf yang dikelola oleh Yayasan Madani Kabupaten Kuningan. 

Sudah setahun Nana tinggal di rumah singgah mualaf yang beralamat di Jalan Raya Babatan Bayuning, RT 04 RW 01 Desa Bayuning, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan. Di tempat tersebut, dia tinggal bersama beberapa orang mualaf lainnya, yang mengalami kondisi hampir sama dengannya. 

Meski demikian, Nana berusaha untuk tetap menjaga hubungan baik dengan orang tua dan keluarganya. Hal itu setelah dia mendapat nasihat dari Ketua Yayasan Madani Kabupaten Kuningan, Ade Supriadi. Walau berbeda keyakinan, Islam mengajarkan setiap anak untuk tetap berbuat baik kepada kedua orang tua.  

‘’Saya kemudian sering mengajak Pak Ade ke rumah untuk menemui ibu dan keluarga saya. Akhirnya mereka tahu bahwa Islam bukan seperti yang mereka pikirkan. Islam adalah agama yang damai dan penuh rahmat,’’ kata Nana kepada Republika.co.id, Kamis (20/1).  

Nana bersyukur, keluarganya akhirnya bisa menerima keislamannya. Meski memang, mereka masih belum mendapat hidayah untuk mengikuti jejaknya memeluk Islam 

Di rumah singgah mualaf itu, Nana belajar lebih dalam tentang akidah Islam. Dia juga belajar tentang pelaksanaan ibadah, termasuk solat dan mengaji. Setiap bakda Magrib, dia belajar membaca Alquran bersama para mualaf lainnya. 

Tak hanya itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara mandiri, para mualaf di rumah singgah juga memiliki aktivitas ekonomi. Mereka memilih berjualan, termasuk Nana. 

Nana berjualan angkringan yang diproduksi sendiri oleh para mualaf di rumah singgah. Selain nasi bakar, ada juga makanan lainnya khas angkringan, seperti nasi kucing, susu jahe, berbagai macam sate, kopi seduh dan lainnya. ‘’Alhamdulillah, walau sambil berjualan, saya tidak pernah ketinggalan untuk belajar agama,’’ tutur Nana. 

Semula, hasil penjualan angkringan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di rumah singgah. Namun, pandemi Covid-19 yang berujung pada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), telah memaksa usaha angkringan menjadi terhenti. 

Modal yang ada pun tergerus untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di rumah singgah.

Kini, seiring membaiknya pandemi dan bergeliatnya ekonomi masyarakat, para mualaf membutuhkan bantuan modal untuk memulai kembali usaha mereka. ‘’Saya ingin sekali menambah modal untuk memulai usaha kembali,’’ tutur Nana. 

Selain berjualan angkringan, Nana juga sedang membuat produk kerajinan tangan yang nantinya bisa dijual. Namun untuk itu, dia kembali terbentur pada kesulitan modal. Dia berharap, ada uluran tangan dari para hamba Allah untuk membantunya dan para mualaf lainnya di rumah singgah agar bisa berdaya ekonomi. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Bacaan Shalawat Hajjiyyat Agar Dimudahkan Naik Haji

Semua orang Islam pastinya ingin menyempurnakan rukun Islam yang kelima, yakni menunaikan ibadah haji ke baitullah. Oleh sebab itu, banyak cara pun mereka lakukan, baik usaha lahir dengan menabung sebagian rezekinya maupun usaha batin dengan cara berdoa.

Syekh Ahmad Qusyairi di dalam kitab Al-Wasiilah Al-Hariyyah fi Al-Shalawat Ala Khairil Bariyyah telah menuliskan sebuah doa agar dapat menunaikan ibadah haji dalam bentuk shalawat yang disebut dengan shalawat hajjiyat sebagaimana berikut,

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُبَلِّغُنَا بِهَا حَجَّ بَيْتِكَ الْحَرَامِ وَزِيَارَةَ قَبْرِ نَبِيِّكَ عَلَيْهِ أَفْضْلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ فِيْ لُطْفٍ وَعَافِيَةٍ وَسَلَامَةٍ وَبُلُوْغِ الْمَرَامِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهٖ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ.

Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin tuballighunaa bihaa hajja baitikal haraam wa ziyaarata qabri nabiyyika alaihi afdhalus shalaatu was salaamu fi luthfin wa ‘aafiyatin wa salaamatin wa bulughil maraam wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa barik wa sallim.

Ya Allah, limpahkanlah rahmat atas junjungan kami Muhammad dengan berkah shalawat yang dapat menyampaikan kami dengannya untuk berkunjung ke rumah Mu yang mulia dan mengunjungi makam nabi-Mu, atasnya shalawat dan salam yang paling utama dalam kelembutan, sehat, selamat, dan tercapai cita-citanya, serta berkahilah dan salam untuk keluarganya dan sahabat-sahabatnya.

Demikianlah shalawat hajjiyat yang diajarkan oleh Imam Ahmad Qusyairi di dalam kitabnya. Shalawat tersebut dapat kita amalkan sebagai bentuk doa atau harapan kita kepada Allah swt. agar dengan izinNya melalui shalawat hajjiyat ini kita dapat menunaikan ibadah haji. Aamiin. Wa Allahu a’lam bis Shawab.

BINCANG SYARIAH

Doa Saat Dizalimi Orang Lain

Ketika dizalimi seseorang, dalam Islam kita dianjurkan untuk mendoakan orang yang berbuat zalim. Doa ketika dizalimi, sebagai alternatif dari pada membalas dendam. 

Pasalnya, dendam tak akan pernah usai. Dendam yang melekat di dalam hati, hanya akan melahirkan dendam yang lain lagi. Begitu seterusnya. Untuk itu, ulama menyatakan Jika manusia diuji dengan kezaliman orang, maka kita dianjurkan untuk tidak membalas perlakukan orang tersebut dengan perbuatan serupa. 

Sebaliknya, kita dianjurkan untuk memaafkan orang tersebut dan memohon kepada Allah agar perbuatan zalimnya kepada kita diampuni. Di antara doa ketika dizalimi, yang bisa dibaca sebagai berikut;

اَللَّهُمَّ اعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَنِيْ اَللَّهُمَّ اعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَنِيْ اَللَّهُمَّ اعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَنِيْ

Allohumma’fu ‘amman dzolamanii. Allohumma’fu ‘amman dzolamanii. Allohumma’fu ‘amman dzolamanii. 

Ya Allah, ampunilah orang yang telah berbuat zalim padaku. Ya Allah, ampunilah orang yang telah berbuat zalim padaku. Ya Allah, ampunilah orang yang telah berbuat zalim padaku.

Doa ini pernah dibaca oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri ketika ada seseorang yang telah menzaliminya. Beliau membaca doa ini dengan harapan agar beliau mendapatkan pahala yang banyak di sisi Allah sebagaimana telah difirmankan dalam surah Al-Syura ayat 40 berikut;

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.

Ini sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Baththal dalam kitab Syarh Shahih Al-Bukhari berikut;

كان الحسن البصري رحمه الله يدعو ذات ليلة: اللهم اعف عمن ظلمني فأكثر في ذلك. فقال له رجل: يا ابا سعيد لقد سمعتك الليلة تدعو لمن ظلمك حت تمنيت ان اكون ممن ظلمك فما دعا الى ذلك قال: قوله تعالى فمن عفا واصلح فاجره على الله

Di suatu malam, Imam Al-Hasan Al-Bashri banyak membaca doa; Allohumma’fu ‘amman dzolamanii.  Lalu ada seseorang yang bertanya kepada beliau; Wahai Abu Sa’id, malam ini aku mendengar kamu banyak berdoa ampunan untuk orang yang telah mendzalimi mu hingga aku berharap akulah yang berbuat zalim pada mu itu. 

Apa yang telah mendorongmu melakukan hal itu? Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata; Yaitu firman Allah; Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.

Demikian penjelasan terkait doa saat dizalimi. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hukum Arisan Haji Menurut Fikih

Tidak ada kepastian boleh atau tidaknya melakukan arisan haji.

Arisan sudah menjadi tradisi yang sangat akrab dengan masyrakat. Selain menjadi ritual untuk mengeratkan silaturahmi dan kedekatan antar keluarga, teman, hingga rekan kerja, hadiah yang ditawarkan dalam setiap arisan juga sangat beragam, mulai dari arisan uang, motor, hingga arisan haji. 

Ahli Fiqih Muamalah Ustad Oni Sahroni mengatakan, tidak ada kepastian boleh atau tidaknya melakukan arisan haji. Menurutnya, berdasarkan ketentuan fiqih terkait arisan, harus ada kepastian tentang jenis barang atau nominal uang yang akan dipertukarkan atau dipergilirkan di antara peserta arisan. 

“Saya tidak bisa menyimpulkan apakah arisan haji itu boleh atau tidak, karena diantara ketentuan fiqih terkait arisan adalah adanya kepastian barang / uang yang dipertukarkan  (dipergilirkan) di antara peserta arisan. Apakah itu terjadi atau tidak, itu masih perlu dipertegas,” jelas doktor bidang Fiqih Muqarin Universitas Al-Azhar Kairo itu kepada Republika, (19/1). 

Selain itu, hal lain yang perlu diperjelas adalah nominal yang dibayarkan oleh peserta, apakah sama atau tidak dengan nominal yang akan mereka terima ketika mendapatkan giliran arisan. “Perlu dipastikan apakah niminal yang dibayarkan sama dengan nominal yang diterima atau tidak?” kata Ustad Oni. 

Untuk menghindari ketidakpastian atau hal lain yang tidak diharapkan, dibanding arisan haji, Ustad Oni lebih menyarankan untuk mengikuti arisan uang, dimana uang hasil arisan tersebut dapat ditujukan untuk biaya berangkat haji. 

“Menurut saya, solusinya ; lebih aman dengan arisan uang saja. nanti setiap yang menerima uang arisan itu bisa memperuntukkan uang tersebut untuk biaya berangkat haji. itu menurut saya lebih aman, dan memenuhi ketentuan fiqih terkait arisan, dimana transaksi arisan ini sama dengan hukum hutang piutang bahwa nominal yang dibayarkan sama dengan nominal yang diterima,” sarannya. 

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda. “Apabila berangkat seorang untuk menunaikan haji dengan nafkah yang baik pada waktu meletakkan kakinya pada kendaraan dan menyeru talbiyah, seorang dari langit mengundangnya ‘Engkau telah memenuhi panggilan dan engkau telah berbahagia, bekalmu halal dan perlengkapanmu halal, hajimu termasuk mabrur’,” (HR Thabarany).

Dalam lanjutan hadis tersebut, jika bekal dan perlengkapannya didapat dari harta haram maka hajinya tidak sah. Haji dari uang arisan masih menjadi perbincangan di kalangan ulama. Pada dasarnya arisan masuk dalam kategori muamalah. Arisan tidak disinggung langsung dalam Alquran dan sunah. Sesuai dengan hukum asal muamalah, maka hukum arisan boleh atau mubah.

Majelis Tarjih Muhammadiyah memandang, jika arisan haji dilaksanakan sedikit orang yang memiliki penghasilan tertentu dan jaminan yang kokoh untuk menyelesaikan kewajibannya maka hal tersebut tidak masalah. Lain halnya jika arisan tersebut dilakukan oleh banyak orang, misalnya 50 orang dengan membayar iuran dengan jumlah tertentu. Yang dikhawatirkan dari jumlah yang banyak adalah lamanya untuk memberangkatkan semua anggota arisan.

Forum Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dalam Mukhtamar ke-28 memberi fatwa tentang iuran arisan haji yang berubah-ubah. Di awal arisan sebagai sebuah sistem diperbolehkan. Sementara jika iuran arisan haji berubah sesuai dengan perubahan BPIH setiap tahun maka ada beberapa perbedaan dalam hal ini. Namun ulama NU menegaskan haji orang tersebut tetap sah.

Menurut Ali al-Syibramalisyi dalam kitab Nihayatul Muhtaj Juz II disebutkan pinjaman yang syari adalah memberikan hak milik dengan mengembalika penggantinya. Dengan syarat mengembalikan persis sama dengan barang yang dipinjamnya atau dengan bentuk barang yang nilainya sama.

Intinya setiap anggota arisan harus memiliki kemampuan untuk membayar atau mengembalikan pinjaman hasil arisan ketika sudah naik haji. Haji adalah ibadah bagi yang mampu sehingga tidak perlu dipaksakan. Majelis Tarjih Muhammadiyah bahkan mengimbau agar saat berhaji tidak meninggalkan hutang.

KHAZANAH REPUBLIKA

Contoh Tawakal yang Benar untuk Keberangkatan Haji

Syariat telah menegaskan haji adalah bagi orang yang memiliki bekal. Dalam surat Albaqarah ayat 197 sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.

Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi menuliskan daman kitabnya Fadhilah Haji bagaimana contoh bekal takwa yang benar. Untuk menguraikan contoh ini Syekh Maulana menuliskan kisah ketakwaab Abu Bakar Siddiq.

Ketika perang tabuk, Rasulullah SAW menyuruh para sahabat untuk membantu tentara Islam yang hendak berangkat ke medan perang. Abu Bakar ra membawa apa saja yang ada di rumahnya.”Tidak ada sesuatu pun yang tinggal di rumahnya,” tulis Syekh Maulana Muhammad Zakariyya.

Kisah yang kedua menceritakan tentang seorang sahabat yang datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa sepotong emas sebesar telur ayam. Sambil menyerahkannya kepada Rasulullah SAW berkata. “Saya sedekahkan dan saya sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.” 

Rasulullah memalingkan wajahnya dari orang itu, dan dia datang di depan Rasulullah lagi dan berkata seperti semula. Namun demikian Rasulullah memalingkan wajahnya dari orang itu, dan orang itu datang berulang kali di depan Rasulullah  sambil berkata seperti semula.

Pada kedatangan yang keempat kalinya Rasulullah mengambil potongan emas tersebut kemudian melemparkannya dengan keras. Andai saja terkena pemiliknya pasti akan melukainya.

Kemudian Rasulullah bersabda. “Sebagian orang menyedekahkan semua apa yang ia miliki lalu meminta-minta kepada manusia.”

Syekh Maulana Muhammad Zakariyyah mengatakan, dari dua kisah ini bisa diketahui dengan benar kapan tawakal itu dibenarkan. 

Barang siapa yang dalam keadaan tangan kosong mampu bersabar, tidak mengadukan keadaannya kepada manusia, dan tidak meminta-minta kepada orang lain, maka yang pasti dibolehkan untuk pergi haji dengan bertawakal.

Dan barangsiapa yang tidak seperti itu, tetapi menjadi beban bagi orang lain, tidak mampu bersabar, dan tidak pandai bersyukur, maka tidak patut baginya untuk pergi haji dengan bertawakal saja tanpa membawa bekal.

IHRAM

Indah Pada Waktunya

Jika kita bersyukur atas nikmat dan sabar akan derita, maka perjalanan hidup akan indah pada waktunya.

Sungguh, tiada kejadian yang memilukan dalam hidup ini, kecuali akan berujung kegembiraan. Sebab, bukan seteleh kesusahan baru ada kemudahan, tetapi setiap kesulitan selalu disertai kemudahan (QS al-Insyirah[94]: 5-6).

Terkadang, kita harus menangis menanggung beban hidup yang berat, sebelum tersenyum dikala terlepas dari impitan. Pepatah Arab mengatakan, “wa maa al-lazzatu illa ba’da at-ta’bi” (tiada kenikmatan kecuali setelah kepayahan).

Kesengsaraan akan dialami oleh setiap insan walau dalam bentuk yang berbeda-beda. Semakin tinggi kualitas iman seseorang, semakin berat pula cobaannya.

Suatu ketika Nabi Muhammad SAW ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab, “Para nabi, lalu orang-orang saleh dan yang sesudah mereka sesuai tingkat kesalehannya. Seorang akan diberikan ujian selaras dengan kadar agamanya. Bila ia kuat, ditambah cobaan baginya. Kalau ia lemah dalam agamanya, akan diringankan cobaannya. Seorang mukmin akan tetap diberikan cobaan sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikit pun.” (HR Turmudzi).

Nabi SAW juga mengalami cobaan yang berat. Sewaktu dalam kandungan, ia ditinggal ayahnya Abdullah. Pada usia belia, ia kehilangan ibunda Aminah dan kakeknya Abdul Muthalib.

Ketika kaum Quraish semakin semena-mena, dua penopang dakwahnya, yakni paman Abu Thalib dan istri tercinta Siti Khadijah wafat. Tapi, dalam kesedihan itulah beliau diberi karunia besar yakni rekreasi spiritual (isra dan mi’raj) untuk menyaksikan bukti-bukti kebesaran Allah SWT. (M Qurasih Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, 2011).

Teringat, cerita seorang kawan baik yang pernah terpuruk dalam hidupnya. Setelah sarjana, ia diterima menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi di Bogor. Setelah lebih dua puluh tahun mengabdi, ia pun mengalami cobaan yang luar biasa. Akhirnya, ia memilih keluar dari kampus tersebut dengan kesedihan mendalam.

Namun, ia menyadari bahwa setiap kejadian selalu membawa hikmah (pelajaran). Sebagaimana pesan Ilahi, “… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah[2]: 216).

Lalu, ia diterima di sebuah perguruan tinggi Islam yang lebih besar. Berkat ketekunannya, ia dipercaya menjadi salah seorang pimpinan universitas. Bahkan, tidak berselang lama, ia terpilih menjadi orang nomor satu di kampus tersebut. Bahkan, di pengujung 2021 yang lalu, ia meraih capaian akademik tertinggi seorang dosen yakni guru besar.  

Kisah inspiratif di atas membuktikan firman Allah SWT dalam surah Ali Imran [3]: 26. Memang, tidak ada yang bisa mencegah apa yang Allah berikan, dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Allah cegah (HR Bukhari).

Cerita di atas hendak menegaskan bahwa jika kita bersyukur atas nikmat dan sabar akan derita, maka perjalanan hidup akan indah pada waktunya.

Allahu a’lam bish-shawab.

OLEH HASAN BASRI TANJUNG

KHAZANAH REPUBLIKA

Aurat Terlihat Ketika Sujud, Apakah Sholatnya Batal?

Salah satu kewajiban bagi seseorang yang melakukan sholat adalah menutup aurat. Namun, bagi laki-laki yang memakai sarung, seringkali ketika dalam keadaan sujud, ada bagian betis atau paha yang terbuka di mana apabila ada seseorang yang berdiri di belakang, maka akan melihat bagian paha yang terbuka tersebut. Lantas, bagaimanakah hukum shalat yang aurat terlihat ketika sujud?

Dalam literatur kitab fikih, aurat laki-laki yang wajib ditutupi adalah anggota tubuh antara pusar hingga lutut. Sementara aurat perempuan dalam shalat adalah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya baik luar maupun dalam hingga batas pergelangan. 

Hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Qasim dalam kitab Fathul Qarib, halaman 12 berikut,

وعورة الذكر ما بين سرته وركبته ؛ وعورة الحُرَّة في الصلاة ما سوى وجهها وكفيها ظهرا وبطنا إلى الكوعين؛ 

Artinya : “Aurat lelaki ialah anggota tubuh antara pusar hingga lutut,……dan aurat perempuan dalam shalat ialah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya baik luar maupun dalam hingga batas pergelangan.” 

Dari penuturan di atas bisa dipahami bahwa ketika shalat, seorang lelaki harus menutupi area tubuh dari pusar hingga lutut. Namun demikian, kewajiban menutup aurat ini berlaku ketika terlihat dari bagian atas dan sebelah sisi-sisinya yaitu kanan, kiri, depan dan belakang, tidak dari sebelah bawah.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bughyatul Murtarsyidin, halaman  84 berikut,

يشترط الستر من أعلاه وجوانبه لا من أسفله الضمير فيها عائد إما على الساتر أو المصلي ، والمراد بأعلاه على كلا المعنيين في حق الرجل السرة ومحاذيها ، وبأسفله الركبتان ومحاذيهما ، وبجوانبه ما بين ذلك ، وفي حق المرأة بأعلاه ما فوق رأسها ومنكبيها وسائر جوانب وجهها ، وبأسفله ما تحت قدميها ، وبجوانبه ما بين ذلك

Artinya : “Syarat sahnya shalat adalah harus menutupi aurat baik dari arah atas atau samping, kecuali arah bawah. Maksud dari arah atas bagi laki-laki adalah menutupi pusar serta anggota yang lurus dengan pusar.

Untuk arah bawah, dimulai dari lutut serta anggota yang lurus dengan lutut. Sedangkan arah samping adalah tertutupnya semua anggota antara pusar dan lutut. Mengenai arah atas bagi perempuan adalah menutupi kepala,pundak dan sisi samping wajahnya.

Untuk arah bawahnya,bagian arah yang terletak di bawah telapak kakinya. Sedangkan arah sampingnya,semua anggota aurat di antara kepala dan kaki perempuan.”

Dari penjelasasan diatas dapat dipahami bahwa seseorang tidak diwajibkan menutup auratnya dari bagian bawah. Sehingga, apabila auratnya terlihat dari bagian bawah seperti saat melakukan shalat di atas bangunan atau terlihat auratnya saat ia melakukan sujud maka sholatnya tidak batal. Sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anatut Thalibin juz 1 halaman 116

قَوْلُهُ مِنَ اْلا َسْفَلَ) اَيْ فَلَوْ رُؤِيَتْ مِنْ ذَيْلِهِ كَاَنْ كَانَ بِعُلُوِّ وَالَّرائِى بِسُفْلٍ لَمْ يَضُرَّ اَوْ رُؤِيَتْ حَالَ سجُوْدِهِ فَكَذَلِكَ لاَيَضُرُّ)

Artinya : “(ucapan musanif dari bawah) artinya andaikata aurat itu di lihat ujung pakaianya, seperti orang yang melihat ke bawah, maka tidak merusak salatnya atau auratnya dilihat dalam sujudnya, maka yang demikian itu tidak merusak salatnya.”

Sebagaimana juga dijelaskan dalam kitab Tanwirul Qulub halaman 129 berikut,

وَإذَا تَخَرَّقَ ثَوْبُ المُصَلِّى وَظَهَرَتْ عَورَتُهُ وَامْكَنَهُ سَتْرُهَا بِدُونِ مَسِّ مَحَلِّ يُنْقِضُ الوُضُوْءَ كَقُبُلٍ وَجَبَ عَلَيْهِ سَتْرُهَا بِيَدِهِ. فَإِذَا سَجَدَ تَرَكض السَّتْرَ لِوُجُودش عَلَى الأعْضَاءِ السَّبْعَةِ وَلِكَوْنِهِ حِيْنَئِذٍ عَاجِزًا عَنِ السَّتْرِ وَهُوَ لاَيَجِبُ إلاَّ عِنْدَ القُدْرَةِ.

Artinya : “Apabila sobek pakaian orang yang sedang salat dan kelihatan auratnya sedang dia mampu menutupinya tanpa menyentuh tempat yang membatalkan wudlu seperti kemaluan, maka wajib bagina menutupinya dengan tangannya.

Apabila dia bersujud maka dia tidak menutupi aurtnya, karena dia berkewajiban sujud dengan tujuh anggota badannya dan karena keadaannya pada waktu itu menjadi orang yang tidak mampu menutupi aurat, sedang menutup aurat itu tidak wajib kecuali pada waktu mampu.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa, seseorang tidak diwajibkan menutup auratnya dari bagian bawah. Sehingga, apabila auratnya terlihat dari bagian bawah seperti saat ia melakukan sujud maka sholatnya tidak batal.

Demikian penjelasan aurat terlihat ketika sujud,  semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH