Fiqih Ringkas Tentang Ucapan “Jazaakallahu Khairan” (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:

Bersyukur kepada Allah Ta’ala adalah sebuah kewajiban

Bersyukur atas nikmat dari Allah adalah sebuah kewajiban seorang hamba. Barangsiapa yang mensyukuri kenikmatan yang didapatkannya, niscaya Allah Ta’ala akan tambahkan anugerah-Nya kepadanya. Namun, barangsiapa yang mengkufuri nikmat-Nya, maka Allah Ta’ala ancam dengan adzab-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan kalian memberitahukan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim : 7)

Berterimakasih kepada orang yang berbuat baik termasuk bentuk syukur kepada Allah Ta’ala

Berterimakasih kepada orang yang berbuat baik kepada kita termasuk akhlak mulia yang diajarkan dalam agama Islam dan bagian dari bersyukur kepada Allah. Hal ini karena nikmat Allah itu kita dapatkan melalui orang yang berbuat baik kepada kita tersebut.

Termasuk bentuk syukur yang terbaik adalah mengucapkan rasa terimakasih dengan mengatakan kepada orang yang berbuat baik kepada kita:

”جزاك الله خيراً “

(Jazaakallahu khairan)

(Semoga Allah membalasmu dengan balasan kebaikan.)

Hadits-hadits tentang ucapan “Jazaakallahu khairan” dan tuntunan untuk berterima kasih kepada orang yang berbuat baik kepada kita

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صُنع إليه معروفٌ فقال لفاعله: جزاك الله خيراً، فقد بالغ في الثناء

“Barangsiapa yang telah mendapatkan kebaikan dari seseorang, lalu ia berkata kepada pelaku kebaikan tersebut, “Jazaakallahu khairan”, berarti ia telah sampai pada derajat memujinya (telah berterima kasih kepadanya dengan memujinya).” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Dari ‘Asiyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أُتي إليه معروفٌ فليكافئ به، فإن لم يستطع فليذكره، فمن ذكره فقد شكره

“Barangsiapa yang telah mendapatkan kebaikan dari seseorang, maka balaslah. Jika ia tidak mampu membalas kebaikannya, maka sebutlah (pelaku kebaikan karena kebaikannya). Siapa saja yang menyebutnya, berarti dia telah berterima kasih kepadanya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أُولي معروفاً، فليذكره، فمن ذكره فقد شكره، ومن كتمه فقد كفره

“Barangsiapa yang telah mendapatkan kenikmatan dari seseorang, maka sebutlah (pelaku kebaikan karena kebaikannya). Siapa saja yang menyebutnya, berarti dia telah berterima kasih padanya. Dan barangsiapa yang menyembunyikan kebaikannya, maka berarti dia telah mengkufurinya (tidak berterima kasih kepadanya).” (HR. Ath-Thabrani dan dinilai hasan oleh Al-Albani)

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أُعطي عطاءً فوجد فليجز به، فإن لم يجد فليثنِ، فإن من أثنى فقد شكر، ومن كتم فقد كفر، ومن تحلى بما لم يُعط كان كلابس ثوبي زور

“Barangsiapa yang diberi pemberian (oleh seseorang), lalu dia mendapatkan (sesuatu untuk membalasnya), maka balaslah dengannya. Namun jika dia tidak mendapatkannya, maka pujilah dia, karena orang yang memujinya berarti telah berterima kasih (kepadanya). Dan barangsiapa yang menyembunyikan kebaikannya, maka berarti dia telah mengkufurinya (tidak berteima kasih kepadanya). 

Barangsiapa menghiasi diri dengan sesuatu yang dia tidak dianugerahi dengannya, maka dia seperti memakai baju dengan dua lengan baju (yang bertumpuk) untuk menipu (seolah-olah dia memakai dua baju).” (HR. Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Al-Albani)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا قال الرجلُ لأخيه:جزاك الله خيراً، فقد أبلغ في الثناء

“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, “Jazaakallahu khairan”, berarti ia telah sampai pada derajat memujinya (telah berterima kasih kepadanya dengan memujinya).” (HR. Abdur Razaq dan Al-Humaidi, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

“Barangsiapa yang telah berbuat baik kepada kalian, maka balaslah dia (karena kebaikannya). Lalu jika kalian tidak mendapatkan sesuatu yang bisa kalian gunakan untuk membalasnya, maka doakanlah dia, sampai kalian memandang bahwa diri kalian telah membalas kebaikannya.” (HR. Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Al-Albani) 

Berdasarkan hadits di atas, siapa saja yang telah berbuat baik kepada kalian, baik berupa kebaikan ucapan maupun perbuatan, maka balaslah kebaikannya dengan kebaikan yang sepadan atau lebih baik. Diantaranya dengan memberi harta kepadanya.

Lalu jika kalian tidak mendapatkan harta yang bisa kalian gunakan untuk membalas kebaikannya, maka doakanlah dia berulang kali, sampai kalian menyangka dengan sangkaan kuat bahwa diri kalian telah membalas kebaikannya, yaitu kalian telah menunaikan haknya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لا يَشْكُرُ النَّاسَ

“Tidak bersyukur kepada Allah (dengan baik) orang yang tidak berterimakasih kepada orang (lain).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya. Dinilai shahih oleh Al-Albani)

Dari Asy-‘ats bin Qais radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن أشكرَ الناس لله عز وجل أشكرُهم للناس

“Sesungguhnya orang yang paling bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah orang yang paling pandai berterimakasih kepada manusia di antara mereka.” (HR. Ahmad, Ibnu Syaibah, dan selain keduanya. Dinilai shahih oleh Al-Albani)

Di antara bentuk membalas kebaikan adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan memberi hadiah kepada orang yang telah terlebih dahulu memberi hadiah kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dan membalasnya dengan memberi hadiah pula.” (HR. Bukhari)

(Bersambung)

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55152-fiqih-ringkas-tentang-ucapan-jazakallahu-khairan-bag-1.html

Hukum Shalat dengan Memakai Masker

Shalat merupakan ibadah yang memiliki permasalahan yang sangat kompleks. Sejak sebelum pelaksanaan, saat pelaksanaan dan setelahnya, ada saja problematika yang menarik dipelajari hukum fiqihnya. Termasuk di antaranya adalah persoalan memakai masker. Karena pertimbangan kesehatan dan lainnya, seseorang tidak melepas maskernya saat shalat. Bagaimana hukumnya shalat memakai masker?

Agama tidak melarang penggunaan berbagai atribut yang dikenakan ketika shalat, seperti sorban, selendang, peci, sajadah dan lain sebagainya. Termasuk dalam titik ini adalah masker. Asalkan benda-benda tersebut suci, maka diperbolehkan untuk dikenakan saat shalat. Bila masker yang dipakai terkena najis, maka haram dan tidak sah shalatnya.

Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani mengatakan:

ـ (و) الثاني (الطهارة عن النجاسة) أي التي لا يعفى عنها (في الثوب) أي الملبوس من كل محمول له وإن لم يتحرك بحركته وملاق لذلك 

Artinya, “Syarat yang kedua adalah suci dari najis yang tidak dimaafkan, di dalam pakaian, mencakup atribut yang dibawa, meski tidak ikut bergerak dengan bergeraknya orang yang shalat, dan disyaratkan pula suci dari najis, perkara yang bertemu dengan hal di atas,” (Lihat Syekh Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, halaman 102).

Bila melihat pertimbangan keutamaan, sebaiknya penggunaan masker dihindari saat shalat, bila penggunaan masker dapat menghalangi terbukanya hidung secara sempurna saat melakukan sujud. Para ahli fiqih bermazhab Syafi’i menegaskan bahwa salah satu yang disunahkan ketika sujud adalah terbukanya bagian hidung secara sempurna.

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan:

ـ (ويسن في السجود وضع ركبتيه) أولا للاتباع وخلافه منسوخ عل ما فيه  (ثم يديه ثم جبهته وأنفه) معا ويسن كونه (مكشوفا) قياسا على كشف اليدين ويكره مخالفة الترتيب المذكور وعدم وضع الأنف

Artinya, “Disunahkan di dalam sujud, meletakan kedua lutut untuk pertama kali, karena mengikuti Nabi. Nash hadits yang berbeda dengan anjuran ini dinaskh (direvisi) menurut suatu keterangan. Kemudian meletakan kedua tangannya, lalu dahi dan hidungnya secara bersamaan. Dan disunahkan hidung terbuka, karena dianalogikan dengan membuka kedua tangan. Makruh menyalahi urutan yang telah disebutkan, demikian pula makruh tidak meletakan hidung,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim Hamisy Hasyiyatut Tarmasi, juz III, halaman 36).

Mengomentari referensi di atas, Syekh Mahfuzh At-Tarmasi menjelaskan sebagai berikut:

قوله ويسن كونه اي الانف قوله مكشوفا قياسا على كشف اليدين لم يذكر هذا القياس في التحفة، وعبارة شيخ الاسلام ثم يضع جبهته وانفه مكشوفا للاتباع رواه ابو داود وغيره الخ ومقتضى هذا رجوع الاتباع للكشف ايضا فليتأمل وليراجع

Artinya, “Ucapan Syekh Ibnu Hajar dan sunah terbukanya hidung karena dianalogikan dengan membuka tangan, Syekh Ibnu Hajar tidak menyebutkan analogi ini dalam kitab al-Tuhfah. Adapun redaksinya Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari adalah, kemudian sunah meletakan dahi dan hidungnya dalam keadaan terbuka karena mengikuti Nabi. Hadits riwayat Imam Abu Daud dan lainnya.

Tuntutan dari redaksi ini adalah kembalinya alasan mengikuti Nabi kepada persoalan membuka hidung juga. Berpikirlah dan periksalah kembali,” (Lihat Syekh Mahfuzh At-Tarmasi, Hasyiyah At-Tarmasi ‘alal Minhajil Qawim, juz III, halaman 36).

Demikian penjelasan mengenai hukum memakai masker saat shalat. Simpulannya, sebaiknya penggunaan masker dihindari bila sampai menghalangi terbukanya hidung secara sempurna ketika sujud.

Solusi agar tetap mendapat keutamaan adalah, penggunaan masker tidak sampai menutupi bagian hidung, atau saat prosesi sujud, bagian hidung dibuka. Semoga bermanfaat. Wallahu a‘lam. (Ustadz M Mubasysyarum Bih)

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/101647/hukum-shalat-dengan-memakai-masker

Hukum Memakai Masker ketika Shalat Saat Terjadi Wabah Covid-19

Saat ini di sedang terjadi wabah virus corona atau Covid-10 , sebagai salah satu usaha pencegahannya adalah dengan memakai masker

Makruh Menutup Mulut Saat Shalat

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat.” [HR. Ibnu Majah. Dinilai hasan oleh al-Albani]

at-Talatstsum (التلَثُّم) adalah kebiasaan orang Arab yang menggunakan ujung imamah untuk menutup hidung dan mulut mereka seperti yang dikatakan al-Khaththabi dalam Ma’aalim as-Sunan (1: 433). 

Mayoritas alim ulama menilai bahwa hukum at-talatstsum (menutup mulut dan hidung) dalam shalat adalah makruh. Ibnu al-Mundzir mengatakan,

كثير من أهل العلم يكره تغطية الفم في الصلاة، وممن روي عنه أنه كره ذلك: ابن عمر، وأبو هريرة، وبه قال عطاء، وابن المسيب والنخعي، وسالم بن عبد الله، والشعبي، وحماد بن أبي سليمان، والأوزاعي، ومالك، وأحمد، وإسحاق

“Banyak alim ulama yang menilai bahwa menutup mulut ketika shalat dimakruhkan. Di antara mereka yang menilai perbuatan itu makruh adalah: Ibnu Umar, Abu Hurairah, Atha’, Ibnu al-Musayyib, an-Nakha-i, Salim bin Abdillah, asy-Sya’bi, Hammad bin Abi Sulaiman, al-Auza’i, Malik, Ahmad, dan Ishaq.” [al-Ausath 3: 451]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, 

ويكره أن يصلي الرجل متلثما أي مغطيا فاه بيده أو غيرها ويكره أن يضع يده على فمه في الصلاة

“Menutup mulut dan hidung (at-talatstsum) atau menutup mulut saja dengan tangan atau yang lain ketika shalat, dimakruhkan. Dimakruhkan juga, menutup mulut dengan tangan.” [al-Majmu’ 3: 179]

Makruh Menjadi Diperbolehkan Jika Ada Hajat (Kebutuhan)

Namun, larangan menutup mulut dalam shalat ini tidak lagi berlaku jika terdapat hajat yang menuntut perbuatan itu dilakukan, semisal seorang yang bersin ketika shalat maka dia dituntut untuk menutup mulut.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ

“Jika kalian menguap, maka tutuplah mulut dengan tangan karena setan akan masuk.”

dalam redaksi lain tercantum,

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ

“Jika kalian menguap dalam shalat, maka tahanlah sebisa mungkin.” [HR. Muslim]

Dengan demikian, dalam kondisi ada hajat yang menuntut, maka menutup mulut dalam shalat diperbolehkan, bahkan diperintahkan seperti terlihat dalam redaksi hadits di atas. 

An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

ويكره أن يصلي الرجل متلثما أي مغطيا فاه بيده أو غيرها ويكره أن يضع يده على فمه في الصلاة إلا إذا تثاءب فإن السنة وضع اليد على فيه ففي صحيح مسلم عن أبي سعيد إن النبي صلى الله عليه وسلم … والمرأة والخنثى كالرجل في هذا وهذه كراهة تنزيه لا تمنع صحة الصلاة

“Menutup mulut dan hidung (at-talatstsum) atau menutup mulut saja dengan tangan atau yang lain ketika shalat, dimakruhkan. Dimakruhkan juga, menutup mulut dengan tangan. Kecuali apabila seseorang bersin dalam shalat, maka diperbolehkan menutup mulut karena dalam kondisi ini yang sesuai sunnah adalah menggunakan tangan untuk menutup mulut sebagaimana pengajaran yang terdapat dalam hadits di Shahih Muslim (hadits Abu Sa’id al-Khudri di atas) … Wanita dan banci memiliki ketentuan yang sama dalam hal ini. Perbuatan ini hukumnya makruh tanzih, sehingga tidak menghalangi keabsahan shalat.” [al-Majmu’ 3: 179]

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,

يكره اللثام على فمه وأنفه بأن يضع «الغترة» أو «العمامة»، أو «الشماغ» على فمه، وكذلك على أنفه؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يغطي الرجل فاه في الصلاة، ولأنه قد يؤدي إلى الغم وإلى عدم بيان الحروف عند القراءة والذكر. ويستثنى منه ما إذا تثاءب وغطى فمه ليكظم التثاؤب فهذا لا بأس به، أما بدون سبب فإنه يكره، فإن كان حوله رائحة كريهة تؤذيه في الصلاة، واحتاج إلى اللثام فهذا جائز؛ لأنه للحاجة، وكذلك لو كان به زكام، وصار معه حساسية إذا لم يتلثم، فهذه أيضاً حاجة تبيح أن يتلثم

“Dimakruhkan melakukan al-litsaam pada mulut dan hidung, yaitu menutup mulut dan hidung menggunakan ghutrah, imaamah, atau syimaagh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang menutup mulut ketika melaksanakan shalat. Hal itu juga terkadang mengganggu dan mengaburkan lafadz ketika membaca ayat al-Quran dan dzikir shalat. Namun, terdapat pengecualian jika seorang bersin dalam shalat. Dalam hal ini tidak mengapa jika ia menutup mulutnya dengan tangan untuk meredakan bersin. Adapun jika hal itu dilakukan tanpa alasan, maka dimakruhkan. Apabila ada bau tidak enak di sekitar sehingga bisa mengganggu shalat yang akan dilaksanakan, maka boleh melakukan al-litsaam karena ada hajat yang menuntut. Demikian pula jika orang sedang menderita pilek dan apabila ia tidak menutup mulut dan hidung justru akan memperparah, maka kondisi ini adalah hajat yang menuntut diperbolehkannya menutup mulut dan hidung ketika shalat.” [asy-Syarh al-Mumti’ 3: 179]

Kesimpulan: Hukum Memakai Masker Ketika Shalat Saat Terjadi Wabah Covid-19

Berdasarkan uraian di atas, maka di tengah kekhawatiran akan merebaknya pandemik Covid-19 (virus Corona), diperbolehkan bahkan bisa menjadi hal yang diperintahkan untuk menggunakan masker ketika melaksanakan shalat, terutama bagi orang yang menunjukkan gejala-gejala seperti batuk, flu, pilek, selesma dan menghadiri pelaksanaan shalat berjama’ah di masjid. Hal ini untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran pandemik Covid-19 (virus Corona). Wallahu ta’ala a’lam.

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55194-hukum-memakai-masker-ketika-shalat-saat-terjadi-wabah-covid-19.html

Larangan Menjalin Jari-Jemari (Tasybik) ketika Shalat

Tidak menjalin (menganyam) jari-jemari (tasybik) termasuk adab yang ditegaskan oleh para ulama ketika seseorang pergi menuju masjid

Dalil-dalil yang melarang tasybik

Tidak menjalin (menganyam) jari-jemari (tasybik) termasuk adab yang ditegaskan oleh para ulama ketika seseorang pergi menuju masjid. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا توضأ أحدكم في بيته ثم أتى المسجد كان في صلاة حتى يرجع فلا يفعل هكذا وشبك بين أصابعه

“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu di rumah, kemudian berangkat ke masjid, maka dia dalam kondisi shalat sampai dia kembali (lagi ke rumah). Maka janganlah melakukan hal ini.” Dia pun menjalin jari-jemarinya (tasybik)(HR. Ad-Darimi, 1: 267; Al-Hakim, 1: 206; shahih)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ثُوِّبَ لِلصَّلَاةِ فَلَا تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا وَعَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا كَانَ يَعْمِدُ إِلَى الصَّلَاةِ فَهُوَ فِي صَلَاةٍ

“Jika iqamat shalat telah dikumandangkan, maka janganlah kalian datang sambil berlari, namun datanglah dengan tenang. Apa yang kalian dapatkan dari (imam) shalat, maka ikutilah, dan apa yang tertinggal, maka sempurnakanlah. Sebab bila salah seorang di antara kalian pergi untuk mendirikan shalat, maka dia dinilai sedang shalat.” (HR. Muslim no. 602)

Hadits-hadits tersebut menunjukkan terlarangnya melakukan tasybik ketika berjalan menuju masjid dan juga ketika di masjid menunggu didirikannya shalat. Karena orang yang sedang berjalan menuju masjid dan menunggu didirikannya shalat, statusnya sama seperti orang yang sedang shalat. 

Larangan tasybik juga ditegaskan dalam beberapa hadits berikut ini.

حَدَّثَنِي أَبُو ثُمَامَةَ الْحَنَّاطُ، أَنَّ كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ، أَدْرَكَهُ وَهُوَ يُرِيدُ الْمَسْجِدَ أَدْرَكَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، قَالَ: فَوَجَدَنِي وَأَنَا مُشَبِّكٌ بِيَدَيَّ، فَنَهَانِي عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ، ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ

Dari Abu Tsumamah Al-Hannath, bahwasanya Ka’ab bin ‘Ujrah pernah menjumpainya hendak pergi ke masjid, salah satunya bertemu dengan temannya. Kata Abu Tsumamah, Ka’ab mendapatiku sedang tasybik, maka dia melarangku berbuat demikian. Dan dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu, lalu dia membaguskan wudhunya, kemudian pergi menuju masjid, maka janganlah dia melakukan tasybik. Karena dia dianggap sedang shalat.” (HR. Abu dawud no. 562, At-Tirmidzi no. 386, shahih)

سَأَلْتُ نَافِعًا، عَنِ الرَّجُلِ يُصَلِّي، وَهُوَ مُشَبِّكٌ يَدَيْهِ، قَالَ: قَالَ ابْنُ عُمَرَ: تِلْكَ صَلَاةُ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ

Dari Isma’il bin Umayyah, “Aku bertanya kepada Nafi’ tentang orang yang shalat dengan melakukan tasybik.” Nafi’ menjawab, “Ibnu ‘Umar pernah berkata bahwa itu adalah shalatnya orang yang dimurkai (yaitu orang Yahudi, pent.).” (HR. Abu Dawud no. 993, shahih)

Al-Khaththabi rahimahullah berkata,

“Yang dimaksud dengan tasybik adalah memasukkan (menganyam) sebagian jari-jemari ke sebagian jari-jemari yang lain. Sebagian orang melakukannya secara sia-sia saja. Sebagian orang terkadang membunyikan (ruas) jari-jemarinya ketika Engkau menjumpai mereka sedang berbaring atau terlentang. Terkadang seseorang duduk, kemudian melakukan tasybik dan bersandar dengan kedua tangannya, karena ingin duduk santai. Dan terkadang hal itu menyebabkan datangnya rasa kantuk, sehingga menjadi sebab batalnya wudhunya.” (Ma’aalim As-Sunan, 1: 295)

Kapan diperbolehkan melakukan tasybik

Terdapat hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, tentang kisah sahabat Dzul Yadain berkaitan tentang sujud sahwi (ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lupa ketika shalat isya’ karena setelah mendapatkan dua raka’at, beliau lansgung salam). Di dalam hadits tersebut terdapat lafadz,

فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ فَقَامَ إِلَى خَشَبَةٍ مَعْرُوضَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَاتَّكَأَ عَلَيْهَا كَأَنَّه غَضْبَانُ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

“Beliau shalat bersama kami dua rakaat kemudian salam. Kemudian beliau mendatangi tiang yang tertancap di masjid. Beliau lalu bersandar pada kayu tersebut seolah-olah sedang marah dengan meletakkan lengan kanannya di atas lengan kirinya, serta melakukan tasybik … “ (HR. Bukhari no. 482 dan Muslim no. 573)

Al-Bukhari rahimahullah meletakkan hadits ini di kitab Shahih-nya di bawah judul bab,

بَابُ تَشْبِيكِ الأَصَابِعِ فِي المَسْجِدِ وَغَيْرِهِ

“Bab men-tasybik jari-jemari di dalam masjid dan selain masjid.” 

Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata, “Mungkin maksudnya adalah boleh secara mutlak. Hal ini karena jika boleh dikerjakan di masjid, maka di selain masjid tentu saja lebih-lebih lagi bolehnya.” (Taraajim Al-Bukhari, hal. 129)

Dan bisa jadi maksud dari Imam Al-Bukhari adalah menyanggah orang yang berpendapat terlarangnya men-tasybik jari-jemari dan menjelaskan bahwa larangan dalam masalah itu tidak didukung oleh hadits yang valid. 

Sebagian ulama berkata bawa tidak ada pertentangan antara hadits-hadits yang melarang tasybik dengan hadits yang membolehkan tasybik. Hal ini karena tasybik tersebut terjadi setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap shalatnya telah selesai (karena ketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lupa), maka statusnya sama dengan orang yang benar-benar telah selesai shalat. Adapun hadits khusus yang berisi larangan tasybik berkaitan dengan orang yang sedang mendirikan shalat, karena hal itu termasuk perbuatan sia-sia dan tidak mendukung kekhusyu’an dalam shalat. Atau larangan tasybik tersebut berkaitan dengan orang yang sedang pergi menuju masjid. Karena jika hati itu khusyu’ ketika shalat, maka akan tercermin dalam khusyu’-nya anggota badan secara keseluruhan. 

Bolehnya tasybik selesai shalat juga ditunjukkan oleh hadits yang lain. Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ

“Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.” Kemudian beliau melakukan tasybik.” (HR. Bukhari no. 481)

Yang perlu diperhatikan, sebagian orang shalat juga berbuat sia-sia dengan menekuk atau melipat ruas-ruas jarinya sehingga menimbulkan bunyi (suara). Ini juga perbuatan sia-sia yang seharusnya ditinggalkan, sebagaimana perkataan Al-Khaththabi di atas. Karena sekali lagi, jika hati itu khusyu’, maka akan tercermin dalam khusyu’-nya seluruh anggota badan yang lain.

[Selesai]

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55118-larangan-menjalin-jari-jemari-tasybik-ketika-shalat.html

Keutamaan Mimpi Berjumpa Rasulullah SAW dan Manfaatnya

Rasulullah SAW menyatakan mimpi bertemu dengannya sebuah anugerah.

Memimpikan orang yang sudah wafat lumrah terjadi pada diri setiap orang. Namun agak sulit memaknai dan membedakan mana mimpi yang benar-benar bisa memberikan isyarat hidayah dan mana mimpi dalam arti kembang tidur. 

Dalam literatur tasawuf, bermimpi atau bahkan berkomunikasi interaktif dengan orang-orang yang sudah wafat sesuatu yang biasa terjadi di kalangan para arifin. Mimpinya orang saleh, apalagi ulama yang taat dan bersih, dianggap bagian isyarat dari Tuhan.

Dalam Alquran, dapat dipahami bahwa mimpinya para nabi dapat disejajarkan dengan wahyu. Syariah qurban, menyembelih hewan qurban, yang kita lakukan sampai saat ini pada awalnya adalah mimpi Nabi Ibrahim yang diminta untuk menyembelih anak kesayangannya.

Banyak hadis sahih yang meriwayatkan keutamaan mimpi berjumpa Rasulullah SAW. Di antara hadis itu ialah: “Barang siapa melihatku dalam mimpi, maka dia benar-benar telah melihatku. Sesungguhnya setan tidak dapat menjelma sepertiku.” (HR Muslim dari Abi Hurairah).

Dalam redaksi lain, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang melihat aku dalam mimpi, maka dia benar-benar melihat sesuatu yang benar.” (HR Muslim dari Abu Qatadah). 

Dalam riwayat lain disebutkan, “Barang siapa yang sering bershalawat terhadapku, aku tahu dan aku tentu memberikan syafaat di hari kiamat.” Dalam redaksi lain dikatakan, “Barang siapa memimpikan aku, maka aku akan bersamanya nanti di surga.”

Penggambaran Rasulullah SAW dalam Alquran menarik untuk dikaji karena hampir semuanya menggunakan bentuk fi’il mudhari’ (present and future), bukannya menggunakan bentuk fi’il madhi (past tense). Salah satu contohnya ialah: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan Al Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al Baqarah [2]: 151). 

Kata membacakan, menyucikan, dan mengajarkan digunakan bentuk fi’il mudhari’. Itu artinya Rasulullah masih bisa berkomunikasi aktif dengan umatnya secara khusus. 

KHAZANAH REPUBLIKA

10 Waktu Disunahkannya Azan

AZAN adalah bacaan-bacaan khusus yang disuarakan untuk tujuan tertentu. Hukum melakukan azan adalah sunah. Selama ini yang dikira sunnah melakukan azan adalah saat akan salat fardhu dan bayi yang baru lahir saja.

Padahal ada banyak sekali tempat atau waktu yang disunahkan untuk melakukan azan. Dalam Kitab Hasyiyah Al-Bajury hal. 161, Haramain, disebutkan ada 10 tempat/waktu yang disunahkan untuk melakukan azan.

1. Sebelum Salat Fardhu

Ini mungkin azan yang paling sering terdengar. Hampir di seluruh masjid akan terdengar suara azan setiap salat lima waktu akan dilaksanakan. Faedah Azan di waktu ini adalah untuk memberitahukan kepada orang-orang bahwa sudah masuk waktu salat.

2. Pada Telinga Orang yang Sedang Gundah

Manusia memang memiliki sifat gundah, galau, gelisah dan seterusnya. Hal ini wajar apalagi jika sedang mengalami masalah yang besar. Islam memberikan obat dengan cara diazankan ke telinga orang tersebut. Faedah dari azan di sini adalah untuk menghilangkan kegelisahan atau kegundahan orang yang bersangkutan.

3. Pada Telinga orang yang Sedang Marah

Rasul berpesan agar jangan marah. Namun dalam kondisi tertentu sebagai manusia biasa akan merasa sulit sekali menahan amarah tersebut. Apalagi jika alasan marah itu timbul cukup besar. Jika sedang melihat orang lain (teman, saudara, keluarga) yang sedang marah, kita bisa mengambil inisiatif untuk azan di telinganya. Faedahnya adalah untuk meredakan amarah orang tersebut. Disebutkan bahwa marah adalah api sementara azan adalah air.

4. Pada Telinga orang yang Mempunyai Sifat Tercela

Jika menemukan orang yang mempunyai sifat jelek, sunah melakukan azan ke telinganya. Baik itu karena permintaan orang yang bersangkutan atau tawaran dari kita sendiri. Hal ini bisa dilakukan untuk anak, saudara atau anggota keluarga yang lain. Bahkan sunah azan di sini juga berlaku untuk binatang yang memiliki perangai tidak baik. Mungkin bisa dicoba untuk kambing, sapi atau peliharaan yang lain. Faedahnya untuk memperbaiki sifat tercela pada orang atau binatang tersebut.

Saat terjadi kebakaran juga disunahkan melakukan azan. Faedahnya untuk meredakan api. Namun tetap ada ikhtiar untuk memadamkan api dengan memanggil petugas pemadam kebakaran atau kerja sama dengan masyarakat untuk memadamkan api.

6. Pada Telinga Orang yang Masru (Keserupan)

Orang yang sedang masru atau dimasuki oleh jin harus dilakukan penanganan khusus. Penanganan bisa dilakukan dengan bacaan ayat-ayat tertentu dari Alquran atau biasa disebut ruqyah. Namun tidak banyak orang yang paham mengenai ruqyah. Oleh karena itu, solusi yang bisa dilakukan adalah melakukan azan ke telinga orang yang masru. Hukum azan saat seperti ini sunah. Faedahnya adalah untuk mengusir apa yang ada dalam tubuh orang masru tersebut.

7. Pada Telinga Bayi Baru Lahir

Sunah melakukan azan pada telinga (sebelah kanan) bayi yang baru lahir. Faedahnya adalah agar suara yang pertama kali si bayi dengar saat hadir ke dunia adalah nama Allah SWT.

8. Saat Melakukan Perjalanan

Bagi musafir (orang yang melakukan perjalanan) sunah malakukan azan. Faedah dari melakukan azan ini adalah agar perjalanannya memperoleh keberkahan dan keselamatan.

9. Saat Perang Sedang Berkecamuk

Waktu lain yang juga disunahkan untuk azan adalah saat perang sedang berkecamuk. Faedahnya adalah untuk meredakan perang dan mendapat pertolongan dari Allah SWT.

10. Saat Setan atau Jin Jahat Berubah Wujud

Jin memang memiliki kemampuan untuk merubah diri mereka menjadi bentuk atau menyerupai orang lain. Hal ini dilakukan untuk mengganggu manusia. Saat menemukan sosok aneh yang kemungkinan adalah hasil ubah wujud dari jin, maka sunnah melakukan azan. Tujuan atau faedahnya agar dengan menyebutkan nama-nama yang dikenal baik oleh jin dan setan tersebut (Nama Allah), akan meredakan keburukan mereka.[]

INILAH MOZAIK

Dua Perspektif Ketakutan Umat terhadap Corona


Ketua Departemen Kesehatan Wahdah Islamiyah Mamuju

AKHIR-akhir ini dunia mencekam, penduduknya merasakan ketakutan luar biasa akibat dikagetkan dengan munculnya virus mematikan, virus Corona baru atau Covid-19. Virus yang awal penyebarannya di Kota Wuhan (Cina) ini, kini telah menjadi penyakit Pandemi, yang menyebar di beberapa negara belahan dunia termasuk Indonesia.

Berdasarkan informasi dari website Kemenkes RI, Covid-19 adalah jenis baru coronavirus yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Pada manusia menyebabkan penyakit mulai flu biasa hingga penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernafasan Akut Berat/ Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).

Menurut Catatan WHO hingga saat ini, di negara Italia terdapat 12.465 kasus COVID-19 dan Amerika Serikat memiliki 987 kasus. Jumlah kasus Italia menempati peringkat kedua terbanyak setelah Cina. Sedangkan Jumlah kasus di Amerika Serikat menempati peringkat ke-8 (http://m.detik.com).

Sebelumnya pada Kamis (12/3/2020), Kuwait melaporkan delapan kasus baru dari virus korona yang mematikan meningkatkan jumlah kasus yang dikonfirmasi menjadi 80.

Lalu Kuwait melaporkan 20 kasus baru positif virus corona. Total pasien saat ini menjadi 100 orang.

Dikutip dari kantor berita Kuwait, Kuna, Kementerian Kesehatan mengatakan, 15 di antaranya kembali dari Iran dan masih dikarantina. Sementara satu warga lainnya berada di Inggris dan satu lagi berada di AS.

Tiga kasus lainnya adalah untuk warga negara Spanyol yang baru saja kembali dari Spanyol. Lalu, dua orang Mesir yang berhubungan dengan seseorang yang kembali dari Azerbaijan. []

SUMBER: KUWAIT TIMES

ashriady.abumuadz@gmail.com

MERDEKA.com

Kuwait Batalkan Shalat Jumat karena Corona, Lafaz Azan ‘Hayya Alasholah’ Diganti Jadi ‘Ashsholatu fii Buyutikum

KUWAIT–Kuwait menjadi negara yang paling terpengaruh oleh virus Corona atau Covid-19 ketiga di Timur Tengah setelah Iran dan Bahrain. 

Otoritas agama Kuwait telah meminta umat Islam untuk berdoa di rumah pada hari Jumat, (13/3/2020). Shalat Jumat dibatalkan di seluruh Kuwait untuk pertama kalinya. Negara itu berusaha menahan penyebaran virus corona.

Kementerian Awqaf dan Urusan Islam Kuwait mengatakan, shalat Jumat di masjid-masjid tidak diizinkan hingga batas waktu yang belum ditentukan.

Bahkan kekinian, lafaz azan juga diganti untuk sementara. Khususnya pada kalimat “hayya alashsholah” yang berarti, mari kita shalat diganti dengan kalimat, “ashsholatu fii buyutikum”. Artinya, shalat lah di rumah-rumah kalian.

Sebelumnya pada Kamis (12/3/2020), Kuwait melaporkan delapan kasus baru dari virus korona yang mematikan meningkatkan jumlah kasus yang dikonfirmasi menjadi 80.

Lalu Kuwait melaporkan 20 kasus baru positif virus corona. Total pasien saat ini menjadi 100 orang.

Dikutip dari kantor berita Kuwait, Kuna, Kementerian Kesehatan mengatakan, 15 di antaranya kembali dari Iran dan masih dikarantina. Sementara satu warga lainnya berada di Inggris dan satu lagi berada di AS.

Tiga kasus lainnya adalah untuk warga negara Spanyol yang baru saja kembali dari Spanyol. Lalu, dua orang Mesir yang berhubungan dengan seseorang yang kembali dari Azerbaijan. []

SUMBER: KUWAIT TIMES

ISLAMPOS




Pentingnya Mengajarkan Adab kepada Anak Sejak Dini

Jika anak sudah besar, sulit mengajarkan adab kepada anak.

Begitu pentingnya bagi orang tua untuk mengajarkan adab pada anak sedini mungkin. Syekh Umar bin Achmad Baradja, seorang ulama karismatik asal Surabaya, dalam kitabnya, Akhlaq Lil Banin, menuliskan sebuah cerita sederhana tentang betapa pentingnya adab bagi seorang anak.

Pada pembahasan keempat, ulama yang lahir di Kampung Ampel Maghfur, Surabaya, pada 1913 M itu menuliskan secuil cerita tentang seorang anak kecil yang mempunyai adab dan dicintai oleh ayahnya. Ia pun suka bertanya tentang berbagai hal yang tak diketahuinya. Suatu saat ia melihat pohon bunga, tetapi pohon tersebut bentuknya bengkok. Anak itu pun lantas menanyakan pada ayahnya, mengapa pohon itu bentuknya bengkok. Ayahnya menjawab:

لِأَنَّ الْبُسْتَانِيَّ لَمْ يَعْتَنِ بِتَقْوِيْمِهَا, مِنْ صِغَرِهَا , فَصَارَتْ مُعْوَجَّةً

“Karena tukang kebun tidak memperhatikan serta tidak meluruskannya sejak kecil maka jadilah bengkok”

Anak itu pun kemudian mengajak ayahnya untuk meluruskan pohon yang bengkok itu. Namun, ayahnya berkata bahwa hal itu tidak mudah karena pohon itu sudah tumbuh besar dan rantingnya pun sudah tebal. Pada bagian terakhir cerita sederhana itu, Syekh Umar menuliskan pesan ayah kepada anak itu: 

فَكَذَلِكَ الْوَلَدُ, الَّذِي لَمْ يَتَأَدَّبْ مِنْ صِغَرِهِ, لَا يُمْكِنُ تَأْدِيْبُهُ فِي كِبَرِهِ.

“Maka, seperti itulah seorang anak yang tidak mempunyai adab sejak kecil. Tidak mungkin ia beradab saat dewasa.”

Dari cerita sederhana yang dituliskan Syekh Umar dalam Akhlaq Lil Banin dapat dipetik hikmah bahwa seorang anak haruslah beradab sejak kecil. Maka itu, peran orang tua pun sangat penting dalam membentuk anak yang beradab. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Azan di Tengah Wabah Corona, Video Muazin di Kuwait Menangis Pilu Ini Viral

SEBUAH video sangat memilukan beredar di dunia maya di tengah mewabahnya COVID-19. Video yang diunggah di Twitter itu memperdengarkan suara seorang muazin di Kuwait yang sedang mengumandangkan azan.

Namun di tengah-tengah mengumandangkan azan, tiba-tiba tangis sang muazin pecah. Suaranya azannya terdengar sangat memilukan.

Kesedihan ini dikarenakan azan yang dikumandangkannya bukan untuk memanggil para jamaah datang shalat berjamaah di masjid, namun justru agar jamaah tak datang ke masjid.

Seruan azan itu hanya mengingatkan jamaah untuk shalat di rumah masing-masing, bukan ke masjid. Oleh karena itu dia menangis.

Bahkan sang muazin mengganti kalimat hayya alash shalah (datanglah untuk beribadah) menjadi ashsholatu fii buyutikum (beribadahlah di rumah anda).

Azan menyedihkan itu dilakukan di tengah merebaknya wabah COVID-19 di mana shalat berjamaah dihentikan sehingga jamaah harus salat di rumah masing-masing agar tak terkena COVID-19. Tentu sang muazin merasa sedih hingga akhirnya menangis.

Seperti dilansir Middle East Eye, Sabtu (14/3/2020), Pemerintah Kuwait untuk sementara menutup seluruh masjid sehingga tak ada salat jamaah. Azan juga diserukan hanya sebagai pengingat waktu shalat tapi tak mengundang jamaah untuk datang ke masjid.

Kementerian Urusan Islam Kuwait mengumumkan salat berjamaah 5 kali sehari ditiadakan untuk sementara. Ini merupakan situasi yang cukup berat bagi para jamaah. []

ISLAMPOS