Khutbah Jumat 4 Ibrah Virus Corona

Virus corona (Covid-19) masih mengguncang dunia. Kasusnya tercatat positif di 84 negara. Karenanya Khutbah Jumat 6 Maret 2020 ini mengambil tema 4 Ibrah Virus Corona.

Bagaimana sikap seorang muslim mengambil ibrah kasus ini? Berikut ini kami persembahkan dalam bentuk teks khutbah Jumat:

Khutbah Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ . وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ . اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kesehatan kepada kita. Kesehatan merupakan nikmat besar setelah nikmat iman. Dengan sehat, kita bisa beribadah dengan mudah. Termasuk mendirikan sholat Jumat.

Terlebih di tengah tersebarnya virus corona yang menjadi problematika internasional. Banyak negara terguncang karena virus yang dinamakan Covid-19 ini. Berdasarkan data terbaru hari ini, tercatat 97.885 kasus corona di 84 negara. Korban meninggal tercatat 3.348 jiwa. Terbesar menimpa China. Namun negeri-negeri muslim juga ada. Sampai-sampai Arab Saudi sempat melarang umrah untuk sementara guna mengantisipasi corona masuk ke negerinya.

Di tengah-tengah musibah virus corona ini, kita perlu sikap yang benar. Di antaranya adalah dengan mengambil ibrahnya. Setidaknya, ada empat ibrah yang bisa kita ambil bersama.

1. Jangan Sombong

Jamaah Jumat hafidhakumullah,
Sesungguhnya manusia itu lemah. Karenanya jangan sombong. Jangan merasa digdaya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan merasa paling kuat.

Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. Apalagi penguasa yang sombong dengan kekuasaannya.

Pada 1 Oktober 2019 saat peringatan 70 tahun berdirinya China, Presiden China Xi Jinping mengatakan, tak ada kekuatan yang bisa mengguncang China. Ternyata tak lama setelah itu, muncul kasus Corona yang membuat China terguncang, bahkan minta pertolongan kepada dunia.

Kita pun tak boleh sombong. Merasa bebas dari corona atau musibah apa pun. Itu tidak menandakan kita kuat, tetapi semata-mata karena Allah melindungi kita. Karenanya jangan merasa sombong dan jangan membanggakan diri.

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri. (QS. An Nisa: 36)

Bukankah kita tahu, para penguasa yang sombong kemudian diguncang oleh Allah. Namrudz yang sombong, cukup bagi Allah menurunkan nyamuk untuk menghentikan kesombongannya. Fir’aun yang sombong, bahkan mengaku sebagai tuhan, juga dihancurkan Allah. Kesombongannya demikian melampaui batas hingga mendeklarasikan diri:

فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى

(Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi”. (QS. An Nazi’at: 24)

Maka cukup bagi Allah menenggelamkannya di laut untuk mengakhiri segala kesombongannya.

فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ وَهُوَ مُلِيمٌ

Maka Kami siksa dia dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia melakukan pekerjaan yang tercela.(QS. Adz Dzariyat: 40)

2. Jaga Aturan Allah

Jamaah Jumat yang dirahmati Allah,
Ibrah kedua yang bisa kita ambil dari kasus virus corona adalah keharusan menjaga aturan Allah. Allah yang menciptakan manusia, Dialah yang paling tahu tentang manusia.

Kita punya motor. Siapa yang paling tahu motor kita dan bagaimana pemeliharaannya? Pabrik pembuat motor itu. Kita punya HP. Siapa yang paling tahu HP kita dan bagaimana cara penggunannya? Pabrik pembuatnya. Kita tahu caranya dari manual book yang dikeluarkan pabrik tersebut.

Alam semesta dan manusia merupakan ciptaan Allah. Maka Allah yang paling tahu apa yang baik bagi manusia. Manual book-nya berupa Al Quran. Maka jaga aturan-aturan Allah. Taati. Niscaya kehidupan yang baik akan kita dapatkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ

Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Salah satu aturan Allah adalah memakan makanan yang halal lagi baik. Sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Wahai manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi, makanan yang halal lagi baik. Dan jangan ikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagimu. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Salah satu studi menyebutkan, awal virus corona berasal dari hewan liar. Profesor Andrew Cunningham dari Zoological Society London (ZSL) mengatakan sejumlah hewan liar berpeluang untuk menjadi inang bagi virus itu, utamanya kalelawar.

Di China, negara asal virus Corona dan jumlah kasus terbanyak terinfeksi corona, tidak sedikit orang yang mengkonsumsi hewan liar, termasuk kelelawar. Sebagiannya setengah matang. Bahkan konon ada yang hidup-hidup.

Aturan Allah jelas, makanlah yang halal lagi baik. Demikian pula aturan-aturan Allah yang lain, semuanya demi kebaikan umat manusia.

3. Tawakal

Jamaah Jumat hafidhakumullah,
Ibrah ketiga yang bisa kita ambil dari kasus penyebaran virus corona ini adalah tawakal kepada Allah. Kita tahu, Allah-lah Yang Mahakuasa. Tiada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak dan izin-Nya. Termasuk terjadinya musibah, bencana dan penyakit menimpa siapa.

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah  (QS. At-Taghabun: 11)

Karenanya, kita tawakal kepada Allah. Tentu dengan tetap mengoptimalkan ikhtiar. Misalnya menjaga kesehatan, selalu cuci tangan dengan air mengalir dan sabun, dan seterusnya.

Ketika kita tawakal, insya Allah akan dilindungi dan dicukupkan Allah.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS. Ath Thalaq: 2-3)

4. Taqarrub ilallah

Ikhwatal iman hafidhakumullah,
Keempat, tingkatkan taqarrub kepada Allah. Tak ada yang bisa melindungi kita kecuali Allah. Tak ada yang bisa menjaga kita dari bahaya kecuali Allah. Karenanya semakin mendekatlah kepada Allah. Perbaiki ibadah, perbanyak doa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan banyak doa untuk berlindung dari keburukan, penyakit dan marabahaya. Di antaranya adalah doa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan An Nasa’i.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَمِنْ سَيِّئِ الأَسْقَامِ

Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari penyakit belang, gila, kusta dan segala penyakit mengerikan lainnya. (HR. Abu Dawud dan An Nasa’i)

Dialah Allah yang Kuasa mengabulkan doa. Hanya Allah yang bisa memperkenankan permintaan kita. Siapa yang minta perlindungan pasti dilindungi-Nya. Siapa yang minta dijaga pasti akan dijaga-Nya.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.  (QS. Ghafir: 60)

أَقُوْلُ قَوْلِ هَذَا وَاسْتَغْفِرُوْاللَّهَ الْعَظِيْمِ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ . أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Tak ada satu peristiwa pun kecuali ada hikmah dan ibrahnya. Termasuk kasus yang mengguncangkan ekonomi dunia ini. Semoga dengan mengambil empat ibrah tersebut, kita semakin bertaqwa dan mendapat keberkahan dari-Nya.

Karena yang terpenting dalam hidup ini adalah sabar dan syukurnya. Saat mendapat nikmat kita bersyukur. Saat mendapat musibah kita bersabar. Dan semoga Allah senantiasa menjaga kita dari segala musibah terutama musibah yang menimpa agama. Sebab musibah yang menimpa agama adalah musibah terbesar bagi manusia.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللَّهُمَّ باَرِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ باَرَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ . رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ. اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ . رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

*Khutbah Jumat edisi 11 Rajab 1441 H bertepatan 6 Maret 2020;

Muchlisin BK/BersamaDakwah


Keutamaan Mendoakan Orang Lain (2)

Doa merupakan salah satu jenis kebaikan.

Al Khathib Al Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad mengisahkan tentang riwayat hidup Abu Thayyib, bahwa dia senantiasan mendoakan saudara-saudaranya. Bahkan, dia mempunyai 300 nama saudaranya yang selalu dia doakan setiap malam satu per satu.

Pada suatu malam, dia ketiduran dan lupa belum mendoakan mereka, maka dalam mimpinya dia didatangi seseorang yang berkata kepadanya, “Kamu belum menyalakan lampu-lampumu malam ini.”

Maka, dia bangun menyalakan lampunya dan mengeluarkan kertas serta mendoakan 300 orang saudaranya satu per satu lalu tidur kembali.

Menurut Syekh Abdullah Ju’aitsan, dalam bukunya yang berjudul Meneladani Nabi dalam Sehari, sudah seharusnya kita mendoakan saudara-saudara kita, terlebih bagi siapapun yang mempunya hak atas diri kita. Misalnya, kedua orang tua dan orang yang memberikan nasihat, pembinaan, dakwah, atau taklim kepada kita.

“Tidak sepantasnya kita hanya mengambil manfaat (ilmu) dari para ulama dan para juru dakwah kita, lalu mereka tidak mendapatkan balasan apa pun selain ucapan terima kasih kita. Jangan begitu,” tulis Syekh Abdullah.

Seharusnya, tulis Syekh Abdullah, kita mendoakan mereka tanpa sepengetahuan mereka, mmeberikan taufik kepada mereka, mengeluarkan mereka dari kesedihan, dan menolong mereka. “Demikian juga, kita hendaklah mendoakan Islam dan umat Islam,” tulis Syekh Abdullah.

KHAZANAH REPUBLIKA


Keutamaan Mendoakan Orang Lain (1)

Doa merupakan salah satu jenis kebaikan.

Syekh Abdullah Ju’aitsan dalam bukunya yang berjudul Meneladani Nabi dalam Sehari menuliskan, doa termasuk salah satu jenis kebaikan. Termasuk, mendoakan kebaikan bagi saudara kita sendiri.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Doa seorang Muslim untuk saudaranya dengan tanpa sepengetahuan saudaranya itu mustajab. Di atas kepala orang itu ada malaikat yang mencatatnya (malakun muwakkal). Setiap kali orang itu mendoakan kebaikan bagi saudaranya, maka malaikat tersebut mengucapkan amin (semoga Allah mengabulkan) dan untukmu juga seperti itu.” (HR Muslim)

Menurut Syekh Abdullah, dengan mendoakan kebaikan bagi saudara kita, berarti kita telah berbuat baik kepada diri kita sendiri dan saudara kita. Karena doa kita bagi saudara kita merupakan salah satu sebab terkabulnya doa kita.

Sebab itu, saat malaikat mengamini dan berkata, “Amin dan untukmu juga seperti itu.” Kita juga berbuat kebaikan kepada saudara kita ketika kita mendoakannya tanpa sepengetahuannya dan dikabulkan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Sifat Allah: Apakah hanya Tujuh atau Dua Puluh? (Bag. 3)

Sanggahan Ahlus Sunnah kepada Kelompok yang Membatasi Sifat Allah dengan Jumlah Tertentu

Sanggahan pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi sifat Allah dengan jumlah tertentu.

Kalau seseorang mau mempelajari aqidah yang benar, bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan jelas dan tampak baginya bahwa nama dan sifat Allah Ta’ala tidaklah dibatasi dengan bilangan tertentu. Hal ini karena Allah Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang Allah Ta’ala simpan dalam ilmu ghaib-Nya, yang tidak diketahui oleh seorang pun dari para malaikat atau nabi yang diutus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ

”Aku memohon kepada Engkau dengan semua nama yang menjadi nama-Mu, baik yang telah Engkau jadikan sebagai nama diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu ghaib di sisi-Mu.” [1]

Nama-nama yang Allah Ta’ala sembunyikan menjadi ilmu ghaib di sisi-Nya, maka tidak mungkin dapat dihitung dan diketahui oleh makhluk-Nya. Oleh karena itu, di akhirat kelak Allah Ta’ala akan membukakan kepada Rasulullah untuk memuji-Nya dengan sifat-sifat yang belum pernah diajarkan di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثُمَّ يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَىَّ مِنْ مَحَامِدِهِ وَحُسْنِ الثَّنَاءِ عَلَيْهِ شَيْئًا لَمْ يَفْتَحْهُ عَلَى أَحَدٍ قَبْلِى

”Maka Allah mengilhamkan kepadaku (untuk mengungkapkan) segala pujian kepada-Nya yang tidak diajarkan kepada seorang pun sebelumku.” [2]

Sampai-sampai Rasulullah sendiri tidak mampu menghitung pujiannya kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا أُحْصِي ثَنَاء عَلَيْك أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْت عَلَى نَفْسك

”Aku tidak bisa menghitung pujian kepada-Mu seperti Engkau memuji terhadap diri-Mu.” [3]

Sanggahan ke dua: Allah memiliki banyak nama yang sekaligus mengandung sifat.

Kalaulah kita mau membuka lembaran Al-Qur’an dan membolak-balik kitab hadits, maka kita akan menemukan puluhan nama-nama Allah Ta’ala. Padahal, setiap nama Allah Ta’ala juga menunjukkan kepada sifat-Nya yang mulia.

Kalau Allah Ta’ala menyebutkan nama As-Samii’, maka hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat mendengar (as-sam’u). Kalau Allah Ta’ala menyebutkan nama Al-‘Aliim, hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memiliki ilmu (al-‘ilmu). Dan demikian seterusnya untuk nama-nama Allah Ta’ala yang lain. Berbeda dengan nama makhluk (manusia biasa, kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), bisa jadi hanya sekedar nama tanpa menunjukkan sifat. Ada seseorang yang bernama “Shalih”, namun mungkin saja perilakunya tidak mencerminkan namanya.

Berarti, jumlah sifat Allah Ta’ala mengikuti jumlah nama Allah Ta’ala. Hal ini belum termasuk dengan sifat-sifat yang disebutkan secara khusus oleh Allah Ta’ala maupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, darimana kita mengatakan bahwa sifat Allah Ta’ala hanya tujuh atau dua puluh?

Sebagian di antara kita mungkin menghapal al-asmaaul husnaa yang berjumlah sembilan puluh sembilan. Meskipun hal ini tidak berarti menunjukkan pembatasan nama Allah hanya sejumlah itu, sebagaimana yang telah kami jelaskan di tulisan lainnya. [4] Kalau sifat Allah hanya dua puluh, berarti ada 79 nama Allah yang tidak mengandung sifat (99 dikurangi 20).

Kalau kita menetapkan hanya dua puluh sifat, berarti Allah tidak memiliki sifat al-‘izzah (kekuatan)Berarti nama Allah Ta’ala Al-‘Aziiz adalah sekedar nama, namun tidak mengandung sifat, karena sifat al-‘izzah tidak terdapat dalam dua puluh sifat tersebut. Lalu, apa bedanya aqidah ini dengan aqidah Mu’tazilah yang hanya menetapkan nama tanpa sifat?

Sanggahan ke tiga: Membatasi jumlah sifat Allah secara tidak langsung mencela Allah Ta’ala.

Bahkan kalau kita cermati dan mau berfikir sejenak, pembatasan sifat Allah Ta’ala hanya dua puluh saja, secara tidak langsung berarti mencela Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala itu sangat mulia dan sangat sempurna, dan kesempurnaan itu menjadi berkurang dan bahkan hilang jika Allah Ta’ala hanya disifati dengan dua puluh sifat saja.

Permisalan yang mudah adalah jika kita katakan kepada seseorang (anggaplah namanya A), ”Engkau itu orangnya dermawan dan suka pemaaf.”

Lalu kita katakan kepada orang lain (anggaplah namanya B), ”Engkau itu orangnya baik hati, suka menolong, penyabar, suka memaafkan kesalahan orang lain, pengertian, tidak egois, pintar, suka berhemat, rendah hati, ramah, selalu sehat, … “.

Maka pertanyaannya, ”Siapakah yang lebih baik dan sempurna?”  Maka tentu kita semua sepakat bahwa yang lebih baik dan lebih sempurna adalah orang B.

Demikian pula halnya dengan Allah Ta’ala. Sehingga salah satu metode yang digunakan Allah Ta’ala untuk menunjukkan kesempurnaan-Nya adalah dengan merinci dan memperbanyak penyebutan untuk menetapkan sifat-sifatNya yang mulia. Karena semakin banyak dan rinci sifat-sifat yang Allah Ta’ala sebutkan, maka akan semakin tampaklah kebesaran, keagungan, dan kesempurnaan Allah Ta’ala dari segala sisi. [5]

Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ (22) هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ (23) هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (24)

“Dia-lah Allah yang tiada sesembahan (yang benar) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dia-lah Yang Maha pemurah lagi Maha penyayang. Dia-lah Allah, Yang tiada sesembahan (yang benar) selain Dia, Raja, Yang Maha suci, Yang Maha sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha memelihara, Yang Maha perkasa, Yang Maha kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah, Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk rupa, Yang Mempunyai asmaaul husna (nama-nama yang indah). Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dia-lah Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Al-Hasyr [59]: 22-24)

Dalam ayat ini, sangat tampak bagi kita penyebutan nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala yang sangat terperinci dalam satu ayat saja. Karena sekali lagi, semakin banyak dan rinci penyebutan sifat-sifat Allah Ta’ala, maka akan semakin tampaklah kesempurnaan Allah Ta’ala dari segala sisi. Oleh karena itu, merupakan sebuah celaan kepada Allah Ta’ala apabila kita berbuat lancang dengan hanya menetapkan tujuh atau dua puluh sifat saja bagi Allah Ta’ala.

Kalau sifat Allah hanya tujuh atau dua puluh, berarti apakah semua sifat yang Allah tetapkan dalam satu ayat tersebut saja, semuanya harus kita tolak?

Oleh karena itu, kelompok Asy’ariyyah secara tidak langsung “mengatur-atur” Allah. Bahwa makhluk yang berhak menentukan bagi Allah, Allah hanya boleh memiliki dua puluh sifat saja, tidak boleh memiliki sifat yang lainnya. Bukankah ini tindakan yang tidak memiliki adab kepada Allah? Membatasi sifat Allah, padahal Allah memiliki sifat yang tidak terbatas, karena kesempurnaan Allah luar biasa, mencapai puncak kesempurnaan-Nya. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mampu menghitung pujiannya kepada Allah Ta’ala, lalu ada di antara umatnya (yaitu tokoh-tokoh Asy’ariyyah) yang mampu menghitungnya menjadi dua puluh sifat saja (???).

Sanggahan ke empat: Jika (hanya) akal yang digunakan sebagai sumber penetapan aqidah (sifat Allah Ta’ala), lalu akal siapakah yang menjadi patokan?

Masalah ini sangat jelas. Jika akal digunakan sebagai sandaran (sumber) dalam menetapkan sifat Allah Ta’ala, maka pertanyaan berikutnya, akal siapakah yang layak untuk digunakan sebagai patokan kebenaran? Hal ini akan menyebabkan kontradiksi antar kelompok “pemuja akal” yang tidak akan ada ujungnya, bahkan antar ulama Asy’ariyyah sendiri.

Madzhab Jahmiyyah, hasil olah pikir akal mereka adalah: Allah tidak memiliki nama dan sifat. Madzhab Mu’tazilah, hasil olah pikir akal dan logika mereka adalah: Allah memiliki nama, namun nama Allah tidak mengandung sifat. Begitu pula para tokoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy’ariyyah, hasil olah pikir akal mereka ternyata beragam.

Imam madzhab Abul Hasan Al-Asy’ari (sebelum bertaubat), dan tokoh mutaqoddimin (generasi awal) dari kalangan Asy’ariyyah, seperti Al-Qadhi Abu Bakr bin Ath-Thayyib Al-Baqillani, Ibnu Faurak, dan tokoh-tokoh selain mereka, mereka juga menetapkan sifat dzatiyyah khabariyyah (yaitu sifat yang hanya bisa ditetapkan melalui dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, semacam sifat al-wajhu [wajah] dan al-yadain [dua tangan]) secara hakiki [bukan majaz]), selain tujuh sifat tersebut.

Pada akhirnya, datanglah tokoh Asy’ariyyah generasi belakangan (muta’akhirin) yang kondisinya lebih parah dari generasi sebelumnya, karena mereka hanya menetapkan tujuh sifat saja bagi Allah Ta’ala, yaitu Abul Ma’ali Al-Juwaini dan tokoh-tokoh yang sejaman dengannya. Berbeda lagi dengan Maturidiyyah yang hanya menetapkan delapan sifat bagi Allah. [6]

Lalu, dari semua perbedaan itu, manakah yang benar? Padahal mereka semua mengklaim bahwa sifat-sifat tersebut ditetapkan dengan akal. Akan tetapi faktanya, “produk akal” mereka ternyata berbeda-beda.

Ketika tokoh-tokoh Asy’ariyyah sendiri berbeda-beda dalam hal (metode) penetapan sifat Allah Ta’ala, sesuai inovasi akal mereka, maka ini adalah bukti nyata bahwa aqidah mereka semuanya tidaklah dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, alias tidak berasal dari Allah Ta’ala. Bukti tersebut adalah adanya perselisihan yang sangat banyak, bahkan di antara tokoh-tokoh mereka sendiri yang menyebut dirinya bermadzhab Asy’ariyyah.

Maka benarlah firman Allah Ta’ala,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 82)

Sanggahan ke lima: Kami pun bisa menetapkan sifat Allah yang lainnya dengan akal kami pula.

Sanggahan berikutnya, kalau kalian menetapkan dengan akal, maka kami pun bisa menetapkan dengan akal kami. Apa yang tidak bisa Asy’ariyyah tetapkan dengan akal mereka, kami bisa tetapkan dengan akal kami. Karena kami pun memiliki akal juga, sama dengan Asy’ariyyah.

Contoh: Nikmat-nikmat Allah yang kita dapatkan, dan sebaliknya, adanya musibah yang diangkat dari diri kita, semua ini menunjukkan sifat rahmat (kasih sayang) Allah Ta’ala. Turunnya hujan dan tumbuhnya berbagai macam tanaman juga merupakan bukti adanya rahmat tersebut. Jadi semua nikmat yang kita terima pada asalnya menunjukkan adanya sifat rahmat Allah Ta’ala. [7]

Sehingga, akal kita pun bisa menetapkan sifat tertentu bagi Allah, meskipun sifat tersebut tidak ditetapkan oleh akal mereka.

Sanggahan ke enam: Tujuh atau dua puluh sifat tersebut hanya untuk menyederhanakan untuk memahamkan masyarakat awam(?)

Sebagian di antara pengikut Asy’ariyyah mengatakan bahwa dua puluh sifat tersebut hanya untuk menyederhanakan untuk disampaikan ke masyarakat awam.

Perkataan semacam ini menunjukkan bahwa mereka sendiri belum paham aqidah Asy’ariyyah yang dipegangi oleh tokoh-tokoh atau ulama-ulama Asy’ariyyah (generasi muta’akhirin). Karena pada prakteknya, mereka membatasi sifat Allah hanya dalam tujuh atau dua puluh sifat tersebut saja. Jadi, bukan sekedar “menyederhanakan” sesuai dengan klaim dan anggapan mereka. Karena untuk sifat-sifat lainnya, pada kenyataannya mereka tolak dengan alasan harus di-takwil (sesuai akal logika mereka), yang hakikatnya adalah tahrif.

Penulis sendiri dulu belajar enam tahun dan bergumul dengan aqidah Asy’ariyyah yang menetapkan dua puluh sifat, dan selama enam tahun belajar, penulis tidak pernah diajarkan bahwa Allah memiliki dua tangan (yadain), bahwa Allah memiliki wajah (al-wajhu), dua bahwa Allah memiliki dua mata (‘ainain) (semuanya tanpa tasybih dan takyif)padahal ini adalah aqidah ahlus sunnah yang sangat jelas dan terang benderang.

Maka benarlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala,

…بل أبو المعالي الجويني، ونحوه ممن انتسب إلى الأشعري، ذكروا في كتبهم من الحجج العقليات النافية للصفات الخبرية ما لم يذكره ابن كلاب والأشعري وأئمة أصحابهما، كالقاضي أبي بكر بن الطيب وأمثاله، فإن هؤلاء متفقون على إثبات الصفات الخبرية، كالوجه واليد والاستواء.

“ … bahkan Abul Ma’ali Al-Juwaini, dan tokoh semisal yang menisbatkan diri kepada aqidah Asy’ariyyah, mereka menyebutkan dalam kitab-kitab mereka berbagai argumentasi akal logika untuk menolak sifat-sifat khabariyyah, yang (argumentasi) tersebut tidak disebutkan oleh Ibnu Kullab, Abul Hasan Al-Asy’ari, dan para imam yang merupakan sahabat keduanya, semacam Al-Qadhi Abu Bakr bin Thayyib dan lainnya. Karena mereka (Asy’ariyyah generasi awal), menetapkan sifat-sifat khabariyyah seperti sifat (Allah memiliki) wajah (al-wajhu), tangan (yadain) dan juga sifat istiwa’.” [8]

Contoh lainnya, mereka (Asy’ariyyah) menolak sifat Allah ghadhab (Allah murka), karena tidak terdapat dalam dua puluh sifat. Sehingga mereka pun mentakwil sifat tersebut menjadi “memberikan hukuman”. Fakhruddin Ar-Razi rahimahullah (tokoh Asy’ariyyah generasi muta’akhirin) berkata,

وكذلك الغضب له مبدأ وهو غليان دم القلب وشهوة الانتقام، وله غاية وهي إيصال العقاب إلى المغضوب عليه، فإذا وصفنا الله تعالى بالغضب فليس المراد هو ذلك المبدأ أعني غليان دم القلب وشهوة الانتقام، بل المراد تلك النهاية وهي إنزال العقاب، فهذا هو القانون”

“Demikian pula ghadhab (murka), itu memiliki permulaan. Yaitu mendidihnya darah di dalam hati dan keinginan (syahwat) untuk memberikan hukuman. Dan ghadhab memiliki akhir (ghayah), yaitu pelaksanaan hukuman kepada yang dimurkai. Jika kita mensifati Allah dengan sifat ghadhab, maka maksudnya bukan permulaan tersebut, yaitu mendidihnya darah di dalam hati dan keinginan (syahwat) untuk memberikan hukuman. Akan tetapi, yang kami maksud adalah titik akhirnya, yaitu pemberian hukuman. Inilah qanun (undang-undang) (Asy’ariyyah).” [9]

Jelaslah dari kutipan ini bahwa Fakhruddin Ar-Razi menolak sifat Allah ghadhab yang hakiki (aqidah ahlus sunnah) sesuai dengan keagungan Allah tanpa membagaimanakan (takyif) dan  menyerupakan dengan makhluk-Nya (tasybih), lalu mentakwilnya menjadi “memberikan hukuman”.

Konsekuensi dari perkataan Fakhruddin Ar-Razi, kalau kita katakan, “Jangan berbuat dosa, nanti Allah murka”, maka kalimat ini adalah kalimat yang salah menurut ‘aqidah Asy’ariyyah. Karena sifat ghadhab tidak ada dalam dua puluh sifat.

Konsekuensi lainnya, ucapan Fakhruddin Ar-Razi ini berarti bahwa semua dosa yang dilakukan hamba pasti mendatangkan hukuman (adzab) dari Allah, sama persis dengan aqidah Mu’tazilah dan Khawarij. Berbeda dengan aqidah ahlus sunnah, karena ahlus sunnah meyakini bahwa pelaku dosa besar bisa saja Allah Ta’ala ampuni (tidak Allah berikan hukuman), selain dosa syirik akbar yang dibawa mati. [10]

Sanggahan ke tujuh: Konsekuensi dari aqidah Asy’ariyyah adalah Asy’ariyyah sendiri melakukan tasybih.

Contoh dari perkataan Ar-Razi di atas, Ar-Razi dan tokoh-tokoh Asy’ariyyah lainnya, berpendapat bahwa jika kita menetapkan makna ghadhab secara hakiki, maka konsekuensinya menyamakan Allah dengan makhluk. Karena ghadhab menurut mereka adalah mendidihnya darah dalam hati dan syahwat untuk menghukum. Ini adalah sifat makhluk. Oleh karena itu, harus ditolak (supaya tidak terjerumus dalam tasybih) dalam bentuk ditakwil.

Kalau begitu, kalian sendiri pun melakukan tasybih. Karena jika kalian tetapkan sifat iradah (berkehendak), maka kalian juga menyamakan Allah dengan makhluk. Karena iradah adalah condongnya hati untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Ini sifat makhluk, karena makhluk juga memiliki kehendak, sebagaimana yang sudah kita maklumi. Jadi, seharusnya kalian (Asy’ariyyah) juga menolak sifat iradah. Lalu, mengapa kalian justru menetapkannya?

Maka Asy’ariyyah akan menjawab, “Iradah yang kami tetapkan adalah iradah yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala, tidak sama dengan makhluk.”

Jawaban ahlus sunnah, “Begitu juga kami, kami pun menetapkan sifat ghadhab (murka) sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala, tidak sama dengan makhluk.”

Inilah praktek dari sebuah kaidah yang sangat masyhur yang dimiliki oleh ahlus sunnah ketika membantah Asy’ariyyah,

الْقَوْلُ فِي بَعْضِ الصِّفَاتِ كَالْقَوْلِ فِي بَعْضٍ

“Perkataan (keyakinan) terhadap sebagian sifat-sifat (Allah) adalah sebagaimana perkataan (keyakinan) terhadap sebagian (sifat-sifat Allah yang lainnya).”

Maksudnya, sebagaimana kalian (Asy’ariyyah) menetapkan sifat mendengar (as-sam’u) dan melihat (al-bashar), sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala, tidak sama dengan makhluk, begitu pula kami (ahlus sunnah) pun menetapkan sifat yadain, wajah, ‘ainain, ghadhab, ridho, dan mahabbah (dan seluruh sifat-sifat lainnya) sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala, tidak sama dengan makhluk.

Jika kalian membedakan antara iradah (yaitu, dengan meyakininya dan tidak ditakwil) dan mahabbah atau ghadhab (yaitu, dengan menolaknya karena tidak ada dalam tujuh atau dua puluh sifat lalu ditakwil ke makna lainnya), maka aqidah kalian adalah aqidah yang kontradiktif, tidak bisa diterima oleh akal sehat.

Sanggahan ke delapan: Aqidah Asy’ariyyah ini ternyata tidak sama dengan aqidah Abul Hasan Al-Asy’ari.

Sebagai sanggahan terahir, kami sampaikan bahwa aqidah kelompok Asy’ariyyah yang membatasi sifat hanya menjadi tujuh atau dua puluh, dan menolak sifat-sifat lainnya (misalnya sifat yadain, ‘ainain, dan wajah) ternyata diselisihi oleh Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah itu sendiri. Atau dengan kata lain, aqidah Asy’ariyyah (yaitu mereka yang mengaku mengikuti Abul Hasan Al-Asy’ari) itu tidak sama dengan aqidah Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah itu sendiri (setelah bertaubat dan kembali ke aqidah ahlus sunnah).

Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata,

فإن سئلنا أتقولون أن لله يدين؟ قيل: نقول ذلك ، وقد دل عليه قوله تعالى: (يد الله فوق أيديهم) ، وقوله تعالى: (لما خلقت بيدي)

“Ditanyakan kepada kami, apakah Engkau mengatakan (meyakini) bahwa Allah memiliki yadain (dua tangan)? Kami (Abul Hasan Al-Asy’ari) mengatakan demikian (bahwa Allah memiliki dua tangan, pen.). Hal itu telah ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Tangan Allah di atas tangan mereka” (QS. Al-Fath [48]: 10) dan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (QS. Shaad [38]: 75)” [11]

Di awal kitab, beliau dengan tegas mengatakan,

وأن له يدين بلا كيف

“Sesungguhnya Allah memiliki dua tangan (yadain), tanpa (perlu) memvisualisasikannya.” [12]

Berkaitan dengan sifat wajah, Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata,

وأن له وجها بلا كيف

“Sesungguhnya Allah memiliki wajah, tanpa (perlu) memvisualisasikannya.” [13]

Lalu, tentang sifat ‘ainain, Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata,

وأن له عينين بلا كيف

“Sesungguhnya Allah memiliki dua mata (‘ainain), tanpa (perlu) memvisualisasikannya.” [14]

Dan di kitab yang sama, beliau (Abul Hasan Al-Asy’ari) menetapkan sifat istiwa’ (tinggi di atas ‘arsy). Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata,

وأن الله تعالى مستو على عرشه

“Dan sesungguhnya Allah Ta’ala itu istiwa’ (tinggi di atas) ‘arsy-Nya.” [15]

Bahkan, beliau rahimahullah sendiri membantah aqidah Asy’ariyyah yang menolak sifat istiwa’ dan mentakwilnya menjadi “istaula” (menguasai) di kitab yang sama. [16]

Dan kita tahu, bahwa aqidah Asy’ariyyah adalah menolak untuk menetapkan sifat yadain, ‘ainain, wajh dan istiwa’. Sungguh aneh, aqidah Asy’ariyyah ini sebetulnya mengikuti aqidah siapa? Jawabannya, tidak lain adalah mengikuti aqidah Mu’tazilah. Jadi, ketika orang-orang yang mengaku bermadzhab Asy’ariyyah memberikan bantahan kepada aqidah ahlus sunnah yang menetapkan sifat-sifat di atas, pada hakikatnya mereka sedang membantah aqidah sang imam mereka sendiri (yaitu Abul Hasan Al-Asy’ari).

Kesimpulan

Berdasarkan poin-poin penjelasan ini, maka aqidah Asy’ariyyah yang menetapkan sifat Allah hanya tujuh atau dua puluh, tidaklah sesuai dengan aqidah ahlus sunnah yang menetapkan semua nama dan sifat yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya di dalam kitabullah (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Bahkan bertentangan dengan aqidah imam mereka sendiri, yaitu Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah. Karena nama dan sifat termasuk dalam perkara ghaib, sehingga seharusnya, akal manusia tunduk kepada wahyu yang telah Allah Ta’ala turunkan, bukan sebaliknya.

Namun, perlu diketahui bahwa ketika kita menjelaskan kesalahan ‘aqidah Asy’ariyyah dalam masalah asma’ dan sifat, hal itu tidak berarti kita mengkafirkan mereka. Tidak ada satu pun ulama ahlus sunnah yang mengatakan kafirnya Asy’ariyyah. Jadi, anggapan sebagian orang bahwa ketika kita menjelaskan dan membantah aqidah Asy’ariyyah, maka hal itu berarti kita mengafirkan mereka, adalah anggapan yang tidak benar sama sekali. Hal ini harus kami tekankan dan kami garis bawahi. Bahkan kita dapati, para ulama ahlus sunnah memberikan ‘udzur kepada tokoh-tokoh Asy’ariyyah, bahwa maksud mereka sebetulnya baik, yaitu tidak ingin terjerumus dalam tasybih (menyamakan Allah Ta’ala dengan makhluk). Namun, mereka kemudian salah jalan dengan tidak mengikuti manhaj para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam memahami nama dan sifat Allah Ta’ala. Mereka ingin terhindar dari tasybih, namun justru terjerumus dalam takwil dan tafwidh (baca: muta’awwil). Ini menunjukkan bahwa niat mereka sebetulnya adalah mencari kebenaran. Oleh karena itu, kita dapati sebagian di antara mereka ada yang kemudian bertaubat, seperti Abul Ma’ali Al-Juwaini dan Al-Ghazali -semoga Allah Ta’ala merahmati mereka semuanya-.

[Selesai]

***

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38229-sifat-allah-apakah-hanya-tujuh-atau-dua-puluh-03-2.html

Sifat Allah: Apakah hanya Tujuh atau Dua Puluh? (Bag. 2)

Aqidah (sebagian) Ulama Asy’ariyyah yang Menetapkan Hanya Tujuh Sifat Bagi Allah dengan Dalil Akal (Logika)

Tujuh sifat yang ditetapkan oleh ulama (tokoh) Asy’ariyyah generasi (thabaqat) belakangan (muta’akhirin), seperti Abul Ma’ali Al-Juwaini, adalah sifat (1) qudrah; (2) al-‘ilmu; (3) iradah; (4) hayyun; (5) sama’; (6) bashar; dan (7) kalam. [1]

Dalam aqidah Asy’ariyyah yang dipegang oleh Abul Ma’ali Al-Juwaini, Allah Ta’ala hanya disifati dengan tujuh sifat tersebut saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

لكن الأشاعرة لا يثبتون إلا هذه الصفات السبع فقط؛ لأنهم يرون أن هذه الصفات السبع دل عليها العقل فأثبتوها لدلالة العقل عليها، وأما ما سواها فإن العقل لا يدل عليها فيجب أن تأول

“ … akan tetapi kelompok Asy’ariyyah, tidaklah mereka menetapkan sifat (Allah) kecuali tujuh sifat ini saja. Karena mereka berpendapat bahwa ketujuh sifat ini ditunjukkan oleh akal mereka. Maka mereka menetapkannya berdasarkan dalil akal. Adapun sifat-sifat lainnya, maka tidak ditunjukkan oleh akal mereka, sehingga harus ditakwil.” [2]

Jadi, tujuh sifat ini pun tidak ditetapkan oleh Asy’ariyyah berdasarkan dalil syar’i, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun, mereka tetapkan dan mereka yakini berdasarkan dalil akal (logika). Bagaimana akal dan logika mereka bisa sampai menetapkan tujuh sifat tersebut?

Beginilah alur berpikirnya:

Adanya makhluk menunjukkan adanya qudrah (kekuasaan) Allah. Adanya sesuatu yang baru (makhluk) menunjukkan kekuasaan dari dzat yang menjadikan makhluk tersebut, yaitu Allah. Teraturnya makhluk di alam semesta ini menunjukkan Allah memiliki sifat ‘ilmu. Karena jika bodoh, tentu tidak bisa mengatur. Lalu, adanya keunikan dan kekhususan masing-masing makhluk menunjukkan bahwa Allah memiliki kehendak (iradah). Ada matahari, ada bulan, ada bumi, ada langit, ada hewan dengan berbagai jenisnya, semua ini menunjukkan adanya iradah. Allah menghendaki untuk menciptakan langit, maka jadilah langit, dan seterusnya.

Tiga sifat ini (qudrah, ilmu, dan iradah) tidak mungkin ada kecuali pada dzat yang hidup (hayyun). Sehingga mereka pun menetapkan sifat yang ke empat ini.

Jika sifat hayyun telah ditetapkan, maka bisa jadi dzat tersebut memiliki pendengaran (sama’); penglihatan (bashar); dan berbicara (kalam) atau kebalikan dari tiga hal tersebut (tuli, buta dan bisu). Tiga sifat tersebut (tuli, buta dan bisu) adalah sifat tercela (aib) sehingga tidak mungkin Allah ditetapkan dengan ketiga sifat aib tersebut. Sehingga yang kita tetapkan adalah sifat sebaliknya, yaitu Allah memiliki sifat sama’, bashar dan kalam. [3]

Setelah mereka menetapkan tujuh sifat ini, mereka pun menolak untuk menetapkan sifat lainnya, seperti sifat mahabbah (mencintai), ridho (meridhai), ghadhab (murka), karena tidak ditunjukkan oleh akal mereka. [4] Sifat-sifat tersebut harus ditolak (atau dalam bahasa mereka: ditakwil) semuanya, sesuai dengan “petunjuk akal” mereka.

Tujuh sifat ini ditambah satu lagi oleh golongan Maturidiyyah, pengikut Abul Manshur Muhammad Al-Maturidi (wafat tahun 333 H) sehingga menjadi delapan sifat. Sifat ke delapan tersebut adalah sifat at-takwiin (membentuk atau pembentukan)[5]

Tujuh sifat yang ditetapkan oleh Asy’ariyyah tersebut dinamakan dengan صفات المعاني (shifaat ma’ani). Kemudian dari tujuh sifat tersebut, dibentuklah tujuh sifat lainnya, yaitu صفات معنوية (shifat ma’nawiyyah), yaitu sifat-sifat yang kembali ke tujuh shifaat ma’ani. Ketujuh sifat ma’nawiyyah tersebut adalah:

وكونه تعالى قادرا، مريدا، عالما، حيا، سميعا، بصيرا، متكلما.

“Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu ‘Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sami’an, Kaunuhu Bashiran, Kaunuhu Mutakalliman.”

Mereka pun menambahkan lagi enam sifat yang mereka sebut dengan  صفات سلبية (shifat salbiyyah). Artinya, sifat yang meniadakan. Disebut dengan shifat salbiyyah, karena penetapan sifat ini -menurut mereka- akan menafikan (meniadakan) sesuatu yang serupa dengan Allah Ta’ala. Shifat salbiyyah menurut mereka adalah:

الوجود، القدم، البقاء، مخالفة الحوادث، القيام بالنفس، الوحدانية

“Wujud, Qidam, Baqa’, Mukholafatuhu Ta’ala lil Hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyah.”

Sehingga jumlah totalnya menjadi dua puluh sifat. Namun, dua puluh sifat ini intinya kembali ke tujuh sifat di awal, yaitu shifat ma’ani. Inilah sejarah singkat dua puluh sifat wajib bagi Allah, yang banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin saat ini. [5]

Kedua puluh sifat ini adalah “sifat wajib” bagi Allah berdasarkan akal pula. Menurut akal mereka, tidaklah tergambar kalau kedua puluh sifat ini tidak ada, sehingga harus (wajib) ditetapkan untuk Allah Ta’ala. [6]

Kesimpulannya, tokoh-tokoh yang mengaku bermadzhab Asy’ariyyah, mereka hanya menetapkan sifat Allah hanya berdasarkan akal, bukan berdasarkan dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah).

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38056-sifat-allah-apakah-hanya-tujuh-atau-dua-puluh-02.html

Sifat Allah: Apakah hanya Tujuh atau Dua Puluh? (Bag. 1)

Di antara ilmu yang paling agung dan paling mulia adalah ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala (tauhid asmaa’ wa shifaat). Hal ini sebagaimana yang telah kami uraikan panjang lebar di serial tulisan sebelumnya. [1] Masalah aqidah, termasuk dalam masalah tauhid asmaa’ wa shifaat, haruslah diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sesuai dengan pemahaman generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, seiring dengan berpalingnya kaum muslimin dari agamanya, maka aqidah yang lurus, yaitu aqidah ahlus sunnah, seolah menjadi aqidah yang aneh dan terasing di tengah-tengah umat Islam sendiri. Sebaliknya, aqidah yang tersebar dan lebih dikenal adalah aqidah yang menyimpang dari jalan dan pemahaman sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara contoh kesalahan dalam masalah nama dan sifat Allah yang sudah tersebar luas di kalangan kaum muslimin adalah keyakinan mereka bahwa Allah Ta’ala hanya memiliki tujuh atau dua puluh sifat saja. Kedua puluh sifat tersebut juga telah dihafal oleh banyak kaum muslimin sehingga sering pula kita dengarkan melalui masjid-masjid di antara adzan dan iqomah. Pemahaman seperti ini sebetulnya berasal dari para tokoh yang menisbatkan diri kepada madzhab Asy’ariyyah.

Mengenal ‘Aqidah (Madzhab) Asy’ariyyah

Madzhab Asy’ariyyah adalah madzhab yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 324 H)Pada fase awal (fase pertama) kehidupan beliau, beliau tenggelam dalam aqidah Mu’tazilah. Dalam masalah nama dan sifat Allah Ta’ala, madzhab Mu’tazilah ini hanya menetapkan nama untuk Allah Ta’ala, namun menolak sifat-sifat Allah Ta’ala seluruhnya. Dengan kata lain, bagi kaum Mu’tazilah, nama Allah Ta’ala hanyalah sekedar nama, namun tidak menunjukkan sifat yang mulia. Beliau tenggelam dalam madzhab Mu’tazilah karena pengaruh didikan ayah tirinya selama 40 tahun, yaitu Abu ‘Ali Al-Juba’i, seorang tokoh besar Mu’tazilah ketika itu yang berdomisili di kota Bashrah (Irak).

Sayangnya, setelah bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah, beliau justru terjerumus dalam madzhab Kullabiyah, yaitu madzhab yang dinisbatkan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab Al-Bashri (wafat tahun 240 H). Namun, Allah Ta’ala ternyata menghendaki kebaikan (hidayah) untuk beliau. Sehingga pada akhir-akhir kehidupannya, beliau menyatakan bertaubat dari pemikirannya tersebut (Kullabiyah) dan kembali mengikuti aqidah ahlus sunnah, yaitu aqidah yang dipegang oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal rahimahullahu Ta’ala dan para imam ahli hadis yang lainnya. [2]

Dalam salah satu kitab terakhir karya beliau, yaitu kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuul Ad-Diyaanah, sangat jelas pernyataan dari beliau bahwa beliau bertaubat dari madzhab Mu’tazilah dan Kullabiyah dan rujuk (kembali) ke ‘aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Beliau rahimahullahu Ta’ala dengan sangat jelas dan tegas berkata,

قولنا الذي نقول به، وديانتنا التي ندين بها، التمسك بكتاب ربنا عز وجل، وسنة نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، وما روى عن الصحابة والتابعين وأئمة المحدثين، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل – نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته – قائلون، ولما خالف قوله مخالفون؛ لأنه الإمام الفاضل، والرئيس الكامل، الذي أبان الله به الحق، ودفع به الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به بدع المبتدعين، وزيع الزائغين، وشك الشاكين …

“Pendapat yang kami nyatakan, dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah dan sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, (juga berpegang teguh dengan) apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in, para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh dengan prinsip tersebut. (Kami juga berpegang teguh) dengan (aqidah) Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Semoga Allah Ta’ala mengelokkan wajah beliau, mengangkat derajat beliau, melimpahkan pahala bagi beliau. Kami juga menyelisihi orang-orang yang menyelisihi aqidah beliau. Karena beliau adalah imam yang fadhil (memiliki keutamaan) dan pemimpn yang sempurna. Melalui diri beliau, Allah Ta’ala membuat terang (jalan) kebenaran dan menolak kesesatan, menjelaskan manhaj, memberantas bid’ah yang dilakukan oleh ahli bid’ah, (serta memberantas) penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang dan keraguan orang-orang yang ragu … ” [3]

Kembalinya beliau ke aqidah ahlus sunnah juga ditegaskan di dua kitab beliau lainnya, yaitu Maqaalat Islamiyyin wa Ikhtilaafil Musholliin [4] dan kitab Risaalah ila Ahli Tsaghr [5].

Salah seorang ulama besar madzhab Asy-Syafi’i, yaitu Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa di antara sebab kembalinya Abul Hasan Al-‘Asy’ari ke dalam aqidah ahlus sunnah adalah pertemuan beliau dengan Zakaria As-Saaji (wafat tahun 307 H), yaitu ulama ahli hadits yang tinggal di kota Bashrah dan beraqidah ahlus sunnah. [6]

Adz-Dzahabi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata ketika menyebutkan biografi Zakaria As-Saaji,

وَكَانَ مِنْ أَئِمَّةِ الحَدِيْثِ. أَخَذَ عَنْهُ: أَبُو الحَسَنِ الأَشْعَرِيّ مَقَالَة السَّلَف فِي الصِّفَات، وَاعتمد عَلَيْهَا أَبُو الحَسَنِ فِي عِدَّة تآلِيف.

“Beliau adalah imam ahli hadits. Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil pendapat ulama salaf (ahlus sunnah) darinya dalam masalah terkait sifat-sifat (Allah). Abul Hasan Al-Asy’ari juga berpegang dengannya (As-Saaji) dalam beberapa karya tulis beliau.” [7]

Dan telah kita maklumi bersama, bagaimanakah aqidah ahlus sunnah dalam masalah nama dan sifat Allah. Ahlus sunnah menetapkan seluruh nama dan sifat yang telah Allah Ta’ala tetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan dzahirnya, tanpa tahrif (takwil), ta’thil, takyif, dan tasybih. Ahlus sunnah meyakini dan menetapkan sifat as-sam’u (mendengar) bagi Allah, sesuai keagungan dan kebesaran Allah, tidak serupa dengan makhluk-Nya. Ahlus sunnah juga menetapkan sifat dua tangan (yadain) yang hakiki (bukan majas yang ditakwil menjadi nikmat atau kekuatan), sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan makhluk-Nya. Dan demikian seterusnya. [8]

Namun sangat disayangkan, bahwa aqidah yang tersebar sampai saat ini adalah ‘aqidah beliau pada fase kedua, yaitu fase Kullabiyah. Dan dalam beberapa masalah, justru mirip dengan aqidah Mu’tazilah. Namun mereka menyangka bahwa aqidah mereka saat ini (yang hakikatnya adalah ‘aqidah Kullabiyah, namun mereka sebut dengan ‘aqidah Asy’ariyyah) masih mengikuti ‘aqidah Abul Hasan Al-Asy’ari. Padahal beliau sendiri telah bertaubat dari ‘aqidah Kullabiyah dan kembali jalan ahlus sunnah, sebagaimana yang telah beliau tegaskan sendiri dalam tiga kitab tersebut. Oleh karena itu, kaum (golongan) Asy’ariyyah (Asyaa’irah) pada hakikatnya bukanlah pengikut sejati dari Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah, sebagaimana yang akan kami bahas di seri-seri selanjutnya dari tulisan ini. Contohnya, aqidah Asy’ariyyah yang menetapkan hanya tujuh atau dua puluh sifat saja bagi Allah Ta’ala.

[Bersambung]

***

Diselesaikan ba’da shubuh, Rotterdam NL, 9 Rajab 1439/28 Maret 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38054-sifat-allah-apakah-hanya-tujuh-atau-dua-puluh-01.html

Larangan Terhadap Nama dan Sifat Allah

Keyakinan yang Benar Tentang Nama Allah

Seorang mukmin harus memilik keyakinan yang benar tentang nama dan sifat Allah. Keyakinan yang benar tentang tauhid asma’ wa shifat ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Termasuk keimanan kepada Allah adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri dan juga yang Rasulullah tetapkan untuk Allah tanpa melakukan tahrifta’thiltamtsil, dan takyif “ (Al-‘Aqidah Al-Waasitiyyah). Dalam menetapkan sifat Allah, kita dilarang melakukan tahrifta’thiltamtsil, dan takyif. Apa yang dimaksud dengan keempat hal tersebut? Berikut penjelasannya :

Pertama: Tahrif

Tahrif artinya mengubah, baik mengubah kata maupun makna. Namun yang banyak terjadi adalah tahrif  makna. Pelaku tahrif disebut muharrifTahrif ada dua macam ;

  1. Tahrif lafdzi. Yaitu mengubah suatu bentuk kata ke bentuk lainnya, baik dengan mengubah harakat, menambah kata atau huruf, maupun dengan menguranginya. Contoh tahrif lafdzi :
  • Mengubah kata (اسْتَوَى) dalam firman Allah (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى) dengan (اسْتَوَلى), yaitu dengan menambah satu huruf. Tujuannya adalah untuk menolak sifat istiwa’.
  • Menambah kalimat dalam firman Allah (وَجَاء رَبُّكَ) menjadi (وَجَاء أمر رَبُّكَ). Tujuannya adalah untuk menolak sifat majii’ (datang) yang hakiki bagi Allah.
  1. Tahrif maknawi. Yaitu mengubah suatu makna dari hakikatnya, dan menggantinya dengan makna kata lain. Seperti perkataan ahlul bid’ah yang mengartikan sifat rahmah dengan keinginan memberi nikmat, atau mengartikan sifat ghadab (marah) dengan keinginan untuk membalas. Maksudnya adalah untuk menolak sifat rahmah dan sifat ghadhab yang hakiki bagi Allah.[1]

Ahlussunah wal jama’ah mengimani nama dan sifat Allah  tanpa disetai tahrif.

Kedua: Ta’thil

Ta’thil artinya mengosongkan dan meninggalkan. Maksudnya adalah mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya, baik mengingkari keseluruhan maupun sebagian, baik dengan men-tahrif maknanya maupun menolaknya. Pelaku ta’thil disebut mu’atthil.

Walaupun nampak sama, terdapat perbedaan antara tahrif dan ta’thilTahrif adalah menolak makna yang benar yang terdapat dalam nash dan menggantinya dengan makna yang tidak benar. Adapun ta’thil menolak makna yang benar namun tidak mengganti dengan makna lain, seperti perbuatan mufawwidhah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap muharrif adalah mu’atthil, namun tidak setiap mu’atthil adalah muharrif.

Ketiga: Takyif

Takyif artinya menyebutkan tentang kaifiyyah (karakteristik) suatu sifat. Takyif merupakan jawaban dari pertanyaan “bagaimana?”.

Ahlussnunnah wal jama’ah tidak men-takyif sifat Allah. Terdapat dalil naqli dan dalil ‘aqli yang menunjukkan larangan takyif.

Dalil naqli, yaitu firman Allah Ta’ala :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) berkata tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui“ (Al-A’raf:33)

Jika ada seseorang yang berkata : “Sesungguhnya Allah istiwa’ di atas ‘Arsy dengan cara demikian dan demikian (menyebutkan tata cara tertentu)”, maka kita katakan orang tersebut telah berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu. Apakah Allah menjelaskan bahwa Dia istiwa’ dengan cara yang disebutkan tadi? Tidak. Allah memberitakan kepada kita bahwa Allah istiwa’ namun Allah tidak menjelaskan tentang tata cara istiwa’. Dengan demikian perbuatan orang tersebut termasuk takyif dan termasuk berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu.

Dalil yang lain yaitu firman Allah :

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya “ (Al-Isra’:36). Dalam ayat ini Allah melarang untuk mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu, termasuk perbuatan takyif.

Terdapat pula dalil ‘aqli (metode akal) yang menunjukkan larangan takyif. Untuk mengetahui karakteristik sesuatau, harus melalui salah satu di antara tiga cara berikut :

  1. Melihat langsung sesuatu tersebut
  2. Melihat yang semisal dengan sesuatu tersebut
  3. Ada pemberitaan yang benar tentang sesuatu tersebut.

Kita tidak mengetahui zat Allah, atau yang semisal dengan zat Allah, begitu pula tidak ada yang memberitakan kepada kita tentang karakteristik zat Allah, sehingga kita tidak mungkin untuk men-takyif sifat-sifat Allah.

Catatan penting :

Yang dimaksud dengan menolak takyif  bukan berarti meniadakan kaifiyyah dari sifat-sifat Allah. Kita tetap meyakini bahwa sifat-sifat Allah mempunyai kaifiyyah, namun kita tidak mengetahui kaifiyyah tersebut. Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy tidak diragukan lagi pasti mempunyai kaifiyyah tertentu, akan tetapi kita tidak mengetahuinya. Begitu pula sifat nuzul bagi Allah mempunyai kaifiyyah tertentu, akan tetapi kita tidak mengetahuinya. Segala sesuatu yang ada pasti mempunyai kaifiyyah, namun ada yang diketahui dan ada yang tidak diketahui.[2]

Keempat: Tamtsil

Tamtsil adalah menyebutkan sesuatu dengan yang semisalnya. Takyif dan tamtsil mempunyai makna yang hampir sama, namun terdapat perbedaan antara keduanya. Takyif lebih umum daripada tamtsil. Setiap mumatstsil (orang yang melakukan tamtsil) adalah mukayyif (orang yang melakukan takyif), namun tidak setiap mukayyif adalah mumatstsilTakyif adalah menyebutkan bentuk sesuatu tanpa menyebutkan pembanding yang setara. Misalnya seseorang mengatakan bahwa pena miliknya bentuknya demikian dan demikian (tanpa menyebutkan contoh pembandingnya). Jika dia menyebutkan pembanding yang setara, maka dia melakukan tamtsil. Misalnya mengatakan bahwa pena miliknya serupa dengan pena milik si A.

Yang dimaksud tamtsil dalam asma’ wa shifat adalah menyamakan nama dan sifat Allah dengan makhluk. Sebagian ulama ada yang menggolongkan tamtsil termasuk takyif muqayyadTakyif ada dua bentuk : takyif mutlaq (takyif) dan takyif muqayyad (tamtsil)

Perbuatan tamtsil terlarang dalam memahami nama dan sifat Allah karena banyak dalil yang melarang tamtsil, seperti firman Allah dalam surat As-Syuura 11, Maryam 65, dan Al-Ikhlas 4. Secara akal tamtsil juga tidak bisa diterima karena alasan-alasan berikut :

  1. Tidak mungkin ada persamaan antara Allah dengan makhluk dalam segala sisi. Seandainya tidak ada perbedaan di antara Allah dan makhluk kecuali dalam perbedaan wujud, niscaya itupun sudah cukup. Wujudnya Allah adalah wajib, sedangkan wujudnya makhluk diawali dengan ketidakadaan dan akan berakhir. Jika ada dua zat, wujudnya saja sudah berbeda, maka lebih-lebih lagi adanya perbedaan dalam nama dan sifat pada kedua zat tersebut.
  2. Terdapat perbedaan yang sangat jauh antara sifat Allah dengan sifat makhluk. Sifat as sam’u (pendengaran) misalnya. Pendengaran Allah sangat sempurna, sedangkan makhluk sangat terbatas.
  3. Zat Allah berbeda dengan makhluk, maka sifat-sifatnya pun berbeda, karena adanya sifat selalu menyertai pada suatu zat.
  4. Di antara para makhluk saja terdapat perbedaan satu dengan yang lainnya. Bahkan makhluk yang jenisnya sama pun memiliki sifat yang berbeda, Tentu saja lebih-lebih lagi perbedan antara makhluk dengan Zat yang menciptakan mereka.

Faidah[3] :

Tasybih (tamtsil) ada dua bentuk :

Pertama: Tasybih al-makhluq bil Khaaliq (menyamakan makhluk dengan pencipta). Maksudnya menetapkan sesuatu bagi makhluk yang merupakan kekhususan Allah, baik dalam perbuatan-Nya, hak-Nya untuk diibadahi, maupun dalam nama dan sifat-Nya. Dalam perbuatan-Nya, seperti orang yang berbuat syirik dalam rububiyyah, yakni meyakini bahwa ada pencipta selain Allah. Dalam hak-Nya untuk diibadahi, misalnya perbuatan orang-orang musyrik terhadap berhala-berhala mereka, di mana mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut mempunyai hak untuk disembah. Dalam sifat Allah, misalnya orang-orang yang berlebihan dalam memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang khusus bagi Allah.

Kedua : Tasybih Al-Khaaliq bil makhluq (menyerupakan pencipta dengan makhluk). Maksudnya menetapkan bagi zat maupun sifat Allah berupa kekhususan seperti yang ada pada makhluk. Seperti ungkapan bahwa tangan Allah sama dengan tangan makhluk, istiwa’Allah sama dengan istiwa’ pada makhluk, dan lain-lain.

Demikianlah ha-hal terlarang yang harus dihindari dalam memahami dan meyakini nama dan sifat Allah. Semoga Allah memberikan kepada kita ilmu dan pemahaman yang benar tentang aqidah Islam.

***

Penyusun : dr. Adika Mianoki

[Redaksi]

[1] Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Waasithiyyah li Syaikh Fauzan

[2] Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Waasithiyah li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin

[3] Lihat Fathu Rabbil Bariyyah 18

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29794-larangan-terhadap-nama-dan-sifat-allah.html

Metode Menetapkan Sifat-Sifat Allah Ta’ala

Keimanan terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala merupakan salah satu unsur pembentuk iman seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Tidaklah seorang hamba mengenal Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya kecuali dengan mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. 

Metode Menetapkan Sifat-Sifat Allah Ta’ala

Dalam mengenal dan menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, ahlus sunnah menempuh beberapa metode berikut ini.

Pertama, dengan menetapkan makna (sifat) yang terkandung dalam nama Allah Ta’ala. 

Kaidah penting berkaitan dengan masalah ini adalah bahwa setiap nama Allah Ta’ala itu adalah nama sekaligus mengandung sifat Allah Ta’ala yang mulia. Misalnya, nama Allah Ta’ala “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” menunjukkan sifat Allah Ta’ala memiliki rahmah (kasih sayang) kepada hamba-Nya. Nama Allah Ta’ala “Al-Hakiim” menunjukkan sifat al-hikmah yang dimiliki Allah Ta’ala. Nama Allah Ta’ala ‘Al-‘Aziiz” menunjukkan sifat al-‘izzah (perkasa). Demikian pula, nama Allah Ta’ala “Al-‘Aliim” menunjukkan sifat al-‘ilmu. Dan demikian seterusnya untuk nama-nama Allah Ta’ala yang lainnya. 

Aqidah ahlus sunnah ini bertentangan dengan aiqdah mu’tazilah yang menetapkan dan meyakini nama Allah Ta’ala, namun nama yang kosong dari kandungan sifat. Menurut mu’tazilah, Allah Ta’ala memiliki nama Al-‘Aliim, akan tetapi Allah tidak memiliki ilmu. Allah Ta’ala memiliki nama As-Samii’, akan tetapi Allah Ta’ala tidak memiliki as-sam’u (pendengaran) dan demikian seterusnya.

Tidak diragukan lagi, bahwa aqidah mu’tazilah tersebut adalah aqidah yang batil. Nama Allah Ta’ala berbeda dengan nama makhluk. Karena nama makhluk (manusia biasa, kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), bisa jadi hanya sekedar nama tanpa menunjukkan sifat. Ada seseorang yang bernama “Shalih”, namun mungkin saja perilakunya tidak mencerminkan namanya. Atau, ada orang bernama Alim, namun dia orang yang tidak berpendidikan.

Ke dua, dengan menetapkan sifat yang Allah Ta’ala sebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an atau disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.  

Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah Ta’ala banyak menyebutkan secara langsung sifat-sifat-Nya. Misalnya, di antara sifat Allah adalah Allah Ta’ala memiliki wajah (al-wajhu). Sifat ini Allah Ta’ala sebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an, 

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman [55]: 27)

Allah Ta’ala juga berfirman,

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (QS. Al-Qashash [28]: 88)

Contoh lain berkaitan dengan sifat Allah Ta’ala memiliki dua tangan (yadain), Allah Ta’ala mengatakan,

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ

“Allah berfirman, “Wahai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shaad [38]: 75)

Allah Ta’ala juga mengatakan,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ

“Orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah itu terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Maidah [5]: 64) 

Ke tiga, dengan mengambil turunan dari kata kerja yang disebutkan oleh dalil.

Metode ke tiga dalam menetapkan sifat Allah Ta’ala adalah dengan mengambil turunan kata dari kata kerja (fi’il) yang disebutkan oleh dalil, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Misalnya, di antara sifat Allah adalah mutakallim (berbicara). Sifat ini diambil dari firman Allah Ta’ala,

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (QS. An-Nisa’ [4]: 164)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebutkan fi’il “kallama” (berbicara), kemudian diambillah sifat al-mutakallim dari kata kerja tersebut. 

Contoh lain, berkaitan dengan sifat al-majii’ (datang), Allah Ta’ala berfirman,

كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا ؛ وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

“Jangan (berbuat demikian), apabila bumi digoncangkan berturut-turut. Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr [89]: 21-22)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebutkan fi’il “jaa’a” (datang), kemudian diambillah sifat al-majii’ dari kata kerja tersebut.  

Contoh lain adalah sifat Allah an-nuzuul (turun ke langit dunia). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ 

”Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.”” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan fi’il “yanzilu” (turun), kemudian diambillah sifat an-nuzuul dari kata kerja tersebut.  

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55106-metode-menetapkan-sifat-sifat-allah-taala.html

Hukum Mengkhususkan Hari Raya dan Hari Jum’at untuk Ziarah Kubur

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Bagaimanakah hukum mengkhususkan dua hari raya (yaitu, ‘idul fitri dan ‘idul adha) dan hari Jum’at untuk ziarah kubur? Apakah di dua kesempatan tersebut ziarah ditujukan kepada orang yang masih hidup ataukah yang sudah meninggal?

Jawaban:

Perbuatan tersebut tidak memiliki landasan (dari syari’at). Mengkhususkan ziarah kubur di hari ‘id dan meyakini bahwa perkara tersebut disyariatkan dinilai termasuk dalam perbuatan bid’ah. Hal ini karena perbuatan tersebut tidak berasal dari ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku tidak mengetahui satu pun ulama yang mengatakannya [1].

Adapun (ziarah kubur) pada hari Jum’at, sebagian ulama menyebutkan bahwa hendaknya melakukan ziarah kubur di hari Jum’at [2]. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak menyebutkan -berkaitan dengan anjuran tersebut- riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [3]

Di kesempatan yang lain, beliau rahimahullah mengatakan,

فإنه يجب على المؤمن أن يكون فيها متبعاً لا مبتدعاً متبعاً في هيئتها وفي زمنها وهذا الزمن الذي خصصه هؤلاء وهو ما بعد صلاة العيدين يخرجون إلى المقبرة هذا الزمن ليس وارداً عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يرد أنه صلى الله عليه وسلم يخص المقبرة بزيارةٍ بعد صلاة العيد وعلى هذا فتخصيصها بهذا اليوم أو الذهاب إلى المقبرة في هذا اليوم يعتبر من البدع التي لا يجوز للمرء أن يتقيد بها وإن كان الأصل أن الزيارة مشروعة ولكن تخصيصها في هذا اليوم أو فيما بعد الصلاة هو من البدع

“Wajib atas setiap mukmin untuk ittiba’, dan tidak berbuat bid’ah (menjadi mubtadi’). Ittiba’ (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), baik berkaitan dengan tatacara maupun waktu (pelaksanaan suatu ibadah). Adapun waktu yang mereka khususkan di antaranya adalah setelah shalat ‘id, mereka pun pergi menuju pemakaman. (Pengistimewaan atau pengkhususan) waktu semacam ini tidaklah berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhusukan (mengistimewakan) makam untuk diziarahi setelah shalat ‘id. Berdasarkan hal ini, maka mengkhusukan ziarah kubur di hari itu atau pergi ke pemakaman di hari itu dinilai sebagai perbuatan bid’ah yang tidak boleh bagi seseorang untuk mengaitkannya. Meskipun pada asalnya, ziarah kubur itu disyariatkan. Akan tetapi, ketika ziarah kubur tersebut (yang pada asalnya disyariatkan) dikhusukan di hari itu (hari ‘id) atau setelah shalat ‘id, inilah sisi kebid’ahannya.” [4] 

Catatan penting dari perkataan beliau tersebut adalah bahwa yang kita ingkari adalah mengkhususkan ziarah kubur di waktu-waktu tertentu tanpa ada landasan dalil dari syraiat. Sedangkan ziarah kubur itu sendiri, termasuk perkara yang disyariatkan.

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54967-hukum-mengkhususkan-hari-raya-dan-hari-jumat-untuk-ziarah-kubur.html

Hukum Menunda Pemakaman Jenazah

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Bagaimanakah hukum menunda pengurusan jenazah, (menunda) memandikan, memberi kain kafan, dan menshalatinya, atau menunda memakamkannya sampai kerabat si mayit tersebut datang? Apakah kaidah dalam masalah ini?

Jawaban:

Menunda pengurusan jenazah itu perbuatan yang menyelisihi sunnah. Bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

“Segeralah mengurus jenazah. Karena jika jenazah itu adalah orang shalih, berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya. Dan jika jenazah tersebut selain orang shalih, berarti kalian telah meletakkan kejelekan di pundak kalian.” (HR. Bukhari no. 1315 dan Muslim no. 944)

Sehingga tidak selayaknya ditunda-tunda, kecuali jangka waktu yang sebentar saja. Sebagaimana jika ditunggu satu atau dua jam, atau sejenis itu. Adapun menundanya sampai jangka waktu yang lama, maka ini perbuatan yang dzalim terhadap si mayit. Karena jika jenazah tersebut adalah jenazah orang shalih, ketika para pengantar jenazah membawanya, dia akan berkata,

قَدِّمُونِي قَدِّمُونِي

“Segeralah kalian, segeralah kalian (membawa aku).” (HR. Bukhari no. 1380) [1]

Maka jenazah (orang shalih) meminta untuk disegerakan, karena dia telah dijanjikan mendapatkan kebaikan dan pahala yang besar. Wallahu a’lam.

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55113-hukum-menunda-pemakaman-jenazah.html