Tangkal Virus Corona, Menyambut Kematian

KINI semua orang membicarakan virus Corona. “Barakah” masuknya Youtube ke kampung-kampung, orang kampung terpencil pun ikut terlibat hiruk pikuk diskusi virus ini. Masker sebagai pencegahan penularan virus laris manis di mana-mana. Harga mahal bukanlah masalah, yang penting ada barang ada pasti diburu.

Berita hebohnya virus corona ini mengalahkan hebohnya isu yang lain, termasuk perang, politik dan keterpurukan ekonomi. Menariknya, sesama orang yang takut terjangkit virus corona, masik sempat bertengkar dan menjadikannya sebagai isu perang urat leher yang tak pernah usaibdi negeri ini.

Sungguh banyak yang sangat panik dengan isu virus Corona, walau itu belum tentu tertimpa kepada dirinya. Bermacam persiapan penanggulangan dan mengobatan dilakukan. Diskusi, seminar dan bahkan perdebatan juga digelar. Beberapa narasumber berbicara dengan meggunakan masker. Saya tak meneliti masker merk/cap apa yang dipakainya.

Tak salah mempersiapkan diri menanggulangi atau mencegah tertularnya virus itu. Namun sudahkan kita mempersiapkan diri untuk kematian yang pasti datang kepada kita? Apa saja yang telah kita lakukan agar terhindar dari su’ul khatimah?

Sudahkan kita wudlu yang benar dan shalat yang benar sehingga bisa selamat dunia akhirat? Sudahkah kita mengkonsumsi makanan yang halal dzatnya dan halal mendapatkannya demi bebas dari beragam siksa dan derita? Sudahkah kita bahagiakan orang tua kita, guru kita, kerabat dan semua makhluk yang Allah ciptakan? Mari kita muhasabah, merenung. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Potret Mereka yang Berjiwa Hanif

Pengertian “hanif”

Salah satu ciri hamba Allah Ta’ala yang didambakan oleh orang-orang yang beriman adalah memiliki jiwa yang hanif. Hanif (حنيف) dalam bahasa Arab artinya adalah “maa’il” (مائل), yaitu “condong”. 

Dalam bahasa Arab, kata “maa’il” bisa tersambung dengan dua huruf jarr, yaitu ‘an dan ila. (مائلا عن) artinya adalah condong menjauh; sedangkan (مائلا إلى) adalah condong mendekat.

Oleh karena itu, agama Ibrahim ‘alaihis salaam disebut dengan agama yang hanif (hanifiyyah), karena condong menjauh dari segala bentuk kemusyrikan kemudian mendekat kepada tauhid yang murni, yaitu memurnikan dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala. 

Allah Ta’ala berfirman,

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi berserah diri (kepada Allah). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. (QS. Ali ‘Imran [3]: 67)

Di dalam Tafsir Jalalain disebutkan ketika menjelaskan hanif,

مَائِلًا عَنْ الْأَدْيَان كُلّهَا إلَى الدِّين الْقَيِّم

“Condong menjauhi segala agama (kekafiran) seluruhnya, dan mendekat kepada agama yang lurus (tauhid).” 

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,

أَيْ متحنفا عن الشرك قاصدا إلى الإيمان

“Yaitu menjauh dari kemusyrikan dan condong mendekat kepada keimanan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2: 49)

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif” dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. An-Nahl [16]: 123)

Kita diperintahkan untuk mengikuti agama Ibrahim, yaitu agama hanifiyyah, agama yang Allah Ta’ala perintahkan untuk kita ikuti dan konsisten di atasnya.

Kemusyrikan adalah pangkal semua keburukan dan kebatilan, sedangkan tauhid adalah inti dari kebenaran. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki jiwa yang hanif akan condong menjauh dari semua bentuk kebatilan, maksiat dan kedurhakaan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian sungguh-sungguh untuk senantiasa dekat dengan jalan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Potret mereka yang berjiwa hanif

Syaikh ‘Abdurrazaq Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala berkata,

“Hanif adalah condong menjauh dari semua kebatilan dan mendekat kepada kebenaran, hidayah, tauhid, dan istiqamah. Condong menjauh dari kemusyrikan dan mendekat kepada tauhid. Condong menjauh dari kesesatan dan mendekat kepada hidayah (petunjuk). Condong menjauh dari kebatilan dan mendekat kepada kebenaran. Juga  condong menjauh dari buruknya amal dan mendekat kepada amal yang sesuai dengan ilmu yang shahih. Inilah yang dimaksud dengan hanif.” (Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 30)   

Mereka yang berjiwa hanif pada zaman sekarang ini, mereka sama sekali tidak memiliki minat, selera, dan keinginan untuk berbuat kemaksiatan atau perbuatan buruk lainnya. Jangankan keinginan, hanya sekedar mimpi atau angan-angan untuk berbuat maksiat pun tidak. 

Ketika ajakan berbuat maksiat itu datang, atau sebetulnya ada kesempatan untuk berbuat maksiat, mereka yang berjiwa hanif sama sekali tidak tergoda, dan tidak ada dorongan sama sekali dari dalam jiwanya untuk menyambut ajakan maksiat tersebut. Bahkan jiwanya merasa jijik dan tidak butuh terhadap ajakan maksiat tersebut. Berbeda halnya dengan kondisi sebagian di antara kita yang justru merasa sedih, menyesal, dan meratapi setiap maksiat yang terluput dari diri kita. Kemudian berharap-harap agar ajakan dan kesempatan untuk berbuat maksiat akan datang lagi di waktu yang akan datang.

Mereka yang berjiwa hanif, fokus perhatian mereka, keinginan, dan cita-cita mereka adalah kebaikan dan segala sarana yang mengantarkan kepada kebaikan. Itulah fokus kesibukannya, yaitu menyibukkan diri dalam perkara kebaikan dan diperintahkan oleh syariat. Jiwanya tidak akan merasa berat dan siap menyambut setiap peluang dan ajakan kebaikan yang datang kepada dirinya. 

Mereka yang berjiwa hanif, mereka adalah orang-orang yang ikhlas dalam ibadahnya. Tidaklah mungkin seseorang itu berjiwa hanif, namun tidak mukhlis (orang yang berhati ikhlas). Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. Dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55016-potret-mereka-yang-berjiwa-hanif.html

Makkah dan Madinah Makin Serius Tangani Virus Corona

Pemerintah Arab Saudi makin memperketat penyebaran virus conona di tanah suci. Bahkan, Arab Saudi pada hari Kamis lalu (5/3) telah mengumumkan bahwa Masjidil Haram  di Makah dan Masjid Nabawi di Madinah ditutup satu jam setelah sholat Isya dan akan dibuka satu jam sebelum sholat Subuh (subuh) pada setiap harinya.

Ini adalah tindakan pencegahan terbaru untuk mencegah penyebaran coronavirus di Arab Saudi.

Seperti dilansir Arab News, pihak Kerajaan Sadui itu telah menangguhkan semua ziarah umrah pada hari Rabu lalu itu karena adanya kekhawatiran akan penyebaran virus corona. Maka pihak berwenang pun telah membersihkan Masjidil Haram sebagai persiapan untuk sterilisasi, setelah penangguhan kunjungan Umrah baru-baru ini.

Seorang pejabat Saudi mengatakan operasi pembersihan tersebut merupakan “tindakan pencegahan sementara” yang “belum pernah terjadi sebelumnya.” Pada bagian lantai atas tetap terbuka untuk sholat. Namun, dalam video yang diposting secara online pada hari Kamis lalu ternyata menunjukkan area mataf tampak sepi dari kerumunan jamaah yang mengelilingi Ka’bah.

Daerah di sekitar Ka’bah linny, misalnya tempat para peziarah melalukan Sa’i yakni berjalan mengelilinginya tujuh kali dan di antara bukit Safa dan Marwah malah akan tetap ditutup sampai larangan Umrah dicabut. Shalat hanya akan dilakukan di dalam Masjidil Haram.

Selain itu membawa makanan dan minuman ke masjid sekarang dilarang’ Akses jamaah yang ingin minum ke wadah Zamzam sementara akan dihentikan.

Arae makam di Masjid Nabawi Madinah yang menampung kuburan Nabi Muhammad dan dua sahabatnya, Abu Bakar Siddiq dan Umar ibn Al-Khattab, juga akan ditutup untuk jamaah.

Perubahan kebijakan terhada pengawasan di Dua Masjid Suci ini terjadi ketika Kerajaan Saudi menuduh Iran meningkatkan ancaman global dari virus corona dengan tidak mendokumentasikan dengan baik kedatangan dan keberangkatan pengunjung asing ke negerinya.

Ini terjadi setelah kementerian Kesehatan sebelumnya mengumumkan lima orang Saudi yang dinyatakan positif COVID-19 setelah kembali dari Iran, melalui Bahrain dan Kuwait. Mereka berusaha masuk ke Saudi tanpa mengungkapkan bahwa mereka pernah berada di Iran.

Sebuah sumber resmi di Kerajaan Saudi mengecam tindakan tidak bertanggung jawab terhadap pihak pemberi izin warga Saudi bisa masuk ke Iran tanpa membubuhkan paspor. Arab Saudi khawatir mereka akan membawa wabah virus di negara itu.

Sikap ini, lanjut sumber di pihak pemerintah Arab Saudi, sebagai bukti tanggung jawab langsung pihak Iran untuk tidak meningkatkan tingkat infeksi dan penyebaran virus di seluruh dunia. Menurutnya, perilaku semacam itu menimbulkan ancaman kesehatan publik yang serius bagi komunitas global, melemahkan upaya penahanan internasional, dan menempatkan komunitas pada risiko yang lebih besar.

Pejabat itu mendesak semua warga Saudi yang telah mengunjungi Iran baru-baru ini untuk menghubungi nomor bebas pulsa Kementerian Kesehatan. Ini harus dilakukan sebagai tindakan pencegahan adanya gangguan kesehatah akibat virus corona. Warga Saudi yang saat ini berada di Iran juga didesak untuk melaporkan kunjungan mereka segera setelah kembali.

Virus Corona di Palestina

Dalam perkembangan lain, tujuh warga Palestina yang bekerja di sebuah hotel di Betlehem tempat turis Yunani dites positif mengidap virus corona. Pemerintah telah menyatakan larangan dua minggu pada turis.

Bahkan di Italia, negara itu  telah menutup semua sekolah setidaknya selama 10 hari, dan Iran pun menutup lembaga pendidikannya hingga April. California telah menyatakan keadaan darurat setelah kematiannya yang pertama coronavirus, dan kapal pesiar dengan 3.500 orang di dalamnya ditahan di lepas pantai.

IHRAM


Ka’bah Ditutup Karena Virus Corona, Yashir Qadhi: Subhanallah Thawaf Berhenti

Kerajaan Arab Saudi telah menutup sementara kompleks Masjid al-Haram dan beberapa situs suci lainnya. Termasuk penutupan Ka’bah karena disterilkan dari kemungkinan adanya virus Corona baru, Covid-19. Momen bersejarah penutupan Ka’bah ini dimulai setelah setelah shalat Isya, Kamis (7/3/2020) malam.

Masjid al-Haram akan dibuka lagi satu jam sebelum shalat Jumat hari ini (6/3/2020). Sedangkan penutupan halaman Kakbah belum ditentukan sampai kapan.

Selain halaman di sekitar Kabah, situs Mas’a—jalur antara bukit Safa dan bukit Marwah juga ditutup selama periode larangan umrah untuk sementara. Pelaksanaan ibadah hanya diperkenankan di dalam Masjid al-Haram saja.

Mengutip laporan Gulf News, sumur air Zamzam juga ditutup. Jamaah umrah tidak diperkenankan membawa makanan atau minuman di sekitar situs suci Mekah. Mereka juga tidak akan diizinkan tinggal di masjid untuk Itikaf.

Tak hanya itu, langkah-langkah pencegahan masuknya virus corona juga mencakup penutupan Masjid Nabawi di Madinah, situs pemakaman Al Baqi—yang tertua dan salah satu dari dua makam Islam paling penting yang terletak di Madinah. Di Al-Baqi itulah keluarga Nabi Muhammad SAW dan banyak sahabat Nabi dimakamkan.

Sebelumnya pada Rabu (4/3/2020), kerajaan Saudi telah melarang untuk sementara umroh ke kota-kota suci Mekah dan Madinah bagi warga Saudi dan penduduk asing karena kekhawatiran terhadap Covid-19. Kerajaan menegaskan kebijakan ini hanya sementara dan akan ditinjau sesuai dengan kondisi.

Terkait langkah Saudi tersebut, Cendekiawan Muslim, Yasir Qadhi, berbagi video tentang momen bersejarah penutupan Ka’bah untuk sementara. “Subhanallah, Ka’bah kosong, thawaf telah berhenti ketika pihak berwenang membersihkan (Masjid al-) Ḥaram karena ketakutan akan virus Corona. Semoga Allah melindungi kita semua!,” tulis Qadhi via akun Twitter-nya, @YasirQadhi.

ISLAM POS

Ini Jejak Wabah yang Pernah Menghampiri Makkah

Pemerintah Arab Saudi menutup sementara Makkah untuk kegiatan umrah. Bahkan pada Jumat (6/3), Masjidil Haram dan Ka’bah ditutup, sehingga pusat peribadatan umat Muslim dunia itu tampak lengang.

Penutupan itu merupakan langkah lanjutan dari pemerintah Arab Saudi dalam mencegah penyebaran Virua Covid-19 alias Corona. Tanah suci pun disterilkan. Ka’bah kosong dari keseharian para jamaah yang melakukan tawaf.

Sebelum virus Covid-19 membayangi Makkah, sebelumnya berbagai wabah juga pernah ‘mampir’ di Makkah. Wabah penyakit bahkan menimbulkan kematian dengan angka yang tinggi pada para umat muslim dunia yang menyelenggarakan Ibadah Haji.

Awal dekade 2010-an, tepatnya pada 2012 keluarga virus Corona muncul di Arab Saudi, yakni virus CoV, di mana penyakitnya disebut sebagai Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Mekkah sebagai pusat ibadah umat Islam tak lepas dalam penyebaran virus ini.

Hingga saat ini, terdapat dugaan kuat bahwa unta Arab atau dromedaris adalah spesies kunci dari penyebaran wabah MERS ke manusia. Sejak muncul pertama kali pada 2012, ia telah ditularkan ke ribuan orang di lebih dari 26 negara.

WHO menyebut, hingga November 2019, sekitar 2494 kasus dilaporkan terkait MERS, di mana 858 di antaranya sudah meninggal dunia. Sebagian besar kasus MERS terjadi di Saudi Arabia.

Namun, jauh sebelum MERS, sejumlah wabah juga sempat membayangi Tanah Suci. Menurut Encyclopedia of Plague and Pestilence from Ancient Times to the Present (2008) yang ditulis George Childs Kohn, Kolera menjadi wabah langganan yang selalu datang ke Mekkah.

Kolera kerap kali dibawa oleh jamaah haji dari luar Arab Saudi, yang kemudian menularkan penyakit diare akibat infeksi bakteri itu ke para jamaah haji dari berbagai belahan dunia lainnya. “Makkah (kota suci Islam di Arab Saudi) adalah pusat difusi yang paling rawan dalam penyebaran kolera, epidemi Kolera di sana pecah sebanyak 33 kali antara 1830 dan 1912,” tulis Kohn.

Menurut catatan Kohn, Makkah dan ritual ibadah haji tahunannya kerap memiliki ‘peran’ dalam penyebaran Kolera ke berbagai belahan dunia. Para jamaah yang tertular di Mekkah, kemudian menularkan Kolera ke kampung halamannya. Indonesia pun tidak luput dari Kolera yang tertransmisikan di Ibadah Haji.

Kasus wabah yang salah satu penyebarannya diperbesar oleh aktivitas Ibadah Haji di Makkah di antaranya kasus Wabah Kolera Asia 1826 – 1837. Dua tahun terparah Kolera yang menjangkiti Makkah adalah tahun 1831 dan 1865.

“Epidemi kolera paling parah di Makkah meletus pada tahun ritual tahunan haji. Ritual keagamaan mempercepat penyebaran kolera di seluruh benua Afrika dan Eropa di sepanjang rute transportasi para jamaah,” tulis Kohn. 

Pada 1865 – 1875, wabah Kolera yang kerap dibawa jamaah muslim India bahkan menular ke 90 ribu jamaah. Sebanyak 30 ribu di antaranya meninggal. Para jamaah yang tertular berasal dari Irak, Suriah, Palestina, Turki, dan Mesir. Dari Mesir, Kolera ditularkan ke sebagian wilayah Eropa.  Kasus Kolera serupa terus terjadi, misal pada 1902 hingga periode 1961 – 1975.

Selain Kolera, Makkah juga pernah dibayangi wabah Asia Afrika Accute hemmorhagic conjunctivist (AHC) pada 1969 – 1971. Pada tahun 1970an, penyakit mata yang dibawa jamaah haji itu bahkan menular ke Jawa Bali dan menjadikannya episentrum kedua wabah selain tanah Arab. 

Mundur ke tahun 1348 – 1349, Makkah juga terdampak Wabah Hitam Maut atau Black Death yang melenyapkan nyawa dua per tiga populasi Eropa saat itu (75 juta). Menurut Kohn, para beberapa warga Eropa berusaha melarikan diri dari wabah mematikan ini ke timur tengah. Namun mereka yang terjangkit kemudian menular ke jamaah haji di yang mereka temui dalam perjalanan menuju Makkah, dan menyebabkan kematian di Makkah. 

IHRAM

Sepanjang Sejarah Islam Sudah 40 Kali Haji Umroh Diliburkan

Pemerintah Arab Saudi menghentikan sementara aktivitas ibadah umroh yang terpusat di Makkah. Penghentian ibadah umroh itu demi mencegah virus Corona menyebar kepada jamaah umrph yang datang dari seluruh dunia. 

Komisaris Taqwa Tours Rafiq Jauhary mengatakan, penutupan haji maupun umroh oleh Kerajaan Arab Saudi bukan hal baru. Selama ini pihak kerajaan juga sudah sering menutup aktivitas ibadah haji demi keamanan semua pihak. 

“Sepanjang sejarah Islam ini sudah 40 kali penyelenggaraan haji diliburkan,” kata Rafiq saat berbincang dengan Republika, Jumat (6/3).

Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan pihak Kerajaan Arab Saudi ketika itu terpaksa harus menutup aktivitas ibadah umrah dan rukun Islam ke lima itu. Penutupan selama ini hanya sementara demi keamanan para tamu-tamu Allah yang datang dari belahan dunia. “Penyebabnya ada yang karena kondisi politik, keamanan, wabah dan lainnya,” katanya.

Terakhir kata Rafiq Jauhary yang juga pembimbing ibadah haji dan umroh ini mengatakan, kerajaan Arab Saudi juga menutup aktivitas ibadah haji. Dan penutupan itu terjadi pada tahun 1987 karena terjadi kasus meningitis yang mengenai 10.000 jamaah sehingga membuat haji diliburkan.

Rafiq mengatakan, mengenai sterilisasi Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang dilakukan kemarin, kata dia, jika memang cara seperti ini yang harus ditempuh untuk menekan penyebaran corona virus. “Maka insyaAllah ummat Islam dan travel penyelenggara umroh akan memahami dan menghormati kebijakan Arab Saudi,” katanya.

Rafiq mengatakan, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa kota Madinah tidak akan dimasuki Tha’un, dalam beberapa hadits lain juga disebutkan bahwa hal serupa juga pada Makkah. “Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Di setiap gerbang masuk Madinah akan ada Malaikat yang menjaga masuknya Tha’un dan Dajjal.” (HR Bukhari 1880 dan Muslim 1374).

Namun, kata dia, perlu diketahui bahwa wabah penyakit pernah terjadi di Madinah di zaman pemerintahan Umar Bin Khattab Radhiyallahu Anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari: 2643 dari Abul Aswad ia berkata: “Aku tiba di Kota Madinah, di sana sedang terdapat penyakit, banyak penduduknya yang mati mendadak, kemudian aku duduk menemui Umar Radhiyallahu Anhu.”

Ulama lain juga menjelaskan bahwa di tahun 749 H di Makkah pernah terdapat wabah Tha’un. Namun, pernyataan ini dibantah oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa di tahun tersebut yang menimpa Makkah bukanlah Tha’un, melainkan wabah lain yang tidak berbahaya layaknya Tha’un. 

Lantas bagaimana dengan Corona?

Mengacu dari penjelasan di atas, memang benar bahwa Makkah dan Madinah adalah dua Tanah Suci yang aman (al-Baladul Amin), dua kota ini terhindar dari berbagai bahaya termasuk di antaranya wabah penyakit Tha’un. Tha’un adalah penyakit yang pernah merebak di Syam. Kabarnya dahulu berasal dari Kota Amwas, Palestina. Penyakit ini berasal dari hewan ternak, kemudian menjalar ke manusia menjadi penyakit kulit, lepra, dan sangat mematikan

Belum diketahui apakah Corona virus termasuk dalam kategori Tha’un. Menurut dia, jika Corona Virus adalah Tha’un maka ini termasuk di antara yang dijamin dalam hadits bahwa penyakit ini tidak akan masuk Tanah Suci Makkah dan Madinah. 

Namun jika Corona virus bukanlah termasuk dalam Tha’un, maka sangat mungkin wabah penyakit ini bisa masuk dan menyebar di Tanah Suci sebagaimana yang pernah terjadi di tahun ke 17 H di Madinah, begitupun juga pernah terjadi di tahun 749 H di Makkah. 

“Apa yang menjadi kebijakan Arab Saudi menangguhkan keberangkatan umroh termasuk di antara bentuk pencegahan agar penyebaran virus ini tidak meluas sampai ke Tanah Suci. Wallahu a’lam bish shawab,” katanya. 

IHRAM

Cerita Tentang Keserakahan 3 Pemuda pada Masa Nabi Isa AS

Keserakahan menghiasi sejarah peradaban manusia.

Di zaman Nabi Isa as, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa referensi, terdapat tiga pejalan kaki yang menemukan timbunan harta. Karena lapar, mereka sepakat menyuruh salah seorang dari mereka membeli makanan.

Di tengah perjalanan, terpikir oleh orang yang disuruh ke pasar itu untuk membunuh kedua rekannya dengan menaruh racun pada makanan. Dengan begitu, dia dapat lebih leluasa mengambil timbunan kekayaan itu hanya untuk dirinya sendiri.

Niat jahat itu kemudian dia kerjakan. Sementara itu, dua rekan yang lain pun sepakat untuk membunuh rekan yang diperintah membeli makanan, dengan harapan timbunan kekayaan itu hanya mereka bagi berdua. Setelah rekan yang membeli makanan sampai di tempat, kedua rekannya langsung menerkam dan membunuhnya, setelah itu mereka menyantap makanan beracun yang dibawa  korban kejahatan mereka. Apa hendak dikata, kedua lelaki ini tewas. 

Konon, Nabi Isa AS sempat mengunjungi tempat kejadian itu. Kepada pendukungnya yang setia, al-Hawariyun, dia berkata, ”Lihat, inilah dunia. Bagaimana dia telah membunuh ketiga orang itu. Setelah mereka, tentu akan banyak lagi korban-korban berguguran dari para pemburu dan pencinta dunia.” Kisah ini memperlihatkan bagaimana dunia telah memperdaya ketiga pejalan kaki itu. Keserakahan, iri hati, dan dengki telah merasuk dalam diri mereka sehingga tak seorang pun mendapat timbunan harta yang mereka temukan.

Kita harus berhati-hati agar tidak tergelincir oleh fatamorgana dunia sebagaimana kisah tersebut di atas. Menurut Imam Al-Ghazali, dunia ini tak ubahnya jalan yang dilalui seorang musafir, yang dengannya manusia dapat mengambil bekal dari dunia ini untuk menjadi teman dan pendampingnya kelak di alam kubur dan dapat berjumpa Allah dengan membawa iman yang sempurna. ” … dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)… ,” kata Allah dalam QS Al Hasyr: 18. 

Jadi, dunia hendaknya dipandang bukan sebagai tujuan melainkan sarana mempersiapkan bekal untuk kehidupan selanjutnya. Sabda Rasulullah saw, ”Orang yang paling kuat daya pikirnya ialah orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik persiapannya untuk menggapai kemuliaan dunia dan akhirat.” 

KHAZANAH REPUBLIKA

Jenis Makanan Halal dan Haram dalam Islam

Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan beberapa kaidah dan kriteria makanan halal menurut Islam.

Pada tulisan ini insya Allah akan dijelaskan jenis-jenis makanan yang diharamkan. Namun sebelumnya akan disebutkan terlebih dahulu beberapa sebab suatu makanan dan minuman menjadi haram. Syekh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dalam kitabnya Shahih Fiqih Sunnah menyebutkan bahwa makanan dan minuman menjadi haram karena salah satu dari lima sebab berikut;
1. Membawa mudharat pada badan dan akal (sebagaiman disinggung pada kaidah ketiga di edisi lalu),
2. Memabukkan. Merusak akal, dan menghilangkan kesadaran (seperti khamr dan narkoba),
3. Najis atau mengandung najis,
4. Menjijikkan menurut pandangan orang kebanyakkan yang masih lurus fitrahnya, dan
5. Tidak diberi idzin oleh syariat karena makanan/minuman tersebut milik orang lain. Artinya haram mengkonsumsinya tanpa seidzin pemiliknya.

Jenis-jenis Makanan dan Minuman Yang Diharamkan
Salah satu kaidah yang masyhur dalam urusan makanan adalah bahwa segala sesuatu hukumnya halal, kecuali yang disebutkan pengharamannya dalam al-Qur’an dan hadits Nabi. Oleh karena itu di sini akan disebutkan jenis-jenis makanan yang haram sebagai disebutkan dalam al-Qur’an dan al-hadits.
1. Bangkai
Yaitu hewan yang mati tanpa melalui proses penyembelihan yang syar’i. Dalil pengharaman bangkai adalah firman Allah dalam surah Al-an ‘Am ayat 145:
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”.
Termasuk kategori bangkai adalah setiap hewan yang mati secara tidak wajar, tanpa disembelih secara syar’i, yakni (a) Hewan yang mati karena tercekik [al-munkhaniqah], (b) Hewan yang mati karena dipukul [al-mauqudzah], (c) Al-Mutaraddiyah, yaitu Hewan yang mati karena terjatuh dari tempat yang tinggi, (d) An-Nathihah, yaitu hewan yang ditanduk oleh hewan lain, lalu mati, dan (e) Hewan yang dimangsa atau diterkam oleh binatang buas. Jika suatu hewan mati karena salah satu dari kelima sebab diatas, maka haram memakannya. Kecuali jika masih hidup dan sempat disembelih, maka ia menjadi halal. Dalil larangan untuk hewan yang mengalami kelima kondisi diatas adalah surah Al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.. . “ (Qs:5:3)

Ayat tersebut sekaligus menjadi dalil keharaman jenis makanan yang akan disebutkan selanjutnya.
Faidah (1) Termasuk bangkai adalah bagian tubuh yang terpotong dari hewan yang masih hidup. Maksudnya;hewan tersebut tidak disembelih. Tapi hanya dipotong tubuh tertentu saja, paha misalnya. Maka bagian tubuh yang dipotong itu termasuk bangkai dan tidak halal dimakan. Hal ini berdasakan sabda Nabi yang mengatakan bahwa, “Ma Quthi’a minal bahimati wa hiya hayyah fa huwa maytatun, Bagian tubhuh yang terpotong dari hewan yag masih hidup termasuk bangkai”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Faidah (2) Ada dua bangkai yang dikecualikan (tidak haram), yakni ikan (hewan laut) dan belalang. Dasarnya adalah perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Telah dihalalkan untuk kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang, . . “ (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad). Lalu bagaimana jika kita menemukan ikan atau hewan laut lainnya yang terapung di atas permukaan air? Apakah halal dikonsumsi atau tidak? Dalam masalah ini ada dua pendapat ulama. Namun yang paling rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan ke-halal-an nya. Kecuali jika terbukti secara medis bahwa ikan yang terapung itu sudah rusak dan membahayakan kesehatan atau mengeluarkan bau busuk, maka mengindari dan meninggalkannya lebih utama. Karena hal itu lebih selaras dengan kaidah syari’ah yang mengaramkan setiap makanan yang buruk dan menjijikkan.
2. Darah yang mengalir
Tidak halal mengkonsumsi darah yang dialirkan atau ditumpahkan. Ha ini berdasarkan firman Allah pada surah al-Maidah ayat 3 dan Al-An ‘am ayat 146;
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ ….. ۚ
““Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, . . . “ (Terj. Qs:5:3).
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا . . . .
“. . ., kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir. . . “ (Terj. Qs. 6:146)
Adapun darah yang sedikit semisal yang tersisa pada daging sembelihan, maka hal itu dimaafkan. Selain itu dikecualikan pula hati dan limpa, sebagaimana dalam atsar Ibnu Umar yang diriwayatkan Ibnu Maajah dan Ahmad diatas, “Telah dihalalkan untuk kita dua macam bangkai dan dua macam darah. . . . Dan adapun dua macam darah adalah hati dan limpa “ (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad).

3. Daging Babi
Berdasarkan firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 146:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ ………. ۚ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, …” (Terj. Qs. 5:3),
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ ….. ۚ
“,. . kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, daging babi, . . “ (Terj. Qs. 6: 146).
Penyebutan ‘daging’ mencakup seluruh bagian tubuhnya, baik daging, lemak, tulang, rambut, dan sebagainya. “Tidak ada perselisihan diantara ulama tentang haramnya babi; dagingnya, lemaknya, dan seluruh bagian tubuhnya”, demikian penegasan Penulis kitab Shahih Fiqih Sunnah. Ini termasuk dalam kaidah ‘dzikrul ba’dh yuradu bihil kull’, Menyebutkan sebahagian, tapi yang dimaksud adalh keseluruhan. Jadi hanya disebutkan daging, yang dimaksud seluruh bagian tubuh babi. Karena biasanya yang dimakan dari hewan adalah dagingnya.
4. Hewan yang disembelih Tanpa Menyebut nama Allah atau Menyebut Selain Nama Allah
Dasar pengharamannya adalah surah al-maidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 121:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ….. ۚ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,. . . “ (Terj. Qs:5:3)
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan -hewan-hewan- yang tidak disebut nama Allah saat menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan semacam itu termasuk kefasikan”. (Terj. Qs. 6:121).
Oleh karena itu, tidak dihalakan mengkonsumsi semeblihan orang kafir, orang musyrik, atau orang Majusi. Sebab sembelihan mereka tidak sah karena tidak menyebut nama Allah. Adapun sembelihan Ahli Kitab boleh dimakan, selama tidak diketahui bahwa mereka menyembelih dengan menyebut nama selain Allah. “Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu”, kata Allah dalam surah Al-Maidah ayat 5 (Lih. Terj. Qs.5:5).
Bagaimana dengan daging dan makanan olahan dari daging yang diimpor dari negeri non Muslim?
a. Jika yang diimpor dari negeri non Muslim berupa daging-daging hewan laut, maka halal dimakan. Karena hewan laut boleh dimakan tanpa disembelih, baik ditangkap oleh Muslim maupun non Muslim.
b. Apabila yang diimpor adalah unggas dan daging hewan darat yang halal dimakan, seperti ayam, bebek, sapi, kambing, kelinci, dan sebagainya; maka dilihat negara asalnya. Jika berasal dari negeri yang mayoritas penduduknya menganut paham atheis, beragama majusi, penyembah berhala (paganisme), maka daging-daging dari negeri tersebut tidak halal.
Adapun jika berasal dari negeri-negeri yang penduduknya mayoritas penganut Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab), dihalakan dengan dua syarat: Pertama, Disembelih secara syar’i (sembelihan ahli kitab halal dimakan); Kedua, Tidak diketahui, mereka menyebut selain nama Allah ketika menyembelihnya.
Akan tetapi; Sebagian negara eksportir yang biasa mengekspor ke negeri Muslim melibatkan ummat Islam dalam proses penyembelihan dan disembelih secara syar’i. Oleh karena itu jika ada pengakuan (yang telah dichek kebenarannya) dari negara pengekspor, bahwa hewan tersebut disembelih secara syariat, halal memakannya. Tetapi jika terbukti, dari berbagai temuan dan fakta yang ada, negara-negara tersebut tidak menyembelihnya menurut syari’at Islam, tidak halal dimakan. Adapun sekadar label halal atau tulisan ‘disembelih menurut syari’at Islam” yang tertemepel pada kemasan daging tersebut, maka tidak dapat dijadikan standar.
c. Keju impor yang berasal dari negeri ahli kitab yang memproduksi keju dari lemak hewan yang halal dikonsumsi, maka boleh bagi kaum Muslimin memakannya. Tetapi jika mereka memproduksi keju dari lemak hewan yang haram dimakan seperti Babi, maka keju dari negeri tersebut haram dikonsumsi.

5. Hewan Yang Disembelih Untuk Berhala.
Dasarnya adalah firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 3;
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ ……… وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ …. ۚ
“Dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala”. (Terj. Qs.5:3).
Ini mencakup semua binatang yang disembelih untuk untuk kuburan, sesajen yang dilabuhkan ke laut, tumbal proyek pembangunan jembatan atau jalan, tugu peringatan yang disembah sebagai tanda dan simbol bagi sesembahana selain Allah, atau sebagai perantara kepada Allah. Hewan yang disembelih untuk berhala haram dikonsumsi meskipun disembelih dengan menyebut nama Allah. Jika tidak menyebut nama Allah saat menyembilhnya (misalnya menyebut nama berhala yang kan dituju), maka lebih haram lagi. Karena menggabungkan dua sesab keharaman sekaligus. Sembelihan atas nama selain Allah dan untuk selain Allah. (sym)

Oleh A. Huzaimah el Munawiy

Sumber dari: https://wahdah.or.id/makanan-halal-dan-haram-dalam-islam-2/

Kaidah dan Kriteria Makanan Halal dalam Islam (1)

Pengantar

Makan dan minum adalah fitrah dan hajat hidup setiap manusia. Tanpanya manusia tidak akan dapat melanjutkan kehidupannya di dunia ini. Ini adalah takdir Allah atas setiap makhluq-Nya bernama manusia. Oleh karena itu dalam pandangan Islam, makanan dianggap sebagai salah satu faktor yang penting dalam kehidupan. Sebab, makanan berpengaruh besar terhadap perkembangan jasad dan rohani seseorang. Maka dari itu pula dalam ajaran Islam terdapat peraturan dan tuntunan mulai dari keharusan mengonsumsi makanan dan minuman yang halal, etika makan dan minum, sampai pengaturan kadar dan jumlah makanan/minuman yang masuk ke dalam perut.

Akan tetapi sebagian orang tidak memperdulikan status hukum makanan yang masuk dalam tubuhnya. Asal lezat, ni’mat, dan murah langsung dikonsumsi, tanpa memperhatikan kehalalan dan ke[thayyib]an-nya. Padahal kwalitas kehalalan dan ke[thayyib]an makanan yang mendarah daging dalam jasad sangat berpengaruh pada kehidupan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Makanan yang kandungannya tidak thayyib dipastikan akan merusak fisik. Adapun makanan yang tidak halal cara menghasilkannya akan berdampak pada kwalitas iman dan ruhani seseorang sampai menghalangi terkabulnya do’a.

Tulisan ini akan membahas persoalan makanan dan minuman menurut Islam. Sebab, sebagai Muslim kita harus selalu menyikapi segala sesuatu dengan nazar islami (pandangan Islam). Kita musti menjadikan Islam sebagai kerangka acuan dalam segala hal. Termasuk dalam urusan makanan.

Kaidah dan Kriteria Makanan Halal

Sebelum lebih jauh membahas jenis-jenis makanan dan minuman yang halal atau haram, maka ada beberapa kaidah penting yang seharusnya dipahami dalam persoalan makanan dan minuman ini. Diantaranya:

Kaidah Pertama; Asalnya semua makanan adalah halal dan boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya. Artinya selama tidak ada dalil al-Qur’an atau hadits Nabi yang mengabarkan bahwa makanan itu haram, maka makanan tersebut hukumnya halal. Oleh karena itu, anda tidak akan pernah menemukan daftar makanan atau minuman halal dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Kaidah ini berdasarkan wahyu Allah dalam surah al-Baqarah [2] ayat 29 dan al-An’am [6] ayat 119:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untukmu”. (QS.2: 29)

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. 6: 119)

Ayat pertama [2:29] menunjukkan bahwa segala sesuatu baik yang berupa makanan, minuman, pakaian yang ada di bumi adalah halal dan suci, kecuali yang diharamkan melalui dalil khusus dalam al-Qur’an dan al-hadits. (Lihat: Aisarut Tafasir, hlm. 39-40, Taisirul Karimir Rahman, hlm. 48). Semakna dengan itu ayat kedua [6;:119] menerangkan jenis-jenis makanan yang diharamkan, yang menunjukan bahwa semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari’at berarti adalah halal.

Kaidah Kedua; Manhaj Islam dalam menghukumi ke-halal-an dan ke-haram-an suatu makanan dan minuman adalah ke-thayyib-an dan kesucian serta tidak mengandung unsur yang merusak. Sebaliknya Islam mengharamkan makanan yang khabits (kotor) serta mengandung dzat merusak dan berbahaya bagi tubuh. Kaidah ini merujuk kepada ayat Allah dalam surah al-Baqarah [2] ayat 68 dan 72 dan Al-Maidah ayat

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ [٢:١٦٨]

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (2:168)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ [٢:١٧٢]

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik

Makna thayyib dalam ayat-ayat tersebut segala sesuatu yang secara dzat nya baik, suci, bersih, mudah dicerna, mengandung gizi yang bermanfaat bagi jasad serta tidak mengandung dzat yang merusak dan membahayakan badan dan akal. Sementara yang dimaksud dengan halal adalah segala sesuatu yang secara dzat telah dibolehkan oleh Allah untuk dikonsumsi [thayyib] dan diperoleh dari penghasilan yang halal, tidak mencuri serta tidak berasal dari mu’amalah yang haram. Jadi, halal dalam ayat tersebut terkait dengan proses dan mekanisme mendapatkannya. Sedangkan thayyib terkait dengan dzatnya yang baik, bermanfaat, dan tidak berbahaya.

Kaidah ketiga; semua jenis makanan yang berupa tumbuh-tumbuhan seperti biji-bijian dan buah-buahan atau yang diolah dari keduanya adalah halal. Kecuali yang mengandung unsur yang merusak tubuh dan akal. Demikian pula dengan makanan yang berupa hewan darat, semuanya halal kecuali jenis hewan tertentu yang dijelaskan pengharamannya dalam al-Qur’an dan al-Hadits (Perinciannya pada pembahasan tersenidiri). Adapun hewan laut semuanya halal tanpa kecuali. Kaidah ini merujuk kepada dua hal. [1]dalil-dalil umum tentang kebolehan mengonsumsi apa saja yang baik dan bermanfaat serta tidak mengandung mudharat, sebagaimana dijelaskan dalam dua kaidah sebelumnya. [2] Ayat Qur’an dan hadits Nabi yang menunjukan kehalalan seluruh makhluq laut, seperti surah al-Maidah ayat 96:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan;

Dalam sebuah hadits shahih diterangkan pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyatakan halalnya hewan laut. Bahkan meskipun sudah menjadi bangkai. Beliau mengatakan bahwa, “Laut itu thahur (suci dan menyucikan) airnya dan halal bangkainya”. (terj. HR. Abu Daud, Tirmidizy, Nasai, dan Ibnu Majah). Yakni bangkai hewan yang hidup di laut halal dikonsumsi.

Kaidah dan kriteria makanan halal menurut Islam seperti diterangkan di atas menunjukan kemudahan syari’at Islam dalam masalah ini. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghalalkan semua makanan yang baik dan mengharamkan segala jenis makanan yang tidak baik bagi tubuh dan diperoleh dari cara yang tidak benar. Artinya unsur kehalalan makanan dalam Islam tidak hanya dilihat dari aspek dzatnya yang baik dan halal. Tapi dilihat juga dari sisi proses dan cara mendapatkannya. Semoga Allah menuntut hati kita untuk ridha dengan rezki-Nya yang halal yang kita dapatkan melalui cara yang halal pula.Allahumma aghniyna bi halalika ‘an haramika. (Bersambung insya Allah). Depok, 3/01/1435 H).-sym

Catatan: Sebelumnya tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Al-Firdaus

Sumber dari: https://wahdah.or.id/kaidah-dan-kriteria-makanan-halal-dalam-islam-1/

Memahami Ayat Alquran tentang Haramnya Hewan Buas

SEBAGIAN orang salah dalam memahami surat Al Anam ayat 145 berikut,

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” Kesimpulan mereka bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam ayat ini saja. Berikut kami bawakan sanggahan dari ulama besar yang hidup 200 tahun silam, Muhammad bin Ali Asy Syaukani rahimahullah (terkenal dengan Imam Asy Syaukani). Ketika menafsirkan surat Al Anam ayat 145 dalam Fathul Qodir, beliau memberikan penjelasan yang berisi sanggahan yang sangat bagus terhadap pendapat semacam tadi:

“Sesungguhnya Allah Taala telah mengabarkan pada mereka bahwa tiadalah ia peroleh dalam wahyu sesuatu yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat ini. Maka ayat ini menunjukkan bahwa yang diharamkan sebatas yang disebutkan dalam ayat ini seandainya ayat ini adalah Makiyah. Namun setelah surat ini, turunlah surat Al Maidah (ayat 3) di Madinah dan ditambahkan lagi hal-hal lain yang diharamkan selain yang disebutkan dalam ayat ini. Seperti yang disebutkan terlarang adalah al munkhoniqoh (hewan yang mati dalam keadaan tercekik), al mawquudzah (hewan yang mati karena dipukul dengan tongkat), al mutaroddiyah (hewan yang mati karena lompat dari tempat yang tinggi), dan an nathihah (hewan yang mati karena ditanduk). Juga disebutkan dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengenai haramnya setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang memiliki cakar (untuk menerkam mangsa). Begitu juga disebutkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengenai haramnya keledai piaraan, anjing dan lainnya.

Secara global (yang dimaksud surat Al Anam ayat 145), keumuman yang ada berlaku jika kita lihat dari hewan yang dimakan sebagaimana yang dimaksudkan dalam konteks ayat dan terdapat nantinya istitsna (pengecualian). Namun hewan-hewan yang mengalami pengecualian sehingga dihukumi haram tetap perlu kita tambahkan dengan melihat dalil lainnya dari Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan masih ada hewan lain yang diharamkan. Tetapi kenyataannya diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah, mereka menyatakan bahwa tidak ada hewan yang haram kecuali yang disebutkan dalam surat Al Anam ayat 145. Imam Malik pun berpendapat demikian. Namun ini adalah pendapat yang sangat-sangat lemah. Karena ini sama saja mengabaikan pelarangan hewan lainnya setelah turunnya surat Al Anam ayat 145. Pendapat ini juga sama saja meniadakan hewan-hewan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai hewan yang haram untuk dimakan, yang beliau menyebutkan hal tersebut setelah turunnya surat Al Anam ayat 145. Peniadaan yang dilakukan oleh mereka-mereka tadi tanpa adanya sebab dan tanpa ada indikator yang menunjukkan diharuskannya peniadaan tersebut.”

Ringkasnya, pendapat yang menyatakan bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam surat Al Anam ayat 145 adalah pendapat yang lemah dilihat dari beberapa sisi:


– Pengecualian dalam ayat tersebut mesti melihat dari dalil lain dalam Al Quran dan Hadits Nabawi.
– Dalam surat Al Maidah ayat 3 masih disebutkan adanya hewan tambahan yang diharamkan.
– Dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga disebutkan adanya hewan lain yang diharamkan yang tidak disebutkan dalam Al Quran semacam keledai piaraan, anjing, dan binatang buas yang bertaring.
– Kalau ini dikatakan sebagai pendapat Ibnu Abbas, maka perlu ditinjau ulang karena Ibnu Abbas meriwayatkan hadits mengenai terlarangnya binatang buas yang bertaring. Ibnu Abbas mengatakan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)
– Sebagian ulama katakan bahwa surat Al Anam ayat 145 telah dinaskh (dihapus) dengan surat Al Maidah ayat 3.

Semoga pembahasan ini bisa meluruskan kekeliruan yang selama ini ada. Hanya Allah yang beri taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH KORAN