Syarat Tanah untuk Tayamum

Tak sembarangan tanah bisa dijadikan untuk tayamum. Misalnya, tayamum tidak boleh dilakukan dengan menggunakan tanah yang najis, seperti tanah yang terkena kotoran manusia atau hewan. Nah berikut syarat tanah untuk tayamum.

Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah manusia. Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka.

Salah satu contohnya adalah ketika kita sedang kesulitan air, berwudhu yang diwajibkan ketika hendak melakukan sejumlah ibadah seperti shalat dapat digantikan dengan tayamum. Ini merupakan bentuk kemudahan yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya untuk bersuci dari hadas.

Pengertian Tayammum

Tayammum menurut bahasa berarti al-Qashdu artinya menuju dan bermaksud terhadap sesuatu. Sedang menurut istilah tayammum adalah menuju kepada tanah untuk mengusap muka dan kedua telapak tangan sebagai ganti dari wudhu dan mandi yang berhalangan dilakukan dengan mengunakan debu/tanah yang suci.

Dasar hukumnya terdapat dalam QS. An Nisa ayat 43;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا
Artinya : Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub).

Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.

Lantas bagaimana kriteria debu tanah yang bisa digunakan untuk untuk tayamum? Apa syarat debu atau tanah untuk tayamum?

Kriteria Debu Tayamum

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 6;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ٦

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki.

Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.”

Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqih Sunnah menjelaskan mengenai jenis debu untuk tayamum. Tayamum bisa dilakukan dengan menggunakan debu yang suci dan semua jenis tanah, seperti pasir (raml), batu (hajar), atau kapur (jash).

Para ulama sepakat bahwa kata sha’id (debu) adalah permukaan tanah, baik itu berupa debu atau bukan. Orang yang melakukan tayamum diwajibkan untuk berniat terlebih dahulu. Lalu mengucapkan basmallah dan memukulkan kedua tangannya ke debu yang suci, kemudian mengusapkan debu itu ke wajah dan kedua tangannya hingga siku.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan hadits shahih oleh Amar RA, “Suatu ketika aku dalam keadaan junub, tapi tidak menemukan air. Kemudian aku berguling-guling di atas pasir lalu mengerjakan salat. Aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,
إِنَّا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا
Artinya: ‘Kamu cukup melakukan ini.’

Lalu beliau memukulkan kedua tangannya ke tanah, meniupnya, lalu mengusap wajah dan kedua tangannya dengan debu tersebut.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih Bukhari, Kitab at-Tayamum)

إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَضْرِبَ بِيَدَيْكَ الْأَرْضَ ثُمَّ تَنْفُحَ ثُمَّ تَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَكَ وَكَفَّيْكَ إِلَى الرَّسْغَيْن

Artinya: “Kamu cukup memukulkan kedua tanganmu pada debu, lalu kamu tiup, kemudian kamu usapkan kepada wajah dan kedua tanganmu hingga siku.”

Mengutip Kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Juz 1 karya Wahbah az-Zuhaili, menurut ulama Syafi’i tidak diperbolehkan bertayamum kecuali dengan tanah suci yang mempunyai debu yang dapat melekat di tangan.

Adapun debu yang terbakar tidak diperbolehkan. Seandainya tanah tersebut licin atau basah dan tidak berdebu, maka tanah jenis itu tidak mencukupi untuk bertayamum.
Ulama Syafi’i juga mengatakan bahwa bertayamum dengan pasir yang berdebu juga diperbolehkan. Mazhab Syafi’i tidak memperbolehkan tayamum dengan pahan petroleum, sulfur, bahan bakar, kapur, dan yang semacamnya.

Hal itu dikarenakan, semua jenis itu tidak termasuk jenis debu. Termasuk tidak boleh bertayamum dengan debu yang bercampur dengan tepung dan semacamnya, seperti za’faran dan kapur, sebab ia menghalangi sampainya debu ke anggota badan.

Demikian juga tidak boleh bertayamum dengan menggunakan kapur yang dimasak, karena ia bukanlah debu. Juga tidak boleh menggunakan sabkhah (tanah yang bergaram) dan bahan-bahan semacamnya yang tidak berdebu. Tayamum juga tidak diperbolehkan menggunakan tanah liat, sebab ia tidak berdebu. Demikian juga tidak boleh dengan tanah yang najis, sama seperti wudhu.

Demikian keterangan syarat tanah untuk tayamum. Semoga menambah pengetahuan kita tentang pelbagai hal tentang tayamum. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

10 Amalan di Hari Jumat Menurut Ajaran Rasulullah

Hari Jumat digelari Sayyidul Ayyam (tuannya para hari) karena merupakan hari yang istimewa dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Oleh karena itu, umat muslim dianjurkan untuk memperbanyak amalan di hari Jumat.

Nah, berikut ini 10 amalan di hari Jumat menurut ajaran Rasulullah SAW yang dihimpun detikSulsel dari laman NU Online. Simak selengkapnya!

Amalan di Hari Jumat


1. Mandi Jumat

Salah satu amalan yang dapat dikerjakan umat muslim di hari Jumat yaitu mandi. Anjuran untuk mandi Jumat ini telah disebutkan dalam beberapa hadits Rasulullah.

Salah satu hadits berkaitan dengan hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, yaitu:

مَنْ أَتَى الْجُمُعَةَ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ النِّسَاءِ فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ لَمْ يَأْتِهَا فَلَيْسَ عَلَيْهِ غُسْلٌ

Artinya: “Barangsiapa dari laki-laki dan perempuan yang menghendaki Jumat, maka mandilah. Barangsiapa yang tidak berniat menghadiri Jumat, maka tidak ada anjuran mandi baginya”. (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Berdasarkan hadits tersebut, dapat dipahami bahwa mandi Jumat disunnahkan bagi orang yang berniat melaksanakan shalat Jumat, meskipun Jumat tidak diwajibkan baginya.

Dengan demikian, kesunnahan mandi Jumat ini tidak hanya berlaku bagi laki-laki yang diwajibkan melakukan Jumat, namun juga berlaku bagi anak kecil, hamba sahaya, perempuan dan musafir yang berniat menghadiri shalat Jumat, meskipun mereka tidak diwajibkan melaksanakan Jumat.

Mandi Jumat dapat dilaksanakan sejak terbit fajar shadiq hingga menjelang pelaksanaan sholat Jumat. Namun, lebih utama jika dilakukan menjelang keberangkatan menuju tempat shalat Jumat.


2. Memotong Kuku dan Mencukur Kumis


Amalan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh umat muslim saat Hari Jumat adalah potong kuku dan kumis. Amalan ini dianjurkan dilakukan sebelum sholat Jumat.

Hal ini sebagaimana yang bersumber dari Abu Jafar yang diambil dari kitab Assunanul Kubro.


كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ شَارِبِهِ وَأَظَافِرِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ

Artinya: Nabi SAW biasa mencukur kumis dan kukunya di hari Jumat (HR Imam Al-Baihaqi).


3. Bersegera ke Masjid untuk sholat Jumat

Bagi umat muslim yang hendak melaksanakan sholat Jumat, hendaknya segera menuju masjid untuk menunaikan ibadah lain sebelum sholat Jumat. Dalam kitab Bidayatul Hidayah Imam al-Ghazali menjelaskan tidak terlambat ke masjid adalah salah satu keutamaan shalat Jumat.

Imam Ghazali juga mengatakan, jarak dekatnya manusia melihat Allah SWT saat kiamat bergantung pada waktu datang sholat Jumat. Semakin cepat seseorang datang melaksanakan sholat Jumat, maka semakin dekat jaraknya untuk melihat Tuhan.



4. Berpakaian yang Putih, Rapi, dan Bersih

Umat juga disunnahkan menggunakan pakaian berwarna putih saat melaksanakan sholat Jumat. Menggunakan pakaian putih juga bisa menjadi pengingat kepada pakaian akhir hayat di dunia, yakni kain kafan.

Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah.

Artinya: Kenakanlah pakaian warna putih karena pakaian tersebut lebih bersih dan paling baik. Kafanilah pula orang yang mati di antara kalian dengan kain putih. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).


5. Menggunakan Parfum atau Wewangian

Sunnah lainnya di hari Jumat yaitu menggunakan parfum atau wewangian saat hendak menunaikan sholat Jumat. Namun perlu dipastikan parfum dan wewangian yang dipakai harus tetap suci atau berasal dari sesuatu yang suci.

Kesunnahan menggunakan wewangian ini disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang artinya:

Hari ini (jum’at) adalah hari raya yang dijadikan Allah swt untuk umat Islam. Bagi siapa yang ingin melaksanakan shalat Jumat, hendaklah mandi, memakai wangi-wangian kalau ada, dan menggosok gigi (siwak) (HR: Ibnu Majah).


6. Memperbanyak Sholawat

Amalan berikutnya yang dapat dilaksanakan saat hari Jumat adalah memperbanyak sholawat. Amalan ini dapat dilaksanakan bagi laki-laki maupun perempuan.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam al-Baihaqi berikut ini:

أكثروا الصلاة علي ليلة الجمعة ويم الجمعة فمن صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا ـ رواه البيهقي بإسناد جيد

Artinya: Perbanyaklah shalawat kepadaku pada malam Jumat dan hari Jumat. Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali. (HR Al-Imam al-Baihaqi dengan sanad yang baik).

Bahkan Syekh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibariy menyatakan bahwa memperbanyak bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW di hari Jumat lebih utama daripada memperbanyak berdzikir dan membaca Al-Qur’an yang tidak ada keterangan khusus dari Nabi Muhammad SAW.


7. Membaca Surah Al-Kahfi

Membaca surah Al-Kahfi juga menjadi amalan utama yang dapat dilaksanakan saat hari Jumat. Disunnahkan membaca surah Al-Kahfi pada hari Jumat karena amalan ini memiliki keutamaan yang luar biasa.

Keutamaan tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim sebagai berikut:

من قرأ سورة الكهف في يوم الجمعة أضاء له من النور ما بين الجمعتين

Artinya: Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat maka akan ada cahaya yang menyinarinya di antara dua Jumat.

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi sebagai berikut:

من قرأ سورة الكهف ليلة الجمعة أضاء له من النور ما بينه وبين البيت العتيق

Artinya: Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumat, maka akan ada cahaya yang menyinarinya di antara dia dan Al-bait al-Atiq (Ka’bah).


8. Memperbanyak Berdoa

Pada hari Jumat, seluruh umat muslim baik laki-laki maupun perempuan juga disunnahkan memperbanyak doa. Memperbanyak doa dianjurkan agar doa-doa yang dipanjatkan bertepatan dengan waktu ijabah (terkabulnya doa) yang dirahasiakan Allah dalam satu kali 24 jam hari Jumat.

Syekh Jalaluddin al-Mahalli berkata:

ـ (ويكثر الدعاء) يومها رجاء أن يصادف ساعة الإجابة

Artinya: Dan sunnah memperbanyak berdoa pada hari Jumat karena berharap bertepatan dengan waktu ijabah. (Jalaludin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli, Syarah Minhaj at-Thalibin, juz 1, halaman: 334, Al-Hidayah)

Syekh Sayyid al-habib Abdullah bin Alwi al-Haddad sebagaimana dikutip Syekh Abu Bakr bin Syatha berkata:

وفي هذا اليوم ساعة شريفة يستجاب فيها الدعاء مطلقا وهي مبهمة في جميع اليوم كما قاله الإمام الغزالي وغيره

Artinya: Pada hari ini (Jumat) ada waktu yang mulia yang mana doa akan dikabulkan secara mutlak dan waktu tersebut disamarkan pada keseluruhan hari itu seperti halnya yang diungkapkan oleh Al-Imam al-Ghazali dan selainnya. (Al-Alamah Abi Bakr bin al-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyati, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz.2, halaman: 63, Dar Al-Fikr).

9. Membaca Surah Yasin

Amalan selanjutnya yang dapat dikerjakan di hari Jumat adalah membaca surah Yasih. Keutamaan membaca surat Yasin berlandaskan hadits riwayat Abu Daud sebagai berikut:

من قرأ سورة يس والصافات ليلة الجمعة أعطاه الله سؤله

Artinya: Barang siapa membaca surat Yasin dan Al-Shaffat di malam Jumat, Allah mengabulkan permintaannya. (HR Abu Daud dari al-Habr).

Namun, Al-Manawi menyebutkan bahwa hadits tersebut termasuk hadits yang sanadnya terputus sehingga status hadits tersebut lemah. Kendati demikian, hadits tersebut tetap bisa diamalkan sebab berkaitan dengan keutamaan amal (fadlail al-a’mal).


10. Memperbanyak Melakukan Kebaikan

Salah satu keutamaan hari Jumat adalah dilipatgandakannya pahala kebaikan sepuluh kali lipat daripada hari yang lain. Oleh karena itu, umat muslim baik laki-laki dan perempuan dianjurkan untuk memperbanyak melakukan kebaikan.

Syekh Abu Bakr bin Syatha berkata:

ـ (قوله: وسن إكثار فعل الخير فيهما) أي في يوم الجمعة وليلتها، لما أخرجه ابن زنجوية عن ابن المسيب بن رافع قال من عمل خيرا في يوم الجمعة ضعف له بعشرة أضعاف في سائر الأيام، ومن عمل شرا فمثل ذلك اه. إرشاد العباد. ويقاس باليوم: الليلة، إذ لا فرق

Artinya: Ucapan Syekh Zainuddin; dan sunnah memperbanyak kebaikan di malam dan hari Jumat; karena riwayat Ibnu Zanjawiyah dari Ibn al-Musayyab bin Rafi’, beliau berkata: Barang siapa yang berbuat kebaikan pada hari Jumat maka akan dilipatgandakan sepuluh kali lipat dari hari yang lain, dan barang siapa berbuat kejelekan maka juga demikian (dilipatgandakan dosanya sepuluh kali lipat). Dan disamakan hari, yaitu malam, sebab tidak ada perbedaan sama sekali. (Syekh Abi Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyati, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, halaman: 104, Dar Al-Fikr).

sumber DETIK

Keutamaan Qiyamul Lail Menurut Habib Alawi Al-Maliki

Qiyamul lail adalah ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Secara harfiah, qiyamul lail berarti “bangun di malam hari”. Dalam konteks ibadah, qiyamul lail berarti shalat malam, seperti shalat tahajud, salat tarawih, dan salat witir. Keutamaan qiyamul lail sangat banyak, baik di dunia maupun di akhirat. Berikut ini adalah beberapa keutamaan qiyamul lail. 

Pada biasanya, melaksanakan qiamul lail dimulai dari selesai salat isya’ sampai fajar terbit. Akan tetapi waktu yang paling utama untuk melakukan qiyamul lail adalah sepertiga terahir di malam hari. Mereka yang melaksanakan qiyamul lail akan memperoleh suatu fadhilah dan keutamaan atas apa yang ia lakukan.

Abwabul Al-Faraj, salah satu kitab karangan Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, dalam salah satu bab, tepatnya hal 310, juga membahas seputar fadilah dan keutamaan yang akan diperoleh saat melaksanakan qiyamul lail. Di antara adalah; 

Pertama, orang yang konsisten melaksanakan Qiyamul Lail maka dirinya akan dimasukkan kedalam surga tanpa adanya hisab. Berdasarkan Hadis dari Asma’ binti Yazid Rasulullah bersabda

وعن اسماء بنت يزيد عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال يحشر الناس في صعيد واحد يوم القيامة فينادى مناد فيقول اين الذين كانت تتجافى جنوبهم عن المضاجع فيقومون وهم قليل فيدخلون الجنة بغير حساب ثم يؤمر سائر الناس الى الحساب- رواه البيهقي 

“Dari Asma’ binti Yazid, Rasulullah SAW bersabda, pada hari kiamat manusia akan dikumpulkan dalam satu tempat. Lalu mereka akan mendapatkan panggilan, dimana orang orang yang mengangkat lambung mereka dari tempat tidurnya untuk melaksanakan qiyamul lail? Mereka yang melakukan qiyamul lail hanya sedikit. Kemudian mereka diperintahkan untuk masuk ke surge tanpa dihisab” HR. Al-Baihaqi

Kedua, melaksanakan Qiyamul Lail merupakan salah satu wasilah kedekatan terhadap tuhan dan  sebagai penghapus terhadap setiap kesalahan yang dilakukan. Sebagaimana Hadis Abi Umamah 

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَقُرْبَةٌ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ عَنِ الْإِثْمِ 

“Rasulullah SAW bersabda, hendaklah kalian melakukan qiyamullail. Karena hal itu merupakan kebiasaan para orang shalih sebelum kalian. Qiyamullail dijadikan sebagai bentuk pendekatan hamba kepada Tuhannya dan sebagai pencegah dari perbuatan dosa” 

Perlu kiranya untuk diperhatikan bahwa setiap kesalahan yang diperbuat tidak serta merta bisa terhapuskan dengan melaksanakan Qiyamul Lail. Kesalahan disini bisa dibilang terhapus ketika berhubungan dengan tuhan, tapi tidak dengan sesama manusia. Artinya, kesalahan yang diperbuat saat ada kaitannya dengan hak seseorang, maka bisa terhapuskan ketika sudah meminta maaf kepada orang yang dibuat salah.

Ketiga, orang yang konsisten melaksanakan qiyamul lail maka akan masuk surga dengan tenang dan damai. Sebagaimana Hadis yang disampaikan oleh Abdullah bin Salam, Rasulullah bersabda 

عن عبد الله بن سلام قال: أول ما قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة انجفل الناس إليه، فكنت فيمن جاءه، فلما تأملت وجهه واستثبته علمت أن وجهه ليس بوجه كذاب. قال: وكان أول ما سمعت من كلامه أن قال: أيها الناس أفشوا السلام وأطعموا الطعام وصلوا بالليل والناس نيام تدخلوا الجنة بسلام

Artinya; Ketika Rasulullah tiba di madinah, orang orang ramai mengerumuni beliau. Aku pun datang kepada beliau. Aku merenungkan wajah Rasulullah, tampak jelas bagiku bahwa wajahnya bukanlah wajah seorang pendusta. Dan hal pertama yang aku dengar dari ucapannya, wahai manusia tebarkanlah salam, berikanlah makanan dan salatlah ketika orang lain sedang tidur. Niscaya kalian akan masuk surga dengan damai”

Keempat, orang yang melaksanakan qiyamul lail akan mendapatkan kehormatan di dunia maupun di akhirat. Berdasarkan Hadis Sahal bin Said, Rasulullah bersabda

عَن سهل بن سعد قَالَ جَاءَ جِبْرِيل إِلَى النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فَقَالَ: يَا مُحَمَّد عش مَا شِئْت فَإنَّك ميت واعمل مَا شِئْت فَإنَّك مجزى بِهِ واحبب من شِئْت فَإنَّك مفارقه وَاعْلَم أَن شرف الْمُؤمن قيام اللَّيْل وعزه استغناؤه عَن النَّاس

“Jibril datang menemui Rasulullah dan berkata, wahai Muhammad, hiduplah sesukamu karena sungguh engkau pasti mati. Berbuatlah sesukamu karena sungguh kamu akan mendapat balasan dari apa yang kamu perbuat. Dan cintailah sesukamu karena pasti engkau akan berpisah. Ketahuilah bahwa kehormatan seorang mukmin adalah mereka yang melakukan Qiyamul Lail dan tidak bergantung hanya kepada orang lain”

Kelima, orang yang melakukan qiyamul lail tidak akan pernah kecewa. Setiap harapan dan hajat yang diinginkan akan dikabulkan oleh Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah 

عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: ما خيب الله امرءاً قام في جوف الليل، فافتتح سورة البقرة وآل عمران.

“Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda, Allah tidak akan membuat orang merasa rugi selama ia mau bangun ditengah malam lalu membaca surat Al-Baqarah dan Ali Imran ” 

Keenam, orang yang melaksanakan qiyamul lail akan memperoleh suatu kenikmatan yang didapat berupa kedekatan dengan tuhannya. Rasulullah bersabda

وروى التِّرْمِذِيّ عن عمرو بن عسبه أنه سمع النبي صلى الله عَلَيْهِ وسلم قَالَ: أقرب مَا يكون الرب من العَبْد فِي جَوف اللَّيْل الآخر، فَإِن اسْتَطَعْت أَن تكون مِمَّن يذكر فِي تِلْكَ السَّاعَة فَكُن 

“Keadaan yang paling dekat untuk hamba dan Tuhannya adalah pada malam yang terakhir. Jika mereka sanggup mengingat Allah pada saat itu, maka lakukanlah”

Demikian penjelasan tentang fadhilah dan keutamaan melaksanakan Qiyamul Lail. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Makna Allah Mencintai Keindahan Menurut Ulama

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الله جميل يحب الجمال

“Sesungguhnya Allah itu Mahaindah Yang mencintai keindahan.”

Begitu pula, sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu hadis yang maknanya bahwa Allah Ta’ala mencintai seseorang yang menunjukkan jejak nikmat pada dirinya.

Saya telah membaca kisah sahabat dalam buku sekolah. Saya belajar bagaimana kezuhudan dan wara’ mereka radhiyallahu ‘anhum wa ardhahum. (Mereka) sederhana dalam makan dan berpakaian di tengah kekayaan dan banyaknya harta yang mereka miliki. Sampai-sampai ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu mengenakan pakaian yang sama seperti orang yang bekerja untuknya.

Pertanyaannya, apakah makna kedua hadis tersebut di atas bertentangan? Apakah bagi penuntut ilmu harus berpenampilan sesuai dengan status ekonominya atau dia harus berpakaian, bertempat tinggal, makan sesuai batasan syariat Islam tanpa berlebihan? Apa makna perintah menyebut nikmat seperti perkataan Allah Ta’ala,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan atas nikmat Rabbmu, maka tampakkanlah!”

Jawaban:

Hadis pertama,

إن الله جميل يحب الجمال

“Sesungguhnya Allah itu Mahaindah Yang mencintai keindahan.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika seseorang berkata,

إن الرجل يحب أن يكون نعله حسناً وثوبه حسناً

“Sesungguhnya seseorang menyukai mengenakan sepatu bagus dan pakaian bagus.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الله جميل يحب الجمال

“Sesungguhnya Allah itu Mahaindah Yang mencintai keindahan.”

Maknanya yaitu Allah mencintai keindahan dalam pakaian, sepatu, baju mantel, baju pelindung, dalam rangka menampakkan nikmat Allah Ta’ala. Ini maksud hadis yang disebutkan di atas. Jika Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba, Dia menyukai jika jejak nikmat tersebut tampak sesuai dengan kadar nikmat yang diberikan.

Nikmat harta, jejaknya berupa seseorang memperbanyak infak kepada kebaikan, demikian juga berpakaian yang pantas sesuai dengan dirinya. Hingga sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya seorang yang kaya jika berpakaian dengan pakaian para fakir, maka dia terhitung mengenakan pakaian syuhrah (tampil beda).”

Akan tetapi, jika terdapat kebutuhan dalam berpakaian dengan pakaian fakir, seperti jika tinggal di tengah masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, maka lebih baik berpakaian sebagaimana mereka agar tidak menyakiti hati-hati mereka. Dalam hal ini seseorang akan diberikan balasan pahala atas niatnya. Ganjaran didapat sesuai apa yang diniatkannya.

Adapun firman Allah Ta’ala,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan atas nikmat Rabbmu, maka tampakkanlah!”

Yang diinginkan dari ayat ini adalah seorang hendaknya menampakkan nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas dirinya dengan menunjukkan keutamaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada dirinya. Bahwa dia mampu mewujudkan semua kenikmatan tersebut bukan karena kekuatan dan upaya dirinya, akan tetapi atas nikmat Allah.

Tahadduts dengan nikmat Allah dapat berupa ucapan dan perbuatan. Melalui ucapan dapat seperti perkataan, “Sesungguhnya Allah telah menganugerahi kekayaan setelah sebelumnya saya seorang fakir”, “Allah telah mengaruniakan keturunan kepadaku setelah aku sebelumnya tidak memilikinya”, dan perkataan lain yang semisal itu, “Sungguh Allah telah menunjukkan hidayah kepadaku di mana aku sebelumnya seorang yang jauh dari hidayah.”

Tahadduts dengan perbuatan dapat dengan melakukan kegiatan yang sesuai dengan nikmat tersebut. Jika dia seorang alim (berilmu), maka dengan mengajarkan manusia. Jika seorang kaya, dengan memberi kepada sesama. Jika seorang yang kuat, dengan membela orang yang lemah.

Adapun tentang perkataan penanya bahwa sebagian sahabat hidup sederhana, maka ini adalah di antara bentuk tawadhu. Agar orang di sekitar mereka tidak sedih hati karena mereka belum mampu berpakaian yang semisal dengan itu, atau makan dengan makanan yang semisal itu. Seseorang dalam hal ini harus mempertimbangkan kemaslahatan.

Demikian. Semoga bermanfaat.

***

Penerjemah: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP, FIHA

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

Diterjemahkan dari https://binothaimeen.net/content/10080

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87756-fatwa-ulama-makna-allah-mencintai-keindahan.html

Fenomena Kekerasan di Sekolah

Bullying (perundungan) menjadi sorot perhatian banyak masyarakat beberapa pekan terakhir. Pasalnya, beberapa peristiwa yang terjadi membuat kita bergeleng-geleng kepala karena heran dan geram. Bagaimana mungkin seorang anak sekolah dasar tega menusuk temannya dengan tusuk sate? Bagaimana mungkin seorang anak sekolah menengah pertama tega menyiksa temannya karena alasan sepele? Ditambah berita tentang seorang anak terjun dari lantai atas sekolah karena cekcok dengan temannya. Dan semua itu terjadi di lembaga-lembaga pendidikan.

Sebenarnya, apa atau siapa yang salah? Sebelum lebih jauh menyalahkan banyak pihak, mari kita simak bagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama menyatakan tentang kondisi zaman secara umum dalam sabdanya,

لا يأتي عليكم عامٌ ولا يومٌ إلَّا والذي بعده شرٌّ منْهُ ، حتى تَلْقَوْا ربَّكم

Tidaklah datang suatu masa di antara kalian yang kondisi masa tersebut lebih buruk dari sebelumnya. Sampai kalian berjumpa dengan Rabb kalian.” (Shahih Al-Jami’, no. 7576)

Tentu saja ini tidak berlaku secara mutlak. Hanya saja, memang kenyataannya dari masa ke masa berita-berita keburukan seolah menjadi hal yang biasa kita dengar, bahkan dilakukan oleh sekelompok orang yang sebelumnya kita tidak terbiasa mendengar kejahatan bisa berasal dari tangan mereka. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menjelaskan,

وهذا هو الواقع، فكلما تقدم الزمان، وتأخر عهد النبوة؛ قل العلم، وكثر الجهل، كما هو الحال اليوم في القرن الخامس عشر، والرابع عشر الماضي، فإن العلم قد قل كثيرًا، والجهل قد انتشر في غالب البلدان، فقل أن تجد بلدًا فيها العلماء الذين يكفون لحاجة البلاد، ويشار إليهم بالعلم، والفضل، والاستقامة، فالمصيبة عظيمة. 

Inilah yang terjadi. Semakin ke sini dan semakin jauh dengan masa kenabian, maka ilmu semakin sedikit dan merebaklah kebodohan. Sebagaimana terjadi di abad 14 dan 15 Hijriah yang menunjukkan betapa ahli ilmu semakin sedikit dan kebodohan kian menyebar di seantero negeri. Jarang sekali kau temui negeri yang ulama di dalamnya mencukupi kebutuhan negeri tersebut, yang menjadi rujukan ilmu, keutamaan, dan keteguhan. Sungguh musibah ini begitu berat.” (binbaz.org)

Namun, akankah kita diam saja dengan peristiwa ini? Tentu saja tidak. Bagaimana pun, agama Islam tidak pernah membenarkan perilaku bullying sama sekali. Baik verbal, fisik, sosial, dan emosional. Sebagaimana dalam beberapa dalil berikut ini.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama melarang dari menyakiti dan mencela sesama (verbal and physical bullying)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama secara tegas melarang seorang muslim mencela. Sebagaimana dalam sabda beliau,

سِبابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وقِتالُهُ كُفْرٌ

Mencela sesama muslim adalah bentuk kefasikan dan memeranginya adalah bentuk kekufuran.” (HR. Bukhari no. 6044)

Setiap pembicaraan yang mengarah kepada terjatuhnya kehormatan seorang muslim tanpa haknya atau perbuatan yang menjadikan seorang muslim tersakiti, maka keduanya merupakan bentuk keharaman yang secara tegas dilarang di dalam Islam.

Suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah ditertawakan karena betisnya yang kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama pun menghardik orang-orang yang tertawa sembari mengatakan,

والَّذي نَفْسي بيَدِه لَهُما أثقَلُ في المِيزانِ مِن أُحدٍ

Demi Allah, jika kedua kakinya diletakkan di timbangan hari kiamat, niscaya lebih berat dari gunung Uhud.” (HR. Al-Hakim no. 5479)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama melarang umatnya dari menjatuhkan kehormatan (social bullying)

Dalam beberapa hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama melarang umatnya dari melakukan perbuatan yang berpotensi menjatuhkan kehormatan seorang muslim. Seperti teguran beliau dari perbuatan ghibah,

إنْ كانَ فيه ما تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فيه فقَدْ بَهَتَّهُ

Jika memang benar apa yang kalian katakan tentangnya, maka hal tersebut adalah ghibah. Dan jika tidak benar, maka kalian telah berdusta atasnya.” (HR. Muslim no. 2589)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama juga melarang keras umatnya dari gemar membuat desas-desus atau namimah. Sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallama,

لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ نَمَّامٌ

Para pengadu domba tidak akan masuk surga.” (HR. Muslim no. 105)

Sikap kita sebagai orang tua

Lantas, bagaimana sikap kita sebagai orang tua agar anak kita terhindar dari kejahatan bullying atau bahkan agar anak kita tidak terjatuh ke dalam perilaku yang buruk ini? Ada beberapa nilai yang orang tua harus tanamkan kepada buah hati mereka sejak dini.

Tanamkan tentang empati dan penghormatan

Kepekaan seseorang untuk memahami sekitarnya dan menyikapinya dengan penuh penghormatan adalah sebuah sikap yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

مَن لم يَرحَمِ الناسَ لا يَرْحَمْهُ اللهُ

Siapa saja yang tidak menyayangi manusia, maka Allah tidak akan menyayanginya pula.” (HR. At-Tirmidzi no. 1922)

Begitu pun dalam sabda yang lainnya,

ليسَ منَّا من لم يرحَم صغيرَنا ويعرِفْ شرَفَ كبيرِنا

Orang-orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau menghormati yang lebih tua bukanlah termasuk golongan kami.” (Shahih At-Tirmidzi, no. 1920)

Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa Islam sama sekali tidak pernah mengajarkan seseorang untuk ngelamak (tidak sopan) kepada siapapun. Baik kepada yang lebih muda ataupun yang lebih tua. Dan yang terpenting untuk mengajarkan aspek empati ini adalah dengan teladan kedua orang tuanya. Seorang anak akan meniru bagaimana kedua orang tuanya memperlakukan orang-orang terdekatnya. Bagaimana ayahnya bersikap terhadap ibunya, bagaimana ibunya ketika berbincang dengan ayahnya, dan sebagainya.

Tanamkan keberanian

Perlu juga mengajarkan kepada anak-anak kita agar mereka menjadi anak yang berani. Tidak harus dengan melawan bullying yang mereka terima (semoga Allah hindarkan buah hati kita dari segala macam keburukan), namun paling tidak berani mengadukan kepada orang tuanya atau orang-orang yang memiliki hak untuk menyelesaikan masalah adalah sebuah keberanian yang patut untuk terus dipupuk.

Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan,

Banyak manusia yang mengidentikkan keberanian dengan kekuatan. Padahal keduanya jelas berbeda. Berani adalah ketegaran hati dalam menghadapi sesuatu meskipun tidak punya kekuatan untuk membalas.”

وَكَانَ الصّديق رَضِي الله عَنهُ أَشْجَع الْأمة بعد رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، وَكَانَ عمر وَغَيره أقوى مِنْهُ، وَلَكِن برز على الصَّحَابَة كلهم بثبات قلبه فِي كل موطن من المواطن الَّتِي تزلزل الْجبَال، وَهُوَ فِي ذَلِك ثَابت الْقلب، رابط الجأش، يلوذ بِهِ شجعان الصَّحَابَة وأبطالهم، فيُثَبِّتهم ويشجعهم 

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang paling berani setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama, sementara Umar radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya lebih kuat dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, para sahabat bersaksi bahwa keteguhan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dalam setiap kondisi yang bahkan gunung saja runtuh dengannya sementara beliau tetap tidak bergeming, yang membakar keberanian sahabat lainnya.” (Al-Furusiyah, hal. 500)

Maka, didiklah anak kita menjadi anak-anak yang berani. Bukan berani yang sembarangan, melainkan berani menyuarakan kebaikan dan melawan keburukan. Ajarkan mereka tidak takut menghadapi berbagai macam situasi termasuk bullying. Semoga Allah jaga anak-anak kita dari perilaku yang merusak ini.

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88366-fenomena-kekerasan-di-sekolah.html

(Video) Sang Pemuja Setan Zebani Efe yang Dulu Memusuhi Islam Bertaubat dan Memeluk Islam

Seorang konten kreator asal Turki Evi Baycan, yang dijuluki “Pemuja Setan”, menjadi topik hangat setelah videonya muncul di media sosial mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengumumkan masuk Islam.

Baijan yang kerap dipanggil Efe, dikenal karena permusuhannya yang sengit terhadap Islam, mengunggah konten dengan slogan-slogan pembela setan dan iblis.

link video:

Ia pun tampak melepas anting yang menempel di mulutnya, membagikan momen kepergiannya umrah ke Baitullah melalui akun media sosialnya dengan tulisan, “Allah Maha Besar.”

Remaja berusia 18 tahun itu pernah mengaku jika dia sebenarnya adalah iblis yang berusia 456 tahun. “Saya adalah nabi para pemuja setan,” ujarnya menambahkan bahwa 15 persen penduduk Turki adalah pemuja setan.

Pada unggahan terakhirnya di saluran YouTube Yer6 Film ia menyebutkan telah beriman, menjadi seorang Muslim.

Tugas Iblis

Dalam unggahanya yang terbaru, Efe yang dikenal dengan rambut pink menyala terlihat telah mengubah warna rambutnya menjadi hitam.  Ia banyak mengunggah momen ibadah dua dua kota suci –Makkah dan Madinah– saat ketika menunaikan ibadah umrah.

Sebelum ini, Efe yang sering berdebat di media sosial atas nama pemuja setan atau pemuja Iblis mengaku bisa membaca pikiran orang dan tugasnya adalah meyakinkan orang untuk mengikuti jalannya.

Tiga bulan lalu Efe pernah diundang di sebuah Podcast bernama “Underground” dan menceritakan dengan bangga bercerita tentang aktivitasnya sebagai makhluk yang dibenci Allah Swt.

“Pada 6 Juni 2024. 15% penduduk Turki akan menjadi pemuja setan. Tiga tahun lalu aku bermimpi tentang hal itu,” katanya. “Aku berada dalam tubuh manusia, padahal sebenarnya aku bukan manusia. Aku punya dua pengawal jin yang mengikuti aku kemana-mana.”

Ia menambahkan waktu setahu yang dimaksudkan, akan ada sebuah pemberontakan dan perang terjadi. Ia bersama pasukannya  akan melakukan tugas dan mati.

“Ketika itu aku akan memulai kehidupan nyata. Inilah alasan mengapa aku dikirim ke dunia ini. Supaya orang bisa hidup bebas,” tambahnya.

Masuk Islam

Lahir pada tahun 2005 di Izmir, Turki, Zebani Efe adalah seorang Muslim dari kecil. Kedua orang tuanya bercerai ketia ia masih belia.

Dia pernah bercerita masa kecilnya penuh dengan masalah keluarga. Dia mengaku merasa sendirian.

Sebagai seorang remaja, Efe memiliki banyak pertanyaan di kepalanya. Sayang hanya segelintir orang yang mau menanggapi.  

Ia mulai tertarik Islam sejak sering hadir dalam Podcast Yer6 Film, salah satu Channel YouTube yang berfokus dengan konten-konten dakwah.  Dalam sebuah obrolan dia sempat bercerita berupaya menghindari keberadaan Tuhan.

Dalam setiap debat tentang Islam, Efe selalu memberikan pertanyaan dan bukti yang telah dipersiapkan dengan baik. Tak jarang membuat pengundang kewalahan karena tidak mampu menjawab.

Tiga bulan setelah tampil di sebuah podcast, ia diundang kembali dengan membawa segudang pertanyaan-pertanyaan. Menariknya, sang sang ustadz dalam acara itu mampu menjawabnya secara bagus semua pertanyaanya.

Sang host menjelaskan bahwa dia terus berkomunikasi dengan Zebani Efe sejak penampilan terakhirnya. Rupanya, usaha Efe menghindari Tuhan tidak berhasil, sebaliknya ia malah mendapatkan hidayah.

Efe yang mendokumentasikan kedekatannya dengan Islam dan perjalanan umrahnya melalui video yang dibagikannya di akun TikTok. Perubahan ini mendapat ribuan komentar dan interaksi positif dari warganet.

link video:

@hacizebo

Allah Herkese Dokunmayı Nasip Etsin 🤲😊

♬ orijinal ses – islamic&culture

Transformasi pemuda ini menunjukkan bagaimana masyarakat dapat mengalami perubahan besar dalam hidup mereka dan keinginan untuk menemukan jalan yang benar selalu ada.

Perjalanan baru Efe ini diikuti dengan penuh minat oleh para pengguna media sosial. Seorang jurnalis Turki, Gökhan Kahraman mengomentari penampilan baru Efe, dengan mengatakan, “Islam membuat orang gagah,” ujarnya di media X,  25 September 2023.

Hülya Yurt, seorang spesialis bahasa dan sastra, mengomentari pertobatan Efe dengan mengatakan, “Tuhanlah yang mengubah hati dan mengatur hati, mengelolanya dan menempatkannya pada apa yang Dia inginkan, saya berdoa agar pertobatannya ini permanen,” ujar Yurt.

Blogger Turki, Özlem Kres juga ikut berkomentar; “Saya berharap Islam akan hidup dalam makna yang sebenarnya, dan hal ini tidak dilakukan hanya demi ketenaran,” ujarnya.*

HIDAYATULLAH

Perlindungan Hak Lansia Merupakan Inti Budaya Islam

Seruan penguatan perlindungan HAM lansia digaungkan di Qatar.

Seruan penguatan perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi generasi lanjut tengah digaungkan di Qatar. Ketua Komite Nasional Hak Asasi Manusia (NHRC) dan Ketua Aliansi Global Lembaga Hak Asasi Manusia Nasional (GANHRI) Maryam binti Abdullah Al Attiyah, menyebut hal ini masuk dalam kerangka peningkatan kesadaran akan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR).

Dalam kesempatan Hari Lansia Internasional (IDOP), ia menyebut hal ini adalah kesempatan untuk meninjau praktik pemerintah dan lembaga, guna meningkatkan integrasi pendekatan yang mencakup HAM sepanjang hidup.

Di sisi lain, momen ini penting memastikan partisipasi yang efektif dan bermakna dari semua mitra, termasuk lembaga HAM nasional, masyarakat sipil dan lansia itu sendiri, serta berupaya memperkuat solidaritas dan kemitraan antar generasi.

Al Attiyah menjelaskan IDOP tahun ini berfokus pada peran khusus para lansia, pentingnya mereka menikmati hak-haknya dan mengatasi pelanggaran terhadap mereka, dengan memenuhi janji-janji UDHR. Melindungi HAM secara umum dan hak-hak orang lanjut usia pada khususnya, adalah salah satu aspek inti dari budaya Islam dan Arab.

Dilansir di Gulf Times, Rabu (4/10/2023), IDOP juga disebut sebagai peluang bagi pemerintah untuk bekerja sama dengan mitranya, mempromosikan prinsip-prinsip kemandirian, kepedulian, aktualisasi diri dan martabat, serta mengintegrasikan lansia ke dalam masyarakat.

Negara harus memastikan kesejahteraan dan mendapatkan manfaat dari kontribusi besar mereka, semuanya dalam lingkup kerangka keyakinan terhadap HAM dan martabat serta nilai individu. Hal ini juga bermanfaat untuk meningkatkan kemajuan sosial dan meningkatkan taraf hidup kelompok rentan termasuk lansia.

Al Attiyah juga menyerukan untuk mengambil manfaat dari pengalaman global yang positif, dengan melakukan pertukaran dan belajar dari pengalaman tersebut, dengan cara yang sesuai dengan budaya masyarakat di seluruh dunia.

Dia lantas mencatat upaya yang telah dilakukan oleh Qatar, baik dalam undang-undang dan prosedur untuk mendukung dan mempromosikan hak-hak orang lanjut usia. Utamanya ia menyoroti perihal kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan keamanan ekonomi mereka.

Al Attiyah menyoroti peran Kementerian Pembangunan Sosial dan Keluarga (MSDF), yang berupaya menciptakan banyak layanan elektronik yang memfasilitasi layanan tanpa kehadiran langsung.

Dia memuji peluncuran platform Istamer oleh Kementerian Tenaga Kerja, untuk mempekerjakan pensiunan Qatar di sektor swasta. Langkah ini disebut berdasarkan komitmennya untuk berinvestasi pada keahlian yang berharga, sekaligus meningkatkan kehadiran kader nasional yang berkualitas.

Untuk diketahui, Istamer memperbolehkan pensiunan warga sipil atau militer bekerja di sektor swasta tanpa mempengaruhi pensiunnya. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor (1) Tahun 2022 tentang Jaminan Sosial dan Undang-Undang Nomor (2) Tahun 2022 tentang Pensiun Militer, dalam langkah yang menjamin keamanan ekonomi bagi lansia dan meningkatkan tingkat kesejahteraan mereka.

“Kedua UU tersebut memastikan peningkatan pensiun, dengan memastikan dana pensiun minimum untuk semua pensiunan Qatar di negara tersebut sejak tanggal penerbitan tidak kurang dari 15,000 riyal, dengan tambahan tunjangan perumahan khusus sebesar 4,000 riyal,” kata dia.

Terakhir, Al Attiyah menyerukan kelanjutan upaya ini terhadap orang-orang yang telah berbuat banyak untuk negara. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), jumlah penduduk berusia 65 tahun atau lebih di seluruh dunia diperkirakan meningkat lebih dari dua kali lipat.

Dari angka 761 juta pada tahun 2021, jumlahnya menjadi 1,6 miliar pada tahun 2050, yang mana jumlah penduduk berusia 80 tahun ke atas tumbuh lebih cepat lagi.

IHRAM

Hukum Wudhu Menggunakan Air Terkena Limbah

Bagaimana hukum wudhu menggunakan air terkena limbah? Dalam Islam, seseorang diharuskan suci dari hadas besar maupun hadas kecil disaat ingin melaksanakan shalat. Cara bersuci dari hadas tersebut adalah dengan menggunakan air yang suci. 

Namun, terkadang dijumpai beberapa tempat yang kebanyakan airnya telah berubah menjadi keruh karena tercampur dengan limbah, sehingga menyebabkan sulitnya mendapatkan air bersih. Lantas, bagaimana hukum wudhu dengan air terkena limbah?

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberpa keterangan yang menjelaskan mengenai hukum wudhu dengan air yang kena limbah. Menurut Qadhi Abu Suja’ ada tujuh macam air yang termasuk dalam kategori air yang dapat digunakan untuk berwudhu, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air salju, dan air dari hasil hujan es. 

Sebagaimana dalam keterangan beliau dalam kitab Matan Abi Suja’ halaman 25 berikut;

المياه التي يجوز التطهير بها سبع مياه: ماء السماء، وماء البحر، وماء النهر، وماء البئر، وماء العين, وماء الثلج، وماء البرد 

Artinya : “Air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air salju, dan air dari hasil hujan es.“

Tujuh macam air itu disebut sebagai air mutlak selama masih pada sifat asli penciptaannya. Bila sifat asli penciptaannya berubah maka ia tak lagi disebut air mutlak dan hukum penggunaannya pun berubah.

Meskipun begitu, bagi seseorang tetap diperbolehkan bersuci dengan air limbah yang terkena limbah, selama limbah tersebut tidak sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air. Namun, apabila ada benda najis atau benda hasil limbah sampai larut kedalam air, sehingga merubah warna, bau dan rasa air, maka tidak lagi dapat digunakan untuk bersuci. 

 Sebagaimana keterangan Imam Syafi’i, dalam kitab Al-Umm, juz 1, halaman 20 berikut,

وَإِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ شَيْءٌ حَلَالٌ فَغَيَّرَ لَهُ رِيحًا أَوْ طَعْمًا، وَلَمْ يَكُنْ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ وَذَلِكَ أَنْ يَقَعَ فِيهِ الْبَانُ أَوْ الْقَطْرَانُ فَيَظْهَرُ رِيحُهُ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ. وَإِنْ أَخَذَ مَاءً فَشِيبَ بِهِ لَبَنٌ أَوْ سَوِيقٌ أَوْ عَسَلٌ فَصَارَ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ لَمْ يُتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ مُسْتَهْلَكٌ فِيهِ إنَّمَا يُقَالُ لِهَذَا مَاءُ سَوِيقٍ وَلَبَنٍ وَعَسَلٍ مَشُوبٌ 

Artinya: “Jika ada air kemasukan benda halal (suci) kemudian mengubah bau dan rasanya sedangkan antara benda yang membuat berubah dan air tidak melebur jadi satu, maka wudhu menggunakan air yang seperti ini hukumnya sah. Misalnya ada air kemasukan kayu atau tir kemudian baunya menyengat atau sejenisnya. 

 Jika ada orang mengambil air, lalu dicampur dengan susu, tepung atau madu sehingga airnya larut menjadi satu, maka wudhu dengan air seperti ini hukumnya tidak sah. Karena air larut bersama benda dan mengubah netralitas nama air, bisa menjadikan namanya berubah menjadi air tepung, air susu, dan air madu.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa seseorang tetap diperbolehkan bersuci dengan air yang terkena limbah, selama limbah tersebut tidak sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air. Namun, apabila ada benda najis atau benda hasil limbah sampai larut kedalam air, sehingga merubah warna, bau dan rasa air, maka tidak lagi dapat digunakan untuk bersuci.  

Demikianlah penjelasan mengenai hukum wudhu menggunakan air terkena limbah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Apa yang Dimaksud Air Musta’mal?

Secara bahasa terkait pertanyaan apa yang dimaksud dengan air musta’mal adalah air yang telah digunakan. Maksudnya adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu di tubuh seseorang atau sisa air bekas mandi janabah. Berikut penjelasan panjang apa yang dimaksud air musta’mal?

Sedangkan, jika air itu dipakai untuk membersihkan benda yang terkena najis, sekalipun diantara para ulama ada yang menyebutnya juga dengan air musta’mal, hakikatnya adalah air mutanajis atau air yang terkontaminasi benda najis di mana masing-masing jenis air memiliki hukum yang berbeda.

Air musta’mal berbeda dengan air bekas mencuci tangan atau membasuh muka atau bekas digunakan untuk keperluan lain selain untuk wudhu’ atau mandi janabah. Air dengan kondisi seperti itu, statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan.

Imam Abdul Wahab asy-Sya’rani mengatakan bahwa tujuan bersuci adalah untuk membersihkan badan. Maka, tidak masuk akal jika membersihkan badan menggunakan air yang sudah rusak dan busuk (musta’mal).

    لطَّهَارَةُ مَا شُرِعَتْ اِلَّا لِتَزَيُّدِ أَعْضَاءِ الْعَبْدِ نَظَافَةً وَحُسْنًا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَالْمَاءُ الَّذِيْ خَرَّتْ فِيْهِ الْخَطَايَا لَا يَزِيْدُ الْأَعْضَاءَ اِلَّا تَقْذِيْرًا تَبْعًا لِتلْكَ الْخَطَايَا اَلَّتِي خَرَّتْ فِي الْمَاءِ   

Artinya: “Bersuci tidak disyariatkan kecuali untuk menambah bersih dan baiknya anggota badan seorang hamba, baik secara lahir maupun batin. Sedangkan air yang sudah bercampur dengan kesalahan-kesalahan di dalamnya, tidak bisa menambah kecuali semakin kotor, karena mengikuti campuran kotoran-kotoran yang di dalam air.” (Asy-Sya’rani, Al-Mizanul Kubra As-Sya’raniyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2005], juz I, halaman 130).

Apa yang Dimaksud Air Musta’mal?

Menurut pendapat ulama Hanafi, air musta’mal ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu’ dan mandi) atau untuk mendapatkan pahala seperti wudhu’ yang dilakukan oleh orang yang sudah berwudhu untuk mendapatkan pahala atau untuk shalat jenazah, masuk ke dalam masjid, memegang mushaf al-Qur’an dan membacanya.

Dan air menjadi musta’mal apabila terpisah dari badan. Yang menjadi musta’mal ialah air yang menyentuh badan saja bukan semua air yang digunakan. Menurut pendapat mereka, air musta’mal adalah suci, tetapi tidak dapat menyucikan hadats dan tidak dapat untuk membersihkan najis.

Yaitu, apabila mandi atau berwudhu dengan menggunakan air itu maka hadatsnya tidak akan hilang. Tetapi menurut pendapat yang rajih dan mu’tamad, air tersebut dapat digunakan untuk menghilangkan najis dari pakaian dan badan. 

Mazhab Hanafi menghitung air sebagai musta’mal sesaat air tersebut terlepas dari anggota tubuh saat digunakan untuk bersuci. Ketika air tersebut masih menempel di tubuh, air yang sedang digunakan itu belum terbilang sebagai mustakmal.

 وَالْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ : أَنَّ الْمَاءَ يَصِيرُ مُسْتَعْمَلاً بِمُجَرَّدِ انْفِصَالِهِ عَنِ الْبَدَنِ 

Artinya: “Pandangan utama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa air menjadi mustakmal ketika terpisah dari tubuh.” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 359).

Menurut pendapat ulama Maliki, air musta’mal ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu’ atau mandi) atau menghilangkan najis, baik mandi wajib seperti untuk memandikan jenazah atau bukan wajib seperti wudhu’ yang dilakukan oleh orang yang sudah wudhu, mandi sunnah jumat, mandi untuk dua hari raya, siraman kedua atau ketiga ketika mengambil wudhu’, jika memang penggunaan itu tidak menyebabkan perubahan air yang dipakai.

Air yang dianggap musta’mal ketika digunakan untuk mengangkat hadats ialah air yang menetes jatuh dari anggota badan, yang melekat pada badan, yang terpisah sedikit dari badan, atau air (dalam satu tempat) yang dimasuki oleh anggota badan. Tetapi, jika air itu diciduk dengan tangan dan angggota badan itu dibasuh di luar tempat air tersebut, maka air itu tidak menjadi musta’mal.

Menurut pendapat Mazhab Maliki, air musta’mal adalah suci dan menyucikan. Dan menurut pendapat yang rajih, menggunakan air musta’mal untuk menghilangkan najis, atau membasuh wadah dan seumpamanya adalah tidak makruh. Tetapi, apabila digunakan untuk mengangkat hadats atau mandi sunnah apabila ada air lain adalah makruh, jika memang air musta’mal itu sedikit. Alasan ia dihukumi makruh adalah karena kurang bisa diterima oleh perasaan.

وَحُكْمُهُ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ لَكِنْ يُكْرَهُ اسْتِعْمَالُهُ فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوِ اغْتِسَالاَتٍ مَنْدُوبَةٍ مَعَ وُجُودِ غَيْرِهِ إِذَا كَانَ يَسِيرًا 

Artinya: “Hukum air musta’mal bagi mereka (kalangan Maliki) adalah suci dan menyucikan, tetapi makruh digunakan untuk penghilangan hadats atau pembasuhan sunah meski ada air lainnya bila air itu sedikit.” (Lihat: Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 360).

Menurut pendapat ulama Syafi’i, air musta’mal ialah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats yang fardhu seperti siraman pertama ketika mengangkat hadats. Dan menurut pendapat yang paling ashah dalam qaul jadid, air yang digunakan untuk mengangkat hadats yang sunnah seperti siraman yang kedua dan ketiga adalah suci dan menyucikan.

Hukum air musta’mal menurut qaul jadid adalah suci, tetapi tidak menyucikan, maka tidak boleh berwudhu atau mandi untuk mengangkat hadats dengan menggunakan air itu, dan air itu juga tidak dapat digunakan untuk menghilangkan najis.

وَلأِنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ – مَعَ قِلَّةِ مِيَاهِهِمْ – لَمْ يَجْمَعُوا الْمَاءَ الْمُسْتَعْمَل لِلاِسْتِعْمَال ثَانِيًا بَل انْتَقَلُوا إِلَى التَّيَمُّمِ ، كَمَا لَمْ يَجْمَعُوهُ لِلشُّرْبِ لأِنَّهُ مُسْتَقْذَرٌ 

Artinya: “Ulama terdahulu di tengah keterbatasan air tidak menampung air musta’mal untuk penggunaan kedua kalinya. Mereka justru berpaling pada tayamum sebagaimana mereka juga tidak menampungnya untuk diminum karena air musta’mal terbilang kotor.” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 361).

Air musta’mal yang sedikit yang bercampur dengan air mutlak adalah dimaafkan. Sebab itu, jika air musta’mal dikumpulkan hingga sampai dua kullah, maka sifatnya yang menyucikan akan kembali lagi, ini adalah menurut pendapat yang paling ashah.

Madzhab Asy-Syafi’i mengatakan air musta’mal adalah air yang sedikit yang bisa dipakai untuk sesuatu yang harus dilakukan, baik secara hakekat ataupun gambaran, entah itu untuk menghilangkan hadats si pengguna atau membersihkan kotoran.

Penjelasan dari definisi ini, bahwa yang dimaksud dengan air yang sedikit adalah air yang kurang dari dua kullah. Sekiranya seseorang berwudhu dan mandi dari air yang sedikit, di mana dia mengambil air dengan memakai gayung untuk membersihkan dua tangannya setelah membersihkan wajahnya dengan tangannya, maka ia adalah air musta’mal.

Menurut pendapat ulama hambali, air musta’mal ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats besar (junub) atau hadats kecil (wudhu’), atau menurut pendapat al-madzdzhab air siraman yang ketujuh ketika untuk menghilangkan najis, dan air itu tidak berubah salah satu sifatnya (warna, rasa, dan bau).

Madzhab Hambali mengatakan, bahwa air musta’mal, yaitu air yang jumlahnya sedikit yang bisa dipakai untuk membersihkan hadats, atau menghilangkan kotoran, yang terpisah tanpa berubah dari tempat pencuciannya sampai tujuh kali.

Adapun air yang terpisah sebelum cucian ketujuh adalah najis. Dan yang terpisah setelahnya adalah musta’mal. Jadi, air tidak dihukumi sebagai musta’mal kecuali setelah ia terpisah dari tempat pemakaiannya.

Contoh air musta’mal ialah air sedikit yang dimasuki oleh tangan atau digunakan untuk membasuh tangan orang bangun tidur malam, dan orang tersebut adalah Muslim, berakal, dan baligh, dan masuknya tangan ke dalam air itu sebelum tangan dibasuh tiga kali.

Syarat air menjadi musta’mal

Pertama, yaitu digunakan untuk bersuci yang wajib. Jika seseorang berwudhu untuk shalat nafilah (sunnah), atau menyentuh mushaf, atau yang semacamnya, maka air tersebut tidak menjadi musta’mal.

Kedua, hendaknya air yang pertama kali. Sekiranya seseorang membersihkan wajahnya di luar wadah sekali, kemudian meletakkan tangannya untuk mencuci pada kedua dan ketiga kali, maka airnya tidak menjadi musta’mal dengan yang demikian.

Ketiga, hendaknya sejak awal jumlah airnya sedikit. Jadi, kalo airnya ada dua kullah atau lebih, kemudian dipisah dalam satu wadah, maka ia bukan air mustakmal jika airnya diambil pakai tangan.

Yang sama seperti ini adalah air musta’mal yang sedikit dikumpulkan dalam satu wadah sehingga mencapai dua kullah. Maka, ia menjadi air yang banyak dimana tidak apa-apa menciduk air dengan tangan dari dalamnya.

Keempat, airnya terpisah dari anggota tubuh. Sekiranya masih ada air mengalir di tangannya dan tidak terpisah, maka ia bukan musta’mal. Dengan demikian, jika ada orang wudhu’ atau mandi dari air yang sedikit, kemudian dia berniat akan  menciduk dari air tersebut, maka airnya bukan musta’mal.

Niat menciduk ini tempatnya dalam wudhu adalah setelah membersihkan muka, di mana dia berniat saat akan membersihkan kedua tangannya. Adapun jika niatnya pada saat berkumur-kumur, atau ketika memasukkan air ke dalam hidung, atau waktu membersihkan wajahnya, maka ia tidak boleh. 

Tercampur dengan benda suci 

Untuk air yang bercampur dengan benda suci, para ulama membedakan, antara air yang masih tetap dalam ke muthlaqannya dalam arti tetap suci dan mensucikan. Dan air yang suci namun aspek kemutlakannya telah hilang, hingga secara hakikat tidak lagi disebut dengan air murni yang alami.

Apabila air tersebut tercampur dengan benda suci dan nama air itu masih melekat padanya, maka air itu hukumnya tetap suci dan mensucikan. Seperti air yang tercampur dengan tanah sehingga warnanya agak keruh. Meski kelihatannya kotor atau keruh, namun pada hakikatnya air itu tetap berada dalam kemutlakannya.

Kesucian dan status mensucikan jenis air ini, setidaknya disandarkan pada hadits dari Ibnu Abbas ra: Nabi Saw. bersabda mengenai orang yang terjatuh dari kendaraannya kemudian meninggal, “Mandikanlah ia dengan air dan bidara, dan kafankanlah dengan dua lapis kainnya.” (HR. Bukhari Muslim).

Tercampur dengan benda najis

Air yang tercampur dengan benda najis disebut dengan air mutanajjis. Untuk menetapkan status hukum air yang tercampur benda najis, maka dapat dibedakan dari sisi perubahan airnya. Apakah air tersebut secara umum terkontaminasi oleh najis hingga sifat kenajisan lebih dominan.

Atau sebaliknya, sifat air lebih dominan hingga najis yang mengkontaminasinya dianggap tidak ada. Para ulama sepakat bahwa jika air tersebut terkontaminasi oleh benda najis hingga yang mendominasi adalah sifat kenajisan, maka air itu statusnya adalah tidak suci, yang tentunya juga tidak bisa dipakai untuk mensucikan, sebesar apapun jumlah volume air tersebut.

Untuk bisa menilai apakah air yang ke dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau tidak, para ulama membuat indikator yaitu rasa, warna, dan aroma. Namun, jika ketiga indikator di atas tidak berubah, namun diyakini telah tercampur benda najis, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat terkait kesuciannya.

Demikian penjelasan terkait apa yang dimaksud air musta’mal? Semoga memberikan pengetahuan pada kita bersama terkait definis apa yang dimaksud air musta’mal. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Nasihat Bijak Syekh Harist al-Muhasibi tentang Kehidupan

Nasihat kehidupan dari ulama adalah petuah atau wejangan yang diberikan oleh ulama kepada umat manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Nasihat-nasihat tersebut biasanya didasarkan pada ajaran agama dan pengalaman hidup para ulama. Nah berikut ini nasihat bijak Syekh Harist al-Muhasibi.

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Beliau adalah salah satu pembesar ulama sufi yang hidup di abad 3 Hijriah. Lahir pada tahun 170 Hijriah, dan meninggal pada tahun 243 Hijriah.

Abu Nu’aim Al-Isfahani, dalam karyanya Hilyat Al-Awliya’ Wa Tabaqat Al-Asfiya‘ Juz 10, halaman 75, mengutip kalam hikmah Syekh Harist al-Muhaaibi. Adapun kutipannya sebagai berikut:

الظَّالِمُ نَادِمٌ وَإِنْ مَدَحَهُ النَّاسُ، وَالْمَظْلُومُ سَالِمٌ وَإِنْ ذَمَّهُ النَّاسُ، وَالْقَانِعُ غَنِيٌّ وَإِنْ جَاعَ، وَالْحَرِيصُ فَقِيرٌ وَإِنْ مَلَكَ

Artinya: “Orang yang zalim tetap menyesal meskipun dipuji oleh manusia, orang yang dizalimi tetap selamat meskipun dihina oleh manusia, orang yang merasa cukup tetap kaya meskipun lapar, dan orang yang tamak tetap fakir meskipun memiliki”.

Nasihat Bijak Syekh Harist al-Muhasibi

Kalam hikmah Syekh Harist al-Muhasibi di atas, memberi pesan moral kepada kita untuk tidak zalim kepada orang lain, dan juga tidak rakus atau tamak atas harta benda. Kalam hikmah Syekh Harist al-Muhasibi dapat dijelaskan satu persatu. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

Pertama, Orang yang zalim tetap menyesal meskipun dipuji oleh manusia. Menzalimi orang lain pada akhirnya akan menyesal, walaupun awalnya merasa senang dan bangga karena dapat menindas orang yang lemah atau tidak berdaya. Dan semestinya kita tidak berlaku zalim kepada sesama, baik berupa tindakan ataupun ucapan, karena sekecil apapun tindak kezaliman pasti akan terbalaskan.

Kedua, orang yang dizalimi tetap selamat meskipun dihina oleh manusia. Orang yang sabar ketika dizalimi, atau mendapatkan hinaan karena difitnah. Pada akhirnya, akan selamat, karena kebenaran lambat laun akan terbuka. Ketika kita dizalimi bersabarlah, karena buah dari kesabaran itu yang akan menyelamatkan kita.

Ketiga, orang yang merasa cukup tetap kaya meskipun lapar. Orang yang memiliki sifat Qona’ah (merasa cukup) meninggalkan segala kesenangan nafsu, seperti, makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

Makanan sekedar hanya untuk menghilangkan lapar, pakaian sekedar untuk menutup aurat, dan rumah sekedar untuk menolak panas dan hujan. Sehingga walaupun ia tidak mempunyai harta ia merasa kaya dalam artian ia merasa cukup dan mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.

Keempat, orang yang tamak tetap fakir meskipun memiliki. Ketamakan membuat seseorang cinta akan kemewahan harta, walaupun ia sudah bergelimang harta, dalam hatinya selalu merasa kurang terhadap apa yang ia miliki.

Demikian nasihat bijak kehidupan dari ulama Syekh Harist al-Muhasibi dapat kita jadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Dengan mengikuti nasihat-nasihat tersebut, kita akan dapat menjalani kehidupan yang lebih baik, lebih bahagia, dan lebih bermanfaat bagi orang lain.Walllahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH