Jamaah Haji Indonesia Terima Uang Saku Rp 3.120.000 per Orang

Badan Pengelola keuangan Haji (BPKH) menggandeng Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah menyiapkan uang saku (living cost) untuk calon jamaah haji dengan total sebesar SAR (Saudi Arabian Riyal) 159.990.000 atau sekitar Rp 665 miliar.

“Kami berharap hal ini dapat bermanfaat untuk jamaah demi kenyamanan dan keamanan serta kelancaran proses ibadah haji seluruh jamaah asal Indonesia,” ujar anggota Badan Pelaksana BPKH Sulistyowati dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (20/4/2024).

Sulistyowati mengatakan BPKH memiliki kewajiban melakukan pengelolaan dan penyediaan keuangan haji yang setara dengan kebutuhan dua kali biaya penyelenggaraan ibadah haji. Dalam komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1445 H/2024 M, Pemerintah dan DPR telah menetapkan di dalamnya termasuk komponen living cost bagi calon jamaah haji.

BPKH diamanahkan untuk melakukan penyediaan banknotes SAR tersebut. Dalam keputusan antara pemerintah dan DPR telah disepakati living cost dikembalikan kepada jamaah calon haji, PHD (Petugas Haji Daerah), dan KBIHU (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah) dalam mata uang SAR.

“Biaya hidup tersebut akan didistribusikan kepada jamaah mengikuti jadwal yang ditetapkan Kemenag sebelum pemberangkatan kloter pertama tanggal 12 Mei 2024,” kata dia.

Ia menjelaskan nominal atau besaran living cost yang dikembalikan adalah sebesar SAR 750 atau Rp 3.120.000 untuk 213.320 peserta haji reguler. Sehingga total banknotes SAR yang perlu disediakan adalah SAR 159.990.000 atau Rp 665 miliar.

Living cost didistribusikan hanya untuk jamaah reguler di embarkasi dan embarkasi antara mengikuti jumlah jamaah yang ditetapkan Kemenag,” kata dia.

Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu Kemenag Ramadhan Harisman menyatakan kesiapan pemerintah memberangkatkan jamaah.

“Kebutuhan akan bank notes merupakan sebuah keniscayaan, living cost ini merupakan uang yang dibayar jamaah pada saat pelunasan kemudian di kembalikan saat di embarkasi. Tujuannya agar tercipta rasa aman dan nyaman karena mereka memegang uang tunai,” kata dia.

IHRAM

Kemenag Tegaskan Keberangkatan Haji Harus Gunakan Visa Haji

Masyarakat diminta tidak tergiur tawaran berhaji dengan visa turis atau pekerja.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Hilman Latief menegaskan bahwa hanya visa haji yang bisa digunakan dalam penyelenggaraan ibadah haji 1445 H/2024 M.

Penegasan ini disampaikan Hilman menyusul banyaknya info yang menawarkan haji tanpa antre dengan berbagai jenis visa di media sosial seperti Facebook, Instagram, hingga pesan berantai di berbagai grup Whatsapp.

“Setelah berdialog dengan Kementerian Haji dan Umrah dan berbagai pihak, kami menegaskan lagi bahwa untuk keberangkatan haji harus menggunakan visa haji,” ujar Hilman dalam keterangannya di Jakarta, Ahad (21/4/2024).

Hilman meminta masyarakat untuk tidak tergiur dan tertipu oleh tawaran berhaji dengan visa ummal (pekerja), ziarah (turis), atau lainnya. Bahkan ada yang menawarkan dengan sebutan visa petugas haji.

“Saudi sudah menyampaikan kepada kami terkait potensi penyalahgunaan penggunaan visa non haji pada haji 2024, itu betul-betul akan dilaksanakan secara ketat dan akan ada pemeriksaan yang intensif dari otoritas Saudi,” kata dia.

Visa haji diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU). Pasal 18 UU PIHU mengatur bahwa visa haji Indonesia terdiri atas visa haji kuota Indonesia, dan visa haji mujamalah undangan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

Visa kuota haji Indonesia terbagi dua, haji reguler yang diselenggarakan pemerintah dan haji khusus yang diselenggarakan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).

Tahun ini, kuota haji Indonesia sebanyak 221.000 orang. Indonesia juga mendapat 20.000 tambahan kuota. Sehingga, total kuota haji Indonesia pada operasional 1445 H/2024 M adalah 241.000 orang.

Untuk warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, UU PIHU mengatur bahwa keberangkatannya wajib melalui PIHK.

https://go.rcvlink.com/static/iframe.htm

PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari Kerajaan Arab Saudi wajib melapor kepada menteri agama.

Hilman mengakui bahwa antrean saat ini memang sangat panjang seiring tingginya antusiasme masyarakat Indonesia untuk beribadah haji. Namun, masyarakat juga harus lebih cermat terhadap setiap informasi yang menawarkan berangkat haji tanpa antrean.

“Sudah banyak yang tertipu dengan iming-iming bisa berangkat haji tanpa antre atau haji langsung berangkat. Penawaran semacam ini makin masif diiklankan di media sosial,” ujar Hilman.

Apalagi, kata dia, Arab Saudi juga sudah menegaskan bahwa pihaknya akan menerapkan kebijakan-kebijakan baru yang lebih komprehensif pada haji 2024, baik dari segi kesehatan, visa, dokumen, dan lainnya.

“Akan ada banyak pemeriksaan di berbagai tempat. Diimbau kepada masyarakat untuk tidak tergiur dengan tawaran keberangkatan haji tanpa antre yang menawarkan visa selain visa haji,” kata Hilman.

IHRAM

Mualaf Daud Kim Buka Donasi Pembangunan Masjid, Gus Fahrur: Sumbang Sebaiknya ke Lembaga Terpercaya

Menggalang dana atau open donation untuk pembangunan masjid merupakan perbuatan yang sangat baik, namun umat wajib hati-hati agar dana yang telah disalurkan dapat diterima oleh pihak yang bertanggungjawab, selain itu peruntukan dana juga dapat dipertanggungjawabkan sehingga ketika ada seorang mualaf asal korea bernama Daud Kim mengumumkan rencana membangun sebuah masjid di Korea, umat diminta untuk berhati-hati dan sebisa mungkin untuk berdonasi melalui lembaga yang telah terpercaya dan terverifikasi oleh negara.

Dilansir dari laman republika.co.id Rencana Daud Kim membangun masjid dengan cara mengirimkan dana ke rekening pribadinya mendapatkan berbagai respon dari netizen, salah satunya melarang ikut berdonasi pada pembangunan masjid tersebut. Alasannya, karena donasi itu dilakukan melalui rekening pribadi Daud Kim, di mana menurut hukum Korea, menggalang donasi melalui rekening pribadi adalah ilegal.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Fahrur Rozi, menyarankan agar mayarakat yang ingin berwakaf untuk pembangunan masjid tetap melakukannya melalui Lembaga yang resmi dan terpercaya. Karena donasi merupakan dana umat, yang mana harus dipertanggungjawabkan peruntukannya.

“Ya, sebaiknya memang ada lembaga yang kredibel dan terpercaya. Bukan Soal tidak percayalah, tapi keamanan dan keselamatan dana ummat harus dapat dipertanggungjawabkan,” ujar pria yang akrab disapa Gus Fahrur ini, Ahad (21/4/2024)

Di Korea kata dia, banyak sekali warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di sana, baik pekerja maupun mahasiswa, termasuk juga dari kalangan Nahdliyin. Karenanya, dia mengimbau agar masyarakat Indonesia yang ingin menyumbang atau berdonasi ke Masjid di korea bisa melalui cabang Nahdlatul Ulama (NU).

“Ribuan warga NU disana. Kita juga punya perwakilan di Korea. Ada cabang perwakilan PCI NU di sana yang bisa dijadikan partner,” kata Gus Fahrur.

Di Indonesia sendiri, penggalangan dana untuk membiayai acara tertentu hingga pembangunan masjid merupakan hal yang umum terjadi. Banyak masyarakat yang menyumbangkan langsung secara pribadi kepada panitia masjid, atau juga melalui rekening masjid.

Namun memang, masih banyak juga open donasi pembangunan masjid yang masih menggunakan rekening-rekening pribadi pengurus masjid, hingga tokoh tertentu seperti ustadz atau kiai.

Menanggapi hal tersebut, menurut Gus Fahrur, selama kita mengenal pemilik rekening tersebut adalah orang yang amanah, maka sah-sah saja. Kendati demikian, alangkah baiknya agar masjid-masjid memiliki rekening khusus agar memudahkan masyarakat  yang ingin berwakaf.

“Kecuali bagi mereka yang sudah kenal secara pribadi dan percaya. Namun sebaiknya melalui lembaga resmi yang mempunyai kredibilitas dan legalitas resmi, semisal organisasi keislaman setempat,” kata dia.

Bahkan melalui lembaga saja sudah pernah ada kasus dana umat yang diselewengkan, seperti kasus ACT. Karenanya, ia menghimbau masyarakat agar menyumbang atau berwakaf bisa melalui lembaga resmi semisal LAZISNU,  BAZNAS, BWI, dan pondok pesantren.

Atau bisa langsung menanyakan kepada pihak pengurus masjid tentang kebutuhan mereka dalam pembangunan. Sehingga masyarakat bisa langsung menyumbang misalnya berupa keramik untuk masjid, semen, pasir, dan lainnya.

“Menyumbang langsung berupa barang jika sesuai dengan kebutuhan juga silahkan, agar lebih bermanfaat,” kata Gus Fahrur.

“Intinya dana ummat harus aman dan terjamin dalam jangka panjang (wakaf) makanya harus ada legalitas resmi,” tegas Gus Fahrur.

ISLAMKAFFAH

Tantangan Dakwah Tauhid

Bismillah.

Salah satu perkara yang membuat banyak orang mundur dari perjuangan dakwah adalah karena melihat begitu besar hambatan dan tantangan yang harus ia hadapi. Ada yang takut kehilangan penggemar. Ada yang khawatir berkurang rezekinya. Ada yang takut kehilangan jabatan dan kedudukannya di masyarakat.

Apakah tantangan dan hambatan yang dihadapi manusia masa kini tidak ada di masa lalu? Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan bahwa para nabi dan rasul adalah barisan terdepan pejuang dakwah yang harus berbenturan dengan tantangan dan hambatan. Hidup mereka tidak pernah sepi dari ujian dan cobaan. Ada nabi yang dibunuh, sebagaimana nabi-nabi bani Israil. Ada nabi yang dicemooh dan dimusuhi oleh seluruh kaumnya sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Bahkan, tidak ada seorang pun rasul, melainkan kaumnya menjulukinya dengan tukang sihir atau orang gila (gendheng, dalam bahasa Jawa).

Allah berfirman,

كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ

“Demikianlah, tidaklah datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul, melainkan mereka berkata, ‘Dia adalah tukang sihir, atau orang gila.’” (QS. Adz-Dzariyat: 52)

Ini merupakan bentuk hiburan yang Allah berikan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa keberadaan beliau yang diganggu dan disakiti tidaklah sendirian, bahkan para nabi terdahulu pun demikian. Mereka dicela, dicemooh, disakiti, dan dimusuhi oleh kaumnya.

Tidak jauh dari hal itu, apa yang dapat kita jumpai di tengah medan dakwah hari ini. Orang-orang yang gencar mengajak kepada tauhid dan pemurnian akidah kerapkali dijuluki dan digelari dengan segudang cemoohan. Ada yang menyebutnya sebagai radikal, wahabi, ultra-konservatif, kaku, kaki tangan Amerika, penjilat penguasa, dan sebagainya.

Imam Ahmad rahimahullah telah menggambarkan keadaan ini dengan berkata,

فما أحسن أثرهم على الناس، وأقبح أثر الناس عليهم

“Betapa indah pengaruh yang mereka (para ulama) berikan bagi manusia, tetapi sangat buruk pengaruh/tanggapan dari manusia terhadap mereka.” (Lihat Mukadimah kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyah, hal. 55, Syamilah.)

Lihatlah dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salam, bertahun-tahun lamanya, bahkan ratusan tahun, tetapi tidak ada yang memenuhi seruannya, selain sedikit manusia. Mereka pun mengejeknya atas apa yang ia lakukan atas perintah Allah kepadanya. Lihatlah dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang harus diusir dari rumahnya, dimusuhi oleh masyarakat pemuja berhala, hingga dibakar dengan api yang menyala-nyala. Akan tetapi, mereka gagal karena Allah menyelamatkan Nabi dan kekasih-Nya.

Demikianlah, keadaan perjuangan dakwah keimanan di sepanjang perjalanan sejarah. Tidak sedikit tantangan dan hambatan yang harus mereka jumpai. Akan tetapi, hal itu tidaklah membuat mereka mundur, patah semangat, mengubah haluan, atau meninggalkan medan pertempuran.

Allah berfirman,

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوْا عَلٰى مَا كُذِّبُوْا وَاُوْذُوْا حَتّٰٓى اَتٰىهُمْ نَصْرُنَا

“Sungguh, para rasul sebelum kamu telah didustakan, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan yang mereka alami, dan mereka pun disakiti sampai datanglah kepada mereka pertolongan Kami.” (QS. Al-An’am: 34)

Allah berfirman,

وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِىٌّ عَزِيزٌ  ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّـٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا۟ بِٱلْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا۟ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَـٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ

“Dan sungguh Allah benar-benar akan menolong orang yang membela (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa. Mereka itu adalah orang-orang yang apabila kami berikan keteguhan di atas muka bumi ini, mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang mungkar. Dan milik Allahlah akhir dari segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 40-41)

Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengaku membela agama Allah, namun tidak memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan (mendirikan salat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar), maka dia adalah pendusta. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 540.)

Dengan demikian, kesabaran di jalan Allah merupakan bekal perjuangan setiap penggerak dakwah Sunnah di tengah masyarakat. Janganlah mereka ragu bahwa pertolongan dari Allah merupakan janji bagi orang-orang yang tulus dan serius membela agama-Nya. Berbagai tantangan tidak boleh membuat mereka surut dan padam. Justru dengan ujian demi ujian, akan semakin memperkuat kesabaran dan tingkat ketahanan mereka dalam menghadapi cobaan hidup.

Hidup di dunia tidaklah sepi dari ujian dan cobaan. Oleh sebab itu, hendaknya setiap diri berjuang dan bersungguh-sungguh dalam berupaya menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan demi menggapai kebahagiaan. Allah Ta’ala berfirman,

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ جَـٰهَدُوا۟ مِنكُمْ وَيَعْلَمَ ٱلصَّـٰبِرِينَ

“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan begitu saja masuk surga, sedangkan Allah belum mengetahui (melihat) siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian dan untuk mengetahui siapakah orang-orang yang sabar?” (QS. Ali ‘Imran: 142)

Dengan ujian inilah, akan tampak siapakah orang yang benar keimanannya dengan orang yang hanya berpura-pura. Allah Ta’ala berfirman,

 وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَـٰذِبِينَ

“Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka benar-benar Allah akan mengetahui (membuktikan) siapakah orang-orang yang jujur dan akan mengetahui siapakah orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 3)

Allah Ta’ala berfirman,

 وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

“Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, dan melarang yang mungkar. Mereka itulah sebenarnya orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-’Imran: 104)

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far Al-Baqir setelah membaca ayat, “Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yang dimaksud kebaikan itu adalah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnahku.” (HR. Ibnu Mardawaih. Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2, hal. 66.)

Meninggalkan dakwah membawa petaka

Allah Ta’ala berfirman tentang kedurhakaan orang-orang kafir Bani Israil,

 لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنۢ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ  كَانُوا۟ لَا يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍۢ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu dikarenakan kemaksiatan mereka dan perbuatan mereka yang selalu melampaui batas. Mereka tidak melarang kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian di antara mereka. Amat buruk perbuatan yang mereka lakukan itu.” (QS. Al-Ma’idah: 78-79)

Syekh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Tindakan mereka itu (mendiamkan kemungkaran) menunjukkan bahwa mereka meremehkan perintah Allah, dan kemaksiatan mereka anggap sebagai perkara yang sepele. Seandainya di dalam diri mereka terdapat pengagungan terhadap Rabb mereka, niscaya mereka akan merasa cemburu karena larangan-larangan Allah dilanggar dan mereka pasti akan marah karena mengikuti kemurkaan-Nya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241)

Di antara dampak mendiamkan kemungkaran adalah kemungkaran tersebut semakin menjadi-jadi dan bertambah merajalela. Syekh As-Sa’di telah memaparkan akibat buruk ini, “Sesungguhnya hal itu (mendiamkan kemungkaran) menyebabkan para pelaku kemaksiatan dan kefasikan menjadi semakin lancang dalam memperbanyak perbuatan kemaksiatan tatkala perbuatan mereka tidak dicegah oleh orang lain, sehingga keburukannya semakin menjadi-jadi. Musibah diniah dan duniawi yang timbul pun semakin besar karenanya. Hal itu membuat mereka (pelaku maksiat) memiliki kekuatan dan ketenaran. Kemudian, yang terjadi setelah itu adalah semakin lemahnya daya yang dimiliki oleh ahlul-khair (orang baik-baik) dalam melawan ahlusy-syarr (orang-orang jelek), sampai-sampai suatu keadaan di mana mereka tidak sanggup lagi mengingkari apa yang dahulu pernah mereka ingkari.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241.)

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Benar-benar kalian harus memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang mungkar, atau Allah akan mengirimkan untuk kalian hukuman dari sisi-Nya kemudian kalian pun berdoa kepada-Nya, namun permohonan kalian tak lagi dikabulkan.” (HR. Ahmad. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’, hadis no. 7070. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2, hal. 66.)

Allah berfirman,

وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌۭ مِّنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا ۙ ٱللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًۭا شَدِيدًۭا ۖ قَالُوا۟ مَعْذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Dan ingatlah ketika suatu kaum di antara mereka berkata, ‘Mengapa kalian tetap menasihati suatu kaum yang akan Allah binasakan atau Allah akan mengazab mereka dengan siksaan yang amat keras?’ Maka, mereka menjawab, ‘Agar ini menjadi alasan bagi kami di hadapan Rabb kalian dan semoga saja mereka mau kembali bertakwa.’” (QS. Al-A’raf: 164)

Syekh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Inilah maksud paling utama dari pengingkaran terhadap kemungkaran. Yaitu, agar menjadi alasan untuk menyelamatkan diri (di hadapan Allah), serta demi menegakkan hujah kepada orang yang diperintah dan dilarang, dengan harapan semoga Allah berkenan memberikan petunjuk kepadanya sehingga dengan begitu dia akan mau melaksanakan tuntutan perintah atau larangan itu.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 307.)

Syekh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah memaparkan, “Pada masa kita sekarang ini, apabila seorang muslim mengajak saudaranya kepada akhlak, kejujuran, dan amanah, niscaya dia tidak akan menjumpai orang yang memprotesnya. Namun, apabila dia bangkit mengajak kepada tauhid yang didakwahkan oleh para rasul, yaitu untuk berdoa kepada Allah semata dan tidak boleh meminta kepada selain-Nya, apakah itu para nabi maupun para wali yang notabene adalah hamba-hamba Allah (makhluk, tidak layak disembah, pent), maka orang-orang pun bangkit menentangnya dan menuduh dirinya dengan berbagai tuduhan dusta. Mereka pun menjulukinya dengan sebutan ‘Wahabi’ agar orang-orang berpaling dari dakwahnya. Apabila mereka mendatangkan kepada kaum itu ayat yang mengandung (ajaran) tauhid muncullah komentar, ‘Ini adalah ayat Wahabi’! Kemudian apabila mereka membawakan hadis, ‘… Apabila kamu minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah.’ sebagian orang itu pun mengatakan, ‘Ini adalah hadisnya Wahabi’! …” (lihat Da’watu Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 12-13.)

Salah satu alasan yang menunjukkan betapa pentingnya memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia, melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb Jalla Wa‘ala. (Lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh Ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah Ats-Tsubaiti, penerbit Dar Ibnul Jauzi, cet I, 1428 H.)

Demikian sedikit kumpulan catatan yang dapat kami sajikan dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wallahul muwaffiq.

***

Yogyakarta, 17 Ramadan 1445 H / 28 Maret 2024

Ketua Umum Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Sumber: https://muslim.or.id/92924-tantangan-dakwah-tauhid.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Arti Mimpi Melihat Orang Meninggal Kehausan

Dalam mimpi, sering muncul berbagai kejadian aneh yang sulit terjadi di kehidupan nyata seperti mimpi bertemu dengan orang yang sudah meninggal. Salah satu peristiwa yang sering terlihat adalah melihat orang yang sudah meninggal sedang kehausan. Lantas, bagaimana arti atau tafsir mimpi melihat orang meninggal sedang kehausan?

Dalam literatur kitab klasik, dijumpai beberapa riwayat atau kisah-kisah yang menyampaikan bahwa orang mati bisa mendengar pembicaraan orang yang masih hidup. Sebagaimana kisah sayyidina Umar yang bertanya kepada nabi tentang alasan nabi berbicara dengan orang yang sudah meninggal.

Sebagaimana dalam kitab Tahdzibul Atsar, juz 2, halaman 485 dijelaskan sebagai berikut ini;

فقال عمر : يا رسول الله كيف تكلم أجساد لا أرواح فيها ؟  فقال : ما أنتم بأسمع منهم ، غير أنهم لا يستطيعون أن يردوا .

Artinya : “ Berkata Sayyidina Umar : Wahai Rasulullah mengapa engkau berbicara dengan tubuh yang sudah tidak memiliki arwah didalamnya. Rasulullah bersabda : Sesungguhnya engkau tidak lebih baik dalam mendengar dibandingkan mereka, hanya saja mereka tidak bisa merespons.”

Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa orang yang meninggal juga dapat mengabarkan keadaannya melalui mimpi. Sebagaimana kisah Shalih bin Basyir, yang melihat Atha’ as-Sulami di dalam mimpi setelah kematiannya. Lalu, Atha’ as-Sulami berkata kepadanya; “Sungguh demi Allah, setelah kematianku, Allah telah menganugerahkan kesenangan yang panjang juga kebahagiaan yang abadi”. 

Berdasarkan keterangan diatas, orang yang meninggal dapat mengabarkan keadaannya melalui mimpi. Yakni, seseorang dapat mengetahui apakah orang yang meninggal mengalami siksaan atau kebahagiaan di alam kubur. Sehingga, apabila seseorang bermimpi melihat orang meninggal sedang kehausan, maka hal itu pertanda dia mengalami kesulitan di alam kuburnya.

Sebaiknya bagi seseorang yang bermimpi melihat orang meninggal yang kehausan untuk selalu mendoakannya dengan harapan Allah mengampuni segala dosa yang pernah ia lakukan di dunia dan menerima segala perbuatan baiknya. 

Demikianlah penjelasan mengenai tafsir mimpi melihat orang meninggal sedang kehausan. Sejatinya, mimpi melihat orang meninggal sedang kehausan dapat memiliki berbagai arti, tergantung pada konteks mimpi dan pengalaman pribadi. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Ramadan Berlalu, Perilaku Koq Masih Seperti Dulu

Hanya sebentar setelah berakhirnya bulan Ramadan, kita sering kali merasakan betapa cepatnya kita melupakan pelajaran berharga yang kita dapatkan selama bulan suci tersebut. Ramadan, sebuah waktu yang diisi dengan berbagai amalan mulia dan introspeksi diri, seolah menjadi bagian dari kehidupan kita yang hanya sementara, bukan sebagai momen pembelajaran yang berkelanjutan.

Bulan Ramadan adalah lebih dari sekadar menahan lapar dan haus; itu adalah sebuah kesempatan untuk menahan amarah, menjaga emosi, menahan diri dari provokasi, dan menjauhi kata-kata dusta serta perbuatan kotor. Namun, begitu Ramadan berakhir, kita seringkali terperangkap kembali dalam kebiasaan lama dan memandang kembali pada amalan-amalan yang dilakukan selama bulan suci tersebut sebagai sesuatu yang sementara dan terpisah dari kehidupan kita yang sehari-hari.

Seringkali, kita merayakan berakhirnya Ramadan sebagai kebebasan dari kewajiban dan kemenangan atas diri sendiri. Namun, kita lupa bahwa esensi dari puasa sejati bukanlah sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari segala bentuk perilaku yang tidak terpuji. Ramadan mengajarkan kita untuk mengendalikan diri, mengembangkan kesabaran, dan menahan hawa nafsu.

Allah SWT berfirman dalam Al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

Artinya, Ramadan adalah latihan membentuk pribadi yang bertakwa. Berhasil atau tidaknya, tentu ukurannya adalah ketakwaan, bukan selesainya Ramadan. Bukan pula sekedar menahan lapar dan haus selama bulan Ramadan, lalu kita meneriakkan kata kemenangan dan bertakbir.

Dalam hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:”Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makanan dan minumannya.”

Hadis ini menunjukkan bahwa puasa tidak hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala bentuk kebohongan dan perilaku buruk lainnya. Jika puasamu belum sampai pada taraf menjaga dari keburukan atau hanya menahan haus dan lapar maka sungguh sia-sia. Ramadan berlalu, perilaku masih seperti dulu.

Maka dari itu, penting bagi kita untuk tidak melupakan ajaran-ajaran berharga yang kita dapatkan selama Ramadan. Puasa adalah lebih dari sekadar rutinitas tahunan; itu adalah sebuah kesempatan untuk pertumbuhan spiritual dan pembentukan karakter. Kita harus berusaha untuk menjaga semangat dan nilai-nilai yang kita pelajari selama Ramadan sepanjang tahun, bukan hanya selama bulan tersebut.

Mari kita gunakan Ramadan sebagai momentum untuk melakukan perubahan positif dalam hidup kita, dan bukan hanya sebagai rutinitas tahunan yang kita lalui tanpa refleksi yang mendalam. Dengan demikian, kita dapat benar-benar merasakan manfaat spiritual dari puasa dan menjadi lebih baik dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari.

ISLAMKAFFAH

Bingung Puasa Sunnah Syawal atau Membayar Hutang Puasa?

Setiap tahun, umat Islam dihadapkan pada pilihan yang penting: apakah lebih baik melaksanakan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal atau mengqadha puasa Ramadan yang tertinggal? Pilihan ini sering kali menjadi bahan diskusi dan pertimbangan yang mendalam bagi banyak individu yang ingin memaksimalkan amal ibadah mereka.

Puasa sunnah enam hari di bulan Syawal telah dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pelengkap dari puasa wajib Ramadan. Hadis yang menyatakan bahwa pahala puasa enam hari ini setara dengan puasa satu tahun telah menjadi pegangan banyak orang dalam menjalankan ibadah ini. Namun, pertanyaan muncul: apakah puasa ini harus dilaksanakan secara langsung setelah Idul Fitri dan dalam urutan yang berurutan?

Beberapa ulama, seperti Imam Nawawi al Bantani, menyatakan bahwa puasa sunnah enam hari bulan Syawal bisa dilakukan terpisah dari Idul Fitri, asalkan masih berada dalam bulan Syawal. Namun, mereka menyarankan untuk melaksanakannya setelah Idul Fitri dan secara berurutan, mulai dari tanggal 2 hingga 7. Meskipun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa pelaksanaan puasa ini bisa dilakukan dalam waktu yang tidak berurutan.

Namun, bagaimana dengan mereka yang memiliki puasa qadha Ramadan yang belum diganti? Apakah mereka boleh melaksanakan puasa sunnah Syawal bersamaan dengan mengqadha puasa yang tertinggal? Imam Khatib al Syarbini menyatakan bahwa secara dhahir, mereka tetap mendapatkan pahala puasa bulan Syawal, meskipun bukan pahala khusus dari puasa enam hari. Namun, menurutnya, yang lebih baik adalah mengqadha puasa yang tertinggal terlebih dahulu, kemudian menjalankan puasa sunnah enam hari bulan Syawal.

Terkait dengan pertanyaan apakah boleh menggabungkan niat puasa qadha Ramadan dan puasa sunnah enam hari bulan Syawal, Syaikh Ali Jumu’ah memberikan pandangan yang memungkinkan. Menurutnya, boleh saja menggabungkan niat keduanya, dengan syarat tetap memahami bahwa hal ini tidak akan memberikan pahala puasa yang sempurna. Namun, yang menjadi pertimbangan utama adalah menjalankan keduanya secara terpisah untuk memastikan ketaatan yang lebih baik.

Pilihan antara puasa sunnah Syawal dan mengqadha puasa Ramadan bukanlah hal yang susah. Namun, dengan pemahaman yang mendalam tentang keutamaan dan praktik terbaik, setiap individu dapat membuat keputusan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka, sembari tetap menjaga kesucian ibadah dan keikhlasan dalam beribadah.

ISLAMKAFFAH

Sayyidina Umar Membaiat Muslimah di Zaman Nabi dengan Berjabat Tangan?

Kisah Sayyidina Umar bin Khattab berjabat tangan membaiat Muslimah yang hendak masuk Islam itu terekam dalam kitab Tarikh al-Rusul wal Muluk atau Tarikh al-Thabari.

Dalam al-Thabaqat al-Kubra, Ibn Sa’d meriwayatkan demikian:

وَبَايَعَهُنَّ فَقَالَتْ هِنْدٌ مِنْ بَيْنِهُنَّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ نُمَاسِحُكَ؟ فَقَالَ: إِنِّي لا أُصَافِحُ النِّسَاءَ.

Rasulullah membaiat para perempuan yang hendak masuk Islam. Di antara perempuan itu ada Hindun (binti ‘Utbah) yang bertanya, “Boleh enggak kami salaman dengan Anda, Rasul?” “Saya enggak salaman dengan perempuan,” jawab Rasulullah.

Rasulullah melanjutkan perkataanya agar tidak membuat Hindun tersinggung:

إِنَّ قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ مِثْلُ قُولِي لامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ

“Jawaban saya kepada seratus perempuan lain juga sama seperti jawaban saya kepada Anda.” Artinya, Rasulullah memang tidak bersalaman dengan perempuan.
Perkataan ini menurut sebagian ulama khusus untuk beliau saja. Hal ini karena dalam Tarikh al-Thabari, sahabat Umar bin Khattab yang menjadi wakil Rasulullah untuk berjabat tangan dengan perempuan yang hendak masuk Islam pada waktu itu.

Dalam riwayat al-Thabari disebutkan demikian:

فَبَايَعَهُنَّ عمر وكان رسول الله ص لا يُصَافِحُ النِّسَاءَ، وَلا يَمَسُّ امْرَأَةً وَلا تَمَسُّهُ إِلا امْرَأَةٌ أَحَلَّهَا اللَّهُ لَهُ، أَوْ ذَاتُ مَحْرَمٍ مِنْهُ.

Umar membaiat para perempuan. Sementara Rasulullah saw. itu tidak bersalaman dengan perempuan. Rasulullah tidak menyentuh perempuan kecuali yang Allah halalkan padanya atau perempuan yang masih memiliki status mahram dengannya.

Kisah ini menjadi dalil bagi para ulama yang membolehkan pria Muslim berjabat tangan dengan perempuan, atau perempuan muslimah berjabat tangan dengan pria, khususnya yang berbeda umur. Misal, pria lelaki masih muda kemudian perempuan muslimahnya sudah berusia (sudah agak tua), ataupun sebaliknya.

Dalam bahasa fikih, jika lawan jenis berbeda usia terlampau jauh, diperkirakan pada umumnya tidak akan terjadi ketertarikan terhadap lawan jenis (amn min al-fitnah). Fatwa al-Azhar Darul Ifta al-Mishriyyah di antaranya mengutip argumen ini sebagai dalil.

Kapan peristiwa baiat itu terjadi? Peristiwa itu terjadi pada tahun 8 hijriah (630 M). Saat itu usia Sayyidina Umar sekitar 44 tahun, dan Hindun (binti ‘Utbah) sekitar 46 tahun. Usia keduanya tidak terpaut jauh, Hindun lebih tua 2 tahunan dari Umar.

Fyi, Hindun binti ‘Utbah ini perempuan yang meminta kepada Wahsyi untuk mengalahkan paman Nabi, Hamzah, pas perang Uhud. Saat itu paman Nabi gugur di medan perang. Hindun ini juga ibu dari sahabat Nabi Mu’awiyah. Ia masuk Islam pas 8 Hijriah bertepatan dengan pembebasan Mekah (Fathu Makkah).

Demikian penjelasan terkait Umar bin Khattab berjabat tangan membaiat Muslimah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Memaksimalkan Dua Kemampuan Menuju Husnulkhatimah

Saudaraku, kita berada pada bulan-bulan di mana belenggu setan kembali dilepaskan. Dan nafsu yang selama ini dapat diredam selama Ramadan, kini potensi untuk kembali pada kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik sebelum Ramadan bisa saja terulang.

Merenungi hal ini, sudah semestinya kita benar-benar menyadari bahwa sesungguhnya kita dihadapkan pada 2 (dua) pilihan jalan dalam hidup, yaitu: kepada husnulkhatimah atau su’ulkhatimah. Akhir hidup yang husnulkhatimah tentunya akan digapai dengan menjadi hamba Allah yang bertakwa. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam,

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ، قاَلُوُا: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ

“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hambanya, maka Allah memanfaatkannya.” Para sahabat bertanya, ”Bagaimana Allah akan memanfaatkannya?” Rasulullah menjawab, ”Allah akan memberinya taufik untuk beramal saleh sebelum dia meninggal.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak.)

Sedangkan akhir hidup su’ulkhatimah akan menimpa seseorang manakala ia meninggalkan ketakwaan dan terjerumus pada kubangan maksiat tanpa tobat sebelum ajal mendekat. Wal’iyadzubillah.

Kita adalah makhluk yang sangat bergantung pada kasih sayang Allah Ta’ala. Dalam perkara ibadah saja, meski memiliki fisik yang prima, kadangkala kita (khususnya para pemuda) merasa berat untuk bangun salat malam atau untuk ke masjid melaksanakan salat 5 waktu. Bahkan, sudah di masjid pun, setelah melaksanakan salat 5 waktu, untuk salat rawatib pun terasa berat. Wallahulmusta’an.

Sebaliknya, banyak pula para sepuh, telah berumur lanjut, tapi keistikamahannya dalam menjalankan ibadah-ibadah nawafil sangat tinggi. Mereka sangat patut menjadi contoh. Padahal, fisiknya terlihat lemah, berjalan melangkahkan kaki saja seperti sangat kesulitan. Namun, panggilan ketaatan dan semangat menuju keridaan Allah Ta’ala telah memudahkan dirinya dan pada akhirnya ketika malakulmaut menjemputnya, ia pun wafat dalam husnulkhatimah. Sungguh, sebuah akhir perjalanan hidup yang sempurna.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607.)

Jika kita renungkan, sebenarnya Allah Ta’ala telah menganugerahkan banyak karunia yang sangat berharga bagi kita. Di antaranya: fisik, akal, maupun iman. Maka, dengan anugerah tersebut, kiranya kita mampu menjadi hamba Allah yang senantiasa memikirkan bagaimana agar memperoleh husnulkhatimah ketika ajal menjemput dan menggapai surganya Allah Ta’ala. Dengannya pula, kita diwajibkan untuk mengenali batasan-batasan syariat di mana sebab melanggarnya kita dapat terjerumus pada akhir hidup yang su’ulkhatimah. Wal’iyadzu billah.

Saudaraku, anugerah yang Allah berikan tersebut menjadi dasar bagi kita untuk mengetahui dan mengenali mana yang hak dan yang batil. Dengan anugerah tersebut pula, kita memiliki setidaknya 2 (dua) kemampuan yang bermanfaat khususnya bagi diri kita sendiri untuk menggapai husnulkhatimah di akhir kehidupan kita, yaitu: kemampuan mengenali dosa dan kemampuan berfatwa.

Kemampuan mengenali dosa

Sejatinya, fitrah seorang manusia adalah kebaikan. Bahkan, sejak lahir, pada dasarnya, semua manusia adalah muslim. Hanya saja, lingkungannyalah yang mengubah fitrahnya menjadi pribadi yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap bayi yang lahir berada di atas fitrahnya. Lalu, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Fitrah yang dimaksudkan di sini adalah Islam. Islam adalah kebaikan. Dengannya, seseorang dapat mengetahui kebenaran dan kekhilafan. Maka, dalam konteks mengenali dosa, setiap insan memiliki kemampuan. Cukup dengan merenungi kegelisahan dalam hati manakala ia mengerjakan suatu perbuatan yang belum ia ketahui apakah hal itu berdosa atau tidak.

Dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Dar Ihya’ At-Turats, no. 1392, 16:111.)

Kemampuan mengenali dosa ini sejatinya dimiliki oleh semua insan. Perkara apapun itu, tatkala jiwa dirundung gelisah ketika melakukan perbuatan tertentu seperti muamalah dengan sesama manusia atau sedang dalam aktivitas tertentu tatkala sendiri dan ada penolakan batin manakala hal itu diketahui oleh orang lain, maka itulah dosa yang mesti segera ditinggalkan.

Namun, ada pula orang yang mengabaikan kemampuan mengenali dosa ini. Ia tetap melabrak ketentuan syariat yang ada. Meski sebenarnya kegelisahan datang sebagai tanda bahwa apa yang dikerjakannya adalah dosa, tetapi ia tetap saja melanjutkannya tanpa beban dan tanpa rasa bersalah. Ia lebih mengedepankan kenikmatan duniawi yang sesaat daripada kenikmatan ukhrawi yang kekal abadi. Mudah-mudahan, kita tidak menjadi bagian dari manusia yang abai tersebut.

Oleh karenanya, maksimalkan kemampuan mengenali dosa ini dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan kita menjadi hamba Allah yang senantiasa mampu mengendalikan diri untuk menghindari segala potensi dosa yang dapat mendatangkan murka Allah Ta’ala.

Kemampuan berfatwa

Fatwa yang dimaksud disini adalah fatwa terhadap diri sendiri sebelum meminta fatwa dari orang lain. Kemampuan mengenali mana yang hak dan yang batil kemudian memutuskan untuk mengambil pilihan kebenaran sejatinya dimiliki oleh setiap insan.

Oleh karenanya, kita perlu melakukan cross check terlebih dahulu terhadap perkara yang sedang kita hadapi. Menanyakan kembali kepada naluri tentang pilihan dan keputusan terhadap urusan duniawi dan ukhrawi kita. Sebagaimana nasihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kepada Wabishah,

يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ

Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu tiga kali. Karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa.” (HR. Ahmad no.17545, Al-Albani dalam Shahih At Targhib, no. 1734 mengatakan, “Hasan lighairihi.“)

Saudaraku, hadis ini menegaskan bahwa sejatinya, diri kita mampu memutuskan dengan hak perkara dari keraguan-keraguan diri. Namun, jangan lupa, hal itu dapat dilakukan dengan syarat, harus sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Sejatinya, seorang muslim yang lurus akidah dan manhajnya, fatwa yang keluar dari pikirannya akan sejalan dengan dalil yang ada. Maka, untuk memastikan bahwa pendapat kita tentang sesuatu tatkala meminta fatwa pada diri sendiri, kita mesti memahami bahwa ketentuan syariat Allah tidak boleh dilampaui oleh kehendak akal, logika, perasaan apa lagi nafsu.

Maka, asahlah kemampuan berfatwa ini dengan ilmu. Meski pada dasarnya, fitrah manusia adalah kebaikan. Namun, perasaan, akal, kecerdasan, dan logika harus mengikuti dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Karena sejatinya, bukan dalil yang mengikuti akal. Tapi akallah yang mengikuti dalil. Karenanya, pastikan bahwa kemampuan berfatwa yang kita miliki berada di bawah dan mengikuti petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah.

Mudah-mudahan, anugerah Allah Ta’ala kepada kita melalui kemampuan mengenali dosa dan kemampuan berfatwa ini menjadikan kita lebih mudah untuk lebih berhati-hati dan mawas diri dalam menyikapi problematika kehidupan duniawi dan ukhrawi kita, sehingga kita mendapati diri kita berada dalam keridaan Allah Ta’ala di akhir hayat kita dengan kematian yang husnulkhatimah.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/93168-memaksimalkan-dua-kemampuan-menuju-husnul-khatimah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Doa Bersetubuh Tahan Lama

Artikel berikut akan membahas tentang doa bersetubuh tahan lama. Sejatinya, bagi pasangan suami istri, berjimak merupakan kebutuhan mendasar yang tak hanya memuaskan hasrat, tapi juga memperkuat hubungan. Sama seperti kebutuhan lainnya, berjimak pun memiliki adab dan amalan yang dianjurkan untuk dilakukan, baik sebelum, saat, maupun setelahnya.

Imam Al-Ghazali dalam karyanya Al-Adab fid Din, menjelaskan beberapa etika penting yang perlu diperhatikan dalam berhubungan seksual dengan istri. Etika-etika ini bertujuan untuk meningkatkan keintiman, menjaga kesucian pernikahan, dan menghadirkan pengalaman yang positif bagi suami istri.

آداب الجماع- طيب الرائحة ولطافة الكلمة وإظهار المودة وتقبيل الشهوة والتزام المحبة ثم التسمية وترك النظر إلى الفرج فإنه يورث العمى والستر تحت الإزار وترك استقبال القبلة

Artinya; Etika berhubungan badan dengan istri antara lain mengenakan wangi-wangian, menggunakan kata-kata yang lembut, mengekspresikan kasih-mesra, memberikan kecupan menggelora, menunjukkan sayang senantiasa, baca bismillah, tidak melihat kemaluan istri karena konon menurunkan daya penglihatan, mengenakan selimut atau kain (saat bercinta), dan tidak menghadap kiblat,”.

Nah salah satu amalan yang penting saat berjimak adalah membaca doa. Dalam agama Islam, membaca doa merupakan salah satu aspek penting dalam setiap aktivitas, termasuk dalam hubungan suami istri. Saat berjima’ atau berhubungan intim, membaca doa adalah amalan yang dianjurkan sebagai upaya untuk mengundang berkah dan melindungi diri dari gangguan syaitan.

Doa yang dibaca sebelum dan sesudah berjima’ tidak hanya meningkatkan kesadaran spiritual dalam momen tersebut, tetapi juga menjadi wujud penghormatan terhadap keagungan perintah agama. Sejatinya, doa saat berjima’ dalam Islam juga memperkuat ikatan antara suami dan istri. Dengan membaca doa bersama sebelum memulai hubungan intim, pasangan menciptakan momen kebersamaan yang lebih dalam secara spiritual.

Selain itu, membaca doa saat berjima’ dalam Islam juga membangun kesadaran akan tujuan yang lebih tinggi dalam hubungan intim. Doa mengingatkan bahwa hubungan tersebut bukan hanya tentang memenuhi nafsu semata, tetapi juga tentang memperoleh berkah dari Allah SWT. Dengan demikian, doa menjadi pengingat akan tanggung jawab moral dan spiritual dalam menjaga kesucian dan keberkahan dalam hubungan suami istri sesuai dengan ajaran Islam.

Adapun doa sebelum bersetubuh agar tahan lama dan penuh keberkahan, sebagai berikut;

اَللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

Allāhumma jannibni al-syayṭāna wa jannib al-syayṭāna mā razaqtanā.

Artinya; “Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepada kami,”.

Kemudian setelah ingin klimaks [keluar mani], Imam Al-Ghazali juga menganjurkan suami untuk berdoa, agar air mani yang keluar menjadi bibit yang baik dan penuh keberkahan. Ini doanya;

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا، وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا

al-ḥamdulillāhi al-lazhī khalaqa mina al-mā’i basyaran faja’alahu nasaban waṣihran, wa kāna rabbuka qadīran

Artinya; Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dari air, kemudian menjadikannya keturunan dan hubungan pernikahan. Dan Allah adalah Maha Kuasa,”.

BINCANG SYARIAH