14 Jamaah Haji Bakal Ikuti Tanazul Awal

Kriteria jamaah haji yang dapat menerima layanan tanazul adalah memiliki kesadaran.

Sebanyak 14 jamaah haji Indonesia direncanakan bakal ditanazulkan. Penanggung Jawab Evakuasi dan Tanazul Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Makkah dr. Faridah Muhammad menjelaskan, tanazul adalah pemulangan jamaah haji yang tidak mengikuti kloternya. Bisa dilakukan di awal, artinya bisa dipulangkan lebih dahulu dari kloternya.

 “Atau Tanazul akhir artinya jamaah diberangkatkan pada kloter yang belakangan dari kloternya,” ujar Faridah, Rabu (5/7/2023).

Menurut Faridah, kriteria jamaah haji yang dapat menerima layanan tanazul adalah memiliki kesadaran baik, Hemodinamik stabil (Mean Arterial Pressure > 65 mmHg), Saturasi oksigen > 92%. Selain itu, tekanan darahnya lebih dari 65, dan transportable saat dilakukan tanazul tidak memperberat kondisi fisik dan mampu menempuh perjalanan selama 14 jam.

Termasuk tidak menimbulkan kecacatan, dan mengancam keselamatan jamaah haji sakit. Tidak mengidap penyakit menular atau infeksius serta tidak dalam krisis hipertensi “Tanazul di KKHI ini untuk jamaah yang sakit. Jadi jamaah yang sakit dan tidak memungkinkan dia pulang lebih lama menunggu kloternya pulang maka jamaah itu akan kami tanazul awalkan,” ujarnya.

Faridah menyebut hingga saat ini jumlah jemaah haji yang diusulkan untuk ditanazulkan awal ada 14 orang. “Tapi tidak menutup kemungkinan ada pengajuan lagi, ini masih dinamis terus,” kata Faridah. 

Bagi jamaah haji yang tanazul dan bisa duduk maskapai penerbangan mengajukan syarat yakni, diajukan tiga hari sebelum keberangkatan. Sedangkan tanazul untuk jemaah haji yang posisi baring atau membutuhkan oksigen paling tidak pengajuannya 6 atau 7 hari. “Ke 14 jamaah haji ini ada yang posisi baring dan duduk. Jadi kami yang mengajukan nanti penentuannya oleh pelayanan dan kepulangan (Yanpul),” ujarnya.

IHRAM

Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kita tekankan kembali bahwa apa yang sudah dilakukan jemaah haji di hari-hari yang terbatas jumlahnya pada awal bulan Zulhijah ini merupakan salah satu rangkaian prosesi ibadah yang paling agung dan paling utama, yaitu berhaji di rumah Allah Ta’ala yang penuh kemuliaan. Melaksanakan ibadah haji merupakan salah rukun Islam yang wajib dilakukan oleh seorang muslim yang telah Allah mampukan secara fisik dan harta. Di dalam pelaksanaannya, ia mendapatkan kehormatan untuk bisa tawaf mengelilingi rumah Allah Ta’ala, berjalan sai di antara bukit Safa dan Marwa, wukuf di padang Arafah, serta melempar kerikil di Jamarat, dan amalan-amalan lainnya yang penuh kemuliaan.

Detik ini, sebagian dari jemaah haji telah pulang ke negerinya masing-masing, kembali ke keluarganya yang telah menunggunya. Mereka pulang sembari membawa cerita-cerita bahagia atas kesempatan yang telah Allah berikan untuk menyelesaikan amalan haji yang tentu tidak mudah untuk dilakukan tersebut. Teruntuk semua saudaraku yang telah mendapatkan kehormatan untuk melaksanakan ibadah haji, inilah beberapa renungan dan nasihat untukmu dari seseorang yang tulus mencintaimu karena Allah Ta’ala, seseorang yang sangat mengharapkan kebaikan untuk dirimu:

Renungan pertama: Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala karena telah memilihmu sebagai salah satu tamunya

Teruslah bersyukur dan memuji Allah Ta’ala atas limpahan karunia yang telah Ia berikan kepadamu, baik itu berupa kenikmatan yang nampak, maupun kebaikan dan kemudahan yang engkau dapatkan selama menjalankan rangkaian ibadah haji ini. Karena sejatinya, seberapa pun kayanya seseorang, sesukses apa pun dirinya, dan setinggi-tingginya jabatan yang dimilikinya, kesemuanya itu tidak serta merta menjadikan dirinya dapat berangkat haji dan menuntaskan seluruh rangkaian ibadah haji yang ada. Ketahuilah, Allahlah satu-satunya sumber semua kenikmatan ini, di tangan-Nyalah seseorang dapat berhaji, dan di tangan-Nya pula seseorang bisa tiba-tiba gagal untuk pergi berhaji. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا بِكُم مّن نّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

“Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah.” (QS. An-Nahl: 53)

Betapa banyaknya kenikmatan yang telah Allah berikan ini, sampai-sampai Allah Ta’ala sendiri berfirman,

وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18)

Seseorang yang telah berangkat haji hendaknya juga mengiringi rasa syukurnya dengan perasaan yang dipenuhi kebahagiaan dan kesenangan, karena ia telah mendapatkan keutamaan dan taufik dari Allah Ta’ala untuk menjalankan ketaatan dan ibadah tersebut. Kebahagiaan dan rasa senang semacam ini adalah hak mereka, karena merupakan kebahagiaan yang hakiki lagi abadi. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus: 58)

Renungan kedua: Berbaiksangkalah kepada Allah Ta’ala, berharaplah kepada-Nya kebaikan yang berlimpah, kuatkan rasa harapmu kepada Allah Ta’ala bahwa ia menerima ibadah haji dan amalanmu serta mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu.

Terdapat dalam sebuah hadis qudsi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya Allah Ta’ala berfirman,

أنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بي

“Sesungguhnya Aku berdasarkan pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengatakan,

مَن حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، ولَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَومِ ولَدَتْهُ أُمُّهُ.

“Barangsiapa menunaikan ibadah haji untuk ikhlas karena Allah Ta’ala, lalu ia tidak mengucapkan kata-kata kotor serta tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang dalam keadaan (suci) seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350)

Renungan ketiga: Berhati-hatilah dari terjatuh kembali ke dalam lubang dosa dan kemaksiatan

Wahai saudaraku, sesungguhnya engkau baru saja menyelesaikan ibadah haji. Rangkaian ketaatan yang penuh dengan ketundukan dan kerendahan hati kepada Allah Ta’ala. Engkau pulang dalam kondisi selamat, serta dosa-dosamu telah Allah ampuni. Jangan sampai, engkau kotori dan engkau nodai kemuliaan ini dengan kembali melakukan kemaksiatan. Kemaksiatan yang akan menghancurleburkan pahala yang telah engkau kumpulkan, membatalkan ampunan Allah Ta’ala terhadap dosa-dosa yang engkau lakukan. Allah Ta’ala telah melarang kita dari perbuatan semacam ini. Ia berfirman,

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ اَنْكَاثًاۗ 

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.” (QS. An-Nahl: 92)

Jangan engkau kotori lembaran putih yang telah Allah berikan ini dengan hitamnya dosa-dosa yang engkau lakukan. Sungguh begitu indah apabila sebuah kebaikan diiringi kebaikan-kebaikan lain setelahnya, dan betapa buruk sebuah kejelekan yang dilakukan setelah adanya kebaikan.

Renungan keempat: Haji yang mabrur dan diterima oleh Allah memiliki tanda-tanda, maka perhatikanlah!

Hasan Al-Bashri pernah ditanya,

“Apa itu haji yang mabrur?”

Beliau menjawab,

“Engkau kembali dari haji itu, sedang dirimu merasa zuhud dan berpaling dari kenikmatan duniawi dan sangat berharap mendapatkan akhirat.”

Sebagian salaf juga mengatakan,

“Di antara ganjaran dan balasan sebuah kebaikan adalah kebaikan setelahnya.”

Betapa indahnya apabila seseorang yang telah berhaji kemudian pulang ke keluarganya sedang keimanannya telah bertambah, keistikamahannya semakin menguat, menjadi baik perangainya, dan bertambah pula rasa wara’ dan ketakwaannya. Ibadah haji seharusnya semakin mendekatkan diri seseorang kepada Allah Ta’ala. Apa gunanya ibadah haji bagi seseorang yang sepulangnya ia darinya masih saja menyia-nyiakan salat?! Apa pengaruhnya haji yang ia lakukan jika sekembalinya ia tetap tidak mau mengeluarkan zakat, memakan harta riba, durhaka kepada kedua orang tua, dan memutus tali silaturahmi?!

Wahai saudaraku, jadikanlah hajimu sebagai penghalang dari melakukan kemaksiatan dan pendorong untuk melakukan kebaikan. Karena tidak ada garis finis bagi seorang muslim untuk terus melakukan ketaatan, kecuali ajalnya sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ ࣖࣖ

“Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)

Renungan kelima: Ibadah haji adalah momentum keikhlasan, tauhid, dan ketundukan yang sempurna kepada Allah Ta’ala

Dari awal ibadah haji ini, kata yang selalu engkau ucapkan adalah kata-kata yang mengandung penetapan tauhid untuk Allah Ta’ala satu-satunya,

لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ

“Hamba-Mu datang menyahut panggilan-Mu. Tuhan yang tiada sekutu bagi-Mu. Hamba-Mu datang menyahut panggilanMu.”

Oleh karena itu, tidak sepantasnya bagi dirimu untuk bermudah-mudahan di dalam memberikan doa, meminta pertolongan, dan menyembelih kepada selain Allah Ta’ala. Bagaimana bisa seseorang dianggap telah berhaji, sedangkan sekembalinya dari ibadah haji, ia masih tetap melakukan kesyirikan, mendatangi dukun, percaya ramalan, melakukan pesugihan, mengambil berkah dari kuburan, bebatuan, dan benda-benda keramat lainnya?! Bagaimana bisa seseorang yang telah memenuhi panggilan Allah Ta’ala  dengan berangkat berhaji lalu ia menjawab ajakan orang-orang yang melakukan ke-bid’ah-an dan ajaran-ajaran sesat yang ada. Bagaimana mungkin hal-hal seperti ini terjadi, sedang Allah Ta’ala telah memberinya kesempatan untuk mengunjungi rumahnya serta memenuhi panggilannya dengan berhaji?! Sungguh hal ini merupakan salah satu bentuk kufur nikmat yang paling besar. Kufur nikmat yang sudah sepantasnya dihindari oleh seorang muslim.

Wallahu a’lam bis-shawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

Diterjemahkan dari artikel yang ditulis oleh Syekh Muhammad Al-Hamood An-Najdi berjudul “Madza Ba’da Al-Hajj” (Apa Berikutnya Setelah Haji) dengan beberapa penyesuaian dan perubahan.


Sumber: https://muslim.or.id/85907-selepas-haji-apa-yang-harus-kita-lakukan.html

Hukum Jamuan Makan Sepulang Haji

Jama’ah haji yang pulang dari tanah suci biasanya mengadakan acara jamuan makan (walimah) atau sejenisnya ketika mereka tiba di tanah air. Bagaimana hukum mengadakan acara ini ?

Fatwa 1

Pertanyaan:

يا شيخنا … بارك الله فيكم.. و يوجد عندنا في الأزمنة المتأخرة عقد الوليمة بمناسبة السفر للحج فهل يمكن أن نعدها من العادات المباحة؟

Ya Syaikh, di zaman ini banyak orang yang mengadakan walimah ketika kembali dari safar dalam rangka ibadah haji. Apakah acara ini termasuk kebiasaan yang dibolehkan?

Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah menjawab:

إذا أصبح هذا شأنا مستمرا قد يؤاخذ تاركه:فهذا لا يجوز..أما إذا فعل تارة وتارة دون مثالا ذلك النكير لمن ترك:فأرجو أن لا بأس

Jika acara ini diadakan terus-menerus, atau kadang dicela orang yang tidak mengadakannya, maka ini tidak diperbolehkan. Namun bila diadakan kadang-kadang saja dan orang yang tidak melakukannya tidak tercela, maka mudah-mudahan tidak mengapa.

Sumber: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=5532

Fatwa 2

Pertanyaan:

جرت العادة عندنا أنّ الحاجَّ إذا أراد الذهاب إلى الحجِّ صنع طعامًا ودعا الأقارب والأحباب والجيران إليه، ويفعل الشيء نفسه عند عودته، وتسمّى هذه الدعوة عندنا بقولهم: «عشاء الحاجّ»، فنرجو منكم بيانَ حكم صنع هذا الطعام، وبارك الله فيكم

Sudah menjadi kebiasaan, jika seorang ingin pergi haji ia mengadakan acara makan-makan yang mengundang kerabat, teman, serta tetangga. Ia juga mengadakan acara yang sama ketika pulang dari haji. Acara ini oleh masyarakat kami biasa disebut ‘asyaa-ul hajj. Kami mohon penjelasan dari anda tentang hukum mengadakan acara ini.

Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah menjawab:

الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد:

Segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta, juga kepada keluarganya, sahabatnya serta saudaranya seiman hingga hari kiamat. Amma ba’du.

فالطعامُ المعدُّ عند قدومِ المسافر يقال له «النقيعة»، وهو مُشتقٌّ من النَّقْعِ -وهو الغبار- لأنّ المسافر يأتي وعليه غبارُ السفر، وقد صحَّ عن النبيِّ صَلَّى الله عليه وآله وسَلَّم: «أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً»(١)، والحديثُ يدلّ على مشروعية الدعوة عند القدوم من السفر(٢)، وقد بوّب له البخاري: «باب الطعام عند القدوم، وكان ابنُ عمرَ رضي الله عنهما يُفطِر لمن يغشاه»(٣)، أي: يغشونه للسلام عليه والتهنئة بالقدوم، قال ابن بطال في الحديث السابق: «فيه إطعام الإمام والرئيس أصحابَه عند القدوم من السفر، وهو مستحبٌّ عند السلف، ويسمَّى النقيعة، ونقل عن المهلب أن ابن عمر رضي الله عنهما كان إذا قدم من سفر أطعم من يأتيه ويفطر معهم، ويترك قضاء رمضان لأنه كان لا يصوم في السفر فإذا انتهى الطعام ابتدأ قضاء رمضان».

Acara makan-makan ketika datangnya orang yang safar disebut An Naqi’ah. Istilah An Naqi’ah dari kata dasar An Naq’u yang artinya debu. Karena orang yang safar biasanya terkena debu diperjalanan. Terdapat hadits shahih dari Nabi Shallalahu’alaihi Wasallam:

أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً

Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam datang ke Madinah, beliau menyembelih unta atau sapi betina” (HR. Bukhari no.2923 bab Ath Tha’am Indal Qudum)

Hadits ini juga menunjukkan bahwa mengundang orang untuk mendatangi An Naqi’ah itu disyariatkan (Lihat Aunul Ma’bud, 10/211). Imam Al Bukhari membuat judul Bab “Bab jamuan ketika ada musafir yang datang, Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma biasa menjamu makan orang yang datang kepadanya” (Fathul Baari, 6/194). Maksudnya, orang-orang yang mendatangi Ibnu Umar untuk memberi salam dan menyambut kedatangannya. Ibnu Bathal menjelaskan hadits di atas: “Hadits ini dalil disyariatkannya seorang imam atau pemimpin memberi jamuan makan bagi kaumnya ketika datang dari safar. Hukumnya mustahab menurut para salaf. Acara ini disebut An Naqi’ah. Dinukil riwayat dari Muhallab bahwa Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma jika beliau datang dari safar, ia menjamu makan orang yang mendatanginya lalu makan bersama mereka. Walaupun beliau memiliki hutang puasa Ramadhan karena baru saja safar, beliau tidak mulai membayar hutang puasa tersebut hingga jamuan makan selesai”.

هذا، ومذهبُ جمهورِ الصحابة والتابعين وجوبُ الإجابة إلى سائرِ الولائم، وهي على ما ذكره القاضي عياض والنووي ثمان(٤) منها: «النقيعة»، مع اختلافهم هل الطعام يصنعه المسافرُ أم يصنعه غيرُه له؟ ومن النصِّ السابقِ والأثرِ يظهر ترجيحُ القولِ الأَوَّل.

Demikianlah hukumnya. Lalu, madzhab jumhur sahabat dan tabi’in berpendapat wajibnya memenuhi undangan untuk semua jenis jamuan makan. Al Qadhi ‘Iyadh dan An Nawawi menyebutkan ada 8 jamuan yang wajib didatangi, salah satunya An Naqi’ah (Lihat Syarah Muslim, 9/171;Tuhfatul Maudud, 127; Nailul Authar, 6/238). Namun memang para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang membuat hidangannya, apakah si musafir ataukah orang yang menyambut dia? Namun berdasarkan nash hadits di atas dan berdasarkan atsar, nampaknya pendapat yang rajih adalah pendapat pertama.

أمَّا إعدادُ الطعام قبل السفر فلا يُعلم دخوله تحت تَعداد الولائم المشروعة؛ لأنها وليمة ارتبطت بالحجّ وأضيفت إليه، و«كُلُّ مَا أُضِيفَ إِلَى حُكْمٍ شَرْعِيٍّ يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ يُصَحِّحُهُ».

Adapun mengenai jamuan makan sebelum berangkat haji, aku tidak mengetahui bahwa ini adalah jamuan yang disyariatkan. Karena hal ini dikait-kaitkan dengan haji dan kaidah mengatakan “segala sesuatu yang dikaitkan dengan sebuah hukum syar’i, butuh dalil untuk membenarkannya“.

Sumber: http://www.ferkous.com/rep/Bh27.php

Fatwa 3

Pertanyaan:

ظاهرة تنتشر في القرى خاصة بعد عودة الحجاج من مكة يعملون ولائم يسمونها ” ذبيحة للحجاج ” أو ” فرحة بالحجاج ” أو ” سلامة الحجاج ” ، وقد تكون هذه اللحوم من لحوم الأضاحي ، أو لحوم ذبائح جديدة ، ويصاحبها نوع من التبذير ، فما رأي فضيلتكم من الناحية الشرعية ، ومن الناحية الاجتماعية

Suatu hal yang sedang marak dilakukan oleh orang-orang, khususnya orang desa, ketika mereka kembali dari ibadah haji di Mekkah, mereka mengadakan jamuan makan yang dinamakan Dzabihah Lil Hujjaj atau Farhah Bil Hujjaj atau Salamatul Hujjaj. Terkadang makanannya adalah daging sembelihan biasa, terkadang daging sembelihan model baru. Dan biasanya dalam acara ini banyak pemborosan. Bagaimana pandangan anda wahai Syaikh, baik dari segi syar’i maupun dari segi sosial?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab:

هذا لا بأس به ، لا بأس بإكرام الحجاج عند قدومهم ؛ لأن هذا يدل على الاحتفاء بهم ، ويشجعهم أيضاً على الحج ، لكن التبذير الذي أشرت إليه والإسراف هو الذي ينهى عنه ؛ لأن الإسراف منهي عنه ، سواء بهذه المناسبة ، أو غيرها ، قال الله تبارك وتعالى : ( وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ) الأنعام/141 ، وقال تعالى : ( إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ) الإسراء/27 ، لكن إذا كانت وليمة مناسبة ، على قدر الحاضرين ، أو تزيد قليلاً : فهذا لا بأس به من الناحية الشرعية ،

Tidak mengapa mengadakannya. Boleh melakukannya dalam rangka memuliakan para jama’ah haji ketika mereka datang, karena acara ini merupakan bentuk penyambutan bagi mereka. Selain itu dapat memacu orang untuk berhaji. Namun pemborosan, sebagaimana yang engkau ceritakan, inilah yang terlarang. Karena pemborosan itu dilarang agama, baik dalam acara seperti ini maupun dalam acara lain. Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Jangan kalian berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al An’am:141)

Allah Ta’ala juga berfirman:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

Sesungguhnya para pemboros itu saudaranya para setan” (QS. Al Isra: 27)

Bila jamuan makan ini hanya mengundang orang secukupnya atau lebih banyak sedikit, maka ini tidak mengapa (bukan pemborosan, pent.) dari segi syari’at.

ومن الناحية الاجتماعية ، وهذا لعله يكون في القرى ، أما في المدن فهو مفقود ، ونرى كثيراً من الناس يأتون من الحج ولا يقام لهم ولائم ، لكن في القرى الصغيرة هذه قد توجد ، ولا بأس به ، وأهل القرى عندهم كرم ، ولا يحب أحدهم أن يُقَصِّر على الآخر

Adapun dari segi sosial, sepertinya acara ini hanya ada di pedesaan saja, di perkotaan nampaknya sudah tidak ada lagi. Saya sudah sering melihat banyak orang datang dari haji namun mereka tidak mengadakan apa-apa. Namun di daerah pedesaan kecil memang terkadang masih kita jumpai, dan ini boleh-boleh saja. Orang pun desa memiliki keutamaan, dan tidak boleh meremehkan satu dengan yang lain.

(Liqaa Baabil Maftuh, kaset 154 pertanyaan no.12,  dikutip dari:http://www.islamqa.com/ar/ref/97879 )

Penyusun: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/7001-hukum-jamuan-makan-sepulang-haji.html

Dalam Ibadah Haji : Umat Islam Dipertemukan dalam Perbedaan Negara, Kultur dan Madzhab

Al Jazairi dalam Aisarut Tafasir li Kalamil Kabir (1/357) menulis, tidak pantas ilmu dan pengetahuan tentang syari’at-syari’at  Allah dijadikan medium propaganda dan perpecahan.

Setiap pengetahuan tentang ilmu pengetahuan agama, terutama dalam masalah-masalah furu’ yang memerlukan ijtihad, tidak sepatutnya dijadikan sebagai media propaganda dan perpecahan. Sebagaimana terjadinya pendapat dikalangan imam madhab fikih yang kerapkali berbeda pendapat tentang status hukum suatu persoalan.

Berkaitan dengan hal ini ibadah haji memberikan pelajaran penting kepada para jemaah, demikian pula seluruh umat Islam, yaitu ibadah haji sesungguhnya merupakan satu ibadah yang disepakati oleh seluruh umat Islam sebagai suatu perintah wajib bagi muslim yang telah memenuhi syarat namun praktek dari rangkaian ritual peribadatannya tidak sama.

Ketika jemaah haji berada di Madinah untuk melaksanakan sholat arba’in, misalnya, masing-masing jemaah dari berbagai negara bahkan dari asal negara yang sama berbeda cara mengekspresikan shalatnya. Perbedaan cara mengekspresikan shalat ini karena perbedaan madzhab yang dipedomani.

Di sini letak pelajaran ibadah haji bagi umat Islam, bahwa perbedaan cara atau teknis mengekspresikan ritual ibadah bisa berbeda karena perbedaan madzhab. Tetapi, tentu tidak mengurangi nilai ibadah haji itu sendiri. Sebab, esensi ibadah haji tetap terealisasi dengan makna yang sebenarnya walaupun berbeda cara dan teknis dalam prakteknya.

Tentu tidak hanya perbedaan cara mengekspresikan shalat saja, beberapa rangakaian pelaksanaan ibadah haji teknisnya juga bisa tidak sama antara satu kelompok muslim dari suatu negara dengan muslim dari negara lain. Namun, perbedaan seperti itu bukan untuk dipersoalkan melainkan menjadi kekayaan ajaran Islam yang memang tidak mempersoalkan perbedaan tersebut.

Di masa Nabi perbedaan cara mengekspresikan ibadah seperti itu juga seringkali terjadi. Termasuk perbedaan para sahabat ketika menafsirkan perkataan Baginda Nabi. Kisah paling masyhur adalah pada saat perang khandaq atau perang parit, Bani Quraidzah yang sebelumnya sepakat untuk berdamai dengan umat Islam berkhianat. Mereka bergabung dengan kafir Quraisy untuk memerangi Nabi dan umat Islam dalam perang khandaq.

Malaikat Jibril menemui Nabi memberitakan ihwal pengkhianat tersebut serta menyampaikan perintah untuk menyerbu dan memerangi Bani Quraidzah. Beliau kemudian memberangkatkan pasukan dan Sayyidina Ali sebagai panglimanya. Nabi berpesan kepada mereka: “Kalian jangan shalat ashar kecuali di Bani Quraidzah”.

Namun di tengah perjalanan ternyata waktu shalat ashar telah masuk. Sekelompok sahabat tetap memegang perkataan Nabi di atas, mereka tidak shalat ashar. Sebagian melaksanakan shalat ashar karena menurut mereka larangan Nabi tersebut supaya kaum muslimin mempercepat perjalanan dan tiba pada saat waktu ashar.

Singkat cerita, ketika telah kembali ke Madinah usai memerangi Bani Quraidzah, mereka menyampaikan perbedaan tersebut. Beliau tidak menegur salah satu dua kelompok tersebut, bahkan tidak ada Wahyu yang membenarkan salah satu di antara dua kelompok yaitu berbeda sudut pandang dalam memahami perkataan Nabi.

Dengan demikian, perbedaan seperti wajar dan tidak perlu memurtadkan atau menuduh sesat terhadap kelompok yang berbeda. Demikian pula pada saat pelaksanaan ibadah haji, perbedaan cara mengekspresikan ibadah tidak untuk dipersoalkan karena masing-masing memiliki hujjah.

Pelajaran lain dari pelaksanaan ibadah haji adalah sebagai pemberitahuan kepada manusia bahwa mereka memiliki perbedaan adat dan budaya. Umat Islam dari berbagai penjuru dunia memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan muslim dari negara lain. Namun satu hal bagi mereka, bahwa semua umat Islam yang melaksanakan ibadah haji adalah saudara seagama yang harus dihormati.

Di hadapan Allah semua manusia sama, tanpa terkecuali. Pakaian ihram menunjukkan persamaan dan tidak ada bedanya muslim dari kalangan manapun, dari suku dan etnis apa serta dari negara mana. Maka, bagi jamaah haji sesungguhnya yang penting bukan menilai perbedaan madhab fikih dalam pelaksanaan ritual ibadah haji, namun sejatinya adalah untuk saling mengenal satu dengan yang lain.

Begitulah, ibadah haji meninggalkan banyak pelajaran bagi umat Islam, terutama bagi jamaah haji. Hikmah dari ibadah haji tersebut sejatinya melekat dalam sanubari. Bagaimanapun, perbedaan adalah suatu kasih sayang dari Allah kita tidak bisa menghilangkannya. Seharusnya, aksi saling caci, saling tuding dan fitnah tidak terjadi kalau kita memahami perbedaan hukum fikih adalah biasa. Semoga momentum Idul Adha kali menjadi pelajaran berharga baki kita semua, terutama dalam hal merespon cara mengekspresikan teknis suatu ibadah

ISLAMKAFFAH

Jumlah Jamaah Haji Lansia Tahun Ini Terbanyak dalam Dekade Terakhir

Pada ibadah haji tahun ini, lonjakan lansia hampir mencapai 100 persen.

Jumlah jamaah haji lansia alami peningkatan setiap tahunnya. Pada ibadah haji tahun ini, lonjakan lansia hampir mencapai 100 persen.

Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) mencatat, lebih 61.000 lansia dari 209.782 jamaah haji yang tahun ini tiba di Arab Saudi. Ini merupakan angka lansia terbesar dalam 10 tahun terakhir penyelenggaraan ibadah haji.

Pada 2014, jumlah jamaah haji lansia pada angka 22.022. Jumlah ini terus meningkat menjadi 23.928 (2015), 25.471 (2016), dan 33.732 (2017). Sempat turun menjadi 32.499 pada 2018, lalu naik lagi pada angka 39.659 di 2019. Kalau melihat data ini, lonjakan lansia hampir mencapai 100 persen pada 2023.

“Sesuai dengan amanat UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU), jamaah haji Indonesia perlu mendapatkan pelayanan kesehatan,” kata anggota Amirul Hajj perwakilan dari Kementerian Kesehatan, Sundoyo, di Madinah, Selasa (4/7/2023).

Dalam rangka mendukung pelayanan kesehatan bagi jamaah, Kementerian Kesehatan pada penyelenggaraan haji 2023, telah merekrut 2.113 tenaga kesehatan. Mereka terdiri atas tenaga dokter, termasuk dokter spesialis, dan perawat.

Selain dokter dan perawat, ada juga Tenaga Promosi Kesehatan. Tugasnya, memberikan pelayanan di luar gedung dengan cara memberikan edukasi dan imbauan agar jamaah menjaga kesehatan dengan cara banyak minum dan makan makanan yang sehat.

“Kami juga siapkan pelayanan kesehatan di kloter, sektor, dan Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI), baik Makkah maupun Madinah. Disiapkan juga, pelayanan kesehatan pada Pos Kesehatan Arafah dan Pos Kesehatan Mina,” ujarnya.

Jika ada jamaah yang tidak dapat diberikan pelayanan kesehatan di KKHI karena peralatan kesehatan yang terbatas, Sundoyo memastikan mereka dirujuk ke RS Arab Saudi. Selama menjalani perawatan di RS Arab Saudi, jamaah akan didampingi oleh tenaga kesehatan Indonesia.

“Hal ini untuk memudahkan komunikasi antara pasien dengan tenaga kesehatan RS Arab Saudi,” ujarnya.

Layanan kesehatan yang disiapkan Kemenkes juga didukung dengan obat-obatan dan alat kesehatan, termasuk alat kesehatan habis pakai. Kementerian Kesehatan terus berkoordinasi dengan Kementerian Agama untuk memastikan jamaah haji mendapatkan hak akses terhadap pelayanan kesehatan dengan mutu yang baik.

“Penanganan kesehatan menjadi bagian dari usaha menjaga kesehatan jamaah,” ujarnya.

IHRAM

3 Adab saat Ditagih Hutang

Oleh: Siti Nur Alvianda
Mahasiswi Universitas Indraprasta PGRI
snalvianda@gmail.com

SAAD ada seseorang yang mengalami kesulitan atau meminta bantuan sebisa mungkin kita bantu, tidak tega untuk menolak atau membiarkannya begitu saja. Terutama kesulitan itu sedang dialami oleh teman dekat atau keluarga yang sangat kita kenal dengan baik. Normal saja kalau kita memiliki rasa ingin membantu semampu diri kita.

Naahh setelah kita meminjamkaan terkadang terjadi masalah pada si penghutang yang malah tidak tau diri ini, saat ingin meminjam kata-katanya sangat manis, tapi saat ingin ditagih malah sikapnya berubah seenaknya rasanya kesal hingga kesabaran ini memiliki batas rasanya. Sampai saat di mana kita sudah kehilangan kesabaran untuk menagihnya, bukannya dapat jawaban atau penjelasan baik-baik malah diomeli denan kata-kata tidak enak di hati.

Kalau sudah gitu muncul-lah perasaan dilema mau mengikhlaskan, tapi nominal yang dipinjamkan lumayan apa lagi buat mahasiswa yang belum bekerja. Mau diberi kesabaran sampai penghutang mau membayarnyaa, malah “makan hati”. Kalau sudah gini gimana dong?

Perlu segera kita cari solusi untuk keduanya, masalah perhutangan bukan suatu hal yang gampang, melainkan amat sangat pelik. Sebaiknya, untuk kamu yang ingin memberi hutang harus berpikir dua bahkan hingga tiga kali, jika memang ingin memberi pinjaman tidak ada salahnya untuk membuat perjanjian resmi di atas kertas terutama pada nominal yang cukup besar, tidak ada yang tahu akan resiko ke depannya bukan.

Untuk kamu yang ingin berhutang juga ada adab dan etikanya loh, apalagi buat kamu yang beragama islam. Sebenarnya sih, di dalam islam menganjurkan untuk kita menghindari yang namanya berhutang. Naumn, terkadang ada masa di mana kita harus terpaksa meminjam kepada orang lain atau berhutang. Ketika kamu berhutang tentu saja itu merupakan suatu kewajiban kamu untuk membayarnya, berikut adab-etika ketika kamu berhutang:

1 Adab saat Ditagih Hutang: Bayarlah sesuai dengan perjanjian yang sudah kamu janjikan

Jangan jadikan ucapan mu di awal sebuah kebohongan, bisa jadi itu awal dari orang-orang tidak ingin membantu kembali.

Jikalau memang belum bisa membayar pada saat itu, buat lah perpanjangan perjanjian dengan memberi kabar kepada orang yang kamu hutangi seperti “maaf yah, saya belum bisa membayar, namun akan saya usahakan secepatnya’.

2 Adab saat Ditagih Hutang: Jadikan hutang untuk membantu keberlangsungan hidup

Berhutang bisa diperbolehkan apabila memang kondisi kita sangat terdesak sehingga memaksa kita untuk berhutang.

Contohnya, ekonomi yang sedang sulit, keadaan kesehatan yang kurang baik, atau sesegera mungkin membayar pendidikan. Jangan jadikan berhutang dengan alasan untuk memenuhi gaya hidup, jikalau seperti itu bisa saja nantinya di akhir akan merugikan atau menyulitkan diri.

Dikutip dari HR Bukhari: “Barang siapa membawa harta orang lain dengan niat mengembalikannya, maka Allah akan mengembalikan untuknya. Barang siapa membawa harta orang lain dengan niat menghabiskannya, maka Allah akan menghabiskan harta itu (sehingga ia tidak dapat mengembalikannya).”

3 Adab saat Ditagih Hutang: Jangan marah saat ditagih

Terkadang, saat berhutang ada keadaan dimana kita belum bisa membayar uang atau hutang yang sudah kita pinjam. Sehingga, si pemilik tersebut menagihnya dan yaah itu wajar. Pemilik meminta hak miliknya.

Saat ditagih, alangkah baiknya tidak perlu membalasnya dengan amarah apalagi ketika sudah melewati tanggal yang kamu janjikan. Kamu bisa saja memberi alasan atau penjelasan dengan kata-kata yang baik saat seperti kamu meminjam harta hak miliknya.

Dengan begitu si pemberi pinjaman juga bisa dengan legowo memberi kelonggaran, jangan malah kamu yang lebih galak dari si pemberi hutang. Gunakan etika dan attitude yang baik, terutama pada persoalan pelik seperti hutang ini.

“Berikan kepadanya, karena sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik dalam membayar utang.” (HR. Bukhari-Muslim).

Demikian opini atau pendapat yang bisa saya berikan.

Semoga kita terhindar dan dijauhkan dari tipe penghutang yang lebih galak di saat ditagih hutangnya, jangan sampai juga kita ikutan menjadi penyulit atau beban di hidup orang lain. Jangan sampai kita ikutan berantakan di saat penghutang lebih galak di saat ingin meminjam uang. []

ISLAMPOS

3 Manfaat Menjawab Adzan dalam Hadis Rasulullah

Berikut ini adalah tiga manfaat menjawab adzan dalam hadis Rasulullah. Sudah maklum bahwa ketika kita mendengar adzan berkumandang, maka kita sangat dianjurkan untuk menjawabnya. 

Abuya sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitabnya Khosoisul Ummatil Muhammadiyyah menyebutkan. Bahwa diantara kemuliaan Umat Nabi Muhammad adalah adanya jaminan dari beliau bagi orang yang menjawab adzan. Berikut ini penjelasannya.

3 Manfaat Menjawab Adzan

Pertama, Nabi memberi kabar gembira dengan jaminan surga kepada orang yang menjawab kumandang adzan. Dari Umar bin Khattab beliau berkata bahwa Nabi bersabda:

‌إذا ‌قالَ ‌المُؤذِّنُ: ‌اللهُ ‌أكبرُ، ‌اللهُ ‌أكبرُ، قال أحدُكُم: ‌اللهُ ‌أكبرُ، ‌اللهُ ‌أكبرُ. فإذا قال: أشهدُ أن لا إلَهَ إلّا اللهُ، قال: أشهدُ أن لا إلَهَ إلّا اللهُ. فإذا قال: أشهدُ أنَّ محمدًا رسُولُ الله، قال: أشهدُ أنَّ محمدًا رسُولُ الله. ثُمَّ قال: حيَّ على الصَّلاةِ، قال: لا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلّا باللّه. ثُمَّ قال: حيَّ على الفَلاح، قال: لا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلّا باللّه. ثُمَّ قال: ‌اللهُ ‌أكبرُ، ‌اللهُ ‌أكبرُ، قال: ‌اللهُ ‌أكبرُ، ‌اللهُ ‌أكبرُ. ثُمَّ قال: لا إلَهَ إلّا اللهُ، قال: لا إلَهَ إلّا اللهُ، من قَلْبِهِ: دخَلَ الجنّةَ.

Artinya: “Apabila Muadzin mengatakan Allahu Akbar, Allahu Akbar maka jawablah oleh kalian Allahu Akbar, Allahu Akbar apabila muadzin berkata Asyhadu an lā ilaha illallah maka jawablah Asyhadu an lā ilaha illallah apabila muadzin berkata Asyhadu anna Muhammadar rasulullah.

 Jawablah; Asyhadu anna Muhammadar rasulullah kemudian bila muazzin berkata Hayya alas shalah Lā haula wa lā quwwata illah billah Kemudian apabila muadzin berkata Hayyaalal falāh jawablah Lā haula wa lā quwwata illah billah,

 Apabila muadzin berkata Allahu Akbar, Allahu Akbar jawablah ‌ Allahu Akbar, Allahu Akbar apabila muadzin berkata Lā ilaha illallah jawablah Lā ilaha illallah (artinya, tidak ada tuhan selain Allah didalam hatinya). Maka dia pasti masuk surga.

Kedua, Rasulullah Saw memberikan jaminan ampunan ketika orang yang menjawab adzan membaca zikir berikut ini. 

‌وأنا ‌أشهد ‌أن ‌لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدًا عبده ورسوله، رضيت بالله، عز وجل، ربا، وبالإسلام دينًا

Wa ana asyhadu an lā ilaha illallah wahdahu lā syarīka lahu, wa anna Muhammadan abduhu wa rasuluh radhitu billahiAzza wa Jalla Rabbā wa bil islāmi dīnā.

Artinya; “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, aku rela kepada Allah Azza wa Jalla duhai Tuhan dan aku rela kepada agama Islam.” 

Zikir ini berdasarkan hadist Rasulullah Saw;

عن عامر بن سعد ابن أبى وقاص، عن أبيه، أن رسول الله قال: (من قال حين يسمع المؤذن: ‌وأنا ‌أشهد ‌أن ‌لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدًا عبده ورسوله، رضيت بالله، عز وجل، ربا، وبالإسلام دينًا؛ غفر له)

Dari amir bin sa’id ibnu abi waqos, dari ayahnya. Nabi pernah bersabda “barangsiapa yang ketika mendengar adzan lalu membaca Wa ana asyhadu an lā ilaha illallah wahdahu lā syarīka lahu, wa anna Muhammadan abduhu wa rasuluh radhitu billahiAzza wa Jalla Rabbā wa bil islāmi dīnā, maka dia akan diampuni.

Ketiga, Nabi memberi jaminan  syafaat pada hari kiamat. Namun syafaat ini bisa didapatkan apabila dia menjawab adzan, shalawat kepada nabi, serta ber-tawassul kepada Nabi. Dari sini, dapat diketahui bahwa tiga syarat tersebut terangkum dalam doa setelah adzan. sebagaimana yang telah diketahui dari hadits.

جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولَ اللَّهِ (صلى الله عليه وسلم) : (‌مَنْ ‌قَالَ ‌حِينَ ‌يَسْمَعُ ‌النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ)

 Artinya; “Dari sahabat jabir bin abdullah beliau berkata, nabi bersabda: “barang siapa yang membaca doa ini ketika mendengar azan. Yaitu “Allahumma rabba hadzihid dawatit tāmmaah was shalatil qaimah āti Muhammadanil wasīlata wal fadhīlah wabatsu maqāman Muhammadanilladzi wa `adtah” maka akan turun untuknya syafa’at pada hari kiamat”.

Inilah 3 manfaat menjawab adzan dalam hadis Rasulull. Berdasarkan keterangan di atas, bahwa manfaat orang menjawab adzan akan mendapatkan jaminan dari Rasulullah. Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Islam Tidak Mengajarkan Politik Identitas

NU dan Muhammadiyah telah sepakat. Politik identitas harus dijauhi. Kesepakatan ini disampaikan oleh kedua Ketua Umum. Tepatnya saat pertemuan di Kantor PBNU, 25 Mei 2023. KH. Yahya Cholil Staquf menyatakan bahwa politik identitas hanya menyandarkan penggalangan dukungan berdasarkan identitas-identitas primordial tanpa ada kompetisi yang lebih rasional menyangkut hal-hal yang lebih visioner. Tidak jauh berbeda,  Prof. Haedar Nashir, menegaskan bahwa politik identitas identik dengan sentimen atas nama agama, ras, suku, golongan yang akhirnya membawa ke arah polarissi dan perpecahan di kalangan masyarakat.

Kesepakatan dua Ormas Keagaman yang menopang lahir dan berdirinya Republik Indonesia ini tentu bukan pepesan kosong. Tetapi berdasarkan keprihatinan yang mendalam. Merasakan imbas buruk hajatan politik yang menggunakan simbol-simbol identitas, salah satunya identitas agama. Simbol agamanya hanya digunakan sebagai strategi meraup kemenangan. Meraih kekuasaan sementara. Padahal, di akar rumput, dampat polarisasinya tidak mudah disembuhkan.  Tentu, Islam tidak mengajarkan perpecahan. Apalagi permusuhan.

Sebagai contoh sederhana, hasil penelitian Merit PPIM UIN Jakarta, 2020, merilis bahwa di tahun-tahun politik, narasi politis yang menggunakan simbol-simbol agama di kanal Twitter mengalami peningkatan signifikan. Identitas agama digunakan untuk saling menjatuhkan dan mendelegitimasi lawan.

Lebih dari itu, menguatkan solidaritas kelompok pendukungnya semata. Data yang dikumpulkan sepanjang tahun 2009-2019 menunjukan bahwa penggunaan simbol dan diksi keagamaan dan politik naik berlipat ganda di tahun 2014 dan 2019.  Data ini seakan mengiyakan keprihatinan NU dan Muhammadiyah di atas. Jika ini dibiarkan, tentu masyarakat akan terbelah, terpecah belah, dan terkotak-kotak dalam sekat sempit perebutan kekuasaan yang tidak sehat.

Islam Tidak Mengajarkan Perpecahan

Karena itu, penting kiranya kita menengok kembali ajaran-ajaran mulia Islam yang mengedapankan cinta persatuan. Agama telah memberikan panduan hidup untuk mengelola perbedaan di muka bumi ini. Bahkan jelas ditegaskan bahwa perbedaan itu merupakan sunnatullah. Perbedaan warna kulit, bahasa, suku, dan agama adalah ketentuan Allah ta’ala.

Dalam surat al-Rum ayat 22, Allah berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (الروم: 22)

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S: al-Rum: 22)

Dalam kitab Tafsir al-Wajiz, Syaikh Wahbah al-Zuhaili (1932-2015) menjelaskan bahwa orang yang berakal dan berilmu akan dapat memahami bahwa keragaman bahasa dan warna kulit adalah niscaya. Keragaman ini merupakan tanda kemahakuasaan Allah. Beragam sistem bahasa dengan kerumitan dan kekhasannya masing-masing tidak mungkin ada tanpa adanya kekuasaan Allah ta’ala.

Demikian halnya, penciptaan langit dan bumi. Tanpa kekuasaan Allah, langit tidak mungkin dapat berdiri kokoh, meskipun tanpa tiang penyangga. Semua ini tidak lain sudah dikehendaki oleh-Nya. Perbedaan tidak dapat dimungkiri. Serta tidak mungkin diseragamkan.

Di dalam ayat lain, dijelaskan bahwa seandainya Allah swt menjadikan manusia seisi bumi ini beriman, tentunya mudah saja. Akan tetapi hal ini tidak menjadi kehendak-Nya. Terbukti, hingga kini, peradaban manusia memiliki keragaman bahasa, budaya, agama, dan kepercayaan. Karena itu, tidak perlu kiranya dalam kehidupan sehari-hari kita menjadikan perbedaan warna kulit dan kepercayaan sebagai bahan untuk saling mengejek dan merendahkan. Sebaliknya, kita berupaya menemukan hikmah dan pelajaran di balik  keragaman tersebut.

Terkait hal ini, Allah ta’ala berfirman:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (يونس: 99)

Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Q.S. Yunus: 99)

Imam Ibnu Katsir (700-774 H) dalam kitab Tafsir Ibni Katsir menjelaskan bahwa ketentuan ini tidak lepas dari adanya hikmah dan keadilan Allah ta’ala. Manusia di muka bumi ada yang beriman, ada pula yang tidak. Para Rasul hanya diperintahkan untuk mengajak, sedangkan hidayah adalah milik Allah ta’ala. Karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk memaksakan dan menyeragamkan kepercayaan. Demikian halnya, perbedaan dan keragaman Indonesia tidak semestinya dijadikan sebagai benih perpecahan dan saling memaksakan.

Dari titik ini, dapat kita pahami bahwa keragaman dan perbedaan warna kulit, suku, dan agama tidak lain adalah sunnatullah. Tinggal bagaimana kita dapat mengelola keragaman ini menjadi titik tolak untuk saling berlomba dalam kebaikan. Perbedaan menjadi media untuk saling mengenal dan bekerja sama. Bukan untuk saling mencela dan merendahkan. Indonesia tidak akan dapat menjadi negara maju jika tanpa didasari dengan semangat persatuan. Maka dari itu, sesama anak bangsa harus mengedepankan rasa saling menghormati dan menghargai. Termasuk menghargai pilihan dan sikap politik.

3 Ukhuwah yang Harus Dijaga

Islam melalui keteladanan Rasulullah saw menekankan urgensi hubungan kasih sayang dengan sesama manusia. Karena itu, ukhuwah merupakan salah satu ajaran sentral dalam Islam. Secara garis besar, persaudaraan terbagi ke dalam tiga cakupan. Ketiganya ialah ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariah.

Istilah ukhuwah islamiyah menunjukkan makna persaudaraan antar sesama Muslim, tanpa melihat perbedaan warna kulit, bahasa, suku, bangsa dan kewarganegaraan. Pengikat persaudaraan ini adalah kesamaan keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Setiap Muslim wajib menjaga dan mewujudkan ukhuwah islamiyah dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan pendapat, organisasi, bahkan pilihan politik antar sesama Muslim tidak sewajarnya jika harus mengorbankan tali silaturahmi. Atau bahkan saling bermusuhan dan merendahkan.

Dalam surat al-Hujurat ayat 11 dan 12 dijelaskan enam sikap dan perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. Larangan ini erat kaitannya dengan hakikat makna ukhuwah islamiyah. Mulai dari larangan memperolok-olok orang lain, mencaci orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan dan menghina, memanggil orang lain dengan sebutan yang tidak disukai, berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan saling menggunjing.

Sedangkan ukhuwah wathaniyah dapat terlihat dari cara atau upaya yang dilakukan Rasulullah ketika menyatukan karakteristik masyarakat Madinah yang heterogen. Rasulullah saw membuat konstitusi berdasarkan konsensus dari berbagai kelompok dan suku. Konsensus yang disusun oleh Rasulullah saw itu dikenal dengan Piagam Madinah. Yakni undang-undang dasar yang mengikat anggota masyarakat Madinah. Perbedaan suku, golongan, agama dan kepercayaan tidak menjadi penghalang untuk bekerja sama menjaga keamanan bersama.

Mengenai ukhuwah basyariah, al-Qur’an menyatakan bahwa semua manusia berasal dari satu keturunan, yaitu Adam dan Hawa. Dengan demikian, semua manusia adalah bersaudara, karena mereka memiliki asal-usul yang sama. Hingga kini, meskipun manusia mendiami lima benua yang berbeda, tetapi hakikatnya mereka adalah saudara. Sama-sama sebagai keturunan Adam dan Hawa. Karena faktor lingkungan hidup yang berbeda, mereka memiliki warna kulit, bahasa, dan budaya yang berbeda.

Dalam surat al-Nisa ayat 1, Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا  (النساء: 1)

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari pandanya, Allah menciptakan istrinya. Dan dari keduanya, Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan jagalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. al-Nisa’: 1)

Dari titik ini, dapat kita garis bawahi bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan persatuan dan persaudaraan. Perbedaan identitas bukanlah alat untuk berebut kekuasaan. Di balik keragaman yang menjadi sunnatullah, semangat persatuan dan persaudaraan harus senantiasa dikedepankan.

Jika hal ini dapat disadari dan dipraktikkan dengan baik oleh umat Islam, niscaya Islam akan mengejawantah menjadi rahmat bagi alam semesta. Demikian halnya, dengan semangat persatuan dan persaudaran ini, bangsa Indonesia akan semakin maju dan bermartabat. Termasuk dalam ranah membangun tata kelola politik dan demokrasi. Semoga.

Demikian penjelasan terkait Islam tidak mengajarkan politik identitas. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Seorang Muslim dalam Hal Bersuci (Bag. 3)

Kedua puluh dua: Berhati-hati dari gangguan waswas tatkala wudu dan salat

Perasaan waswas terkadang dirasakan oleh mereka yang sedang wudu ataupun salat. Saat itu, yang wajib dilakukan oleh seorang muslim adalah tidak terlalu mempedulikan hal tersebut dan tidak menggubrisnya sehingga ia tidak menjadi tawanan bagi rasa waswas tersebut. Lihat bagaimana Nabi memberikan petunjuk kepada sahabat.

Sering kita jumpai, mereka yang diberi ujian terkena penyakit waswas akhirnya membutuhkan waktu lama untuk berwudu, terus mengulangi wudunya hingga berkali-kali. Rasa waswas ini terkadang juga muncul dalam bentuk banyaknya keraguan, apakah ia telah membasuh bagian kakinya ataukah belum? Apakah ia sudah mengusap kepalanya ataukah belum? Dan keraguan-keraguan lainnya. Waswas ini terkadang juga muncul dalam bentuk perasaan keluarnya kentut atau keluarnya sisa air kencing dan lain sebagainya.

Saat seorang muslim mengetahui bahwa waswas berasal dari setan, maka wajib baginya untuk tidak terlalu memperhatikan hal-hal tersebut. Menyingkir dari ketundukan kepada setan dalam hal tersebut sehingga setan tidak dapat menguasai dirinya. Lihatlah bagaimana Nabi memberikan petunjuk kepada sahabat yang mengeluhkan penyakit waswas di saat sedang melaksanakan salatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

“Janganlah dia membatalkan salatnya, sampai dia mendengar suara kentut atau mencium baunya.” (HR. Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)

Kedua puluh tiga: Tidur membatalkan wudu

Tidur membatalkan wudu seseorang, baik durasinya lama ataupun hanya sebentar, apabila telah hilang kesadaran dari diri orang tersebut. Para ahli fikih mengecualikan kondisi kantuk ringan dalam posisi duduk, maka hal tersebut tidak membatalkan wudu.

Dalam hal ini, seorang muslim seharusnya berhati-hati, saat merasa tertidur pulas hendaknya ia mengambil air wudu kembali, meskipun tidurnya tersebut dalam kondisi duduk ataupun berdiri.

Kedua puluh empat: Hal-hal yang mewajibkan mandi besar

Pertama: Junub

Dan itu mencakup 2 hal: 1) keluarnya air mani baik dalam kondisi sadar ataupun tidak. 2) Jima’ (hubungan suami istri), meskipun air mani tidak keluar. Selama telah bertemu antara dua kemaluan (kemaluan laki-laki dan kemaluan perempuan), maka wajib untuk mandi besar setelahnya.

Termasuk kesalahan adalah menganggap keluarnya air mani sebagai satu-satunya sebab wajibnya mandi besar. Sebagian laki-laki mendatangi istrinya, lalu jika ia tidak mencapai klimaks (keluarnya air mani), ia tidak mandi besar, dan begitu pula istrinya.

Ketahuilah wahai saudaraku, sekadar bertemunya dua kemaluan, maka itu sudah mewajibkan mandi besar. Sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua: Haid dan nifas bagi perempuan.

Jika seorang perempuan haid atau nifas, maka ia tidak melaksanakan salat dan tidak pula berpuasa. Saat ia telah suci, maka diwajibkan baginya untuk mandi besar dan meng-qadha puasanya yang tertinggal. Adapun salat, maka tidak perlu di-qadha.

Ketiga: Meninggalnya seseorang bukan dalam kondisi syahid di medan perang.

Keempat: Masuk Islamnya orang kafir.

Kedua puluh lima: Perbedaan mani dan madzi

Air mani adalah air yang keluar dengan memuncrat dan diiringi rasa lezat setelahnya. Adapun madzi, maka ia merupakan cairan yang mengalir, lengket (cenderung bening), keluar karena dipicu adanya syahwat, dan seringkali tidak terasa saat keluar.

Hukum air mani adalah suci. Hanya saja dengan keluarnya air mani tersebut, maka mewajibkan mandi besar. Adapun madzi, maka hukumnya adalah najis. Dengan keluarnya madzi, maka ia wajib untuk ber-istinja’ (membersihkan kemaluannya). Wajib juga baginya untuk mengambil wudu kembali. Berbeda dengan mani, madzi tidak mewajibkan mandi besar.

Kedua puluh enam: Mukmin itu tidaklah najis

Mukmin itu tidaklah najis, meskipun ia dalam kondisi junub sekalipun. Sedangkan orang musyrik, maka ia dalam kondisi najis, meskipun telah mandi dengan seluruh air yang ada di muka bumi.

Suatu ketika Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di salah satu jalan di Madinah, sedangkan ia dalam keadaan junub. Maka, dia menyelinap dan mengelakkan diri dari bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pergi untuk mandi. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mencari-carinya. Ketika ia datang kembali, beliau pun bertanya, “Ke mana kamu pergi wahai Abu Hurairah?” Dia (Abu Hurairah) menjawab, “Wahai Rasulullah! Kamu ingin menemuiku, sedangkan aku dalam keadaan junub. Aku merasa tidak suka untuk duduk bersama kamu hingga aku mandi.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

“Mahasuci Allah! Orang mukmin itu tidaklah najis.” (HR. Muslim no. 371)

Oleh karena itu, saat seorang mukmin baik laki-laki maupun perempuan sedang berhadas besar, maka tidak dikatakan najis atau ada najis padanya. Akan tetapi, dikatakan bahwa dirinya ‘sedang berhadas’.

Untuk perempuan pun juga demikian, dikatakan kepadanya ‘ia sedang berhadas’ atau ‘sedang ada halangan’ ataupun yang semisal dengan keduanya.

Kedua puluh tujuh: Disunahkan untuk menyegerakan mandi besar dan tidak mengakhirkannya

Saat seseorang berkewajiban untuk mandi besar lalu ingin mengakhirkannya, maka petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah memperingan hadas-nya dengan berwudu sembari tetap harus mandi besar setelahnya. Hal ini kadang kala dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan seperti itulah yang beliau ajarkan.

Adapun mengakhirkan mandi besar sampai keluar dari waktu salat yang telah diwajibkan kepada kita, maka hal ini tidak diperbolehkan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَوْقُوتا

“Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103)

Kedua puluh delapan: Perempuan yang haid, apabila telah suci, maka wajib baginya untuk menyegerakan mandi. Sehingga ia bisa melaksanakan salat wajib yang belum keluar waktunya, karena salat tersebut wajib bagi dirinya. Dikarenakan ia telah mendapati waktunya dalam kondisi telah suci.

Kedua puluh sembilan: Tayamum menggantikan posisi wudu dan mandi besar

Kapan itu? Yaitu, ketika memiliki uzur yang diterima oleh syariat. Bisa berupa ketidaktersediaan air ataupun ketidakcukupannya. Bisa juga karena akan timbulnya bahaya jika menggunakan air ataupun dugaan terjadinya bahaya ketika menggunakan air. Bisa juga karena ketidakmampuan seseorang di dalam menggunakannya.

Adapun terkait orang sakit yang masih bisa berwudu, namun kesulitan apabila harus berwudu di setiap salat, maka dikatakan kepadanya untuk tidak meninggalkan wudu dan dimungkinkan bagi dirinya untuk menjamak salat zuhur dan asar, dan juga menjamak salat magrib dan isya.

Bahkan, dibolehkan juga untuk menjamak salat zuhur dan asar secara jamak ta’khir (di waktu asar) serta menjamak salat magrib dan isya di waktu magrib (dengan niat jamak taqdim).

Jika ia mencukupkan diri dengan apa yang disebut jamak shaurii (secara bentuk saja), apabila dilakukan ketika membutuhkannya, maka menurut ahli fikih hal itu merupakan kebaikan. Caranya adalah dengan salat zuhur di akhir waktunya lalu kemudian salat asar di awal waktunya, begitu pula salat magrib dan salat isya.

Umumnya menjamak salat yang memang diperbolehkan untuk dijamak hukumnya adalah sah, dan hal tersebut kita lakukan memang ketika sedang menghadapi kesulitan.

Ketiga puluh: Cara tayamum yang benar

Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu bercerita,

بَعَثَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ ، فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ ، فَتَمَرَّغْتُ فِى الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka, aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas beliau mengatakan, ‘Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini.’ Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)

Ketiga puluh satu: Yakin berhadas dan ragu apakah masih dalam kondisi suci atau tidak

Siapa yang yakin telah berhadas dan ragu apakah masih dalam kondisi suci ataukah tidak, maka ia harus menganggap dirinya dalam kondisi berhadas. Konsekuensinya, ia harus berwudu atau mandi besar tergantung hadas apa yang telah diyakininya. Contohnya adalah seseorang yang yakin telah kentut lalu kemudian dia ragu apakah sudah berwudu setelahnya atau belum? Pada kasus seperti ini, kita katakan kepadanya untuk berwudu.

Kaidah fikih dalam permasalahan ini berbunyi,

الْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ

“Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan.”

Berdasarkan kaidah di atas, seseorang yang yakin akan kesucian dirinya dan ragu apakah sudah berhadas ataukah belum, maka ia dinilai masih dalam kondisi suci. Contoh kasusnya, apabila ada seseorang yang yakin telah berwudu di waktu magrib dan ketika datang waktu isya ia ragu apakah sudah kentut ataukah belum, maka dikatakan kepadanya, “Engkau masih dalam kondisi suci.”

Wallahu a’lam bis-shawab.

Kembali ke bagian 1: Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Seorang Muslim dalam Hal Bersuci (Bag. 1)

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85476-hal-hal-yang-harus-diperhatikan-seorang-muslim-dalam-hal-bersuci-bag-3.html

Kisah Kesabaran Nabi Ayyub yang Luar Biasa (2-Habis)

LALU Iblis pergi menemui Nabi Ayyub a.s yang sedang berdiri menunaikan solat di dalam rumah ibadatnya. Kata Iblis: “Apakah engkau tetap menyembah dia Tuhanmu dalam keadaanmu yang kritis ini. Sesungguhnya dia tuhanmu telah menuangkan api dari langit yang memusnahkan kekayaanmu sehingga semuanya menjadi abu?”

Nabi Ayyub a.s tidak menjawabnya sampai dia selesai solatnya, lalu berkata; “Alhamdulilah, Dia yang telah memberikan kurnia lalu mengambilnya pula dari saya.”

Lalu dia bangkit kembali memulai solatnya.

Maka Iblis pun kembali dengan tangan hampa, serta merasa terhina dan menyesali terhadap kegagalannya .

Dan Nabi Ayyub a.s itu mempunyai 14 anak, 8 orang lelaki dan 6 orang perempuan. Mereka makan setiap harinya di rumah-rumah saudaranya. Maka berkumpullah para setan dan menggelilingi rumah itu serta melemparkan kepada anak-anak Nabi Ayyub sehingga mereka itu mati semuanya di satu meja makan.

Maka Iblis pergi kepada Nabi Ayyub a.s sedangkan dia (Nabi Ayyub a.s) dalam keadaan berdiri menunaikan solat. Kata Iblis:” Apakah engkau tetap menyembah tuhanmu dan sesungguhnya Dia telah melepar ke rumah dimana anak-anakmu berada, sehingga mereka mati semuanya?”

Nabi Ayyub a.s tidak menjawab sedikit pun, sampai dia selesai mengerjakan solatnya.

Lalu Nabi Ayyub a.s berkata: “Hai, Iblis terkutuk, Alhamdulilah, Dia telah memberi dan mengambilnya pula dari saya. Semua harta dan anak adalah fitnah untuk untuk lelaki dan wanita, maka dia (Allah) mengambil dari saya, sehingga saya dapat bersabar lagi tenang untuk beribadah kepada Tuhan saya.”

Iblis pun kembali dengan tangan hampa, rugi besar dan terkutuk.

Lalu Iblis datang kembali, sedang Nabi Ayyub a.s sedang mengerjakan solat. Maka ketika Nabi Ayyub a.s sujud , Iblis meniupkan di hidung dan mulutnya sampai badan Nabi Ayyub a.s berkembang dan berpeluh yang banyak sekali dan dia merasa badannya menjadi berat.

Berkata isterinya Siti Rahmah: “Ini semua adalah dari sebab kesusahanmu terhadap harta yang telah musnah dan anak-anak yang telah mati, sedangkan engkau tetap beribadah di waktu malam dan berpuasa di siang hari tanpa henti-hentinya. Walaupun sesaat, dan engkau masih lagi tidak merasa cukup.”

Lalu Nabi Ayyub a.s terkena penyakit kudis pada seluruh tubuhnya, mulai dari kepala sampai ke kakinya, bahkan mengalir dari badannya darah bercampur nanah serta berulat yang berjatuhan dari kudis di badannya. Sampai-sampai sanak-keluarganya dan teman-temannya menjauhkan diri daripadanya.

Nabi Ayyub a.s mempunyai 3 orang isteri, maka yang 2 isteri menuntut cerai dan dia pun menceraikannya dan tinggal tinggal satu saja isterinya iaitu Rahmah yang selalu melayani siang dan malam.

Kemudian datanglah para wanita tetangganya seraya berkata: “Hai Rahmah, kami semua takut kalau penyakit suamimu Ayyub akan menjalar kepada anak-anak kami. Maka keluarkan dia dari lingkungan kita bertetangga ini, dan kalau tidak maka kami akan mengeluarkan engkau dari sini dengan cara paksa!”

Maka Siti Rahmah pergi dengan bungkusan pakaiannya, serta membawa Nabi Ayyub a.s. Dia mengendong Nabi Ayyub a.s di punggungnya sedangkan air mata mengalir di pipinya serta serta pergi jauh sambil menangis ke bekas rumah yang sudah rusak yang dijadikan tempat pembuangan sampah dan meletakkan Nabi Ayyub a.s di atas sampah.

Lalu keluarlah penduduk desa itu dan mereka melihat keadaaan Nabi Ayyub a.s maka mereka berkata: “Bawalah suamimu itu jauh-jauh dari kami, kalau tidak maka kami akan bawakan anjing-anjing kami memakannya.”

Siti Rahmah pun membawanya sambil menangis ke tempat yang jauh dan pergi ke sebuah desa, maka Nabi Ayyub a.s memanggilnya: “Kembalilah engkau dan saya berpesan kepadamu, seandainya engkau hendak pergi bebas dariku dan akan meninggalkan aku di sini.”

Kata Siti Rahmah: “Engkau jangan kuatir wahai suamiku sesungguhnya saya tidak akan meninggalkan engkau selama hayat dikandung badan.”

Siti Rahmah lalu pergi ke sebuah desa dan bekerja setiap hari memotong roti dan dia dapat memberi makan suaminya Nabi Ayyub a.s . Maka mereka tidak mau lagi memberinya pekerjaan, bahkan mereka berkata: “Pergilah engaku jauh-jauh kerana sesungguhnya kami merasa jijik kepada mu .

Maka Siti Rahmah menangis dan berdoa: “Ya. Tuhanku, engkau telah melihat keadaanku ,sesungguhnya terasa sempit dunia ini bagiku sedang orang-orang telah merendahkan kami di dunia ini, maka janganlah Engkau kiranya Engkau mengusir kami dari Rumah Engkau kelak di hari Kiamat.”

Adalah Nabi Ayyub a.s tiap-tiap ada ulat yang jatuh dari badannya diletakkan kembali di badannya, dan dia berkata: “Makanlah olehmu semua apa-apa yang telah direzekikan kepadamu oleh Allah Taala.”

Maka tidak tertinggal dagingnya dan hanyalah tinggal tulang belulang, yang dilapisi kulit dengan jaringan saraf saja yang kelihatan. Apabila matahari menyinarinya, maka sinar itu seakan-akan tembus bagian belakangnya. Dan yang tinggal dari bagian badannya yang tetap utuh adalah hatinya dan lidahnya. Hatinya tidak pernah kosong dari rasa syukur kepada Allah dan lidahnya tidak diam dari berzikir kepada Allah. Diriwayatkan yang Nabi Ayyub a.s mengalami sakit seperti itu selama 18 tahun.

Pada satu hari Siti Rahmah berkata kepada Nabi Ayyub a.s: “Engkau seorang Nabi yang mulia terhadap Tuhanmu, seandainya engkau berdoa kepada Allah Taala supaya Allah menyembuhkanmu?”

Kata Nabi Ayyub a.s kepada Siti Rahmah: “Berapa lama kita telah hidup senang?”

Kata Siti Rahmah: “Dua puluh delapan tahun.”

Kata Nabi Ayyub a.s: “Sesungguhnya saya merasa malu kepada Allah Taala untuk meminta kepada-Nya, sebab waktu cobaan-Nya belum memadai jika dibandingkan masa senangku.”

Pada ketika di badan Nabi Ayyub a.s sudah tidak ada lagi daging yang akan dimakan, maka ulat-ulat itu saling memakan di antara mereka , hingga akhirnya tinggal dua ekor ulat, yang selalu berkeliaran di badan Nabi Ayyub a.s dalam usaha mencari makan daging, tidak mereka dapatkan kecuali hati dan lidahny .

Maka yang satu pergi ke hati dan memakan hatinya dan yang lainnya pergi ke lidah dan mengigitnya. Di saat itulah Nabi Ayyub a.s berdoa kepada Tuhannya seraya berkata; ” Sesungguhnya aku telah ditimpa bahaya yang dahsyat, sedang Engkau Dzat yang Maha Pengasih.”

Hal ini tidaklah termasuk dalam kategori keluh kesah dan tidak pula dia bererti keluar dari golongan yang sabar.

Oleh kerana itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya dia Kami dapatkan sebagai orang yang sabar.” Karena sesungguhnya Nabi Ayyub a.s tidak bersusuh hati terhadap hartanya dan anak-anaknya yang telah hilang musnah, bahkan dia merasa susuh kerana cepat terputus dari bersyukur dan berzikir kepada Allah Taala  Maka seakan-akan dia berkata:” Tuhanku aku bersabar atas segala ujianmu selama hatiku masih sibuk untuk bersyukur kepadaMu dan lidahku masih dapat berzikir kepadaMu, dan apabila keduanya itu telah rosak ( hilang) daripadaku, bererti terputuslah cintaku keduanya itu, sedangkan Engaku Dzat yang Maha pengasih dan Lagi Penyayang.”

Kemudian Allah Taala memberikan wahyu kepadanya: “Wahai Ayyub, lidah, hati dan ulat adalah milikKu, sedangkan rasa sakitpun milikKu, apa artinya susah?” Diterangkannya pula: “Sesungguhnya ada 70 orang Nabi meminta, seperti halmu ini daripadaKu dan Aku hanya memilih engkau sebagai tambahan kemuliaanmu, dan ini hanya bentuk lahirnya saja bencana, akan tetapi hakikatnya adalah cinta-kasih.”

Dan sesungguhnya Nabi Ayyub a.s merasa susah kalau hati dan lidahnya dimakan ulat kerana selalu sibuk bertafakkur dan berzikir kepada Allah taala, kalu keduanya dimakan, maka dia tidak dapat lagi untuk bertafakkur dan berzikir kepada-NYA.

Lalu Allah Taala menjatuhkan kedua itu dari diri Nabi Ayyub a.s maka yang jatuh ke di air kelak menjadi lintah yang dapat menyebabkan orang sakit kekurangan darah, dan yang satu lagi jatu di darat yang kelak menjadi lebah yang mengeluarkan madu yang mengandungi ubat untuk manusia.

Kemudian datanglah malaikat Jabril a.s dengan membawa buah delima syurga.

Kata Nabi Ayyub a.s ; “Ya Jabril , apakah Tuhanku masih ingat kepadaku?”

Kata Jabril “Ya, dan Dia mengirimkan salam kepadamu, serta menyuruhmu memakan kedua buah delima ini, maka akan sembuh normal daging dan tubuhmu.”

Ketika Nabi Ayyub a.s memakan kedua delima itu, Jibril berkata lagi : ” Berjalanlah dengan kedua kakimu.”

Maka Nabi Ayyub a.s pun berdiri dengan izin Allah!. Maka Nabi Ayyub a.s memukul kakinya yang kanan ke tanah, sehingga keluarlah air hangat dan dia lalu mandi dengan air itu, kemudian dari kakinya yang kiri terpancarlah air dingin sehingga ia minum dari air tersebut. Kemudian hilanglah segala penyakitntya, baik bagian luar maupun dalam. Dan tubuhnya Nabi Ayyub a.s lebih gagah dan tegap semula, wajahnya lebih bersinar daripada bulan purnama. []

(Rujukan : Daratun Nasihin, oleh Usman Alkhaibawi)

ISLAMPOS