Hukum Mendahulukan Orang Tua Haji

Berikut ini penjelasan terkait hukum mendahulukan orang tua haji. Syariat Islam memerintahkan setiap umat Muslim untuk melaksanakan ibadah wajib haji sebagai rukun Islam yang ke lima. Maka jelas bagi orang yang sudah memiliki kemampuan untuk haji, maka harus segera mendaftar haji, jangan sampai ditunda-tunda.

Sebagaimana sabda Nabi SAW:

عَجِّلُوا الْخُرُوجَ إِلَى مَكَّةَ , فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ مِنْ مَرَضٍ أَوْ حَاجَةٍ

Segerkanlah berangkat ke kota Mekah (untuk haji), karena kalian tidak tahu, barangkali akan ada halangan sakit atau kebutuhan lainnya. (HR. Abu Nua’im dalam al-Hilyah, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan dihasankan al-Albani dalam Sahih al-Jami’, No. 3990).

Namun ketika sudah berkeinginan kuat untuk melaksanakan ibadah haji, akan tetapi dananya ternyata terbatas, sedangkan orangtua sendiri juga belum melaksanakan ibadah haji, ini seringkali menjadikan seseorang dilema.

Satu sisi sang anak yang belum pernah haji masih terkena beban menjalankan rukun Islam yang kelima tersebut. Namun di sisi yang lain, ia juga berkeinginan membahagiakan orang tuanya. Lantas manakah yang lebih utama didahulukan? Mendahulukan haji pribadi atau membiayai haji orang tua?

Hukum Mendahulukan Orang Tua Haji

Sebagaimana yang dijelaskan dalam khazanah Fiqih Mazhab Syafi’i, orang yang memiliki kemampuan fisik dan finansial, berkewajiban melaksanakan haji, tapi ia tidak diharuskan berhaji secepatnya, boleh ia tunda di tahun-tahun mendatang dengan syarat adanya tekad kuat untuk melaksanakannya dan tidak ada dugaan kegagalan disebabkan suatu hal misalkan lumpuh atau kebangkrutan.

Oleh karenanya, dalam konteks ini sah-sah saja bagi sang anak untuk memilih antara mendahulukan hajinya sendiri atau menghajikan orang tuanya, sebab tidak ada kewajiban baginya untuk menyegerakan haji pribadi. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan:

 وَهُمَا عَلَى التَّرَاخِي بِشَرْطِ الْعَزْمِ عَلَى الْفِعْلِ بَعْدُ وَأَنْ لَا يَتَضَيَّقَا بِنَذْرٍ أَوْ خَوْفِ عَضْبٍ أَوْ تَلَفِ مَالٍ بِقَرِينَةٍ وَلَوْ ضَعِيفَةً كَمَا يُفْهِمُهُ قَوْلُهُمْ لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الْمُوَسَّعِ إلَّا إنْ غَلَبَ عَلَى الظَّنِّ تَمَكُّنُهُ مِنْهُ أَوْ بِكَوْنِهِمَا قَضَاءً عَمَّا أَفْسَدَهُ

“Haji dan umrah (kewajibannya) bisa ditunda, dengan syarat tekad yang kuat mengerjakannya dan tidak menjadi sempit dengan nadzar, kekhawatiran lumpuh atau rusaknya harta dengan sebuah tanda-tanda meski lemah, sebagaimana yang dipahami dari ucapan para ulama:

 ‘tidak boleh mengakhirkan kewajiban yang dilapangkan kecuali menduga kuat bisa melakukannya’. Atau (kewajiban haji dan umrah menjadi sempit) dengan status qadha dikarenakan ia merusaknya,”  (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani, Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, juz 4, hal. 4-5).

Namun bila melihat pertimbangan keutamaan, yang lebih baik dilakukan adalah mendahulukan hajinya sendiri, sebab mendahulukan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh. Dalam sebuah kaidah fiqih dinyatakan:

الْإِيثَارُ فِي الْقُرْبِ مَكْرُوهٌ وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ

“Mendahulukan orang lain dalam ibadah adalah makruh, dan di dalam urusan lain disunnahkan.”

Berkaitan dengan kaidah tersebut, Syekh Izzuddin bin Abdissalam sebagaimana dikutip al-Imam al-Suyuthi mengatakan:

قَالَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ لَا إيثَارَ فِي الْقُرُبَاتِ، فَلَا إيثَارِ بِمَاءِ الطَّهَارَةِ، وَلَا بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلَا بِالصَّفِّ الْأَوَّلِ ; لِأَنَّ الْغَرَضَ بِالْعِبَادَاتِ: التَّعْظِيمُ، وَالْإِجْلَالُ. فَمَنْ آثَرَ بِهِ، فَقَدْ تَرَكَ إجْلَالَ الْإِلَهِ وَتَعْظِيمِهِ

“Berkata Syekh Izzuddin; tidak baik mendahulukan orang lain di dalam ibadah-ibadah, maka tidak baik mendahulukan dalam urusan air bersuci, menutup aurat, dan shaf awal. Sebab tujuan ibadah-ibadah adalah mengagungkan Allah.

Barangsiapa mendahulukan orang lain di dalam urusan tersebut, maka sungguh ia telah meninggalkan pengagungan kepada Tuhan,” (al-Imam al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal. 180).

Pilihan untuk mendahulukan haji pribadi juga dilakukan atas dasar menjaga perbedaan pendapat ulama yang menyatakan kewajiban haji adalah segera, tidak boleh ditunda, bahkan ini adalah pendapat tiga imam madzahib al-arba’ah selain Imam Syafi’i. Syekh Ibnu Quddamah menegaskan:

 مَسْأَلَةٌ قَالَ: فَمَنْ فَرَّطَ فِيهِ حَتَّى تُوُفِّيَ، أُخْرِجَ عَنْهُ مِنْ جَمِيعِ مَالِهِ حَجَّةٌ وَعُمْرَةٌ

“Berkata sang pengarang; barangsiapa teledor di dalam haji sampai wafat, maka dikeluarkan dari seluruh hartanya untuk melaksanakan haji dan umrah atas nama dia.”

  وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَجُّ، وَأَمْكَنَهُ فِعْلُهُ، وَجَبَ عَلَيْهِ عَلَى الْفَوْرِ، وَلَمْ يَجُزْ لَهُ تَأْخِيرُهُ. وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَة، وَمَالِكٌ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يَجِبُ الْحَجُّ وُجُوبًا مُوَسَّعًا، وَلَهُ تَأْخِيرُهُ

“Detail persoalan tersebut adalah bahwa seseorang yang berkewajiban haji dan mungkin baginya untuk melaksanakan, maka wajib baginya melakukan segera, tidak boleh mengakhirkannya. Ini juga pendapat Abu Hanifah dan Malik. Berkata Imam al-Syafi’i; wajib haji baginya dengan kewajiban yang dilapangkan, dan boleh mengakhirkannya,” (Syekh Ibnu Quddamah, al-Mughni, juz 3, hal. 232).

Dari sejumlah pandangan ulama serta penjelasan hadis di atas maka dapat kita simpulkan, mendahulukan haji pribadi dalam konteks ini bukan berarti su’ul adab kepada orang tua.

Kewajiban berangkat haji pribadi dan berbakti kepada orang tua bukanlah sebuah hal yang patut dipertentangkan, karena seorang anak tetap bisa berbakti kepada orang tuanya dengan mendoakannya saat ia berada di tempat-tempat mustajab seperti Multazam, orang tua yang berada di tanah air pasti senang dengan hal itu. Bila punya kemampuan finansial berlebih, mengajak orang tua secara bersama-sama menunaikan ibadah haji tentu lebih utama.

Demikian penjelasan terkait hukum mendahulukan orang tua haji. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Bekal Menerjemahkan Bahasa Arab (Bag. 2)

Bismillah. Wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Kesalahan yang banyak terjadi dalam menerjemah

Beberapa kesalahan yang banyak terjadi dalam penerjemahan, yaitu:

  1. Kesalahan penggunaan terjemah sebuah kata
  2. Kesalahan dalam menyusun susunan kata dalam kalimat saat menerjemahkan
  3. Kesalahan dalam menentukan inti makna
  4. Kesalahan dalam bentuk memaksakan terjemahan harfiah pada semua jenis konteks kalimat

Kesalahan penggunaan terjemah sebuah kata

Dalam bahasa Arab, banyak didapatkan sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Sehingga, penerjemah terkadang melakukan kesalahan dalam memilih terjemah dari sebuah kata yang bermakna banyak tersebut.

Contoh:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً

Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik.

Salah jika diterjemahkan ضرب dengan “memukul”, namun yang benar adalah diterjemahkan dengan “membuat perumpamaan”.

أقمت بمكة

Saya tinggal di Makkah.

Sebuah kesalahan jika diterjemahkan “Saya menegakkan kota Makkah.”

Cara menghindari kesalahan tersebut:

Pertama: Banyak mengenal arti kosakata yang memiliki makna lebih dari satu sehingga perlu banyak membuka kamus untuk memperkaya pengetahuan kosakata, jangan hanya berdasar pengetahuan selama ini saja.

Kedua: Mempelajari arti wazan sharaf dan makna huruf.

Ketiga: Mempelajari istilah sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing.

Keempat: Memahami konteks kalimat secara utuh.

Kelima: Memahami makna puisi, pepatah, atau ungkapan sesuai dengan kebiasaan pemakaian bangsa Arab.

Kesalahan dalam menyusun susunan kata dalam kalimat saat menerjemahkan

أقام أحمد بمكة

diterjemahkan “Ahmad tinggal di Makkah.”

Tidak tepat jika diterjemahkan “Tinggal Ahmad di Makkah”, karena belum diadaptasikan ke dalam struktur kalimat bahasa Indonesia SPK

Cara terhindar dari kesalahan memahami tarkibul jumlah:

Pertama: Mempelajari karakteristik kedua bahasa, yaitu: bahasa sumber dan bahasa sasaran.

Kedua: Fokus pada tarjamah maknawiyyah (bebas terikat) dengan menemukan inti makna dari konteks kalimat. Tarjamah maknawiyyah itu bebas, namun terikat, yaitu:

Bebas : tidak kaku, namun luwes mengikuti konteks kalimat sehingga akrab di telinga orang Indonesia

Terikat : tidak boleh mengubah makna, singkat, dan padat.

Kesalahan dalam menentukan inti makna

Contoh pertama:

مساعدة الوالدين

Pernyataan di atas bisa diterjemahkan dengan:

Bantuan untuk kedua orang tua” atau “Membantu kedua orang tua.

atau bisa juga diterjemahkan dengan:

Bantuan dari kedua orang tua.

Contoh kedua:

قامت العلماء بحماية المسلمين من جميع الطوائف

Ulama melindungi kaum muslimin dari berbagai kalangan masyarakat.

Atau,

Ulama melindungi kaum muslimin dari (pemikiran) berbagai kelompok sesat.

Contoh ketiga:

وليس حلق اللحية من الكبائر، إلا أن يواظب عليه صاحبه؛ لقول ابن عباس -رصي الله عنهما-: لا صغيرة مع الإصرار

Memotong jenggot bukan dosa besar, kecuali jika dilakukan terus menerus, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ‘Bukan dinilai dosa kecil jika suatu dosa dilakukan terus menerus.’

Dalam benak penerjemah, bisa saja terlintas bahwa perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ini sebagai alasan bagi “memotong habis jenggot itu bukan dosa besar” atau sebagai alasan bagi “terus menerus memotong habis jenggot itu dosa besar” ?

Oleh karena itu, perlu kecermatan dalam menentukan inti makna kalimat tersebut.

Cara terhindar dari kesalahan menentukan inti makna:

Pertama: Fokus pada tarjamah maknawiyyah (bebas terikat) dengan cara menemukan inti makna dari konteks kalimat dan penguasaan kosakata dan istilah.

Kedua: Mempelajari karakteristik kedua bahasa, yaitu: bahasa sumber dan bahasa sasaran.

Kesalahan dalam bentuk memaksakan terjemahan harfiah pada semua jenis konteks kalimat

Tidak semua jamak harus diterjemahkan plural

يكثر ترويج محلات الكتب في وسائل الإعلام

Banyak promosi toko buku di media masa.

Tidak harus diterjemahkan:

Banyak promosi toko-toko buku di media-media masa.

Kalimat aktif tidak harus selalu diterjemahkan dengan kalimat aktif, namun bisa diterjemahkan dengan kalimat pasif

يَبْدَءُ توزيع الكتب للطلاب اليوم

Pembagian buku untuk mahasiswa dimulai hari ini.”

Tidak harus diterjemahkan:

Hari ini mulai pembagian buku untuk mahasiswa.”

Isim tidak harus diterjemahkan isim, tapi bisa diterjemahkan dengan fi’il

ممنوع التدخين

Dilarang merokok.”

Tidak diterjemahkan menjadi: “Pelarangan merokok.

Cara terhindar dari kesalahan ini :

Pertama: Fokus tarjamah maknawiyyah (bebas terikat) dengan menemukan inti makna dari konteks kalimat.

Kedua: Memilih kosakata terjemah yang akrab.

Ketiga: Dengan mempelajari karakteristik kedua bahasa, yaitu: bahasa sumber dan bahasa sasaran.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85215-bekal-menerjemahkan-bahasa-arab-bag-2.html

Bekal Menerjemahkan Bahasa Arab (Bag. 1)

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Ilmu terjemah bahasa Arab itu multifungsi

Ilmu terjemah bahasa Arab itu sangat luas kegunaannya. Ilmu tersebut dibutuhkan bukan hanya oleh orang yang  berprofesi penerjemah, namun juga setiap pembaca teks bahasa Arab. Yang ingin tahu artinya, pastilah ada proses menerjemah di dalam hatinya. Mulai dari dai, penulis, editor, praktisi, akademisi, bahkan setiap pembaca Al-Qur’an dan hadis yang ingin tahu makna keduanya, tentulah mereka membutuhkan ilmu terjemah ini sesuai dengan kadar aktifitasnya tersebut.

Oleh karena itu, dalam rangka mensyukuri nikmat Allah Ta’ala, penulis ingin berbagi bekal sederhana dalam menerjemah. Semoga Allah Ta’ala menjadikan artikel sederhana ini bermanfaat luas bagi berbagai lapisan masyarakat kaum muslimin.

Bekal menerjemah tersebut terbagi menjadi tiga poin:

Pertama: Padanan istilah tata bahasa dalam dua bahasa (dalam pembagian kata maupun struktur kalimat)

Kedua: Kesalahan dalam menerjemahkan

Ketiga: Bagan penting yang diperlukan dalam menerjemah

Padanan istilah tata bahasa dalam dua bahasa

Menerjemahkan berarti mengungkapkan makna dari bahasa sumber (Arab) ke dalam bahasa sasaran (Indonesia). Oleh karena itu, seorang penerjemah perlu menguasai kedua bahasa tersebut, yaitu: bahasa sumber maupun bahasa sasaran.

Sedangkan masing-masing dari kedua bahasa tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga dalam menerjemahkan, perlu pengadaptasian dari karakteristik bahasa Arab kepada karakteristik bahasa Indonesia.

Untuk bisa mengadaptasikan karakteristik sebuah bahasa kepada bahasa lain dengan baik, seorang penerjemah perlu memahami padanan istilah tata bahasa dari kedua bahasa tersebut.

Padanan istilah tata bahasa setidaknya mencakup dua poin:

Pertama: Padanan istilah dalam pembagian kata

Kedua: Padanan istilah dalam struktur kalimat

Padanan istilah dalam pembagian kata

Dalam ilmu Nahwu, Al-Kalimah (kata) terbagi menjadi tiga macam: harfun, ismun, dan fi’lun.

Harfun

Harfun (huruf bermakna):

الحرف هو كلمة لا يفهم معناها إلا مع غيرها

Huruf adalah kata yang tidak bisa dipahami maknanya, kecuali (disertai) dengan selainnya.”

Mengapa huruf bermakna disebut sebagai “kata”?

Karena huruf dalam bahasa Arab terbagi dua, yaitu

Huruf Mabani: aksara penyusun kata, (seperti: alif, ba’, ta’, dst.). Inilah yang di dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “huruf”, yaitu tanda aksara sebagai anggota dari abjad (a, b, c, dst.).

Huruf Ma’ani (huruf inilah yang dibahas dalam Nahwu): alat bahasa penghubung antar kata dalam sebuah kalimat.

Contoh:

Pertama: Masuk ke isim: huruf jar/preposisi (kata depan), dan lain-lain.

Kedua: Masuk ke fi’il: huruf nashab, huruf jazm, dan lain-lain.

Ketiga: Masuk ke isim dan fi’il: huruf istifham, athaf, dan lain-lain.

Fi’lun

Fi’lun (kata kerja dan sebagian kata sifat):

الفعل هو كلمة دلت على معنى واقترنت بزمن

Fi’il adalah kata yang menunjukkan kepada makna dan diiringi oleh waktu.

Contoh:

Pertama: Fi’il yang merupakan kata kerja:

كتب(menulis),  ذهب(pergi), قرأ (membaca).

Kedua: Fi’il yang merupakan kata sifat:

جَمُلَ (cantik,indah), قَرُبَ (dekat), كَثُرَ (banyak).

Ismun

Ismun (kata selain harfun dan fi’lun):

الاسم هو كلمة دلت على معنى بنفسه ولم تقترن بزمن

Isim adalah kata yang menunjukkan kepada makna dengan sendirinya dan tidak diiringi oleh waktu.”

Dengan demikian, isim adalah seluruh kata selain kata kerja, kata sifat yang berbentuk fi’il dan huruf bermakna.

Contoh cakupan isim:

Pertama: kata benda (nomina/isim mashdar). Contoh : كرسي (kursi), كتاب (buku), درس (pelajaran)

Kedua: kata sifat (adjektiva/isim fa’il, isim maf’ul, sifah musyabbahah bismil fa’il, isim tafdhil, dan lain-lain). Contoh: ناشط (rajin), كسلان (malas), جمال (cantik, indah).

Ketiga: kata keterangan (adverbal/isim zaman dan makan,dll). Contoh: أمس (kemarin), غد (besok), أمام (depan), خلف (belakang).

Keempat: kata ganti (pronominal/isim dhamir), kata tanya, kata bilangan (numeralia), kata sambung (konjungsi/isim maushul dan isim syarat), dan lain-lain.

Padanan istilah dalam struktur kalimat

Struktur kalimat dalam bahasa Indonesia

Kalimat merupakan rangkaian beberapa kata yang memiliki makna/informasi di dalamnya. Tiap kalimat dibangun atas unsur-unsur kalimat, mulai dari subyek (S), predikat (P), obyek (O), dan keterangan (K), disebut struktur kalimat SPOK, dan dalam beberapa kalimat terdapat unsur tambahannya.

Contoh struktur dasar kalimat dalam bahasa Indonesia adalah:

Pertama: SP = Ali belajar.

Kedua: SPO = Utsman membeli kitab.

Ketiga: SP Pel = Ulama berbicara tegas.

Keempat: SPO Pel = Kholid membelikan adiknya mushaf baru.

Kelima: SPK = Umar belajar di masjid.

Keenam: SPOK = Ahmad memasukkan mushaf ke saku.

Ketujuh: SP Pel K = Muhammad berbelanja sendirian di toko buku.

Kedelapan: SPO Pel K = Ummi mengirimi saya uang setiap bulan.

Struktur kalimat dalam bahasa Arab

Pertama: Fi’il – fa’il

نام الطالب

Kedua: Fi’il – fa’il – maf’ul bih

قرأت القرآن

Ketiga: Fi’il – fa’il – hal

شربت الماء جالسا

Keempat: Fi’il – fa’il – tamyiz

طاب محمد بدنا

Kelima: Fi’il – fa’il – huruf jar – isim majrur

ذهبت إلى المسجد

Keenam: Fi’il – na’ibul fa’il

كتب الدرس

Ketujuh: Mubtada – khabar

الأستاذ في المسجد

Kedelapan: Inna – isim inna- khabar inna

إنكم مسئولون

Kesembilan: Kaana – isim kaana – khabar kaana

كان العلماء حاضرین

Kesepuluh: Harfun nida – munada

يا أحمد أقم الصلاة

Padanan istilah dalam dua struktur bahasa

Pertama: Subjek adalah unsur kalimat yang berfungsi sebagai inti pembicaraan yang dijelaskan oleh fungsi/unsur kalimat lainnya dan menjadi jawaban “siapa” atau “apa”. Subjek bisa berupa nomina (kata benda), frasa nomina, atau klausa.

Dengan demikian, subjek bisa berupa: fa’il, na’ibul fa’il, mubtada’, isim kana, dan isim inna.

Kedua: Predikat adalah unsur kalimat yang menjelaskan subjek secara langsung dan sebagai jawaban dari “mengapa” atau “bagaimana”.

Dengan demikian, predikat bisa berupa: khabar, khabar inna, khabar kana.

Ketiga: Objek adalah unsur kalimat yang melengkapi predikat atau yang dikenai pekerjaan pada kalimat transitif. Secara umum berupa kata benda atau yang dianggap benda.

Dengan demikian, objek berupa: maf’ul bih.

Keempat: Keterangan adalah unsur kalimat yang menerangkan berbagai hal unsur kalimat lainnya (menerangkan S/P/O/Pel) dan dapat diletakkan secara bebas dalam kalimat. Dengan demikian, keterangan bisa berupa: na’at, maf’ul ma’ah, ma’ul liajlih, taukid, idhafah, hal.

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85213-bekal-menerjemahkan-bahasa-arab-bag-1.html

Haji; Tamu Allah Sekali Seumur Hidup!

Nabi ﷺ telah menjanjikan balasan surga kepada sesiapa yang mencapai tahap mabrur dalam pelaksanaan ibadah hajinya, karena itu berusahalah haji sekali seumur hidup jika mampu

IBADAH haji merupakan salah satu rukun Islam yang lima, yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mukallaf. Hendaknya,  setiap Muslim menanamkan dalam diri dan hatinya,  serta berazam untuk menunaikan ibadah haji dan senantiasa berusaha sebisa mungkin dalam melaksanakan perintah Allah SWT tersebut.

Pada dasarnya semua ulama menyepakati kewajiban menunaikan ibadah haji sebagaimana Al-Qur an, sunnah dan ijma’. Hal ini jelas sebagaimana firman Allah SWT:

يْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS: Ali Imron: 97).

Syeikh al-Maraghi ketika menafsirkan ayat di atas, menerangkan bahwa haji adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu. Hal ini karena perintah haji merupakan kehormatan besar bagi Baitullah mulai dari zaman Nabi Ibrahim AS sampai zaman Nabi Muhammad ﷺ. Dengan demikian, pelaksanaan haji dan umrah dapat menjadi tonggak dan bukti pengabdian setiap hamba kepada Penciptanya. (Lihat Tafsir al-Maraghi, 2/853).

Selain itu, Allah SWT berfirman:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ

“Dan serukanlah umat manusia untuk mengerjakan ibadah Haji.” (Surah al-Hajj: 27)

Syeikh al-Sa‘di ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan, maksudnya adalah beritahu kepada mereka mengenai ibadah haji tersebut, dan ajaklah mereka kepadanya. Sampaikan kepada mereka baik orang yang dekat maupun yang jauh tentang kewajiban haji dan keutamaannya. Hal ini karena jika Anda telah memanggil mereka, pasti mereka akan datang kepada Anda sebagai orang yang menunaikan haji atau umrah. (Lihat Tafsir al-Sa’di, 1/536).

Seterusnya, Nabi ﷺ turut menegaskan berkenaan hal tersebut melalui sabdanya:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam didirikan di atas lima perkara: Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah SWT dan Nabi Muhammad ﷺ adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, menunaikan haji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR: Muslim)

Muhammad al-Amin al-Harari ketika menjelaskan lafaz “وَحَجِّ الْبَيْتِ” menyatakan, tujuannya adalah untuk mengerjakan ibadah khusus, bagi mereka yang mampu untuk menunaikannya. (Lihat al-Kaukab al-Wahhaj Syarh Sahih Muslim, 2/132).

Para ulama telah sepakat untuk memutuskan bahwa haji itu wajib, tidak ada perselisihan soal ini. Oleh karena itu, mereka menghukumi  kafir siapa saja yang mengingkari sesuatu yang telah ditetapkan oleh al-Quran, al-Sunnah dan ijma’. (Lihat al-Fiqh al-Manhaji, 2/115).

Mengenai hal ini, Ibn Hazm menyatakan, para ulama telah bersepakat bahwa seorang Muslim yang merdeka, berakal, baligh, dan memiliki tubuh badan yang sehat dengan dua tangan, penglihatan (yang baik) dan dua kaki, serta yang mempunyai perbekalan dan kendaraan, serta sesuatu (yakni nafkah) yang ditinggalkan kepada ahli keluarganya selama perjalanannya, karena tidak ada lautan atau ketakutan di jalannya, dan tidak ada orang tuanya atau salah satu dari mereka yang mencegahnya, maka haji wajib baginya. (Lihat Maratib al-Ijma’, hal. 41).

Para ulama telah bersepakat bahwa hukum mengerjakan ibadah haji adalah wajib ‘ain. Dalam arti kata lain, jika ia adalah hajjah al-Islam (haji kali pertama) dan memenuhi syarat-syarat wajib untuk mengerjakan haji, maka ia adalah wajib ain ke atasnya. Syarat-syarat tersebut ialah; Islam, mumayyiz, baligh, merdeka dan istita‘ah (berkemampuan). (Lihat al-Taqrirat al-Sadidah, hlm. 470-472).

Justru, ibadah haji adalah wajib dikerjakan sekali seumur hidup bagi mereka yang berkemampuan atau berkecukupan harta. Selain itu, para ulama juga bersepakat mengatakan bahwa seseorang itu hanya diwajibkan haji sekali saja seumur hidupnya, yakni  hajjah al-Islam kecuali jika dia bernazar, maka ia wajib ditunaikan. (Lihat al-Ijma‘ oleh Ibn al-Munzir, hlm. 51; al-Fiqh al-Manhaji, 2/116).

Hal ini berdasarkan hadis Nabi ﷺ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَفِي كُلِّ عَامٍ يَا رسول الله؟ فَسَكَتَ عَنْهُ حَتَّى أَعَادَهُ ثَلاَثًا، ثُمَّ قَالَ: ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، وَلَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ، وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءِ فَأتُوا مِنْه مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ

“Wahai manusia, Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka laksanakanlah”. Seseorang berkata: apakah dilakukan setiap tahun wahai Rasulullah?, lalu beliau terdiam, sampai orang tadi mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Seandainya aku mengatakan ya, maka akan diwajibkan setiap tahun, dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya”. Lalu beliau menlanjutkan: “Biarkan saja apa yang tidak aku perintahkan; karena binasanya umat terdahulu sebelum kalian, disebabkan mereka banyak bertanya, dan menyelisihi para Nabi mereka. Apabila aku perintahkan kepada kalian tentang sesuatu maka kerjakanlah sesuai kemampuan, dan apabila aku melarang kalian dengan sesuatu maka tinggalkanlah.” (HR. Muslim 1337)

Namun, sebagian menilai haji dan umrah sunah dilakukan berulang kali. Sebab, di dalambya banyak kelebihan yang dijanjikan.

Daripada Abu Hurairah R.A, Rasulullah ﷺ bersabda:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

”Dari satu umrah ke umrah yang lain adalah penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannnya melainkan Surga.” (HR. Malik (767), Ahmad (9949), al-Bukhari (1683), Muslim (1349), at-Tirmidzi, an-Nasa’i)

Hadis di atas jelas menunjukkan kepada kita bahwa syariat ibadah haji dan umrah merupakan satu syariat yang agung di sisi Allah SWT. Hal ini jelas dapat dilihat berdasarkan hadis yang telah dinyatakan seperti di atas.

Nabi ﷺ telah menjanjikan balasan surga kepada sesiapa yang mencapai tahap mabrur dalam pelaksanaan ibadah hajinya. Begitu juga kepada siapa saja yang melaksanakan ibadah umrah secara berulang kali, dosa-dosa kecil mereka akan dihapuskan sepanjang tempoh jarak ibadah umrah tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan kepada kenyataan dan perbincangan di atas, kami berpandangan bahwa wajib ke atas setiap Muslim yang berkemampuan untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah paling kurang sekali seumur hidup mereka.

Namun, bagi mereka yang mempunyai kecukupan dan kemampuan yang lebih, disunahkan bagi mereka untuk mengulangi ibadah haji dan umrah pada tahun-tahun berikutnya.

SemoGa kita semua menjadi jiwa yang diberi kemudahan menjadi dhuyuf al-Rahman(tamu agungnya Allah) walaupun sekali seumur hidup. Karena itu terus berdoa dan berusahalah untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah sebaik mungkin, sambil mempersiapkan bekal dari segi mental dan fisikal agar kita dapat menumpukan sepenuh perhatian dalam pelaksanaan ibadah mulia ini.* Dr. Zulkifli Mohamad Al-Bakri

HIDAYATULLAH

Menunda Haji demi Menolong Tetangga

Diketahui setiap tahunnya sejumlah jamaah haji mengurungkan niatnya untuk berangkat ke Tanah Suci dan mereka memilih untuk menarik setoran dana haji yang mereka miliki. Lantas apakah boleh seseorang yang dianggap mampu dan sudah memiliki kesempatan untuk berhaji namun malah justru mereka memutuskan untuk membatalkan ibadah hajinya?

Kita harus mengetahui dan memahami tentang syarat-syarat haji terlebih dahulu, yakni beragama Islam, Baligh, Berakal, Merdeka, dan mampu. Yang dimaksud dengan mampu bukanlah hanya dari sisi finansial saja, namun lebih kepada kesehatan fisik dan juga mentalnya dalam berhaji.

Tidak menjadi persoalan bagi seorang Muslim membatalkan rencananya berhaji dan menarik kembali dana setoran hajinya ketika masih berada di Tanah Air atau belum memasuki waktu berhaji. Terkait dana setoran haji yang diambil kembali juga tidak ada masalah. Dana tersebut halal untuk digunakan keperluan sehari-hari. Terlebih menurutnya bila orang tersebut memiliki kebutuhan mendesak.

Sebelum melaksanakan haji, seorang muslim juga harus mampu melihat kebutuhan utamanya sudah terpenuhi ataupun belum, dan juga ia harus mampu melihat keadaan sekitarnya apakah penduduk yang berada di sekitarnya sudah merasakan kemakmuran atau belum.

Terdapat sebuah cerita yang berasal dari Damaskus seseorang yang bernama Ali bin Muwaffaq seorang tukang sepatu yang diterima Hajinya dan diampuni segala dosanya tapi ia sama sekali tidak datang untuk menjalankan ibadah haji. Kala itu Ali mengumpulkan tabungannya yang telah cukup untuk menjalankan ibadah haji, namun di sisi lain ia melihat bahwa ada tetangganya harus memakan bangkai keledai karena sudah 3 hari tidak makan bersama anak-anaknya.

Melihat apa yang dilakukan oleh tetangganya, Ali merasa sangat terpukul dan kembali ke rumahnya mengambil seluruh uang tabungannya kemudian menyerahkannya pada tetangganya dan berkata ambillah uang ini pergilah belanja dan berilah makanan anak-anakmu dan jangan lagi memakan bangkai yang tidak halal. Inilah perjalanan hajiku.

Dari hal yang besar yang ia lakukan dalam menyedekahkan hartanya yang diniatkan untuk berhaji membuat dirinya dibicarakan oleh malaikat dalam mimpi Abdullah bin Al-Mubarak yang baru saja menyelesaikan Ibadah Haji. Abdullah tertidur dan bermimpi melihat 2 malaikat yang turun dari langit dan berdialog tentang mereka yang melaksanakan Ibadah Haji sebanyak 600.000 orang dan tidak ada seorang pun yang diterima hajinya.

Namun terdapat satu orag yang berhasil di terima hajinya bernama Ali bin Muwaffaq yang sejak 40 Tahun yang lalu berniat dan menabung  untuk  menunaikan Ibadah Haji. Dari  dialog 2 Malaikat tersebut salah satunya menjelaskan bahwa Ali bin Muwaffaq yang diterima Hajinya dan diampuni segala dosanya tapi justru dia tidak datang ke Mekkah.

Dari cerita di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sedekah yang diberikan harus dilandasi rasa ikhlas karena Allah, dan tidak mengharapkan balasan merupakan ibadah sangat luar biasa. Di dalam bersedekah harus total, tidak setengah-setengah. Sedekah harus dengan kualitas dan kuantitas terbaik sesuai dengan kemampuan hingga dapat membawa kita menuju surganya.

Pelajaran penting lainny adalah haji dengan syarat kemampuan juga penting melihat pada aspek apakah kemampuan kita sudah bisa membantu yang lain yang membutuhkan. Kemampuan diri memang menjadi syarat utama, tetapi tanggungjawab sebagai orang yang mempunyai kelebihan harus pula memikirkan mereka yang masih kekurangan.

ISLAMKAFFAH

Ibadah Haji, Antara Keinginan Dan Kebutuhan

Ibadah haji secara syar’i hukumnya wajib. Tetapi hukum wajibnya tidak bersifat mutlak karena hanya ditujukan kepada mereka yang telah mampu. Dilihat dari ilmu ekonomi, ibadah haji adalah kebutuhan bagi mereka yang telah mampu dan karenanya harus dipenuhi. Bagi mereka, pemenuhan kebutuhan melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci tidak mengganggu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya karena mereka memang memiliki rezeki yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Ayat Tentang Kewajiban Haji

Oleh karena itu sangat jelas dinyatakan bahwa ibadah haji adalah wajib bagi orang-orang yang telah mampu sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, surat Ali Imran, ayat 97, sebagai berikut:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Artinya: “Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

Namun demikian kewajiban menunaikan ibadah haji hanyalah sekali dalam seumur hidup sebagaiamana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut:

أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ

Artinya: “Wahai sekalian manusia, sungguh Allah telah mewajibkan bagi kalian ibadah haji maka tunaikanlah haji kalian!” Seseorang berkata: “Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau terdiam sehingga orang tersebut mengulangi ucapannya tiga kali. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Kalau aku katakan ya, niscaya akan wajib bagi kalian dan kalian tidak akan sanggup.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)

Sedangkan bagi mereka yang belum mampu, ibadah haji hanyalah keinginan sehingga tidak wajib dipenuhi. Artinya daripada mereka direpotkan oleh keinginan beribadah haji dengan bersusah payah memaksakan diri menabung hingga mengabaikan kewajiban yang sudahada di depan mata, yakni memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar berupasandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan bagi diri sendiri dan segenap anggota keluarganya, mereka lebih baik dan wajib hukumnya menyibukkan diri pada upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut sebagai kewajiban syarí dan sosial.

Jika kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut telah terpenuhi, mereka bisa meningkatkan status keinginan beribadah haji menjadi azam atau keinginan kuat. Mereka yang telah memiliki keinginan kuat untuk beribadah haji, tentu akan terdorong untuk menabung sebagian penghasilannya agar bisa menunaikan ibadah haji. Ketika tabungan telah mencapai sejumlah tertentu yang setara dengan ongkos naik haji (ONH) dan biaya-biaya lainnya, maka keinginan kuat tersebut meningkat menjadi kebutuhan.Pada tingkat ini mereka wajib menunaikan ibadah haji dan karenanya harus dipenuhi.

Kebutuhan dan Keinginan

Pengetahuan tentang perbedaan antara kebutuhan dan keinginan menurut ilmu ekonomi sebagaimana diuraikan di atas adalah penting sebab dengan pemahaman yang benar kita bisa bersikap bijak dalam memahami rukun Islam kelima tersebut. Jangan sampai terjadi kita memaksakan diri mengejar ibadah haji padahal sebetulnya belum wajib hukumnya karena belum mampu. Ibarat shalat, waktunya belum masuk tetapi sudah melakukannya. Shalat serperti ini sudah pasti tidak sah. Sedangkan haji seperti ini bermasalah setidaknya secara akhlak karena mengabaikan kewajiban memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar keluarga. Bukankah sangat ironis apabila orang tua berangkat ibadah haji, sementara anak-anaknya dibiarkan tidak bersekolah dan kesehatannya memburuk tidak ditangani secara serius karena alasan biaya.

Ibadah haji seperti itu secara hukum agama sulit dibenarkan. Di dalam ilmu agama juga dikenal konsep fiqih al-aulawiyyat atau fiqih prioritas sebagaimana digagas oleh Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dari Mesir. Dijelaskan oleh beliau dalam pengantar kitabnya berjudul “Fi fiqihil Aulawiyyat”, halaman 9, tentang maksud fiqih prioritas sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan fiqih prioritas adalah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan dalil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan berdasarkan penilaian syari’ah yang shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu dan diterangi oleh akal.”

Jadi, fiqih prioritas pada intinya adalah menekankan urutan pelaksanaan kewajiban atau beban sesuai dengan tingkatan hukumnya. Berdasarkan pada prinsip ini sesuatu yang hukumnya fardhu ain harus diutamakan daripada sesuatu yang hukumnya fardhu kifayah. Sesuatu yang hukumnya wajib harus didahulukan daripada sesuatu yang hukumnya sunnah. Sesuatu yang manfaatnya besar dan luas harus didahulukan daripada sesuatu yang manfaatnya kecil dan terbatas, dan seterusnya. Atau dalam bahasa ekonomi, pemenuhan atas kebutuhan harus didahulukan daripada pemenuhan atas keinginan. Inilah yang disebut skala prioritas dalam ilmu manajemen.

Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawi memberikan contoh dalam masalah ini bahwa ibadah haji bagi orang-orang yang telah melaksanakannya tidak wajib melaksanakan kembali pada tahun-tahun berikutnya.Bagi mereka ibadah haji berikutnya sudah turun tingkatan hukumnya, yakni tidak wajib. Bagi orang-orang seperti itu juga berlaku fiqih prioritas dimana mereka harus lebih mengutamakan ibadah lain yang hukumnya wajib daripada melakukan ibadah haji atau umrah kesekian kali yang hukumnya hanya sunnah.

Dalam kaitan itu, Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengkritik orang-orang kaya yang sering melakukan ibadah hajidan umroh ke Tanah Suci, tetapi pada saat yang sama mereka abai terhadap fakta bahwa di masyarakat masih banyak orang miskin Muslim. Tidak sedikit dari mereka berpindah agama karena tidak mendapatkan pertolongan dari saudara-saudara Muslim yang kaya. Orang-orang kaya itu sebetulnya wajib hukumnya berjihad di jalan Allah dengan menggunakan hartanya untuk mencegah pemurtadan di antara orang-orang miskin Muslim tersebut, misalnya dengan memberikan beasiswa untuk bersekolah, mengikuti kursus ketrampilan atau menyediakan modal yang cukup untuk bekerja.

Di sisi lain, kita melihat beberapa orang dari kalangan ekonomi lemah melaksanakan ibadah haji dengan sebelumnya menabung selama bertahun-tahun. Hal ini tentu tidak menjadi masalah dan bahkan baik selama dalam menabung itu mereka tidak mengabaikan kawajibannya membiayai pendidikan anak-anak, mengobati di antara anggota keluarga yang sakit dan sebagainya, termasuk kewajiban sosial yakni iuran-iuran di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama. Atau mereka memang sudah tidak memiliki tanggungan apa-apa terkait kewajibannya sebagai orang tua sekaligus kepala keluarga.

Namun, jika kegiatan menabung untuk ibadah haji ternyata menjadikan anak-anak tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan yang cukup dan kesehatan yang memadai, hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip fiqih prioritas. Bagaimanapun mencari ilmu hukumnya wajib, dan orang tua wajib hukumnya mengusahakan biaya sekolah bagi anak-anaknya, disamping kewajiban lain yakni menafkahi dan mengobatkan mereka yang sakit.

Dalam kondisi seperti itu ibadah haji tidak wajib bagi mereka dari kalangan ekonomi lemah. Mereka harus memprioritaskan terlaksananya kewajiban-kewajiban yang nyata-nyata ada di depan mata dan hukumnya wajib, yakni kewajiban memberikan nafkah, membiayai pendidikan dan kesehatan mereka sebagaimana disebutkan di atas. Setelah semua kewajiban itu terpenuhi, mereka dapat meningkatkan upayanya untuk dapat melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci dengan semua potensi yang mereka miliki.

Jika ternyata tidak mampu, tentu tidak menjadi masalah karena ibadah haji memang hanya diwajibkan bagi yang telah mampu. Mereka tetap mendapat pahala dari keinginan atau niatnya menunaikan ibadah haji tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Rasululullah shallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi sebagai berikut:

نِيةُ المُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ

Artinya: “Niat seorang mukmin lebih utama daripada amalnya.”

Hadits lain yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim berbunyi sebagaimana penggalan berikut:

Artinya: “Maka barang siapa memiliki keinginan atau berniat melakukan sesuatu kebaikan lalu tidak jadi melaksanakannya, Allah akan mencatat pahalanya di sisi-Nya satu kebaikan sempurna.”

Sekali lagi, ibadah haji wajib hukumnya. Namun demikian Allah tidak bermaksud membebani hamba-hamba-Nya dengan mewajibkan rukun Islam kelima itu kecuali sebatas kemampuan masing-masing. Allah subhanu watala berfirman-Nya di dalam Al-Qurán, Surat Al-Baqarah, Ayat 286 sebagai berikut:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.”

Hal senada juga ditegaskan dalam Surah Al Maidah, ayat 6:

مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

Artinya: “Allah tidak menginginkan bagi kalian sesuatu yang memberatkan kalian.”

Kedua ayat tersebut hendaknya menjadi pedoman bagi kaum Muslimin dalam menyikapi kewajiban-kewajiban agama sebagaimana dirumuskan dalam Rukun Islam, khususnya kewajiban beribadah haji ke Tanah Suci di Makkah al-Mukarramah, Saudi Arabia, yang memang membutuhkan biaya yang sangat banyak dan kemampuan fisik yang tidak bisa dianggap enteng. Ibadah haji memang tidak terlepas dari kedua hal ini.

ISLAMKAFFAH

Musailamah al-Kazzab, Si Nabi Palsu

MUSAILAMAH bin Habib (Arab:مسلمة بن حبيب) atau dikenal juga dengan nama Musailamah al-Kazzab (Musailamah si Pembohong) adalah seorang yang mengaku sebagai nabi pada zaman Nabi Muhammad melakukan dakwah di jazirah Arab.

Musailamah al-Kazzab lahir dengan nama Musailamah bin Habib dari Bani Hanifah, salah satu suku terbesar di jazirah Arab dengan wilayah domisili di Yamamah.

Berdasarkan suatu temuan sejarah, Musailamah al-Kazzab telah membangun Yamamah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah. Setelah tersebarnya Islam di jazirah Arab, kemudian Musailamah menyatakan diri sebagai seorang Muslim. Ia juga kemudian membangun Masjid di Yamamah.

Pada saat yang bersamaan Musailamah juga mempelajari sihir, dan menyatakan sebagai mukjizat. Musailamah melalui kemampuan sihirnya membuat orang-orang percaya bahwa ia juga seorang nabi. Musailamah juga menyatakan bahwa ia juga memperoleh wahyu dari Allah dan berbagi wahyu dengan Nabi Muhammad ﷺ.

Bahkan, Musailamah al-Kazzab menyebut dirinya sebagai Rahman, dan menyatakan dirinya memiliki sifat ketuhanan. Setelah itu, beberapa orang menerimanya sebagai nabi bersama dengan Nabi Muhammad.

Perlahan-lahan pengaruh dan wewenang Musailamah meningkat terhadap orang-orang dari sukunya. Setelah itu Musailamah al-Kazzab berusaha menghapuskan kewajiban untuk melaksanakan salat serta memberikan kebebasan untuk melakukan seks bebas dan konsumsi khammar.

Musailamah al-Kazzab juga kemudian menyatakan sebagai utusan Allah bersama dengan Nabi Muhammad, dan menyusun ayat-ayat, yang dinyatakan sebagai tandingan ayat Alquran. Sebagian besar ayat buatan Musailamah memuji keunggulan sukunya, Bani Hanifah, atas Bani Quraisy.

Setelah wafatnya Nabi Muhammad, Musailamah al-Kazzab kemudian menyatakan perang kepada Khalifah Abu Bakar, namun pasukannya dikalahkan oleh Khalid bin Walid. Pada Pertempuran Yamamah, ia dibunuh oleh Wahsyi.

Kebohongan besar Musailamah Al-Kazzab

Di antara kebohongan besar Musailamah al-Kazzab adalah

1. Mengaku sebagai Nabi setelah nabi Muhammad ﷺ

2. Tidak mau membayar zakat

3. Tidak mewajibkan shalat

4. Menghalalkan judi dan mabuk-mabukan

5. Memalsukan surat dalam Al qur’an ,diantaranya ia beri nama Alfiil. []

ISLAMPOS

Jamaah Haji yang Baru Tiba, Yuk Perhatikan Lima Hal ini

Oleh Agung Sasongko dari Madinah, Arab Saudi

Sebanyak 20 kloter dengan total jamaah 7.781 orang akan tiba di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah, Rabu (7/6/2023). Hingga keberangkatan hari ke-15 gelombang pertama jamaah haji Indonesia telah tiba di Madinah. sebanyak 91.573 jamaah dari 241 kloter

Setibanya di Tanah Suci, jamaah haji Indonesia diminta mematuhi peraturan Pemerintah Arab Saudi yang berlaku di Tanah Suci baik di Makkah maupun di Madinah. 

“Ada beberapa larangan yang harus diindahkan jamaah. Lima larangan yang perlu kita pedomani saat kita berada di Makkah dan Madinah,” kata Kabid Perlindungan Jemaah (Linjam) PPIH Arab Saudi Harun Al Rasyid, Rabu (7/6/2023).

Kelima larangan tersebut yakni, pertama jamaah dilarang merokok sembarangan. Jamaah yang kedapatan merokok bukan hanya didenda tapi juga kurungan. 

Kedua, jamaah haji jangan sembarangan membuang sampah di sekitar Masjidilharam dan juga di Masjid Nabawi. “Bila kita melihat sampah ambil dan kita bawa sampai ketemu tempat sampah. Ini harus diantisipasi,” ujarnya. 

Ketiga, jamaah dan semua petugas dilarang membentangkan spanduk atau tanda-tanda yang mencirikan kelompoknya baik di Masjid Nabawi maupun Masjidilharam. Misalnya, membentangkan spanduk Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU). “Tolong sampaikan ke jemaah jangan lakukan. Sebab bisa langsung ditangkap oleh Askar,” ucapnya. 

Keempat, jamaah dilarang mengambil barang atau benda tercecer tanpa koordinasi terlebih dahulu kepada pihak keamanan. 

“Walaupun itu niatnya untuk mengamankan karena di sekitar masjid ini ada CCTV. Maksudnya itu baik tapi dianggap tidak baik. Jadi ketika melihat ada barang yang tercecer jamaah sebaiknya melapor,” paparnya. 

Terakhir, jamaah dilarang berkumpul atau berkerumun ketika berada di dalam atau di luar halaman Masjidilharam atau Masjid Nabawi. “Itulah larangan yang perlu dicermati dan dipatuhi agar jemaah menjalankan ibadah dengan lancar,” kata dia. 

IHRAM

Berhala Kelima di Muka Bumi: Kisah Kaum Madyan

Tulisan ini merupakan lanjutan dari kisah-kisah penyembahan berhala dalam Al-Qur’an. Pada kesempatan yang telah lalu (Berhala Keempat di Muka Bumi bagian 2: Kisah Nabi Ibrahim dan Kaum Harran), telah dibahas bagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam berdakwah kepada dua kaum (Babil dan Harran). Kedua kaum tersebut menyembah berhala yang berbeda. Kaum Babil menyembah berhala makhluk bumi, sedangkan kaum Harran menyembah benda langit.

Pada artikel kali ini, akan dibahas mengenai salah satu Nabi yang Allah perintahkan untuk kita ikuti petunjuknya.  Allah Ta’ala berfirman,

أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ

“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90)

Dalam firman-Nya yang lain,

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى

“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat.” (QS. Yusuf: 176)

Nabi yang Allah utus selanjutnya setelah Nabi Ibrahim dan Nabi Luth adalah Nabi Syu’aib.  Disebutkan bahwa Nabi Syu’aib ‘alaihis salam tinggal di suatu daerah bernama Mu’an (suatu daerah di ujung Syam-Syria dan berbatasan dengan Hijaz-Arab Saudi). Adapun penyebutan Madyan sebagai tempat Nabi Syu’aib karena nasab beliau kembali kepada kabilah (suku) Madyan. (Lihat Qashas Al-Anbiya’, 1: 247-275)

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا

“Dan kepada penduduk Madyan, Kami (utus) Syu’aib, saudara mereka sendiri.” (QS. Al-A’raf: 85)

Dilihat dari zamannya, Nabi Syu’aib diutus setelah Nabi Luth. Sebagaimana perkataan Nabi Syu’aib kepada kaumnya,

وَيَا قَوْمِ لَا يَجْرِمَنَّكُمْ شِقَاقِي أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَ قَوْمَ نُوحٍ أَوْ قَوْمَ هُودٍ أَوْ قَوْمَ صَالِحٍ وَمَا قَوْمُ لُوطٍ مِنْكُمْ بِبَعِيدٍ

“Dan wahai kaumku! Janganlah pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu berbuat dosa, sehingga kamu ditimpa siksaan seperti yang menimpa kaum Nuh, kaum Hud, atau kaum Shalih, sedang kaum Luth tidak jauh dari kalian.” (QS. Hud: 89)

Kemungkaran Kaum Madyan

Ada tiga kerusakan dan keburukan yang dilakukan oleh kaum Madyan. Kemungkaran tersebut adalah kesyirikan, kecurangan dalam timbangan (berat) dan takaran (volume), dan merugikan orang lain dengan penarikan pajak 10% tanpa ada timbal balik.

Kesyirikan yang mereka lakukan, yaitu dengan menyembah sebuah pohon yang bernama Al-Aikah, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

كَذَّبَ أَصْحَابُ الْأَيْكَةِ الْمُرْسَلِينَ، إِذْ قَالَ لَهُمْ شُعَيْبٌ أَلَا تَتَّقُونَ

“Penyembah (pohon) Al-Aikah telah mendustakan para rasul, ketika Syu’aib berkata kepada mereka, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa?’ (QS. Asy-Syu’ara: 176-177)

Dalam firman-Nya yang lain,

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan kepada penduduk Madyan, Kami (utus) saudara mereka sendiri, Syu’aib. Dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah. Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan jangan kamu merugikan orang sedikit pun. Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu orang beriman.’” (QS. Al-A’raf: 85)

Nabi Syu’aib dan gelar Khathibul Anbiya’ 

Sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama bahwa Nabi Syu’aib ‘alaihis salam dijuluki sebagai Khathibul Anbiya’ atau  ahli khotbah (pidato) di kalangan para nabi karena beliau sangat fasih dalam berbicara. (Lihat Tafsir Al-Qurthuby, 7: 248)

Mari kita lihat keahlian beliau saat berkhotbah di hadapan kaumnya dalam beberapa ayat yang akan disampaikan. Nabi Syu’aib ‘alaihis salam berkata,

وَلَا تَقْعُدُوا بِكُلِّ صِرَاطٍ تُوعِدُونَ وَتَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِهِ وَتَبْغُونَهَا عِوَجًا

“Dan janganlah kamu duduk di setiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang-orang yang beriman dari jalan Allah dan ingin membelokkannya.” (QS. Al-A’raf: 86)

Ketika Nabi Syu’aib mendakwahi kaumnya dari sukunya sendiri, ternyata ada suku lain yang beriman kepada beliau. Kemudian ada sekelompok orang yang menghalangi mereka saat ingin pergi ke majelis Nabi Syu’aib dan menakut-nakuti mereka agar tidak beriman. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 7: 248)

Dalam kelanjutan ayat di atas, Nabi Syu’aib juga berkata,

وَاذْكُرُوا إِذْ كُنْتُمْ قَلِيلًا فَكَثَّرَكُمْ وَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ

“Dan ingatlah ketika kamu dahulunya sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu (agar kamu bersyukur, penj.). Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-A’raf: 86)

Nasihat Nabi Syu’aib dalam ayat tersebut menggabungkan antara Targhib (motivasi) dan Tarhib (ancaman). Beliau memotivasi untuk mendapatkan tambahan nikmat dengan bertakwa, dan memberikan peringatan mengenai kebinasaan kaum-kaum terdahulu karena kemungkaran mereka, seperti halnya kaum Nabi Luth.

Beliau melanjutkan perkataannya,

وَإِنْ كَانَ طَائِفَةٌ مِنْكُمْ آمَنُوا بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ وَطَائِفَةٌ لَمْ يُؤْمِنُوا فَاصْبِرُوا حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ بَيْنَنَا وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ

“Jika ada segolongan di antara kamu yang beriman kepada (ajaran) yang aku diutus menyampaikannya, dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah sampai Allah menetapkan keputusan di antara kita. Dialah hakim yang terbaik.” (QS. Al-A’raf: 87)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bagaimana Nabi Syu’aib berkata-kata dengan indah disertai hujah. Bahkan, karena halusnya, seolah-olah beliau mengatakan ‘Kalau kalian tidak juga beriman, maka tunggulah apa yang akan terjadi!’ Padahal sudah jelas bahwa orang yang tidak beriman akan diazab dan dibinasakan oleh Allah.

Kaumnya membalas perkataan Nabi Syu’aib,

قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لَنُخْرِجَنَّكَ يَا شُعَيْبُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَكَ مِنْ قَرْيَتِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا

“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri dari kaum Syu’aib berkata, ‘Wahai Syu’aib! Pasti kami usir engkau bersama orang-orang yang beriman dari negeri kami, kecuali engkau kembali kepada agama kami.’” (QS. Al-A’raf: 88)

Nabi Syu’aib pun berkata,

قَالَ أَوَلَوْ كُنَّا كَارِهِينَ، قَدِ افْتَرَيْنَا عَلَى اللَّهِ كَذِبًا إِنْ عُدْنَا فِي مِلَّتِكُمْ بَعْدَ إِذْ نَجَّانَا اللَّهُ مِنْهَا

“Meskipun kami tidak suka? Sungguh, kami telah mengada-adakan kebohongan yang besar atas nama Allah jika kami kembali kepada agamamu setelah Allah melepaskan kami darinya.” (QS. Al-A’raf: 88-89)

وَمَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَعُودَ فِيهَا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّنَا وَسِعَ رَبُّنَا كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ

“Dan tidaklah pantas kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki. Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Hanya kepada Allah kami bertawakal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil). Engkaulah pemberi keputusan terbaik.” (QS. Al-A’raf: 90)

Beliau mengatakan demikian tidak untuk mengatasnamakan dirinya, akan tetapi yang beliau maksud adalah kaumnya yang beriman setelah dahulunya musyrik. Hal ini ditandai dengan perkataan beliau yang menggunakan dhamir nahnu (kami), dan bukan menggunakan dhamir ana (aku).

Tiga azab kaum Madyan

Ketika kaumnya tidak juga beriman, pemuka kaum Madyan juga memprovokasi kaum Nabi Syu’aib yang beriman agar tidak mengikuti agama beliau (Lihat QS. Al-A’raf: 90). Lalu, Allah kirimkan azab kepada kaum Madyan. Ada tiga azab yang Allah timpakan kepada kaum Madyan yang ingkar, yaitu berupa gempa, hawa panas selama berhari-hari, dan awan hitam yang membawa api (petir) dengan suara yang keras.

Allah Ta’ala berfirman,

فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ

“Lalu, datanglah gempa menimpa mereka, dan mereka pun mati di dalam reruntuhan rumah mereka dalam kondisi tersungkur.” (QS. Al-A’raf : 91)

Dalam firman-Nya yang lain,

وَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا شُعَيْبًا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَأَخَذَتِ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ٱلصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا۟ فِى دِيَٰرِهِمْ جَٰثِمِينَ

“Dan tatkala azab Kami datang, Kami selamatkan Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia dengan rahmat dari Kami. Dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 94)

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ ٱلظُّلَّةِ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

“Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan yang gelap. Sesungguhnya itulah adalah azab pada hari yang dahsyat.” (QS. Asy-Syuara: 189)

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ketika Allah menurunkan azab kepada kaum Madyan, mereka ditimpa kepanasan tanpa angin (yang menyejukkan) sama sekali. Dan disebutkan bahwa mereka mengalami kepanasan yang sangat parah selama tujuh hari. Saat (sebagian) mereka keluar dari rumah, mereka senang karena melihat awan yang dikira akan memberikan kesejukan, padahal awan tersebut adalah azab bagi mereka. Tatkala mereka telah berada di bawah awan tersebut, maka bergetarlah bumi yang mengguncang mereka, kemudian datanglah petir-petir yang menyambar mereka, serta keluar suara yang menggelegar, sehingga akhirnya mereka mati. (Lihat Qashas Al-Anbiya’, 1: 286-287)

Selepas kejadian itu, pergilah Nabi Syu’aib bersama kaumnya. Allah Ta’ala berfirman,

فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَا قَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ فَكَيْفَ آسَى عَلَى قَوْمٍ كَافِرِينَ

“Maka, Syu’aib meninggalkan mereka seraya berkata, ‘Wahai kaumku! Sungguh, aku telah menyampaikan amanat Tuhanku kepadamu dan aku telah menasihati kamu. Maka, bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang kafir?(QS. Al-A’raf: 93)

Semoga kisah ini dapat diambil hikmah dan pelajaranya.

***

Penulis: Muhammad Arif Wijaya, S.Pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85231-kisah-kaum-madyan.html

Dam Bagi Orang Melanggar Wajib Haji

Berikut ini dam bagi orang melanggar wajib haji. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam ibadah haji, manasik yang menjadi rukun dan wajib haji itu berbeda. Jika meninggalkan rukun, maka haji orang tersebut tidak sah sampai ia menunaikan rukun tersebut dan tidak bisa diganti dengan denda.

Dam Bagi Orang Melanggar Wajib Haji

Berbeda dengan wajib haji, terdapat denda yang harus dibayar saat seseorang melanggar kewajiban haji, namun jika sengaja meninggalkannya maka ia berdosa. Manasik yang termasuk wajib haji yaitu memulai ihram dari miqat, bermalam atau mabit di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah dan thawaf wadha.

Syeikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari dalam kitab Qurratul ‘Ain Fii Muhimmati Din menyebutkan, terdapat tahapan denda yang wajib dibayarkan jika orang yang haji meninggalkan manasik wajib. Denda-demda tersebut sebagaimana berikut,

ودم ترك مأمور ذبح فصوم ثلاثة وقبل نحر وسبعة بوطنه

Artinya: “Wajib membayar dam (denda) sebab meninggalkan kewajiban haji yaitu menyembelih seekor kambing kurban, (jika tidak mampu) maka puasa tiga hari sebelum hari kurban (10 Dzulhijjah) dan puasa tujuh hari setelah kembali ke negaranya.

Jenis-jenis Denda karena Melanggar Wajib Haji

Syeikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari dalam kitab Fathul Muin Syarah Qurratul ‘Ain menjelaskan lebih memperincinya bahwa terdapat dua macam denda bagi orang yang melanggar kewajiban haji;

Pertama, menyembelih seekor kambing kurban sebagaimana seseorang yang melakukan haji tamattu’ dan haji qiran. Hewan kurban tersebut harus disembelih di tanah Haram.

Kedua, puasa 10 hari yaitu puasa tiga hari seketika setelah meninggalkan wajib haji tersebut yang wajib ditunaikan setelah ihram sebelum tanggal 10 Dzulhijjah dan puasa tujuh hari setelah pulang ke tanah air. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT berikut

 فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya: “Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.

Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Baqarah: 196)

Pilihan ini diperuntukkan bagi seseorang yang tidak mampu membeli hewan kurban baik karena tidak ada uang atau bisa namun dengan berhutang maka ia tidak wajib menyembelih kurban. Demikian penjelasan mengenai denda yang wajib dibayar jika seseorang melanggar kewajiban haji.

Demikian penjelasan terkait dam bagi orang melanggar wajib haji. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH