Keunggulan Islam itu terbukti dalam berbagai aspek, mulai dari kebenaran ajarannya, kebahagiaan para pelaku, sampai pada aspek saintifik berupa terbangunnya peradaban yang menginspirasi dunia.
SERINGKALI karena derasnya arus informasi yang tidak diimbangi dengan pemahaman yang kuat terhadap ajaran Islam, tidak sedikit anak-anak muda, bahkan sarjana dan akademisi yang tidak percaya diri (PD) dengan ke-Islam-annya. Padahal, Rasulullah telah memberikan penegasan, “Al-Islamu ya’lu walaa yu’la ‘alayh,” yang artinya, “Islam itu unggul dan tidak ada yang mengunggulinya.”
Keunggulan Islam itu terbukti dalam berbagai aspek, mulai dari kebenaran ajarannya, kebahagiaan para pelakunya (Nabi dan Rasul), sampai pada aspek saintifik berupa terbangunnya peradaban yang menginspirasi dunia hingga hari ini.
Sebelum dunia sekarang gaduh soal toleransi, Islam di Madinah telah memprakarsai bagaimana toleransi dibangun. Umat Islam bisa berdampingan hidup bersama non-Muslim. Tentu dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati bersama (Piagam Madinah).
Dalam konteks kemanusiaan, jangankan dalam kondisi damai. Dalam perang pun Islam melarang tentara Muslim membunuh anak-anak, kaum wanita, dan lansia. Bahkan, dalam sejarah, Sholahuddin Al-Ayyubi tidak mau berperang jika pemimpin pihak musuh sedang sakit. Jadi, ketika menang, memang kemenangan itu diraih secara terhormat, bukan dengan kelicikan yang sering digunakan para penjajah dalam mengelabuhi penduduk pribumi.
Kemudian dalam ketertiban sosial, Islam melarang yang namanya khamr (minuman memabukkan, termasuk narkoba), sehingga tidak akan terjadi yang namanya kerusuhan, pembunuhan karena narkoba, kecelakaan mobil karena mabuk, dan lain sebagainya.
Prinsipnya, seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali, Islam dengan syariatnya itu menghendaki yang namanya maslahat. Yakni melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jadi, segala sesuatu yang termasuk upaya melindungi kelima pokok ini adalah maslahat.
Pemahaman di atas sebenarnya sudah cukup banyak diketahui oleh umat Islam sendiri. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana supaya pengetahuan di atas merasuk dalam jiwa sampai membentuk kerangka berpikir dan sistem kesadaran diri?
Pertama, iqra’ bismirabbik. Perbedaan umat Islam dengan umat lainnya adalah pada metodologinya dalam menggali ilmu pengetahuan, termasuk pada pengamalan paling sederhana, yakni membaca. Dalam Islam, membaca harus disertai dengan bismirabbik, yang artinya “Dengan nama Tuhanmu.”
Sebagai contoh kasus, ketika kita melihat hujan, maka hujan ini tidak sebatas penjelasan teori fisika. Tetapi kita masuk lebih dalam bahwa hujan ini adalah bagian dari rekayasa-Nya untuk menciptakan keseimbangan kehidupan alam, sehingga hujan akan dipandang sebagai rahmat.
Lantas, bagaimana tatkala hujan ternyata menimbulkan banjir? Perlu analisa terlebih dahulu.Pertama tentang bagaimana manusia memperlakukan alamnya. Kedua, bagaimana sikap manusia terhadap pepohonan dan tata lingkungannya. Ketika pembangunan sudah tidak lagi memperhatikan alam dan lingkungan, sudah pasti banjir adalah konsekuensi dari perbuatan tangan manusia itu sendiri.
Demikian pula dalam memandang lelaki dan perempuan. Keduanya diciptakan untuk berpasangan. Jadi, bagaimana mungkin ada gagasan yang membolehkan praktik homoseksual dan lesbian. Jika pun itu dirasionalisasikan, maka itulah dampak membaca tanpa bismirabbik.
Kedua, memahami Rasulullah. Pernah ketika masih mahasiswa, saya mengikuti training organisasi kemahasiswaan yang salah satu materinya membahas tentang kebenaran. Menurut instrukturnya kala itu, kita tidak boleh percaya begitu saja dengan apa yang orang katakan sebagai sumber kebenaran, meskipun itu adalah apa yang diyakini kita sebagai kitab suci. “Kebenaran itu dari titik nol, titik,” tegasnya.
Saya lantas bertanya, “Apakah titik nol itu, di manakah titik nol itu, dan siapakah yang mengatakan bahwa kebenaran itu dari titik nol? Kemudian, “Terus, siapa ibu dari yang mengatakan bahwa kebenaran itu dari titik nol, siapa ayahnya, siapa keluarganya, siapa sahabat-sahabatnya, dan bagaimana kesehariannya dalam pergaulan bersama sesama?”
Instruktur itu terdiam. Dan, tak lama kemudian menangis. “Saya merasa bersalah, sebab gara-gara materi ini, dulu saya sempat tidak shalat dan lepas jilbab,” ucapnya sembari mengusap air mata.
Rasulullah itu manusia biasa, tetapi beliau membawa risalah wahyu. Dirinya terjamin, jelas asal-usulnya, lengkap sejarahnya, mulia akhlaknya, bermakna setiap ucapan dan tindakannya. Lantas, bagaimana mungkin kita lebih memilih sumber kebenaran lain daripada apa yang Rasulullah dakwahkan dengan penuh kasih sayang?
Ketiga, komparasi sejarah. Terakhir, kita mesti memahami bahwa Islam itu adalah agama yang menghendaki kemenangan bagi siapapun. Bukan penjajahan, seperti yang selama ini dipraktikkan oleh peradaban Barat.
“Ketika Islam datang ke Indonesia, maka kekayaan alam Indonesia tidak diangkut ke Makkah dan Madinah. Sebaliknya, ketika Portugis dan Belanda datang ke Indonesia, maka kekayaan alam Indonesia diangkut sekuat mereka mengangkut ke negerinya masing-masing.
Jadi, Islam itu mulia dan memuliakan. Oleh karena itu, penting bagi seluruh umat Islam, terutama generasi mudanya untuk kembali mengkaji Islam secara serius, sehingga tidak kehilangan jati diri, apalagi kehilangan adab. Sungguh, Islam ini mulia dan akan mulia siapa yang hidup istiqomah bersama ajaran Islam. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi