TWI: Pemerintah Belum Serius Soal Wakaf

Pemerintah Indonesia dinilai belum sepenuhnya mendukung secara serius adanya wakaf produktif. Sebab, kondisi lembaga wakaf  saat ini sangat dipersulit menjalankan tugasnnya karena berhadapan dengan lembaga yang rentan dengan korupsi.

“Dalam mengurus surat dari RT, RW, Lurah, KUA dilakukan wakaf lalu balik nama ada biayannya, biayannya berbeda tergantung luas tanah yang diberikan wakif (pewakaf),”kata Parmuji Abbas GM Pengembangan Aset Wakaf Produktif Tabungan Wakaf Indonesia belum lama ini.

Parmuji mengatakan, jika  wakaf di Indonesia ingin maju dan berkembang di pemerintah harus mendukung 100 persen setiap langkah lembaga wakaf. Artinya, kata dia, lembaga wakaf dipermudah dan tidak dipersulit ketika mengurus sertifikat wakat tersebut.

“Terus terang saja, kita masih banyak wakaf tanah yang belum diselesaikan serifikat wakafnya itu karena kesulitan,”ujarnya.

Parmuji mencontohkan, TWI kesulitan ketika hendak menerima tanah wakaf yang diterima dari pihak swasta di Desa Kelapa Nunggal, Kabupaten Bogor yang memakan waktu hampir satu tahun. Ia menilai, terdapat unsur korupsi dalam proses penyelesaian sertifikat wakat tersebut.

“Ada permainan antara kepada desa dan KUA, kita diminta sejumlah uang dengan asumsi bahwa di desa tersebut ada kebijakan itu ada biayanya untuk mendapatkan surat keterangan tanah tidak seketa atau tanah wakaf, itu ada biayannya, mereka minta lima persen dari harga tanah, kemudian turun terus hingga satu persen dengan nominal Rp 147 Juta,”ungkapnya.

Melihat kodisi demikian, kata Parmuji, TWI berupaya melaporkan upaya-upaya korupsi tersebut ke KPK. Pihak KPK mengatakan kasus tersebut diluar penanganannya. Hal itu karena tidak merugikan negara dan tidak dilakukan oleh oknum ekselon I ke atas.

Tak sampai disitu, TWI pun melaporkan kasus-kasus tersebut ke Ombudsmen. TWI kecewa mendengar jawaban Ombudsmen bahwa pihaknya sudah memberi teguran tetapi masih banyak oknum yang tetap melakukan.

“Artinya, tidak ada tindakan serius dari pemerintah untuk memberantas hal seperti itu,”ungkapnya.

 

sumber: Republika Online

Begini Cara Membuat Anak Tumbuh Bahagia

Tugas orang tua tidak hanya membesarkan anak, tapi memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mereka. Orang tua juga harus mengajarkan kepada mereka untuk menggunakan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari.

Ada berbagai macam cara untuk menciptakan suasana indah di dalam keluarga dan memberikan anak Anda kesempatan untuk memperoleh potensi. Seperti yang dlansir Womanitely pada Senin (20/7) membuat anak Anda lebih bahagia ketika bersama keluarga.

Dongeng dan Perumpamaan
Dongeng merupakan bagian penting dari pengembangan pribadi anak. Psikolog membuktikan bahwa dongeng membantu anak-anak memahami realitas. Dongeng dan perumpamaan memberi kita kesempatan untuk menjelaskan ke anak apa yang baik dan apa yang buruk. Anak memiliki karakter positif dan negatif, yang dapat mendorong mereka melakukan perbuatan baik atau buruk. Dengan kata lain, dongeng adalah refleksi dari kehidupan nyata, komunikasi dan hubungan antara orang-orang. Ketika mendengarkan dongeng, ia akan membayangkan karakter, perasaan dan emosi mereka selain itu mengembangkan keterampilan imajinasi saya.

Hewan Peliharaan
Sudah terbukti bahwa hewan memainkan peran besar dalam proses pembentukan identitas anak. Mereka selalu berhubungan baik dan cinta tulus terhadap peliharaan mereka. Ada semacam hubungan antara hewan peliharaan dan anak-anak. Hewan dapat membantu orang tua menumbuhkan tanggung jawab, kasih sayang, rasa percaya diri dan kehati-hatian pada anak-anak.

Hewan sering bertindak sebagai psikoterapi terhadap anak-anak yang tumbuh tanpa saudara atau saudari kadang-kadang merasa kesepian, terutama bila orang tua sedang bekerja atau sibuk dengan pekerjaan rumah tangga mereka. Anak-anak memiliki kesempatan untuk berbicara dengan hewan peliharaan atau berbagi perasaan mereka yang memberi mereka bantuan besar dari stres dan kekhawatiran.

Aktivitas fisik
Sayangnya, banyak orang tua hanya fokus pada perkembangan mental anak-anak mereka. Dokter menyarankan untuk menjaga keseimbangan antara aktivitas mental dan fisik sepanjang waktu, karena tubuh manusia tidak dapat berfungsi secara normal tanpa latihan fisik. Ini diperlukan untuk membiasakan anak-anak untuk senam dan olahraga dari usia dini. Ini harus menjadi kebiasaan anak yang kuat dan kemudian berubah menjadi hobi.

Orang tua harus membantu anak untuk memilih jenis olahraga yang berdasarkan kemampuan fisik mereka. Tidak semua anak akan menjadi seorang profesional, tapi olahraga adalah terapi terbaik terhadap kesedihan dan banyak masalah kesehatan lainnya. Olahraga mengajarkan anak-anak untuk bekerja sama sebagai anggota tim dan menemukan teman sejati. Anak-anak harus melakukan latihan fisik setidaknya 30 menit sehari secara teratur karena olahraga adalah kunci untuk hidup sehat dan panjang umur.

Kiat Pendidikan Islam pada Anak Sejak Dini

Mendidik anak secara islami bukanlah sesuatu yang sulit dikerjakan jika para orangtua mau belajar menerapkan pendidikan islam pada anak sejak dini. Anak merupakan amanah dari Allah SWT yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya, diberikan pendidikan sehingga dapat tumbuh menjadi pribadi yang shalih dan dapat menjadi kebanggaan para orangtua.

Sayangnya, orangtua kini lebih mudah menyalahkan anak atas perilaku yang tidak baik dibandingkan mengevaluasi apakah orangtua sudah menerapkan pendidikan islami pada anak dengan baik. Mendidik anak akan jauh lebih mudah jika dimulai sejak anak masih kecil. Anak-anak akan lebih menyerap apa yang diajarkan orang tua saat ia masih kecil.

Oleh karena itu, orangtua dapat belajar mendidik anak dengan menerapkan kiat-kiat berikut ini supaya anak tumbuh dengan karakter islami.

1. Setiap Anak Terlahir Unik

Hal pertama yang harus disadari oleh para orangtua adalah Allah SWT menciptakan anak-anak dengan karakter dan sifat yang berbeda-beda. Setiap anak memiliki karakter yang unik sehingga tidak bisa disamakan pola pendidikannya. Orangtua perlu mengenali kareakter anak agar dapat mendidik anak sesuai dengan keunikan yang mereka miliki dan menghindari ‘pemaksaan’ terhadap anak. Anak membutuhkan dukungan orangtua untuk mendorong mereka lebih maju dengan mengembangkan potensi yang Allah SWT berikan pada mereka.

2. Kenalkan dan Tanamkan Kasih Sayang Allah SWT pada Anak

Anda dapat mengenalkan kasih sayang Allah pada anak dengan cara membiasakan mereka untuk mengucap “La illaha illah Allah”. Kemudian saat meminta sesuatu, selalu ajarkan mereka untuk meminta hanya kepada Allah SWT dalam doa-doa mereka, shingga keimanan Anak dapat tertanam kuat di dala jiwa mereka. Saat bersantai, ceritakan mengapa manusia harus beribadah dan taat pada Allah SWT.

3. Ajarkan Shalat

Ajari anak Shhalat sejak ia masih kecil. Ajak mereka shalat berjamaah sebagai bentuk pembiasaan dan pendidikan yang baik terhadap disiplin anak. Ajari mereka untuk shalat tepat waktu sejak kecil, agar kelak ketika dewasa ia secara otomatis dapat membawa kebiasaan tersebut dimanapun ia berada. Rasulullah Saw berkata, “Ajarilah anak-anakmu salat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan ketika mereka berusia sepuluh tahun, hukumlah jika mereka melalaikan salat.”

4. Tanamkan Jiwa Sosial

Anak-anak hendaknya dibiasakan untuk peka terhadap keadaan sekitarnya. Hal ini akan memupuk jiwa sosialnya supaya ia bisa menjadi pribadi yang peka terhadap kesusahan orang lain. Rasa empati yang tinggi akan mendodong anak untuk menolong orang lain yang sedang kesulitan, dan itu merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim yang baik.

5. Cinta Keluarga

Limpahi anak-anak kasih sayang yang akan membuatnya juga bersifat penyayang pada keluarganya. Rasa cinta keluarga akan membuat anak menjadi pribadi yang shalih, mau mendoakan orangtuanya serta seluruh keluarganya agar selamat di dunia dan di akhirat.

6. Biasakan Membaca

Membaca adalah salah satu cara untuk membuka wawasan dan menambah ilmu pengetahuan. Teladani anak supay amau rajin membaca, terutama ilmu-ilmu agama sebagai dasar mereka dalam beribadah kepada Allah SWT dan bermuamalah dengan orang lain. Tiada merugi membiasakan anak rajin membaca, supaya anak memiliki kemauan untuk belajar tanpa dipaksa.

7. Bicara dengan Bahasa Sederhana

Agar anak memahami apa yang Anda maksudkan saat mengajari anak tentang islam, jangan menggnakan bahasa yang rumit dan ‘njelimet’, karena akan membuat anak bingung lagi jenuh. Usahakan untuk memberikan pemahaman pada anak dengan bahasa yang terjangkau nalar mereka, sehingga anak merasa senang saat Anda memberikan pengetahuan islam padanya. Gunakan bahasa yang sederhana dan jelas.

8. Rutinkan Ibadah dan Berbuat Baik

Ajari anak untk beribadah secara rutin seperti shalat 5 kali sehari, berpuasa ramadhan, berdoa sebelum beraktivitas apapun, tersenyum kepada semua orang sebagai bentuk ibadah, bersedekah, dan berbuat baik terhadap orangtua, saudara dan teman-temannya. Jika anak rutin menjalankannya, niscaya akan menjadi karekter baik yang menetap pada diri anak-anak.

9. Jadilah Teladan yang Baik

Tentunya, mendidik anak secara islami juga harus melibatkan orangtua sebagai role model. Jangan sampai pendidikan agama islam hanya dibebankan kepada guru agama, sedangkan orangtua banyak melanggar ajaran islam itu sendiri. Jadilah teladan yang baik bagi anak-anak dalam berislam dan berakhlak baik, karenaa pendidikan anak memang berakar pada kedua orangtuanya.

10. Ajari Anak untuk Mencari Solusi

Saat menghadapi permasalahan, tuntun anak untuk berpikir solutif. Artinya, ajari anak untuk mencari solusi atas permasalahannya, bukan hanya mengeluh. Ajari pula anak untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah SWT agar anak senantiasa yakin bahwa Allah adalah Yang Maha Memberikan Jalan Keluar.

Insya Allah, anak-anak Anda akan tumbuh sebagai anak yang shalih berkat pendidikan islam yang baik dari kedua orangtuanya.

 

sumber: Fimadani.com

Lima Poin Pendidikan Anak Dalam Islam

Bunda, apakah ilmumu hari ini? Sudahkah kau siapkan dirimu untuk masa depan anak-anakmu? Bunda, apakah kau sudah menyediakan tahta untuk tempat kembali anakmu? Di negeri yang Sebenarnya. Di Negeri Abadi? Bunda, mari kita mengukir masa depan anak-anak kita. Bunda, mari persiapkan diri kita untuk itu.

Hal pertama Bunda, tahukah dikau bahwa kesuksesan adalah cita-cita yang panjang dengan titik akhir di Negeri Abadi? Belumlah sukses jika anakmu menyandang gelar atau jabatan yang tertinggi, atau mengumpulkan kekayaan terbanyak. Belum Bunda, bahkan sebenarnya itu semua tak sepenting nilai ketaqwaan. Mungkin itu semua hanyalah jalan menuju ke Kesuksesan Sejati. Atau bahkan, bisa jadi, itu semua malah menjadi penghalang Kesuksesan Sejati.

Gusti Allah Yang Maha Mencipta Berkata dalam KitabNya:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS 3:185)

Begitulah Bunda, hidup ini hanya kesenangan yang menipu, maka janganlah tertipu dengan tolok ukur yang semu. Pancangkanlah cita-cita untuk anak-anakmu di Negeri Abadi, ajarkanlah mereka tentang cita-cita ini. Bolehlah mereka memiliki beragam cita-cita dunia, namun janganlah sampai ada yang tak mau punya cita-cita Akhirat.

Kedua, setelah memancangkan cita-cita untuk anak-anakmu, maka cobalah memulai memahami anak-anakmu. Ada dua hal yang perlu kau amati:

Pertama, amati sifat-sifat khasnya masing-masing. Tidak ada dua manusia yang sama serupa seluruhnya. Tiap manusia unik. Pahami keunikan masing-masing, dan hormati keunikan pemberian Allah SWT.

Yang kedua, Bunda, fahami di tahap apa saat ini si anak berada. Allah SWT mengkodratkan segala sesuatu sesuai tahapan atau prosesnya.
Anak-anak yang merupakan amanah pada kita ini, juga dibesarkan dengan tahapan-tahapan.

Tahapan sebelum kelahirannya merupakan alam arwah. Di tahap ini kita mulai mendidiknya dengan kita sendiri menjalankan ibadah, amal ketaatan pada Allah dan juga dengan selalu menjaga hati dan badan kita secara prima. Itulah kebaikan-kebaikan dan pendidikan pertama kita pada buah hati kita.

Pendidikan anak dalam Islam, menurut Sahabat Ali bin Abitahalib ra, dapat dibagi menjadi 3 tahapan/ penggolongan usia:

  1. Tahap BERMAIN (“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.
  2. Tahap PENANAMAN DISIPLIN (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun.
  3. Tahap KEMITRAAN (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.

Ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Begitulah kita coba memperlakukan mereka sesuai dengan sifat-sifatnya dan tahapan hidupnya.

Hal ketiga adalah memilih metode pendidikan. Setidaknya, dalam buku dua orang pemikir Islam, yaitu Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) dan Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam), ada lima Metode Pendidikan dalam Islam.

Yang pertama adalah melalui Keteladanan atau Qudwah, yang kedua adalah dengan Pembiasaan atau Aadah, yang ketiga adalah melalui Pemberian Nasehat atau Mau’izhoh, yang keempat dengan melaksanakan Mekanisme Kontrol atau Mulahazhoh, sedangkan yang terakhir dan merupakan pengaman hasil pendidikan adalah Metode Pendidikan melalui Sistem sangsi atau Uqubah.

Bunda, jangan tinggalkan satu-pun dari ke lima metode tersebut, meskipun yang terpenting adalah Keteladanan (sebagai metode yang paling efektif).

Setelah bicara Metode, ke empat adalah Isi Pendidikan itu sendiri. Hal-hal apa saja yang perlu kita berikan kepada mereka, sebagai amanah dari Allah SWT.
Setidak-tidaknya ada 7 bidang. Ketujuh Bidang Tarbiyah Islamiyah tersebut adalah: (1) PendidikanKeimanan (2) Pendidikan Akhlaq (3) Pendidikan Fikroh/ Pemikiran (4) Pendidikan Fisik (5) PendidikanSosial (6) Pendidikan Kejiwaan/ Kepribadian (7) Pendidikan Kejenisan (sexual education). Hendaknya semua kita pelajari dan ajarkan kepada mereka.

Ke lima, kira-kira gambaran pribadi seperti apakah yang kita harapkan akan muncul pada diri anak-anak kita setelah hal-hal di atas kita lakukan? Mudah-mudahan seperti yang ada dalam sepuluh poin target pendidikan Islam ini:
Selamat aqidahnya, Benar ibadahnya, Kokoh akhlaqnya, Mempunyai kemampuan untuk mempunyai penghasilan, Jernih pemahamannya, Kuat jasmaninya, Dapat melawan hawa nafsunya sendiri, Teratur urusan-urusannya, Dapat menjaga waktu, Berguna bagi orang lain.

Insya Allah, Dia Akan Mengganjar kita dengan pahala terbaik, sesuai jerih payah kita, dan Semoga kita kelak bersama dikumpulkan di Negeri Abadi. Amin. Wallahua’lam, (SAN)

Catatan:

  • Lima Poin Pendidikan Anak: -1.Paradigma sukses-2.Mengenal Tahapan dan Sifat-3.Metode-4.Isi-5.Target.
  •  Buku Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) diterjemahkan dengan judul “Sistem Pendidikan Islam” terbitan Al-Ma’arif Bandung, dan buku Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam) diterjemahkan dengan judul Pendidikan Anak Dalam Islam.

sumber: EraMuslim.com

Tanah Wakaf Bisa untuk Kegiatan Produktif

Pakar ekonomi Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Euis Amalia mengatakan tanah wakaf sebaiknya tidak hanya dimanfaatkan untuk makam, masjid atau mushala, tetapi bisa juga untuk kegiatan produktif yang bisa memberikan hasil demi kemaslahatan umat.

“Bisa saja tanah wakaf digunakan dibangun apartemen atau rumah susun. Hasil dari sewa dan pengelolaan apartemen atau rumah susun bisa digunakan untuk kemaslahatan umat,” kata Euis Amalia kepada Antara di Jakarta, Ahad (19/7).

Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta itu mengatakan wakaf juga tidak harus berupa tanah atau barang lainnya. Wakaf bisa berupa uang tunai, deposito ataupun saham yang produktif.

Selain wakaf, zakat pun bisa digunakan untuk kegiatan produktif, daripada selama ini lebih banyak untuk kegiatan konsumtif, misalnya zakat fitrah yang memang berupa bahan makanan pokok.

Menurut Euis, zakat-zakat jenis lain berpotensi untuk dikembangkan untuk kegiatan produktif, misalnya untuk modal usaha bergulir yang diberikan kepada delapan ashnaf mustahiq atau golongan yang berhak menerima zakat.

“Selama ini masyarakat lebih banyak mengenal zakat fitrah yang diberikan saat Ramadhan. Padahal, masih banyak zakat lain di luar Ramadhan seperti zakat maal, zakat penghasilan atau lainnya,” tuturnya.

Dengan zakat dikelola sebagai modal usaha bagi para mustahiq, Euis mengatakan mereka dapat naik status menjadi muzakki atau wajib zakat.

Untuk mewujudkan wakaf dan zakat untuk pengembangan kegiatan produktif, Euis mengatakan diperlukan lembaga pengelola atau amil yang profesional dan kompeten.

Menurut Euis, ada beberapa lembaga yang pernah menghitung potensi zakat di Indonesia. UIN Jakarta memperkirakan potensi zakat Indonesia mencapai Rp19 triliun per tahun, sedangkan lembaga PIRAC memperkirakan Rp20 triliun.

“Bahkan Bank Pembangunan Asia memperkirakan potensi zakat Indonesia bisa mencapai Rp100 triliun per tahun. Namun, kenyataannya, zakat yang terhimpun hanya Rp3 triliun hingga Rp4 triliun,” ucapnya.

Euis mengatakan ada beberapa sebab potensi zakat tidak terkumpul
secara maksimal. Salah satunya adalah sosialisasi pemahaman umat Islam Indonesia yang rendah terhadap zakat.

“Masih banyak yang berpikir zakat hanya dilakukan saat Ramadhan. Itu adalah zakat fitrah. Padahal masih ada zakat-zakat lain. Belum lagi bentuk derma lainnya

 

sumber: Republika Online

Pendidikan Anak, Tanggung Jawab Siapa?

Siapa yang bertanggung jawab menjadikan anak-anak menjadi anak yang shalih, apakah orang tua? Ataukah sekolah dan para gurunya?

Kita yang sudah menjadi orang tua tentu senantiasa berharap, berdo’a dan berusaha semaksimal mungkin agar anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang bermanfaat. Namun siapa yang bertanggung jawab menjadikan mereka anak shalih, apakah orang tua? Ataukah sekolah dan para gurunya?

Beruntungnya Orang Tua Yang Memiliki Anak Shalih

Sungguh beruntung dan berbahagialah orang tua yang telah mendidik anak-anak mereka sehingga menjadi anak yang shalih, yang selalu membantu orang tuanya, mendo’akan orang tuanya, membahagiakan mereka dan menjaga nama baik kedua orang tua. Karena anak yang shalih akan senantiasa menjadi investasi pahala, sehingga orang tua akan mendapat aliran pahala dari anak shalih yang dimilikinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim: 1631).

Demikian pula, kelak di hari kiamat, seorang hamba akan terheran-heran, mengapa bisa dia meraih derajat yang tinggi padahal dirinya merasa amalan yang dia lakukan dahulu di dunia tidaklah seberapa, namun hal itu pun akhirnya diketahui bahwa derajat tinggi yang diperolehnya tidak lain dikarenakan do’a ampunan yang dipanjatkan oleh sang anak untuk dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ أَنَّى لِي هَذِهِ فَيَقُولُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sesunguhnya Allah ta’ala akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surge. Kemudian dia akan berkata, “Wahai Rabb-ku, bagaimana hal ini bisa terjadi padaku? Maka Allah menjawab, “Hal itu dikarenakan do’a yang dipanjatkan anakmu agar kesalahanmu diampuni.” (HR. Ahmad: 10618. Hasan).

Oleh karenanya, saking urgennya pembinaan dan pendidikan sang anak sehingga bisa menjadi anak yang shalih, Allah ta’ala langsung membebankan tanggung jawab ini kepada kedua orang tua. Allah ta’ala berfirman dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ (٦)

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At Tahrim: 6).

Seorang tabi’in, Qatadah, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan,

تأمرهم بطاعة الله وتنهاهم عن معصية الله وأن تقوم عليهم بأمر الله وتأمرهم به وتساعدهم عليه فإذا رأيت لله معصية ردعتهم عنها وزجرتهم عنها

“Yakni, hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim4/502).

Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memikulkan tanggung jawab pendidikan anak ini secara utuh kepada kedua orang tua. Dari Ibnu radhiallahu ‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278).

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,

أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته وما ذا علمته وهو مسؤول عن برك وطواعيته لك

“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Tuhfah al Maudud hal. 123).

Tanggung Jawab Orang Tua

Tanggung jawab pendidikan anak ini harus ditangani langsung oleh kedua orang tua. Para pendidik yang mendidik anak di sekolah–sekolah, hanyalah partner bagi orang tua dalam proses pendidikan anak.

Orang tua yang berusaha keras mendidik anaknya dalam lingkungan ketaatan kepada Allah, maka pendidikan yang diberikannya tersebut merupakan pemberian yang berharga bagi sang anak, meski terkadang hal itu jarang disadari. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Hakim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن

“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679).

Mengenai tanggung jawab pendidikan anak terdapat perkataan yang berharga dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata, “perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din 3/72).

Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak berfaedah bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah, engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud hal. 125).

Orang Tua Shalih, Anak pun Shalih!

“Hazm mengatakan, “Saya mendengar al-Hasan al-Bashri ditanya oleh Katsir bin Ziyad mengenai firman Allah ta’ala, “

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (٧٤)

“Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Furqan: 74).

Katsir bin Ziyad bertanya kepada al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apakah yang dimaksud qurrata a’yun (penyenang hati) dalam ayat ini terjadi di dunia ataukah di akhirat? Maka al-Hasan pun menjawab, “Tidak, bahkan hal itu terjadi di dunia.” Katsir pun bertanya kembali, “Bagaimana bisa?” al-Hasan menjawab, “Demi Allah, Allah akan memperlihatkan kepada seorang hamba, istri, saudara dan kolega yang taat kepada Allah dan demi Allah tidak ada yang menyenangkan hati seorang muslim selain dirinya melihat anak, orang tua, kolega dan saudara yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Tuhfah al Maudud hal. 123).

Betapa indahnya, jika kita memandang anak-anak kita menjadi anak yang shalih, karena hal itu salah satu penyejuk pandangan kita. Namun yang patut kita perhatikan adalah faktor yang juga mengambil peran penting dalam pembentukan keshalehan anak adalah keshalihan orang tua itu sendiri.

Jika kita menginginkan anak-anak shalih, maka kita juga harus menjadi orang yang shalih. Ada pepatah Arab yang bagus mengenai hal ini,

كيف استقم الظل و عوده أعوج

“Bagaimana bisa bayangan itu lurus sementara bendanya bengkok?”

Kita selaku orang tua adalah bendanya sedangkan anak-anak kita adalah bayangannya. Jika diri kita bengkok, maka anak pun akan bengkok dan rusak. Dan sebaliknya, jika diri kita lurus, maka insya Allah anak-anak akan lurus.

Allah ta’ala berfirman,

ذُرِّيَّةً بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Keturunan itu sebagiannya merupakan (turunan) dari yang lain.” (Ali Imran: 34).

Maksud dari ayat di atas adalah orang tua yang baik, sumber yang baik, insya Allah akan menghasilkan keturunan yang baik pula.

Keshalihan orang tua juga akan memberikan manfaat positif, karena Allah akan menjaga sang anak. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 82,

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢)

“Adapun dinding rumah itu  adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (Al Kahfi: 82).

Dalam ayat ini diberitakan bahwa dikarenakan keshalihan orang tua, Allah menjaga dan memelihara sang anak, serta tidak mengecewakan orang tua. Oleh karenanya, keshalihan orang tua itu akan berpengaruh pada sang anak, bahkan manfaat itu tidak terbatas pada sang anak semata, tapi juga berdampak kepada cucu-cucunya sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsirrahimahullah bahwa yang dimaksud ” وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا ” dalam ayat tersebut adalah kakek ketujuh dari dua anak tadi.

Kelak di surga, Allah ta’ala pun akan mengumpulkan sang anak bersama orang tua mereka yang shalih, meskipun amalan sang anak tidak dibanding amalan orang tua.

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (٢١)

“Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath Thuur: 21).

Maka disini, Allah ta’ala memasukkan anak-anak orang mukmin ke dalam surga dengan syarat mereka juga beriman. Maka, betapa menyenangkannya, jika kita berkumpul bersama keluarga kita di surga sebagaimana kita berkumpul di dunia ini. Meskipun amal ibadah sang anak tidak sepadan dengan kedua orang tuanya, amalnya kurang daripada orang tuanya, namun Allah tetap memasukkan keturunannya ke dalam surga. Karena apa? Karena keshalehan kedua orang tuanya.

Betapa pentingnya hal ini, yaitu menjadikan pribadi kita, yaitu orang tua, menjadi pribadi yang shalih, sampai-sampai salah seorang yang shalih pernah mengatakan,

يا بني إني لأستكثر من الصلاة لأجلك

“Wahai anakku, sesungguhnya aku memperbanyak shalat karenamu (dengan harapan Allah akan menjagamu).”

Ada seorang tabi’in yang bernama Sa’id ibn al-Musayyib rahimahullah juga pernah berkata,

إني لأصلي فأذكر ولدي فأزيد في صلاتي

“Ada kalanya ketika aku shalat, aku teringat akan anakku, maka aku pun menambah shalatku (agar anak-anakku dijaga oleh Allah ta’ala).”

Maka, mari kita menjadikan diri kita sebagai pribadi yang baik, taat kepada Allah dan shalih, kita jalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan harapan nantinya Allah ta’ala menjaga dan memelihara anak-anak kita.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel Muslim.Or.Id

Isi Penjelasan Kemenag Soal Anggaran Wakaf

Direktur Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama, Hamka membantah jika anggaran yang diberikan kementerian agama berbeda di setiap lokasinya. Ia mengatakan setiap lokasi mendapatkan anggaran dua juta rupiah tanpa memandang lebar tanah dan provinsi. Kecuali provinsi papua dan papua barat sebesar 10 juta per lokasi.

“Dalam satu tahun anggaran yang dimiliki kementerian agama untuk melakukan sertifikasi tanah wakaf sebanyak lima miliar rupiah. Sehingga dalam satu tahun hanya bisa  mensertifikat 2.500 lokasi dengan anggaran satu lokasinya dua juta rupiah,” kata dia, Selasa (9/6).

Untuk tahun ini terdapat enam provinsi yang tidak memperoleh bantuan anggaran untuk sertifikasi tanah wakaf yakni Kalteng, sulawesi Tenggara, NTT, Maluku Utara, Bangka Belitung dan Papua barat. Ini dikarenakan pemberian dana tergantung permohonan dan pengajuan masing-masing kantor kementerian agama tingkat provinsi.

Provinsi yang tidak memperoleh bantuan artinya tidak mengajukan permohonan.  Untuk tahun ini, semua dana sudah disitribusikan ke setiap provinsi yang mengajukan.

 

sumber: Republika Online

Hindari Sikap Mencela Anak

DALAM ungkapan bijak disebutkan, sesungguhnya banyak melakukan celaan terhadap anak akan mengakibatkan penyesalan. Teguran dan celaan yang berlebihan akan berakibat anak makin berani melakukan tindakan keburukan dan hal-hal tercela.

Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallamadalah orang yang paling menghindari hal tersebut. Beliau tidak banyak melakukan teguran terhadap anak dan tidak pula banyak mencela sikap apa pun yang dilakukan oleh anak. Tidaklah sekali-kali Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallammengambil sikap ini, termasuk dalam menanamkan perasaan punya malu serta menumbuhkan keutamaan sikap mawas diri dan ketelitian yang berkaitan erat dengan akhlak mulia.

Semua sentuhan pendidikan yang begitu tinggi dari Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam pernah dialami Anas r.a yang pernah melayani Rasulullah, sebagaimana diungkapkan melalui hadits berikut:

“Aku telah melayani Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam selama 10 tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah mengeluarkan kata-kata hardikan kepadaku, tidak pernah menanyakan: `Mengapa engkau lakukan?’ Dan pula tidak pernah mengatakan: ‘Mengapa tidak engkau lakukan?’” (Bukhari, Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Tidaklah sekali-kali beliau memerintahkan sesuatu kepadaku, kemudian aku menangguhkan pelaksanaannya atau menyia-nyiakannya, lalu beliau mencelaku. Jika ada salah seorang dari ahli baitnya mencelaku, justru beliau membelaku: ‘Biarkanlah dia, seandainya hal itu ditakdirkan terjadi, pastilah akan terjadi.’” (Ahmad)

Sehubungan dengan hal ini, barangkali seseorang akan mengatakan, “Seandainya kita bersikap lemah-lembut dan banyak toleran, tentulah anak akan bertambah berani melakukan pelanggaran dan kita tidak bisa mengarahkan atau membimbingnya lagi.” Untuk ini penulis katakan, “Mengapa tidak berbuat kurang ajar, baik Anas, Ibnu `Abbas, Zaid Ibnu Haritsah, dan putranya Usamah Ibnu Zaid, anak-anak Ja`far, anak-anak pamannya, Al-‘Abbas, maupun anak-anak lainnya, yang pendidikan mereka ditangani oleh NabiShalallaahu ‘Alahi Wasallam sehingga mereka menjadi tokoh dan para imam pemberi petunjuk?

Orang yang tidak menyukai metoda pendidikan yang dilakukan oleh NabiShalallaahu ‘Alahi Wasallam atau memandang bahwa selain metoda NabiShalallaahu ‘Alahi Wasallam ada metoda yang lebih baik, atau ada upaya melakukan perbaikan atau modifikasi atas metoda NabiShalallaahu ‘Alahi Wasallam, tentulah anak seperti Ibnu ‘Abbas tidak akan menjadi seorang Ibnu ‘Abbas bila dididik olehnya, tetapi akan menjadi seorang yang paling buruk perangainya. Demikian pula akan terjadi kegagalan dalam mendidik Usamah atau Anas.

Dalam memberikan pendidikan, NabiShalallaahu ‘Alahi Wasallam telah pula berinteraksi dengan sejumlah pemuda berwatak aneh. Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallam pernah berinteraksi dengan seorang pemuda yang datang kepadanya meminta izin untuk berzina, maka beliau memperlakukannya dengan lembut dan cara yang bijaksana sehingga mampu mengganti langkah pemuda itu menuju jalan keselamatan dan tobat.

Beliau pernah berinteraksi dengan para pemuda yang suka membuat keonaran, yaitu mereka yang suka melempari pohon kurma milik orang lain untuk mengambil buahnya yang sudah masak. Demikian pula beliau pernah berinteraksi dengan pemuda Nasrani yang pada saat-saat terakhir dari usia sang pemuda beliau menyerunya untuk masuk Islam. Akhirnya, sang pemuda mau masuk Islam setelah meminta izin kepada orang tuanya yang beragama Nasrani melalui isyarat matanya.

Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallam pernah berinteraksi dengan sejumlah orang yang suka berbuat kesalahan, kemaksiatan, dan suka minum khamr, namun pada akhirnya mereka keluar keadaan sadar dan kembali ke jalan yang benar. Hal ini dinyatakan berdasarkan pengakuan mereka sendiri bahwa mereka belum pernah melihat seorang mu’allim (pengajar) pun yang lebih lembut dan lebih baik pengajarannya selain beliau. Masing-masing dari mereka diperlakukan oleh Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallam dengan sikap yang lembut dan bijaksana, sehingga hasilnya benar-benar 100% sangat positif.

Akan tetapi memang benar, perbedaannya ialah kita terlalu cepat mengambil keputusan dan sangat tergesa-gesa untuk meraih hasil, tanpa mau bersikap sabar dan telaten, padahal Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallam sering berpesan kepada kita untuk bersabar, sebagaimana beliau bersabar dalam mendidik ketiga anak perempuannya dengan telaten dan memperlakukan mereka dengan baik.

Nasihat Al-Ghazali

Al-Imam Al-Ghazali mempunyai nasihat yang sangat berharga untuk para murabbi. Ia mengatakan: “Jangan Anda banyak mengarahkan anak didik Anda dengan celaan setiap saat, karena sesungguhnya yang bersangkutan akan menjadi terbiasa dengan celaan. Akhirnya, ia akan bertambah berani melakukan keburukan, dan nasihat pun tidak dapat mempengaruhi hatinya lagi. Hendaklah seorang pendidik selalu bersikap menjaga wibawa dalam berbicara dengan anak didiknya. Untuk itu, janganlah ia sering mencelanya, kecuali hanya sesekali saja, dan hendaknya sang ibu membantu anaknya hormat pada ayahnya serta membantu sang ayah mencegah sang anak dari melakukan keburukan.” (Ihya `Ulumuddin juz 3).*

Dari buku Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallamkarya Jamaal ‘Abdur Rahman.

Rep: Admin Hidcom

Editor: Syaiful Irwan

sumber: Hidayatullah.com

4 Golongan Manusia Menurut Imam Al-Ghazali

Menurut Imam Ghazali, manusia yang paling buruk ia selalu merasa mengerti, padahal ia tidak tahu apa-apa

ADALAH Syeikh Imam al Ghazali atau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafii adalah ulama produktif. Tidak kurang 228 kitab telah ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu; tasawuf, fikih, teologi, logika, hingga filsafat.

Sang Hujjatul Islam (julukan ini diberikan karena kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah) ini sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam.

Al Ghazali pernah membagi manusia menjadi empat (4) golongan;

Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri (Seseorang yang Tahu (berilmu), dan dia Tahu kalau dirinya Tahu).

Orang ini bisa disebut ‘alim = mengetahui. Kepada orang ini yang harus kita lakukan adalah mengikutinya. Apalagi kalau kita masih termasuk dalam golongan orang yang awam, yang masih butuh banyak diajari, maka sudah seharusnya kita mencari orang yang seperti ini, duduk bersama dengannya akan menjadi pengobat hati.

“Ini adalah jenis manusia yang paling baik. Jenis manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia tahu kalau dirinya itu berilmu, maka ia menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat,” ujarnya.

Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri (Seseorang yang Tahu (berilmu), tapi dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu).

Untuk model ini, bolehlah kita sebut dia seumpama orang yang tengah tertidur. Sikap kita kepadanya membangunkan dia. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Manusia jenis ini sering kita jumpai di sekeliling kita. Terkadang kita menemukan orang yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak tahu kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia seakan gak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia tapi rugi di akhirat.

Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri (Seseorang yang tidak tahu (tidak atau belum berilmu), tapi dia tahu alias sadar diri kalau dia tidak tahu).

Menurut Imam Ghazali, jenis manusia ini masih tergolong baik. Sebab, ini jenis manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar.

Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat.

Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri (Seseorang yang Tidak Tahu (tidak berilmu), dan dia Tidak Tahu kalau dirinya Tidak Tahu).

Menurut Imam Ghazali, inilah adalah jenis manusia yang paling buruk. Ini jenis manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa.

Repotnya manusia jenis seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Jenis manusia seperti ini, paling susah dicari kebaikannya. Manusia seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat.

Untuk itu mari kita intropeksi diri masing-masing, di kelompak manakah kita berada. Semoga Bermanfaat.*/Kholili Hasib

sumber: Hidayatullah

9 Tanda Orang Berakal Menurut Buya Hamka

“Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukan buat dirinya sendiri,” ujar Buya Hamka

SATU bukti Islam sebagai agama yang menghargai akal dapat dibuktikan dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an, baik yang tersurat maupun tersirat memerintahkan umatnya untuk berpikir dengan memperhatikan apa saja yang ada di dunia ini, bahkan di dalam diri manusia itu sendiri.

Sebagaimana firman-Nya:

وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 21).

Dengan demikian, sungguh beruntung umat Islam, karena kitab sucinya justru mendorongnya untuk mempergunakan akalnya secara maksimal guna mengetahui hingga haqqul yaqin kebenaran ajaran Islam. Oleh karena itu seorang Muslim itu idealnya adalah orang yang benar-benar memanfaatkan akalnya.

Menurut Buya Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam bukunya Falsafah Hidup orang berakal itu memiliki tanda-tanda nyata dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.

Pertama, orang berakal itu luas pandangannya kepada sesuatu yang menyakiti atau yang menyenangkan. Pandai memilih perkara yang memberi manfaat dan menjauhi yang akan menyakiti. Dia memilih mana yang lebih kekal walaupun sulit jalannya daripada yang mudah didapat padahal rapuh. Jadi, akhirat lebih utama bagi mereka dibanding dunia.

Kedua, orang berakal selalu menaksir harga dirinya, yakni dengan cara menilik hari-hari yang telah dilalui, adakah dipergunakan kepada perbuatan-perbuatan yang berguna, dan hari yang masih tinggal ke manakah akan dimanfaatkan. Jadi, tidak ada waktu yang digunakan untuk hal-hal yang tidak berfaedah, apalagi sampai menguliti kesalahan atau aib orang lain.

Ketiga, orang berakal senantiasa berbantah dengan dirinya. Sebelum melakukan suatu tindakan, ada timbangan yang digunakan, apakah yang dilakukannya baik atau jahat dan berbahaya. Kalau baik, maka diteruskan, jika berbahaya segera dihentikan.

Keempat, orang berakal selalu mengingat kekurangannya. Bahkan, kata Buya Hamka, “Kalau perlu dituliskannya di dalam suatu buku peringatan sehari-hari. Baik kekurangan pada agama, atau pada akhlak dan kesopanan. Peringatan diulang-ulangnya dan buku itu kerapkali dilihatnya untuk direnungi dan diikhtiarkan mengasur-angsur mengubah segala kekurangan itu.”

Kelima, orang berakal tidak berdukacita lantaran ada cita-citanya di dunia yang tidak sampai atau nikmat yang meninggalkannya. Buya Hamka menulis, “Diterimanya apa yang terjadi atas dirinya dengan tidak merasa kecewa dan tidak putus-putusnya berusaha. Jika rugi tidaklah cemas, dan jika berlaba tidaklah bangga. Karena cemas merendahkan hikmah dan bangga mengihilangkan timbangan.”

Keenam, orang berakal enggan menjauhi orang yang berakal pula. Artinya, temannya adalah orang yang berhati-hati dalam hidupnya, sehingga terjaga komitmennya dalam memegang risalah kebenaran.

Ketujuh, orang yang berakal tidak memandang remeh suatu kesalahan.

“Walaupun bagaimana kecilnya di mata orang lain. Dia tidak mau memandang kecil suatu kesalahan. Karena bila kita memandang kecil suatu kesalahan, yang kedua, ketiga, dan seterusnya, kita tidak merasa bahwa kesalahan itu besar, atau tak dapat membedakan lagi mana yang kecil dan mana yang besar.”

Kedelapan, orang yang berakal tidak bersedih hati. Buya Hamka menulis, “Orang yang berakal tidak berduka hati. Karena kedukaan itu tiada ada faedahnya. Banyak duka mengaburkan akal. Tidak dia bersedih, karena kesedihan tidaklah memperbaiki perkara yang telah terlanjur. Dan, banyak sedih mengurangi akal.”

Kesembilan, orang berakal hidup bukan untuk dirinya semata, tetapi untuk manusia dan seluruh kehidupan. Buya Hamka menulis, “Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukat buat dirinya sendiri.”

Demikianlah sembilan tanda orang berakal menurut Buya Hamka. Dan, lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa orang berakal itu hanya memiliki kerinduan kuat pada tiga perkara. Pertama, menyediakan bekal untuk hari kemudian. Kedua, mencari kelezatan buat jiwa. Dan, ketiga, menyelidiki arti hidup.

Subhanallah, uraian Buya Hamka ini sangat berfaedah buat kita semua untuk mengukur diri, apakah selama ini telah memanfaatkan akal sebaik-baiknya, atau justru sebaliknya. Tetapi, apapun yang telah berlalu, sekarang adalah saatnya kita meningkatkan iman dan taqwa dengan memaksimalkan fungsi dan peran akal sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Wallahu a’lam.*

Rep: Imam Nawawi

Editor: Cholis Akbar