Tujuh Calon Jamaah Haji di Jawa Timur Gagal Berangkat, ini Alasannya

Jamaah haji harus mempersiapkan banyak hal sebelum berangkat ke Tanah Suci.

Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur menyatakan tujuh calon haji asal Kabupaten Pamekasan dan Pacitan gagal berangkat ke Tanah Suci.

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Jatim Husnul Maram di Surabaya, Jumat menjelaskan tujuh calon haji yang gagal berangkat tersebut tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 4, 5 dan 6 Embarkasi Surabaya, yang semestinya telah terbang ke Tanah Suci pada Kamis, 25 Mei 2023.

“Dari tujuh calon haji yang gagal berangkat, lima di antaranya berasal dari Kabupaten Pamekasan. Dua orang lainnya asal Kabupaten Pacitan,” katanya.

Kloter 4 Embarkasi Surabaya terdiri dari jamaah calon haji asal Kabupaten Pamekasan dan Kota Surabaya. Sedangkan kloter 5 Embarkasi Surabaya seluruhnya berasal dari Pamekasan. Sedangkan kloter 6 Embarkasi Surabaya diisi jamaah asal Pamekasan dan Pacitan.

Masing-masing kloter dipenuhi 450 jamaah yang kemarin sesuai jadwal telah berangkat ke Tanah Suci melalui Asrama Haji Embarkasi Surabaya.

Husnul merinci, dari kloter 4 Embarkasi Surabaya terdapat dua calon haji asal Pamekasan yang gagal berangkat.

“Mereka adalah pasangan suami istri yang memutuskan tidak berangkat sejak di daerah asal karena salah satunya sakit,” ujarnya.

Sedangkan dari kloter 5 juga terdapat dua calon haji asal Pamekasan yang gagal berangkat. “Dari kloter 5 ini seorang calon haji sakit, sehingga pendampingnya harus ikut menemani,” katanya.

Selain itu, Husnul menandaskan, dari kloter 6 Embarkasi Surabaya terdapat tiga calon haji yang gagal berangkat.

“Dua orang berasal dari Pacitan. Salah satunya sakit sebelum berangkat ke Asrama Haji Embarkasi Surabaya. Pendampingnya terpaksa menemani sampai sembuh. Seorang lainnya di kloter 6 Embarkasi Surabaya berasal dari Pamekasan juga diinformasikan jatuh sakit sebelum berangkat ke Asrama Haji Embarkasi Surabaya,” ujarnya.

sumber : Antara

Jamaah Haji Diimbau Jangan Forsir Tenaga untuk Ibadah

Jamaah haji harus mengukur kemampuan dan memperbanyak istirahat untuk puncak haji.

Ibadah bagi para lansia tidak bisa dipaksakan, karena kondisi fisiknya berbeda-beda. Apalagi, saat jamaah haji Indonesia di Madinah ada sejumlah kegiatan yang dilakukan. 

Misalnya, kegiatan ziarah maqbarah Rasulullah SAW, ziarah ke makam Baqi, ibadah arbain yakni shalat 40 waktu berjamaah di masjid Nabawi, ziarah ke masjid Quba, masjid Qiblatain dan masjid Khandaq. Lalu, ada ziarah ke jabal Uhud. Rangkaian di Madinah diakhiri dengan melakukan niat dan ihram di Bir Ali.

“Semua itu harus menyesuaikan kemampuan masing-masing. Karena lansia ada yang mandiri ada yang tidak, maka sesuaikan kondisi, jangan memaksakan,” tambah KH. Aminuddin Sanwar, petugas Bimbingan Ibadah Sektor 1, Senin (29/5/2023).

Dia mengingatkan jamaah wajib menjaga kesehatan. Juga, selalu memakai atau membawa sandal, jika akan lama di masjid disarankan membawa makanan dan minuman.

“Jalankan sesuai kemanpuan, kalau memang nggak mampu jangan dipaksakan. Karena dalam setiap menjalankan ibadah, jamaah memiliki kapasitas kemampuan individu masing-masing dan beebeda,” tuturnya.

“Allah selalu memberikan jalan keluar. Ini baru awal, dan sunah. Masih ada yang wajib di Makkah maka jaga kesehatan. Jangan sampai memburu sunah, tapi mengabaikan atau mengorbankan yang wajib. Serahkan kepada Allah yang memiliki sifat rahman dan rahim,” ukar KH Aminuddin Sanwar.

Menurut dia, sosialisasi akan terus dilaksanakan ke semua kloter di Sektor 1. Petugas Layanan Jamaah Lansia Sektor 1 Madinah, Nasrullah Jamaludin mengatakan, pihaknya tak henti-henti melakukan sosialisasi tentang pelayanan lansia di bidang kesehatan hingga ibadah. “Menjaga kesehatan itu penting, jangan sampai diabaikan. Karena rangkaian ibadahnya masih panjang dan menuntut kondisi fisik yang prima,” katanya. 

IHRAM

Berhala Keempat di Muka Bumi: Kisah Nabi Ibrahim dan Kaum Babil

Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel Berhala Ketiga di Muka Bumi. Pada artikel yang lalu, telah dibahas bagaimana kaum Tsamud mendustakan Nabi Saleh ‘alaihis salam dengan tetap menyembah berhala yang mereka buat. Mereka bahkan membunuh mukjizat unta Nabi Saleh dan juga berencana untuk membunuh beliau ‘alaihis salam. Akhirnya, Allah timpakan azab dari langit dan bumi kepada kaum Tsamud.

Kisah berhala yang disembah selanjutnya adalah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Ketika Nabi Ibrahim diangkat menjadi Nabi, mulailah beliau berdakwah kepada kaumnya di kota Babil (sekarang menjadi salah satu kota bersejarah di Irak). Saat itu, hanya beliau yang menjadi seorang muslim. Oleh karenanya, selain dimusuhi oleh ayahnya sendiri, beliau juga dimusuhi dan diusir oleh kaumnya. Kemudian ketika beliau diusir, beliau pindah dari Babil ke Harran (salah satu kota di negara Turki sekarang).

Dua kaum Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mendapati dua kaum yang melakukan kesyirikan dengan model yang berbeda. Kaum Nabi Ibrahim di Babil menyembah patung-patung makhluk bumi, sedangkan di Harran kaumnya menyembah benda-benda langit seperti bintang, bulan dan matahari (Lihat Qashas Al-Anbiya’, 1: 169).

Allah Ta’ala mengisahkan dialog Nabi Ibrahim dan kaumnya,

وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ، إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ؟

“Dan sesungguhnya Kami telah anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun). Dan Kami mengetahui keadaannya. (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada Bapaknya dan kaumnya, ‘Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?’” (QS. Al-Anbiya’: 51-52)

Kemudian kaumnya membalas,

قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءَنَا لَهَا عَابِدِينَ

 “Kami mendapati Bapak-Bapak (nenek moyang) kami menyembahnya. (QS. Al-Anbiya’: 53)

Dari ayat di atas disebutkan bahwa di antara sebab sulitnya seseorang mendapat hidayah karena erat mengikuti tradisi menyimpang dari nenek moyang. (Lihat Miftah Daarissa’aadah, Ibnul Qoyyim, 1: 98)

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam lalu dengan tegas berkata,

قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Sesungguhnya kamu dan Bapak-Bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al-Anbiya’: 54)

قَالَ بَل رَّبُّكُمْ رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ٱلَّذِى فَطَرَهُنَّ وَأَنَا۠ عَلَىٰ ذَٰلِكُم مِّنَ ٱلشَّٰهِدِينَ

“Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya. Dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu. (QS. Al-Anbiya’: 56)

Tauriyah dan tekad Nabi Ibrahim

Selepas Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memperingatkan dan mendakwahkan dengan lisannya, maka beliau bertekad juga untuk melakukan nahi mungkar dengan tangannya. Nabi Ibrahim berkata,

وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ

“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhala kalian sesudah kalian pergi meninggalkannya.” (QS. Al-Anbiya’: 57)

Dan rupanya kaum Ibrahim juga mempunyai acara ibadah tahunan (seperti hari raya) yang dilakukan di luar kota Babil. Ketika itu, Nabi Ibrahim diajak kaumnya untuk ikut. Akan tetapi, beliau tidak ingin pergi dan mengatakan kepada kaumnya bahwa beliau sedang sakit. (Lihat QS. Ash-Shaffat: 89)

Sebenarnya beliau tidak sakit! Namun, yang sakit adalah hatinya yang melihat kondisi kaumnya yang menyembah berhala. Inilah tauriyah Nabi Ibrahim yang pertama (semasa hidup ada tiga tauriyah yang beliau ucapkan). Tauriyah adalah perkataan yang maknanya benar dan memang sengaja diucapkan untuk disalahpahami oleh orang-orang yang mendengarkannya. Hukum asalnya tauriyah adalah hal yang tercela, kecuali dalam kondisi yang mendesak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak pernah sama sekali Nabi Ibrahim ‘alaihis salam berdusta kecuali hanya tiga kali, dua kali karena membela Allah, yaitu perkataan beliau, ‘Aku sakit.’, dan perkataan beliau, ‘Akan tetapi yang menghancurkan adalah patung yang besar ini.’, dan yang ketiga berkaitan dengan istrinya Sarah.”  (diringkas dari HR. Muslim dalam hadis yang panjang)

Kemudian setelah semua kaumnya pergi ke acara tersebut, Nabi Ibrahim keluar dari rumahnya dengan membawa kapak dan beliau hancurkan seluruh patung kaumnya. (Lihat QS. As-Shaffat: 91-93) Nabi Ibrahim mendapati ada satu patung yang paling besar sedangkan yang lainnya lebih kecil. Maka, beliau hancurkan semua patung yang kecil dan menyisakan satu patung yang paling besar. Lalu beliau menggantungkan kapaknya di leher patung yang terbesar tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ

“Maka, Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (QS. Al-Anbiya’: 58)

Tatkala kaumnya telah kembali, mereka melihat tuhan-tuhan mereka telah hancur bergelimpangan (Lihat QS. Al-Anbiya’: 59-61). Mereka pun menuduh Nabi Ibrahim yang melakukannya karena beliaulah satu-satunya di negeri tersebut yang berani mencela berhala-berhala mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang hal ini,

قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَاإِبْرَاهِيمُ، قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ

“Mereka bertanya, ‘Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala-berhala itu, jika mereka dapat berbicara.’” (QS. Al-Anbiya’: 62-63)

Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup

Karena mereka sudah kalah argumen dan tak bisa membantah (Lihat QS. Al-Anbiya’: 64-67), maka tiada cara lain kecuali dengan menggunakan kekerasan. Mereka ingin Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dibunuh dengan cara dibakar di hadapan banyak orang.

قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ

“Mereka berkata, ‘Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.’“ (QS. Al-Anbiya’: 68)

Ketika kayu bakar sudah terkumpul banyak dan terlihat sangat tinggi (dikumpulkan selama berhari-hari), mereka kemudian menyalakan api dan melemparkan Nabi Ibrahim ke tengah lautan api yang besar dengan menggunakan manjaniiq (alat pelempar semacam ketapel besar). Nabi Ibrahim saat itu berkata,

حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الوَكِيلُ

“Cukuplah Allah bagiku. Dia adalah sebaik-baik Pelindung.” (HR. Bukhari no. 4564)

Kemudian Allah Ta’ala menolong Nabi Ibrahim,

قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الأخْسَرِينَ

“Kami berfirman (kepada api), ‘Hai api jadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.’ Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al-Anbiya’: 69-70)

Api yang seharusnya panas dengan karunia Allah menjadi dingin dan menyejukkan. Maka, selamatlah Nabi Ibrahim.

Cicak ikut-ikutan meniup api

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa cicak ikut meniup untuk membesarkan api yang membakar Nabi Ibrahim.

عَنْ أُمِّ شَرِيكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ” أَمَرَ بِقَتْلِ الوَزَغِ، وَقَالَ: كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَم

“Dari Ummu Syariik bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah untuk membunuh cicak, dan Nabi berkata, ‘Cicak dulu meniup (untuk membesarkan api) Ibrahim ‘alaihis salam.’” (HR. Bukhari)

Imam Ahmad rahimahullah juga meriwayatkan dari Saibah ketika ia masuk ke rumah Aisyah, maka ia melihat di rumah Aisyah ada tombak yang diletakkan di tempatnya. Ia pun bertanya, “Wahai ibunda kaum mukminin, apa yang hendak engkau lakukan dengan tombak ini?” Beliau menjawab, “Untuk menombak cicak-cicak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada kami bahwasanya Ibrahim ‘alaihis salam ketika dilemparkan di api, maka tidak ada seekor hewan pun, kecuali berusaha mematikan api. Kecuali cicak, cicak meniupkan untuk memperbesar nyala api. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membunuhnya.” (HR. Ahmad no. 24780)

Sebagaimana hadis di atas, kita disunahkan untuk membunuh cicak. Karena selain cicak membantu meniup api, cicak juga merupakan hewan penganggu dan membawa penyakit.

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا»

“Dari ‘Amir bin Sa’ad dari ayahnya (Sa’ad bin Abi Waqqash) bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh cicak dan Nabi menamakannya dengan Fuwaisiq (yang mengganggu dan memberikan kemudaratan).” (HR. Muslim)

Berdebat dengan Raja Namrud tentang Tuhan

Para ulama bersilang pendapat mengenai kapan kisah pertemuan dan perdebatan antara Nabi Ibrahim dan Namrud/Numrud tersebut? Pendapat yang kuat kejadiannya adalah setelah Nabi Ibrahim dibakar, yaitu ketika ia selamat. Ia lalu dibawa untuk bertemu dengan Namrud yang menjadi penguasa negeri saat itu.

Raja Namrud adalah salah satu dari dua Raja (termasuk Fir’aun) yang pernah mengaku sebagai Tuhan. Disebutkan oleh sebagian ulama bahwa ada empat orang yang kekuasaannya sangat luas di muka bumi ini. Dua orang tersebut adalah muslim (Nabi Sulaiman ‘alaihis salam dan Dzulqarnain), dan dua yang lainnya kafir (Namrud dan Bukhtanasshar). (Tafsir Ibnu Katsir, 1: 525).

Allah Ta’ala mengisahkan pertemuan Nabi Ibrahim dengan Namrud dalam firman-Nya,

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan.’ Orang itu berkata, ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.’ Lalu, terdiamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 258)

Karena kalah debat, akhirnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam diusir oleh Namrud dari Babil. Kemudian Allah mengirimkan seekor lalat atau nyamuk yang masuk ke dalam hidungnya dan tinggal di dalam kepalanya selama 400 tahun. Selama itu pula kepalanya dipukul dengan palu. Karena jika kepalanya dipukul, maka sakitnya berkurang. Allah menghinakan Namrud hingga kematiannya karena seekor hewan kecil dengan penuh ketersiksaan. (Lihat Tafsir At-Thabari, 14: 204)

Ketika Nabi Ibrahim diusir Namrud, maka beliau pergi ke Harran dan bertemu dengan Nabi Luth yang merupakan keponakannya. Nabi Ibrahim pun mendakwahinya dan ia pun beriman.

***

Penulis: Arif Muhammad N.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85139-kisah-nabi-ibrahim-dan-kaum-babil.html

Menjaga Produktivitas Seorang Muslim

Setelah bulan Ramadan, semestinya pola ibadah dan kebaikan yang sudah dilatih dan diterapkan di bulan Ramadan senantiasa diteruskan dan diterapkan bagi kaum muslimin dalam mempertahankan kualitas ibadahnya. Bahkan, bukan menjadi alasan untuk kaum muslimin bermalas malasan atau beralasan untuk bermudah-mudah dalam dalam menjalankan ibadah di luar bulan Ramadan. Justru bulan Ramadan menjadikan kaum muslimin lebih produktif dan lebih maksimal dalam menjalankan ibadah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi salah satu role model dan contoh manusia produktif. Bahkan, tercatat menjadi manusia paling berpengaruh nomor satu di dunia. Sejak kecil telah dijaga dan memberikan kemaslahatan dan kebermanfaatan untuk sekitarnya. Demikian juga dengan para pengikut setia Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang senantiasa mengikuti Rasulullah dan ulama-ulama sesudahnya. Allah ‘Azza Wajalla, sesuai firman-Nya,

ٱلَّذِینَ یَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِیَـٰمࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَیَتَفَكَّرُونَ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَـٰذَا بَـٰطِلࣰا سُبۡحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.’” (QS. Ali Imran: 191)

Sebagaimana ungkapan ulama tabi’inHasan Al-Basri rahimahullah berikut ini,

Juallah duniamu untuk akhiratmu, niscaya kamu beruntung di keduanya. Dan janganlah kamu jual akhiratmu untuk duniamu, karena kamu akan merugi di keduanya.”

Dunia itu hanya tiga hari saja: 1) Hari kemarin, sudah pergi dengan segala isinya (tanpa bisa diulang kembali). 2) Hari esok, yang mungkin saja engkau tidak bisa menjumpainya (lantaran ajal menjemputmu). 3) Hari ini, itulah yang menjadi milikmu, maka isilah dengan amalan.”

Adapun langkah mudah dalam menjaga keitikamahan dan produktifitas kita dalam menjalankan pola ibadah dan kebaikan, yakni:

Mengikhlaskan niat beribadah hanya untuk Allah ‘Azza Wajalla

Niat menjadi kekuatan yang besar dalam kita menjalani kehidupan sebagai seorang hamba. Niat yang ikhlas menuntun manusia pada jalan kebaikan dan keistikamahan. Seorang yang ikhlas dalam menjalankan hidup dan beribadah akan memahami bahwa amalan dan ibadah yang ia lakukan itu akan diganjar pahala. Lalu dengan itu, semangat ibadahnya dan semangat hidupnya pun akan bangkit. Sebagaimana dalam hadis, disampaikan,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وإنما لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنكحها فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya. Dan sesungguhnya sesesorang itu hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena harta dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bersama dengan teman-teman yang saleh dan semangat dalam menuntut ilmu

Jika kita mau mengenali seseorang, maka kenalilah sahabat terdekatnya. Begitulah kiranya, jika kita menjadikan teman terdekat sebagai gambaran diri adalah teman-teman saleh yang dapat membantu dalam berdiskusi dan meneliti masalah agama. Jika berteman dengannya, semakin dekat kita kepada Allah ‘Azza Wajalla. Carilah kebersamaan bersama mereka selama mereka senantiasa membantu dalam menuntut ilmu baik ilmu syar’i maupun ilmu dunia yang menghantarkan pada kebaikan-kebaikan akhirat.

Bersabar dalam ketaatan

Kesabaran muaranya pada kebaikan. Kesabaranlah yang menghantarkan kembali pada ilmu dan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.” (QS. Al Kahfi: 28)

Maka, salah satu hal yang menguatkan keistikamahan dan produktifitas diri, yakni bersabar dalam menuntut ilmu. Jika seseorang mampu bersabar dalam ketaatan dan kelelahan, lalu senantiasa kembali semangat dalam menuntut ilmu, maka itu menjadi wasilah terbesar bagi seorang manusia dalam menemukan jalan kebaikan dan kebermanfatan baik bagi diri dan orang lain.

***

Penulis: Kiki Dwi Setiabudi S.Sos.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85102-menjaga-produktifitas-seorang-muslim.html

Fatwa Ulama: Hakikat Agama Islam

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Fadhilatus syekh, apakah agama Islam itu?

Jawaban:

Islam menurut makna yang umum adalah beribadah kepada Allah Ta’ala dengan ibadah yang disyariatkan oleh Rasul-Nya, sejak Allah Ta’ala disembah oleh hamba-Nya dengan syariat-Nya sampai datangnya hari kiamat. Oleh karena itu, (Islam dengan makna yang umum ini) mencakup syariat yang dibawa oleh Nuh ‘alaihis salam berupa hidayah dan kebenaran. Demikian pula, mencakup syariat yang dibawa oleh Ibrahim ‘alaihis shalatu wassalam, seorang imam yang hanif, dan juga syariat yang dibawa oleh Nabi Musa dan Isa. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Ta’ala, atau difirmankan oleh Allah Ta’ala dalam ayat yang banyak yang menunjukkan bahwa syariat-syariat sebelumnya itu adalah berserah diri (ber-Islam) kepada Allah Ta’ala.

Akan tetapi, Islam menurut makna yang khusus adalah syariat yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena syariat yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu menghapus semua agama (syariat) sebelumnya. Jadilah siapa saja yang mengikuti syariat Muhammad itu disebut sebagai muslim, dan siapa saja yang tidak mengikuti syariat Muhammad itu bukan muslim, karena dia tidak berserah diri kepada Allah Ta’ala, namun berserah diri kepada hawa nafsunya. Oleh karena itu, Yahudi adalah kaum muslimin pada jaman Nabi Musa ‘alaihis shalatu wassalam, dan Nasrani adalah kaum muslimin pada jaman Nabi Isa ‘alaihis shalatu wassalam. Akan tetapi, setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam, mereka itu mengingkari Nabi Muhammad, sehingga bukan kaum muslimin lagi.

Oleh karena itu, tidak boleh bagi siapa pun untuk meyakini bahwa agama Yahudi dan Nasrani yang mereka ikuti (mereka yakini) pada saat ini adalah agama yang benar yang diterima di sisi Allah Ta’ala dan sama dengan agama Islam (yang dibawa oleh Nabi Muhammad). Bahkan, siapa saja yang meyakini hal tersebut, maka dia telah kafir, keluar dari Islam. Karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 19)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)

Inilah Islam yang diisyaratkan oleh Allah Ta’ala, yaitu Islam yang Allah Ta’ala berikan nikmat Islam tersebut kepada Nabi Muhammad dan umatnya sebagaimana firman Allah Ta’ala,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3)

Ini adalah dalil yang sangat jelas bahwa selain umat ini setelah diutusnya Nabi Muhammad, mereka tidaklah di atas agama Islam. Berdasarkan hal itu, siapa saja memilih agama selain Islam, maka agama tersebut tidak akan diterima, dan tidak akan memberikan manfaat pada hari kiamat kelak. Tidak halal (tidak boleh) bagi kita untuk membuat ungkapan bahwa agama mereka itu agama yang lurus. Oleh karena itu, sungguh keliru dengan kekeliruan yang besar bagi siapa saja yang menyebut kaum Yahudi dan Nasrani sebagai saudara kita, atau mengatakan bahwa agama mereka saat ini masih ada (diakui), berdasarkan penjelasan kami sebelumnya.

Jika kita katakan bahwa Islam adalah beribadah kepada Allah Ta’ala sesuai dengan syariat-Nya, maka hal itu mencakup berserah diri kepada Allah Ta’ala baik secara lahir maupun batin. Sehingga mencakup agama seluruhnya, baik akidah, amal perbuatan, maupun ucapan. Adapun jika Islam itu disebut bersamaan dengan iman, maka Islam bermakna amal lahiriah, baik berupa ucapan lisan maupun amal anggota badan. Sedangkan iman bermakna amal batin, baik berupa akidah (keyakinan) maupun amalan hati. Perbedaan ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ

Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah, ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah, ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.’” (QS. Al-Hujurat: 14)

Juga firman Allah Ta’ala berkaitan dengan kisah kaum Luth,

فَأَخْرَجْنَا مَن كَانَ فِيهَا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِّنَ الْمُسْلِمِينَ

Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman (mukmin) yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang yang berserah diri (muslim).” (QS. Az-Zariyat: 35-36)

Maka, dalam ayat tersebut dibedakan antara mukmin dan muslim. Hal ini karena rumah yang ada di kampung tersebut adalah rumah Islam secara lahiriah, karena mencakup istri Nabi Luth yang berkhianat kepadanya dan dia kafir. Adapun yang keluar dari rumah tersebut dan selamat, mereka itulah kaum mukmin yang sebenarnya yang iman itu telah masuk ke dalam hati mereka.

Perbedaan iman dan Islam ketika disebutkan bersamaan juga ditunjukkan oleh hadis dari sahabat Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Di dalam hadis tersebut, Jibril ‘alaihis salaam bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Islam dan iman. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ألإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً

Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, kamu mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan pergi haji jika mampu.“

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang iman,

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk.”

Kesimpulan, ketika Islam disebutkan secara mutlak (tidak ada tambahan keterangan yang lain), maka Islam tersebut mencakup keseluruhan agama, sehingga iman tercakup di dalamnya. Adapun jika disebutkan bersamaan dengan iman, maka Islam dimaknai sebagai amal lahiriah berupa ucapan lisan dan amal anggota badan, dan iman dimaknai sebagai amal batin, berupa keyakinan dalam hati dan amalan hati.

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fiqhul Ibadat, hal. 77-80, pertanyaan no. 48.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85100-hakikat-agama-islam.html

Larangan Menyebar Pornografi dalam Islam

Berikut ini artikel tentang larangan menyebar pornografi dalam Islam. Di zaman yang kian canggih ini, segala hal diperoleh dengan mudah dan cepat. Termasuk menyebarkan kemaksiatan, yang bisa dilakukan melalui berbagai alat teknologi komunikasi sehingga terpublish dan menyebar kemana-mana. 

Seperti salah satu kasus yang tengah viral di jagat entertain Indonesia. Video tak senonoh artis yang diduga berinisial RK tersebar di sejumlah akun media sosial. Tentunya hal tersebut memberikan dampak negatif bagi masyarakat kita. 

Larangan Islam Pada Penyebaran Maksiat

Melihat dari adanya kasus penyebaran sejumlah video artis di atas, sebagai orang beriman, kita diharapkan untuk mau bersabar dan tidak ikut-ikutan melakukannya agar terhindar dari dosa yang menggunung dan terus-menerus dan azab dari Allah. 

Sebagaimana dalam firman Allah dalam surah An-Nuur Ayat 19 :

اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ؕ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْـتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat” (QS. An-Nuur: 19).

Lebih-lebih kita tidak tahu berapa banyak di kalangan umat yang sudah terdampak (keburukannya) akibat menerima kiriman perbuatan maksiat. Dan tak tertutup kemungkinan, di antara orang yang menerimanya ada yang ikut menyebarkannya lebih luas lagi.

Demikianlah seterusnya. Kita juga tidak tahu bagaimana harus menghentikan keinginan orang-orang yang menerimanya untuk menyebarkan kepada orang lain lagi, sehingga pelaku pertama ikut menerima aliran dosa dari penyebar berikutnya. Sebagaimana diingatkan dalam suatu hadits :

 “Siapa saja yang mengajak kepada kesesatan, ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka” (HR. Muslim).

Landasan Hukum Positif 

Selain itu dalam hukum Indonesia juga mengatur tegas terkait hukuman bagi penyebaran konten pornografi. Diantaranya yakni diatur dalam sejumlah pasal perundang-undangan :

  • Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Aturan ini memuat berbagai penjelasan tentang pornografi telah disediakan mulai dari definisi hingga perlindungan anak. Berbagai peran pemerintah hingga masyarakat pun juga diatur dalam UU tersebut.

  • Ancaman hukuman Pasal 29 UU Pornografi

Tepatnya dalam Bab VII UU Pornografi tahun 2008 tersebut diatur pula hukuman pidana bagi pelaku penyebaran konten pornografi. Dalam pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tersebut, pelaku penyebaran dapat dipenjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun. Tak hanya itu, pelaku penyebaran juga bisa didenda minimal Rp250 juta dan maksimal Rp6 miliar.

  • UU No. 19 Tahun 2016 dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE

Undang-undang ini sebagai bentuk pembaharuan dari UU Nomor 11 tentang ITE yang disahkan pada tahun 2008 lalu. Peraturan ini sendiri mengatur berbagai informasi elektronik di Indonesia, termasuk salah satunya adalah konten pornografi.

  • Pasal 27 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE

Landasan hukum yang juga digunakan dalam menangani penyebaran konten pornografi adalah Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. UU tersebut mengatur siapa pun yang secara sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau membuat akses dokumen atau informasi elektronik tentang pornografi dianggap melanggar kesusilaan.

  • Ancaman hukuman Pasal 45 ayat (1) UU ITE

Pasal tersebut berisikan ancaman hukuman bagi para pelaku yang dimaksud dalam pasal 27 ayat (1). Dalam pasal Pasal 45 ayat (1) UU ITE, pelaku penyebaran dapat dipidana dengan penjara paling lama selama 6 tahun dan maksimal denda Rp1 miliar.

Namun jika ternyata ada berbagai elemen lain seperti pemaksaan hingga pencemaran nama baik maka landasan hukum dan ancaman hukumannya pun bisa lebih luas dan banyak lagi.

Jadi selain dilarang dalam agama perbuatan menyebar kemaksiatan juga dilarang dalam hukum positif, aturannya pun lengkap beserta ancaman sanksi yang ditujukan bagi sang pelaku, agar jera dan sadar atas kesalahan yang dibuatnya. 

Demikian penjelasan larangan menyebar pornografi dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Penanganan Pertama Kaki Melepuh pada Jamaah Haji

Menggunakan alas kaki merupakan langkah utama pencegahan kaki melepuh.

uasa panas yang menyengat dengan suhu harian berkisar 38-40 derajat Celsius memungkinkan jamaah rentan alami kaki melepuh. Untuk itu, jamaah diingatkan mengenakan alas kaki selama beraktivitas di luar ruangan.

Kasi Layanan Penghubung Kesehatan Daker Madinah dokter Desnita mengatakan, menggunakan alas kaki merupakan langkah utama pencegahan kaki melepuh. Andai jamaah khawatir alas kaki hilang, maka ada baiknya bawa kantong plastik atau tas kecil yang cukup untuk membawa alas kaki.

Langkah selanjutnya, keberadaan botol air minum juga sangat penting. Selain untuk mencegah dehidrasi, air dalam botol minum ini bisa digunakan sebagai penanganan pertama kaki melepuh.

“Sebenarnya penanganan bisa dilakukan dengan menggunakan air dari keran yang mengalir. Fungsi air ini untuk menurunkan suhu panas pada kaki agar segera turun. Makanya ketika kaki sudah berasa panas ada baiknya berhenti terlebih dahulu selama setengah jam agar melepuhnya tidak melebar,” ujar dia.

Karenanya, kata dia, ketika jamaah sudah merasa panas kakinya hindari melanjutkan perjalanan. Siram kaki yang panas dengan air jangan pakai odol. Pengunaan odol ini justru membuat panas tidak keluar.

“Tidak disarankan itu,” kata dia.

Apabila suhu kaki sudah turun dan bisa melanjutkan perjalanan segera oleskan krim sebagai langkah penanganan berikutnya. 

IHRAM

Ini 7 Aturan Penting Bagi Jamaah Haji Sebelum dan Saat Tiba di Saudi

Jamaah haji lansia akan menjadi atensi kementerian agama.

Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi telah mengumumkan serangkaian pedoman yang harus dipatuhi oleh jamaah haji sebelum dan setibanya di Arab Saudi. Ketentuan itu dimaksudkan untuk memastikan kelancaran ibadah haji.

Pertama, seperti dilansir Gulf News, Jumat (26/5/2023), jamaah diharuskan membawa semua dokumen resmi yang diperlukan saat tiba di bandara untuk menyelesaikan prosedur perjalanan. Kedua, sebagaimana instruksi kementerian, semua perangkat elektronik harus disimpan di dalam bagasi terdaftar.

Ketiga, peziarah harus memastikan bahwa setiap bagasi yang akan dikirim mematuhi dimensi yang disetujui untuk memastikan penerimaannya. Keempat, tanda pengenal khusus harus ditempatkan pada setiap barang bawaan sebelum pengiriman.

Kelima, jamaah dilarang membawa barang yang telah diatur larangannya oleh Kementerian Haji dan Umrah Saudi. Adapun barang yang dilarang dibawa tersebut, di antaranya ialah kantong plastik, botol air, bahan cair, dan bagasi yang tidak dibungkus atau tidak diikat. Kotak yang dibungkus dan dilapisi kain juga dilarang.

Keenam, setibanya di Arab Saudi, jamaah diharuskan untuk melaporkan uang tunai atau barang berharga apa pun yang mereka miliki melebihi nilai 60 ribu riyal Saudi. Ini termasuk mata uang asing, hadiah, perangkat elektronik, perhiasan dan logam mulia. Ketujuh, kementerian menekankan pentingnya mengisi deklarasi bea cukai saat memasuki atau keluar dari Arab Saudi. Ini sangat penting jika peziarah membawa mata uang lokal atau asing atau barang apa pun yang bernilai lebih dari 60 ribu riyal Saudi. Deklarasi pabean yang sama juga diperlukan untuk penumpang yang membawa barang dalam jumlah komersial senilai lebih dari 3.000 riyal Saudi atau barang yang dilarang untuk diimpor atau diekspor, seperti barang antik. Hal ini juga berlaku untuk barang-barang yang dikenakan cukai. Kementerian telah mengeluarkan peringatan keras kepada jamaah yang gagal melengkapi dan menandatangani deklarasi bea cukai, mencatat bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban.

IHRAM

Hadits Keutamaan Ibadah Haji Dan Umrah

Artikel untuk rubrik hadits kali ini adalah syarah (penjelasan) hadits yang kami angkat dan terjemahkan secara bebas (dengan penambahan dan pengurangan kata dengan tanpa merubah isi dan maksud) dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (5/851-868), karya Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan –hafizhahullah-, cetakan Daar Ibnil Jawzi, cetakan ke-8, Rabi’ul Awwal, tahun 8421 H, Dammam, KSA.

Hadits tersebut adalah:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: العمرةُ إلى العمرةِ كفَّارَةٌ لمَا بينَهمَا ، والحجُّ المبرورُ ليسَ لهُ جزاءٌ إلا الجنَّةُ

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan (bagi pelakunya) melainkan surga” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Pembahasan hadits ini akan ditinjau dari beberapa sisi:

1. Takhrij hadits

Imam al-Bukhari telah mengeluarkan hadits ini (di dalam Shahih-nya) pada Abwabul Umrah (bab-bab tentang umrah), yaitu pada Babu Wujubil Umrah wa Fadhliha (bab tentang wajibnya umrah dan keutamaannya), nomor 1773. Dan dikeluarkan pula oleh Imam Muslim (di dalam Shahih-nya pula), nomor 1349; dari jalan Sumayy budak Abi Bakar bin Abdurrahman, dari Abu Shalih as-Samman, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, secara marfu’ (sampai kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam).

2. Keutamaan memperbanyak ibadah umrah

Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan memperbanyak ibadah umrah. Hal ini disebabkan umrah memiliki keutamaan yang agung, yaitu dapat menggugurkan dan menghapuskan dosa-dosa. Hanya saja, mayoritas ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini adalah dosa-dosa kecil, dan tidak termasuk dosa-dosa besar.

Kemudian, kebanyakan para ulama pun menyatakan bolehnya (seseorang) mempersering dan mengulang-ulang ibadah umrah ini dalam setahun sebanyak dua kali ataupun lebih. Dan hadits ini jelas menunjukkan hal tersebut, sebagaimana diterangkan pula oleh Ibnu Taimiyah. Karena memang hadits ini jelas dalam hal pembedaan antara ibadah haji dan umrah. Juga, karena jika umrah hanya boleh dilakukan sekali saja dalam setahun, niscaya (hukumnya) sama seperti ibadah haji, dan jika demikian seharusnya (dalam hadits) disebutkan, “Ibadah haji ke ibadah haji berikutnya…”. Namun, tatkala Nabi hanya mengatakan “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya…”, maka hal ini menunjukkan bahwa umrah boleh dilakukan (dalam setahun) secara berulang-ulang (beberapa kali), dan umrah tidaklah sama dengan haji.

Dan hal lain pula yang membedakan antara haji dan umrah adalah; umrah tidak memiliki batasan waktu, yang jika seseorang terlewatkan dari batasan waktu tersebut maka umrahnya dihukumi tidak sah, sebagaimana halnya ibadah haji. Jadi, dapat difahami apabila waktu umrah itu mutlak dapat dilakukan kapan saja, maka hal ini menunjukkan bahwa umrah sama sekali tidak menyerupai haji dalam hal keharusan dilakukannya sekali saja dalam setahun (lihat Majmu’ul Fatawa, 26/268-269).

Namun, Imam Malik berkata, “Makruh (hukumnya) seseorang melakukan umrah sebanyak dua kali dalam setahun” (lihat Bidayatul Mujtahid, 2/231). Dan ini juga merupakan pendapat sebagian para ulama salaf, di antara mereka; Ibrahim an-Nakha’i, al-Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jubair dan Muhammad bin Sirin. Mereka berdalil; bahwa Nabi dan para sahabatnya tidak melakukan umrah dalam setahun melainkan hanya sekali saja.

Namun, hal ini bukanlah hujjah (dalil). Karena Nabi benar-benar menganjurkan umatnya untuk melakukan umrah, sebagaimana beliau pun menjelaskan keutamaannya. Beliau juga memerintahkan umatnya agar mereka memperbanyak melakukan umrah. Dengan demikian, tegaklah hukum sunnahnya tanpa terkait apapun. Adapun perbuatan beliau, maka hal itu tidak bertentangan dengan perkataannya. Karena ada kalanya beliau meninggalkan sesuatu, padahal sesuatu tersebut disunnahkan, hal itu disebabkan beliau khawatir memberatkan umatnya. Dan ada kemungkinan lain,seperti keadaan beliau yang tersibukkan dengan urusan kaum Muslimin yang bersifat khusus ataupun umum, yang mungkin lebih utama jika dipandang dari sisi manfaatnya yang dapat dirasakan oleh banyak orang.

Dan di antara dalil yang menunjukkan keatamaan mempersering dan memperbanyak umrah adalah hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

تَابِعُوا بين الحجِّ والعمرةِ ، فإنَّهما ينفيانِ الفقرَ والذنوبَ ، كما يَنفي الكيرُ خَبَثَ الحديدِ والذهبِ والفضةِ ، وليس للحجةِ المبرورةِ ثوابٌ إلا الجنةُ

Iringilah ibadah haji dengan (memperbanyak) ibadah umrah (berikutnya), karena sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa sebagaimana alat peniup besi panas menghilangkan karat pada besi, emas dan perak. Dan tidak ada (balasan) bagi (pelaku) haji yang mabrur melainkan surga” [Hadits ini dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi (810), dan an-Nasa-i (5/115), dan Ahmad (6/185); dari jalan Abu Khalid alAhmar, ia berkata: Aku mendengar ‘Amr bin Qais, dari ‘Ashim, dari Syaqiq, dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu secara marfu’. Dan at-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan shahih gharib dari hadits Ibnu Mas’ud . Hadits ini pada sanadnya terdapat Abu Khalid al-Ahmar, ia bernama Sulaiman bin Hayyan. Dan terdapat pula Ashim bin Abi an-Nujud. Hadits mereka berdua dikategorikan hadits hasan. Karena Abu Khalid al-Ahmar seorang yang shoduqun yukhthi’ (perawi yang banyak benarnya dan terkadang salah dalam haditsnya), sedangkan Ashim bin Abi an-Nujud adalah seorang yang shoduqun lahu awhaam (perawi yang banyak benarnya dan memiliki beberapa kekeliruan dalam haditsnya)].

3. Keutamaan haji mabrur

Hadits ini menunjukkan keutamaan haji yang mabrur (baik), dan balasan orang yang mendapatkannya adalah surga. Haji yang mabrur, telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, “Adalah haji yang tidak tercampur dengan perrbuatan riya’ (ingin dipuji dan dilihat orang), sum’ah (ingin didengar oleh orang), rafats (berkata-kata keji dan kotor, atau kata-kata yang menimbulkan birahi), fusuq (berbuat kefasikan dan kemaksiatan), dan dilaksanakan dari harta yang halal…” (lihat at-Tamhid, 22/39).

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa haji mabrur memiliki lima sifat:

  1. Dilakukan dengan ikhlash (memurnikan niat dalam melaksanakan hajinya) hanya karena Allah Ta’ala semata, tanpa riya’ dan sum’ah.
  2. Biaya pelaksanaan haji tersebut berasal dari harta yang halal. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:إنَّ اللهَ طيِّبٌ ولا يقبلُ إلا طيبًا“Sesungguhnya Allah Maha Baik, dan Ia tidak menerima kecuali hal yang baik…”. (HR Muslim, 1015).
  3. Menjauhi segala dosa dan perbuatan maksiat, segala macam perbuatan bid’ah dan semua hal yang menyelisihi syariat. Karena, jika hal tersebut berdampak negatif terhadap semua amal shalih dan bahkan dapat menghalangi dari diterimanya amal tersebut, maka hal itu lebih berdampak negatif lagi terhadap ibadah haji dan keabsahannya. Hal ini berdasarkan beberapa dalil, di antaranya firman Allah Ta’ala:الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji…” (QS al-Baqarah: 197).
  4. Dilakukan dengan penuh akhlak yang mulia dan kelemah-lembutan, serta dengan sikap tawadhu’ (rendah hati) ketika ia berkendaraan, bersinggah sementara pada suatu tempat dan dalam bergaul bersama yang lainnya, dan bahkan dalam segala keadaannya.
  5. Dilakukan dengan penuh pengagungan terhadap sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah). Hal ini hendaknya benar-benar diperhatikan oleh setiap orang yang sedang melakukan ibadah haji. Dengan demikian, ia benar-benar dapat merasakan dan meresapi syi’ar-syi’ar Allah dalam ibadah hajinya. Sehingga, akan tumbuh dari dirinya sikap pengagungan, pemuliaan dan tunduk patuh kepada Sang Pencipta, Allah Rabbul ‘Alamin. Dan tanda seseorang benar-benar telah melaksanakan hal tersebut adalah; ia melaksanakan tahapan demi tahapan rangkaian ibadah hajinya dengan tenang dan khidmat, tanpa ketergesa-gesaan dan segala perkataan dan perbuatannya. Ia akan senantiasa waspada dari sikap tergesa-gesa dan terburu-buru, yang justru hal ini banyak dilakukan oleh banyak para jamaah haji di zaman ini. Ia pun akan senantiasa berusaha bersabar dalam ketaatannya kepada Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya hal yang demikian ini lebih dekat untuk diterimanya ibadah hajinya di sisi Allah Ta’ala.

Dan termasuk bentuk pengagungan (seorang yang beribadah haji) terhadap sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah) adalah menyibukkan dirinya dengan banyak-banyak berdzikir, bertakbir, bertasbih, bertahmid dan istighfar. Karena ia tengah beribadah, dan ia berada di tempat yang mulia dan utama.

Dan sungguh Allah pun telah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengagungkan, memuliakan dan menjaga kehormatan sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah). Allah berfirman:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya…” (QS al-Hajj: 30).

Dan Allah juga berfirman:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS al Hajj: 32).

Dan yang dimaksud dengan hurumatullah (hal-hal terhormat di sisi Allah) adalah segala sesuatu yang memiliki kehormatan di sisi Allah, yang Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengagungkannya, baik berupa ibadah dan yang lainnya. Dan di antaranya adalah manasik (tata cara ibadah haji) ini, tanah-tanah haram, dan ber-ihram.

Adapun sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah), maka maksudnya adalah lambang-lambang agama yang tampak jelas, yang di antaranya juga manasik (tata cara ibadah haji) ini. Sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ

Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar-syi’ar Allah…” (QS al-Baqarah: 158).

Dan sungguh Allah Ta’ala telah menjadikan pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar-Nya sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun ketakawaan, dan salah satu syarat pengabdian dan penghambaan kepada-Nya. Allah pun jadikan pengagungan terhadap hurumatullah (hal-hal terhormat di sisi Allah) sebagai sebuah jalan bagi hamba-Nya untuk meraih pahala dan pemberian karunia dari-Nya.

Dan orang yang memperhatikan dengan seksama dan melihat dengan cara pandang orang yang mau belajar tata cara ibadah haji Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, niscaya dia akan memahami bagaimana beliau melaksanakan ibadah hajinya dengan penuh pengagungan dalam segala perkataan dan perbuatan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.

Wallahu A’lam.

***

Penulis: Ust. Arief Budiman Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/27810-hadits-keutamaan-ibadah-haji-dan-umrah.html

Hukum Qurban Bergilir Antar Anggota Keluarga

Kebiasaan qurban bergilir ini marak di masyarakat kita. Yaitu misalnya satu keluarga terdiri dari suami, istri dan dua anak. Maka tahun ini yang berqurban suami, tahun depan istri, tahun setelahnya anak pertama, tahun setelahnya lagi anak kedua, dan seterusnya.

Ini menjadi hal yang unik, karena kami belum mendapatkan hal seperti ini di kitab-kitab fikih.

Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selalu berqurban setiap tahun. Namun tidak dinukil riwayat bahwasanya beliau mempergilirkan qurban, kepada istri-istrinya dan anak-anaknya. Bahkan beliau menganggap qurban beliau sudah mencukupi seluruh keluarganya.

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

ضحَّى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بكبشَيْنِ أقرنيْنِ أملحيْنِ أحدِهما عنهُ وعن أهلِ بيتِه والآخرِ عنهُ وعمَّن لم يُضَحِّ من أمَّتِه

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan dua domba gemuk yang bertanduk salah satunya untuk diri beliau dan keluarganya dan yang lain untuk orang-orang yang tidak berqurban dari umatnya” (HR. Ibnu Majah no.3122, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil [4/353]).

Demikian juga para sahabat Nabi, yang berkurban di antara mereka adalah para kepala keluarga, dan mereka juga tidak mempergilirkan qurban pada anak dan istri mereka.

Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu’anhu, ia berkata:

كانَ الرَّجلُ في عَهدِ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يُضحِّي بالشَّاةِ عنهُ وعن أَهلِ بيتِهِ فيأْكلونَ ويَطعَمونَ ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya. Mereka makan dan sembelihan tersebut dan memberi makan orang lain. Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga (dengan banyaknya hewan qurban) sebagaimana engkau lihat” (HR. Tirmidzi no.1505, Ibnu Majah no. 3147, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Syaikh Ibnu Al Utsaimin ditanya: “apakah setiap anggota keluarga dituntut untuk berqurban atas diri mereka masing-masing?”. Beliau menjawab:

لا.السنة أن يضحي رب البيت عمن في البيت، لا أن كل واحد من أهل البيت يضحي، ودليل ذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى بشاة واحدة عنه وعن أهل بيته، وقال أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه: ( كان الرجل على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته ) ولو كان مشروعاً لكل واحد من أهل البيت أن يضحي لكان ذلك ثابتاً في السنة، ومعلوم أن زوجات الرسول عليه الصلاة والسلام لم تقم واحدة منهن تضحي اكتفاء بأضحية النبي صلى الله عليه وسلم

“Tidak. Yang sesuai sunnah, kepala rumah tangga lah yang berkurban. Bukan setiap anggota keluarga. Dalilnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan keluarganya. Dan Abu Ayyub Al Anshari berkata: “Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya”. Andaikan disyariatkan setiap anggota keluarga untuk berkurban atas dirinya masing-masing tentu sudah ada dalilnya dari sunnah Nabi. Dan kita ketahui bersama, bahwa para istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak ada yang berqurban, karena sudah mecukupkan diri dengan qurban Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam“.

Beliau juga mengatakan:

فإن قال قائل: لعل ذلك لفقرهم؟ فالجواب: إن هذا احتمال وارد لكنه غير متعين، بل إنه جاءت الآثار بأن من أزواج الرسول عليه الصلاة والسلام من كانت غنية

“Jika ada orang yang berkata: mungkin itu karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat miskin? Maka kita jawab: memang kemungkinan tersebut ada, namun tidak bisa kita pastikan. Bahkan terdapat banyak atsar yang menunjukkan bahwa para istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang-orang kaya“ (Durus Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 8/5) [Versi online simak di islamport.com].

Dan perlu diperhatikan bahwa ibadah qurban ini wajib ikhlas hanya untuk meraih wajah Allah Ta’ala.

Hendaknya jauhkan perasaan ingin dilihat, ingin dikenal pernah berqurban, ingin nampak namanya atau semisalnya yang merupakan riya dan bisa menghanguskan pahala amalan.

Karena terkadang alasan orang berqurban atas nama istrinya atau anaknya karena anak dan istrinya belum pernah nampak namanya dalam list shahibul qurban. Allahul musta’an.

Oleh karena itulah dalam hadits Abu Ayyub di atas disebutkan:

ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga sebagaimana engkau lihat”

Yaitu menjadikan ibadah qurban sebagai ajang berbangga di hadapan orang banyak.

Di sisi lain, ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah mensyaratkan yang berqurban haruslah yang memberikan nafkah, barulah mencukupi untuk satu keluarga.

Dalam kitab Al Muntaqa karya Al Baji disebutkan:

والأصل في ذلك حديث أبي أيوب كنا نضحي بالشاة الواحدة يذبحها الرجل عنه وعن أهل بيته زاد ابن المواز عن مالك وولديه الفقيرين قال ابن حبيب: وله أن يدخل في أضحيته من بلغ من ولده وإن كان غنيا إذا كان في نفقته وبيته

“Landasan dari hal ini adalah hadits Abu Ayyub: ‘dahulu kami biasa berqurban dengan satu kambing yang disembelih SEORANG LELAKI untuk dirinya dan keluarganya’. Dalam riwayat Ibnu Mawaz dari Malik adal tambahan: ‘dan orang tuanya dan orang fakir yang ia santuni’. Ibnu Habib mengatakan: ‘Maka boleh meniatkan qurban untuk orang lain yang bukan keluarganya, dan ia orang yang kaya, jika memang orang lain tersebut biasa ia nafkahi dan tinggal di rumahnya’”

Sehingga dengan pendapat ini, jika yang berqurban adalah istri atau anak, maka qurban tidak mencukupi seluruh keluarga.

Walhasil, kami bertanya kepada beberapa ulama dalam masalah ini, dengan teks pertanyaan, “wahai Syaikh, terkait qurban. Diantara kebiasaan di negeri kami, seorang lelaki misalnya tahun ini berqurban, namun tahun depan dia tidak berqurban melainkan istrinya yang berqurban. Tahun depannya lagi anak pertamanya, dan terus demikian secara bergiliran. Apakah ini baik?”.

Syaikh Walid Saifun Nashr menjawab:

لا أعلم له أصلا

“Saya tidak mengetahui ada landasan dari perbuatan ini” [Kami tanyakan melalui Whatsapp Messenger]

Syaikh Dr. Aziz Farhan Al Anazi menjawab:

الأصل أن على ان أهل كل بيت أضحية والذي يتولى ذلك الوالد لانه هو المكلف بالإنفاق على زوجته واولاده

“Asalnya tuntutan untuk berqurban itu pada setiap keluarga, dan yang bertanggung-jawab untuk menunaikannya adalah suami karena dia yang wajib memberikan nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya” [Simak di status twitter].

Adapun mengenai keabsahan qurban jika yang berqurban bukan kepala keluarga namun salah seorang dari anggota keluarga, maka tetap sah jika syarat dan rukun qurban terpenuhi. Semisal jika istrinya yang berqurban atau anaknya, maka boleh dan tetap sah. Namun kurang utama, karena menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/50577-hukum-qurban-bergilir-antara-anggota-keluarga.html