Nama-Nama Nabi dan Rasul dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bag. 2)

Apakah Khidir itu Nama Seorang Nabi atau Seorang Wali?

Terdapat satu masalah penting, yaitu apakah Khidir itu termasuk Nabi atau wali? Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa Khidir itu termasuk Nabi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 16), juga dipilih oleh Abul ‘Abbas Al-Qurthubi (Al-Mufhim, 6: 209), Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 16), Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahumullah.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “(Termasuk perkara) yang kita tidak boleh (berpendapat) abstain adalah penegasan tentang kenabian Khidir.” (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 162)

Para ulama tersebut berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahfi: 65)

Yang dimaksud dengan kata “rahmat” dalam ayat tersebut adalah “kenabian” (an-nubuwwah). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?” (QS. Az-Zukhruf: 32)

Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “(Yang dimaksud dengan kata) ‘rahmat’ dalam ayat ini adalah an-nubuwwah (kenabian).” (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 16)

Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي

Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. (QS. Al-Kahfi: 82)

Ayat ini merupakan dalil tegas yang menunjukkan kenabian Khidir ‘alaihissalam. Dalam ayat ini, Khidir mengingkari perbuatannya berupa membunuh anak kecil dan menenggelamkan kapal itu berasal dari kemauannya sendiri. Akan tetapi, apa yang diperbuat itu hanyalah berasal dari perintah dari Allah Ta’ala. Dan perintah Allah Ta’ala semacam itu hanyalah bersumber dari wahyu, dan bukan sekedar bersumber dari ilham.

Apa yang diperbuat oleh Khidir tersebut juga termasuk dalam ilmu gaib yang tidak mungkin diketahui oleh siapa pun, kecuali Allah Ta’ala semata. Perkara ini termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib. Maka, Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya. Maka, sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-27)

Abul ‘Abbas Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Yang dzahir (makna yang lebih mendekati, pent.) dari rangkaian kisah Khidir dan juga memperhatikan keadaannya, disertai dalil firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri”, bahwa (Khidir) adalah seorang Nabi yang diberi wahyu berupa taklif (beban syariat) dan hukum-hukum.” (Al-Mufhim, 6: 209)

Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri”,  menunjukkan kenabian Khidir. Bahwa Khidir diberi wahyu berupa taklif dan hukum-hukum (syariat), sebagaimana diwahyukan pula kepada para Nabi ‘alaihimush shalatu wassalam. Akan tetapi, Khidir bukanlah Rasul.” (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 28)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Khidir berani membunuh anak kecil tersebut. Dan hal itu tidak mungkin terjadi, kecuali berdasarkan wahyu yang disampaikan kepadanya dari sisi Allah Ta’ala. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabian Khidir dan juga bukti nyata tentang kemaksuman Nabi Khidir. Hal ini karena seorang wali tidak boleh berinisiatif membunuh jiwa manusia semata-mata hanya berdasarkan pemikirannya. Karena bisikan yang ada dari dalam hatinya tidaklah maksum. Karena berdasarkan kesepakatan (para ulama, pent.), (bisikan itu) bisa saja salah.”  (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 162)

Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Di antara dalil yang paling jelas menunjukkan bahwa “rahmat” dan “ilmu laduni” yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada hamba-Nya Khidir adalah melalui jalan kenabian (an-nubuwwah) dan wahyu adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” Maksudnya, apa yang aku lakukan ini hanyalah berasal dari perintah Allah Ta’ala. Sedangkan perintah Allah Ta’ala hanyalah bisa terwujud melalui jalan wahyu. Karena tidak ada jalan untuk mengetahui perintah dan larangan Allah, kecuali dengan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala. Lebih-lebih membunuh jiwa yang pada asalnya tidak boleh dibunuh dan menenggelamkan kapal milik orang lain dengan melubanginya. “ (Adhwa’ul Bayan, 3: 323)

Jika ada yang bertanya, bisa jadi hal itu didapatkan melalui ilham, dan bukan melalui wahyu? Maka, jawabannya adalah sudah menjadi ketetapan dalam ilmu ushul bahwa ilham yang dimiliki para wali itu tidak boleh dijadikan sebagai dalil atas apapun karena wali itu tidaklah maksum. Juga tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya berdalil dengan ilham. Bahkan, yang ada adalah dalil yang menunjukkan tidak boleh berdalil dengan ilham. (Lihat Adhwaul Bayaan, 3: 323)

Para ulama yang mengatakan bahwa Khidir itu Nabi juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْداً ؛ قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً ؛ وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْراً ؛ قَالَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً ؛ قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْراً

“Musa berkata kepada Khidhr, ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata, ‘Insyaallah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata, ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’ (QS. Al-Kahfi: 66-70)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Seandainya Khidir itu seorang wali dan bukan seorang Nabi, Nabi Musa ‘alaihis salaam tidak mungkin berbicara kepada Khidir (dengan perkataan) semacam itu. Musa juga tidak akan menjawab Khidir dengan jawaban semacam itu. Bahkan, Nabi Musa meminta agar bisa membersamai Khidir untuk bisa mendapatkan ilmu yang Allah khususkan kepada Khidir dan tidak dia dapatkan sebelumnya. Seandainya Khidir itu bukan seorang Nabi, maka dia tidaklah maksum. Dan tidak mungkin bagi Nabi Musa, yang merupakan Nabi dan Rasul yang agung, yang jelas maksum, dan memiliki motivasi besar (untuk mencari ilmu, pent.), untuk mempelajari ilmu dari seorang wali yang tidak maksum.” (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 30)

Demikian pula kabar dari Khidir bahwa anak kecil yang dia bunuh itu akan tumbuh dewasa dalam kekafiran. Ini termasuk berita gaib yang tidak mungkin diketahui kecuali melalui jalan kenabian dan wahyu.

Pendapat kedua, adalah pendapat yang menyatakan bahwa Khidir itu adalah wali dan bukan Nabi. Di antara ulama yang berpendapat yang kedua ini adalah Abu ‘Ali bin Abu Musa (dari ulama Hanabilah), Abu Bakr Al-Anbari, dan Abul Qasim Al-Qusyairi. (Lihat Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 24)

Dan bisa jadi argumentasi utama mereka adalah al-manaamaat. Dan sebagaimana telah diketahui bahwa al-manaamaat itu bukan hujjah dalam syariat.

Sebagian orang yang meyakini bahwa Khidir adalah seorang wali kemudian menjadikan kisah Khidir ini sebagai alasan bahwa derajat kewalian itu lebih tinggi daripada derajat kenabian. Tentu saja hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan telah kami jelaskan sebelumnya di tulisan yang lain di tautan ini.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Perlu diperhatikan bahwa mayoritas dari mereka mengunggulkan wali di atas Nabi, -menurut persangkaan mereka- baik secara mutlak atau unggul (lebih utama) dari sebagian sisi. Mereka menyangka bahwa dalam kisah Khidir bersama Nabi Musa ‘alaihissalam yang terdapat dalam surat Al-Kahfi adalah dalil yang mendukung pendapat mereka.”  (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 25)

Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang sahih adalah pendapat pertama yang menyatakan bahwa Khidir adalah seorang Nabi berdasarkan dalil-dalil yang telah kami sebutkan. Demikian penjelasan ini, semoga bermanfaat.

Baca Juga:

[Selesai]

***

@Rumah Kasongan, 7 Jumadil Ula 1443/12 Desember 2021

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/71059-nama-nabi-dan-rasul-dalam-alquran-assunnah-bag-2.html

Visi Nabi Muhammad; Menyebarkan Rahmat Bagi Alam Semesta

Islam adalah agama penuh kasih. Dalam ajaran Islam, seorang muslim dituntut untuk menyayangi dan menebarkan cinta pada sesama makhluk hidup. Baik itu tumbuhan, hewan, dan manusia dan mahluk lainnya, termasuk jin dan malaikat.

Ajaran kasih sayang , yang ada dalam Islam itu dipraktikkan langsung oleh Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Tingkah laku Nabi, senantiasa menunjukkan kasih sayang terhadap alam semesta. Fakta itu mendapatkan legitimasi langsung dari Al-Qur’an selaku kitab suci umat Islam.

Allah berfirman dalam Q.S al Anbiya/21:107;

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.

Menanggapi ayat ini, Syekh Jalaluddin Mahalli dan Jalaluddin Suyuthi mengatakan dalam Tafsir Al Jalalain, bahwa yang dimaksud ayat ini adalah kasih sayang Nabi Muhammad tak hanya pada makhluk hidup semata, tetapi juga pada alam semesta, mencakup jin dan manusia. Itulah misi utama Islam diturunkan oleh Allah ke atas dunia.

Pada sisi lain Imam Al-Qurthubi, dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran, dengan mengutip sebuah riwayat yang bersumber dari Ibn ‘Abbas, menggambarkan kemuliaan dan kasih sayang Nabi Muhammad pada alam semesta. Al Qurthubi menyatakan:

كَانَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحْمَةً لِجَمِيعِ النَّاسِ فَمَنْ آمَنَ بِهِ وَصَدَّقَ بِهِ سَعِدَ، وَمَنْ لَمْ يُؤْمِنْ بِهِ سَلِمَ مِمَّا لَحِقَ الْأُمَمَ مِنَ الْخَسْفِ وَالْغَرَقِ

Nabi Muhammad saw adalah rahmat bagi seluruh manusia. Maka siapa yang beriman dan membenarkannya akan selamat dan siapa yang tidak beriman juga akan selamat dari apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu yang terbenam dan tenggelam,”.

Menurut Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah,  ayat ini menjelaskan pribadi  Nabi Muhammad yang merupakan rahmat bagi alam semesta, sesuai dengan visi dan misi ajaran Islam. Ia menjelaskan bahwa kepribadian Rasulullah adalah rahmat, di samping ajaran-ajaran yang Nabi sampaikan dan terapkan pada umatnya.

Quraish Sihab mengatakan dalam Tafsir al Misbah, Jilid VIII, halaman 133, sebagai berikut; “Rasul saw adalah rahmat, bukan saja kedatangan beliau membawa ajaran, tetapi sosok dan kepribadian beliau adalah rahmat yang diangurehkan Allah kepada beliau.

Ayat ini menjelaskan bahwa “Kami tidak mengutus engkau untuk membawa rahmat, tetapi sebagai rahmat atau agar engkau menjadi rahmat bagi seluruh alam,”

Demikian penjelasan Islam, sebagai rahmat dari Allah bagi alam semesta, bukan hanya manusia, tetapi seluruh makhluk hidup. Bukan pula untuk makhluk yang kasat mata, Islam juga seyogianya menjadi makhluk yang ghaib. Itulah asas utama Islam—menjadi rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta.

BINCANG SYARIAH

Al-Jalil, Allah yang Mahaluhur

Allah yang menunjukkan bahwa Dia-lah yang memiliki keagungan

Di dalam Al-Quran tidak ada sebutan “Al-Jalil” untuk nama Allah. Hanya saja, Al-Quran menyebut dua kali kata “dzul-Jalali wal-Ikram”. Yaitu, dalam QS Ar-Rahman 27 dan 78. Dari sinilah kemudian muncul sebutan Al-Jalil untuk sifat Allah.

Al-Jalil, sebagaimana dalam Lisan Al-‘Arab, adalah salah satu sifat-sifat Allah yang menunjukkan bahwa Dia-lah yang memiliki keagungan dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mengacu kepada kesempurnaan sifat. Al-Jalil berasal dari kata “al-jillah” yang berarti “unta besar”.

Menurut Ar-Raghib dalam Mufradat Alfazhil Quran, ada perbedaan antara al-jalaalah dan al-jalal. Al-jalaalah adalah kekuasaan yang besar, sedangkan al-jalaalu tanpa ta marbutah adalah sebuah sifat yang memang dikhususkan kepada Allah dan tidak bisa digunakan untuk selain-Nya. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS. Ar-Rahman 27, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.”

Makna Al-Jalil menunjukkan keagungan kekuasaan-Nya dan kebesaran urusan-Nya. Dia-lah al-Jalil yang membuat kecil setiap keagungan selain-Nya dan membuat rendah setiap yang tinggi selain-Nya. Meresapi makna Al-Jalil berarti memandang dan menempatkan Allah dalam kehidupan dunia ini. Urusan agama Allah adalah di atas segalanya. Keyakinan dan segala sikap perilaku harus bersandar pada ketentuan Allah. Tidak ada perbuatan kecil, jika diterima oleh Allah yang Maha Luhur dan Maha Besar.

Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “Termasuk bentuk pengagungan kepada Allah adalah memuliakan seorang muslim yang telah beruban, para pembaca Al-Qur’an yang tidak bersikap berlebihan dan tidak pula bersikap jauh dari bacaannya, serta memuliakan penguasa yang adil.” (HR. Abu Dawud) Dalam Hadits Qudsi juga disebutkan,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: المُتَحَابُّونَ فِي جَلَالِي لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ [رواه الترمذي]

Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, maka mereka itu akan memiliki mimbar-mimbar dari cahaya yang diinginkan pula oleh para nabi dan para syahid.” (HR. Tirmidzi)

Seseorang yang meyakini Allah Yang Maha Luhur dan Maha Besar berarti mencintai Allah di atas segalanya. Ia akan lebih mengutamakan ibadah kepada Allah daripada sibuk dengan pekerjaannya. Ia akan mendahulukan urusan Allah dan Hari Akhir ketimbang dunianya. Dan, ia tidak akan memperbudak dirinya untuk sekedar urusan dunia, apalagi menghiba dan melacurkan diri untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Wallahu a’lamu.

Bahrus Surur At-Tibyaniy, Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah Sumenep

Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2019

KHAZANAH REPUBLIKA

Ka’bah Diberi Wewangian 10 Kali Sehari

Sedikitnya sepuluh kali dalam sehari Ka’bah dan Masjidil Haram diharumkan dengan wewangian berkualitas. Wewangian digunakan ke Kabah dan Masjidil Haram secara teratur dalam agenda-agenda khusus terutama ada bulan suci Ramadhan, ibadah haji, dan hari Jumat.

Seperti dilansir Arab News pada Kamis (15/4) wewangian untuk mengharumkan Masjidil Haram dan Ka’bah dipandang sebagai tindakan pengabdian dan penghormatan bagi situs tersuci Islam dan jamaah yang mengunjunginya. Memberikan wewangian bertujuan untuk memberikan suasana spiritualitas dan kesucian kepada ribuan orang yang berkunjung, shalat dan umrah di Masjidil Haram.

Sebanyak enam puluh petugas pembakar dupa dikerahkan setiap harinya guna membakar 60 kilogram oud di masjid. Sebuah praktik yang menandakan penghormatan terhadap situs suci tersebut. Islam sangat mementingkan kebersihan dan wangi. Muslim mengoleskan parfum ke sajadah, baju sholat, rosario dan membakar wewangian di masjid.

IHRAM

Bulughul Maram – Shalat: Cara Nabi Tadabur Ayat Saat Shalat

Dalam shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar mentadaburi setiap ayat, sehingga ketika sampai ke ayat rahmat, beliau meminta rahmat kepada Allah dan ketika sampai ke ayat perlindungan, beliau meminta perlindungan kepada Allah.

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kitab Shalat

بَابُ صِفَةِ الصَّلاَةِ

Bab Sifat Shalat

Hadits #292

Meminta kepada Allah Ketika Membaca Ayat Rahmat

عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا مَرّتْ بِهِ أَيَةُ رَحْمَةٍ إِلاَّ وَقَفَ عِنْدَهَا يَسْأَلُ، وَلاَ آيَةُعَذَابٍ إلاَّ تَعَوَّذَ مِنْهَا. أَخْرَجَهُ الخَمْسَةُ، وَحَسَّنَه الترْمِذِيُّ

Dari Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap melewati bacaan ayat tentang rahmat, beliau berhenti untuk berdoa meminta rahmat, dan setiap melewati bacaan tentang azab, beliau berhenti untuk berdoa meminta perlindungan dari-Nya.” (Dikeluarkan oleh Imam yang lima dan hadits ini hasan menurut Tirmidzi). [HR. Abu Daud, no. 871; An-Nasai, 3:225; Tirmidzi, no. 262; Ibnu Majah, no. 1351; Ahmad, 38:275-369. Sanad hadits ini sahih sesuai syarat Muslim. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulughul Al-Maram, 3:90].

Faedah hadits

  1. Hadits ini jadi dalil, orang yang shalat hendaklah mentadaburi ayat yang dibaca dalam shalat.
  2. Orang yang shalat hendaklah meminta rahmat ketika ia melewati ayat yang berisi rahmat dan meminta perlindungan kepada Allah ketika ia melewati ayat yang berisi azab.
  3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan hal ini pada shalat tahajud karena dalam shalat tersebut, beliau banyak membaca surah dan memperlama shalat.
  4. Hati hendaklah hadir ketika kita berada dalam shalat.
  5. Meminta rahmat atau perlindungan seperti yang dimaksudkan dalam hadits baiknya dilakukan dalam shalat sunnah saja, tidak pada shalat wajib. Walaupun sebagian ulama menyatakan berlaku pada shalat wajib dan shalat sunnah sekaligus. Hal ini bisa dilakukan oleh imam dan orang yang shalat sendirian. Untuk makmum, ia bisa lakukan di saat shalat sir (lirih). Untuk shalat jahar, makmum hendaklah meninggalkannya kecuali imamnya diam saat itu untuk meminta rahmat atau perlindungan.

Referensi:

  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:90-92.

Kamis pagi, 11 Jumadal Ula 1443 H, 16 Desember 2021

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/31311-bulughul-maram-shalat-cara-nabi-tadabur-ayat-saat-shalat.html

10 Kunci Meraih Rasa Lapang Dada (Bag. 6)

Baca pembahasan sebelumnya pada artikel kami yang berjudul 10 Kunci Meraih Rasa Lapang Dada (Bag. 5).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Sebab keenam, berbuat baik kepada hamba-hamba Allah

Sebab keenam di dalam meraih kelapangan dada yang diajarkan oleh syariat agama ini adalah berbuat baik kepada makhluk-makhluk Allah, baik makhluk yang berakal maupun yang tidak berakal. Baik itu yang muslim maupun non muslim.

Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman,

وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Baqarah: 195).

Berbuat baik kepada makhluk bisa dengan berbagai macam cara, baik itu secara fisik maupun maknawi; baik itu dengan jabatan ataupun dengan harta. Berbuat baik juga bisa dengan musyawarah, diskusi, dan lain-lain. Saat seorang hamba berbuat baik kepada hamba-hamba Allah Taala lainnya, Allah Taala akan memberikan pahala kepada hamba tersebut berupa kelapangan dada, kemudahan urusan, dan orang tersebut akan mendapatkan tempat kembali yang baik di akhirat kelak, yaitu surga yang penuh kenikmatan.

Nabi Shallallahu ’alaihi wassalam pernah bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمَاً سَتَرَهُ اللهُ فِيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ

Barang siapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam hutangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim).

Memberikan manfaat, menolong, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang lain, termasuk salah satu sebab paling utama untuk mendapatkan lapang dada. Adapun orang yang pelit di dalam berbuat kebaikan, kikir di dalam memberikan harta kepada orang lain, maka hal tersebut merupakan salah satu faktor sempitnya dada. Orang tersebut akan banyak merasakan kesedihan, kegalauan, dan akan menjadi susah hidupnya.

Di dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi kita yang mulia Shallallahu ’alaihi wassalam memberikan contoh yang cukup jelas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَثَلُ الْبَخِيلِ وَالْمُنْفِقِ كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُبَّتَانِ مِنْ حَدِيدٍ مِنْ ثُدِيِّهِمَا إِلَى تَرَاقِيهِمَا فَأَمَّا الْمُنْفِقُ فَلَا يُنْفِقُ إِلَّا سَبَغَتْ أَوْ وَفَرَتْ عَلَى جِلْدِهِ حَتَّى تُخْفِيَ بَنَانَهُ وَتَعْفُوَ أَثَرَهُ وَأَمَّا الْبَخِيلُ فَلَا يُرِيدُ أَنْ يُنْفِقَ شَيْئًا إِلَّا لَزِقَتْ كُلُّ حَلْقَةٍ مَكَانَهَا فَهُوَ يُوَسِّعُهَا وَلَا تَتَّسِعُ

Perumpamaan bakhil (orang yang pelit bersedekah) dengan munfiq (orang yang suka berinfak) seperti dua orang yang masing-masing mengenakan baju jubah terbuat dari besi yang hanya menutupi buah dada hingga tulang selangka keduanya. Adapun orang yang suka berinfak, tidaklah dia berinfak melainkan bajunya akan melonggar atau menjauh dari kulitnya, hingga akhirnya menutupi seluruh badannya sampai kepada ujung kakinya. Sedangkan orang yang bakhil, setiap kali dia tidak mau berinfak dengan suatu apapun, maka baju besinya akan menyempit sehingga menempel ketat pada setiap kulitnya. Ketika dia mencoba untuk melonggarkannya, maka dia tidak dapat melonggarkannya.” (HR. Bukhari).

Pada hadis di atas, Nabi Shallallahu ’alaihi wassalam memberikan permisalan antara orang yang rajin bersedekah dan orang yang pelit. Keduanya sama-sama mengenakan baju terbuat dari besi untuk melindungi diri mereka. Baju besi ini pada asalnya menutupi antara buah dada dan tulang selangka. Maksudnya, baju besi ini terletak di atas dada dan dekat dengan leher.

Orang yang rajin bersedekah, setiap kali ia berbuat baik kepada manusia dan bersedekah untuk orang-orang yang membutuhkan, maka baju besinya akan semakin memanjang, serta bertambah pula rantai-rantai besi yang ada padanya. Sehingga baju besinya akan menutupi seluruh kulitnya dan menutupi ujung-ujung jarinya. Inilah makna sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wassalam, bahkan menutupi ujung-ujung jemarinya”. Selain itu, baju besi yang dia kenakan juga akan menghapus jejak kakinya ketika berjalan. Maksudnya, saking panjang dan banyaknya rantai-rantai yang ada, maka jejak yang ditinggalkan menghilang karena tersapu oleh rantai-rantai tersebut. Inilah makna sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wassalam yang artinya, “dan menghapus jejaknya.

Sedangkan orang yang pelit dan kikir di dalam berbuat baik kepada manusia serta pelit di dalam mengeluarkan hartanya, maka rantai-rantai yang ada di jubahnya akan tetap berada pada tempatnya. Setiap kali ia berusaha untuk meluaskan bajunya demi melindungi badannya, maka ia tidak akan mampu melakukannya.

Syekh Abdurrazzaq Hafidzahullah menutup sebab keenam dengan memberikan kesimpulan, “Permisalan di atas adalah permisalan yang sangat jelas. Permisalan tersebut menjelaskan pengaruh bersedekah dan pelit bersedekah terhadap keadaan dan agama seorang hamba. Ringan tangan di dalam memberi, berinfak semampunya, dan berbuat baik, merupakan sebab keluasan harta, tenangnya hati, pikiran, dan merupakan sebab terhapusnya dosa-dosa yang dilakukan.

Adapun orang yang kikir dan pelit, maka kebalikan dari semua hal di atas. Setiap kali ia ingin bersedekah, jiwanya merasa sempit, dan merasa berat dalam mengeluarkan hartanya. Maka orang tersebut akan mendapati kehidupannya menjadi susah dan kesempitan di dada. Hal tersebut tergantung tingkat pelit dalam dirinya dan jauhnya ia dari kebaikan.”

Baca Juga: Berlapang Dada dalam Ikhtilaf Mu’tabar

Sebab ketujuh, keberanian

Sikap keberanian memiliki dampak yang sangat jelas di dalam kenyamanan jiwa dan ketenangan hati. Berbeda dengan sikap pengecut yang akan membawa pemiliknya kepada susahnya hidup, tergantung seberapa besar rasa pengecut, takut, lemah, atau berlebihan dalam memikirkan sesuatu tentang hal yang belum terjadi.

Keberanian adalah salah satu bukti dari kuatnya keimanan dan baiknya hubungan seorang hamba dengan Allah Subhaanahu wa ta’ala. Maka setiap kali bertambah keimanan dan hubungannya dengan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, bertambah pula kadar keberaniannya dan menjadi kuat pula hatinya. Hal tersebut akan membawanya kepada kebahagiaan dan lapang dada.

Allah Subhaanahu wa ta’ala  berfiman,

اِنَّمَا ذٰلِكُمُ الشَّيْطٰنُ يُخَوِّفُ اَوْلِيَاۤءَهٗۖ فَلَا تَخَافُوْهُمْ وَخَافُوْنِ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman” (QS. Al-Imran: 175).

Terdapat hadis sahih dari Nabi Shallallahu ’alaihi wassalam, bahwasannya beliau memperbanyak meminta perlindungan kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala dari rasa pengecut dan dari rasa pelit. Dimana keduanya jika berkumpul di dalam hati, maka akan mengakibatkan rasa sempit, berat, dan susah dalam menjalani kehidupan. Kedua hal tersebut merupakan akibat yang sangat fatal.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris

Referensi:

Asyartu Asbabin Linsyirahi As-sadr (10 Sebab Memperoleh Rasa Lapang Dada) Karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badr Hafidzhohullah dengan beberapa perubahan.

Sumber: https://muslim.or.id/71020-sepuluh-kunci-meraih-rasa-lapang-dada-bag-6.html

Umroh Kembali Diundur, Ampuh: Ini Ironis

Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama RI kembali mengundur jadwal pelaksanaan umroh hingga Januari 2022. Keputusan pemerintah ini pun dibahas dalam rapat koordinasi daring yang diikuti perwakilan Kemenag, Kemenhub, Kemenlu, Puskeshaji, Konsul Jeddah, dan Asosiasi Umrah Haji pada Jum’at (17/12).

Sebelumnya, umroh perdana petugas PPIU dijadwalkan berangkat ke Tanah Suci pada 23 Desember. Namun, karena adanya kasus Omicron dan untuk mengantisipasi penyebaran virus Covid-19 varian baru ini, maka keberangkatan jamaah umroh ini kembali ditunda.

Sekretaris Jenderal Afiliasi Mandiri Penyelenggara Umrah dan Haji (Ampuh), Wawan Suhada yang mengikuti rapat koordinasi tersebut mengatakan, para penyelenggara sudah dua tahun tidak bisa memberangkatkan jamaah umroh. Namun, saat Arab Saudi memperbolehkan umroh justru pemerintah Indonesia sendiri yang sekarang melarangnya.

“Ini ironis kan. Makanya tadi Dirjen PHU menyampaikan arahan dari presiden. Tapi kami dari delapan asosiasi yang hadir, tujuh asosiasi menyampaikan bahwasanya kita harus berangkat walaupun dengan jumlah skala yang lebih kecil,” ujar Wawan saat dihubungi //Republika.co.id//, Jum’at (17/12).

Wawan menyarankan, setidaknya harus ada perwakilan dari masing-masing asosiasi untuk berangkat ke Tanah Suci sebagai tim advance, sehingga setelah umroh dibuka pada Januari 2022 mendatang, sudah bisa diketahui standar operasionalnya.

“Itu masukan dari asosiasi. Intinya, ini juga untuk mencegah preseden buruk bahwasanya Kemenag plin-plan, tidak memiliki sikap yang kuat, berubah-ubah, menciptakan image yang tidak baik. Semacam prank nasional juga ini, karena bekali-kali kita mundur jadwalnya,” ucapnya.

“Jadi untuk mempertahankan itu, Ampuh dan enam aosisasi lain menyarankan bahwa kita harus berangkat walaupun dalam skala yang lebih kecil,” kata Wawan.

Dia pun menyoroti kasus Omicron yang menjadi alasan pengunduran umroh kali ini. Menurut dia, Direktur Penelitian WHO saja menyatakan bahwa Omicron tidak terlalu berbahaya bagi orang yang sudah divaksinasi.

“Jika pemerintah kita mereferensi bahwa telah terjadi kasus kematian karena Omicron satu orang di UK, tapi itu kan satu dari sekian juta orang. Yang kena Omicron tapi tidak meninggal dan sehat pada akhirnya, harusnya itu juga dipertimbangkan,” jelas Wawan.

“Jadi kami melihat ini pemerintah betul-betul tidak berpihak kepada penyelenggara. Hanya berpikir dari sisi kesehatan dan juga antisipasi terhadap penyebaran Covid, tapi tidak berpikir bagaimana penyelenggara ini bisa bertahan,” katanya.

IHRAM

Fikih Seputar Berbaliknya Imam Selesai Salat

Di antara adab bagi seorang imam salat jamaah setelah selesai salat adalah imam disunahkan berbalik menghadap kepada makmum. Salah satu dalilnya hadis dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ

“Biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika setelah selesai salat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami.” (HR. Bukhari no. 845)

Demikian juga hadis dari Al-Barra’ bin ‘Adzib radhiyallahu ‘anhu. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ ، يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ

“Dahulu kami salat bermakmum bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kami senang berada di sebelah kanan beliau, karena beliau menghadapkan wajahnya kepada kami setelah salat.” (HR. Muslim no. 709).

Syekh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri menjelaskan, “Setelah salat, imam berbalik ke arah makmum dengan cara berputar ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri. Semua ini hukumnya sunah.” (Shifatul Wudhu was Shalah, hal. 27)

Baca Juga: Hukum Melakukan Salat di Belakang Imam yang Melakukan Salat Wajib Sebelum Waktunya

Kapan berbaliknya?

Disebutkan dalam riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كانَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ إلَّا مِقْدَارَ ما يقولُ: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ

“Biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah duduk sejenak setelah salat, kecuali sekadar bacaan ‘Allohumma antas salam wa minkas salam tabarokta dzal jalali wal ikrom.’” (HR. Muslim no. 592)

Ini menunjukkan bahwa imam berbalik ke arah makmum adalah setelah membaca doa di atas.

Boleh berputar ke kanan atau ke kiri

Imam berbalik ke arah makmum dianjurkan dengan cara berputar ke arah kanan, sebagaimana dalam hadis Al-Barra’ bin ‘Adzib radhiyallahu ‘anhu. Perkataan,

أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ ، يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ

“Dan kami senang berada di sebelah kanan beliau, karena beliau menghadapkan wajahnya kepada kami setelah salat.”

menunjukkan ini yang paling sering Rasulullah lakukan. Namun, juga boleh kadang-kadang berputar ke arah kiri. Sebagaimana dalam hadis dari Hulb Ath-Tha’i radhiyallahu ‘anhu,

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَؤُمُّنا فينصرفُ على جانبَيه جميعًا ، على يمينِه ، وعلى شمالِه

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami kami, setelah salat beliau biasa berputar (ke arah kami) melalui dua sisinya. Terkadang ke sisi kanan, dan terkadang ke sisi kiri.” (HR. Abu Daud no. 1041, At-Tirmidzi no. 301, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud dan Shahih At-Tirmidzi)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

كان صلى الله عليه وسلم إذا سلم استغفر ثلاثاً، وقال: “اللهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، ومنكَ السلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ” ولم يمكث مستقبِلَ القِبلة إلا مقدارَ ما يقولُ ذلك ، بل يُسرع الانتقالَ إلى المأمومين ، وكان ينفتِل عن يمينه وعن يساره

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam setelah salam beliau istigfar 3x. Beliau lalu mengucapkan, ‘Allohumma antas salam wa minkas salam tabarokta dzal jalali wal ikrom.’ Beliau tidak duduk berdiam menghadap kiblat, kecuali sekadar mengucapkan itu saja. Kemudian, beliau bersegera menghadap para makmum. Terkadang beliau memutar badan ke sisi kanan dan terkadang ke sisi kiri.” (Zaadul Ma’aad, 1: 295).

Bolehkah makmum pergi sebelum imam berbalik?

Sebuah pertanyaan disampaikan kepada Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, “Sebagian orang berkata, tidak boleh makmum keluar dari masjid selama imam belum berbalik, apakah perkataan ini benar?”

Syekh menjawab, “Ada ihtimal bahwa pendapat tersebut benar. Namun, yang lebih tepat, pendapat tersebut tidak benar. Hukumnya mustahab bagi makmum untuk berdiam diri selama imam belum berbalik. Lebih utama demikian. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إنِّي إمَامُكُمْ، فلا تَسْبِقُونِي بالرُّكُوعِ ولَا بالسُّجُودِ، ولَا بالقِيَامِ ولَا بالانْصِرَافِ

“Sesungguhnya aku adalah imam kalian. Maka, janganlah kalian mendahului aku ketika rukuk, sujud, berdiri, ataupun al-inshiraf  (berpaling).” (HR. Muslim no. 426)

Pendapat yang masyhur dalam memahami hadis ini adalah bahwa al-inshiraf di sini maknanya adalah salam, bukan berbalik ke hadapan makmum. Pendapat yang masyhur adalah salam, sebagaimana perkataan Tsauban,

كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، إذَا انْصَرَفَ مِن صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا

“Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau insharafa (salam) dari salatnya, beliau istigfar 3x.” (HR. Muslim no. 591)

Insharafa di sini maknanya salam.

Adapun mengenai berbaliknya imam, maka yang lebih utama para makmum bersabar (tidak pergi) sampai imam berbalik kepada mereka. Ini yang lebih utama. Namun, jika makmum berdiri sebelum imam berbalik, maka dalam pendapat yang tepat, itu tidak mengapa. Karena inshiraf dalam hadis maknanya adalah salam” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, hal. 937)

Ikhwati fillah, coba direnungkan, masalah memutar badan saja ada dalilnya dan ada ilmunya. Maka sudahlah, jangan sibukan diri para perkara yang kurang bermanfaat. Karena banyak ilmu yang belum kita pelajari. Sibukan diri dengan ilmu, agar hidupmu berjalan di atas ilmu dan menggapai rida Rabbmu.

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/71018-fikih-berbaliknya-imam-selesai-shalat.html

Bolehkan Melamar Perempuan yang Sudah Dilamar?

PADA suatu hari, ada kejadian yang menyebutkan bahwa salah seorang ustadz yang juga tokoh masyarakat di ibu kota. Ia didatangi oleh seorang pemuda dengan maksud untuk melamar anak perempuannya yang belum menikah, ustadz tersebut menjawab, “Anak saya sudah ada yang melamar.“

Apakah jawaban tersebut menunjukkan bahwa seorang perempuan yang sudah dilamar oleh laki-laki, baik perempuan tersebut menerima, menolak, atau belum memberikan jawaban atas lamaran tersebut, pasti tidak boleh bagi laki-laki lain untuk melamarnya? Bolehkah melamar perempuan yang sudah dilamar?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu bahwa para ulama membagi perempuan yang telah dilamar seorang laki-laki, menjadi tiga keadaan.

Keadaan Pertama:

Perempuan tersebut sudah dilamar oleh laki-laki lain dan telah menerima lamarannya, maka tidak dibenarkan laki-laki lain datang untuk melamarnya, sampai laki-laki yang pertama membatalkan lamarannya atau mengijinkan orang lain untuk melamarnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shohih Muslim,Kairo, Dar al-Bayan, 1407/1987, jilid 3, juz 9 : 197, begitu juga oleh Ibnu Qudamah, di dalam al-Mughni, 10/ 567.

Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ

“Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya.“ (HR: Muslim, no : 2519).

Di dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

“Nabi Muhammad ﷺ telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” (HR: Bukhari, no : 4746).

Hanya saja, para ulama berbeda di dalam menafsirkan larangan dalam hadits di atas. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa larangan tersebut menunjukkan keharaman, sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan makruh bukan haram.

Bahkan Ibnu Qasim dari Madzhab Malikiyah mengatakan: “Maksud dari larangan hadist di atas, yaitu jika orang yang sholeh melamar seorang perempuan, maka tidak boleh laki-laki sholeh yang lain melamarnya juga. Adapun jika pelamar yang pertama bukan laki-laki yang sholeh (orang fasik), maka dibolehkan bagi laki-laki sholeh untuk melamar perempuan tersebut.“ (Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke – 10 , juz : 2 /3).

Apa hikmah di balik pelarangan tersebut?

Hikmahnya adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena lamarannya yang sudah menerimanya kok tiba-tiba membatalkannya hanya karena datang laki-laki lain, dan ini akan berpotensi terjadinya permusuhan, kebencian dan dendam antara satu dengan yang lain.

Bagaimana hukumnya jika laki-laki kedua bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :

  • Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi status pernikahan antara keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
  • Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus dibatalkan. Ini adalah pendapat Daud dari Madzhab Dhohiriyah.
  • Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan hubungan seksual , maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Imam Malik.

Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan tidak batal. (Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, juz : 2 /3).

Keadaan Kedua:

Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki lain, tetapi perempuan tersebut menolak lamaran itu atau belum memberikan jawaban. Di dalam Madzab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini, yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. (al-Khotib as-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994, Cet ke – 1, Juz : 4/ 222).

Dalilnya adalah hadist Fatimah binti Qais yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian beliau datang kepada Rasulullah ﷺ mengadu:
قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ
فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
“Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “ Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul ), sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku meras bahagia hidup dengannya.” (HR: Muslim, no : 2709).


Berkata Imam Syafi’I menerangkan hadist di atas:


وقد أَعْلَمَتْ فَاطِمَةُ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَنَّ أَبَا جَهْمٍ وَمُعَاوِيَةَ خَطَبَاهَا وَلَا أَشُكُّ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ خِطْبَةَ أَحَدِهِمَا بَعْدَ خِطْبَةِ الْآخَرِ فلم يَنْهَهُمَا وَلَا وَاحِدًا مِنْهُمَا ولم نَعْلَمْهُ أنها أَذِنَتْ في وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَخَطَبَهَا على اسامة ولم يَكُنْ لِيَخْطُبَهَا في الْحَالِ التي نهى فيها عن الْخِطْبَةِ ولم أَعْلَمْهُ نهى مُعَاوِيَةَ وَلَا أَبَا جَهْمٍ عَمَّا صَنَعَا وَالْأَغْلَبُ أَنَّ أَحَدَهُمَا خَطَبَهَا بَعْدَ الْآخَرِ فإذا أَذِنَتْ الْمَخْطُوبَةُ في إنْكَاحِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ لم يَجُزْ خِطْبَتُهَا في تِلْكَ الْحَالِ

“Fatimah telah memberitahukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarnya, dan saya tidak ragu-ragu dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala bahwa lamaran salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah ﷺ pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fatimah telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah ﷺ melamar Fatimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya dalam keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang wanita yang sudah dilamar orang lain), saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah ﷺ melarang perbuatan Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti, orang lain tidak boleh melamarnya lagi.“ (al-Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah, 1993, cet – 1 : Juz 5/ 64).

Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga orang: Jarir bin Abdullah, Marwan bin al Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia belum memberikan jawabannya. (Ibnu Qudamah, al-Mughni: 9/ 568)

Keadaan Ketiga:

Perempuan yang dilamar tersebut belum memberikan jawaban secara jelas, hanya saja ada tanda-tanda bahwa dia menerima lamaran tersebut. Maka hukum melamar perempuan yang sudah dilamar dalam keadaan seperti ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya:

  • Pendapat Pertama; Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan tersebut sudah menerima lamaran tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadist Ibnu Umar yang menyebutkan larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.
  • Pendapat Kedua: Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid (pendapat yang terbaru). Menurut kelompok ini bahwa di dalam hadist Fatimah binti Qais menunjukkan bahwa dia (Fatimah) sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu dari dua laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah shalallahu ‘alaihi wa salam tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini menunjukkan kebolehan.

Selain itu, di dalam hadist tersebut tidak disebutkan bahwa nabi Muhammad ﷺ bertanya terlebih dahulu sebelum melamarkan untuk Usamah, apakah Fatimah sudah cenderung kepada salah satunya atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa kebolehan melamar seorang perempuan secara umum selama belum memberikan jawaban pada lamaran sebelumnya.

Pendapat yang lebih benar dari dua pendapat di atas adalah pendapat pertama yang menyatakan haram hukumnya melamar perempuan yang sudah kelihatan kecenderungannya kepada laki-laki yang melamarnya, walaupun belum diungkapkan dalam kata-kata, karena kecenderungan sudah bisa dianggap sebagai persetujuan. Wallahu A’lam.*/Dr Ahmad Zain An-Najah, Pusat Kajian Fiqih (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Jamaah Kini Bisa Sentuh Hajar Aswad Lewat Virtual Reality

Arab Saudi telah meluncurkan inisiatif yang memungkinkan umat Islam menyentuh Hajar Aswad atau batu hitam di Ka’bah di Makkah secara virtual melalui teknologi Virtual Reality (VR) atau realitas maya. Inisiatif Batu Hitam Virtual ini diciptakan oleh Kepala Kepresidenan untuk Urusan Dua Masjid Suci Sheikh Abdul Rahman Al Sudais.

“Kami memiliki situs keagamaan dan sejarah yang hebat yang harus kami digitalkan dan komunikasikan kepada semua orang melalui sarana teknologi terbaru,” kata Sheikh Sudais, dikutip dari Gulf News, Rabu (15/12).

Kemudian, ia menekankan pentingnya menciptakan lingkungan simulasi virtual untuk mensimulasikan sebanyak mungkin indera, seperti penglihatan, pendengaran, sentuhan bahkan penciuman. Selama ritual ziarah ke Makkah atau haji, salah satu dari lima rukun Islam adalah mengelilingi Ka’bah tujuh kali dan pada akhir ritual masing-masing mereka mencoba menyentuh hajar aswad.

Ia menambahkan hal ini telah dipromosikan pada saat Arab Saudi sedang mengembangkan serangkaian proyek penting yang berkaitan dengan realitas virtual dan kecerdasan buatan terutama ditujukan untuk membuat kota pintar.

Inisiatif ini terdiri dari simulasi situs ziarah utama Muslim di Makkah yang mulai sekarang dapat dikunjungi dari rumah berkat virtual reality. Dengan cara ini, Ka’bah dapat dilihat dan disentuh secara virtual dari rumah. Hajar aswad itu tertanam di Ka’bah dan dianggap oleh umat Islam sebagai pecahan surga.

https://gulfnews.com/world/gulf/saudi/saudi-arabia-muslims-can-virtually-touch-kaabas-black-stone-from-home-1.84388660

IHRAM