Orang Tidak Percaya Covid-19, Buya Yahya; Membahayakan Diri Sendiri dan Orang Lain

Pandemi Covid-19 di Indonesia hingga kini belum juga usai. Korban terjangkit virus ini sudah mencapai 3,17 juta orang. Di samping itu, korban tewas akibat Covid-19 mencapai 83.279 orang. Meski demikian, masih ada sebagian masyarakat yang tidak percaya Covid-19. Mereka yang datang dari latar belakang sosial yang berbeda; tokoh agama, guru, politikus, dan ahli kesehatan.

Terkait mereka yang denial tehadap Covid-19, Ustadz Yahya Zainul Ma’arif—yang lebih akrab disapa Buya Yahya—, memberikan nasihat. Menurut pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, Cirebon ini mengakan Covid-19 tidak ada sangat berbahaya. Pasalnya, mereka yang menafikan Covid-19, akan mengabaikan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah dan ahli kesehatan.

“Orang yang mengatakan Corona tidak ada, membahayakan dirinya sendiri dan membahayakan orang lain,“ kata Buya Yahya. Pasalnya, orang yang tak mempercayai Covid-19— meski memiliki ketahanan tubuh yang sangat baik—, tetapi tidak tertutup kemungkinan ia akan menularkan virus tersebut pada orang lain. Sebagai seorang muslim, seyogianya menghargai diri sendiri, dan juga menghargai orang lain.

Pada sisi lain, Buya Yahya juga menyayangkan orang yang takut berlebihan pada Covid-19. Ia menilai takut berlebihan ini juga secara Psikologi akan mengganggu dan  mempengaruhi kesehatan. Sebab takut berlebihan akan mengakibatkan fisik yang sehat akan menjadi tidak.

Takut yang berlebihan juga akan mengakibatkan tindakan yang fatal. Di Indonesia, sudah beberapa kali terjadi. Misalnya, Susu Beruang yang habis diborong masyarakat di super market. Sebab ada isu susu tersebut mampu menangkal Covid-19. Dan juga ada yang menimbun masker. Memborong belanjaan di pasar, sehingga terjadi kelangkaan.  Pendek kata, takut yang berlebihan, hanya akan memperburuk keadaan.

Selanjutnya, Buya Yahya juga mengingatkan selama Covid-19 masih ada, terlebih pada masa PPKM ini seyogianya masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Pasalnya, ahlu dzikri  (ulama) dari pandemi Covid-19 ini adalah para dokter dan ahli kesehatan. Terlebih ketika dalam majelis dan perkumpulan, termasuk dalam Masjid. Seyogianya masyarakat mematuhi protokol kesehatan.

Buya Yahya juga mengingatkan masyarakat untuk senantiasa mematuhi protokol kesehatan. Mematuhi Prokes termasuk ikhtiar seorang hamba terhadap Tuhannya. Sedangkan orang yang mengabaikan protokol dan mengatakan cukup tawakal saja, tergolong orang yang sombong pada Allah.

Buya Yahya menerangkan, tawakkal itu dilaksanakan setelah manusia berusaha. “Kalau orang tak mematuhi protokol kesehatan, itu namanya bukan tawakkal, tapi sombong pada Allah, karena sudah dikasih pada para ahl zikri para ulama—dalam pandemi ini; para dokter”, tegas Buya Yahya.

Buya Yahya menganologikan itu sama dengan orang yang tak percaya api itu panas. Padahal orang banyak sudah mengatakan api itu panas. “Saya bertawakkal pada Allah, kalau api ini tidak panas kata Allah, pasti tidak panas,” itu katanya. Itu sikap manusia sombong. Manusia ini termasuk dalam golongan sombong pada sunnatullah.

Demikian pesan Buya Yahya pada masyarakat muslim Indonesia dalam menghadapi Pandemi Covid-19. Nasihat itu disampaikan melalui akun Youtube Al-Bahjah TV. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Membaca Alquran Tanpa Wudhu?

Anggota Komisi Fatwa Darul Iftaa Mesir Syekh Dr Muhammad Abdul Sami menyampaikan penjelasan soal membaca Alquran tanpa wudhu. Sebelumnya dia mendapat pertanyaan apa hukumnya membaca Alquran jika tidak dalam kondisi wudhu?

Syekh Abdul Sami menjelaskan bahwa tidak boleh menyentuh mushaf Alquran tanpa wudhu, sebagaimana dilansir dari laman Masrawy. Lantas bagaimana jika kebetulan seseorang sedang dalam perjalanan atau dalam kondisi tertentu yang membuatnya sulit untuk wudhu?

Syekh Abdul Sami menyampaikan, jika ada dalam keadaan tersebut, lalu ingin membaca Alquran, maka boleh membaca Alquran tanpa wudhu. Namun dengan catatan, membaca Alqurannya dilakukan melalui media selain mushaf, seperti gawai, laptop, atau lainnya.

Sedangkan, Syekh Abdul Sami menambahkan, bagi para siswa atau pelajar yang ingin menghafal atau membaca Alquran sepanjang hari dan sulit untuk berwudhu sepanjang hari, para ulama madzhab Maliki membolehkan kepada mereka untuk membaca Alquran tanpa wudhu sehingga tidak perlu melakukan wudhu sepanjang hari.

Untuk diketahui, berwudhu adalah salah satu adab dalam membaca Alquran dengan mushaf. Ini didasarkan pada pendapat Abu Ya’la Kurnaedi dalam bukunya berjudul ‘Tajwid Lengkap Asy-Syafi’i’.

“Hukumnya mustahab (disukai) bagi qari Alquran untuk berwudhu sebelum memulai qiraah (membaca) dengan mushaf (bukan dengan hafalan). Bahkan, ada yang berpendapat wudhu wajib atasnya,” demikian penjelasan Abu Ya’la.

Dalam membaca Alquran pun sebaiknya dilakukan dengan cara duduk, berpakaian yang baik, menghadap kiblat, dan berada di tempat terhormat yang layak dengan keagungan Kitab-Nya.

Selain itu, seorang Muslim membaca Alquran dengan tunduk, khusyu, perlahan, diiringi tadabur dan tafakur pada ayat-ayatnya. Sedangkan hati dan inderanya tertuju pada apa yang dibaca, dan tidak memotongnya dengan perkataan manusia.

Ustadz Isnan Anshory dalam ‘Wudhu Rasulullah SAW Menurut Empat Madzhab’, memaparkan, para ulama sepakat bahwa berwudhu sebelum belajar ilmu-ilmu agama, seperti kitab tafsir, hadits, aqidah, fiqih dan lainnya, hukumnya sunnah. Namun jika di dalamnya lebih dominan terdapat ayat Alquran, maka hukumnya menjadi wajib menurut jumhur ulama.

IHRAM

Bolehkah Menahan Buang Angin Saat Sholat?

M Quraish Shihab merupakah salah seorang ulama ahli tafsir Indonesia yang menempuh pendidikannya di al Azhar Mesir Kairo. Selama hidupnya, ulama berusia 77 tahun ini menjawab berbagai persoalan keagamaan di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam hal ibadah sholat.

Salah satu pertanyaan yang dijawab M Quraish adalah tentang hukum menahan kentut di saat sedang mengerjakan sholat. Apakah sah shalat dalam keadaan seperti itu?

M Quraish menjelaskan bahwa syarat sahnya sholat adalah terpeliharanya wudhu. Sedangkan salah satu yang membatalkan wudhu adalah keluar angin atau kentut. Jika orang yang sedang sholat tersebut menahannya, maka sholatnya tidak sah.

“Jika yang bersangkutan menahan sehingga angin tidak keluar, maka wudhunya tetap sah. Dengan demikkian, upaya menahan itu sendiri tidak membatalkan sholat,” kata M Quraish dalam bukunya yang berjudul M. Quraish Shihab Menjawab (2014, Lentara Hati).

Dia pun kemudian mengutip beberapa dalil yang mendukung pendapatnya tersebut. Menurut dia, Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda, “Tidak (perlu mengulangi) wudhu kecuali karena ada suara (buang angin) atau mendengar bunyi angin.”

Imam Muslim, Abu Dawud, dan at-Tarmidzi juga meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian merasakan ada angin (ketika dia ada) dalam masjid, maka janganlah dia keluar (untuk berwudhu), kecuali bila dia mendengar suara atau menemukan angin.”

Memang, kata M Quraish, sholat seseorang yang menahan angin atau air kecil dan besar dinilai makruh oleh ulama, karena keadaan demikian pasti mengganggu konsentrasi dan kekhusyukannya. Akan tetapi, menurut dia, hal ini tidak sampai membatalkan sholatnya.

IHRAM

Menaati Pemerintah pada Masa Wabah, Apa Salahnya!?

Harus diakui bahwa sampai detik ini, masih banyak umat Islam, khususnya di Indonesia, yang sama sekali tidak mau sungguh-sungguh menaati pemerintah, khususnya kaitannya dengan kebijakan untuk memberantas wabah Covid-19. Hal ini bisa dilihat dari pendapat yang mencuat di berbagai kesempatan, termasuk yang ramai di media sosial.

Banyak penceramah yang tidak percaya Covid-19 itu, ada juga yang dengan garang menyebutkan bahwa Covid-19 tak perlu ditakuti sampai menuduh kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19 sebagai upaya untuk membendung dakwah Islam lantaran di beberapa wilayah, masjid ditutup.

Akibat dari sikap dan pandangan itu, banyak warga yang nekat tetap menggelar shalat berjamaah tanpa menerapkan prokes ketat. Di luar ritual keagamaan, kita juga menyaksikan betapa banyaknya masyarakat yang abai terhadap himabaun pemerintah untuk tetap di rumah, tidak berkerumun, memakai masker dan lain sejenisnya.

Artinya, banyak masyarakat yang abai terhadap aturan yang diterapkan oleh pemerintah. Mereka lebih mengedepankan kesenangan pribadi. Padahal, sikapnya itu sejatinya membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Dalam situasi seperti ini, seharusnya tokoh agama mengkampanyekan kebijakan pemerintah dalam rangka menjaga keselamatan jiwa bersama, bukan malah memprovokasi dan mencela pemerintah.

Sebut saja aturan PPKM Darurat, sebagai kebijakan teranyar dari pemerintah dalam menyikapi lonjakan gelombang Covid-19 kedua ini, apakah di dalamnya ada perintah untuk bermaksiat? Tentu saja tidak ada. Yang ada justru, pemerintah sedang menjalankan tugas dan kewajibannya, yakni menjaga jiwa rakyatnya.

Dalil Wajib Menaati Pemerintah untuk Kemashlahatan

Berbicara tentang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, harus dimaknai secara luas pula. Misalnya, bersungguh-sungguh menaati pemerintah pada masa wabah. Yang demikian ini bukan berarti sikap dan pilihan yang buruk. Justru menaati pemerintah dalam hal ma’ruf (yang baik) termasuk ibadah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nisa: 59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ulama otoritatif seperti Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/345) menyebutkan bahwa ayat di atas mencakup setiap pihak yang menjadi ulil amri, baik pemerintah maupun ulama. Inilah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap anknya, Nabi Ismail. Beliau lebih mengedepankan perintah Allah ketimbang egonya sendiri.

Begitu juga dalam konteks wabah yang masih membuncah seperti saat ini, menaati pemerintah dalam perkara ma’ruf merupakan prinsip utama dalam ajaran Islam. Untuk itu, ketika seorang Muslim menaati pemerintah, niatkan dengan penuh ikhlas dan sungguh-sungguh sebagai ibadah.

Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tidak taat kepada pemerintah termasuk perbuatan maksiat. Rasulullah bersabda:

Barang siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah. Barang siapa memaksiatiku, sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. Barang siapa menaati pemimpin, sungguh dia telah menaatiku. Dan barang siapa bermaksiat (tidak taat) kepada pemimpin, sungguh dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835).

Ulama kenamaan dan reputasinya tak diragukan lagi seperti Ibnu Hajar Asqalani menjelaskan bahwa hadis tersebut merupakan salah satu dalil wajibnya menaati pemimpin atau pemerintah (penguasa), dengan syarat/catatan dalam perkara yang bukan maksiat. Ibnu Hajar juga menjelaskan lebih lanjut bahwa diantara hikmahnya adalah terjaganya persatuan kaum muslimin. Dan jika dikontekstualisasikan, maka hikmahnya adalah untuk menjaga jiwa umat.

ISLAM KAFFAH

Menggegerkan! Model Majalah Play Boy Masuk Islam

Menjadi model majalah tersohor di dunia tentu membanggakan. Bayarannya menggiurkan. Bergaya hidup glamor, dan didambakan banyak lelaki. Tetapi model majalah Play Boy ini memilih masuk Islam dan meninggalkan semuanya. Majalah ini suka menampilkan foto-foto model cantik nan seksi. Siapakan model itu dan mengapa hijrah?

Lengkapnya tonton videonya di sini

HIDAYATULLAH.com

Enam Hal Agar Hutang Menjadi Berkah

Hutang-piutang sudah menjadi muamalah yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Hutang-piutang diperbolehkan di dalam Islam karena ia termasuk akad ta’awun (tolong menolong) untuk menolong orang yang membutuhkan bantuan dan juga merupakan akad tabarru’ (sosial) sebagai kepedulian untuk membantu orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Bahkan memberikan hutangan kepada orang yang membutuhkan nilai pahalanya lebih besar daripada bersedekah kepada para peminta-minta.

Nabi  ﷺ bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah;

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ مَكْتُوبًا الصَّدَقَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَالْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيلُ مَا بَالُ الْقَرْضِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ قَالَ لأنَّ السَّائِلَ يَسْأَلُ وَعِنْدَهُ وَالْمُسْتَقْرِضُ لا يَسْتَقْرِضُ إِلا مِنْ حَاجَةٍ ))

“Pada waktu peristiwa isra’, aku melihat pada pintu sorga tertulis ‘Sedekah dibalas dengan sepuluh kali lipat, dan memberi hutangan dibalas dengan delapan belas kali lipat’. Maka aku (Rasulullah ﷺ) bertanya ‘Wahai Jibril, mengapa memberi hutangan lebih afdhol ketimbang sedekah? Jibril menjawab ‘Karena seorang peminta-minta dia meminta sedekah padahal dia sudah mempunyai sesuatu, sedangkan orang yang berhutang tidaklah ia berhutang kecuali karena ia memang sangat membutuhkan.”

Agar hutang-piutang sesuai syari’ah, mendatangkan pahala dan tidak jatuh kepada riba maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan;

Pertama, pemberi hutang atau pinjaman tidak diperkenankan mengambil manfaat atau keuntungan duniawi dari orang yang berhutang. Sebab keuntungan yang didapat dari pemberian pinjaman termasuk riba. Nabi ﷺ bersabda;

أإِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا ، فَأُهْدِيَ إِلَيْهِ طَبَقًا فَلا يَقْبَلْهُ ، أَوْ حَمَلَهُ عَلَى دَابَّةٍ فَلا يَرْكَبْهَا إِلا أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ

“Apabila salah seorang kalian memberi hutang (pada seseorang) kemudian dia memberi hadiah kepadanya, atau membantunya naik ke atas kendaraan maka janganlah ia menaikinya dan jangan menerimanya, kecuali jika hal itu telah terjadi antara keduanya sebelum itu.” (HR. Ibnu Majah)

Terkecuali kalau keuntungan tersebut tidak disyaratkan diawal akad, maka diperbolehkan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya. Seperti ketika orang yang berhutang pada saat melunasi hutangnya memberi hadiah kepada pemberi hutang sebagai tanda terima kasih atas bantuan hutang atau pinjaman yang diberikan. Jabir bin Abdillah meriwayatkan dari Nabi ﷺ

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَضَانِي وَزَادَنِي

“Aku menemui Nabi  saat Beliau berada di masjid, lalu Beliau membayar hutangnya kepadaku dan memberi lebih kepadaku.” (HR. Bukhari)

Dalam Islam ada dua macam akad, yaitu akad tabarru’ (akad sosial) dan akad mu’awadlah (akad komersial).  Hutang piutang masuk dalam ranah akad tabarru’ atau akad sosial yang oleh karena itu tidak diperkenankan seseorang untuk mengambil keuntungan darinya. Sedangkan untuk mengambil keuntungan materi Allah menjadikan akad jual beli, murabahah, mudharabah dan sebagainya. Bila akad sosial dan tolong-menolong seperti memberi hutangan disalahgunakan untuk mencari keuntungan materi maka itulah riba yang pelakunya diperangi Allah dan Rasul-Nya dan diancam dengan adzab neraka jahanam dalam waktu yang lama (QS. Al Baqarah: 275-277)

Kedua, hutang-piutang seyogyanya dipersaksikan dan tertulis, sebagaimana yang diperintah oleh Allah dalam QS: Albaqarah ayat 282. Hal ini begitu penting untuk menghindari potensi kedzaliman yang mungkin di lakukan oleh salah satu pihak, baik penghutang atau si pemberi hutang di kemudian hari. Banyak kasus terjadi dimana orang-orang yang berhutang mengingkari hutangnya ketika ditagih oleh si pemberi hutang. Maka disinilah perlunya saksi dan pencatatan dalam akad hutang piutang.

Ketiga, ketika berhutang hendaknya seseorang berniat untuk segera melunasinya bila sudah mempunyai kemampuan membayar. Niat yang benar untuk membayar hutang akan membantu seseorang dalam melunasi hutangnya. Rasulullah  ﷺ bersabda;

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Siapa yang mengambil harta manusia (berhutang) disertai maksud akan membayarnya maka Allah akan membayarkannya untuknya, sebaliknya siapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu.” (HR. Bukhari)

Rasulullah ﷺ menerangkan seseorang yang berhutang dan mempunyai niat buruk untuk tidak melunasinya maka kelak ia akan menghadap Allah dengan menyandang predikat sebagai seorang pencuri.

فأَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا

“Orang mana saja yang berhutang dan berniat tidak membayarnya, maka ia akan datang menghadap Allah sebagai seorang pencuri.” (HR. Ibnu Majah)

Keempat, ketika melunasi hutang hendaknya si penghutang melunasi dengan cara yang baik. Termasuk  cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah disepakati bersama. Memberi hadiah atau kelebihan ketika melunasi hutang termasuk salah satu kebaikan yang dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ, hal ini tidak masalah asalkan hadiah atau kelebihan tersebut tidak disyaratkan di awal akad baik oleh yang memberi hutang atau yang berhutang.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah berhutang seekor onta dari seorang laki-laki. Hingga beberapa hari kemudian datanglah orang tersebut kepada Rasulullah ﷺ untuk menagih ontanya. Lalu Rasulullah meminta para sahabat untuk mencari onta semisal untuk dibayarkan kepada laki-laki tersebut. Setelah dicari kesana kemari onta yang dimaksud oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaii Wassallam ternyata tidak ada melainkan onta yang lebih berumur dari yang dihutang oleh Rasulullah. Rasulullah pun bersabda kepada sahabat;

فَاشْتَرُوْهُ فَأَعْطُوْهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Belilah dan berikan kepadanya, karena sebaik-baik kalian adalah yang paling baik ketika membayar hutangnya.”

Kelima, apabila orang yang berhutang mengalami kesulitan sehingga ia belum berkemampuan untuk membayar hutang yang telah tiba jatuh temponya, maka bagi si pemberi hutang hendaklah memberi penangguhan pembayaran. Memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang adalah akhlak terpuji yang memiliki banyak keutamaan, diantaranya;

Ia akan mendapat naungan dan perlindungan dari Allah pada hari kiamat. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ , فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا , أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ

“Barangsiapa yang ingin diberi naungan oleh Allah dalam naungannya, maka hendaklah ia memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang atau ia bebaskan darinya.” (HR. Muslim)

Setiap harinya ia mendapat pahala sedekah sebesar nilai hutang yang ia berikan ketika ia memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang hingga hutangnya dilunasi. Rasulullah ﷺ bersabda;

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلُهُ صَدَقَةً قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّينُ فَإِذَا حَلَّ الدَّينُ فأنظره فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلُهُ صَدَقَةً

“Barangsiapa yang memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang, maka baginya setiap hari ada pahala sedekah senilai hutang yang ia berikan, sebelum hutang itu lunas. Jika hutang itu belum lunas, lalu dia memberi penangguhan lagi maka baginya setiap hari ada pahala sedekah senilai itu.” (HR. Ahmad)

Allah akan memberinya ampunan dan memasukkannya ke dalam Surga.

إِنَّ رَجُلًا كَانَ فِيْمَنْ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوْحَهُ ، فَقِيْلَ لَهُ : هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالَ : ماَ أَعْلَمْ . قِيْلَ لَهُ : اُنْظُرْ . قَالَ : مَا أَعْلَمْ شَيْئًا ، غَيْرَ أَنِّي كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا وَأُجَازِيْهِمْ فَأُنْظِرَ الْمُوْسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ ، فَأَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ

“Sesunguhnya ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian yang didatangi malaikat untuk mencabut ruhnya. Lalu dikatakan kepadanya ‘apakah engkau pernah mengerjakan kebaikan?’ ia menjawab ‘aku tidak tahu’. Lalu dikatakan kepadanya ‘lihatlah!’ ia berkata ‘Aku tidak tahu, hanya saja dahulu sewaktu di dunia aku melakukan jual beli dengan orang dan aku memberi kemudahan kepada mereka, aku memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar, bahkan aku membebaskan orang yang kesulitan membayar’. Maka Allah pun memasukkannya ke dalam Surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keenam, bila ada keterlambatan pembayaran dari orang yang berhutang ketika sudah jatuh tempo, jangan sampai dikenakan denda. Karena denda yang muncul karena keterlambatan dalam membayar hutang adalah riba jahiliyah yang diharamkan di dalam Islam.*/Imron Mahmud

HIDAYATULLAH

Mengobati Kegalauan (Bag. 4)

Selawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذا ذهب ثُلُثَا الليلِ قام فقال يا أيُّها الناسُ اذكُروا اللهَ اذكروا اللهَ جاءتِ الراجفةُ تَتْبَعُها الرادِفَةُ جاء الموتُ بما فيه جاء الموتُ بما فيه قال أُبَيٌّ قلْتُ يا رسولَ اللهِ إِنَّي أُكْثِرُ الصلاةَ عليْكَ فكم أجعَلُ لكَ من صلاتِي فقال ما شِئْتَ قال قلتُ الربعَ قال ما شئْتَ فإِنْ زدتَّ فهو خيرٌ لكَ قلتُ النصفَ قال ما شئتَ فإِنْ زدتَّ فهو خيرٌ لكَ قال قلْتُ فالثلثينِ قال ما شئْتَ فإِنْ زدتَّ فهو خيرٌ لكَ قلتُ أجعلُ لكَ صلاتي كلَّها قال : إذًا تُكْفَى همَّكَ ويغفرْ لكَ ذنبُكَ

Dahulu bila berlalu dua per tiga malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun dan berkata, “Wahai, sekalian manusia, berzikirlah kepada Allah, berzikirlah kepada Allah! Pasti datang tiupan Sangkakala pertama yang diikuti dengan yang kedua. Datang kematian dengan kengeriannya, datang kematian dengan kengeriannya”.
Ubai berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai, Rasulullah, Aku memperbanyak selawat untukmu. Berapa banyak aku berselawat untukmu?’.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ”Terserah dirimu” Lalu Ubai berkata lagi,  “Aku berkata, ‘Seperempat.’.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ”Terserah dirimu. Tetapi jika engkau tambah, shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab lagi, “Terserah dirimu, tetapi jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu.” Maka aku berkata lagi, “Kalau begitu, dua per tiga”.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ”Terserah dirimu. Jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu.” Lalu aku berkata, ”Aku jadikan seluruh (doaku) adalah selawat untukmu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika begitu (selawat) itu mencukupkan keinginanmu (dunia dan akhirat) dan Allah akan mengampuni dosamu”. (HR at-Tirmidzi, beliau berkata , “Ini adalah hadis hasan sahih. As-Sunan no. 2457, dinilai hasan oleh Syekh al-Albani)

Tawakal kepada Allah ta’ala dan menyerahkan seluruh perkara kepada-Nya

Allah ta’ala adalah Zat yang maha Kuasa atas segala sesuatu dan tidak butuh bantuan siapa pun dalam mengatur segala urusan. Pengaturan-Nya terhadap hamba lebih baik dari pada pengaturan hamba kepada dirinya sendiri. Dia lebih mengetahui mana yang lebih mashlahat untuk hamba dari pada hamba itu sendiri. Dia lebih menyayangi hamba dari pada hamba itu menyayangi dirinya sendiri. Tidak ada yang mampu mendahulukan atau menunda sesuatu yang telah Dia tetapkan. Barang siapa yang menyadari hal itu semua, maka seharusnya hamba menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Manusia adalah makhluk lemah yang berada di bawah kekuasaan Allah ta’ala yang Maha Merajai, Maha Perkasa lagi Maha Kuasa. Barang siapa yang menyerahkan segala urusannya secara totalitas kepada Allah ta’ala maka akan pergilah berbagai kegalauan, kecemasan, kesesakan hidup dan penyesalan. Semua hajat dan kemashlahatannya akan diurus oleh Allah ta’ala. Hamba tersebut tidak akan lelah memikirkan kebutuhannya dan beban berat yang harus dipikulnya karena dia yakin Allah ta’ala yang akan menyelesaikannya. Betapa indahnya hidup, besarnya kegembiraan dan lapangnya hati ketika Allah ta’ala telah mengosongkan hati dan pikirannya dari berbagai beban tersebut.

Adapun orang yang ingin mengatur dirinya sendiri, maka Allah ta’ala palingkan dia ke mana dia ingin berpaling. Dia hadirkan kegalauan, kecemasan, kesedihan, kesusahan, kekhawatiran, dan keletihan bagi orang tersebut. Mereka berada dalam keadaan yang buruk dan hatinya tertutup. Hatinya keruh, amalnya terkotori, harapannya tak terwujud, kenyamanan tak tergapai, kelezatan tak tercapai, dan dia dihalangi dengan terwujudnya kegembiraan. Dia bersusah payah dalam hidupnya di dunia sebagaimana susahnya binatang, dia tidak mendapatkan apa yang dia angan-angankan. Dia pun tidak mengambil bekal dari dunia untuk menuju tempat kembali nanti. (Al-Fawaid hal. 209)

Jika hati bersandar kepada Allah ta’ala, bertawakal kepada-Nya, tidak pasrah kepada berbagai pikiran, tidak dikuasai dengan angan-angan yang buruk, maka akan tercegah kegalauan dan berbagai penyakit hati serta penyakit badan. Dia akan mendapatkan kegembiraan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Orang yang sehat dan selamat adalah orang yang Allah ta’ala selamatkan dan Allah beri taufik kepadanya untuk terwujudnya sebab-sebab yang manfaat untuk menguatkan hati dan mencegah kecemasan hati. Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُه

“Barangsiapa bertawakal kepada Allah maka Dia akan mencukupinya,”. (QS. Ath-Thalaq: 3)

Maksudnya Allah ta’ala akan mencukupi apa yang dia pikirkan baik masalah agama maupun dunianya. Orang yang bertawakal kepada Allah ta’ala akan kuat hatinya, tidak terpengaruh berbagai bayang-bayang, tidak terganggu berbagai peristiwa karena dia sadari keresahan itu disebabkan karena rapuhnya jiwa, ketakutan yang hanya dalam pikirannya, sedangkan Allah ta’ala pasti menjamin hamba yang bertawakal kepada-Nya dengan kecukupan yang sempurna. Dia yakin kepada Allah ta’ala dan tenang dengan janji-Nya tersebut. Pergilah berbagai kegalauan, kesukaran berganti dengan kemudahan, kesulitan berganti dengan kebahagiaan, kekhawatiran berganti dengan rasa aman. Kita memohon kepada Allah ta’ala keselamatan, semoga Allah ta’ala menganugerahkan kekuatan hati dan tetapnya tawakal yang sempurna kepada kita.

Bersemangat dalam mengerjakan kegiatan yang bermanfaat, fokus mengerjakan apa yang harus dikerjakan saat ini, dan tidak memikirkan sesuatu yang belum terjadi ataupun kesedihan di masa lalu

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta perlindungan kepada Allah ta’ala  dari penyakit hamm dan haznAl-Hamm adalah galau dengan sesuatu yang belum terjadi, sedangkan hazn adalah sedih dengan sesuatu yang telah terjadi. Kiat supaya tidak terpenjara dengan masa lalu, dan tidak galau dengan masa depan adalah menjadi orang yang fokus dengan hari ini. Dia kumpulkan kesungguhannya untuk memperbaiki hari ini. Maka mengumpulkan hati fokus untuk hari ini akan membuahkan aktivitas secara sempurna. Jika orang sibuk dengan aktivitas hari ini maka dia akan terhibur dari kecemasan dan kesedihan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari umat untuk senantiasa berdoa dan juga mengajarkan untuk bersungguh-sungguh beramal supaya harapannya itu terwujud. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya mengajarkan umatnya untuk berdoa saja atau berusaha saja, namun beliau ajarkan umatnya untuk berdoa dan berusaha semaksimal mungkin karena doa itu bergandeng dengan amal.

الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إلى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ باللَّهِ ولا تَعْجِزْ، وإنْ أَصَابَكَ شيءٌ، فلا تَقُلْ لو أَنِّي فَعَلْتُ كانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَما شَاءَ فَعَلَ، فإنَّ لو تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.

“Seorang mukmin yang kuat imannya lebih baik dan lebih Allah cintai daripada seorang mukmin yang lemah imannya, dan masing-masing berada dalam kebaikan. Bersungguh-sungguhlah pada perkara-perkara yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu katakan, ‘Seandainya aku berbuat demikian, pastilah akan demikian dan demikian’ Akan tetapi katakanlah, ‘Qodarullah wamaa sya’a fa’ala (Allah telah mentakdirkan hal ini dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi)’. Sesungguhnya perkataan ‘Seandainya’ membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Muslim no. 2664)

Dalam hadis tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan untuk:

  1. Senantiasa bersungguh-sungguh, bersemangat dan antusias dalam melakukan hal yang bermanfaat.
  2. Senantiasa meminta kepada Allah ta’ala.
  3. Larangan untuk bersikap lemah dan malas.
  4. Tidak berandai-andai dengan sesuatu yang telah terjadi dan mengembalikan musibah yang telah terjadi kepada takdir Allah ta’ala.

Hadis di atas  membagi perkara menjadi 2 macam:

  1. Perkara bermanfaat yang bisa diusahakan oleh hamba untuk terwujud atau perkara buruk yang bisa diusahakan untuk dicegah. Dalam perkara ini, seorang mukmin hendaknya senantiasa bersungguh-sungguh dan meminta kepada Allah ta’ala.
  2. Perkara yang sudah tidak bisa diusahakan untuk terwujud atau dicegah karena sudah terjadi. Dalam perkara ini, seorang mukmin hendaknya rida, tenang dan menyerahkan semua yang telah terjadi tersebut kepada Allah ta’ala.

Tidak diragukan bahwa memperhatikan hal ini merupakan sebab kebahagiaan dan perginya kegalauan serta kecemasan. (Al-Wasail al-mufiidah lilhayah as-sa’iidah, Ibnu Sa’di).

Hadis di atas juga mengajarkan salah satu sebab yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kegalauan adalah tidak menyibukkan pikirannya dengan apa yang telah terjadi. Lawan hati dari hal yang membuat cemas hatinya dan ketakutan berbagai khayalan di masa depan. Kita harus sadar bahwa masa depan tidak kita ketahui. Masa depan itu di tangan Allah yang Maha Bijaksana. Hamba tidak mampu melakukan apapun selain berusaha untuk mewujudkan kebaikan baginya dengan doa dan ikhtiar semampunya. (Al-Wasail al-mufiidah lilhayah as-sa’iidah, Ibnu Sa’di).

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/67685-mengobati-kegalauan-bag-4.html

Dunia Memang Menggiurkan

Di antara sebab mengapa masih ada yang gemar melakukan ritual pesugihan dan ritual kesyirikan lainnya adalah karena tergiur dengan dunia yang diperkuat dengan lemahnya iman. Akhirnya, segala cara ditempuh, meskipun dimurkai oleh Allah bahkan cara-cara yang tidak masuk akal pun dilakukan. Karena memang demikianlah sifat dunia, membuat setiap orang tergiur karena sifatnya yang hijau nan manis.

Abu Sa’id Al Khudri mengisahkan, pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke mimbar lalu beliau berkhutbah, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian ialah keberkahan bumi yang akan Allah keluarkan untuk kalian.” Sebagian sahabat bertanya, “Apakah keberkahan bumi itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perhiasan kehidupan dunia.” Selanjutnya seorang sahabat kembali bertanya: “Apakah kebaikan (perhiasan dunia) itu dapat mendatangkan kejelekan?” Mendengar pertanyaan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi terdiam, sampai-sampai kami mengira bahwa beliau sedang menerima wahyu. Selanjutnya beliau menyeka peluh dari dahinya, lalu bersabda, “Manakah si penanya tadi?” Sahabat si penanya pun menyahut, “Inilah aku.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

لاَ يَأْتِى الْخَيْرُ إِلاَّ بِالْخَيْرِ ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، وَإِنَّ كُلَّ مَا أَنْبَتَ الرَّبِيعُ يَقْتُلُ حَبَطًا أَوْ يُلِمُّ ، إِلاَّ آكِلَةَ الْخَضِرَةِ ، أَكَلَتْ حَتَّى إِذَا امْتَدَّتْ خَاصِرَتَاهَا اسْتَقْبَلَتِ الشَّمْسَ ، فَاجْتَرَّتْ وَثَلَطَتْ وَبَالَتْ ، ثُمَّ عَادَتْ فَأَكَلَتْ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَالَ حُلْوَةٌ ، مَنْ أَخَذَهُ بِحَقِّهِ وَوَضَعَهُ فِى حَقِّهِ ، فَنِعْمَ الْمَعُونَةُ هُوَ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِغَيْرِ حَقِّهِ ، كَانَ الَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ

Kebaikan itu tidaklah membuahkan/mendatangkan kecuali kebaikan. Sesungguhnya harta benda ini nampak hijau (indah) nan manis (menggiurkan). Sungguh perumpamaannya bagaikan rerumputan yang tumbuh di musim semi. Betapa banyak rerumputan yang tumbuh di musin semi menyebabkan binatang ternak mati kekenyangan hingga perutnya bengkak dan akhirnya mati atau hampir mati. Kecuali binatang yang memakan rumput hijau, ia makan hingga ketika perutnya telah penuh, ia segera menghadap ke arah matahari, lalu memamahnya kembali, kemudian ia berhasil membuang kotorannya dengan mudah dan juga kencing. Untuk selanjutnya kembali makan, demikianlah seterusnya. Dan sesungguhnya harta benda ini terasa manis. Barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang benar dan membelanjakannya dengan benar pula, maka ia adalah sebaik-baik bekal. Sedangkan barang siapa yang mengumpulkannya dengan cara yang tidak benar, maka ia bagaikan binatang yang makan rerumputan akan tetapi ia tidak pernah merasa kenyang, (hingga akhirnya ia pun celaka karenanya).” (HR. Bukhari no. 6427 dan Muslim no. 1052).

Itulah keadaan manusia akan saling berlomba untuk meraih dunia. Dari ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا فُتِحَتْ عَلَيْكُمْ فَارِسُ وَالرُّومُ أَىُّ قَوْمٍ أَنْتُمْ ». قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ نَقُولُ كَمَا أَمَرَنَا اللَّهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ تَتَنَافَسُونَ ثُمَّ تَتَحَاسَدُونَ ثُمَّ تَتَدَابَرُونَ ثُمَّ تَتَبَاغَضُونَ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ ثُمَّ تَنْطَلِقُونَ فِى مَسَاكِينِ الْمُهَاجِرِينَ فَتَجْعَلُونَ بَعْضَهُمْ عَلَى رِقَابِ بَعْضٍ.

Jika Persia dan Romawi telah ditaklukkan, lantas bagaimanakah keadaan kalian? ‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, ”Sebagaimana Allah perintahkan kepada kami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seperti itu, kalian akan saling berlomba, saling dengki, saling bermusuhan, saling benci, atau semacam itu (dalam meraih dunia, pen). Kemudian kalian berangkat ke tempat-tempat tinggal kaum muhajirin dan kalian menjadikan sebagian mereka membunuh sebagian yang lain” (HR. Muslim no. 2962).

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَخْشَى عَلَيْكُمُ الْفَقْرَ وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمُ التَّكَاثُرَ

Yang aku khawatirkan pada kalian bukanlah kemiskinan, namun yang kukhawatirkan adalah saling berbangganya kalian (dengan harta)” (HR. Ahmad 2: 308. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).

Sifat manusia yang ‘takatsur’ yang saling berlomba untuk bermegah-megahan dalam dunia disebutkan dalam ayat,

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (8

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, (1) sampai kamu masuk ke dalam kubur. (2) Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), (3) dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. (4) Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, (5) niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, (6) dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. (7) kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu) (8).” (QS. At Takatsur: 1-8)

Karena ingin saling berbangga, maka lalailah dari ketaatan. Al Hasan Al Bashri berkata mengenai ayat di atas, “Berbangga-bangga dengan anak dan harta benar-benar telah melalaikan kalian dari ketaatan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 442)

Dari Qotadah, dari Muthorrif, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” (sungguh berbangga-bangga telah melalaikan kalian dari ketaatan), lantas beliau bersabda,

يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى – قَالَ – وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ

Manusia berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Wahai manusia, apakah benar engkau memiliki harta? Bukankah yang engkau makan akan lenyap begitu saja? Bukankah pakaian yang engkau kenakan juga akan usang? Bukankah yang engkau sedekahkan akan berlalu begitu saja?” (HR. Muslim no. 2958)

Allah Ta’ala pun menerangkan bagaimana keadaan manusia yang begitu kagum pada dunia,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid: 20)

Sikap kita terhadap dunia adalah menjadikan dunia tersebut sebagai jalan untuk menggapai ridho ilahi, bukan menjadikan dunia itu sebagai tujuan utama yang kita raih. Itulah yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam ayat,

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ (15) فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (16)

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun: 15-16).

Begitu pula dunia dicari bukan dengan sikap tamak, namun dengan sikap qona’ah, yaitu selalu merasa cukup terhadap apa yang Allah beri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Hakim bin Hizam,

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah” (HR. Bukhari no. 1472 dan Muslim no. 1035).

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.” (Syarh Ibni Batthol, 6: 48)

Semoga Allah memberikan kita sifat takwa dan menjauhkan kita dari sifat tamak terhadap dunia. Hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk.

Sumber https://rumaysho.com/3215-dunia-memang-menggiurkan.html

Tiga Alasan Mengapa Harus Vaksinasi Virus Corona

Vaksinasi virus corona merupakan ikhtiar yang harus dilakukan. Mengapa demikian? Sebab, dengan melakukan vaksinasi, kita tengah berusaha untuk melindungi diri sendiri sekaligus orang sekitar dari virus corona atau virus SARS-CoV-2.

Melakukan vaksinasi virus corona juga merupakan upaya untuk mengendalikan pandemi yang sudah menyerang dunia selama dua tahun. Saat ini,  Indonesia tengah berada dalam fase kedua gelombang besar Covid-19.

Maka, melakukan vaksinasi virus corona adalah langkah yang bijak untuk menganggulangi gelombang tersebut dan merupakan pelaksanan tanggung jawab sebagai warga negara yang baik.

Apa saja sebenarnya alasan mengapa harus melakukan vaksinasi virus corona?

Pengakuan Lembaga Fatwa Islam

Pertama, adanya pengakuan dari lembaga Islam dunia.

Menurut Lembaga Fatwa Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir bahwa pada dasarnya Islam mengaharuskan mempergunakan zat yang suci dan tak berbahaya pada makanan dan obat-obatan. Menurut hukum asal; haram hukumnya memberikan sesuatu yang tak suci dan berbahaya pada  makanan dan obat-obatan.

Namun, Menurut Lembaga Fatwa Al-Azhar ada pengecualian hukum. Ketika dalam keadaan darurat (uzur) dan saat ada kebutuhan mendesak, maka hukumnya boleh menggunakan sesuatu meski bercampur zat yang haram.

Dalam hal ini, termasuk menggunakan vaksin Covid-19 yang mengandung zat babi. Namun dengan catatan; penggunaan zat babi dalam vaksin haru melalui kontrol yang ketat dari pemerintah.  Pendek kata, pada saat pandemi Covid-19 ini, untuk menghilangkan Virus Corona, maka vaksin yang mengandung zat babi, boleh hukumnya.

Ada pun dasar  hukum kebolehan menggunakan vaksin yang mengandung zat babi tersebut sebagai berikut;

Pertama, dalam Al-Qur’an, Allah memberikan keringanan hukum bagi seseorang orang dalam  keadaan darurat. Tegas dalam Al-Qur’an, Allah membolehkan seseorang makan bangkai, ketika dalam keadaan uzur dan terpaksa.

Pun dalam kasus kasus vaksin yang mengandung sebagian zat babi (bukan babi semua), maka hukumnya diperbolehkan. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 173;

حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Kedua, dalam kaedah ushul fiqih, apabila terdapat dua hal yang membahayakan, maka dipilih yang kecil mudaratnya (kebinasaannya). Nah dalam persoalan antara vaksin yang mengandung zat babi dan Covid-19 yang kian mengganas, maka  Covid-19 tercatat sebagai sesuatu yang lebih besar mudaratnya. Untuk itu, menggunakan vaksin yang mengandung zat babi bisa dipergunakan untuk menyelamatkan nyawa manusia.

Ketiga, sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin Suyuti dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair;

الحاجة العامة قد تنزل منزلة الضرورة

Artinya; hajat (kebutuhan) orang banyak, itu akan menempati hukum darurat.

Nah dalam keadaan  ini, hajat (kebutuhan) orang yang banyak itu menempati hukum darurat. Vaksin dalam hal ini, merupakan kebutuhan semua bangsa dan seluruh umat manusia. Bagaimana tidak? Pandemi ini sudah membunuh jutaan orang. Dan menimpa puluhan juta manusia, maka vaksin dalam ini merupakan suatu keniscayaan.

Selanjutnya, Lembaga Komisi Fatwa Al Jazair mengatakan vaksinasi Covid-19 merupakan sesuatu yang dianjurkan syariat. Pasalnya, menurut syariat Islam berobat ketika diserang penyakit suatu perintah hukum syariat.  Untuk itu, vaksinasi Covid-19 diperlukan guna melawan penyebaran virus Corona.

Komisi Fatwa Al Jazair mengeluarkan istruksi berikut;

إنّ التلقيح ضد فيروس كورونا ضروري لمواجهة هذه الجائحة, ينبغي العمل بتوجيهات السلطات الطبية في البلاد التي تؤكد ضرورة تلقي اللقاح

Artinya: Vaksinasi terhadap Covid-19 diperlukan sebagai upaya untuk menghadapi pandemi Corona. Untuk itu, arahan dari pihak otoritas medis berupa vaksinasi harus diikuti oleh setiap warga negara.

Pada dasarnya, syariat Islam memerintahkan setiap orang sakit untuk berobat. Hal itu sejatinya bersumber dari sabda nabi Muhammad yang memerintahkan setiap orang sakit untuk berobat. Pasalnya, saban penyakit yang diturunkan Allah, Tuhan pun juga menurunkan obat sebagai penawar penyakit itu.

Lembaga Fatwa Uni Emirat mengatakan vaksinasi merupakan tuntunan syariat. Para ulama ada yang mengatakan berobat  hukumnya sunat. Namun, dalam keadaan Covid-19, Ketua Lembaga Fatwa UEA, Syekh Abdallah bin Bayyah mengatakan setiap manusia wajib hukumnya menjaga dirinya dan hidupnya agar terhindar dari wabah.

Lebih lanjut, Dewan Fatwa Uni Emirat Arab mengatakan boleh hukumnya menggunakan vaksin Covid-19 yang mengandung babi. Ketua Lembaga Fatwa Syekh Abdallah bin Bayyah menyebutkan pada saat darurat virus Corona seperti saat ini, vaksin sangat diperlukan. Sekalipun vaksin itu mengandung babi, saat darurat hukumnya boleh. Ketika kondisi Covid-19 ini, vaksin itu digolongkan dalam obat, bukan sebagai makanan.

Pada sisi lain, Lembaga Fatwa Uni Emirat Arab pun menjelaskan bahwa vaksinasi saat Ramadhan tak membuat puasa seseorang batal. Pasalnya, vaksinasi menggunakan suntikan intramuskuler tidak membatalkan puasa. Suntikan itu diberikan melalui otot seseorang, sehingga tidak mencapai perut.

Pendapat serupa juga diungkapkan Lembaga Fatwa Arab Saudi  mengatakan, vaksinasi saat Ramadhan tak membatalkan puasa Ramadhan. Pasalnya, vaksin yang disuntikkan pada tubuh seseorang tidak tergolong makanan dan makanan. Dan vaksin itu juga bukan tergolong nutrisi. Vaksin pun disuntikan secara intramuskuler— jadi tak membatalkan puasa.

Mufti Agung Kerajaan Arab Saudi, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, mengatakan boleh hukumnya seorang divaksinasi Covid 19 pada saat ia berpuasa. Vaksinasi Covid 19 tak membatalkan puasa. Pasalnya pemberian vaksin melalui cara Intramuskuler yaitu injeksi ke dalam otot tubuh.

Mufti Kerajaan Arab Saudi Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh mengatakan:

لأنه ليس مفطر لكونه لا يعد طعامًا ولا شرابًا، كما أنه يعطى عن طريق العضل

Artinya: Vaksin tidak membatalkan puasa, karena keadaannya  bukan tergolong kepada makanan dan minuman, dan vaksin itu diberikan secara intramuskuler (suntik ke otot).

Vaksin Sinovac Suci dan Halal

Kedua, vaksin Sinovac suci dan halal.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengumumkan tentang hasil rapat tim auditor vaksin Covid-19 Sivonac untuk Virus Corona. Hasilnya menyatakan bahwa hukum vaksin Covid-19 buatan Sinovac China adalah suci dan halal.

Keputusan tersebut adalah hasil dari sidang pleno Komisi Fatwa MUI pada Jumat (8/1). Sidang tersebut membahas tentang aspek syar’i vaksin Sinovac. Sidang diawali dengan pemaparan Tim Auditor MUI dan dilanjutkan dengan diskusi untuk menentukan kehalalan vaksin tersebut.

Komisi Fatwa MUI kemudian menyatakan bahwa hukum vaksin Covid-19 yang diproduksi produsen asal China, Sinovac. Penyampaian disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa yakni Asrorun Niam Sholeh.

Ia menjelaskan, “komisi Fatwa sepakat vaksin Covid-19 yang diproduksi Sinovac China hukumnya suci dan halal. Ini yang terkait aspek kehalalan.”

Untuk ketentuan penggunaan, Asrorun menyatakan bahwa MUI masih menunggu aspek keamanan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Maka, laporan yang dipaparkan MUI tentang produk vaksin Sinovac belum final sebab menunggu hasil final BPOM.

Fatwa utuhnya akan disampaikan setelah BPOM menyampaikan mengenai aspek keamanan untuk digunakan, apakah itu aman atau tidak, maka fatwa akan melihat aspek yang telah diuji oleh BPOM.

MUI menyatakan bahwa aspek halal dan thoyib adalah sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Keamanan produk vaksin pun menentukan hukum boleh tidaknya untuk menggunakan.

Setelah dilakukan diskusi panjang, rapat Komisi Fatwa pun menyepakati bahwa vaksin Covid-19 produksi Sinovac hukumnya suci dan halal.

Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan terhadap suatu penyakit. Pemberian vaksin (imunisasi) dilakukan untuk mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi penyebab penyakit-penyakit tertentu.

Pemberian vaksin disebut vaksinasi. Vaksinasi merupakan metode paling efektif untuk mencegah penyakit menular. Kekebalan karena vaksinasi terjadi menyeluruh di dunia sebagian besar bertanggung jawab atas pemberantasan cacar dan pembatasan penyakit seperti polio, campak, dan tetanus.

Efektivitas vaksinasi telah dipelajari dan diverifikasi secara luas, misalnya vaksin terbukti efektif termasuk vaksin influenza, vaksin HPV, dan vaksin cacar air. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa vaksin berizin saat ini tersedia untuk dua puluh lima infeksi yang dapat dicegah.

Vaksin Astrazeneca Aman

Ketiga, vaksin Astrazeneca aman digunakan.

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur mengeluarkan surat keputusan bahwa vaksin Astrazeneca halal dan suci. Untuk PWNU Jatim mengatakan bahwa vaksin tersebut aman digunakan umat Islam.  Pendapat itu merupakan hasil Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU)  memutuskan hukum vaksin Astrazeneca halal dan suci meskipun ada mengandung unsur babi dalam proses pembuatannya.

Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar mengatakan meski vaksin Astrazeneca mengandung zat turunan hewani, namun pada tahapan produksinya menggunakan unsur nabati. Sehingga vaksin tersebut adalah suci. Pasalnya, pada produk akhir tidak terdapat kandungan unsur najis sama sekali.

Selanjutnya, PWNU dalam surat keputusannya No 859/PW/A-ll/L/III/2021 yang mengatakan masyarakat tak perlu gamang tentang kehalalan vaksin AstraZeneca. Pasalnya vaksin ini aman dan suci digunakan oleh umat Islam Indonesia. Untuk LBMNU Jawa Timur, mempunya kewajiban moral untuk membahas tuntas secara tuntas,  kemudian menginformasikan itu kepada masyarakat luas.

Lebih lanjut dalam surat keputusannya No 859/PW/A-ll/L/III/2021 yang mencantumkan pelbagai poin penting terkait penggunan vaksin Astrazeneca sebagai berikut:

Bahwasanya vaksinasi Covid-19 wajib diikuti dan ditaati, karena merupakan kewajiban bersama sebagai warga negara Indonesia.

Perbuatan yang hukumnya wajib apabila diperintahkan oleh pemerintah akan mengukuhkan hukum wajib tersebut.  Sehingga tidak menaati kebijakan tersebut adalah bertentangan dengan syara’.

Di sisi lain, vaksin Astrazeneca telah diterbitkan di sejumlah negara Islam. Seperti Saudi Arabia, Kuwait, Maroko, Bahrain, dan Mesir.

Alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas seharusnya sudah cukup untuk menguatkan kita agarmelakukan vaksinasi virus corona. Sebab, selain menyelamatkan diri sendiri, melakukan vaksinasi virus corona juga merupakan upaya untuk menyelamatkan bangsa.

BINCANG SYARIAH

Wafatnya Ulama Termasuk Tanda Kiamat, Ini Penjelasannya

Angka kematian akibat Covid-19 terus bertambah. Bahkan beberapa hari terakhir kabar duka orang-orang meninggal setelah terpapar virus Covid-19 semakin sering terdengar.

Termasuk kabar duka sejumlah ulama di Tanah Air yang wafat setelah terinfeksi Covid-19. Apakah ini semua pertanda semakin dekatnya kiamat? 

Cendekiawan Muslim yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar, mengingatkan umat untuk bermuhasabah dan lebih mendekatkan diri pada Allah SWT. 

Menurutnya kondisi yang terjadi saat ini merupakan proses pembelajaran bagi setiap manusia khususnya bangsa Indonesia agar dapat menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. 

Melaksanakan perintah agama dan meninggalkan segala yang dilarang agama. Selain itu menurutnya pandemi Covid-19 telah mengajarkan setiap orang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan melepaskan ego diri atau kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. Sebab menurutnya Alquran juga telah menjelaskan bahwa setiap kerusakan di muka bumi tidak lepas dari ulah tangan manusia.

Prof Nasaruddin mengatakan Rasulullah telah menginformasikan tentang tanda-tanda kecil semakin dekatnya kiamat. Di antaranya adalah meninggalnya para ulama dan merebaknya penyakit menular. 

Meski demikian tidak satu pun orang mengetahui kapan terjadinya kiamat. Karena itu, Prof Nasaruddin mengajak umat untuk bermuhasabah dan memohon ampun kepada Allah. 

“Ada hadits nabi, matinya seorang ulama itu lebih buruk daripada hilangnya sebuah etnik atau suku. Jadi ini juga salah satu tanda-tanda kecil hari kiamatsudah akan tiba itu merebaknya penyakit menular secara massif yaitu namanya epidemi, epidemi makin merajalela,” kata Prof Nasaruddin bebrapa waktu lalu.  

Prof Nasaruddin mengajak umat untuk membangun kesadaran kolektif memperbanyak zikir, istighasah, membaca qunut nazilah, berdoa bersama keluarga, memperbanyak shalat sunnah, menjalin silaturahim, muhasabah dan muraqabah.  

Prof Nasaruddin menyeru umat menggapai cinta Allah yang Mahamengendalikan segala sesuatu. Sebab menurutnya tak ada satu makhluk pun tega untuk menyakiti orang-orang yang menjadi kekasih Allah SWT.   

“Kalau kita mencintai Allah secara maksimum, tawakal secara penuh kepada Allah sampai ke tingkat taslim maka seluruh makhluk itu akan cinta kepada kita juga kan?,” katanya.     

KHAZANAH REPUBLIKA