Mengapa Jaga Rahasia Jadi Sunnah yang Terlupakan?

Menjaga rahasia sesama merupakan salah satu perbuatan yang mulia

Nabi Muhammad SAW menjanjikan surga kepada umatnya yang mampu menghidupkan sunnah-sunnahnya mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. 

عَنْْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَا بُنَيَّ إِنْ قَدَرْتَ أَنْ تُصْبِحَ وَتُمْسِيَ لَيْسَ فِي قَلْبِكَ غِشٌّ لِأَحَدٍ فَافْعَلْ. ثُمَّ قَالَ لِي: يَا بُنَيَّ وَذَلِكَ مِنْ سُنَّتِي، وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ

Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Anas bin Malik, dia berkata, “Rasulullah berkata kepadaku, “Wahai, anakku! Jika kamu mampu pada pagi sampai sore hari di hatimu tidak ada sifat khianat pada seorangpun, maka perbuatlah.” Kemudian beliau SAW berkata kepadaku lagi: “Wahai, anakku! Itu termasuk sunnahku. Dan barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang telah mencintaiku, maka aku bersamanya di surga.”

Syekh Nawawi Al Bantani dalam kitabnya Nasaihul ‘Ibad, menuliskan bahwa Ali bin Abi Thalib RA pernah mengatakan, “Siapa yang tidak ada sunnatullah dalam dirinya, maksudnya aturan-aturan Allah SWT (sunnah rasul-Nya) aturan-aturan Rasul dan sunnah para walinya, yaitu contoh amal ibadah mereka, (maka tidak ada mempunyai sedikit pun di tangannya) maksudnya ia tidak mempunyai sedikit pun sesuatu yang berharga.” Lalu Ali pernah ditanya apa yang dimaksud dengan sunnatullah itu. Ali menjawab:  

من لم يكن عنده سنة الله وسنة رسوله وسنة اوليائه فليس فى يده شيء : قيل له ما سنة الله؟  قال: كتمان السر وقيل ما سنة الرسول؟  المدراة بين الناس وقيل ما سنة اوليائه؟  قال: احتمال الاذی عن الناس وكانوا من قبلنا يتواصون بثلاث خصال: ويكاتبون بها من عمل لأخرته كفاه الله امر دينه ودنياه ومن احسن سريرته احسن الله علانيته ومن اصلح ما بينه وبين الله اصلح الله ما بينه وبين الناس  

“Menyembunyikan rahasia. Rahasia, adalah sesuatu yang harus disembunyikan, agar orang lain tidak mengerti. Menyembunyikan rahasia orang lain adalah wajib. Ali ditanya lagi, “Apa yang dimaksud dengan sunnah Rasul itu?” Ali menjawab: “Bersikap ramah kepada sesama manusia.” Tentang sifat ramah, sebagaimana disebutkan dalam syair: 

“Berbuatlah terhadap mereka selagi engkau berada di rumah mereka dan buatlah hati mereka puas, selama engkau berada di bumi mereka.”

Ali RA, lalu ditanya lagi apa yang dimaksud dengan sunnah para wali itu? Ali menjawab: “Sabar dalam menghadapi perlakuan yang menyakiti hati.”  

Dalam kaitan ini orang-orang sebelum kami juga biasa saling mengingatkan, yaitu saling menasihati satu kepada yang lainnya dan berkirim surat dengan tiga hal berikut:  

Pertama, siapa yang beramal sesuatu dari amalan yang baik untuk kepentingan akhiratnya, maka Allah akan memelihara urusan agama dan dunianya.  

Kedua, siapa yang membina batinnya atau isi hatinya, maka Allah akan memperbaiki lahirnya karena keadaan zahir orang menunjukkan isi batinnya. 

Ketiga, dan siapa yang memperbaiki hubungan dirinya dengan Allah SWT dengan berbuat amal yang ikhlas, terbebas dari riya, ujub dan sum’ah maka Allah akan menjamin kebaikan hubungan antara dia dan sesama manusia.  “Karena orang yang dicintai Allah itu juga akan dicintai makhluk-Nya,” katanya.

Menurut Syekh Nawawi riya berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain. Riya berkaitan dengan indra mata, sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Sudah Luruskah Orientasi Hidup Kita?

SAAT ini kebanyakan umat Islam telah mengalami penyimpangan orientasi hidup dari apa yang dicita-citakan generasi terdahulu. Umat Islam telah menjadikan harta sebagai standar kebahagiaan Muslim. Cukup jelas buktinya dengan melihat kecenderungannya yang sangat tinggi pada dunia. Dengan berbagai alasan yang seakan-akan kebaikan, dia memilih orientasi hidup dengan mengejar dunia.

“Kalau saya kaya, saya bisa beribadah dengan tenang dan bisa menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam. Saya bisa membahagiakan orangtua dan bisa banyak bersedekah,” begitu kira-kira kalimat khayalan yang kerap memenuhi benak kebanyakan umat Islam saat ini.

Padahal sudah banyak sekali contoh bahwa hal tersebut adalah amal angan-angan yang belum tentu dia lakukan pada saat kaya nanti.

Cobalah simak kisah Tsa’labah bin Haathib yang bercita-cita ingin kaya lalu minta didoakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di dalam pikirannya, “Ketika kaya nanti ingin lebih rajin beribadah.”

Namun, ketika keinginan kaya itu menjadi kenyataan Tsa’labah bukanlah tambah taat, tapi justru lupa ibadah kepada Allah karena sibuk mengurusi kambing yang semakin banyak.

Zaman sekarang, kejadian ini juga banyak dijumpai dengan berbagai macam fakta yang berbeda tapi pada intinya sama yakni menjadikan dunia sebagai tujuan dan standar kebahagiaan. Sadar ataupun tidak banyak para orangtua dari kaum Muslimin yang mengarahkan anak-anaknya sejak kecil untu bercita-cita menjadi jadi pilot, dokter, guru,  dan lain sebagainya.

Menjadi pilot, dokter ataupun guru sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah kalau tidak ada niat karena Allah atau untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Aktifitas tersebut hanyalah aktifitas dunia belaka, tak ubahnya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang non Muslim.

Orientasi Hidup Menjadi Mukmin Mulia

Kemuliaan seorang Muslim dinilai dari takwanya (keterikatannya terhadap hukum syara’) bukan yang lain. Sehingga siapapun bisa mulia tanpa memandang kaya-miskin, tanpa memandang level profesi dan tanpa memandang nasab asalkan dia terikat dalam setiap aktifitasnya terhadap hukum syara’ (melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan). Si miskin dia bisa sabar dan taat dengan kemiskinannya, sedangkan si kaya dia bisa syukur dan taat dengan kekayaannya. Semuanya bernilai pahala di sisi Allah. Kadar ketaqwaannyalah yang membedakan di antara keduanya.

Sebanyak apapun prestasi yang diraih jika tidak berdasarkan iman, melanggar syara’ dan tujuannya salah, maka di sisi Allah tiada nilai. Setinggi apapun prestasi orang non Muslim, maka tiada nilai di sisi Allah. Setinggi apapun prestasi Muslim jika melanggar syara’ dan salah tujuan, maka juga tidak mempunyai nilai di sisi Allah.

Sehingga hari-hari kaum Muslimin senantiasa dikelilingi kemuliaan saat dia terikat dengan hukum syara’. Mulai dari hal kecil hingga yang besar. Dia Makan tidak hanya sekadar makan, tapi untuk menguatkan ibadah, menguatkan shalat, belajar, membantu orangtua dan bekerja untuk menafkahi istri. Membeli baju, tidak untuk gaya-gayaan atau pamer karena sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah, tapi untuk menutupi auratnya sehingga tiada kerugiaan dia bekerja dan membelanjakan hartanya karena semua demi tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Menuntut ilmu dalam rangka memenuhi perintah Allah adalah ketika dilakukan dengan penuh keikhlasan, mengharap ridha Allah, mensyukuri terhadap nikmat akal, mencari kebahagiaan di akhirat, menghidupkan agama, menghilangkan kebodohan, dan melestarikan Islam. Sehingga aktifitas menuntut ilmunya bernilai pahala di sisi Allah. Keluarnya keringat dan lelahnya  dinilai pahala di sisi Allah dan termasuk orang dimudahkan jalannya ke surga oleh Allah.

Boleh menuntut ilmu dengan tujuan untuk mendapatkan kedudukan di masyarakat yang dengannya digunakan dalam rangka amar makruf nahi munkar, menjalankan kebenaran dan menegakkan agama Allah. Begitupun juga orang bekerja, jika hanya untuk menumpuk-numpuk kekayaan tiada nilai di sisi Allah. Hanya mendapatkan rasa lelah dan tumpukan uang.

Di zaman tabi’in Khalifah Umar bin Abdul Aziz sibuk membukukan hadits demi menjaga dari kepentingan dari pemalsuan hadits. Semangat ini tidak akan diperoleh bagi yang tujuan hidupnya hanya berorientasi kepada dunia dan standar kebahagiaannya ketika mendapatkan kesenangan-kesenangan dunia.

Bisa dipastikan orang yang mempunyai tujuan dunia tersebut jika hidup di zaman para sahabat maka akan menjadi orang munafik yang takut untuk berjuang untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Dunia yakni harta, tahta, dan keluarga mereka tinggalkan ketika ada perintah hijrah dari Allah. Karena bagi mereka dunia diletakkan di tangan tidak sampai masuk ke hati.

Tentu saat ini, perjuangan untuk kemuliaan Islam bisa saja berbeda dengan generasi terdahulu. Karena kebanyakan negeri-negeri kaum Muslimin mengalami kemunduran berfikir yang sangat jauh dari Islam. Mereka diserang pemikirannya agar jauh dari Islam, bahkan kaum Muslimin sendiri tanpa sadar sudah menyerang agamanya sendiri. Mereka diserang pemikiran dengan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) kapitalisme.

Sehingga tolak ukurnya, kesenangan dan kesuksesannya mendapatkan tumpukan materi tanpa peduli agama membolehkan atau melarangnya. Inilah yang terjadi juga pada kaum Muslimin dulu pada saat perang Uhud. Mereka tidak tunduk kepada perintah Rasulullah dan menginginkan dunia (harta) yakni rampasan perang.

Sepatutnya bagi umat Islam untuk mengokohkan keimanan dan menjadikan akhirat sebagai orientasi hidup di atas segala-galanya. Dunia yang sementara jangan sampai menjadi penyakit dirinya. Sehingga apapun profesinya umat bisa melakukan perang pemikiran terhadap para musuh-musuh kaum Muslimin demi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.

Kesimpulannya, orang beriman yang berjuang (memiliki cita-cita) untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin dalam kehidupannya di dunia, tapi tidak terikat dengan hukum syara’ melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya (takwa) dalam segala aktifitasnya serta cinta dunia, maka tak ubahnya hanya mengulang kegagalan-kegagalan pada perang Uhud di masa modern.

*/Herman Anas, alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep Madura. Tulisan diambil dari Al-Qalam no 32/2013

HIDAYATULLAH

Hukum Melihat Aurat Diri Sendiri

Dalam keadaan tertentu, kita sering melihat aurat diri sendiri, seperti melihat paha dan bagian-bagian aurat lainnya. Sebenarnya, bagaimana hukum melihat aurat diri sendiri, apakah dilarang?

Sudah maklum bahwa kita dilarang melihat aurat orang lain, baik laki-laki maupun perempuan. Batasan aurat laki-laki yang tidak boleh kita lihat adalah antara pusar dan lututnya. Sementara aurat perempuan adalah semua anggota tubuhnya kecuali bagian wajah dan telapak tangannya.

Adapun mengenai hukum melihat aurat diri sendiri, jika tidak ada kebutuhan khusus dan keperluan tertentu, maka hukumnya boleh namun makruh. Karena itu, meski boleh, namun kita sebaiknya tidak melihat aurat diri sendiri jika memang tidak ada kebutuhan tertentu.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaih Abu Bakar Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin berikut;

فائدة يجوز له أن ينظر إلى عورته في غير الصلاة ولكن يكره ذلك من غير حاجة أما في الصلاة فلا يجوز فلو رأى عورة نفسه في صلاته من كمه أو من طوق قميصه بطلت صلاته

Faidah; Boleh bagi seseorang melihat auratnya sendiri di luar shalat. Meski boleh, namun hal itu dimakruhkan tanpa ada keperluan. Adapun jika di dalam shalat, maka tidak boleh melihat aurat diri sendiri. Jika seseorang melihat auratnya dari lengan bajunya atau krah gamisnya, maka shalatnya menjadi batal.

Sementara jika ada kebutuhan khusus dan keperluan tertentu, maka tidak makruh melihat aurat diri sendiri. Misalnya, kita melihat aurat diri sendiri karena kita hendak mengobati luka yang ada di bagian aurat, atau kita melihat aurat diri sendiri pada saat kita mandi, dan lain sebagainya. Jika memang ada kebutuhan untuk melihat aurat, maka tidak makruh bagi kita untuk melihat aurat diri kita sendiri.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasysyaful Qina’ berikut;

يجوز كشفها لحاجة  كتخل  واستنجاء  وغسل  ولا يحرم عليه نظر عورته حيث جاز كشفها لتداو ونحوه مما تقدم

Boleh membuka aurat karena ada kebutuhan seperti hendak buang hajat, istinja’, dan mandi. Dan tidak haram bagi seseorang melihat aurat dirinya sendiri jika membuka aurat dibolehkan, seperti hendak berobat dan lain sebagainya.

BINCANG SYARIAH

Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 7): Memahami tentang Haid, Nifas dan Istihadah

Berilmu sebelum beramal merupakan kaidah yang semestinya menjadi pedoman bagi ummat islam dalam menjalankan pelbagai syariat yang telah ditetapkan Allah Ta’ala. Tidak terkecuali ibadah yang sangat agung seperti halnya salat. Oleh karenanya, pelbagai hukum yang berkaitan dengan salat adalah hal yang wajib untuk diketahui, termasuk di antaranya adalah haid, nifas dan istihadah yang senantiasa dialami oleh setiap wanita.

Haid

Haid dan hikmahnya

Darah yang secara alami keluar dari rahim seorang wanita yang sudah balig dalam waktu tertentu merupakan definisi haid [1]. Allah Ta’ala menciptakan darah dan menetapkannya bagi kaum wanita sebagai makanan bagi janinnya melalui tali pusar sehingga wanita hamil tidak mengalami haid. Apabila seorang wanita melahirkan, maka sisa-sisa makanan janin tersebut akan keluar dalam bentuk darah nifas. Kemudian Allah Ta’ala mengubah sebagian darah wanita tersebut menjadi susu yang dikonsumsi oleh bayinya. Setelah melahirkan dan menyusui, aktivitas darah itu akan kembali lagi seperti semula yang keluar setiap bulannya baik dalam waktu enam atau tujuh hari sesuai dengan ketetapan Allah Ta’ala [2].

Warna darah haid

Terdapat empat warna darah haid yang perlu difahami oleh wanita muslimah, yaitu: hitam, merah, kekuning-kuningan dan keruh [3]. Sebagaimana hadis Fatimah binti Abi Hubaisyi Radhiallahu’anha, “Bahwasanya dia pernah mengalami istihadah, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Jika darah haid, sesungguhnya ia berwarna hitam yang sudah dikenal. Oleh Karena itu, tinggalkanlah salat. Jika berwarna lain, berwudulah, karena sesungguhnya ia hanya (semacam) keringat.’” [4].

Warna kekuning-kuningan dan keruh tidak termasuk dalam kategori haid, terkecuali pada saat berlangsungnya masa haid. Namun apabila masa haid telah berakhir, hal tersebut tidak lagi termasuk darah haid meski keluar berulang kali [5].

al-Allamah Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah kemudian menguatkan pendapat bahwa warna kekuning-kuningan dan warna keruh setelah bersuci tidak termasuk dalam kategori darah haid sama sekali, tapi cairan tersebut sama seperti air kencing yang dapat membatalkan wudu dengan syarat keluarnya tidak pada saat berlangsungnya masa haid.

Baca Juga: Fatwa Ulama: Berhenti Nifas Sebelum 40 Hari

Masa haid dan lamanya

Usia seorang yang mengalami haid

Para ulama Rahimahumullah berbeda pendapat tentang batas usia serta waktu mulai dan berhentinya haid bagi seorang wanita. Adapun pendapat yang lebih kuat adalah condong kepada pendapat ad-Darimi Rahimahullah yang mengungkapkan bahwa seberapa pun didapatkan ukuran darah itu, bagaimanapun keadaannya dan berapa pun usia wanita yang mengalaminya tetap dikategorikan sebagai haid [6]. Dengan kata lain, kapan pun seorang wanita melihat darah yang umumnya dikenali sebagai darah haid, maka itu adalah haid [7].

Masa berlangsungnya haid

Sebagaimana pendapat tentang usia, berkaitan dengan batasan minimal dan maksimal haid juga terdapat perbedaan pendapat dari para ulama Rahimahumullah. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menguatkan pendapat bahwa tidak ada batasan masa haid dan masa suci antara dua waktu haid. Beliau menegaskan bahwa setiap darah yang merupakan kebiasaan sebagai darah haid maka itu adalah haid. Namun apabila darah tersebut keluar secara terus-menerus, yang demikian itu bukanlah haid [8].

Hal-hal terlarang karena haid

Hal-hal yang dilarang karena sedang haid, diantaranya:

1. salat [9], dengan catatan bahwa tidak perlu mengqada salat setelah bersuci dari haid, kecuali puasa [10];

2. puasa [11];

3. tawaf di Baitullah [12];

4. menyentuh mushaf Al-Quran [13];

5. duduk dan berdiam di masjid [14];

6. berhubungan badan [15];

7. talak [16];

8. menjalani ‘iddah dengan hitungan bulan [17].

Hal-hal yang dibolehkan saat haid

Hal-hal yang dibolehkan saat haid, diantaranya:

1. pergaulan suami-istri kecuali berhubungan badan [18];

2. mendatangi tempat pelaksanaan Idul Fitri dan Idul Adha serta mendengarkan khutbah, kalimat-kalimat yang baik dan seruan kaum muslimin [19];

3. melaksanakan amal ibadah seperti zikir, doa, dan haji, serta umroh (kecuali tawaf di Baitullah) [20].

Nifas

Darah yang keluar dari rahim yang disebabkan oleh kelahiran, baik yang keluar bersama bayi baik satu, dua, atau tiga hari sebelum atau setelahnya sampai batas waktu tertentu merupakan definisi dari nifas [21]. Batas minimum nifas adalah tidak terbatas, sedangkan batas maksimumnya adalah empat puluh hari [22].

Pada dasarnya, nifas merupakan darah haid itu sendiri yang sebelumnya tertahan karena kehamilan sehingga hukumnya adalah sama dengan hukum haid kecuali dalam beberapa keadaan, diantaranya:

1. ‘Iddah; nifas tidak dapat dijadikan sebagai hitungan ‘iddah, sedangkan haid bisa.

2. Masa al-i’laa (sumpah). Bisa dipergunakan hitungan masa haid, tetapi tidak masa nifas.

3. Balig; seseorang bisa dinilai balig dengan haid, namun tidak dengan nifas sebab usia balig lebih dulu datang sebelum nifas [23].

Istihadah

Mengalirnya darah secara terus menerus di luar waktu haid yang disebabkan oleh sakit dan gangguan dari (sejenis) keringat mulut yang terdapat di bagian bawah rahim yang biasa disebut “al-‘adzil” [24].

Perbedaan darah haid dan istihadah

Tiga perbedaan umum antara darah istihadah dan darah haid, yaitu:

1. Darah haid adalah hitam dan kental dan memiliki bau anyir. Adapun darah istihadah adalah merah yang tidak memiliki bau.

2. Darah haid keluar dari dalam rahim. Adapun darah istihadah keluar dari bagian bawah rahim berupa keringat.

3. Darah haid adalah darah alami yang keluar pada waktu-waktu tertentu. Adapun darah istihadah merupakan darah penyakit yang tidak terikat pada waktu tertentu [25].

Keadaan wanita istihadah

Terdapat tiga keadaan wanita yang mengalami istihadah, diantaranya:

1. Masa haidnya diketahui sebelum dia mengalami istihadah. Dalam keadaan demikian, masa yang diketahui itu termasuk sebagai waktu haid dan berlaku baginya hukum haid. Adapun darah yang keluar setelah itu merupakan istihadah [26].

2. Wanita yang istihadah tidak mempunyai waktu haid yang rutin sebelum istihadah itu datang, akan tetapi ia bisa membedakan antara darah haid dengan darah istihadah (27).

3. Wanita yang tidak memiliki waktu-waktu haid yang pasti serta tidak dapat membedakan antara darah haid dan darah istihadah. Maka hendaklah ia menghitung hari haidhnya seperti hari haid pada umumnya wanita (6-7 hari) yang dimulai dari pertama kali dia mengetahui keluarnya darah, dan selebihnya dihitung sebagai istihadah (28).

Ketentuan hukum bagi wanita istihadah

Hukum taklifi bagi seorang wanita istihadah sama dengan wanita yang suci sebagaimana umumnya seperti salat, puasa, i’tikaf, menyentuh musfah dan sebagainya, kecuali dalam beberapa hal berikut:

1. Tidak diwajibkan baginya mandi besar [29].

2. Wajib berwudu ketika ingin salat dengan mencuci bekas darah dari rahimnya dan menahannya dengan kain (pembalut) [30].

Kesimpulan

Pengetahuan dan ilmu tentang perkara haid, nifas dan istihadah merupakan fardu ‘ain bagi setiap hamba Allah Ta’ala khususnya kaum wanita muslimah sebagai wujud dari upaya dalam menggapai kesempurnaan ibadah salat. Maka kepada setiap wanita muslimah hendaklah mengetahui perihal ini. Begitu pula kepada kaum pria muslim agar dapat membimbing istri, anak, dan keluargnya kepada kemurnian dan kesempurnaan ibadah kepada Allah Ta’ala.

Wallahu’alam.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66515-menuju-kesempurnaan-ibadah-shalat-bag-7.html

Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 6): Hal yang Berkaitan dengan Mandi

Mandi atau al-ghusl merupakan bagian dari taharah yang wajib dipahami oleh setiap muslim. Mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan mandi amat penting diketahui sebelum mempelajari perkara salat. Sebab salat tidak akan sah apabila seorang muslim masih berhadas. Sedangkan seorang muslim apabila berhadas besar diwajibkan baginya mandi sebelum melaksanakan salat.

Dalam pembahasan tema menuju kesempurnaan salat bagian 6 ini, akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan mandi mulai dari sebab, syarat, tata cara dan hal lainnya seputar al-ghusl.

Meskipun sub judul kali ini pada umumnya adalah tentang mandi yang berkaitan dengan salat. Namun, sangat layak kiranya bagi kita untuk mengetahui tentang hukum mandi secara komprehensif.

Sebab Wajibnya Mandi

Seorang muslim diwajibkan untuk mandi apabila terjadi padanya hal-hal berikut:

1. keluarnya mani [1];
2. jima’ (bersetubuh) [2];
3. masuknya orang kafir ke agama Islam [3];
4. kematian seorang muslim selain orang yang mati syahid dalam peperangan [4];
5. haid [5];
6. nifas [6].

Yang Tidak Boleh Dikerjakan ketika Junub

Orang yang junub baik disebabkan oleh jima’ maupun bermimpi dan semisalnya tidak diperbolehkan melakukan berbagai jenis ibadah berikut sebelum dia bersuci (mandi), yaitu:

1. salat [7];
2. tawaf di Baitullah [8];
3. menyentuh mushaf Al-Quran [9];
4. membaca Al-Quran [10];
5. berdiam di dalam masjid [11].

Syarat Sahnya Mandi

Bersucinya seseorang dalam bentuk al-gushl tidak akan sah apabila tidak memenuhi syarat berikut, yaitu:

1. berniat;
2. Islam;
3. berakal;
4. mumayyiz (baligh);
5. menggunakan air yang suci dan mubah;
6. mengalirkan air ke seluruh permukaan tubuh (kulit); dan
7. adanya sebab yang mengharuskannya mandi [12].

Tata Cara Mandi yang Sempurna

Islam telah mengatur setiap ajarannya merujuk kepada tatacara yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, termasuk diantaranya adalah mandi. Berikut dipaparkan tatacara mandi yang sempurna.

1. berniat di dalam hati [13];
2. menyebut nama Allah Ta’ala dengan membaca “bismillah” [14].
3. membasuh kedua telapak tangan tiga kali [15].
4. mencuci kemaluan dengan tangan kiri serta membersihkan kotoran yang terdapat padanya [16].
5. meletakkan tangan kiri dan mengusapkannya ke tanah yang suci seraya menggosok-gosokkannya secara baik kemudian membasuhnya [17].
6. berwudu secara sempurna seperti layaknya wudhu untuk salat [18].
7. memasukkkan jari-jari ke dalam air, lalu menyela-nyela rambutnya sehingga menyentuh kuit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke kepala sebanyak tiga genggam dengan menggunakan kedua tangannya [19];
8. mengguyurkan air ke kulit kepala dan seluruh bagian tubuh [20];
9. berpindah ke tempat yang lain lalu membasuh kedua kakinya [21].

Mandi yang disunnahkan

Selain hukum wajib, ada pula mandi yang disunnahkan dimana seorang muslim dianjurkan untuk melakukannya dalam rangka mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tentunya berbuah pahala. Adapun sunnah mandi adalah sebagai berikut:

1. Mandi hari Jumat [22];
2. mandi ketika hendak ihram [23];
3. mandi ketika memasuki kota Makkah [24];
4. mandi pada setiap kali melakukan hubungan badan [25];
5. mandi setelah memandikan jenazah [26];
6. mandi setelah mengubur orang musyrik [27];
7. mandi bagi wanita yang mengalami istihadhah setiap akan salat atau pada saat menjamak antara dua salat [28];
8. mandi setelah siuman dari pingsan [29];
9. mandi setelah berbekam [30];
10. mandi orang kafir ketika masuk Islam [31];
11. mandi pada dua hari raya [32];
12. mandi hari Arafah [33].

Dengan mengetahui hukum syariat seputar mandi, kiranya kita dapat menjadikan taharah ini sebagai ladang ibadah yang diniatkan lillahi taala. Hal yang sebelumnya merupakan perkara rutin yang kita lakukan pada akhirnya akan berbuah pahala di sisi Allah Ta’ala karena diniatkan untuk ibadah. Wallahu a’lam bis-shawab.

Penulis: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/61532-menuju-kesempurnaan-ibadah-shalat-bag-6-hal-yang-berkaitan-dengan-mandi.html

Akhlak Rasulullah yang Memaafkan Orang yang Mencaci Makinya

Ketika Rasulullah saw. mengetahui perilaku suku Quraisy yang merendahkannya, maka beliau hijrah ke Thaif bersama Zaid bin Haritsah pada tahun ke-10 setelah kenabian. Dalam hal ini, beliau menemui suku Tsaqif dan meminta pertolongan mereka untuk perlindungan masyarakat Islam. Namun, mereka menolak permintaan Rasulullah saw. tersebut secara keji dan jahat. Bahkan mereka meyuruh orang-orang pandir dan para budak untuk mencaci maki Rasulullah saw. dan melemparinya batu (‘Umar ‘Abd al-Jabbar, Khulashah Nur al-Yaqin fi Sirah Sayyid al-Mursalin, Juz I: 41).

Perbuatan jahat mereka tersebut menyebabkan urat keting Rasulullah saw. terluka dan mengalirkan darah. Sedangkan Zaid bin Haritsah terluka di bagian kepala karena melindungi Rasulullah saw. agar tidak terkena lemparan batu-batu tersebut. Akhirnya, malaikat Jibril menemui Rasulullah saw. seraya berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku agar menaatimu (untuk membalas) mengenai perlakuan jahat kaummu terhadapmu” (hlm. 41-42).

Namun, Rasulullah saw. menjawab: “Ya Allah, semoga Engkau Memberikan petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” Mendengar doa Rasulullah saw. tersebut, malaikat Jibril berkata: “Maha Benar Zat yang telah Memberimu nama ar-Ra’uf ar-Rahim (penyantun lagi penyayang)” (hlm. 42).

Menurut Imam al-Jazuli dalam Dala’il al-KhairatRasulullah saw. memiliki 201 nama, di mana salah satunya adalah Ra’uf Rahim (sangat belas kasihan lagi penyayang). Nama Ra’uf Rahim ini disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an, yaitu: “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman” (at-Taubah (9): 128).

Keberadaan at-Taubah (9): 128 ini, menurut Imam Ibnu ‘Abbas ra., menunjukkan bahwa Allah Menamai Rasulullah saw. dengan dua nama sekaligus dari Nama-nama Terbaik-Nya (al-asma’ al-khusna), yaitu Ra’uf dan Rahim (Syekh Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, 2009, VI: 94).

Imam al-Hasan bin al-Mufadhdhal menyebutkan bahwa tidak ada satu pun para nabi di muka bumi ini yang memiliki dua nama sekaligus dari Nama-nama Terbaik Allah selain Rasulullah saw. Sebab, Allah Memberikan dua nama  sekaligus dari Nama-nama Terbaik-Nya tersebut hanya kepada Rasulullah saw. semata, di mana Allah sendiri adalah Tuhan yang sangat Belas Kasih dan Penyayang kepada seluruh manusia (Syekh Ahmad ash-Shawi, Tafsir ash-Shawi, II: 176). Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan bahwa: “Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia” (al-Baqarah (2): 143).

Adapun makna Ra’uf lebih khusus daripada RahimRa’uf bermakna sangat belas kasih kepada orang-orang yang lemah, susah, menderita, dan tertindas. Sedangkan kata rahim umum kepada siapa saja, yaitu kasih-sayang kepada semua orang, baik dalam keadaan susah dan lemah maupun dalam keadaan bahagia dan jaya (at-Tafsir al-Munir, hlm. 93).

Akhirnya, wahai para teroris, alangkah indahnya hidup ini jika kalian semua meniru keindahan akhlak dan kasih-sayang Rasulullah saw.―yang memandang manusia dengan penuh cinta dan kasih-sayang, bukan dengan kebencian dan permusuhan. Orang yang mencaci maki Rasulullah pun dimaafkan. Wa Allah A‘lam wa A‘la wa Ahkam…

BINCANG SYARIAH

Mengapa Kekayaan itu Penting di Tangan Muslim yang Saleh?

Kekayaan yang hakiki menurut Islam adalah yang menunjang kesalehan

Setiap orang tentu punya keinginan untuk menjadi kaya. Sebab dengan begitu, segala kebutuhan dan keinginan di dunia bisa terpenuhi. Dengan menjadi kaya, orang menjadi lebih mudah untuk mengulurkan tangannya. Membantu kaum fakir miskin maupun kelompok lain yang sedang mengalami kesusahan. 

Lantas, apa sebetulnya makna kaya dalam Islam? Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis, menyampaikan kaya adalah orang yang secara harta memiliki lebih dari kebutuhannya. Tetapi secara makna batin, kaya adalah orang yang mensyukuri dan bukan soal berapa banyak harta.

“Secara makna batin, kaya itu merasa cukup dengan menjaga ‘iffah (menahan diri) dan kehormatan diri. Dan kalau dari definisi kepemilikan, kaya adalah (harta) yang lebih dari kebutuhan,” jelasnya kepada Republika.co.id.  

Kiai Cholil memaparkan, yang harus dikejar seorang Muslim ialah kekayaan hati dan kekayaan harta. Kaya hati tentu dengan banyak bersyukur dan qanaah, yang berarti menerima pemberian Allah SWT dan mengembalikan kepada-Nya dengan cara mensyukuri apa yang diterimanya.

“Harta yang dikumpulkan tentu dengan cara yang halal dan baik. Lalu harta yang dimiliki itu dizakatkan, diinfakkan, diwakafkan, disedekahkan. Itu yang baik bagi seorang Muslim,” jelasnya. 

Karena itu, Kiai Cholil menyampaikan, Muslim tidak dilarang untuk menjadi kaya, asalkan dengan cara yang baik dalam memperolehnya serta mengelola kekayaan dengan baik. Kesukaan Islam terhadap Muslim yang kaya, menurutnya, tercermin melalui zakat. 

“Ajaran tentang zakat itu hanya bisa dilakukan oleh orang kaya, orang miskin tidak bisa berzakat. Jadi sebenarnya Islam lebih suka orang kaya, karena tangan yang memberi lebih baik daripada yang menerimanya,” jelasnya.

Dalam konteks itulah, yang tidak diperbolehkan yaitu menjadi kaya dengan kesombongan. Sedangkan yang diperlukan adalah kaya dan zuhud, menjalani kehidupan dengan kesederhanaan. 

“Jadi sebenarnya lebih bagus orang kaya yang dermawan, hidupnya sederhana, itu yang diinginkan Rasulullah SAW, sehingga dia bisa berzakat, berinfak, bersedekah, untuk kebaikan,” katanya. 

Untuk menjadi kaya sesuai ajaran Islam, Kiai Cholil mengungkapkan, tentu harus bekerja keras dengan sebaik-baiknya dan bersabar. Dengan demikian, bisa menjadi Muslim kaya yang senang berbagi sesuai tuntunan Islam. “Orang kaya itu pebisnis, maka kita diminta untuk berbisnis karena 90 persen jalan rezeki itu dari bisnis,” imbuhnya.

Sementara itu, pengajar di Ma’had Daarussunnah Bekasi, Ustadz Muhammad Azizan Syahrial Lc menjelaskan, makna kaya bagi seorang Muslim tercermin dalam hadits riwayat Bukhar dan Muslim. Rasulullah SAW bersabda dalam riwayat Abu Hurairah: 

ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ، ﻋَﻦِ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ: «ﻟَﻴْﺲَ اﻟﻐﻨﻰ ﻋَﻦْ ﻛَﺜْﺮَﺓِ اﻟﻌَﺮَﺽِ، ﻭَﻟَﻜِﻦَّ اﻟﻐِﻨَﻰ ﻏِﻨَﻰ اﻟﻨَّﻔْﺲِ

“Bukanlah kekayaan itu terletak pada banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan (yang hakiki) itu adalah kekayaan hati (qanaah).” 

Ustadz Azizan menjelaskan, Imam Syafi’i pernah mengatakan bahwa bila seorang Muslim memiliki hati yang qanaah, maka dia dan raja dunia itu sama. Dengan catatan, punya hati yang qanaah. Kaya atau miskin bagi seorang Muslim sebetulnya tidak ada bedanya. Sebab, tolok ukurnya bukanlah kemiskinan atau kekayaan, tetapi sejauh mana menjadi Muslim yang memanfaatkan segala sesuatu yang Allah SWT takdirkan kepada dirinya. 

“Bila miskin, dia bersabar. Bila kaya, dia bersyukur. Jadi kekayaan seperti apa yang harus dicari seorang Muslim? Dia tidak harus mencari kekayaan. Tidak ada satu pun perintah di dalam Alquran dan hadits agar kita menjadi orang kaya. Artinya, kekayaan atau kemiskinan itu karunia Allah SWT,” ungkapnya.

Allah SWT, memberikan karunia kepada siapapun yang Dia kehendaki. Bila seorang Muslim diberi kekayaan, maka ia harus mengatur kekayaan itu dengan baik dan harus memanfaatkan kekayaan yang Allah SWT berikan padanya itu dengan baik, sebagaimana yang dilakukan Sahabat Nabi SAW, Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan. 

Kehidupan para Sahabat Nabi Muhammad SAW seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf itu tidak pernah mengincar kekayaan. Mereka hanya berusaha dan Allah SWT beri karunia berupa kekayaan. Karena, Nabi SAW meski tidak pernah mengajarkan untuk menjadi kaya, beliau berharap ada umatnya yang kaya dan berkah hartanya agar bisa menyalurkan harta kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan sesuai tuntunan Islam. “Jadi, apakah Rasulullah mengajak umatnya untuk menjadi kaya? Tidak, tetapi Nabi SAW pernah mendoakan Anas bin Malik agar memiliki banyak harta,” terang Ustadz Azizan. 

Dalam hadits Mmttafaqun alaih, Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah, perbanyaklah hartanya (Anas bin Malik), dan anak-anaknya, serta berkahilah apa yang telah Engkau berikan kepadanya.” 

Dari hadits itu, diketahui tentang pentingnya menyertai kekayaan dengan keberkahan. “Jadi kembali lagi, tolok ukurnya bukan tentang kekayaan, tetapi sejauh mana hartanya diberkahi Allah SWT,” imbuhnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Surat yang Dibaca Rasulullah Saat Sholat Maghrib

Rasulullah Saw terkadang membaca surat-surat pendek saat sholat Magrib

Ayat dan surat yang dibaca Rasulullah dalam sholat berbeda-beda. Hal ini bergantung pada sholat lima waktu yang Rasulullah kerjakan.

Dikutip dari buku Sifat Shalat Nabi karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, “Dalam sholat Maghrib Rasulullah Saw terkadang membaca surat-surat pendek yang termasuk dalam kelompok surat-surat al-Mufashshal” (HR Bukhari dan Muslim).

Hingga “Apabila mereka sholat bersama beliau, kemudian salam, lalu salah seorang di antara mereka keluar, ia masih bisa melihat bekas tancapan anak panahnya” (HR An-Nasai dan Ahmad).

“Pernah dalam perjalanan safar beliau membaca Wat tiini waz zaituun (at-Tin) (QS. 95: delapan ayat) pada rakaat kedua” (HR. Ath-Thayalisi dan Ahmad).

Terkadang beliau membaca surat-surat panjang yang termasuk kelompok surat-surat al-Mufashshal atau surat yang sedang dari kelompok tersebut, dan “Terkadang beliau membaca Alladziina kafaruu wa shadduu an sabiilillaah (QS. Muhammad) (HR Ibnu Khuzaimah ath-Thabrani dan al-Maqdisi).

“Terkadang beliau membaca surat ath-Thur (QS. 52: 49 ayat)” (HR Bukhari dan Muslim).

“Terkadang beliau membaca surat al-Mursalat (QS. 77: 50 ayat), beliau membacanya pada sholat terakhir yang beliau lakukan” (HR Bukhari dan Muslim).

“Terkadang beliau membaca salah satu dari dua surat yang panjang” surat al-A’raf (QS. 7: 206), (untuk dua rakaat)” (HR Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah)

Dan “Terkadang beliau membaca surat al-Anfal (QS. 8: 75 ayat) untuk dua rakaat” (HR Ath-thabrani).

Adapun bacaan dalam sholat sunnah setelah sholat maghrib (Badiyah Maghrib), “beliau membaca surat al-Kafirun dan surat al-ikhlas” (HR Ahmad, al-Maqdisi, an-Nasai).

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum dan Tata Cara Shalat Ketika Terjadi Gempa

Bertahan Shalat Saat Gempa

Di medsos ada perdebatan, boleh tidaknya membatalkan sholat wajib ketika ada gempa.

Mohon penjelasannya ustadz. Jawaban lengkapnya, mohon bisa ditampilkan di konsultasisyariah.com…Agar faedahnya bisa lebih meluas.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terdapat kaidah umum yang disampaikan para ulama fiqh. Kaidah itu menyatakan,

دَرْءُ المَفَاسِد أَولَى مِن جَلبِ المَصَالِح

Menghindari mafsadah (potensi bahaya) lebih didahulukan dari pada mengambil maslahat (kebaikan).

Dalam banyak literatur yang membahas qawaid fiqh, kaidah ini sering disebutkan.

Diantara dalil yang mendukung kaidah ini adalah firman Allah,

ولا تَسُبُوا الَّذِينَ يَدْعُونَ من دوُنِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Janganlah kamu memaki tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS. al-An’am: 108)

Syaikh Dr. Muhammad Shidqi al-Burnu menjelaskan kandungan makna ayat ini,

ففي سب آلهة الكفار مصلحة وهي تحقير دينهم وإهانتهم لشركهم بالله سبحانه، ولكن لما تضمن ذلك مفسدة وهي مقابلتهم السب بسب الله عز وجل نهى الله سبحانه وتعالى عن سبهم درءاً لهذه المفسدة.

Memaki tuhan orang kafir ada maslahatnya, yaitu merendahkan agama mereka dan tindakan kesyirikan mereka kepada Allah – Ta’ala –. Namun ketika perbuatan ini menyebabkan potensi bahaya, yaitu mereka membalas makian, dengan menghina Allah, maka Allah melarang memaki tuhan mereka, sebagai bentuk untuk menghindari potensi bahaya. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqh, hlm. 265).

Karena pertimbangan inilah, pelaksaan kewajiban yang sifatnya muwassa’ (waktunya longgar), harus ditunda untuk melakukan kewajiban yang waktunya terbatas.

Shalat wajib termasuk wajib muwassa’ (waktunya longgar). Shalat isya rentang waktunya sejak hilangnya awan merah di ufuk barat, hingga tengah malam. Sehingga, kalaupun seseorang tidak bisa menyelesaikan di awal malam, dia bisa tunda di waktu setelahnya.

Sementara menyelamatkan nyawa juga kewajiban. Karena secara sengaja berdiam di tempat yang berbahaya, hukumnya haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Imam Ahmad 2863, Ibnu Mâjah 2341 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Ketika terjadi gempa, sementara posisi kita sedang shalat, di sana terjadi pertentangan antara maslahat dengan mafsadah.

Mempertahankan shalat, itu maslahat, sehingga jamaah bisa segera menyelesaikan kewajibannya. Namun di sana ada potensi bahaya, karena jika bangunan itu roboh, bisa mengancam nyawa jamaah.

Mana yang harus didahulukan?

Kaidah di atas memberikan jawaban, menghindari potensi bahaya lebih didahulukan, dari pada mempertahankan maslahat. Apalagi shalat termasuk kewajiban yang waktunya longgar.

Pertimbangan lainnya adalah Maqasid as-Syari’ah (tujuan besar adanya syariah), diantaranya menjaga keselamatan jiwa. Sehingga bertahan shalat, sementara orang itu  sudah tahu bahwa gempa ini berpotensi menghilangkan nyawa, maka tindakannya bertentangan dengan Maqasid as-Syariah.

Wajib Menyelamatkan Nyawa dengan Membatalkan Shalat

Karena itulah, para ulama menegaskan wajib mendahulukan penyelamatan nyawa, dari para shalat wajib. Kita simak keterangan mereka,

[1] Keterangan Hasan bin Ammar al-Mishri – ulama Hanafiyah –

فيما يوجب قطع الصلاة وما يجيزه وغير ذلك…  يجب قطع الصلاة باستغاثة ملهوف بالمصلي

Penjelasan tentang apa saja yang mewajibkan orang untuk membatalkan shalat dan apa yang membolehkannya… wajib membatalkan shalat ketika ada orang dalam kondisi darurat meminta pertolongan kepada orang yang shalat… (Nurul Idhah wa Najat al-Arwah, hlm. 75)

[2] Keterangan al-Izz bin Abdus Salam – ulama Syafi’iyah – wafat 660 H.

Dalam kitabnya Qawaid al-Ahkam, beliau menjelaskan,

تَقْدِيمُ إنْقَاذِ الْغَرْقَى الْمَعْصُومِينَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ، لِأَنَّ إنْقَاذَ الْغَرْقَى الْمَعْصُومِينَ عِنْدَ اللَّهِ أَفْضَلُ مِنْ أَدَاءِ الصَّلَاةِ، وَالْجَمْعُ بَيْنَ الْمَصْلَحَتَيْنِ مُمْكِنٌ بِأَنْ يُنْقِذَ الْغَرِيقَ ثُمَّ يَقْضِي الصَّلَاةَ…

Harus mendahulukan upaya penyelamatan orang yang tenggelam, dari pada pelaksanaan shalat. karena menyelamatkan nyawa orang yang tenggelam, lebih afdhal di sisi Allah dibandingkan melaksanaan shalat. Disamping menggabungkan kedua maslahat ini sangat mungkin, yaitu orang yang tenggelam diselamatkan dulu, kemudian shalatnya diqadha. (Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1/66).

Beliau berbicara tentang penyelamatan nyawa orang lain. dia didahulukan dibandingkan pelaksanaan shalat wajib. Tentu saja, menyelamatkan diri sendiri harus didahulukan dibandingkan shalat.

[3] Keterangan al-Buhuti – ulama hambali – (wafat 1051 H),

ويجب إنقاذ غريق ونحوه كحريق فيقطع الصلاة لذلك فرضاً كانت أو نفلاً، وظاهره ولو ضاق وقتها لأنه يمكن تداركها بالقضاء بخلاف الغريق ونحوه، فإن أبى قطعها لإنقاذ الغريق ونحوه أثم وصحت صلاته

Wajib menyelamatkan orang tenggelam atau korban kebakaran, sehingga harus membatalkan shalat, baik shalat wajib maupun sunah. Dan yang kami pahami, aturan ini berlaku meskipun waktunya pendek. Karena shalat tetap bisa dilakukan dengan cara qadha, berbeda dengan menolong orang tenggelam atau semacamnya. Jika dia tidak mau membatalkan shalatnya untuk menyelamatkan orang yang tenggelam atau korban lainnya, maka dia berdosa meskpiun shalatnya sah. (Kasyaf al-Qi’na, 1/380).

Mereka mewajibkan membatalkan shalat untuk menyelamatkan nyawa satu orang yang sedang terancam. Sementara sikap imam yang mempertahankan diri, bisa membahayakan nyawanya dan nyawa sekian banyak makmum. Bukankah lebih layak untuk segera dibatalkan??

Karena itulah, bagi mereka yang sedang shalat jamaah, kemudian terjadi gempa, sikap yang tepat bukan bertahan shalat namun segera dibatalkan. Karena ini potensi bahaya yang seharusnya dihindari. Terlebih, shalat bisa ditunda setelah situasi memungkinkan.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!

KonsultasiSyariah.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/32140-shalat-saat-gempa.html

Aksi Terorisme Sangat Bertentangan dengan Jalan Dakwah Rasulullah

Beberapa hari lalu Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri berhasil menangkap 11 terduga teroris yang tergabung dalam jaringan teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Merauke, Papua. Mereka diduga hendak melakukan aksi terorisme berupa bom bunuh diri di beberapa gereja di Indonesia Timur, seperti di Merauke, Jagebob, Kurik, Semangga, dan Tanah Miring.

Padahal Islam sendiri secara tegas mengharamkan aksi terorisme, baik berupa penembakan, bom bunuh diri, maupun kekerasan lainnya. Aksi terorisme secara nyata bertentangan dengan maqasid asy-syariah (tujuan syariat Islam) karena menimbulkan kemudaratan (seperti kekacauan, kerusakan, ketakutan, kesedihan, dan lainnya) dan mencegah terwujudnya kemaslahatan (seperti keamanan, kedamaian, dan lainnya).

Selain itu, kekerasan (terorisme) atas nama agama sangat bertentangan dengan dakwah awal Rasulullah saw. yang mengubah kebiasaan buruk orang-orang jahiliah. Dalam hal ini, orang-orang jahiliah suka menyembah berhala, bercerai berai, berperang, dan tidak punya kasih sayang kepada sesama (‘Umar ‘Abd al-Jabbar, Khulashah Nur al-Yaqin fi Sirah Sayyid al-MursalinJuz I: 18).

Adapun Rasulullah saw. mengajak mereka menyembah Allah, meninggalkan peperangan, mewujudkan persatuan, dan saling menyayangi satu sama lain (hlm. 19). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para teroris adalah orang-orang jahiliah modern. Sebab, meskipun para teroris tidak menyembah berhala, tetapi mereka “menyembah” ideologi mereka yang keras, sempit, tertutup, dan buruk. Sehingga mereka suka bercerai berai, berperang, dan tidak punya kasih sayang kepada sesama.

Wahai Para Teroris, Mari Meneladani Rasulullah saw. secara Kaffah

Habib Jindan bin Novel dalam ceramahnya di Proppo, Pamekasan, Madura (2020) mengajak umat Islam agar meneladani Rasulullah saw. dalam segala aspek, seperti dakwah, jihad, amar makruf nahi mungkar, dan lainnya. Artinya, seorang Muslim yang ingin berdakwah, berjihad, atau amar makruf nahi mungkar harus meniru dakwah, jihad, atau amar makruf nahi mungkar Rasulullah saw., bukan berdasarkan dorongan nafsunya sendiri.

Makanya, umat Islam wajib membaca sejarah hidup Rasulullah saw. agar mengetahui akhlaknya, baik mengenai dakwah, jihad, amar makruf nahi mungkar, maupun lainnya. Menurut beberapa literatur (seperti Ihya’ Ulum ad-Din karya Imam al-GazaliWasa’il al-Wushul ila Syama’il ar-Rasul saw. karya Syekh Yusuf bin Isma‘il an-Nabhani, Mawlid ad-Diba‘i karya Imam ad-Diba‘i), Rasulullah saw. adalah orang yang paling agung akhlaknya, penyayang, lemah lembut, pemurah, dan pengampun; tidak pernah mencaci maki; tidak pernah menaruh kebencian dan niat buruk kepada Muslim manapun; dan tidak pernah memukul siapapun kecuali dalam peperangan di jalan Allah.

Ketika berada di Mekah, misalnya, Rasulullah saw. berdakwah dengan ramah dan lemah lembut selama sepuluh tahun. Meskipun orang-orang kafir Quraisy menentang, mengganggu, dan bahkan menyakitinya, tetapi beliau tetap menghadapi mereka dengan kesabaran, kelembutan, kemurahan hati, dan pengampunan (Khulashah Nur al-Yaqin, hlm. 43 & 26). Padahal, menurut Habib Jindan bin Novel, Rasulullah saw. adalah orang yang paling tahu makna “asyidda’u ‘ala al-kuffar (bersikap keras terhadap orang-orang kafir)” dan paling paham makna “jihad”. Oleh karena itu, alangkah indahnya jika semua umat Islam meneladani dakwah Rasulullah saw. tersebut.

Wahai Para Teroris, Jika Kalian Betul Mencintai Allah, Maka Ikutilah Rasulullah saw.

Allah berfirman: “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah Mencintaimu dan Mengampuni dosa-dosamu (Ali ‘Imran (3): 31).” Ayat ini secara jelas dan tegas memerintahkan umat Islam agar mengikuti Rasulullah saw. dalam menuju Allah. Menurut Imam al-Bushiri dalam kasidah al-Burdah, setiap orang yang mengikuti dan berpegang teguh kepada Rasulullah saw., maka dia mengikatkan diri kepada tali yang tidak akan terputus selama-lamanya (da‘a ilallahi fa al-mustamsikuna bihi # mustamsikuna bi hablin gairi munfashimi).

Di sisi lain, Allah menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa Rasulullah saw. adalah suri teladan yang agung (al-Ahzab (33): 21). Oleh karena itu, setiap orang yang mengharapkan rida Allah dan kebahagiaan hidup di akhirat harus mengikuti Rasulullah saw. Mengikuti Rasulullah saw. sama saja dengan mengikuti al-Qur’an. Sebab, akhlak Rasulullah saw. adalah al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana disebutkan dalam hadis (Syekh Yusuf bin Isma‘il an-Nabhani, Wasa’il al-Wushul ila Syama’il ar-Rasul saw., 2002: 196). Makanya, tidak heran jika Allah memuji akhlak Rasulullah saw. sebagai budi pekerti yang luhur (al-Qalam (68): 4). Wa Allah A‘lam wa A‘la wa Ahkam…

BINCANG SYARIAH