Hati-Hati Iklan “Badal Haji” yang Menipu

Hendaknya kaum muslimin berhati-hati dan tidak tergiur dengan iklan “badal haji” (menggantikan haji) yang menipu dan tidak bisa dipastikan keabsahan badal haji tersebut. Iklan badal haji ini umumnya bukan badan resmi yang berada di Saudi, mereka meminta sejumlah uang dari orang yang ingin “dibadal-hajikan” untuk biaya haji dan membayar hadyu (sembelihan), padahal faktanya mereka menipu dan melanggar beberapa kaidah “badal haji”.

“Badal haji” adalah menggantikan seseorang untuk berangkat haji karena tidak mampu lagi secara fisik maupun sudah meninggal. apabila ingin melakukan “badal haji”, perlu memperhatikan kaidah “badal haji”. Berikut berapa kaidah “badal haji” yang dilanggar oleh mereka:

1. “Badal Haji” hanya boleh dilakukan apabila orang tersebut tidak mampu secara fisik permanen saja atau sudah meninggal sedangkan syarat lainnya dia telah mampu semisal harta yang cukup. Jadi, apabila belum mampu secara harta, maak tidak boleh “dibadal-hajikan”. Faktanya iklan “badal haji” yang menipu ini tidak peduli dengan hal ini, mereka meminta sejumlah uang yang tidak terlalu banyak untuk dibayar kepada mereka, yaitu hanya untuk membayar hadyu (sembelihan) dan transportasi sekedarnya karena mereka sudah di Mekkah.

An-Nawawi berkata,

والجمهور على أن النيابة في الحج جائزة عن الميت والعاجز الميئوس من برئه

“Jumhur ulama berpendapat bahwa badal haji hanya boleh untuk orang yang sudah meninggal atau orang yang lemah fisik (cacat/sakit) yang sudah tidak bisa sembuh lagi.” [Syarh An-Nawawi Ala Muslim 8/27]

2. Yang melakukan ibadah badal haji (penggantinya) harus sudah berhaji terlebih dahulu untuk dirinya sendiri. Faktanya “iklan badal haji” yang menipu tersebut, belum tentu anggotanya sudah berhaji semuanya. Meskipun mereka tinggal Saudi, tetapi tidak semua orang yang tinggal di Saudi mendapatkan jatah haji dan sudah berhaji.

Sebagaimana dalam satu hadits dijelaskan ada seseorang yang berhaji untuk orang lain, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya apakah dia sudah berhaji untuk dirinya atau belum. Orang tersebut menjawab belum, maka beliau memerintahkan agar berhaji untuk dirinya sendiri dahulu. Ibnu Abbas berkata,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki berkata,

لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَة

Ya Allah aku memenuhi panggilanmu untuk menghajikan Syubrumah”,

maka Nabi bertanya kepadanya“Siapakah Syubrumah?”,

lelaki itu berkata, “Kerabatku”,

Nabi berkata, “Engkau sudah pernah haji?”,

lelaki itu berkata, “Belum”,

Nabi berkata,

فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ

“Jadikanlah haji ini untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syburumah !” [HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah]

Dalam Fatwa Al-Lajnah AD-Daimah dijelaskan,

لا يجوز للإنسان أن يحج عن غيره قبل حجه عن نفسه

“Tidak bolehseseorang menghajikan orang lain sebelum ia sendiri melakukan haji untuk dirinya.” [Fatwa Al-Lajnah 11/50]

3. “Badal haji” untuk satu orang saja, satu orang menggantikan satu orang. Faktanya “iklan badal haji” yang menipu ini melakukan badal haji untuk banyak orang sedangkan yang melakukan ibadah haji hanya satu orang saja. Foto satu orang melakukan haji dikirim ke beberapa orang yang mereka minta uangnya untuk “dibadal-hajikan”

Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah dijelaskan,

ولا يجوز للشخص أن يحج مرة واحدة ويجعلها لشخصين ، فالحج لا يجزئ إلا عن واحد

“Tidak boleh bagi seseorang melakukan haji hanya sekali tetapi menggantikan untuk dua orang. Haji tidak sah kecuali untuk seseorang saja.” [Fatwa Al-Lajnah 11/58]

Demikian pemaparan singkat ini, semoga tidak ada lagi kaum muslimin yang tertipu oleh iklan badal haji yang tidak bertanggung jawab.

@ Lombok, Pulau seribu masjid

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/50516-hati-hati-iklan-badal-haji-yang-menipu.html

Hukum Menjawab Salam ketika Sedang Sujud

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Bagaimana cara menjawab orang yang mengucapkan salam waktu kita sedang salat tepat pada saat melakukan sujud? Apabila tidak memungkinkan, apakah sebaiknya salam tersebut tidak perlu diucapkan?

Jawaban:

Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, selawat dan salam atas utusan Allah rahmatan lil alamin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa ikhwanihi ila yaumiddinamma Ba’du.

Menjawab salam meskipun ketika sedang salat hukumnya tetap wajib. Karena menjawab perkataan adalah wajib secara kifayah selama belum ada keterangan (dalil) (yang membolehkan tidak menjawab salam ketika salat -pen.). Namun ketika ada uzur untuk menjawab salam dalam salat sebagaimana Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ اللهَ يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ، وَإِنَّ اللهَ جَلَّ وَعَزَّ قَدْ أَحْدَثَ مِنْ أَمْرِهِ أَنْ لاَ تَكَلَّمُوا فِي الصَّلاَةِ

“Allah menetapkan perintah-Nya sesuai kehendak-Nya, dan Allah Jalla wa ‘Azza telah menetapkan perintah-Nya yaitu janganlah kamu berbicara ketika sedang salat” [1].

Maka ucapan salam tersebut mesti dijawab baik dengan isyarat tangan, kepala, maupun dengan jemari. Allah Ta’ala telah menjadikan isyarat tersebut sebagai pengganti jawaban salam. Pendapat ini lebih mendekati kebenaran sesuai dengan dalil sebagaimana hadis ‘Abdullah Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhu yang berkata,

خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى قُبَاءَ يُصَلِّي فِيهِ، قَالَ: فَجَاءَتْهُ الأَنْصَارُ فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي، قَالَ: فَقُلْتُ لِبِلاَلٍ: «كَيْفَ رَأَيْتَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِينَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي؟» قَالَ: «يَقُولُ هَكَذَا»»، وَبَسَطَ كَفَّهُ، وَبَسَطَ جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ كَفَّهُ، وَجَعَلَ بَطْنَهُ أَسْفَلَ، وَجَعَلَ ظَهْرَهُ إِلَى فَوْقٍ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju masjid Quba kemudian salat di dalamnya. Lalu datanglah sekelompok orang-orang Anshar seraya mengucapkan salam sementara Rasulullah sedang salat.” ‘Abdullah berkata, “Aku bertanya kepada Bilal, ‘Bagaimana Engkau melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab salam saat mereka mengucapkan salam sementara beliau sedang shalat?’ ‘Abdullah berkata, ‘Dia (Bilal) menjawab seperti ini, beliau lalu membuka telapak tangannya, Ja’far bin ‘Auf membuka telapak tangannya dan menjadikan perut telapak tangan di bawah, sedangkan punggung telapak tangan di atas’” [2].

Dari Shuhaib Radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,

مَرَرْتُ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَهُوَ يُصَلِّي- فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَرَدَّ إِشَارَةً، قَالَ: وَلاَ أَعْلَمُهُ إِلاَّ قَالَ: إِشَارَةً بِإِصْبَعِهِ

“Aku lewat dekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang salat, lalu aku ucapkan salam kepada beliau. Beliau menjawab salam dengan berisyarat.” Perawi hadis berkata, “Yang aku tahu, Shuhaib yang dikatakan Shuhaib adalah: Nabi berisyarat dengan jarinya” [3].

Adapun dalam hadis Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu,

أَنَّهُ سَلّمَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي فَأَوْمَأَ لَهُ بِرَأْسِهِ

“Bahwa beliau (Ibnu Mas’ud) mengucapkan salam saat Rasulullah sedang salat. Kemudian Rasulullah memberi isyarat dengan kepalanya” [4].

Maka dari keumuman hadis-hadis di atas dapat disimpulkan bahwa dibolehkan menjawab salam ketika sedang melaksanakan salat bahkan pada saat sujud melalui isyarat. Apabila tidak mampu dengan tangan, maka bisa dengan jari. Jika tidak mampu, maka bisa diakhirkan setelah gerakan sujud. Menjawab salam dengan isyarat saat salat sama dengan menjawab salam di luar salat dengan perkataan.

Adapun hadis yang berbunyi,

مَنْ أَشَارَ فِي صَلاَتِهِ إِشَارَةً تُفْهَمُ عَنْهُ، فَلَيُعِدْ صَلاَتَهُ

“Barangsiapa yang memberikan isyarat yang bisa dipahami, maka dia harus mengulangi -salat- nya” [5].

ini merupakan hadis yang bathil. Sebab salah satu perawi hadis ini adalah Abu Ghathafaan dari Abu Hurairah, sementara Abu Ghathafaan adalah perawi yang majhul.

Wal ‘ilmu ‘indallāhAkhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman.

***

Catatan Kaki:[1] HR. Abu Daud dalam Kitab “as-Shalah”; Bab Raddu as-Salam fi as-Shalat (no. 924) dari hadis ‘Abdulah bin Mas’ud Radhiallahu ‘anhu yang disahihkan oleh Syaikh Amad Syaakir dalam Tahqiq-nya untuk Musnad Ahmad (6: 91) dan al-Albani dalam Shahih al-Jaami’ (no. 1892). Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (13: 499) berkata, “Asal riwayat ini ada dalam kita shahihain dari riwayat Iqlima dari Ibnu Mas’ud. Namun ia berkata bahwa di dalam salat ada “kesibukan”.[2] HR. Abu Dawud dalam kitabnya as-shalah; Bab Raddu as-Salamfi as-Shalah (no. 927) dari hadis Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma. Hadis tersebut disahihkan oleh an-Nawawi dalam kitab “al-Khulashah” (1: 508) dan al-Albani dalam as-Silsilah as-Shahihah (no. 185).[3] HR. Abu Dawud dalam kitab as-shalah; Bab Raddu as-Salamfi as-Shalah (no. 925) dan at-Tirmidzi dalam kitab as-Shalah; Bab Maa-Jaa-a fi al-Isyarah fi as-Shalah (no. 367), an-Nasaa’i dalam as-Sahwu; Bab Raddu as-Salam biil Isyarah fi as-Shalah (no. 1186) dari hadis Shuhaib Radhiallahu ‘anhu yang disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (no. 925).[4]  HR. Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (3222) dari Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud Radhilallahu ‘anhu.[5] HR. Abu Dawud dalam kitab as-shalah; Bab al-Isyarah fi as-Shalah (944), ad-Daaru Quthni dalam Sunan (no. 1867) dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu yang datang di Nashab ar-Raayah karya az-Zili’iy (2: 90). Ishaq bin Ibrahim bin Hani’ berkata bahwa Ahmad ditanya tentang hadis مَن أشار في صلاته إشارةً تفهم عنه فليعد الصلاة ; maka ia (Ahmad) berkata, “Sanadnya tidak kuat dan tidak dapat dijadikan landasan hukum.” Abu Dawud dalam Sunan-nya (1: 248) berkata, “Hadis ini wahm”. An-Nawawi juga mendha’ifkan hadis ini dalam al-Khulashah (1: 511) dan al-Albani dalam as-Silsilah ad-Dha’ifah (no. 1104).

Sumber : http://ferkous.com/home/?q=fatwa-901

Penerjemah : Fauzan Hidayat, S. STP., MPA

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66511-hukum-menjawab-salam-ketika-sedang-sujud.html

Mabrur Sebelum Berhaji

Meskipun belum berangkat haji, tapi menyebabkan mabrurnya semua amalan ibadah lainnya.

Pada suatu masa ketika Abdullah bin Mubarak berhaji, ia tertidur di Masjidil Haram. Di dalam tidurnya, ia bermimpi melihat dua Malaikat turun dari langit, kemudian yang satu berkata kepada yang lain, “Berapa banyak orang yang berhaji pada tahun ini?” “Enam ratus ribu.” jawab yang lain.

Lalu, ia bertanya lagi, “Berapa banyak yang diterima?” Jawabnya, “Tidak seorang pun yang diterima, hanya ada seorang tukang sepatu dari Damsyik bernama Muwaffaq. Dia tidak dapat berhaji, tetapi diterima hajinya sehingga semua yang haji pada tahun itu diterima dengan  berkat hajinya Muwaffaq.”

Ketika Abdullah bin Mubarak mendengar percakapan itu, maka terbangunlah ia dari tidurnya, dan langsung berangkat menuju Damsyik mencari orang yang bernama Muwaffaq. Ketika bertemu dengan Muwaffaq, Abdullah bin Mubarak menceritakan mimpinya dan bertanya, “Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan sehingga mencapai derajat yang sedemikian itu?”

Jawab Muwaffaq, “Tadinya aku ingin berhaji namun tidak terlaksana karena keadaanku, tetapi mendadak aku mendapat uang 300 dirham dari pekerjaanku membuat dan menambal sepatu, lalu aku berniat haji pada tahun ini. Pada saat itu istriku sedang hamil, maka suatu hari dia mencium bau makanan dari rumah tetanggaku dan ingin mencicipi makanan itu. Aku pun pergi ke rumah tetanggaku dan menyampaikan tujuanku kepadanya.”

Tetanggaku kemudian menjelaskan, “Aku terpaksa membuka rahasiaku, sebenarnya anak-anakku sudah tiga hari tanpa makanan, karena itu aku keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba menemukan bangkai himar di suatu tempat, lalu aku potong bagian tubuhnya dan aku bawa pulang untuk dimasak. Adapun makanan ini halal bagi kami dan haram untukmu.”

Ketika aku mendengar jawaban itu, aku segera kembali ke rumah dan mengambil uang 300 dirham dan kuserahkan kepada tetanggaku tadi seraya menyuruhnya membelanjakan uang itu untuk keperluan anak-anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya itu.

“Sebenarnya hajiku adalah di depan pintu rumahku,” ujar Muwaffaq menutup kisahnya. Allahu Akbar. (Irsyadul ‘Ibad ila Sabilir Rasyad karya Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari).

Kisah di atas memberikan pelajaran berharga kepada kita kaum Muslimin bahwa sesungguhnya haji adalah amalan yang utama. Berjihad juga amalan utama, namun menyantuni anak yatim, orang miskin, dan orang terlantar merupakan amalan yang lebih utama dan mulia.

Beribadah haji itu untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberikan makan kepada fakir miskin menjadi ibadah sosial yang manfaatnya itu lebih besar. Meskipun belum berangkat haji, tapi menyebabkan mabrurnya semua amalan ibadah lainnya.

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran [3]: 92).

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya.” (Muttafaq ‘alaih).

OLEH IMAM NUR SUHARNO

KHAZANAH REPUBLIKA

Lorraine, Mualaf Irlandia yang Perjuangkan Nasib Muslimah

Lorraine O’Connor jatuh cinta dengan seorang pria Muslim dari Libya ketika berusia 20 tahun. Dari pernikahan inilah, Lorraine peroleh hidayah dan memutuskan untuk menjadi Muslim pada usia 30 tahun. 

“Pada awal 80-an, banyak pria Timur Tengah datang untuk belajar dan saya bertemu dengannya saat itu. Saya sendiri berasal dari keluarga besar dan sama sekali tidak ada orang asing dalam keluarga. Butuh waktu lama bagi keluarga saya untuk menerimanya, tetapi pada akhirnya mereka menerimanya,” kata dia dilansir dari laman RSVP Live, Selasa (8/6).

Sebelum mereka menikah, pria itu mengatakan kepadanya bahwa anak-anak mereka harus beragama Islam. Saat itu O’Connor beragama Katolik dan sangat kuat dalam agamanya. Pada akhirnya, cinta mengalahkan segalanya dan mereka pun menikah. Ia mengakui, Islam baginya kala itu terkesan cukup negatif sebelum belajar lebih banyak tentangnya.

“Ada banyak hal di media, dunia Arab digambarkan sebagai tempat di mana ada pembunuhan, perang dan terorisme, hal-hal mengerikan terjadi. Anda akan mengasosiasikan Islam dengan tindakan orang-orang itu. Saya mendapat kesan bahwa laki-laki benar-benar mendominasi dan perempuan tidak memiliki suara,” jelasnya.

Namun, pikiran O’Connor tentang Islam tidak berhenti di situ. Dia ingin tahu lebih banyak soal Islam karena kesan Islam yang bermunculan tidak masuk akal menurutnya. “Pria yang saya cintai dan latar belakang keluarganya dan hubungan yang dia miliki dengan keluarganya, mereka tampak seperti orang-orang yang menyenangkan,” ujarnya.

O’Connor memutuskan untuk pergi ke Masjid di South Circular Road dan bergabung dengan kelompok belajar Alquran. Di sana dia bertemu banyak wanita luar biasa, termasuk beberapa Muslim Irlandia. “Ada banyak gadis Irlandia di sana, dan gegap gempitanya,” kata dia mengenang.

“Anak-anak dan tawa… Itu adalah lingkungan yang indah. Saya pikir saya tidak akan diterima dan tidak ingin berhubungan dengan saya. Tetapi mereka sangat baik. Suatu kali saya sakit dan mereka memasak untuk saya,” ucapnya.

O’Connor tidak hanya terpesona oleh kebaikan para wanita di Masjid, tetapi juga terkesan dengan apa yang dia pelajari tentang Islam. “Apa yang saya pikirkan adalah kebalikan dari apa yang saya ketahui. Saya tidak tahu mereka percaya pada Maria, mereka percaya Yesus lahir dari seorang perawan, semua hal ini saya percaya juga.”

Akhirnya pada tahun 2005, O’Connor memutuskan untuk masuk Islam. “Saya ingat suatu hari duduk dan ada Alquran di rumah dan saya membukanya. Saya memiliki hubungan yang indah dengan Yesus dan saya membaca sebuah bagian dalam Alquran dan saya mengerti saat itu, dan saya sadar saya tidak berada dalam agama yang benar.”

Dia mulai mengenakan jilbab, dan terkejut dengan tanggapan negatif yang dia terima dan merasa asing di negaranya sendiri. “Saya menjadi imigran di negara saya sendiri. Identitas saya diambil dari saya, padahal yang saya lakukan hanyalah mengubah keyakinan saya, saya masih orang yang sama,” katanya.

Orang-orang akan meneriaki saya di jalan, “Kembalilah ke tempat asalmu!” Meski awalnya khawatir tentang jilbab, dia mulai sepenuhnya menghargainya. “Saya selalu mengatakan, ‘Kamu tidak akan pernah menangkap saya dengan jilbab itu’,” ujarnya.

“Orang-orang melihat jilbab sebagai bentuk penindasan tetapi itu adalah bentuk pembebasan. Ini tentang pilihan pribadi. Saya akan memakainya jika saya mau dan tidak ada yang akan menghentikan saya. Mengenakan jilbab adalah tindakan yang indah antara seorang wanita dan penciptanya,” ungkapnya.

Kemudian O’Connor memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk mematahkan stereotip seputar Islam dan wanita Muslim. Dia ingin membantu wanita Muslim menemukan suara mereka. Ia pun mendirikan Muslim Sisters of Eire, yang melakukan banyak pekerjaan amal serta memberikan dukungan kepada wanita Muslim dan mendorong integrasi.

“Kami dapat berkontribusi sangat banyak kepada masyarakat Irlandia yang lebih luas. Kita seharusnya tidak tinggal di dalam komunitas atau kelompok etnis kita sendiri. Ini mematahkan stereotip dan kesalahpahaman bahwa perempuan tidak diizinkan keluar dan tidak diizinkan bekerja. Kami memiliki wanita Muslim yang luar biasa yang sangat berpendidikan,”katanya.

IHRAM

Abdullah bin Umar Memberikan Daging Kurban untuk Tetangganya Beragama Yahudi

Relasi Islam dan non muslim telah ada sejak dahulu. Para sahabat Nabi berdampingan dengan penuh toleransi dengan kalangan non muslim. Bahkan sahabat Nabi, sekaligus anak Umar bin Khattab,  Abdullah bin Umar saban Idul Adha memberikan daging kurban untuk tetangganya beragama Yahudi.

Syahdan, manusia hakikatnya hidup dalam keberagaman. Kemajemukan merupakan realitas kehidupan. Tak dapat tidak, manusia terdiri dari suku, budaya, etnik, keyakinan, bahasa, maupun agama.

Pluralitas manusia itu buka barang baru. Ia sudah ada sejak dahulu. Keberagaman agama misalnya,  merupakan suatu keniscayaan pada era awal Islam. Yahudi, Kristen, Bahai, pagan dan Zoroaster terlebih dahulu hidup dan berkembang dalam masyarakat Arab.

Ketika Islam datang dibawa Nabi Muhammad pluralitas agama itu tetap hidup. Ada di tengah masyarakat yang dipimpin Nabi. Mereka hidup harmonis. Saling menjaga satu sama lain. Ketika pun ada gesekan, itu bukan sebab perbedaan teologis agama. Lebih dari itu, konflik dan perang itu didasari oleh pengkhianatan terhadap perjanjian dan tanah air.

Pun setelah baginda Nabi telah wafat, Islam pun semakin berkembang, relasi antar Islam dan non muslim tetap terjalin harmonis. Hidup dan saling menjaga satu sama lain. Ada kewajiban yang harus ditunaikan, dan ada pula hak yang wajib diperoleh.

Kaum non muslim dilindungi harta, martabat, dan marwahnya dijaga oleh kaum muslimin. Hidup dalam kedamaian, tak boleh disakiti, apalagi dihalangi dalam beribadah. Mun’im Sirry dalam Disertasi berjudul Reformis Muslim Approaches to the Polemics of the Qur’an against Other Religions, menerangkan, dalam masyarakat Islam klasik hubungan erat antara muslim dan non muslim didasarkan pada konsep dzimmah.

Adapun konsep dzimmah berarti kontrak, keamanan, perlindungan, dan kewajiban. Dalam pengertiannya, adanya perjanjian permanen antara kaum non muslim dengan penguasa Islam untuk mendapatkan perlindungan, keamanan, dan hak sebagai warga negara yang sah. Tetapi kaum non muslim itu dikenakan bayar jizzah (pajak).

Kewajiban bayar pajak ini, kata Mun’im Sirry sebagai ganti bela negara. Kaum non muslim yang tinggal di negara muslim ini disebut sebagai ahl al dzimmah atau dzimmiyun. Praktik politik ini muncul dalam praktik politik kaum Muslim paling awal.  

Terkait pembayaran pajak (jizyah) oleh non muslim, Fazlur Rahman dalam buku Non Muslim Minorities in Islamic State, mencatat kewajiban itu sebagai ganti wajib miletr bagi kalangan non muslim. Pasalnya, kaum non muslim tak bisa diharapkan ikut serta dalam jihad bersama orang muslim lainnya. Dengan begitu mereka membayar pajak, sebagai gantinya. Yang juga sebagai jaminan keamanan diri, harta, dan keluarga mereka.

Kaum non muslim itu sangat istimewa di hadapan baginda Nabi Muhammad. Sebagai pembawa risalah Islam, Nabi dalam pelbagai hadis menegaskan larangan tegas untuk menyakiti non Muslim. Pasalnya, itu perbuatan yang tercela.

Lebih dari itu, rasul mengatakan orang yang menyakiti non muslim, maka sama saja ia menyakiti Nabi. Hadis ini menegaskan tentang keistimewaan non muslim  dihadapan Nabi. Dalam hadis riwayat Imam Abu Daud, Nabi Saw bersabda;

أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya: Ketahuilah, bahwa  siapa yang menzalimi seorang mu’ahad (non-Muslim yang berkomitmen untuk hidup damai dengan umat Muslim), merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.

Dalam hadis lain riwayat Imam Thabrani disebutkan bahwa Nabi Saw pernah bersabda;

مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ

Artinya: Barang siapa menyakiti seorang zimmi (non Muslim yang tidak memerangi umat Muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.

Daging Kurban Disalurkan pada Non Muslim

Para sahabat Nabi di masa awal Islam memuliakan kaum non muslim. Meskipun bukan saudara dalam akidah, tetapi saudara dalam kemanusiaan. Praktik kemanusiaan ini dipraktikan oleh Abullah bin Umar. Seorang sahabat Nabi yang alim dan kaya ilmu pengetahuan. Anak dari khalifah Umar bin Khattab.

Dalam kitab Goiru al Muslim fi almujtama’ al Islamikarya Dr. Yusuf Qardhawi termaktub wasiat Ibn Umar pada anaknya. Wasiat itu selalu diulang-ulang oleh Abdullah bin Umar setiap saat. Sehingga anaknya, sudah hafal betul. Apa isi wasiat itu?

Isi wasiat itu adalah saban hari Raya Qurban (Idul Adha), agar anaknya jangan lupa memberikan sebagian hewan kurban itu pada tetangga mereka yang beragama Yahudi. Ternyata Abdullah bin Umar memiliki tetangga yang beragam Yahudi. Ia sangat menyayangi Yahudi tersebut.

Suatu waktu Abdullah bin Umar ditanya anaknya, terkait alasan ia begitu menyayangi Yahudi tersebut. Padahal tetangga itu seorang Yahudi. “Kenapa ayah begitu menyayangi Yahudi itu?” tanya anaknya. “Apakah rahasia dari pertolongannya terhadap Yahudi tersebut?,” lanjut anaknya tak sabar.

Ibn Umar menjawab, “Memuliakan tetangga merupakan perintah Rasul. Sekalipun terhadap Yahudi,” katanya.  Ibn  lants membacakan Hadis Nabi;

قال ابن عمرو: إن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه

Artinya: Ibn Umar berkata, sesungguhnya Nabi bersabda; Senantiasa Jibril memberikan wasiat kepada ku tentang tetangga ku, sehingga aku menyangka (tetangga ku) adalah keluarga ku.

Kata Yusuf Qardhawi, kisah itu termaktub dalam riwayat Imam Abu Daud, Imam turmidzi, dan juga terdapat dalam riwayat Imam Bukhari. Status hadis ini adalah hadis marfu. Dalam ilmu musthalah hadis, status marfu adalah muttafun alaihi. (Baca: Definisi dan Pembagian Hadis Marfu’). Qardhawi berkata;

القصة رواها أبو داود في كتاب الأدب من سننه، والترمذي في البر والصلة، والبخاري في الأدب المفرد. أما الحديث المرفوع فهو متفق عليه

Artinya:  Kisah ini riwayatnya Abu Daud, terdapat dalam kitab Sunan Abu Daud pembahasan Kitabil adab, Riwayat Imam Turmidzi dalam pembahasan al bir dan silah, dan Imam Bukhari dalam pembahasan adab dan mufrad. Adapun hadis ini tergolong hadis marfu, maka status hadis marfu, adalah hadis muttafakun alaih.

Tak hanya memuliakan non muslim yang masih hidup, para sahabat Nabi juga konsisten memuliakan non muslim yang telah meninggal. Meski mereka berbeda keyakinan. Tetapi para sahabat tetap mengunjunginya ketika telah meninggal.

Dalam kitab Fiqh Zakat, Qardhawi memuatkan kisah seorang nasrani meninggal dunia dunia. Ia bernama Ummu Haris bin Abi Rabiah. Seorang Kristen tulen sejak lahir. Mendengar si Umum Harisah wafat, para sahabat kemudian berbondong-bondong untuk mentakziahi dan mengantarkannya pada peristirahatan terakhir.

وماتت أم الحارث بن أبي ربيعة وهي نصرانية، فشيَّعها أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم

Artinya; Meninggal dunia Ummu Haris bin Rabiah—seorang Nasrani—, maka mengantarkannya sahabat-sahabat Rasulullah SAW.

Demikian kisah Abdullah bin Umar yang memberikan daging kurban pada tetangganya beragam Yahudi. Dan juga kisah, sahabat Nabi yang menjenguk seorang Kristen yang meninggal dunia. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Perumpamaan Dunia dan Akhirat seperti Air Laut dan Jari

Dari Al-Mustaurid bin Syaddad –semoga Allah meridhoinya- ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

وَاللهِّ مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟

“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (HR Muslim no 2868).

Dalam hadits lain disebutkan;

مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا كَمِثْلِ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يَرْجِعُ وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ

“Perumpamaan antara dunia dgn akhirat ibarat seorang diantara kalian mencelupkan jarinya ke dalam lautan, maka hendaklah ia melihat apa yang menempel padanya. Lalu beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya”. (HR. Ahmad)

HIDAYATULLAH

Palestina: Kerikil Perkasa Hingga Batu Bicara

Sebelas hari Zionis Israel membombardir Gaza, setelah sebelumnya menyerang jamaah i’tikaf Masjid Al Aqsha. Sedikitnya 232 warga Palestina gugur syahid dalam serangan udara itu. Termasuk 65 anak-anak dan 39 wanita.

Namun, tiba-tiba Zionis Israel ‘menyerah’ dengan bersegera gencatan senjata. Setelah roket-roket Hamas mampu menembus pertahanan utama Iron Dome. Hingga jatuh di Tel Aviv, ibukota sekaligus jantung Zionis Israel.

Maka, Rakyat Palestina pun merayakan kemenangannya. Demikian pula masyarakat anti penjajahan yang sebelumnya sudah mengutuk Zionis Israel, turut berbahagia dengan kemenangan itu. Di media sosial seperti Twitter, kemenangan Palestina membahana.

Apa yang melatari perang yang kemudian dikenal sebagai Perang Saif Al Aqsha itu? Dan mengapa justru yang menang adalah Palestina?

Buku Palestina: Kerikil Perkasa Hingga Batu Bicara menjelaskan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Bukan hanya kronologi Perang Saif Al Aqsha 2021 dan mengapa Palestina keluar sebagai pemenang dalam perang sebelas hari itu, tetapi juga akar masalah Palestina vs Israel selama ini.

Dalam membahas akar masalah tersebut, buku ini tidak hanya memaparkan secara historis, tetapi juga menghadirkan pendekatan Al-Qur’an. Juga alasan-alasan mengapa kita harus membela Palestina.

Selain itu, di dalam buku ini diungkapkan kisah-kisah keteladanan bangsa Palestina dalam melawan kezaliman dan penjajahan. Juga ada kisah keajaiban perjuangan Palestina yang akan terus membara hingga batu bicara.

Buku ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama, #PalestinaUnderAttack 2021. Kedua, Keajaiban Sikap Palestina. Ketiga, Akar Masalah. Keempat, Mengapa Kita Membela Palestina. Dan kelima, Bela Palestina Hingga Batu Bicara.

Palestina: Kerikil Perkasa Hingga Batu Bicara merupakan buku kelima yang ditulis oleh Muchlisin BK. Sejak mahasiswa, Pembina Ikadi Gresik dan Koordinator Divisi Jarcab FLP Jawa Timur ini memiliki perhatian serius pada Palestina dan terlibat aktif dalam aksi pembelaan untuk Palestina.

Yang berbeda dari buku kebanyakan, 100 persen keuntungan buku ini akan didonasikan untuk Palestina melalui ACT. Jadi, setiap membeli buku ini, Anda turut berdonasi untuk Palestina. []

Identitas Buku:
Judul buku: Palestina: Kerikil Perkasa Hingga Batu Bicara
Penulis: Muchlisin BK
Penerbit: Haura
Tanggal Terbit: Mei 2021
ISBN: 978-623-320-302-9
Tebal halaman: 102 halaman
Dimensi: 14×20 cm

BERSAMA DAKWAH

Kemenag: Pembatalan Haji Bukan Keputusan Terburu-buru

Kemenag membantah penilaian bahwa membatalkan pemberangkatan jemaah haji sebagai keputusan yang terburu-buru. Keputusan itu sudah dilakukan melalui kajian mendalam.

“Keputusan itu tentu berdasarkan kajian mendalam, baik dari aspek kesehatan, pelaksanaan ibadah, hingga waktu persiapan. Tidak benar kalau dikatakan terburu-buru,” tegas Plt Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Khoirizi di Jakarta, Jumat (4/6/2021). “Pemerintah bahkan melakukan serangkaian pembahasan, baik dalam bentuk rapat kerja, rapat dengar pendapat, maupun rapat panja haji dengan Komisi VIII DPR,” sambungnya.

Menurut Khoirizi, Kemenag tentu berharap ada penyelenggaraan haji. Bahkan, sejak Desember 2020, Kemenag sudah melakukan serangkaian persiapan, sekaligus merumuskan mitigasinya. Beragam skenario sudah disusun, mulai dari kuota normal hingga pembatasan kuota 50%, 30%, 25% sampai 5%.

Bersamaan dengan itu, persiapan penyelenggaraan dilakukan, baik di dalam dan luar negeri. Persiapan layanan dalam negeri, misalnya terkait kontrak penerbangan, pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), penyiapan dokumen perjalanan, penyiapan petugas, dan pelaksanaan bimbingan manasik.

Demikian pula penyiapan layanan di Saudi, baik akomodasi, konsumsi, maupun transportasi, termasuk juga skema penerapan protokol kesehatan haji, dan lainnya. Namun, semuanya baru bisa diselesaikan apabila besaran kuota haji sudah diterima dari Saudi.

Menag, kata Khoirizi, bahkan sempat berkoordinasi secara virtual dengan Menteri Haji Arab Saudi saat itu, yakni Saleh Benten, tepatnya pada pertengahan Januari 2021 untuk mendiskusikan penyelenggaraan ibadah haji. Sebelumnya, Menag juga bertemu Duta Besar (Dubes) Arab Saudi Esam Abid Althagafi, dan mendiskusikan penyelenggaraan ibadah haji.

“Saya pada 16 Maret lalu juga berkoordinasi dengan Dubes Saudi di kantornya, membicarakan masalah penyelenggaraan ibadah haji. Semua upaya kita lakukan, meski faktanya, sampai 23 Syawwal 1442 H, Kerajaan Arab Saudi belum mengundang Pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani Nota Kesepahaman tentang Persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M,” tegasnya. “Ini bahkan tidak hanya Indonesia, tapi semua negara. Jadi sampai saat ini belum ada negara yang mendapat kuota, karena penandatanganan Nota Kesepahaman memang belum dilakukan,” lanjutnya.

Kondisi ini berdampak pada persiapan penyelenggaraan ibadah haji. Sebab, MoU tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442H/2021M itu hingga hari ini belum juga dilakukan. Padahal, dengan kuota 5% dari kuota normal saja, waktu penyiapan yang dibutuhkan tidak kurang dari 45 hari.

“Demi melakukan kajian lebih matang sembari berharap pandemi segera berakhir, Kemenag menunda hampir 10 hari untuk mengumumkan pembatalan. Tahun lalu, pembatalan diumumkan 10 Syawwal, tahun ini kami lakukan pada 22 Syawal,” tegasnya. “Dan kondisinya masih sama. Pandemi masih mengancam jiwa, Saudi juga tidak kunjung memberi kepastian. Kita lebih mengutamakan keselamatan jemaah dan memutuskan tidak memberangkatkan,” tandasnya. *

Rep: Ahmad

HIDAYATULLAH

Kekuatan Istighfar Mendatangkan Rezeki dan Anak

Assalamu’alaikum Ustadzi,

Saya menikah sudah 7 tahun dan belum dikaruniai anak. Seorang teman menasehati agar saya banyak-banyak beristighfar. Mohon penjelasan hubungan istighfar dan keinginan punya anak ini

Wassalam

Umi Pekalongan

Masalah rezeki, uang dan anak merupakan masalah yang menjadi perhatian  seluruh manusia yang hidup di dunia ini. Berapa banyak manusia yang stres, bahkan tidak sedikit dari mereka yang bunuh diri akibat memikirkan harta dan keluarga. Berapa banyak rakyat  kecil yang hidupnya susah, karena sulitnya mencari uang.

Berapa banyak pasangan suami istri di dunia ini yang mengorbankan uang dan tenaga yang tidak sedikit demi untuk mendapatkan seorang anak. Dan berapa banyak orang melakukan kejahatan dan pembunuhan hanya ingin mendapatkan harta dengan cara cepat.

Bukankah dunia ini rusak dan kacau akibat ulah manusia yang berlomba-lomba mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan hak-hak orang lain? Kenapa mereka semua itu tidak kembali kepada ajaran-ajaran Al Qur’an yang telah menjelaskan cara-cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan?

Dalam Surat Nuh, Allah telah menjanjikan kepada siapa saja yang mau beristighfar dan memohon ampun kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan diturunkan kepadanya rezeki yang melimpah dan diberikan kepadanya keturunan yang membawa berkah.

Allah berfirman :

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَارًاوَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

”Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh : 10-12).

Berkata Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya (18/302):

في هذه الآية والتي في “هود” دليل على أن الاستغفار يستنزل به الرزق والأمطار

“Ayat ini dan yang terdapat di dalam Surat Hud (ayat 3) merupakan dalil yang menunjukkan bahwa al-Istighfar akan menyebabkan turunnya rezeki dan hujan.“

Hujan lebat pada ayat di atas maksudnya adalah  rezeki yang banyak, karena hujan akan membuat tanah subur dan menumbuhkan banyak tumbuh-tumbuhan sehingga manusia dan hewan bisa makan darinya, negara menjadi makmur, kekeringan bisa terhindar, air minum yang bersih bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Dari hujan yang lebat tersebut, kebun-kebun menjadi hijau dan sungai-sungaipun mengalir sebagaimana yang disebutkan di bagian akhir dari ayat di atas.

Oleh karena itu, ketika Kota Madinah mengalami kekeringan pada masa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau keluar bersama-sama penduduk Madinah untuk memohon kepada Allah agar diturunkan hujan. Umar waktu itu tidak banyak berdo’a kecuali dengan memperbanyak istighfar saja.

Berkata Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-Adhim (8/233):

ولهذا تستحب قراءة هذه السورة في صلاة الاستسقاء لأجل هذه الآية. وهكذا روي عن أمير المؤمنين عمر بن الخطاب: أنه صعد المنبر ليستسقي، فلم يزد على الاستغفار، وقرأ الآيات في الاستغفار. ومنها هذه الآية { فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا } ثم قال: لقد طلبت الغيث بمجاديح السماء التي ستنزل بها المطر.

“Oleh karena itu dianjurkan membaca surat ini di dalam sholat al-Istisqa’ (sholat meminta hujan) karena terdapat ayat tersebut. Dan demikianlah yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau naik mimbar untuk berdo’a meminta hujan, tidaklah ada yang diucapkan kecuali beristighfar, kemudian membaca ayat-ayat yang berkenaan dengan istghfar, diantaranya adalah ayat ini. (”Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat ) Kemudian beliau berkata: Saya memohon hujan melalui pintu-pintu langit yang dengannya akan turun hujan.

Ayat di atas juga mengajak siapa saja yang sudah menikah dan belum dikarunia anak, agar memperbanyak istighfar. Begitu juga bagi yang sulit mencari pekerjaan agar selalu banyak istighfar agar Allah memberikannya rezeki yang melimpah.

Berkata al-Qurthubi di dalam tafsirnya ( 18/302 ) :

وقال ابن صبيح : شكا رجل إلى الحسن الجدوبة فقال له : استغفر الله. وشكا آخر إليه الفقر فقال له : استغفر الله. وقال له آخر. ادع الله أن يرزقني ولدا ؛ فقال له : استغفر الله. وشكا إليه آخر جفاف بستانه ؛ فقال له : استغفر الله. فقلنا له في ذلك ؟ فقال : ما قلت من عندي شيئا ؛ إن الله تعالى يقول في سورة “نوح” : {اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً. مِّدْرَارًا وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

Berkata Ibnu Shabih : “Ada seorang laki-laki mengadu kepada al-Hasan al-Bashri tentang kegersangan bumi, maka beliau berkata kepadanya : “’Ber-istighfar-lah kepada Allah.”Kemudian datang orang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, maka beliau berkata kepadanya : “Ber-istighfar-lah kepada Allah! Dan orang lain berkata kepadanya, ‘Do’akanlah (aku) kepada Allah, agar Ia memberiku anak!, maka beliau mengatakan kepadanya: “Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya, maka beliau mengatakan (pula) kepadanya : “ Ber-istighfar-lah kepada Allah!” Mak kami menanyakan tentang jawaban tersebut kepadanya.  Maka al-Hasan al-Bashri menjawab : “Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam Surat Nuh. (“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai.” (QS: Nuh:  10-12].*/Dr. Ahmad Zain An-Najah, MAPusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Menutup Jalan yang Dapat Mengantarkan Menuju Keharaman adalah Seperempat Agama

Ibnul-Qayyim rahimahullah membagi perkara-perkara di dalam syari’at ini menjadi dua jenis, yaitu:

Pertama: al-Ma’murat (المأمورات), yaitu perkara-perkara yang diperintahkan.

Kedua: al-Manhiyyat (المنهيات), yaitu perkara-perkara yang dilarang.

Adapun al-ma’murat atau perkara-perkara yang diperintahkan, maka terbagi lagi menjadi dua jenis:

Pertama, al-Maqashid, yaitu perkara-perkara yang memang diperintahkan dan dimaksudkan oleh syari’at secara zatnya.

Kedua, al-Wasa’il, yaitu perkara-perkara yang diperintahkan karena ia adalah jalan yang dapat mengantarkan kepada perkara-perkara yang merupakan al-maqashid.

Contoh: Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya. Misalnya dalam firman-Nya di al-Qur’an,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Beribadahlah kalian kepada Allah, dan janganlah berbuat syirik.” [QS. an-Nisa’: 36]

Beribadah kepada Allah Ta’ala adalah perkara yang diperintahkan dan dimaksudkan oleh syari’at secara zatnya. Wajib bagi kita untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah al-maqashid.

Itu mengapa, di saat yang sama, kita juga diperintahkan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan, agar kita dapat beribadah kepada Allah dengan baik. Kita juga diperintahkan untuk mencari nafkah dan penghidupan yang layak, agar kita dapat melangsungkan kehidupan kita di dunia ini sehingga kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan baik. Ini semua adalah al-wasa’il.

Adapun al-manhiyyat atau perkara-perkara yang dilarang, maka terbagi pula menjadi dua jenis:

Pertama, al-Maqashid, yaitu perkara-perkara yang memang dilarang dan dimaksudkan oleh syari’at secara zatnya.

Kedua, al-Wasa’il, yaitu perkara-perkara yang dilarang karena ia adalah jalan yang dapat mengantarkan kepada perkara-perkara yang merupakan al-maqashid.

Contoh: Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kita untuk berbuat kesyirikan, sebagaimana pada ayat yang telah kita bawakan di atas. Ini adalah al-maqashid.

Oleh karena itu, di saat yang sama, kita juga dilarang untuk bersikap ghuluw atau berlebih-lebihan kepada para ulama’ dan orang-orang saleh. Karena hal itu adalah jalan yang dapat mengantarkan menuju kesyirikan. Kita juga dilarang untuk membangun kuburan, karena itu juga adalah jalan yang dapat mengantarkan menuju kesyirikan. Kita juga dilarang untuk mencela tuhan-tuhan dan sesembahan-sesembahan orang kafir dan musyrik, jika itu akan berujung pada celaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini semua adalah al-wasa’il.

Menutup jalan yang dapat mengantarkan menuju keharaman itu dikenal dalam literatur para ulama’ dengan istilah saddudz-dzari’ah (سَدُّ الذَّرِيْعَةِ). Karena perkara agama berdasarkan penjelasan di atas terbagi menjadi empat:

  1. al-Ma’murat yang merupakan al-maqashid,
  2. al-Ma’murat yang merupakan al-wasa’il,
  3. al-Manhiyyat yang merupakan al-maqashid,
  4. al-Manhiyyat yang merupakan al-wasa’il,

dan karena letak dari saddudz-dzari’ah adalah pada poin keempat, maka itulah mengapa Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau I’lamul-Muwaqqi’in mengatakan bahwa saddudz-dzari’ah adalah seperempat dari agama.

Ini menunjukkan betapa pentingnya untuk memperhatikan kaidah saddudz-dzari’ah ini, sehingga wajib bagi kita untuk menutup setiap jalan yang dapat mengantarkan menuju perkara yang haram. Kaidah saddudz-dzari’ah ini banyak sekali penerapannya dalam berbagai bab agama, yang insya Allah akan kami bahas dalam kesempatan berikutnya.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66509-menutup-jalan-yang-dapat-mengantarkan-menuju-keharaman-adalah-seperempat-agama.html