Hukum Mencicipi Makanan Saat Puasa Menurut Ulama 4 Mazhab

Di antara kewajiban bagi orang puasa adalah menahan dirinya dari sesuatu yang bisa membatalkan puasa, atau sesuatu yang mendekati terhadap batalnya puasa. Salah satunya adalah mencicipi makanan. Mencicipi makanan saat puasa sebenarnya bukan dengan tujuan ingin membatalkan puasa. Namun, untuk mengetahui rasa makanan agar nikmat buka bersama semakin terasa bagi keluarga. Hukum mencicipi makanan saat puasa ini tentu akan ada perbedaan pendapat dari kalangan ulama 4 mazhab. Mari simak penjelasannya

Hukum Mencicipi Makanan Saat Puasa Menurut Ulama 4 Mazhab

Secara global, ulama 4 mazhab hampir sepakat bahwa hukumnya makruh mencicipi makanan bagi orang puasa. Hanya saja ada beberapa catatan dan sedikit ketentuan dari para ulama agar mencicipi makanan itu berhukum boleh.

Pertama, Ulama Kalangan Mazhab Syafi’iyah

Syekh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi dalam kitab karangannya, Hasiyah asy-Syarqawi menjelaskan:

وذوق طعام خوف الوصول الى حلقه أي تعاطيه لغلبة شهوته. ومحل الكراهة ان لم تكن له حاجة، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي.

Artinya, “Di antara kemakruhan puasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan menjadi penyebab sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir bisa sampai pada tenggorokan karena orang puasa sangat besar keinginannya terhadap makanan. Hukum makruh itu sebenarnya apabila tidak ada alasan atau hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan. Sedangkan mencicipi makanan bagi tukang masak; baik laki-laki maupun perempuan dan orang tua yang berkepentingan mengobati anaknya yang masih kecil. Bagi mereka ini, mencicipi makanan tidaklah makruh. Demikian penjelasan Imam Az-Zayyadi”. (Lihat, Hasiyah asy-Syarqawi ‘ala Tuhfatith Thullab, juz 1, hlm 881)

Kedua, Ulama Kalangan Mazhab Hanafiyah

Imam asy-Syaukani dalam kitabnya, Fathul Qadir menjelaskan:

(ومن ذاق شيئا بفمه لم يفطر) لعدم الفطر صورة ومعنى (ويكره له ذلك) لما فيه من تعريضِ الصوم على الفساد. قيده الحلواني بما إذا كان في الفرض، أما في النفل فلا لأنه يباح الفطر فيه بعذر وبلا عذر. وقيل : لا بأس في الفرض للمرأة إذا كان زوجها سيئ الخلق أن تذوق المرقة بلسانها

Artinya, “Barang siapa yang mencicipi sesuatu dengan mulutnya maka puasanya tidak batal. Karena mencicipi makanan tidak dianggap membatalkan secara tersurat dan tersirat. Namun tindakan demikian hukumnya makruh. Karena bisa menjadi penyebab puasanya batal. Kemakruhan tersebut menurut Imam Al-Halwani hanya berlaku untuk puasa fardhu. Sedangkan mencicipi makanan ketika puasa sunnah hukumnya tidak makruh, karena dalam puasa sunnah diperbolehkan membatalkan puasa sebab adanya udzur dan tidak udzur. Menurut suatu pendapat: tidak masalah (tidak makruh) dalam puasa fardhu bagi wanita yang suaminya buruk etika untuk mencicipi makanan dengan lisannya”. (Lihat, Fathul Qadir lis Syaukani, juz 4, hlm 361)

Ketiga, Ulama Kalangan Mazhab Malikiyah

Syekh Abdurrahman al-Jazairi dalam kitabnya, al-Fiqhu ala Mazahibi al-Arba’ah menjelaskan:

المالكية قالوا : يكره للصائم أن يذوق الطعام ولو كان صانعا له وإذا ذاقه وجب عليه أن يمجه لئلا يصل إلى حلقه منه شيء فإن وصل شيء إلى حلقه غلبة فعليه القضاء في الفرض على ما تقدم وإن تعمد إيصاله إلى جوفه فعليه القضاء والكفارة في رمضان

Artinya, “Dimakruhkan bagi orang puasa mencicipi makanan, meski yang membuat makanan. Dan jika sudah mencicipi maka wajib baginya untuk meludahkan agar tidak sampai pada tenggorokan. Jika ada sesuatu yang sampai pada tenggorokannya, maka wajib baginya mengganti puasa fardhunya sebagaimana penjelasan yang telah lewat”. (Lihat, al-Fiqhu ala Mazahibi al-Arba’ah, juz 1, hlm 294)

Keempat, Ulama Kalangan Mazhab Hanabilah

Syekh Musthafa Asy-Suyuthi Al-Rahibani dalam kitabnya, Mathalibu uli an-Nuha menjelaskan:

(و) يكره له (ذوق طعام) لأنه لا يأمن أن يصل إلى حلقه فيفطره قال أحمد : أحب أن يجتنب ذوق الطعام فإن فعل لا بأس وأطلقوا (لغير حاجة) إلى ذوقه أما للحاجة فلا بأس به.

Artinya, “Makruh bagi orang puasa mencicipi kakanan. Karena tidak bisa dipastikan aman sampai pada tenggorokan sehingga membatalkan puasanya. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: saya senang menjauhi dari mencicipi makanan, dan jika mencicipi maka tidak masalah. Hukum makruh tersebut apabila tidak adanya hajat untuk mencicipinya. Sedangkan jika ada hajat maka tidak makruh mencicipinya”. (Lihat, Mathalibu uli an-Nuha, juz 2, hlm 203)

Rincian Hukum Su’uzan (Prasangka Buruk)

Fatwa Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah ta’ala

Soal:

Su’uzan (buruk sangka) adalah salah satu penyakit hati. Bagaimana hakikat, sebab-sebab, dan cara-cara mengobatinya?

Jawab:

Hukum su’uzan itu perlu dirinci sebagai berikut:

Pertama: su’uzan kepada Allah Ta’ala. Ini adalah kekufuran. Allah Ta’ala berfirman,

{‏يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ‏}

‏ ‏[‏سورة آل عمران‏:‏ آية 154‏]‏

Artinya:

“mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah” (QS Ali Imran (3): 154)

Allah berfirman (juga) tentang orang-orang munafik,

‏{‏الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا‏}‏

‏ [‏سورة الفتح‏:‏ آية 6‏]‏‏

Artinya:

“Orang-orang yang bersangka kepada Allah dengan sangkaan yang buruk, untuk mereka giliran (kebinasaan) yang amat buruk, Allah murka terhadap mereka dan (Allah) melaknat mereka, serta menyediakan bagi mereka neraka jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah sejahat-jahat (seburuk-buruk) tempat kembali.” (QS Al-Fath (29): 6)

Kedua: su’uzan kepada orang-orang mukmin dan orang-orang shalih, ini tidak boleh. Karena ini adalah kezaliman kepada seorang mukmin. Padahal seorang muslim dituntut untuk husnuzan (prasangka baik) kepada saudaranya seorang muslim. Su’uzan kepada seorang muslim adalah penyebab kebencian di antara kaum muslimin.

Ketiga: su’uzan kepada pelaku keburukan dan kerusakan, ini perkara yang dituntut dalam syariat. Dengan su’uzan kepada mereka akan menjadi sebab jauhnya kita dari mereka dan ada kebencian kepada mereka.

Mufti:

Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizhahullah Ta’ala

Anggota Hai’ah Kibar Al-Ulama Arab Saudi (2013 – sekarang)

Penerjemah: Muhammad Fadli

Artikel: Muslim.or.id

Link Fatwa: http://iswy.co/e3hoe

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/62151-rincian-hukum-suuzan-prasangka-buruk.html

Yuk Mereguk Nikmat Ramadan bersama Alquran!

RAMADAN disamping bulan untuk berpuasa dan qiamullayl diapun merupakan bulannya Al-Quran, padanya Allah azza wa jalla turunkan Al-Quran dan pada bulan ini pula Rasulullh shalallahu alaihi wasallam saling memperdengarkan Al-Quran bersama Jibril alaihis salaam.

“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah shalallahu alaihi wasallam adalah orang yang sangat dermawan dengan kebaikan terlebih pada bulan Ramadan karena Jibril senantiasa menemui beliau tiap malam pada bulan Ramdan hingga Ramadan usai untuk memperdengarkan Al-quran kepada Jibril, dan saat Jibril menemui beliau, beliau lebih dermawan dibanding angin yang bertiup.” [HR Bukhari no. 1902 Muslim no. 2308].

Maka sebuah anugrah yang amat besar tentunya, apabila pada bulan yang agung ini Allah azza wa jalla berkenan memberikan taufiq kepada kita untuk bisa maksimal membaca serta menghafal Al-Quran sebagai bentuk sikap tauladan kita kepada Nabi kita.

Saudaraku seiman, ketahuilah diantara kebaikan yang akan engkau peroleh dari kebaikan yang sangat banyak dalam Al-quran yaitu gelar sebagai manusia terbaik dan mulia akan engkau sandang. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sebaik baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” [HR. Bukhari no. 5027].

Sungguh tidak ada yang sia-sia darimu ketika engkau bermuamalah dan berinteraksi dengan Al-Quran, baik tatkala membacanya, terlebih ketika menghafal ayat-ayatnya, itu semua akan terhitung sebagai pahala di sisi Allah azza wa jalla, baik ketika engkau kesulitan dalam melafalkannya terlebih apabila engkau lancar membacanya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

“Orang yang pandai membaca alquran dia akan bersama para malaikat-malaikat mulia, adapun yang masih tebata-bata dan masih merasakan susah dalam membacanya maka untuknya dua pahala.” [HR. Muslim no. 798].[]

INILAH MOZAIK

Takwa dalam Al-Qur’an

Ketika Allah Swt memerintahkan kaum mukminin untuk berpuasa, Allah menyebutkan tujuan dibaliknya yaitu untuk meraih ketakwaan. Seperti dalam firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS.al-Baqarah:183)

Takwa adalah tingkatan tertinggi dalam ibadah kepada Allah Swt. Yaitu ketika seorang hamba memiliki perlindungan dari kemarahan, kemurkaan dan siksa Allah Swt. Tentunya perlindungan itu di raih karena ketaatan kepada Allah, rasa takut kepada siksa-Nya dan meninggalkan segala perbuatan maksiat kepada-Nya.

Pondasi ketakwaan adalah rasa takut kepada Allah. Dan itu adalah urusan hati. Seperti dalam Firman-Nya :

ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (QS.al-Haj:32)

Dan kita temukan dalam Al-Qur’an bahwa takwa adalah perintah pertama sebelum perintah lainnya. Karena ketakwaan adalah pendorong untuk melakukan semua kebaikan yang lain.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS.al-Ma’idah:35)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (QS.al-Ahzab:70)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS.atTaubah:119)

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman” (QS.al-Anfal:1)

Dan terkadang, takwa juga disebutkan sebelum Allah memberikan larangan. Karena selaian pendorong kepada kebaikan, takwa juga menjadi perisai yang melindungi kita dari keburukan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS.al-Baqarah:278)

Lebih dari itu, semua Rasul yang di utus oleh Allah kepada umat manusia membawa satu seruan yang sama yaitu mengajak kepada takwa.

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ

“maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (QS.asy-Syuara:150)

Karena itulah wasiat yang terpenting yang disampaikan oleh Allah kepada kaum terdahulu hingga akhir zaman menurut Al-Qur’an adalah wasiat tentang takwa.

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ ۚ

dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. (QS.an-Nisa’:131)

Namun Al-Qur’an mengingatkan bahwa sekedar takwa saja tidak cukup, namun harus meraih takwa yang sebenar-benarnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS.Ali Imran:102)

Takwa bukan berarti kemaksuman dari dosa, namun ketakwaan adalah sebuah karakter yang dimiliki seorang mukmin sehingga hatinya selalu sadar dan hidup.

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS.al-A’raf:201)

Ketika kakinya tergelincir kepada kesalahan, ia segera memohon ampun dan kembali kepada Tuhannya. Sebagaimana sifat yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang bertakwa :

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS.Ali Imran :135)

Semoga Allah menggabungkan kita bersama orang-orang yang bertakwa.

KHAZANAH ALQURAN

Niat Puasa Ramadhan

 NIAT adalah salah satu kewajiban tatkala seseorang ingin melaksanakan ibadah. Termasuk juga dalam berpuasa. Itu sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim, Rasulullah    ﷺ bersabda:

إنما الأعمال بالنية

Artinya: “setiap pekerjaan tergantung dari apa yang diniatkan.”

Dalam madzhab Imam Syafi’i niat itu diucapkan dalam hati. Adapun pengucapan lewat lisan itu tidak wajib. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam Fathul Mu’īn oleh Imam Imam Zainuddin Al-Malībārī.

وفرضه، أي: الصوم: النية بالقلب، ولا يشترط التلفظ بها بل يندب.

“Kewajiban puasa salah satunya adalah niat dalam hati. Tidak disyaratkan untuk diucapkan. Akan tetapi dianjurkan.” [Fathul Mu’īn: 261].

Lalu Imam Sayyid Bakri dalam I’ānah Thõlibīn menambahkan alasan dianjurkannya melafalkan niat.

وقوله: (بل يندب) أي: التلفظ بها ليساعد اللسان القلب.

“Pengucapan niat itu (dianjurkan) agar lisan dapat membantu hati.” [ I’ānah Thõlibīn: 2/1217].

Kemudian berikut ini 3 hal dalam Mazhab Syafi’i yang harus dilakukan seseorang saat hendak berpuasa Ramadhan.

  1. Memaksudkan niat secara jelas

Disebutkan dalam kitab Hasyiyah Bājūrī Imam Ibrāhim Bājūrī bahwa paling minimalnya niat puasa itu sebagai berikut.

“نويت صوم رمضان”.

Artinya: “saya berniat puasa Ramadhan.” [Hasyiyah Bājūrī: 1/633].

Lalu dalam Fathul Qarīb Syarah Ghāyah wa Taqrīb  Imam Ibnu Qasim menerangkan tentang niat puasa Ramadhan secara lengkap.

نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى

“Saya berniat puasa besok, yang mana ia (merupakan bagian) dari kewajiban Ramadhan pada tahun ini karena Allah ta’ala.” [Fathul Qarīb: 194].

Adapun Imam Baramāwi yang dikutip dalam I’ānah Thõlibīn, ia menganjurkan untuk membaca beberapa kalimat pengganti lafadz “lillahi ta’ala”.

وقوله : (لله تعالى) : ويسن أن يقول إيمانا واحتسابا لوجه الله الكريم

“Dan pada lafadz ‘lillahi ta’ala’ disunnahkan untuk mengucapakan ucapan ‘imānan wa ihtisāban li wajhillāhi al-karīm’.” [ I’ānah Thõlibīn: 2/1228].

  1. Waktu malam

Puasa wajib seperti Ramadhan diharuskan niatnya di waktu malam. Dalam Hāsyiyah Bājūrī Imam Ibrahim Al-Bājūrī menjelaskan tentang niat di waktu malam.

التبييت إيقاء النية ليلا في أي جزء منه من غروب الشمس إلى طلوع الفجر، فلا يشترط فيه النصف الأخير من الليل.

“Memalamkan niat adalah mengawali niat pada malam hari di waktu manapun, dari mulai terbenamnya matahari sampai sebelum terbitnya fajar. [Hāsyiyah Bājūrī: 1/632].

Lalu syeikh Mushtofa Abdun Nabi menambahkan,

فلا يكفي إيقاعها أثناء النهار، أو مع طلوع الفجر.

“Adapun diniatkannya siang hari atau saat terbitnya fajar, maka itu tidak cukup”. [Mu’nīsul Jalīs: 1/418].

  1. Diulagi setiap malam

Dalam kitabnya Mu’nīsul Jalīs Syeikh Mushtofā Abdun Nabī menuliskan bahwa niat puasa diucapkan setiap hari, tidak cukup kalau diucapkan hanya sekali selama Ramadhan.

الأول: (النية) لكل يوم؛ فلا تكفي نية عامة لجميع شهر رمضان، أو لأيام منه، أو من غيره.

“Rukun puasa yang pertama adalah (pelafalkan) niat di setiap harinya. Adapun niat yang bersifat umum untuk (mewakili) keseluruhan bulan Ramadhan, atau beberapa harinya, atau (beberapa hari) luar itu, maka itu tidak cukup.” [dalam Mu’nīsul Jalīs: 1/418].*/ Zulfikar HH, mahasiswa Al-Azhar, Mesir

HIDAYATULLAH

Ramadan, Bulan Agung Penuh Berkah Menaungi Kita

MENJELANG bulan suci Ramadan, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berpidato di hadapan para sahabatnya. Ceramah di penghujung bulan Syaban tersebut berisi tentang keistimewaan Ramadan, serta anjuran untuk meningkatkan penghambaan kepada Allah dan kepedulian sosial.
Yang menarik, Rasulullah menggunakan redaksi sapaan “ya ayyuhannas” (wahai manusia) saat mengawali pidatonya, yang menandakan bahwa pesan tersebut berlaku umum bagi seluruh umat, bukan kaum Muslimin semata. Berikut isi lengkap pidato tersebut:

“Wahai manusia, sungguh bulan agung dan penuh berkah telah menaungi kalian. Bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Pada bulan itu, Allah menjadikan puasanya sebagai suatu kewajiban dan qiyam atau salat di malam harinya sebagai ibadah sunah. Siapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu kebajikan, maka nilainya sama dengan mengerjakan kewajiban di bulan lain. Siapa yang mengerjakan suatu kewajiban dalam bulan Ramadan tersebut, maka sama dengan menjalankan tujuh puluh kewajiban di bulan lain.”

“Ramadan itu adalah bulan kesabaran; sedangkan ketabahan dan kesabaran, balasannya adalah surga. Ramadan adalah bulan pertolongan. Pada bulan itu rezeki orang-orang mukmin ditambah.”

“Siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa di bulan itu, maka ia akan diampuni dosanya, dibebaskan dari api neraka. Orang itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tersebut. Sedangkan pahala puasa bagi orang yang melakukannya, tidak berkurang sedikit pun.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tak semua dari kami memiliki makanan untuk berbuka bagi orang lain.”

Rasulullah menjawab, “Allah memberikan pahala kepada orang yang memberikan sebutir kurma, atau seteguk air, atau seteguk susu.” Nabi pun melanjutkan, “Dialah Ramadan, bulan yang permulaannya dipenuhi dengan rahmat, periode pertengahannya dipenuhi dengan ampunan, pada periode terakhirnya merupakan pembebasan manusia dari azab neraka.”

“Barangsiapa yang meringankan beban pekerjaan pembantu-pembantu rumah tangganya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan membebaskannya dari api neraka.”

“Oleh karena itu dalam bulan Ramadan ini, hendaklah kamu sekalian dapat meraih empat bagian. Dua bagian pertama untuk memperoleh rida Tuhanmu dan dua bagian lain adalah sesuatu yang kamu dambakan. (Untuk meraih) dua bagian yang pertama, hendaklah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan memohon ampunan kepada-Nya. (Untuk meraih) dua bagian yang kedua hendaklah memohon (dimasukkan ke dalam) surga dan berlindung dari api neraka.”

“Siapa yang memberi minuman kepada orang yang berpuasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari telagaku, suatu minuman yang seseorang tidak akan merasa haus dan dahaga lagi sesudahnya, sehingga ia masuk ke dalam surga.” (Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah: 1780; al-Baihaqi dalam Syuab al-Iman: 3455. Redaksi hadits di atas riwayat Ibn Khuzaimah).

Meskipun sebagian ahli menyebut hadits ini berstatus dhaif, kandungannya masih bisa diamalkan karena berkaitan dengan fadhailul amal (keutamaan amal). Beberapa keterangan yang disebutkan hadits ini, banyak persamaan yang disebutkan hadits yang lebih sahih. Imam Ahmad bin Hanbal menyampaikan pernyataan mengenai hadits dhaif:

“Hadits yang dhaif lebih aku cintai dari ra’yu (pendapat akal seseorang).” Dalam kalimat yang lain, beliau berpendapat:

“Beramal dengan hadits yang dhaif lebih utama dari menggunakan qiyas (analogi)”.

Hadits itu dimuat juga dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama terkenal, antara lain: Muhammad Yusuf al-Kandahlawi dalam kitab Hayah al-Shahabah, III/400401, Imam al-Munzdiri dalam kitab al-Targhib wa al-Tarhib, I/1617, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz dalam kitab Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah, XV/4445. Prof. Hasbi al-Shiddiqi dalam Pedoman Puasa. [nuol]

INILAH MOZAIK

Hukum Tadarusan di Bulan Ramadhan

Di bulan Ramadhan, biasanya banyak dilakukan kegiatan tadarusan di masyarakat kita. Bagaimana sebenarnya hukum syar’i terhadap kegiatan ini?

Sebelumnya, kita melihat realitanya makna tadarusan di masyarakat itu bermacam-macam. Secara bahasa, tadarusan dari kata تدارس – يتدارس yang artinya: saling belajar. Wazan تفاعل menunjukkan adanya mufa’alah, interaksi antara dua orang atau lebih. Sehingga tadarus adalah aktivitas belajar antara dua orang atau lebih. Dan dalam hal ini maksudnya adalah belajar Al Qur’an.

Kemudian, hukum tadarusan perlu kita tinjau sesuai dengan makna-makna tadarusan yang ada di masyarakat.

Pertama: tadarusan maknanya belajar membaca Al Qur’an atau belajar tafsir Al Qur’an

Tadarusan dengan makna ini tidak diragukan lagi bolehnya, bahkan hukumnya mustahab dan bisa jadi wajib. Sebagaimana dalam Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah beberapa orang berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid), mereka membaca Kitabullah (Al Qur’an) dan saling mengajarkan satu dan lainnya di sana, melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan hati), mereka akan diliputi rahmat Allah, akan dikeliling oleh para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi para makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya” (HR. Muslim, no. 2699).

Kedua: tadarusan maknanya membaca Al Qur’an secara berjama’ah dengan satu suara

Yaitu membaca ayat atau surat dari Al Qur’an secara bersama-sama dan berbarengan, satu suara. Praktek seperti ini tidak didapati dari sunnah Nabi maupun para sahabat, maka hendaknya ditinggalkan. Namun boleh jika dalam rangka belajar membaca Al Qur’an, bukan sekedar membaca.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan:

“Membaca Al Qur’an Al Karim adalah salah satu ibadah yang disyariatkan oleh Allah kepada para hamba-Nya. Dan juga ia merupakan ibadah yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada umatnya. Yang menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah beliau membaca Al Qur’an lalu para sahabat mendengarkannya. Agar mereka mengambil manfaat dari apa yang dibacakan kepada mereka. Lalu Rasulullah menafsirkan ayat-ayat yang dibacanya. Terkadang Rasulullah memerintahkan salah seorang sahabatnya untuk membacakan Al Qur’an dan Rasulullah mendengarkannya.

Tidak ada dalam sunnah Nabi atau dalam sunnah para sahabat Nabi, dan tidak ada dalam cara beragama mereka, membaca Al Qur’an secara berjamaah dengan satu suara. Ini bukanlah tuntunan sahabat Nabi dan juga bukan tuntunan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang menyebutkan bahwa hal ini bid’ah, mereka benar. Karena amalan yang demikian tidak ada asalnya dari syariat.

Namun para ulama menyebutkan yang seperti ini ditoleransi (dibolehkan) bagi anak-anak kecil yang sedang diajari Al Qur’an sebagai bentuk metode pengajaran, dilakukan sampai pengucapan mereka benar. Demikian juga para pengajar di sekolah-sekolah, jika seorang guru memandang perlunya para murid untuk membaca bersamaan satu suara maka boleh sampai bacaan anak-anak kecil tersebut benar, sebagai bentuk metode pengajaran. Jika seperti itu kami harap tidak mengapa. Karena ini dapat membantu pengajaran dan membantu para murid agar bacaannya dan penyampaiannya benar” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 1/347).

Baca Juga: Dua Masalah Terkait Niat Puasa di Bulan Ramadhan

Ketiga: tadarusan maknanya membaca Al Qur’an secara bergantian dan bersambungan

Yaitu beberapa orang berkumpul kemudian sepakat untuk membaca secara bergantian, dan secara bersambungan sehingga pesertanya melanjutkan ayat dari peserta sebelumnya dan demikian seterusnya hingga selesai target bacaan. Praktek seperti ini disebut oleh para ulama dengan istilah al idarah.

Praktek seperti ini diperselisihkan oleh para ulama. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan:

القراءة الإدارة وهي تناوب المجتمعين في قراءة أية أو أيات أو سورة أو سور إلى أن يتكاملوا بالقراءة. و لا تعني هذا المشروع في مدارسة القرأن. و الإدارة بدعة قديمة أنكرها الأئمة: مالك و غيره وصدر بإنكارها فتوى وألفت رسائل

“Membaca dengan model al idarah adalah cara membaca dengan saling bergantian dan bersambungan di antara orang-orang yang berkumpul, dalam membaca ayat per ayat, atau masing-masing beberapa ayat, atau surat per surat, atau masing-masing beberapa surat. Hingga akhirnya mereka menyempurnakan target bacaan mereka. Dan mereka tidak memaksudkan untuk mempelajari Al Qur’an (namun sekedar membaca saja, pen.). Dan praktek al idarah ini adalah bid’ah yang sudah ada sejak dahulu. Diingkari oleh para imam seperti imam Malik dan yang lainnya. Telah ditulis beberapa fatwa dan buku untuk mengingkarinya” (Bida’ul Qurra’ Al Qadimah wal Mu’ashirah, hal. 16).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di antara ulama yang membolehkan. Beliau mengatakan:

وقراءة الإدارة حسنة عند أكثر العلماء، ومن قراءة الإدارة قراءتهم مجتمعين بصوت واحد وللمالكية وجهان في كراهتها ، وكرهها مالك ، وأما قراءة واحد والباقون يتسمعون له فلا يكره بغير خلاف وهي مستحبة ، وهي التي كان الصحابة يفعلونها : كأبي موسى وغيره

“Membaca dengan model al idarah dianggap baik oleh kebanyakan ulama. Dan membaca bersama-sama dengan satu suara, ini termasuk qira’ah idarah. Dalam madzhab Maliki ada dua pendapat dalam masalah ini. Dan imam Malik membenci praktek seperti ini.

Adapun jika satu orang membaca dan yang lain mendengarkan saja, maka ini tidak ada larangan tanpa adanya khilaf. Dan ini hukumnya mustahab (dianjurkan). Dan inilah yang dilakukan oleh para sahabat, seperti Abu Musa dan yang lainnya” (Al Fatawa Al Kubra, 5/345).

Maka membaca dengan model idarah ini hendaknya ditinggalkan karena tidak diamalkan oleh para salaf, juga dinilai bid’ah oleh sebagian ulama. Walaupun jika ada yang mengamalkan, kita tidak mengingkarinya.

Adapun membaca dengan model idarah dalam rangka belajar Al Qur’an, maka tidak mengapa sebagaimana dipahami dari penjelasna Syaikh Bakr Abu Zaid di atas.

Keempat: tadarusan maknanya satu orang membaca lalu yang lain hanya mendengarkan

Ini tidak ada perselisihan di antara ulama tentang bolehnya, sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyah di atas. Karena terdapat banyak hadits shahih yang menunjukkan hal ini. Di antaranya hadits dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepadanya:

لو رَأَيْتَنِي وَأَنَا أَسْتَمِعُ لِقِرَاءَتِكَ البَارِحَةَ، لقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِن مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ

“Andaikan engkau melihat bagaimana kekagumanku ketika mendengarkan bacaan Qur’an-mu barusan, seungguh engkau telah diberikan serulingnya keluarga Daud” (HR. Bukhari no.5048, Muslim no.793).

Kelima: tadarusan maknanya membaca Al Qur’an sendiri-sendiri namun di tempat yang sama

Ini juga tidak diragukan lagi bolehnya. Dan termasuk mendapatkan keutamaan dalam hadits Abu Hurairah di atas. Karena hukum asalnya ibadah itu dilakukan sendiri-sendiri kecuali terdapat dalil yang menunjukkan dapat dikerjakan berjama’ah.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Hukum Menunda Qadha Puasa Hingga Ramadan Berikut Menurut 4 Mazhab

Saat bulan Ramadan, terkadang seorang muslim tidak dapat berpuasa secara penuh karena uzur atau alasan tertentu. Termasuk alasan yang lumrah antara lain adalah sakithaidhamil, melahirkan, menyusui, dan lain sebagainya. Bagaimana hukum menunda qadha puasa hingga Ramadan yang akan datang?

Bagi mereka yang meninggalkan puasa Ramadan karena alasan-alasan tersebut, maka wajib qadha’ (mengganti) puasa yang ditinggalkan di bulan lain selain Ramadan. Namun, terkadang mereka seringkali menunda qadha puasa tersebut sampai datang bulan Ramadan selanjutnya. Lalu bagaimana pandangan Islam tentang persoalan ini?

Bagi seorang muslim yang mempuyai hutang puasa Ramadan kemudian datang Ramadan berikutnya semetara ia belum sempat qadha’ hutangnya, maka dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat dari Ulama 4 Madzhab. Berikut kami paparkan pendapat mereka.

Pertama, Pendapat Ulama Jumhur

Ulama jumhur, yakni Imam Malik, Imam Syafi’i Dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa, seorang muslim yang tidak sempat qadha’ puasa Ramadan tahun lalu hukumnya diperinci. Jika tidak sempatnya karena uzur, semisal sakit terus atau hamil dan menyusui selama setahun, maka ia hanya diwajibkan qadha’ puasanya saja. (Syekh Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al Islimy wa Adillatuh, Juz 3, Hal 108)

Namun, jika ia tidak qadha’ puasa tahun lalu tanpa ada uzur, dalam arti ia lalai sampai datang lagi Ramadan berikutnya, maka ia wajib qadha’ puasa tersebut serta membayar fidyah (denda) sesuai jumlah puasa yang belum diganti yakni satu mud (kurang lebih 0,65 kg) untuk hutang puasa sehari. Mereka berpendapat demikian karena mengkiaskannya dengan orang yang tidak puasa di bulan Ramadhan tanpa ada uzur, dengan alasan sama-sama meremehkan kewajiban puasa. (Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Juz 1 , Hal 318)

Pendapat ini diperkuat dengan Hadis nabi Muhammad SAW riwayat Abu Hurairah:

ان النبي صلي الله عليه وسلم قال مَنْ أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ فَأَفْطَرَ لِمَرَضٍ ثُمَّ صَحَّ وَلَمْ يَقْضِهِ حَتَّى أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ آخَرُ صَامَ الَّذِي أَدْرَكَهُ ثُمَّ يَقْضِي مَا عَلَيْهِ ثُمَّ يُطْعِمُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Sesungguhnya Rasulullah bersabda : Barang siapa yang mendapati bulan Ramadan, lalu ia tidak berpuasa karena sakit kemudian sehat kembali dan belum menggantinya hingga Ramadan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadan yang sedang dijalaninya, setelah itu ia harus mengganti hutang puasanya dan memberikan makan kepada satu orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan ”. (Asna al-Mathalib fi Syarh Raudh al-Thalib, Syekh al-Islam Zakariya al-Anshari, Juz 1, Hal 429)

Kemudian Imam Syafi’i menambahkan, kewajiban fidyah akan berulang kali seiring berulangnya kelalaian qadha’ puasa hingga datang lagi Ramadan berikutnya. Beliau juga berpendapat, jika puasa Ramadan yang ditinggalkan tanpa ada uzur maka puasa tersebut wajib diganti dengan segera. (Syekh Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al Islimy wa Adillatuh, Juz 3, Hal 108)

Kedua Pendapat Ulama Hanafiyah

Menurut Imam Abu Hanifah seorang muslim yang tidak sempat mengganti puasa Ramadan sampai datang Ramadhan berikuknya, baik tidak sempat menggantinya karena uzur ataupun tidak, maka ia hanya wajib qadha’ puasanya saja, tanpa harus membayar fidyah.

Pendapat tersebut berdasarkan firman Allah SWT :

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah, Ayat 185).

Beliau berbeda dengan jumhur karena menolak kias antara orang yang lalai dalam qadha’ dengan orang yang tidak puasa di bulan Ramadan tanpa uzur, sementara Hadis yang dijadikan dalil oleh ulama Jumhur tentang kewajiban fidyah di atas, menurut Imam Daruquthni Dan Imam Baihaqi adalah hadis dha’if yang tidak dapat dijadikan rujukan hukum. (Asna al-Mathalib fi Syarh Raudh al-Thalib, Syekh al-Islam Zakariya al-Anshari, Juz 1, Hal 429). Wallahu A’lam

BINCANG SYARIAH

Mengisi Ramadhan dengan ‘Imanan’ dan ‘Ihtisaban’

DARI Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berkata,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”  (HR. Bukhari)

Disebutkan dalam kitab “Fathul Bari” kata “imanan” di atas bermakna meyakini puasa di bulan Ramadhan adalah perintah Allah yang wajib untuk ditunaikan.

Sedang kata “ihtisaban” tercatat dalam kitab penjelasan “Shahih al-Bukhari” tersebut masih satu timbangan (sewazan) dengan kata “iftitahan” artinya pembuka. Jadi ihtisaban bermakna perhitungan.

Untuk itu hendaknya semua yang dilakukan di bulan mulia tersebut sejatinya harus diniatkan dan selalu dalam perencanaan meraih ridha dan ampunan Allah. Sedang mengharap ridha-Nya berarti hanya mencari pahala dan balasan kebaikan dari Allah.

Diharapkan, setiap jenak yang berlalu, dari hitungan detik, menit, hari, dan pekan dalam bulan Ramadhan dipenuhi keberkahan dan kemuliaan serta tidak berlalu dengan sia sia.

Dengan pemahaman di atas, ternyata tak mudah merealisasikan harapan tersebut. Ada saja gangguan dan godaan dari nafsu, meski sebelumnya dinyatakan bahwa setan telah dibelenggu sepanjang bulan Ramadhan.

Tanpa sadar, tetap saja ada waktu yang berlalu tanpa makna. Mulai dari dikarenakan hal sepele hingga kesibukan dunia yang memang harus dijalani.

Tak jarang seorang Muslim menghabiskan waktu berjam-jam bersama kawannya hanya untuk obrolan tanpa juntrung yang jelas. Ada yang cuma nongkrong, ngabuburit, main game online, hingga chatting dan aktifitas media sosial lainnya.

Atau seorang remaja Muslimah yang asyik berdandan dan mengurusi pakaian. Melipat baju yang hanya 5 lembar, ternyata sampai menghabiskan waktu 1 jam, misalnya.

Belum lagi serbuan nafsu makan dengan jajanan kuliner yang begitu menggoda sepanjang jalan. Bisa dipastikan, jika nafsu makan tersebut tak mampu dikontrol dengan baik, maka semangat ibadah dengan sendirinya turun secara drastis.

Alih-alih bisa bangun di sepertiga malam melaksanakan shalat tahajjud, terkadang mata tersebut tak mampu kompromi untuk mengerjar taget tilawah al-Qur’an dalam sehari.

Dalam hal ini, Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam (Saw) mengingatkan dalam sabdanya.

رغم أنف رجل دخل عليه رمضان ثم انسلخ قبل أن يغفر له

“Celakalah bagi orang yang mendapati Ramadhan hingga bulan itu berlalu sedang ia belum mendapatkan (jaminan) ampunan dari Allah.”

Disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata celaka artinya mendapatkan kesusahan, kesulitan dan kemalangan.

Secara logika sederhana, orang yag celaka di bulan Ramadhan akan sulit di Hari Akhirat jika tidak mendapat ampunan di bulan Ramadhan. Nasibnya jadi malang dan disulitkan melalui proses pengadilan di Hari Perhitungan kelak.

Terakhir, sejatinya, self control berupa “imanan” dan “ihtisaban” sudah cukup untuk menjadikan seorang Muslim bersemangat dalam menjalani hari-hari yang diliputi keberkahan berlipat tersebut.

Ia bahkan meyakini, setiap helaan nafas yang berbalut keimanan adalah zikir yang mengundang ridha Allah. Semoga kita semua diberi hidayah dan keistiqamahan menyelesaikam bulan Ramadhan dengan semangat “imanan” dan “ihtisaban”.*/Maftuha, pepegiat komunitas penulis PENA Malika, Balikpapan

HIDAYATULLAH

11 Amalan Utama Bulan Ramadhan yang Mendulang Pahala Berlimpah (1)

Ramadhan dalam bahasa arab berasal dari kata-kata “ ra-ma-dha” yang bermakna keadaan cuaca panas yang dapat membakar sesuatu (Ibnu Mandzur,  Lisanul Arab/jilid 7/hal.160).  Hal ini terbukti dengan pertanyaan istri Rasulullah, Aisyah  kepada Rasulullah ﷺ:  Ya Rasulullah, mengapa bulan diwajibkan berpuasa itu dinamakan dengan nama Ramadhan? Rasulullah ﷺ menjawab : Dinamakan bulan puasa itu dengan nama bulan Ramadhan sebab pada dengan puasa pada bulan Ramadhan itu, Allah Taala akan membakar dosa-dosa yang dilakukan oleh orang yang beriman, dan Allah pada bulan tersebut akan memberikan ampunan kepada mereka (Riwayat Asfahani dalam Tafsir Durarur Mansur, jilid 1, hal.335 ).

Oleh sebab itu bulan Ramadhan adalah bulan pembakaran atas segala sesuatu yang tidak baik, seperti pembakaran dosa, toksid badan dan lain sebagainya. Sahabat Nabi bernama Ibnu Umar juga menyatakan: Dinamakan Ramadhan sebab dosa-dosa akan terbakar dalam bulan tersebut.

  1. Puasa

Dari Abu Hurairsoftah, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

Yang dimaksud berpuasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala. (Lihat Fathul Bari, 4: 115). Al-Khattobi berkata, “Yang dimaksud ihtisab adalah terkait niat yaitu berpuasa dengan niat untuk mengharap balasan baik dari Allah. Jika seseorang berniat demikian, ia tidak akan merasa berat dan tidak akan merasa lama ketika menjalani puasa.”

Rasululah ﷺ bersabda;

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ زَادَ مُحْرِزٌ فِي حَدِيثِهِ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصِّيَامُ نِصْفُ الصَّبْرِ

“Dari Abu Hurairsoftah ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap sesuatu itu ada zakatnya, dan zakatnya tubuh adalah berpuasa. ” Dalam hadisnya Muhriz menambahkan, Rasulullah  ﷺ bersabda: “Puasa adalah setengah dari kesabaran. ” (Sunan Ibnu Majah).

Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa “Puasa itu adalah benteng/perisai“.

الصِّيَامُ جُنَّةٌ

“Puasa adalah perisai.” (HR: Bukhari dan Muslim).

Dari hadis-hadis di atas, penulis melihat inilah konsep puasa bagi kehidupan, yaitu suatu sistem yang dapat membersihkan , memproteksi, dan menyehatkan kehidupan manusia. Itulah sebabnya penulis menyatakan Ramadhan adalah bengkel kehidupan, untuk membersihkan kekotoran ang terdapat dalam diri manusia, sekaligus sebuah proses untuk  memperbaiki dan menyehatkan manusia, serta proses untuk memberikan ketahanan (proteksi ) diri manusia dalam menjalani dan menghadapi kehidupan.

Sistem Perawatan, pembersihan diri, proteksi dalam segala sesuatu yang dipakai, itu merupakan suatu kelaziman (sunatullah). Sebagai contoh,  kalau kita membeli sebuah kendaraan, maka dalam buku panduan kendaraan pasti tertulis bahwa kendaraan tersebut dalam masa tertentu harus masuk bengkel untuk dilihat segala sesuatu yang berkaitan dengan kendaraan tersebut, apakah airsoft baterenya perlu diisi lagi, olinya diganti, mesinnya di tune-up, bannya apakah perlu diganti, remnya , dan lain sebagainya.

Semua adalah bagian dari sistem pemeliharaan kendaraan sehingga kendaraan dapat berjalan dengan baik sepanjang masa. Jika hal itu diperlukan bagi sebuah kendaraan, demikian juga bagi kehidupan manusia, dan semua makhluk yang hidup.

Ramadhan adalah bulan untuk memproses  semua unsur yang ada diri manusia baik roh, akal, hati, jasad dan nafsu, agar semua komponen diri itu kembali suci, shat dan kuat. Proses itu dapat dilakukan dengan menghaati dan memahami proses bulan Ramadhan yang terdiri dari shalat tarawih, tadarus al-Quran, sahur di tengah malam, Imsak, menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, dan iftar dengan makanan yang halal, baik, bergizi dan sehat di saat berbuka puasa.

  1. Shalat Tarawih

Jika kita memasuki bulan Ramadhan, maka yang pertama kita lakukan adalah shalat tarawih. Shalat tarawih jika kita umpamakan dengan kendaraan adalah untuk mengisi airsoft bateri agar baterai tetap kuat dan dalam kondisi yang baik.

Manusia mempunyai jiwa dan ruh. Jiwa dan ruh manusia adalah bagaikan sebuah baterai. Jika baterai perlu diisi ulang, sehingga kuat untuk menjalankan tugasnya sebagai bahan penggerak, demikian juga dengan jiwa dan ruh manusia.

Pengisian ruh adalah dengan shalat, itulah sebabnya Rasulullah ﷺ jika akan shalat berkata kepada Bilal bin Rabah. Hadits Abu Qatadah;

إِنَّ الهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلاَلُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ “Sesungguhnya Allah mencabut ruh-ruh kalian kapan (Dia) suka, dan mengembalikannya kapan (Dia) suka. Wahai, Bilal! Bangun dan beradzanlah untuk shalat.” (HR: Al-Bukhari)

Dalam hadis yang lain, Rasulullah ﷺ bersabda:

جعلت قرة عينى فى الصلاة

“Dijadikan Penghibur  hatiku, adalah  shalat.“( Riwayat Tirmidzi ).

Shalat adalah sesuatu yang dapat menghibur diri dan jiwa. Berarti shalat adalah pengisian jiwa dan ruh agar tetap kuat.

Ramadhan bermula dengan malam hari, dan kegiatan pertama yang dilakukan di malam hari dalam bulan Ramadhan adalah melaksanakan shalat tarawih. Shalat Tarawih secara bahasa adalah shalat yang dapat memberikan ketenangan dalam hati, sebab kata-kata “tarawih” adalah jamak dari kata-kata “rawaha“ yang bermakna “lawan kata dari kepenatan“. (Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, jilid 2. Hal.161 ).

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tarawih adalah sesuatu yang menyenangkan.  Jika kita perhatikan bahwa  perbuatan yang dilakukan di awal Ramadhan di malam Ramadhan pertama adalah shalat tarawih  yang bertujuan untuk meperbaiki, menyucikan dan menguatkan  ruh dan jiwa manusia.

Dengan melakukan shalat tarawih baik itu delapan atau dua puluh rakaat, maka ruh dan jiwa kita akan kuat, sehat dan suci, dan hal ini dapat terjadi jika kita dapat menikmati shalat dan menjadikan shalat sebagai penghibur hati dan jiwa.

Kita tidak perlu bertengkar tentang bilangan rakaat, karena dalam ibadah shalat biasanya ada bilangan minimal dan maksimal. Jika dalam shalat dzuha minimal dua rakaat, maksimal delapan rakaat, dalam shalat witir minimal satu rakaat dan maksimal sebelas rakaat, tergantung kepada kemampuan dan keinginan kita untuk melaksanakannya, demikian juga dengan shalat tarawih, minimal delapan rakaat dan boleh juga duapuluh rakaat.

Malahan dalam sejarah Islam tercatat bahwa masyarakat Madinah pernah melakukan shalat tarawih dengan tiga puluh enam rakaat, dan umat Islam dalam masa kepemimpinan Umar Abdul Aziz melaksanakan shalat tarawih dengan empat puluh satu rakaat. (Syaukani, Nailul Authar, jilid 3,hal.53).

  1. Tadarus Al-Quran

Kegiatan kedua dalam bulan Ramadhan adalah tadarus al-Quran, sebab sejarah mencatat bahwa nabi Muhammad melakukan tadarus al-Quran bersama malaikat jibril setiap setiap malam sepanjang bulan Ramadhan. Tadarus berasal dari kata-kata bahasa arab  “ta- daa-ra-sa” yang bermakna mempelajari sesuatu secara bersama-sama.

Tadarus al-Quran bermakna suatu kegiatan untuk membca dan mempelajari al-Quran secara bersama-sama. Tadarus al-Quran di malam Ramadhan dilakukan sampai khatam sehingga dengan tadarus tersebut timbul kecintaan kepada membaca dan mempelajari al-Quran yang merupakan petunjuk untuk kebahagiaan hidup.

Dengan membaca ayat-ayat al-Quran berarti kita sedang membaca kembali petunjuk Tuhan dalam kehidupan sehingga petunjuk tersebut dapat kita pahami dengan baik sehingga pikiran ang tidak sesuai dengan petunjuk yang ada dalam pikiran mansuia dapat terhapus dan digantikan dengan pikiran yang bersumber dari ayat-ayat al-Quran.

Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kegiatan tadarus al-Quran dimaksudkan untuk memperbaiki pikiran  manusia. Manusia menjalani kegiatan hidup dengan memakai akal dan pikiran,  kadang kala dengan masuknya informasi media ke dalam pikiran manusia, sehingga dapat membuat pikiran memutuskan sesuatu perkara yang tidak sesua dengan pedoman al-Quran.

Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang dapat mensucikan kembali pikiran yang tidak baik seperti pikiran yang condong kepada dunia sehingga melupakan ajaran Tuhan dan lain sebagainya.

Dalam sebuah hadis Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ هذَهِ الْقُلُوْبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيْدُ قِيْلَ فَمَا جَلاَؤُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ تِلاَوَةُ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya hati ini berkarat sebagaimana berkaratnya besi. Ditanyakan, ‘Apa pembersihnya wahai Rasulallah?’ Rasul menjawab, ‘Membaca al-Quran’.” (HR: al-Qadlā’iy).

Sebagaimana dalam shalat sunat tarawih ada batas minimal, demikian juga dalam membaca Al-Quran, maka untuk membersihkan hati diperlukan bacaan al-Quran walaupun dilakukan dengan membaca tanpa mengetahui makna. Kegiatan membaca ayat al-Quran ini disebut dengan Tilawah. Bacaan Tilawah ditingkatkan kepada membaca dengan mencari makna, yang disebut dengan Qira’ah.

Tadarus al-Quran adalah membaca, dan mempelajari ayat-ayat yang terkandung dalam al-Quran. Jika dengan membaca saja sudah dapat membersihkan karatnya hati, maka dengan tadarus atau tadabur al-Quran kita dapat memasukkan informasi, pesan dari ayat-ayat al-Quran ke dalam otak kanan kita, sebagaimana kita mempelajari suatu ilmu pengetahuan.

Tujuan  tadarus al-Quran adalah memasukkan kembali pedoman hidup, informasi al-Quran ke dalam memori otak kita, sehingga dengan tadarus berarti membuang informasi yang salah tentang kehidupan seperti cara berpikir kapitalis, sekular, dan lain sebagainya, menjadi cara berpikir al-Quran. Jika dalam berpikir sekular kita melihat bahwa dunia ini adalah kesenangan, maka berpikir al-Quran kita akan melihat bahwa dunia ini adalah ujian, dan meyakinikehidupan yang utama adalah kehidupan akhirat nanti.  Dengan tadarus berarti kita sedang memproses diri kita memiliki pikiran yang Qurani, berpikir sesuai dengan petunjuk al-Quran.

  1. Sahur

Setelah tadarus, maka kegatan selanjutnya dalam  Ramadhan adalah sahur. Sahur secara bahasa dari kata-kata “sa-ha-ra” yang bermakna waktu di akhir malam (Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, jlid 4, hal. 350). Makan sahur adalah makan di akhir malam, sebgai proses penjagaan diri daripada keadaan lapar pada esok hari. Manusia berjaga di waktu akhir malam juga diharapkan untuk melakukan shalat tahajud, bermunajat kepada Allah, dan memohon ampun kepadaNya, sebab dalam sebuah hadis, nabi bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

”Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, ’Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808)

Dalam al-Quran juga dinyatakan bahwa diantara sifat orang beriman adalah “melakukan istighfar di waktu Sahur.“ (QS: Ali Iman: 17 / QS. Ad Dzariyat : 18 ).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam waktu Sahur tersebut seorang muslim dapat melakukan shalat tahajud, dzikir dan istighfar. Serta berdoa dan munajat yang kita panjatkan kepada Allah, sebab waktu sahur adalah waktu yang sangat baik untuk mengingat dan bermunajat kepadaNya.

Di waktu sahur, dengan tahajud  dan munajat, seakan-akan manusia melaporkan rencana kerjayang akan dilakukan pada esok hari, maka mansuia perlu meminta persetujuanNya, rahmatNya, pertolongan dan perlindungan Allah. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kegiatan di waktu sahur sahur adalah suatu kegiatan yang dilakuan untuk menguatkan hati dan keyakinan kepada Allah, serta proses penjagaan diri dalam menghadapi cabaran dan tantangan hidup di esok hari, sebagaimana makan sahur merupakan proses menguatkan jasad untuk menjalankan kewajiban bekerja di esok hari.* */Dr, Muhammad Arifin Ismail, dai, tinggal di Malaysia >>> (Bersambung)

HIDAYATULLAH