Memaknai Jihad Lewat Pendekatan Tasawuf

Tema jihad agaknya tak pernah kering untuk didiskusikan. Apalagi akhir-akhir ini marak terjadi aksi teror yang ber-topeng-kan agama. Padahal makna jihad bisa sangat beragam, sebagaima yang dikemukakan oleh KH. Said Aqil Siroj, salah satu ulama Indonesia yang terkenal alim dalam bidang Sejarah Peradaban Islam dan ilmu Tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul “Tasawuf Sebagai Kritik sosial” setidaknya ada empat poin dalam memaknai jihad lewat pendekatan tasawuf:

Pertamaistbatu wujudillah yakni menegaskan eksistensi Allah SWT di mika bumi, seperti melantunkan azan untuk shalat berjamaah, takbir, serta berbagai zikir dan wirid.

Keduaiqamatu syari’atillah yaitu menegakkan syari’at Allah dan nilai-nilai agama seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran.

Ketigaal-qital fi sabilillah, berperang di jalan Allah. Artinya jika ada komunitas yang memusuhi kita, dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama, kita bisa berperang sesuai rambu-rambu yang ditetapkan Allah.

Keempatdaf’u dharar ma’shumin musliman kana au dzimmiyan, yakni ikut andil dalam mencukupi kebutuhan dan kepentingan saudara-saudara kita, baik itu muslim maupun kafir dzimmi (pemeluk agama lain yang tidak memusuhi islam). Cara pemenuhan kebutuhan tersebut di antaranya dengan mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papan.

Dengan keempat poin itu pula, Rais Akbar Nahdatul Ulama K.H Hasyim Asy’ari, pernah menerjemahkan makna jihad ini secara kontekstual di bumi indonesia. Tatkala serdadu sekutu yang dipelopori oleh Inggris datang ke Surabaya pada November 1945, beliau secara tegas mengeluarkan resolusi jihad guna memerangi sekutu.

Namun menurut Dr. Said Aqil, peperangan yang terjadi pada saat itu tidak dimasudkan untuk membela agama semata, tetapi juga membela tanah air dan bangsa. Pasalnya dalam pandangan pandangan NU seperti ditegaskan dalam muktamarnya di Banjarmasin pada 1936, membela Tanah Air dan bangsa berarti juga melindungi semua komunitas yang ada di dalamnya tanpa memandang etnis, suku, atau agama tertentu.

Walhasil, jihad dengan cara pandang Tasawuf adalah upaya pencurahan tenaga secara fisik yang diproyeksikan untuk mengimplementasikan pesan-pesan Tuhan di muka bumi guna menekan manusia untuk menjalan tugas sebagai khalifah-Nya.

Berperang dengan angkat senjata hanyalah satu dari ribuan model jihad, Itupun disertai persyaratan yang harus dipenuhi secara ketat dan syar’i. Oleh karena itu, jika saat ini muncul massa Islam yang ingin berjihad dengan narasi kekerasan nampaknya itu justru bertolak belakang dengan esensi jihad itu sendiri. Wallahu a’lam

(Disarikan dari buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Dr. Said Aqil Siroj, Bab Jihad dan Terorisme : Renungan Kesufian, Halaman 102-113, Penerbit Mizan, Tahun 2006)

BINCANG SYARIAH

Kapasitas Masjidil Haram akan Ditingkatkan

Selama bulan suci Ramadhan, kapasitas Masjidil Haram di Mekkah akan ditingkatkan untuk menampung 50 ribu jemaah umrah yang telah divaksin dan 100 ribu jemaah selama bulan suci Ramadhan. Kebijakan ini dijelaskan langsung oleh Presidensi Umum Urusan Dua Masjid Suci, Selasa (6/4).

Sumber tersebut menyatakan bahwa keputusan ini bertujuan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan semua orang yang mengunjungi Masjidil Haram selama bulan penuh berkah. Para peziarah dan jemaah akan diizinkan memasuki Masjidil Haram secara ketat sesuai dengan langkah-langkah pencegahan dan protokol pencegahan untuk membendung penyebaran virus corona.

Sumber tersebut mengatakan, izin akan dikeluarkan bagi orang-orang yang diimunisasi seperti yang tertera dalam aplikasi Tawakkalna. Termasuk mereka yang telah menghabiskan waktu 14 hari setelah mendapatkan dosis pertama vaksin, atau mereka yang sudah sembuh dari virus corona.

Patut dicatat bahwa Kementerian Haji dan Umrah mengatakan pada hari Senin bahwa tata cara mendapatkan izin umrah serta untuk sholat dan kunjungan ke Dua Masjid Suci harus diajukan melalui aplikasi Eatmarna dan Tawakkalna. Hal ini dengan cara memesan slot waktu yang tersedia dan yang sejalan dengan kemungkinan kapasitas operasional sesuai dengan tindakan pencegahan. Setelah mengajukan izin, jamaah harus enunjukkan izin dan memverifikasi keabsahannya melalui aplikasi Tawakkalna langsung dari akun pemegang izin dalam aplikasi.

Kementerian mendesak semua umat untuk mendapatkan izin yang dikeluarkan hanya melalui aplikasi Eatmarna dan Tawakkalna yang disetujui. Dan memperingatkan agar tidak mengandalkan situs web dan kampanye palsu.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kondisi yang Membolehkan bagi Kita untuk Membatalkan Akad Sewa-Menyewa

Ketika telah terjadi akad sewa-menyewa (ijarah) antara dua belah pihak, yaitu antara pihak penyewa (musta’jir) dan pihak yang menyewakan (mu’ajjir), kemudian terjadi sesuatu yang melanda secara umum dan tidak disangka-sangka sebelumnya, sehingga tidak memungkinkan bagi pihak penyewa untuk mengambil manfaat dari barang yang disewakan tersebut (ma’jur), dan jika akad tetap dilanjutkan maka akan memberikan mudarat yang besar, maka pihak penyewa memiliki hak faskh. Hak faskh adalah hak untuk membatalkan akad ijarah tersebut, menurut jumhur ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Adapun menurut ulama Syafi’iyyah, dia tidak memiliki hak faskh tersebut.

Contohnya, jika seorang mahasiswa baru sudah terlanjur melakukan akad untuk mengontrak rumah atau kamar kos di sekitar kampusnya. Lalu tiba-tiba qadarullah terjadi pandemi Covid-19 dan pemerintah memberlakukan larangan perjalanan yang ketat. Akibatnya, dia tidak bisa safar menuju kota tempat studinya tersebut. Dalam kasus ini, dia memiliki hak untuk tidak jadi meneruskan akad sewa-menyewa ini. Dan pihak pemilik rumah atau kos harus menghormati hak tersebut.

Jika kedua belah pihak mengadakan perjanjian untuk tetap memberlakukan akad ijarah di antara mereka ketika kondisinya sudah mereda, sehingga pihak penyewa sudah bisa mengambil manfaat dari barang yang disewakan tersebut, maka hal ini tidak mengapa.

Adapun jika yang terjadi adalah sesuatu yang hanya khusus terkait dengan pihak penyewa dan tidak melanda secara umum, maka dia tidak memiliki hak faskh menurut jumhur ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Adapun menurut Hanafiyyah, dia tetap memiliki hak faskh tersebut.

Contohnya adalah seorang mahasiswa baru yang sudah melakukan akad ijarah untuk mengontrak rumah atau kamar kos di dekat kampusnya, tetapi kemudian dia memilih untuk pindah ke universitas lain di kota lain yang juga baru saja menerimanya. Menurut ulama Hanafiyyah, boleh baginya untuk membatalkan akad ijarah tersebut. Akan tetapi, kami lebih condong pada pendapat jumhur ulama, yaitu bahwa dia tidak memiliki hak untuk membatalkan akad tersebut.

Namun demikian, dia bisa melakukan pemindahan kontrak kepada pihak penyewa baru. Karena pada kasus ini, halangan yang terjadi tersebut tidak melanda secara umum. Akan tetapi, hanya khusus terkait dengan pihak penyewa. Sehingga masih memungkinkan untuk menemukan pihak penyewa lainnya yang bisa mengambil manfaat dari barang yang disewakan.

Ada dua dalil utama yang dipakai oleh para ulama dalam masalah apakah akad ijarah di atas harus tetap dilanjutkan atau bisa dibatalkan. Dalil pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. al-Ma’idah: 1)

Dan yang kedua adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ

“Janganlah sebagian dari kalian memakan harta dari sebagian yang lain dengan cara yang bathil.” (QS. al-Baqarah: 188)

Ayat pertama memerintahkan kita untuk memenuhi akad yang telah kita lakukan, sedangkan ayat kedua memerintahkan kita untuk tidak memakan harta orang lain secara batil. Jika tiba-tiba terjadi sesuatu yang melanda secara umum dan tidak disangka-sangka sebelumnya, sehingga akad telah terlanjur dilakukan tetapi pihak penyewa tidak akan bisa mengambil manfaat dari barang yang dia sewa, maka pada kasus ini, jika akad tidak boleh dibatalkan mengingat ayat pertama di atas, ini akan memberikan mudarat yang besar kepada pihak penyewa dan ini termasuk perbuatan zalim kepadanya. Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa pihak penyewa memiliki hak faskh, yaitu hak untuk membatalkan akad tersebut. Tetapi jika kedua belah pihak bersepakat untuk tetap melanjutkan akad ketika sesuatu yang melanda tadi sudah mereda, maka ini tentu tidak mengapa.

Adapun jika yang terjadi adalah bukan sesuatu yang melanda secara umum, tetapi sesuatu yang hanya khusus terkait dengan pihak penyewa, maka tidak ada hak faskh baginya menurut jumhur ulama. Ini sama seperti pada kasus ketika pihak penyewa tiba-tiba sakit atau tiba-tiba harus pindah ke kota lainnya. Dalam kasus tersebut, dia tidak bisa serta-merta membatalkan akad yang sudah terjadi dengan pihak yang menyewakan. Hal ini karena adanya perintah pada ayat pertama untuk memenuhi akad yang telah kita lakukan, dan larangan pada ayat kedua untuk berbuat kezaliman kepada pihak yang menyewakan.

@almaaduuriy / alminhaj.org

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.or.id

Bom Bunuh Diri Bukan Jihad

Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْتُلُوْٓا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

 “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun bunuh diri tanpa sengaja, maka hal itu diberikan ‘udzur dan pelakunya tidak berdosa. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla,

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَآ أَخْطَأْتُم بِهِۦ وَلٰكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ

“Dan tidak ada dosa bagi kalian karena melakukan kesalahan yang tidak kalian sengaja. Akan tetapi, (yang berdosa adalah) yang kalian sengaja dari hati kalian.” (QS. Al-Ahzab: 5)

Dengan demikian, aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengatas-namakan jihad adalah sebuah penyimpangan (baca: pelanggaran syari’at). Apalagi aksi itu menyebabkan terbunuhnya kaum muslimin atau orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah kaum muslimin tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّٰهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

“Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar.” (QS. Al-Israa’: 33)

Membunuh Muslim dengan Sengaja dan Tidak Sengaja

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَأنِّي رَسُوْلُ اللّٰهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي والنَّفسُ بالنَّفسِ والتَّارِكُ لِدِيْنِهٖ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim yang bersaksi tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan bersaksi bahwa aku (Muhammad) adalah Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga alasan: [1] seorang lelaki beristri yang berzina, [2] nyawa dibalas nyawa (qishash), [3] dan orang yang meninggalkan agama (murtad) dan memisahkan dari jama’ah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللّٰهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.” (HR. Al-Mundziri, lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib)

Hal ini menunjukkan bahwa membunuh muslim dengan sengaja adalah dosa besar. Dalam hal membunuh seorang mukmin tanpa kesengajaan, Allah Ta’ala mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat/denda dan kaffarah/tebusan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا

“Tidak sepantasnya bagi orang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali karena tidak sengaja. Maka barangsiapa yang membunuh mukmin karena tidak sengaja, maka wajib baginya memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkannya kepada keluarganya, kecuali apabila keluarganya itu berkenan untuk bersedekah (dengan memaafkannya).” (QS. An-Nisaa’: 92)

Adapun terbunuhnya sebagian kaum muslimin akibat tindakan bom bunuh diri, maka ini jelas tidak termasuk dalam pembunuhan tanpa sengaja. Sehingga hal itu tidak bisa dibenarkan, meskipun dengan alasan jihad.

Membunuh Orang Kafir Tanpa Hak

Membunuh orang kafir dzimmimu’ahad, dan musta’man (orang-orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslim), adalah perbuatan yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا

“Barangsiapa yang membunuh jiwa seorang mu’ahad (orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan pemerintah kaum muslimin) maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR. Bukhari)

Adapun membunuh orang kafir mu’ahad karena tidak sengaja, maka Allah Ta’ala mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat dan kaffarah sebagaimana disebutkan dalam ayat,

فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang menjadi musuh kalian (kafir harbi) dan dia adalah orang yang beriman, maka kaffarahnya adalah memerdekakan budak yang beriman. Adapun apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang memiliki ikatan perjanjian antara kamu dengan mereka (kafir mu’ahad), maka dia harus membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan budak yang beriman. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya, maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut supaya taubatnya diterima oleh Allah. Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 92)

Wallahu a’lam.

**

Penulis: Ust. Badrusalam, Lc.

Artikel: Muslim.or.id

Menengok Penjagaan Allah dalam Surat Al-Hijr

Allah Swt berfirman :

نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.al-Hijr:49)

Ayat ini adalah salah satu ayat didalam Surat Al-Hijr. Surat yang mulia ini terdiri dari 99 ayat yang dipenuhi tentang penjagaan, pengawasan dan kasih sayang Allah Swt kepada makhluk-Nya.

Inilah beberapa contoh penjagaan yang disebutkan didalam Surat Al-Hijr.

1.) Penjagaan terhadap Al-Qur’an.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS.al-Hijr:9)

2.) Penjagaan terhadap langit dari setan yang terkutuk dan menjadikan langit indah bagi yang memandangnya.

وَلَقَدْ جَعَلْنَا فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَزَيَّنَّاهَا لِلنَّاظِرِينَ- وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang(nya), dan Kami menjaganya dari tiap-tiap syaitan yang terkutuk. (QS.al-Hijr:16-17)

3.) Penjagaan terhadap bumi.

وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْزُونٍ

Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. (QS.al-Hijr:19)

4.) Penjagaan terhadap rezeki makhluk.

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ

Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu. (QS.al-Hijr:21)

5.) Ayat yang berikut ini adalah ayat yang akan membuat hati kaum mukminin bergetar. Yaitu ayat yang menyebutkan tentang penjagaan Allah kepada hamba-Nya yang mukmin.

Ketika Iblis bersumpah akan menyesatkan seluruh umat manusia, Allah Swt memberikan jaminan penjagaan kepada orang-orang yang beriman.

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat. (QS.al-Hijr:42)

Sungguh sebuah ayat yang memberikan kepada kita kebanggaan dan rasa aman ketika Allah menyebut kita sebagai “hamba-Ku” (عِبَادِي)

Bahkan Surga pun didalam surat ini juga disertakan penekanan tentang penjagaan Allah kepada hamba-Nya.

ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ

(Dikatakan kepada mereka): “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman” (QS.al-Hijr:46)

Lalu, apalagi yang membuatmu gelisah ketika engkau telah membaca Surat Al-Hijr?

Surat ini menyadarkan kita kembali bahwa segala sesuatu berada di bawah kendali Allah, Yang Maha Menjaga dan Maha Mengetahui.

Agamamu terjaga..
Al-Qur’anmu terjaga..
Rezekimu terjaga..
Langit dan bumi terjaga..

Maka sekarang, bagaimana cara kita menerapkan keyakinan dalam Surat Al-Hijr ini dalam kehidupan sehari-hari ? Apa yang harus kita lakukan ketika kita telah menyadari bahwa semua ini berada di bawah penjagaan Allah ?

1). Berbanggalah dengan agamamu dan Al-Qur’anmu. Dan jangan pernah terlepas dari Al-Qur’an !
Karena Al-Qur’an selalu terjaga, bila kita selalu bersama Al-Qur’an maka kita pun akan dijaga oleh Allah Swt.

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ

Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung. (QS.al-Hijr:87)

2.) Jangan silau dengan kenikmatan dunia yang sementara ini. Bersikaplah tawadhu dihadapan orang-orang mukmin. Karena terjaganya agamamu dan Al-Qur’anmu adalah sesuatu yang paling mahal dalam kehidupan ini.

لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ

Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (QS.al-Hijr:88)

3.) Teruslah berdakwah dan jangan takut dengan cacian para pencaci, karena Allah lah yang akan menjaga orang-orang yang menolong agama-Nya.

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (QS.al-Hijr:94)

4). Setelah engkau merasakan besarnya penjagaan Allah, maka istiqomahlah dalam beribadah dan berdzikir, dimanapun dan dalam kondisi apapun.

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ- فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ- وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS.al-Hijr:97-99)

Dan pada akhirnya, mantanpkan hatimu dan yakini bahwa :

Tiada penjaga kecuali hanya Allah semata.

Perbaiki dirimu dan ajaklah orang sekitarmu untuk mendekat kepada Allah, maka engkau akan selalu dibawah penjagaan-Nya.”

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Bagaimana Hukum Menolak vaksin Covid-19?

Berikut penjelasan hukum menolak vaksin dalam Islam.

Pandemi Covid-19 hingga kini masih melanda Indonesia. Jutaan orang terjangkit virus mematikan ini. Pun ribuan nyawa melayang akibat virus yang bermula dari Wuhan, China pada 2019 silam. Di tengah situasi ini, pemerintah meluncurkan program vaksinasi Covid-19. Vaksin Astrazeneca dan vaksin Sinovac merupakan vaksin yang disiapkan pemerintah untuk memutus mata rantai Covid-19.

Namun, di tengah program vaksinasi yang diluncurkan pemerintah, ada gerakan yang menolak vaksin Covid-19? Gerakan ini  datang pelbagai argumen. Ada yang menganggap ada efek samping yang berbahaya yang bisa ditimbulkan oleh vaksin Covid-19.  Ada pula yang menganggap vaksin berasal dari zat yang haram. Nah, dalam Islam bagaimana hukum menolak vaksin Covid-19?

Dalam Islam, tujuan pokok dari penerapan syariat adalah mewujudkan maslahah. Tujuan Syariat adalah demi kemanusiaan. Menurut Imam Al Ghazali, ada lima hal tujuan syariah. Dalam kitab Al-Mustashfa, Imam Ghazali berkata sebagai berikut:

ومقصود الشرع من الخلق خمسة: وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم، فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة، وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة، ودفعها مصلحة

Artinya; Tujuan syariat yang berlaku atas makhluk ini ada 5, yaitu menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan hartanya. Segala kebijakanyang berorientasi pada penjaminan terhadap kelima dasar pokok ini disebut juga sebagai maslahah. Sebaliknya, kebijakan yang meninggalkan kelima asas dasar ini, maka termasuk mafsadah. Oleh karena itu, menolaknya, adalah tindakan yang maslahah.

Menurut ajaran Islam, memelihara jiwa manusia adalah suatu kewajiban. Pun menjaga jiwa sejatinya tujuan mulia syariat Islam. Oleh karena itu, vaksinasi merupakan ikhtiar untuk mengakhiri pandemi. Pun vaksin Covid-19  merupakan ikhtiar pemerintah agar terhindar dari risiko terinfeksi virus, sekaligus memutus mata rantai Covid-19.

Vaksin merupakan “obat” untuk menyudahi pandemi yang telah membuat krisis ekonomi, sosial, dan politik. Akibat pandemi, jutaan nyawa melayang, jutaan manusia kehilangan pekerjaan. Nah, sejatinya vaksin Astrazenaca dan Sinovac obat dari pandemi ini.

Menurut pandangan fikih, berobat untuk mencapai kesembuhan dari penyakit merupakan perintah Rasulullah. Dalam kitab Zadul Ma’ad, karya Ibn Qayyim Al-Jauziah menyebutkan bahwa berobat adalah merupakan perintah Rasullulah. Ketika para sahabat dan keluarga beliau terkena penyakit, Nabi menyuruh mereka untuk segera berobat.

Ibn Qayyim Al Jauziah  dalam kitab Zadul Ma’ad , Jilid IV, halaman 9 berkata;

pada asalnya mubah.

فكان من هديه صلى الله عليه وآله وسلم فعل التداوي في نفسه، والأمر به لمن أصابه مرض من أهله وأصحابه

Artinya: Maka ada pun petunjuk dari Rasululah SAW, bahwa ia berobat ketika ia sakit, dan ia juga menyuruh orang yang sakit untuk berobat dari kalangan sahabt dan keluarganya.

Dalam kitab Mushannaf Ibn Abi Syaibah terdapat hadis yang memuat kisah para sahabat yang disuruh Rasulullah untuk berobat saat sakit. Rasulullah bersabda;

عن هلال بن يساف قال: جرح رجل على عهد رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، فقال: )ادْعُوا لَهُ الطَّبِيبَ(. فقال: يا رسول الله، هل يُغْنِي عنه الطبيب؟ قال: )نَعَمْ، إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَمْ يُنْزِلْ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ مَعَهُ شِفَاءً

Artinya; Ada satu kisah yang bersumber dari Hilal bin Yasaf. Ia berkata; Ada seorang lelaki yang terluka pada masa Rasulullah. Melihat lelaki itu terluka, Rasul berkata; “Panggilkan baginya dokter,” kata Rasul.

Lantas sahabat bertanya kepada Rasul; “Wahai Rasulullah, apakah perlu dipanggil dan dibawa ke tabib (dokter)? Nabi pun menjawab; “Iya, Allah Azza wa Jalla tidak akan menurunkan penyakit, melain sekaligus ia turunkan beserta penyakit itu obat,” begitu kata Nabi.

Dengan demikian seyogianya kita mendukung upaya vaksiniasi Covid-19. Bagaimana tidak? Dalam Islam mencegah mudharat yang lebih besar diutamakan. Di samping itu juga, Islam melarang seseorang untuk berbuat perbuatan yang berbahaya, dan jangan juga membahayakan orang lain.

Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad;

عَنْ أَبِـيْ سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْـخُدْرِيِّ  رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَار

Artinya: Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri Radhyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain”.

Pun dalam masalah vaksinasi ini,sejatinya kita mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan vaksinasi. Usaha ini untuk mengembalikan Indonesia kepada kehidupan normal, tanpa adanya bahaya virus yang mengintai.

Demikian penjelasan  hukum menolak vaksin Covid-19 dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kisah Saudagar China Masuk Islam

Sepintas, Suwardi seperti orang Jawa umumnya. Hanya kulitnya kelihatan putih. Tapi jika tahu nama aslinya,  mungkin orang akan terkejut. Lahir dan besar di Blora, Jawa Tengah, 50 tahun yang lalu. Orang tuanya memberi nama Oei Ping Djien. Ya, Suwandi memang keturunan China.

Seperti orang China kebanyakan, Oei Ping juga pintar berdadang. Ia sukses menjadi pedagang cabai dalam usia muda. Ia dikenal sabagai saudagar China. Selain berdagang cabai di berbagai kota,  ia juga menjadi salah satu pemasok pabrik mie terbesar di Indonesia.

Suwardi mengaku, sebagai pedagang ‘ideologinya’ cuma satu. “Mencari uang sebanyak-banyaknya,” katanya. Untuk itu, apapun dilakukan. Mulai dari berbohong, mengurangi timbangan dan sebagainya. Padahal tanpa disadari itu berarti ia telah menggali kuburannya sendiri. Benar saja. Tahun 1997, Allah Subhanahu Wata’ala menghukumnya.

Ia jatuh bangkrut. “Saya ditipu rekanan sampai  terbelit hutang 80 juta rupiah,” kata Suwardi kepada majalah Suara Hidayatullah  di rumahnya, Ponorogo, Jawa Timur, pada suatu kesempatan.

Hari-hari Suwardi kemudian menjadi penuh tekanan. Ia dikejar-kejar petani, rekanan dan bank. Apalagi kalau bukan menagih hutang. Suwardi mengalami stres berat. Larinya kemudian ke agama. Di sini ia mencari sandaran. Sandaran paling kuat adalah agama. Sempat mendalami Kristen, tapi kemudian ia menjatuhkan pilihannya pada Islam. Mengapa memilih Islam?

Cerita selengkapnya  ada di sini

HIDAYATULLAH

Puasa Sehat Ala Nabi Muhammad SAW

Nabi SAW menjadikan puasa Ramadhan sebagai amalan ibadah yang menyehatkan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menjadikan puasa sebagai salah satu cara menjaga kesehatan tubuh. KH Didin Hafidhuddin menyebutkan Rasulullah SAW dan para sahabat menjadikan momentum puasa Ramadhan sebagai amalan ibadah yang menyehatkan.

“Rasulullah dan para sahabat itu kalau puasa, ritme hidupnya teratur sekali. Ya makanannya, aktivitasnya, ibadahnya, itu teratur,” kata KH Didin saat dihubungi Republika.co.id.

Rasulullah SAW menjaga betul gaya hidupnya ketika berpuasa. Misalnya, saat berbuka puasa, Rasulullah terbiasa memakan dua sampai tujuh buah kurma. Setelah itu, Rasulullah melanjutkan aktivitas ibadah.

Kalau pun makan, beliau menjelaskan Rasulullah SAW beserta para sahabat selalu memakan makanan dengan porsi seadanya. Namun demikian, asupan gizi yang ada dalam sepiring makanan Rasulullah SAW selalu diperhatikan.

“Beda dengan kebanyakan dari kita, begitu buka puasa, semuanya dimakan. Rasul tidak begitu,” ujarnya.

Umat Islam Indonesia dinilai kerap menghabiskan momentum Ramadhan dengan hal-hal yang kurang berguna. Seperti menghabiskan waktu dengan kemubaziran makan dan minum, tidak menyibukkan diri di 10 malam terakhir Ramadhan, serta kurang menjaga ritme ibadah dan kesehatan.

Padahal jika mengacu pada teladan Rasulullah SAW, beliau tidak tergesa-gesa dalam beribadah dan melakukan amalan secara teratur dan disiplin. Menurut Kiai Didin, kondisi pandemi Covid-19 yang mengharuskan masyarakat beraktivitas dan berpuasa dari rumah bisa dijadikan momentum penguatan fisik dan rohani.

“Salah satu hikmah adanya Covid-19 ini, kita (seperti) disuruh mempersiapkan doa. Rohani serta jasmani kita terisi dengan seimbang,” ujarnya.

Kiai Didin mengatakan apabila seseorang melakukan puasa dengan baik dan teratur sebagaimana yang dicontohkan Nabi, puasa justru dapat menjadi penguat tubuh, kesehatan jasmani dan rohani.

“Rasulullah bilang, shumu tashihu (puasa itu menyehatkan),” ujarnya.

(Artikel ini merupakan posting ulang dari artikel Republika.co.id yang diunggah pada 13 Mei 2020)

KHAZANAH REPUBLIKA

Makna Wasiat Rasulullah SAW untuk Ibnu Abbas Soal Takdir

Rasulullah SAW beberapa kali pernah menyampaikan wasiat kepada Ibnu Abbas RA. 

Wasiat-wasiat itu sangat beragam. Dalam hadits Ibnu Abbas riwayat Tirmidzi, Rasulullah bersabda: 

. واعلم أن الأُمة لو اجتمعت على أَن ينفعـوك بشيء، لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، وإن اجتمعوا على أن يضروك بشيء، لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك، رفعت الأقلام وجفت الصحف

“…Ketahuilah, kalau seandainya umat manusia bersatu untuk memberikan kemanfaatan kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tentukan untukmu.  

Dan kalau seandainya mereka bersatu untuk menimpakan bahaya kepadamu dengan sesuatu, niscaya tidak akan membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan akan menimpamu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

Hadits tersebut menunjukkan, Allah SWT telah menetapkan takdir para hamba-Nya sebelum menciptakan mereka selama ribuan tahun. Hal ini juga sebagaimana hadits Muslim dari jalur Abdullah bin Umar:

إن الله كتب مقادير الخلائق قبل أن يخلق السموات والأرض بخمسين ألف سنة “Sesungguhnya Allah SWT telah menuliskan ketetapan ciptaan-Nya 50 ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.”

Karena itu, segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini telah ditetapkan Allah SWT. Pena diperintahkan Allah SWT untuk menulis ketetapan-Nya di Lauhul Mahfudz. Inilah penciptaan dengan kekuatan dan kehendak Allah SWT yang tidak bisa ditandingi makhluk-Nya. Allah SWT berfirman: 

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS At-Takwir: 29). Allah SWT juga berfirman: 

وَمَا يَذْكُرُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ هُوَ أَهْلُ التَّقْوَىٰ وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ “Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS Al Mudatsir: 56)

Ayat-ayat Alquran itu menandakan, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dan segala sesuatu yang memengaruhi penciptaan-Nya telah ditulis. 

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS Al Hadid: 22)

Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ubadah bin al-Tsamit, bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

اكتُبْ مقاديرَ كلِّ شيءٍ حتى تقومَ الساعةُ “Tulislah ketetapan-ketetapan atas segala sesuatu sampai waktunya tiba.” (HR Abu Dawud dalam kitab Shahihnya). Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda: 

إن لكل شيء حقيقة، وما بلغ عبد حقيقة الإيمان حتى يعلم أن ما أصابه لم يكلن ليخطئه وما أخطأه لم يكن ليصيبه

“Segala sesuatu itu ada hakikatnya. Seorang hamba tidak akan sampai kepada hakikat iman sampai ia meyakini bahwa apapun yang (ditakdirkan) menimpanya, tidak akan meleset darinya. Dan apapun yang (ditakdirkan) tidak menimpanya maka tak akan menimpanya.” (HR Muslim dari Abu Darda)

Hadits-hadits tersebut menunjukkan, seberapa kerasnya seorang hamba menghindar dari sesuatu, atau berusaha mencapai sesuatu, itu tidak akan terjadi bila Allah SWT tidak menetapkannya demikian. Jika Allah SWT menghendaki sesuatu terhadap diri seorang hamba, maka terjadilah.

Sumber: islamweb 

KHAZANAH REPUBLIKA

Benarkah Pakai Jam di Tangan Kiri Serupai Kafir?

RASULULLAH shallallahu ‘alaihi wasallam memang melarang umatnya dari menyerupai orang kafir. Untuk itu beliau bersabda: Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum itu.” (HR Abu Daud dan Ibnu Hibbab menshahihkannya). Sedemikian pentingnya masalah ini sehingga sampai nabi mengancam bahwa orang yang secara sengaja meniru gaya orang kafir, divonis bahwa dirinya telah menjadi pengikut mereka.

Hanya saja yang jadi pertanyaannya sekarang adalah: manakah yang termasuk kriteria tasyabbuh (menyerupai) orang kafir? Apakah bila orang kafir di barat makan roti, lalu kita dianggap menyerupai mereka karena kita ikut makan roti jua? Padahal bukankah justru nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu tidak makan nasi tapi malah makan roti? Apakah bila orang kafir pakai celana panjang dan kemeja, lalu kita dianggap mengikuti orang kafir gara-gara pakai celana panjang dan kemeja?

Untuk menjawab masalah ini, paling tidak ada dua parameter yang perlu diperhatikan:
a. Parameter pertama, masalah niat. Bila seseorang melakukan sesuatu dengan niat semata-mata meniru gaya dan lagak orang kafir, maka perbuatan itu terlarang dan termasuk ke dalam kriteria meniru orang kafir.
b. Parameter kedua, masalah bentuk teknisnya. Yang dikatakan tindakan meniru atau menyerupai orang kafir adalah bila suatu perbuatan itu merupakan ciri khas milik suatu agama tertentu. Bukan budaya yang bersifat umum dan dilakukan oleh banyak bangsa di dunia ini.

Misalnya tanda salib, hiasan pohon natal dan penggunaan lonceng di rumah ibadah yang merupakan ciri khas kaum nasrani. Ini merupakan ciri khas agama itu dan kalau ada umat Islam secara sengaja meniru-niru hal-hal seperti ini, termasuk ke dalam orang yang diancam di hadits tadi. Demikian juga bila kita mengenakan logo bintang David yang merupakan ciri khas kaum yahudi. Atau membakar pedupaan atau shio yang dibakar khusus untuk penyembahan kalangan konghuchu atau Budha, semua termasuk sesuatu yang menjadi ciri khas satu kaum atau agama tertentu.

Lalu bagaimanakah dengan menggunduli kepala, apakah bisa termasuk kategori menyerupai para pendeta Budha (shaolin)? Jawabnya tergantung niatnya. Sebab di dalam syariat Islam, juga ada perintah atau anjuran untuk menggunduli kepala, yaitu saat selesai dari ibadah haji/umrah. Maka menggundulkan kepala berarti bukan ciri khas suatu agama saja. Dalam hal ini, parameter yang pertama yang menentukan, yaitu apakah seseorang berniat meniru gaya para shaolin itu atau tidak?

Maka jawaban atas masalah jam tangan yang dikenakan di tangan kiri, apakah benar hal itu merupakan ciri khas pemeluk agama tertentu? Ataukah hanya sekedar asumsi berlebihan saja? Kalau memang benar merupakan ‘hak milik’ yang merupakan ciri khas agama tertentu, tentu harus ada pembuktiannya, baik lewat literatur maupun lewat pengakuan para pemuka agama yang bersangkutan. Tapi kalau kita pertimbangkan secara sederhana, rasanya kok tidak ada kaitannya. Tapi silahkan saja dilakukan penelitian lebih mendalam dan buktikan bahwa pakai jam tangan di kiri itu merupakan ciri khas suatu agama tertentu. Tapi sebelum agar pembuktian yang pasti dan valid, kita belum boleh mengeluarkan vonis tertentu, apalagi mengharamkannya.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

INILAH MOZAIK