Boleh Membunuh Hewan yang Mengganggu Atau Membahayakan

Tidak ragu lagi bahwa Islam mengajarkan berbuat ihsan dan kasing sayang kepada semua makhluk. Bahkan berbuat baik kepada sesama makhluk hidup, akan menuai pahala dari Allah Ta’ala.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

في كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أجْرٌ

“Dalam setiap perbuatan baik terhadap makhluk yang bernyawa ada pahalanya“ (HR. Bukhari no.2234, Muslim no. 2244).

Termasuk berbuat ihsan dan kasih sayang kepada binatang, juga merupakan akhlak mulia dan diganjar pahala. Dari Syaddad bin Aus radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإحْسَانَ علَى كُلِّ شيءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فأحْسِنُوا القِتْلَةَ، وإذَا ذَبَحْتُمْ فأحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah ta’ala akan mengganjar semua perbuatan baik terhadap segala sesuatu. Maka jika kalian membunuh (dalam perang), maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih hewan, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Diantaranya, tajamkanlah pisau kalian, dan buatlah hewan sembelihan tersebut tenang” (HR. Muslim no.1955).

Namun, jika ada binatang yang mengganggu kita atau bahkan membahayakan diri kita, maka boleh menyingkirkannya dan boleh membunuhnya jika diperlukan. Penjagaan diri manusia dan kemaslahatan manusia lebih diutamakan dan didahulukan daripada kasih sayang kepada binatang.

Oleh karena itu, para fuqaha memiliki kaidah,

كل مؤذي من الحيوانات والحشرات أنه يُقتل أو يُتخلص منه

“Setiap binatang yang mengganggu itu boleh dibunuh dan disingkirkan.“

Karena hewan-hewan di muka bumi, Allah ciptakan untuk kemaslahatan manusia. Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً

“Dan telah Kami muliakan manusia, dan Kami jadikan bagi mereka  dan kami beri rezeki kepada mereka berbagai macam kebaikan yang ada di darat dan di laut. Dan sungguh kami karuniakan mereka melebihi makhluk-makhluk lain yang Kami ciptakan” (QS. Al Isra’: 70).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ

“Dan binatang-binatang ternak, Kami ciptakan bagi kalian. Di dalamnya ada. Dari binatang ternak tersebut kalian mendapatkan pakaian dan olahan pangan, serta manfaat-manfaat lainnya yang kalian makan” (QS. An Nahl: 5).

Oleh karena itu hewan ternak, ikan-ikanan, binatang buruan, Allah bolehkan untuk dibunuh dan diburu. Semua itu untuk kemaslahatan manusia.

Maka demikian juga, binatang-binatang lain yang tidak biasa dimakan dan tidak biasa diburu, juga Allah ciptakan untuk kemaslahatan manusia. Ketika justru menimbulkan gangguan atau bahaya, boleh juga untuk disingkirkan atau dibunuh.

Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Imam hafizhahullah ketika ditanya tentang membunuh semut yang mengganggu, beliau menjelaskan:

“Boleh memberi racun kepada semut-semut tersebut, kemudian singkirkan mereka. Ada kaidah di antara para ulama fiqih: “Setiap binatang yang menganggu itu dibunuh dan disingkirkan“

Jadi ini boleh. Dan terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa ada seorang Nabi yang digigit semut. Lalu ia memerintahkan orang untuk membakar sarang semut. Maka Allah pun mewahyukan kepadanya:

هلا نملة واحدة، فإنك قد أحرقت أمة تسبح لله

“Mengapa tidak satu semut saja (yang kau bunuh)? Karena sebenarnya engkau telah membakar kaum yang bertasbih kepada Allah” (HR. Al Bukhari no. 3019).

Maksud hadits ini, cukup satu semut yang mengganggu saja yang dibunuh. Sehingga ini menunjukkan bahwa Allah mengizinkan Nabi tersebut untuk membunuh semut yang menggigitnya” (Mauqi’ Syaikh Al Imam, fatwa no. 783).

Namun jika bisa menyingkirkan hewan yang mengganggu tanpa membunuhnya, itu lebih utama. Karena ini menggabungkan antara sikap lemah lembut dan menghilangkan gangguan.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga mengatakan: “Tidak mengapa membunuh rubah (fox) atau monyet jika mengganggu. Sebagaimana dalam hadits, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خمسٌ فواسقٌ يُقتلْنَ في الحلِّ والحرمِ : الحيةُ ، والغرابُ الأبقعُ ، والفارةُ ، والكلبُ العقورُ ، والحُدَيَّا

“Ada lima hewan fasiq yang boleh dibunuh di luar tanah haram maupun di dalamnya: ular, gagak, tikus, anjing hitam, dan burung buas” (HR. Muslim no. 1198).

Dalam riwayat lain disebutkan juga: “.. ular dan binatang buas”. Maka semua hewan ini boleh dibunuh. Maka jika datang monyet atau kucing yang mengganggu, boleh dibunuh. Jika memang tidak ada cara lain yang mudah dilakukan untuk menghilangkan gangguan, selain dengan membunuhnya. Namun jika sekedar takut sedikit saja, maka tidak perlu membunuhnya” (Mauqi’ Syaikh Ibnu Baz, fatwa no. 17264).

Adapun hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma, bahwa beliau berkata:

إنَّ النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن قتل أربع من الدواب ؛ النملة ، والنحلة ، والهدهد ، والصرد

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang empat binatang melata: semut, lebah, burung hud-hud, dan burung shurad” (HR. Abu Daud no. 5267, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Maka ini menunjukkan asalnya terlarangnya membunuh binatang-binatang di atas, kecuali mengganggu atau membahayakan, maka boleh menyingkirkannya atau membunuhnya. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdillah Az Zamil menjelaskan: “maka tidak boleh membunuh semut, kecuali jika semut itu mengganggu. Sebagaimana dalam hadits yang terdapat dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu:

ذلك النبي الذي جاء إلى شجرة فقرصته نملة فأحرق قرية من النمل فقال الله: فهلا من نملة واحدة

“Bahwa ada seorang Nabi yang mendatangi sebuah pohon, kemudian ia digigit oleh semut di pohon tersebut. Maka ia membakar semut yang ada di sana. Maka Allah berfirman: Mengapa tidak satu semut saja (yang kau bunuh)?”

Dalam riwayat lain,

أن قرصتك نملة أحرقت قرية تسبح الله فهلا نملة واحدة

“Karena satu semut yang menggigitmu, kemudian engkau membakar kaum yang bertasbih kepada Allah? Mengapa tidak satu semut saja (yang kau bunuh)?” (HR. Bukhari no. 3319, Muslim no.2241).

Maka jika semut itu mengganggu, tidak mengapa membunuhnya karena adanya gangguan tersebut. Karena ia sebagaimana orang yang menyerang. Setiap hewan yang menyerang manusia, bahkan jika ada manusia yang menyerang manusia yang lain, maka boleh diperangi dan boleh dibunuh. Maksudnya, diusahakan untuk dicegah dengan cara yang paling ringan terlebih dahulu. Jika gangguannya tidak berhenti maka boleh membunuhnya” (Syarah Bulughul Maram bab ke-7, hadits nomor 1338, dinukil dari web taimiah.net).

Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Outlook Haji-Umroh 2021 dan Ancaman Mutasi Virus Covid-19

Di penghujung akhir tahun 2020 Arab Saudi kembali menutup penerbangan internasional dari dan ke Arab Saudi setelah munculnya temuan mutasi virus Covid-19 di wilayah Eropa. Kebijakan ini dalam rangka melindungi kesehatan warga Saudi dan jamaah umroh pada umumnya.

Hal ini otomatis menjadikan akses jamaah umroh dari luar Arab Saudi kembali tertutup. Lalu, bagaimana proyeksi pemberangkatan umroh dan haji tahun 2021?

Kesuksesan penyelenggaran haji dan umroh Arab Saudi pada 2020 cukup membuat optimistis umroh bakal tetap berjalan 2021 dengan sejumlah skenario. Awal tahun 2021, jika mengikuti skenario tahapan pembukaan umroh dari Arab Saudi maka Masjidil Haram diharapkan dapat menampung 100 persen sesuai hitungan protokol tindakan pencegahan, yaitu 20 ribu jamaah umroh per hari dan 60 ribu jamaah sholat per hari.

Pada skenario tahap ketiga, Arab Saudi mengizinkan ibadah umroh dan sholat bagi warga Saudi, mukimin, dan warga dari luar kerajaan sejak 1 November 2020. Penerapan aturan bagi calon jamaah umroh dari luar Kerajaan Arab Saudi sesuai dengan skenario tahapan pembukaan umroh yang telah disusun jauh-jauh hari.

Ada tiga tahap yang direncanakan. Pertama, mengizinkan warga negara Saudi dan ekspatriat yang tinggal di sana (mukimin) untuk menunaikan ibadah umroh mulai 4 Oktober 2020 M. Kedua, mengizinkan ibadah umroh dan sholat di Masjidil Haram bagi warga negara Saudi dan mukimin mulai 18 Oktober 2020 M.

Skenario ini sebenarnya sudah berjalan mulus, namun Arab Saudi perlu sejenak membaca kembali situasi setelah munculnya temuan mutasi virus Covid-19 di wilayah Eropa. Baru kemudian membuka kembali akses umroh bagi jamaah asing, termasuk jamaah umroh dari Tanah Air.

Di sisi lain, Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR telah memetakan mitigasi penyelenggaraan haji Tahun 2021 seiring masih berlangsungnya pandemi Covid-19. Waktu terus berjalan sehingga berbagai potensi masalah dipetakan dan disiapkan skema mitigasinya.

Kemenag-DPR memetakan, masalah penyelenggaraan haji, antara lain, terkait tiga skema penyelenggaraan ibadah haji, kuota normal, pembatasan kuota, dan pembatalan keberangkatan dan dampak yang ditimbulkannya. Dampak tersebut, terutama terkait layanan akomodasi, transportasi, konsumsi dan juga kesehatan, termasuk juga kemungkinan dampak pada Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih).

Berdasarkan sejumlah catatan pengiriman jamaah umroh ke Tanah Suci, Kemenag juga melakukan sejumlah evaluasi atas penyelenggaraan ibadah umroh pada masa pandemi. Pertama, Kemenag menilai, perlu dilakukan karantina jamaah sebelum saat keberangkatan, minimal tiga hari.

Karantina ini dilakukan guna memastikan proses tes PCR/SWAB dilakukan dengan benar dan tidak mepet waktu keberangkatan. Karantina juga dinilai dapat menghindari risiko adanya pemalsuan data status Jamaah. Kedua, Kemenag menyebut penting melakukan verifikasi dan validasi dokumen hasil SWAB/PCR.

Proses ini bisa dilakukan oleh petugas Kementerian Kesehatan RI, sesuai protokol kesehatan untuk pelaku perjalanan dari luar negeri. Evaluasi ketiga, jamaah harus melaksanakan disiplin ketat terkait penerapan protokol kesehatan selama masa karantina. Penerapan protokol dilakukan baik di Tanah Air maupun di hotel tempat jamaah menginap di Saudi.

Skenario perjalanan umroh tahun 2021 juga akan ditunjang dengan hadirnya vaksin Covid-19. Sehingga dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat dan ditunjang oleh vaksin Covid-19 diharapkan penyelenggaran ibadah umroh 2021 berjalan lancar.

Kesuksesan penyelenggaran umroh menjadi kunci dibukanya penyelenggaraan ibadah haji 2021 bagi jamaah asing. Selama proses menuju ke sana, Arab Saudi yang sudah pengalaman dengan penyelenggaraan umroh dan haji tahun 2020 pada masa pandemi, kemungkinan bakal lebih fleksibel menerapkan buka tutup penerbangan internasional atau mengaturan pembagian visa jamaah umroh, sesuai dengan ambang batas ancaman penularan Covid-19 yang masih menghantui.

Oleh: Muhammad Fakhruddin, Jurnalis Republik

KHAZANAH REPUBLIKA

Dalam Mimpi Sayyid Muhammad al-Maliki, Rasulullah Bilang Cinta Orang Indonesia

Abuya Sayyid Muhammad bin Sayyid Alawi al-Maliki al-Hasani salah satu ulama besar dari kalangan Ahlusunnah Wal Jamaah abad ke 21. Beliau lahir di kota Makkah pada tahun 1365 H/ 1945 M. Pendidikan pertama beliau ditempuh di Madrasah al-Falah Makkah, tempat ayah beliau bertugas sebagai pengajar. Setelah ayah beliau wafat pada tahun 1971 M, beliau langsung didaulat untuk meneruskan syiar dakwah dan majlis taklim yang telah dirintis oleh sang ayah.

Setahun sebelum ayah beliau wafat tepatnya pada tahun 1970, beliau berhasil meraih gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar as-Syarif sekaligus di tahun yang sama beliau juga diangkat menjadi dosen di dua perguruan tinggi ilmu Hadis dan Ushuluddin yakni Universitas Ummul Qura Makkah dan Universitas King Abdul Aziz. Selain itu beliau juga rutin mengisi pengajian di Masjidil Haram. Setelah cukup lama menjadi dosen di dua universitas di atas, beliau memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan lebih memilih untuk fokus mendirikan majelis taklim di kedimiannya sendiri.

Sebagai seorang ulama selain bertugas mengajar di berbagai majelis keilmuan, Sayyid Muhammad juga produktif dalam menulis beberapa kitab. Karya beliau sendiri hingga kini kurang lebih sekitar 100 kitab antara lain. Manhaj as-Salaf, Qawaidul Asasiyah, , Syarah Mandumatil Waraqat, al-Mukhtar, Mafahim Yajibu An-TusahhaAbwabul Farhi, Syawariq al-Anwar, dst. Bahkan, karya beliau sekarang banyak yang telah diterjemahkan ke bahasa lain seperti prancis, inggris dan indonesia.

Konon Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki sangat mencintai orang-orang Indonesia karena beliau pernah mimpi bertemu dengan Rasulullah dan menyatakan bahwa Rasulullah sangat mencintai orang Indonesia.

Suatu waktu Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki bersama rombongan ulama lainnya pergi berziarah ke Makam Nabi Muhammad Saw di Madinah. Tiba-tiba beliau mengalami semacam kondisi tidak biasa pada masyarakat umumnya, atau lebih tepatnya beliau sedang kasyaf (tersingkapnya hijab). Dalam peristiwa itu, Sayyid Muhammad bertemu dengan Rasulullah dan bejibun orang di belakangnya.

Ketika ditanya oleh Sayyid Muhammad bin Alawi “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang yang berkerumun di belakang itu?”

Rasulullah menjawab, “Mereka adalah umat yang sangat mencintaiku dan aku juga sangat mencintai mereka”

“Darimana mereka berasal, wahai Rasulullah?” sergah Sayyid al-Maliki

“Indonesia” pungkas Rasulullah

Akhirnya, Sayyid Muhammad al-Maliki terharu dan langsung bergegas bertanya “Adakah orang-orang Indonesia, aku sangat mencintai orang Indonesia

Sebagai bukti kecintaan beliau adalah dengan mendirikan pondok khusus untuk santri-santri berasal dari Indonesia. Selain itu, perlakuan Sayyid Muhammad al-Maliki terhadap masyarakat ataupun ulama Indonesia yang menyempatkan bertamu ke kediamannya, bahkan beliau sering memberikan buah tangan untuk hadiah pulang. Selama hidupnya beliau menjadi ulama timur-tengah yang sering berkunjung ke Indonesia.

Kisah ini sangat masyhur dikalangan pesantren. Tapi, apakah alasan Nabi Muhammad sangat cinta orang-orang Indonesia? Setidaknya ekspresi keberagamaan kita bisa menjadi jawabannya. Di negeri ini, semua orang bebas berekspresi sesuai keahlian dan kecenderungan masing-masing untuk mewujudkan rasa cintanya. Hematnya, semua orang di Indonesia berhak mencintai dan mengenal sosok Nabi Muhammad Saw, tanpa membeda-bedakan kelas sosial, ketakwaan dan gender.

Terakhir, sebelum wafat beliau mengundang seorang habib dari Indonesia untuk menemaninya sampai beliau tutup usia. Sayyid Muhammad al-Maliki wafat pada hari jumat tanggal 15 ramadhan 1425 H/ 30 Oktober 2004 M dan dimakamkan di al-Ma’la di samping makam Sayyidatina Khadijah binti Khuwailid. Lahu al-Fatihah

BINCANG SYARIAH

Kisah Syeikh Abdul Qadir Jailani Enggan Mengucapkan Kafir

Pemilik gelar Sulthanu Auliyaillah (rajanya para waliyullah), Syaikh Abdul Qadir Jailani menembus batas dinding yang kasat mata dalam melihat manusia. Tak melulu soal bergaul dengan orang yang seagama, Syaikh Abdul Qadir pun bergaul dengan mereka yang beda agama. Ini bisa ditelisik dari pesannya yang tertulis dalam kitab Nashaihul Ibad h. 12,

اذا لقيت ادا من الناس وإن كان كافرا قلت لا أدري عسى أن  اسلم فيختم له بخير العمل وعسى أن اكفر فيختم لي بسوء العمل

Jika engkau berjumpa dengan manusia dan dia nonmuslim alias kafir maka katakanlah, aku tidak tahu. Bisa jadi ia kelak akan memeluk Islam dan berakhir dengan amal baik (husnul khatimah) dan bisa jadi aku kelak menjadi kafir kemudian berakhir dengan amal yang buruk (suul khatimah).

Membaca pesan ini, kita bisa mengetahui bahwa Syaikh Abdul Qadir enggan untuk nyebut-nyebut orang beda agama itu kafir. Minimal ia mengajarkan kita untuk mengatakan, aku tidak tahu. Contoh yang sangat beradab, melihat pada diri sebelum menjustifikasi orang lain. Siapa yang bisa menjamin keimanan seseorang hingga akhir hayatnya? Manusia sesalih Nabi Ya’kub saja masih khawatir terhadap sesembahan keturunannya. Peristiwa ini terekam dalam Al-Quran, Surah al-Baqarah ayat 133;

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”

Lalu bagaimana dengan kita? Nabi bukan! Waliyullah bukan! Dan yang pasti tidak mampu menjamin keislaman diri sendiri hingga akhir hayat, perlukah melontarkan ungkapan kafir? Sebagaimana pesan Abdul Qadir Jailani, sebab, bisa jadi dia mendapat hidayah hingga menjadi orang yang husnul khatimah. Sebaliknya, kita belum tentu akan berakhir dengan husnul khatimah. Tapi kita berdoa, semoga kita menjadi manusia yang baik sedari awal hingga akhir.

Atas dasar ketidak-pastian ini, maka dari pada nyebut-nyebut orang yang beda agama kafir sebaiknya diurungkan saja. Alangkah bijak jika melihat orang yang beda agama dengan diganti dengan doa. Siapa tahu dengan doa yang dipanjatkan Allah memberi hidayah hingga satu persatu -atau mungkin anak cucu mereka- bisa seagama dengan kita. Bukankah Nabi Muhammad pernah mempraktikkan contoh bijak ini?

Pernah suatu ketika Rasulullah berdakwah pada penduduk Thaif yang masyarakatnya notabene nonmuslim. Dakwah Rasulullah ditolak. Lebih dari itu, Rasulullah disakiti dan konon hingga dilempar dengan batu dan kotoran. Adakah Rasul menyebut mereka dengan, “Kalian penduduk Thaif kafir!”  Tidak! Justru Paling agungnya manusia yakni, Rasulullah malah mendoakan mereka, Allahumma ihdi qaumi fainnahum la ya’lamun (Ya Allah berilah hidayah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui).

Dari hal-hal sederhana ini, Islam akan semakin terasa ke-rahmatan lil’alamain-annya. Sebab Islam adalah agama yang mengajarkan tutur kata yang indah didengar, sejuk di telinga, dan membekas di relung jiwa. Maka kalau ada kata yang lebih elok didengar dan sebagian kita masih bersikeras meneriakkan “kafir, kafir, dan kafir,” apakah ini tidak berarti bahwa kita sendiri telah mengangkangi ke-rahmatan lil’alamin-an Islam?

Didukung dengan kegemaran sebagian masyarakat Indonesia, yang ketika melihat orang yang beda pilihan politik saja, pekik kafir sudah terlontar liar kemana-mana. Bahkan kadang, tokoh masyarakat kena getahnya. Kondisi ini akan berpotensi besar mengancam saudara seagama pecah oleh karena gampangnya saudara yang lain melontarkan kata kafir.

Atas dasar kecintaan kita pada agama, bangsa, dan negara masihkah kita tidak mau move on dari kata “kafir”? Saatnya, meresapi dalam-dalam pesan sulthanu auliyaillah tersebut di atas.

BINCANG SYARIAH

Biografi Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi: Imam Masjidil Haram dari Nusantara

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ulama Nusantara yang pernah mengajar di Masjidil Haram, dilahirkan pada hari Senin, 6 Dzulhijjah 1276 H/1860 M di Koto Tuo Balai Gurah, Kecamatan IV Angkek Candung, Bukittinggi. Syekh Ahmad Khatib ini merupakan putra dari Buya Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz Al-Khatib Al-Jawi, seorang Ulama’ yang tidak diragukan keilmuannya pada zamannya. Sedangkan ibunya bernama Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak yang bersaudara dengan H. Thaher Jalaluddin, seorang ulama ahli ilmu falak yang masyhur di Malaysia.

Belajar di Sekolah Belanda

Ahmad Khatib belia tumbuh bersama empat saudaranya diantaranya H. Mahmud, Hj. Aisyah, Hj. Hafsah, dan Hj. Safiah. Ahmad Khatib secara bersamaan menempuh pendidikan formal di sekolah Belanda dan informal dengan belajar agama langsung kepada ayahnya. Seperti ditulis Eka Putra Wirman dalam Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi: Icon Tholabul Ilmi Minangkabau Masa Lalu untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depanpendidikan formalnya ditempuh di Kweekschool Fort de Kock (Sekolah Raja), sekolah yang dirancang untuk mendidik calon-calon guru yang akan ditempatkan di daerah-daerah Hindia Belanda. Sementara pendidikan formal Ahmad Khatib dilakukan di hadapan ayahandanya sendiri dengan mempelajari dasar-dasar islam dan membaca Al-Quran hingga beliau bisa menghafalkan beberapa juz.

Seperti dikutip dari Ahmad Fauzi Ilyas dalam Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies, ketika usia Syekh Ahmad Khatib 11 tahun, beliau bersama ayahnya melakukan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun setelah selesai berhaji,  Syekh Ahmad Khatib memutuskan untuk menetap di sana sedangkan ayahnya langsung kembali ke tanah air. Setelah tinggal di Mekkah, ia sempat pulang sesaat memenuhi panggilan ibunya lalu kembali lagi ke Mekkah dan menetap selama 5 tahun.

Diberi Gelar Syekh Di Usia Muda

Selama di Mekkah, ia belajar (talaqqi) kepada beberapa Ulama besar di Mekkah diantaranya Sayyid Ahmad Zaini al-Dahlan, Syekh Abu Bakar Syatha’ dan Syekh Yahya al-Qabli. Berkat ketekunan dan kealiman beliau, ia mendapatkan gelar syekh dan menjadi imam besar Masjidil Haram yang bermazhab Syafi’i.

Diberikannya gelar Syekh pada Ahmad Khatib ini dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, pengangkatan tersebut berdasarkan usulan mertua beliau, Syekh Saleh Kurdi. Ini didasari kekaguman Syekh Saleh terhadap kerajinan dan kedalaman ilmu menantunya itu yang mensunting anak pertamanya Khadijah. Namun selang beberapa hari, Khadijah meninggal dunia dan Syekh Ahmad Khatib dinikahkan kembali dengan anak kedua Syekh Saleh bernama Fatimah. Dari pernikahan dengan anak kedua Syekh Saleh, Syekh Ahmad Khatib dikaruniai 3 orang anak yakni Abdul Malik, Abdul Hamid, dan Khadijah.

Kedua, kepiawaian beliau dalam penyampaian ilmunya saat mengajar di sana, dan keberanian beliau membenarkan bacaan Imam yang salah ketika jamaah shalat maghrib yang pada saat itu sedang diimami oleh Syarif Husein.

Ia memang dikenal memiliki kedalaman ilmu yang tidak hanya sebatas ilmu syariat agama seperti fikih, melainkan juga mahir dalam bidang falak dan hisab, tasawuf, hingga Mawarits.

Kelapangannya dalam memahami ilmu ini menurut Syekh Ahmad Khatib, merupakan berkah mimpi bertemu Nabi Saw. Dalam buku beliau al-Ayāt al-Bayyināt li al-Munshifīn fī Izālah Khurafāt Ba’dh al-Muta’asshibīn, beliau mengutarakan pernah bermimpi bertemu dengan Rosulullah SAW yang memerintahkan beliau untuk membuka mulutnya dan kemudian Rasul meludah ke dalam mulut beliau. Menurut beliau, mimpi tersebut menjadi isyarat yang melatarbelakangi lebih cepat dan mudahnya pemahaman terhadap buku atau kitab-kitab agama.

Murid-Murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi

Diantara murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi banyak menjadi ulama yang dikenal luas di Indonesia dan wilayah-wilayah di Asia Tenggara. Diantaranya adalah:

  1. Syekh Muhammad Khatib ‘Ali Padang, tokoh pembela tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah dengan menerbitkan majalah Soeloeh Melajoe (Suluh Melayu)
  2. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Canduang, pendiri organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
  3. Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas
  4. Syekh Muhammad Jamil Jaho
  5. Hadhratu as-Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdatul Ulama yang berguru kepada beliau tahun 1893-1900,
  6. K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah),
  7. Syekh Hasan Maksum (Mufti Kerajaan Deli),
  8. Syekh Musthafa Husein (Pendiri Pesantren Purba Baru),
  9. K.H. Wahab Hasbullah,
  10. K.H. Bisri Syansuri.
Fatwa-Fatwa Syekh Ahmad Khatib

Fatwa-fatwa beliaupun dijadikan rujukan agama oleh para Raja di semenanjung Malaya (Malaysia dan Singapura). Pemerintah Turki memberikan gelar “Bey Tunis” (semacam Doktor Honoris Causa) yang umumnya hanya diberikan untuk orang yang berjasa besar dalam Ilmu Pengetahuan. Seperti yang disebutkan oleh Burhanuddin Daya dalam bukunya Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, pemikiran Syekh Ahmad Khatib cenderung keras dan teguh pendirian dalam beberapa hal terkait agama, namun beliau sama sekali tidak menanamkan atau mengharuskan taklid kepada murid-muridnya. Ia membolehkan murid-muridnya memilih untuk berijtihad, mempunyai kebebasan berfikir dan meneruskan perjuangan pembaharuan dalam pemikiran islam atau menentangnya.

Martin Van Bruinessen mengistilahkan Syekh Ahmad Khatib sebagai Bapak Reformis Islam Indonesia, yang berani mengkritik, menentang dan membangun polemik sebagai upaya membuka cakrawala masyarakat terutama para muridnya untuk berfikir kritis juga menghargai perbedaan pendapat. Seperti gagasannya yang menentang adanya ajaran Tarekat Naqsabandiyah yang Ketika itu berkembang di Minangkabau karena dianggap mengotori kemurnian Islam dalam hal fikih dan hukum Islam.

Setiap fatwa dan respon beliau terhadap polemik yang ada tersebut, selalu beliau tuangkan dalam bentuk tulisan. Sebagaimana syair yang selalu beliau pegang: Ilmu adalah binatang buruan, sedangkan menulis adalah tali ikatannya.”

Dalam otobiografinya, beliau menyatakan telah menulis 47 karya dalam 2 bahasa yakni Arab dan Jawi, sebanyak 23 telah dicetak dan 24 masih berupa manuskrip. Berikut beberapa karyanya,

  1. ad-Dā’ī al-Masmū’ fii ar-Radd ‘ala Man al-Ikhwah wa Aulad al-Akhwat ma’a Wujūd al-Ushūl wa al-Furū’ dalam bahasa Arab. Kitab ini membantah adat hak waris yang berlaku di Minangkabau, yang diwariskan kepada saudara atau keponakan seseorang dengan mengabaikan anak dan orang tuanya. Kitab ini menuai penolakan serta kritikan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat setempat.
  2. al-Riyadh al-Wardiyah fi al-Ushul al-Tauhidiyyah wa al-Furu’ al-Fiqhiyyah dalam bahasa melayu (dengan huruf Arab Jawi) yang menampung perihal fikih ibadah.
  3. Fath al-Mubin Liman Salaka Thariqal-Washilin dalam bahasa jawi yang merupakan bantahan terhadap salah satu praktik dalam tradisi tarekat Naqsyabandiyah yaitu praktik “Rabithah” yang dianggap menyimpang oleh beliau.

Dan masih banyak lagi karya-karya beliau yang menghidupkan dan bertujuan meluruskan pemikiran umat Islam terkhusus pada awal mula pembaruan pemikiran islam di daerah Minangkabau, Sumatra Barat.

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau wafat pada tanggal 9 Jumadil Awal 1334 H di Mekkah, Saudi Arabia.

BINCANG SYARIAH

Cara Menyucikan Najis Kencing (Ompol) di Kasur

Pertayaan dari Putri Utami Wulandari Agustin (Grup WA Shahib Rumaysho Akhwat 5)

“Bismillah, ana memiliki bayi sekarang berusia 6 bulan. kemudian anak ana buang air kecil ketika tidak ana pakaikan pants, dan tidak sengaja terkena sprei bahkan kasur. jika sprei bisa ana cuci, tapi kasur ana besar berat dan pastinya cukup sulit untuk menjemurnya. jadi ana bilas saja pakai air dengan kain basah kemudian ana keringkan dengan kipas angin.

pertanyaan ana, apakah kasur ana masih dikatakan terkena najis? lalu bagaimana jika kasur yg sudah kering tersebut, ana tiduri. apakah baju yang ana kenakan najis? dan bolehkah dipakai untuk sholat?

jazakumullahu khairan”

Jawaban:

Pertama, kita lihat dulu dari jenis najis dari kencing bayi yang dimaksud.

Kemungkinan pertama, najisnya adalah najis level ringan (mukhaffafah) yaitu air kencing bayi laki-laki kurang dua tahun yang belum mengonsumsi apa pun kecuali ASI. Cara menyucikan najis ini adalah dengan hanya memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Tidak disyaratkan air harus mengalir, hanya saja percikan mesti kuat dan volume air harus lebih banyak dari air kencing bayi tersebut.

Kemungkinan kedua, najisnya adalah najis level pertengahan (mutawassithah) yaitu seperti ompol bayi usia lebih dari dua tahun, kotoran binatang, darah, muntahan, air liur dari perut, feses, atau sejenisnya.

Najis mutawassithah ini terbagi menjadi dua yaitu najis ‘ainiyyah dan najis hukmiyyah.

  • Najis ‘ainiyyah adalah najis yang tampak warna atau baunya secara kasatmata. Contoh: kotoran buang hajat, kencing, dan darah.
  • Najis hukmiyyah adalah setiap najis yang sudah kering dan hilang bekasnya, tidak lagi tampak warna atau baunya. Contoh: kencing yang terkena pakaian lalu kering, dan tidak tampak bekas lagi.

Cara menghilangkan najis ‘ainiyyah adalah dengan menghilangkan warna, bau, rasa. Najis hukmiyyah itu tidak berwujud, tetapi masih dihukumi najis. Air kencing yang merupakan najis ‘ainiyyah dianggap berubah menjadi najis hukmiyyah ketika air kencing tersebut mengering hingga tak tampak lagi warna, bau, bahkan rasanya. Cara mengatasi najis hukmiyyah adalah dengan menuangkan air sekali di area najis.

Masalah najis pada karpet tadi dapat diselesaikan dengan cara:

Pertama, membuat najis ‘ainiyah di karpet atau kasur berubah menjadi najis hukmiyah. Secara teknis, seorang harus membuang/membersihkan najis itu hingga tak tampak warna, bau, dan rasanya (cukup dengan perkiraan, bukan menjilatnya). Di tahap ini mungkin ia perlu menggunakan sedikit air, menggosok, mengelap, atau cara lain yang lebih mudah. Selanjutnya, biarkan mengering, dan tandai area bekas najis itu karena secara hukum tetap berstatus najis.

Kedua, tuangkan air suci-menyucikan cukup di area najis yang ditandai itu, maka sucilah kasur atau karpet tersebut, meskipun air dalam kondisi menggenang di atasnya atau meresap ke dalamnya. Cara yang sama juga bisa kita lakukan pada najis yang mengenai lantai ubin, sofa, bantal, permukaan tanah, dan lain-lain.

Ringkasnya, cukup dua langkah saja: menghilangkan sifat-sifat najis itu lalu menuangkan air suci-menyucikan di atas area bekas najis.

Keterangan di atas disimpulkan dari bahasan Safinah An-Naja ii Ushul Ad-Diin wa Al-Fiqh ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafii karya Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami, hlm. 15 dan 16 (Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah) dan Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafii rahimahullah Ta’ala, 1:40 (Penerbit Darul Qalam).

Semoga jadi ilmu yang bermanfaat.

Muhammad Abduh Tuasikal

RUMAYSHO

Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik

Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]

Dalam ayat lain disebutkan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]

Allah juga berfirman.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadirs” [Qaf : 16-18]

Begitu juga firman Allah Ta’ala.

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]

Dalam kitab Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَأكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ اَفَرَاَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنَّ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدِاغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَهُ

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut, “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban” [Al-Israa : 36]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُم ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ سَيْئًا وَأَنْ تَعتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّ قُواوَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَشْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ

“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah) serta menyia-nyiakan harta” [1]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَمَحَااَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِيْنَا هُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِيْنَا هُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِيْنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِيْنِاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِيْنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوِى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّ بُهُ

“Setiap anak Adam telah mendapatkan bagian zina yang tidak akan bisa dielakkannya. Zina pada mata adalah melihat. Zina pada telinga adalah mendengar. Zina lidah adalah berucap kata. Zina tangan adalah meraba. Zina kaki adalah melangkah. (Dalam hal ini), hati yang mempunyai keinginan angan-angan, dan kemaluanlah yang membuktikan semua itu atau mengurungkannya” [2]

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya” Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim no.64 dengan lafaz.

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.

Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir hadits no. 65 dengan lafaz seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadits tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang apa yang telah lalu, yang sedang terjadi sekarang dan juga yang akan terjadi saat mendatang. Berbeda dengan tangan. Pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh tulisan”.

Oleh karena itu, dalam sebuah sya’ir disebutkan :

Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya Tanganku kan lenyap, namun tulisan tangannku kan abadi

Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal

Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda.

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga”

Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”

Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”. Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6477 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 2988 [3] dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”

Masalah ini disebutkan pula di akhir hadits yang berisi wasiat Nabi kepada Muadz yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2616 yang sekaligus dia komentari sebagai hadits yang hasan shahih. Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda.

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَ مَنَا خِرِهِِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya ?” Perkataan Nabi di atas adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Mu’adz.

يَا نَبِّيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَا خَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ

“Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan ?”

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengomentari hadits ini dalam kitab Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (II/147), “Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah balasan dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada hari kiamat kelak dia akan menuai apa yang dia tanam. Barangsiapa yang menanam sesuatu yang baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan menunai kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang menanam Sesuatu yang jelek dari ucapan maupun perbuatan maka kelak akan menuai penyesalan”.

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (hal.146), “Hal ini menunjukkan bahwa menjaga lisan dan senantiasa mengontrolnya merupakan pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai, mengontrol dan mengatur semua urusannya”.

Kemudian pada hal. 149 beliau menukil perkataan Yunus bin Ubaid, “ Seseorang yang menganggap bahwa lisannya bisa membawa bencana sering saya dapati baik amalan-amalannya”.

Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Seseorang yang baik perkataannya dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya, dan orang yang jelek perkataannya pun dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2581 dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda.

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وًِصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dalam kitab Shahihnya no. 2564 dari Abu Hurairah, yang akhirnya berbunyi.

بِحَسْبِ امْرِيْ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسلِمَ كُلٌ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

“Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib manjaga darah, harta dan kehormatan orang muslim lainnya”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya hadits no. 1739 ; begitu juga Muslim [4] dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah berkhutbah pada hara nahar (Idul Adha). Dalam khutbah tersebut beliau bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu, “Hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari yang haram”. Beliau bertanya lagi, “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab, “Negeri Haram”. Beliau bertanya lagi, “Bulan apakah ini ?” Mereka menjawab, “Bulan yang haram”. Selanjutnya beliau bersabda.

فَإِنَّ دِمَا ئَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُم حَرَامٌ، كَحُرمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِ كُمْ هَذَا في شَهْرِ كُمْ هَذَا، فَأَعَادَهَا مِرَارًا، ثُمّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ : اللَّهُمَ هَلْ بَلَّغْتُ؟ اللَّهُمَ هَلْ بَلَّغْتُ؟

“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram bagi masing-masing kalian (merampasnya) sebagaimana haramnya ; hari, bulan dan negeri ini. Beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu berkata, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu)? Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu) ?”

Ibnu Abbas mengomentari perkataan Nabi di atas, “Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiat beliau untuk umatnya. Beliau berpesan kepada kita, ‘Oleh karena itu, hendaklah yang hadir memberitahukan kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yaitu kalian saling memenggal leher”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2674 dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِشْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لآَيَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”

Al-Hafidz Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib (I/65) mengomentari hadits.

إِذَا مَاتَ الْإنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ إِحْدَى ثَلاَثٍ …

“Apabila seorang manusia wafat, maka terputuslah jalan amal kecuali dari tiga perkara …dst”

Beliau berkata, “Orang yang mebukukan ilmu-ilmu yang bermanfaat akan mendapatkan pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari orang yang membaca, menulis dan mengamalkannya, berdaasrkan hadits ini dan hadits yang semisalnya. Begitu pula, orang-orang yang menulis hal-hal yang membuahkan dosa, maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya sendiri dan dosa dari orang-orang yang membaca, menulis atau mengamalkannya, berdasarkan hadits.

مَنْ سَنَّ سُنَةً حَسَنَةً أَوْ سَيِّئَةً

“Barangsiapa yang merintis perbuatan yang baik atau buruk, maka ….” Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6505 dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda.

إِنَّاللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

“Sesungguhnya Allah berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka kuizinkan ia untuk diperangi”

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Penulis Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, Edisi Indonesia Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penerbit : Titian Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama Januari 2004]

_______

Footnote

[1]. Diriwayatkan oleh Muslim hadits no. 1715. Hadits tentang tiga perkara yang dibenci ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Mughirah hadits no.2408 dan diriwayatkan juga oleh Muslim.

[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6612 dan Muslim hadits no.2657. Lafaz di atas adalah yang terdapat dalam riwayat Muslim

[3]. Tetapi lafaz hadits tersebut adalah yang terdapat dalam riwayat muslim

[4]. Tetapi lafaz yang tersebut terdapat dalam riwayat Bukhari

Oleh Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

ALMANHAJ

Saatnya ‘Me-lockdown-kan’ Lisan

KITA sering mendengar, “Jaga lisan dan jaga lidah saat bicara“. Itulah sepenggal nasihat yang sering kita dengar untuk mengingatkan agar kita selalu hati-hati dalam bicara. Tidak asal bunyi. Ada ungkapan: lidah bisa lebih tajam daripada pedang, karena korban yang diakibatkan dari keseleo lidah bisa lebih banyak dan lebih sakit dibanding dengan pedang.

Islam telah mengajarkan pada umatnya agar senantiasa menata ucapan dan diamnya  –atau meminjam istilah lockdown yang lagai banyak dilakukan di seluruh dunia sehubungan virus corona- sehingga dapat meraih keuntungan dari pembicaraan yang dilakukan dan meraih kesalamatan dari sikap diam yang diambilnya.

Rasulullah ﷺ  mengingatkan akibat buruk dari lidah, dan inilah yang sangat beliau khawatirkan. Dari Sufyan bin Abdillah RA, ia berkata, “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan. Beliau ﷺ menjawab, “Katakanlah Tuhanku adalah Allah lalu istiqamahlah. Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan atas diriku? Rasulullah ﷺ  menunjuk lidahnya sendiri dan berkata, “Ini.” (HR Tirmidzi).

Ketika Rasul ﷺ  ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, beliau menjawab, “Dosa lidah dan kemaluan.” (HR Tirmidzi).

Dan, kekuatan merawat lidah ini pun dikaitkan dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Sabda Nabi ﷺ , “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam.” (HR Muslim).

Artinya, keharusan menjaga lidah tidak hanya sekedar menjaga hubungan baik dengan antarsesama. Tetapi, lebih dari itu, keharusan menjaga lidah merupakan unsur ibadah dan aqidah.

Ustadz Fakhruddin Nursyam dalam bukunya Syarah Arbain Tarbawiyah, menyebutkan empat syarat perkataan yang mengandung manfaat.

Pertama, hendaknya perkataan itu ada tujuan yang melatarbelakanginya, yaitu untuk meraih manfaat atau menolak bahaya. Perkataan seseorang yang tidak memiliki tujuan hanya akan memperlihatkan kebodohan, menyingkap aib dan kekurangannya, serta menjerumuskannya dalam kesalahan dan fitnah.

Karenanya, perkataan seorang Muslim hendaknya muncul dari pemikiran yang jernih dan memiliki tujuan yang pasti, sehingga selamat dari kesalahan dan dapat menunjukkan kecerdasan dan keimanannya.

Disebutkan dalam atsar, “Lidah seorang yang cerdik berada di belakang akalnya. Apabila hendak berbicara, ia kembali kepada akalnya. Jika mendatangkan keuntungan akan bicara, jika mendatangkan bahaya akan menahan diri. Sedangkan akal orang yang jahil berada di belakang lidahnya, ia selalu berbicara tentang semua hal yang terpampang di depannya.”

Kedua, hendaknya perkataan itu diucapkan pada tempat dan waktu yang tepat sehingga mendatangkan manfaat yang besar. Perkataan yang tidak tepat waktu dan tempat, tidak banyak mendatangkan manfaat, bahkan bisa menimbulkan bahaya dan fitnah. Karenanya, seorang Muslim hendaknya memperhatikan situasi dan kondisi yang melingkupinya ketika hendak mengeluarkan suatu perkataan. Disebutkan dalam atsar, “Setiap situasi dan kondisi memiliki perkataan tersendiri.”

Ketiga, hendaknya perkataan diucapkan sebatas kebutuhan. Segala sesuatu memiliki batas dan kapasitas tertentu. Perkataan yang melebihi batas dan kapasitasnya hanya mengurangi manfaat dan pengaruhnya, juga dapat menimbulkan kejenuhan dan kebosanan bagi yang mendengarkan. Dalam atsar, “Semoga Allah mencerahkan wajah seorang hamba yang meringkas pembicaraannya dan mencukupkan diri sebatas kebutuhan.”

Keempat, memilih kata yang hendak diucapkan. Karena lidah adalah identitas seseorang, maka hendaknya ia memilih kata-kata yang tepat dan mengevaluasi semua perkataannya. Kepada pamannya, Abbas RA, Nabi ﷺ  berkata, “Aku kagum dengan ketampananmu.” Ia bertanya, “Apa ketampanan seorang lelaki, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Lidahnya.”

Islam memberikan tuntunan dalam berbicara agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan. Pertama, tidak banyak bicara atau diam.  Rasul ﷺ  bersabda, “Barangsiapa yang diam pasti selamat.” (HR Tirmidzi).

Kedua, mengendalikan lidah dari perkataan yang tidak bermanfaat. Sabda Nabi ﷺ , “Barangsiapa yang menahan lidahnya pasti Allah menutupi auratnya.” (HR Ibnu Dunya).

Ketiga, berkata yang baik. Nabi ﷺ  bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam.” (HR Muslim).

Keempat, takut kepada Allah. Sesungguhnya Allah ada di sisi setiap orang yang berkata, maka hendaklah takut kepada Allah, Allah mengetahui apa yang diucapkannya.” Ketahuilah, bahwa setiap ucapan yang keluar dari lidah akan dicatat untuk dimintai pertanggungjawaban.

Allah SWT berfirman

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS: Qaf [50] : 18).

Dr Musthafa Dieb al-Bugha dalam kitabnya Al-Wafi fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, menambah etika orang beriman dalam bermuamalah dengan sesamanya adalah memperhatikan adab dalam berbicara.

Pertama, seorang muslim hendaknya berusaha membicarakan hal-hal yang mendatangkan manfaat, dan tidak mengucapkan ucapan yang tidak diperbolehkan. Perkataan yang tidak berguna di antaranya ghibah, namimah, dan mencela orang lain.

Kedua, tidak banyak bicara. Karena banyak bicara, meskipun dalam hal yang diperbolehkan, bisa menjerumuskan kepada hal yang dilarang ataupun makruh. Sabda Nabi ﷺ , ”Janganlah kalian banyak bicara, yang bukan dzikir kepada Allah. Karena banyak bicara, yang bukan dzikir kepada Allah, akan membuat hati keras. Dan manusia yang paling jauh dari Tuhannya adalah yang hatinya keras.” (HR Tirmidzi).

Ketiga, wajib bicara ketika diperlukan, terutama untuk menjelaskan kebenaran dan amar ma’ruf nahi munkar. Ini adalah sikap mulia yang jika ditinggalkan termasuk pelanggaran dan berdosa, karena orang yang mendiamkan kebenaran pada dasarnya adalah setan bisu.

Jika setiap kita dapat me-lockdown lidah dari perkataan yang mengandung kebatilan, seperti umpatan, hardikan, penghinaan, ejekan, olok-olokan, adu-domba, dan hasutan, niscaya tidak akan ada perselisihan dan perdebatan yang berkepanjangan di tengah masyarakat. Wallahu a’lam.*

Imam Nur Suharno, Kepala HRD dan Personalia Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH

Menjaga Lisan Sebagai Kunci Selamat Dunia Akhirat

Menyakiti sesama dalam bentuk apapun, merupakan perkara yang dilarang Allah swt., baik menyakiti dalam bentuk perbuatan ataupun perkataan. Ketika menjalani kehidupan, manusia tidak akan lepas dari berinterakasi dengan sesama manusia lainnya. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa manusia disebut “Mahluk Sosial”. Ini juga yang menjadi kunci selamat dunia akhirat.

Namun, di tengah-tengah melakukan interaksi, tentu kita tidak akan pernah luput dari kesalahan yang pada akhirnya memunculkan rasa sakit hati pada diri kita ataupun rasa sakit pada lawan interaksi kita. Tidak bisa kita pungkiri hal itu merupakan fitrah semua manusia. Yaitu, tidak luput dari salah dan lupa. Hal ini sebagaimana perkataan sebagian ulama yang sering kita dengar,

الإنسان محل الخطأ والنسيان

 “Manusia adalah tempat salah dan lupa”.

Tapi hal itu tidak dapat kita jadikan sebagai dalih untuk selalu membiarkan diri kita larut dalam kubangan hawa nafsu untuk melakukan kesalahan. Kita tetap harus berusaha untuk menghindari kesalahan, sekurang-kurangnya meminimalisir kesalahan yang diperbuat.

Perlu diketahui, kesalahan yang jamak terjadi di antara manusia sebagian besar adalah berangkat dari ketidakmampuan dalam menjaga lisan. Tidak jarang pertengkaran terjadi karena berawal dari kekeliruan yang dilakukan oleh lisan, serta tak jarang pula perpecahan terjadi karena kesalahan lisan dalam berkata.

Untuk menilai baik atau buruknya hati seseorang dapat kita nilai dari bagaimana ia bertutur kata. Karena pada biasanya apa yang diucapkan adalah cerminan dari apa yang ada dalam hatinya. Seberarapa sering seseorang berkata-kata kotor pasti sesuai dengan seberapa keruh isi hatinya.

Di dalam Mu’jam Al-Kabir karya Imam At-Thabrani disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda dalam hadisnya mengenai perihal pentingnya menjaga lisan,

أن رجلا سأل رسول الله أي المسلمين خير ؟ قال : من سلم المسلمون من لسانه ويده

 “Rasulullah pernah ditanya oleh seseorang, “Siapakah muslim yang paling baik (mulia)? Beliau menjawab, adalah seorang muslim yang selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (HR. At-Thabrani)

Hadis tersebut secara implisit menjelaskan bahwa orang yang paling baik adalah orang yang dapat menjaga lisan dan tangannya agar tidak mengganggu muslim yang ada disekitarnya.

Dari penjelasan itu kita dapat mengambil pelajaran betapa vitalnya peran tangan dan lisan dalam mengangkat derajat seorang muslim di mata Allah swt.

Imam Bukhari dalam kitabnya al-Adab Al-Mufrad, menyebutkan hadis nabi bahwa, suatu ketika ada sorang sahabat bertanya kepada nabi Muhammad tentang seorang wanita ahli ibadah tapi suka menyakiti tetangganya. Berikut redaksinya,

وعن أبي هريرة ، رضي الله عنه ، قال : قيل للنبي صَلى الله عَلَيه وسَلَّم : إن فلانة تقوم الليل وتصوم النهار ، وتصدق وتفعل ، وتؤذي جيرانها بلسانها. فقال رسول الله صَلى الله عَلَيه وسَلَّم : لا خير فيها ، هي من أهل النار. قالوا : وفلانة تصلي المكتوبة وتصدوا بأثوار ولا تؤذي أحدًا. فقال رسول الله صَلى الله عَلَيه وسَلَّم : هي من أهل الجنة

Dari abu hurairah berkata, rasulullah pernah ditanya, “Wahai rasulullah, ada seorang wanita yang rajin shalat malam, gemar berpuasa di siang hari, giat melakukan amal kebaikan dan banyak bersedekah, namun ia sering menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Mendengar laporan ini rasulullah pun menjawab, “Tidak ada kebaikan padanya dan ia termasuk penghuni neraka.” Kemudian seorang sahabat menimpali jawaban rasulullah seraya berkata, “Wahai rasulullah, ada seorang wanita yang hanya melaksanakan shalat wajib saja dan hanya bersedekah dengan sepotong keju, namun dia tidak pernah menyakiti saudaranya.” Rasulullah pun langsung menjawab, “Dia termasuk penghuni surga.” (HR. Bukhari)

Dari hadis ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa seluruh ibadah yang telah kita lakukan dengan susah payah, bisa menjadi hilang dan tidak ada artinya di hadapan Rabbul ‘Alamin hanya karena ketidakmampuan dalam menjaga ucapan yang kita utarakan dan berujung menyakiti saudara kita yang seiman.

Walakhir, berdasarkan beberapa hadis dan penjelasan di atas, ada beberapa poin yang perlu digaris bawahi untuk kita jadikan sebagai pedoman atau motivasi dalam menjalani hidup agar menjadi insan yang lebih baik serta mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Pertama, muslim yang baik adalah muslim yang tidak mengganggu muslim yang lain baik dengan perbuatan atau perkataan.

Kedua, segala amal kebaikan yang telah kita lakukan akan menjadi sia-sia jika kita tidak bisa menjaga lisan dari menyakiti orang lain.

Ketiga, ibadah bukan hanya hubungan antara manusia dengan Tuhannya melainkan juga hubungan antara sesama manusia.

Semoga kita selalu diberi hidayah oleh Allah agar senantiasa istiqamah dalam melaksanakan perintahnya serta menjauhi larangannya terutama dalam menghindari mengucapkan kata-kata yang tak selayaknya diucapkan. Karena salah satu sumber dari malapetaka adalah ketidakmampuan menjaga ucapan.

Semoga bermanfaat. Wallahua’lam..

BINCANG SYARIAH

Obat Hasud atau Iri Dengki Menurut al-Ghazali

Sifat hasud atau iri dengki merupakan salah satu penyakit hati yang harus dihindari oleh umat muslim. Ulama banyak membahas perihal betapa tercelanya sifat hasud ini. Lantas, adakah obat hasud ini? Rasulullah sendiri sudah menyampaikan bahayanya sifat ini:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ اَلْحَسَدُ يَأْكُلُ لْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

Dari sahabat Anas ra. sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah bersabda sifat hasud itu memakan pahala kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” (Sunan Ibnu Majah, 2 :1408)

Berikut ini 5 obat hasud atau iri dengki menurut al-Ghazali yang dikutip dalam kitabnya Bidayatu al-Hidayah (h. 128-129) :

Pertama, senantiasa mengikuti petunjuk agama dalam menjauhi sifat hasud atau iri dengki. Kembali kepada Allah dalam melaksanakan segala sesuatu sesuai aturannya serta adab kepada-Nya. Sehingga ia dapat mengalahkan sifat tercela tersebut dalam dirinya dan bisa berpindah dari sifat yang hina itu.

Kedua, akal berpikir bahwa hasil dari sifat hasud itu merupakan sifat iri yang hanya membuat ia tidak puas, alhasil membuatnya memandang rendah sifat hasud tersebut. Dengan demikian akal dapat mengalahkan sifat hasud itu, sehingga sifat hina tersebut tunduk karena kecerdasan akal.

Ketiga, menolak kerusakan atau mudharat yang diakibatkan oleh sifat  hasud atau iri dengki serta menjaga diri dari bekas dari sifat tersebut. Dari sini seseorang bisa mengetahui  bahwa sifat hasud ataupun iri dengki hanya membuat ia lebih jauh dari tujuannya untuk menjadi lebih baik.

Keempat, memandang bahwasanya manusia lari (menghindari) dan menjauhi sifat hasud atau iri dengki ini. Sehingga hal itu membuat seorang hamba takut akan dimusuhi ataupun mendapat celaan dari mereka manakala memiliki sifat hina tersebut. Alhasil seorang hamba akan senantiasa berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan lagi.

Kelima, pasrah kepada takdir yang sudah ditentukan Allah serta tidak menyalahi ketentuan-Nya. Anugerah yang didapat orang lain merupakan ketentuan dari Allah. Dari sini kita akan mulai menerima apapun kehendaknya sehingga hal itu dapat mengurangi sifat hasud atau iri dengki kepada orang lain.

Nah, itulah obat dari sifat hasud atau iri dengki yang disampaikan oleh imam Ghazali, semoga kita semua bisa terhindar dari penyakit hati tersebut, amin. Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH