Harapan dan Janji-Janji Allah dalam Surat Al-Qashas

Surat Al-Qashas dipenuhi dengan ayat-ayat yang membangun harapan dan bercerita tentang janji-janji Allah kepada orang-orang yang tertindas.

Mari kita simak ayat-ayat berikut ini :

(1). Allah Swt berfirman :

وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى ٱلَّذِينَ ٱسۡتُضۡعِفُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَنَجۡعَلَهُمۡ أَئِمَّةٗ وَنَجۡعَلَهُمُ ٱلۡوَٰرِثِينَ

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS.Al-Qashash:5)

(2). Allah Swt menceritakan tentang ketakutan penguasa dzalim seperti Fir’aun dan Hamaan.

وَنُمَكِّنَ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَنُرِيَ فِرۡعَوۡنَ وَهَٰمَٰنَ وَجُنُودَهُمَا مِنۡهُم مَّا كَانُواْ يَحۡذَرُونَ

“Dan Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi dan Kami perlihatkan kepada Fir‘aun dan Haman bersama bala tentaranya apa yang selalu mereka takutkan dari mereka.” (QS.Al-Qashash:6)

(3). Allah Swt berfirman kepada ibu Musa as.

وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحۡزَنِيٓۖ إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيۡكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ ٱلۡمُرۡسَلِينَ

“Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul.” (QS.Al-Qashash:7)

(4). Allah Swt menceritakan ketika Nabi Musa as telah lolos dari kejaran pasukan Fir’aun.

فَلَمَّا جَآءَهُۥ وَقَصَّ عَلَيۡهِ ٱلۡقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفۡۖ نَجَوۡتَ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

Ketika (Musa) mendatangi ayahnya (Syuaib) dan dia menceritakan kepadanya kisah (mengenai dirinya), dia (Syuaib) berkata, “Janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu.” (QS.Al-Qashash:25)

(5). Allah Swt berfirman untuk Nabi Musa as.

قَالَ سَنَشُدُّ عَضُدَكَ بِأَخِيكَ وَنَجۡعَلُ لَكُمَا سُلۡطَٰنٗا فَلَا يَصِلُونَ إِلَيۡكُمَا بِـَٔايَٰتِنَآۚ أَنتُمَا وَمَنِ ٱتَّبَعَكُمَا ٱلۡغَٰلِبُونَ

Dia (Allah) berfirman, “Kami akan menguatkan engkau (membantumu) dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak akan dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamu yang akan menang.” (QS.Al-Qashash:35)

(6). Allah Swt berfirman kepada Baginda Nabi Muhammad Saw.

إِنَّ ٱلَّذِي فَرَضَ عَلَيۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ لَرَآدُّكَ إِلَىٰ مَعَادٖۚ قُل رَّبِّيٓ أَعۡلَمُ مَن جَآءَ بِٱلۡهُدَىٰ وَمَنۡ هُوَ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ

“Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali.” (QS.Al-Qashash:85)

Yang dimaksud oleh ayat terakhir adalah Mekah. Allah Swt menjanjikan kepada Nabi Saw bahwa kelak pasti beliau akan kembali ke Mekah setelah harus berhijrah ke Madinah.

Dan janji yang agung itu akhirnya benar-benar terwujud. Bahkan Nabi Muhammad Saw memasuki Mekah dengan kemuliaan, kewibawaan dan kekuatan penuh sehingga orang-orang musyrikin Mekah menyerah dihadapan Nabi tanpa perlawanan.

Dan semua ayat-ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa masa depan itu adalah milik kebenaran dan sekuat apapun kebatilan pasti akan hancur dan berakhir.

Sungguh benar Firman Allah Swt :

وَقُلۡ جَآءَ ٱلۡحَقُّ وَزَهَقَ ٱلۡبَٰطِلُۚ إِنَّ ٱلۡبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقٗا

Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap. (QS.Al-Isra’:81)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Doa Agar Bisa Bertawakal dengan Benar Kepada Allah

Dalam Islam, selain dianjurkan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh, kita juga dianjurkan untuk senantiasa bertawakkal dengan benar kepada Allah. Menurut Sayid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitab Risalah Al-Muwanah, tanda tawakkal yang benar kepada Allah ada tiga. Pertama, tidak mengharap kepada selain Allah. Kedua, percaya dengan jaminan Allah dalam masalah rizeki. Ketiga, tidak pernah khawatir terhadap datangnya kegagalan.

Di antara doa yang senantiasa bisa kita baca doa agar bisa bertawakal dengan benar kepada Allah adalah sebagai berikut;

اَللَّهُمَّ اَسْئَلُكَ التَّوْفِيْقَ لِمَحَابِّكَ مِنَ اْلاَعْمَالِ وَصِدْقَ التَّوَكُّلِ عَلَيْكَ وَحُسْنَ الظَّنِّ بِكَ

Allohumma as-alukat taufiiqo li mahabbika minal a’maali wa shidqot tawakkuli ‘alaika wa husnadz dzonni bika.

Ya Allah, aku memohon pertolongan kepada-Mu untuk mengerjakan amal-amal yang Engkau cintai, (aku memohon) kepasrahan yang benar kepada-Mu, dan berperasangka yang baik kepada-Mu.

Doa ini disebutkan oleh Ibn Abi Ad-Dunya’ dalam kitab at-Tawakkul ‘ala Allah berikut;

عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ: كَانَ مِنْ دُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ التَّوْفِيقَ لِمَحَابِّكَ مِنَ الْأَعْمَالِ، وَصِدْقَ التَّوَكُّلِ عَلَيْكَ، وَحُسْنَ الظَّنِّ بِكَ

Dari Al-Awza’i, dia berkata; Di antara doa Nabi Saw; Allohumma as-alukat taufiiqo li mahabbika minal a’maali wa shidqot tawakkuli ‘alaika wa husnadz dzonni bika (Ya Allah, aku memohon pertolongan kepada-Mu untuk mengerjakan amal-amal yang Engkau cintai, (aku memohon) kepasrahan yang benar kepada-Mu, dan berperasangka yang baik kepada-Mu).

BINCANG SYARIAH

Lima Macam Manusia yang Harus Dihindari

SAYYIDINA Husein bin Ali pernah berwasiat kepada putranya, “Wahai anakku, perhatikanlah lima macam manusia ini. Lalu janganlah engkau berteman dengan mereka.”
“Siapa mereka wahai ayahku, beritahukan kepadaku,” tanya sang anak.

“Janganlah engkau berteman dengan pembohong karena ia seperti fatamorgana. Mendekatkan yang jauh darimu dan menjauhkan yang dekat.Janganlah engkau berteman dengan seorang fasiq (ahli maksiat). Karena ia bisa menjualmu dengan sesuap makanan, bahkan lebih sedikit dari itu.

Janganlah engkau berteman dengan seorang yang bakhil (kikir). Karena ia akan menjerumuskanmu dengan hartanya disaat engkau sangat membutuhkannya.

Janganlah engkau berteman dengan orang dungu. Karena ia ingin memberi manfaat untukmu tapi malah menyusahkanmu.

Dan janganlah engkau berteman dengan orang yang memutus silaturahmi. Karena aku menemukan (pemutus tali silaturahmi) sebagai orang-orang yang terlaknat di dalam Al-Quran di tiga tempat,

“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang Dikutuk Allah..” (QS.Muhammad:22-23)

“Dan orang-orang yang melanggar janji Allah setelah diikrarkannya, dan memutuskan apa yang Diperintahkan Allah agar disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi; mereka itu memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (QS.Ar-Rad:25)

“(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah (perjanjian) itu diteguhkan, dan memutuskan apa yang Diperintahkan Allah untuk disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS.Al-Baqarah:27)

Mari kita lebih berhati-hati untuk memilih teman dan jangan lupa untuk mengingatkan kepada keluarga dan anak-anak kita. Karena kepribadian seseorang sangat bergantung dengan siapa ia berteman. []

INILAH MOZAIK

Perbedaan Pungli dan Pajak dalam Perspektif Islam

Di dalam kajian fikih madzhab, penyerahan harta kepada pihak lain dihukumi sah bilamana penyerahan tersebut mengikut pada aturan dan ketentuan syara’ yang berlaku. Kita bisa memetakannya berdasar ada atau tidaknya akad pertukaran barang dan jasa.

Penyerahan yang sah yang disertai ketiadaan akad pertukaran barang atau jasa, ada meliputi: 1) zakat, 2) infaq, 3) shadaqah, 4) hibah, 5) hadiah, 6) wakaf, 7) waris, 8) utang, 9) rampasan perang, dan 10) harta khumus dari harta rikaz. Adapun penyerahan yang sah dan disertai akad pertukaran barang dan jasa, meliputi: 1) jual beli dan barter, 2) qiradl (permodalan), 3) istitsmar (investasi), syirkah 4) gadai, 5) upah (fee), 6) ju’lu (komisi) 7) ganti rugi (ta’widl), 8) iuran. Pajak dalam kajian sebelumnya masuk dalam rumpun nafkah. Adapun cukai masuk dalam rumpun ganti rugi. (Baca: Pajak dalam Pandangan Hukum Islam)

Adapun penyerahan harta kepada pihak lain, bisa dipandang sebagai tidak sah, manakala ditemui adanya illat keharaman di dalamnya. Kita juga bisa membedakannya menjadi 2, yaitu berdasar ada atau tidaknya barang yang dijadikan wasilah.

Penyerahan harta yang tanpa disertai wasilah berupa barang atau jasa dan hukumnya tidak sah, antara lain: 1) harta curian, 2) harta hasil perampokan, 3) harta pemaksaan (mustakrah) dari selain hakim, 4) harta ghashab, 5) harta rampasan yang bukan akibat perang, 6) harta hasil kecurangan, 7) harta riba qardli, dan lain sebagainya. Sementara itu, penyerahan yang tidak sah dengan ditanda adanya wasilah berupa barang atau jasa, antara lain: 1) harta hasil riba jual beli (riba nasiah, fadhly, dan al-yad), 2) suap (risywah), 3) harta hasil jual beli dengan curang, 4) harta judi, 5) harta hasil undi nasib, 6) pungutan liar karena alasan jasa keamanan, dan lain sebagainya.

Sebenarnya yang membedakan antara sah dan tidaknya suatu penyerahan harta kepada pihak lain adalah tergantung pada ada atau tidaknya illat keharaman. Pada kasus money game misalnya, mengapa penyerahan harta itu disebut sebagai tidak sah, adalah disebabkan karena ketiadaan kerja / usaha dan ruang penyaluran usaha. Ketika tidak ada kerja dan usaha, maka penyerahan harta yang disertai janji pengembalian lebih dari yang harta yang diserahkan, merupakan buah dari relasi adanya unsur eksploitatif dan aniaya. Sedikit atau banyak janji kembalian, tetaplah tersimpan makna sebagai penyerahan yang aniaya karena unsur melazimkan sesuatu kepada pihak lain yang tidak seharusnya. Syara’ melabelinya sebagai haram. Setiap daging yang tumbuh dari harta haram, maka ada hisabnya kelak di akhirat sebagai wa al-naru aula bihi (neraka merupakan yang utama baginya).

Melazimkan sesuatu kepada pihak lain, hanya dibenarkan adanya relasi yang dibenarkan oleh syara’. Misalnya, karena relasi juragan dan pekerja, penjual dan pembeli, pemodal dan yang dimodali, pengusaha dengan pemodal, pernikahan, orang tua dan anak, anak yatim dan walinya, mayit dan ahli waris, orang yang wasiat dan diwasiati, pihak yang merugikan dan yang dirugikan, negara dan warganya (muwathanah). Akad kelaziman tidak berlaku terhadap relasi penganggur dan pendapatan (income), tidak bermodal dengan pendapatan, perampok dan harta hasil rampokan, hakim dengan uang suap, dan relasi-relasi lain sejenisnya. Relasi ini selain tidak disahkan oleh syara’ (hukum taklifi), juga merupakan relasi yang tidak masuk akal, sehingga menyalahi hukum sebab-akibat (hukum wadl’i).

Dalam konteks seperti ini, maka sebenarnya yang dikehendaki oleh syariat, adalah bukan hanya kemaslahatan dunia, melainkan juga kemaslahatan di akhirat yaitu selamat dari api neraka. Itu maknanya, setiap individu harus selamat dari mengambil harta secara aniaya dan menindas pihak lain.

Oleh karena itu, syara’ menggariskan pula bahwa suatu akad akan dipandang sah selain karena faktor illat yang ditetapkan, juga karena hikmah yang didapatkan, seperti saling ridla (an taradlin), dan thayyibi al-anfus (cara pengambilan dilakukan dengan cara yang baik).

Illat dan hikmah ini selanjutnya bisa kita gunakan untuk menetapkan status hukum pungutan liar (pungli), suap, dan apa yang membedakannya dari iuran, pajak atau cukai.  Jika kita berhenti pada makna pungutan harta unsigh, maka berhenti pada pengertian ini dapat menggiring kita pada penyamaan. Namun, bila kita memandang adanya faktor luar (aridly) yang menyertainya, maka kita akan menjadi lain memandangnya. Itulah sebabnya para ulama dari lembaga fatwa al-Azhar menyatakan:

ليس المراد منه ما قد يتبادر إلى ذهن البعض؛ من مواساة الفقراء والمحتاجين فقط، بل مرادنا ما هو أعم من ذلك؛ من حق المجتمع على الفرد في التعاون على إقامة مصالح الدولة كافة، ولجماعة المسلمين حق في مال الفرد

“Tidak ada maksud kami untuk bersikap tergesa-gesa menyampaikan kabar gembira bagi orang fakir dan pihak yang berkebutuhan unsigh, namun lebih dari itu, kami bermaksud ke hal yang lebih umum lagi, yaitu haknya masyarakat yang wajib berlaku atas individu di dalam ikut serta membantu mewujudkan kemaslahatan umum bagi negaranya, sebagaimana layaknya hak jamaah (perkumpulan) kaum muslimin atas individu pembentuk jamaah.” (Fatawi al-Azhar)

Pajak dan cukai, memiliki relasi kelaziman (sebab akibat) yaitu berupa ikatan akad muwathanah (relasi negara dan warga negara) dan wajibnya ganti rugi terhadap kerugian yang muhaqqaq (nyata dan bisa dipastikan). Relasi muwathanah ini kedudukannya sama dengan relasi munakahah, sehingga melazimkan nafkah. Demikian halnya dengan cukai, yang memiliki relasi penyebab tidak langsung terhadap timbulnya pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dewasa ini menjadi sangat penting diperhatikan, bahkan dtetapkan oleh UU tentang Lingkungan Hidup.

Lain halnya dengan pungutan liar dan suap. Keduanya selain dicela oleh syariat, juga ditetapkan sebagai terlarang oleh hukum positif (wadl’i) negara.

Pajak dan cukai dibolehkan oleh ulama jumhur (ulama yang berafiliasi dengan pemerintahan), karena faktor khidmahnya penyelenggara negara. Setiap khidmah merupakan kulfah (kerja). Dan setiap kerja, membutuhkan ujrah (fee). Adapun karena khidmah, maka berlaku wajibnya nafkah, sebagamana khidmahnya istri, berlaku wajibnya nafkah baginya. Antara nafkah dan ujrah menduduki posisi yang hampir setara, dan dibedakan oleh unsur thayyibi al-anfus.

Hal semacam ini tidak kita temui pada pungutan liar (pungli) dan risywah. Pungli ini dalam literasi Arab juga disebut sebagai al-maks. Ada jiwa yang tertindas di dalam pungli dan suap, sehingga menjadi antitesa dari thayyibi al-anfus yang berlaku pada pajak. Itu sebabnya kita mendapati keterangan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يدخل الجنة صاحب مكس

“Tidak masuk surga orang yang berprofesi sebagai shahibu maksin (pungutan liar).”

Mushannif dari kitab Auni al-Ma’bud menjelaskan pengertian dari shahibu maksin ini sebagai:

صاحب المكس هو الذي يأخذ من التجار إذا مروا به مكسا باسم العشر

Shahibu al-maks adalah pihak yang memungut pedagang yang ditemuinya, yang kemudian dikenal sebagai al-‘usyur (10%).” (Aunu al-ma’bud, Juz 8, halaman 111)

Batasan bahwa suatu pungutan itu disebut maksin, adalah bila terdapat indikasi, sebagai berikut:

المكس النقص والظلم ودراهم كانت تؤخذ من بائعي السلع في الأسواق في الجاهلية أو درهم كان يأخذه المصدق بعد فراغه من الصدقة انتهى

“Al-maksu yang bersifat mengurangi dan mendhalimi, adalah dirham yang dipungut dari pedagang yang ada di pasar pada masa jahiliyah atau dirham yang diambil oleh penarik zakat dari orang yang sudah membayarnya.” (Aunu al-ma’bud, Juz 8, halaman 111)

Berangkat dari penjelasan terakhir ini dapat kita simpulkan bedanya al-maks dengan pajak. Al-Maks merupakan pungutan liar atau pungutan lain selain yang ditentukan kewajibannya, misalnya menarik lagi zakat setelah selesai ditunaikanya zakat sehingga zakatnya menjadi double. Jadi, ada unsur aniaya yang terdapat di dalam pungutan itu sehingga jauh berbeda pengertiannya dengan pajak. Di dalam al-maks tidak ada akad kelaziman yang berlaku dan dibenarkan oleh syara’.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Nasihat Abu Darda’: Bencilah Perbuatan Dosa, Jangan Benci Pelakunya

Uwaimir bin Amir bin Malik bin Zaid bin Qaish Al Anshari atau yang lebih dikenal dengan pangilan Abu Darda’ ra adalah salah seorang sahabat Rasululah yang bijak dan cerdik.

Sebagaimana ungkapan dari Abu Nu’aim Al-Ashfahani: “Abu Darda’ adalah seorang sahabat Rasulullah yang bijak dan cerdik, nasehatnya berlimpah, hikmah dan ilmunya menjadi obat bagi orang-orang yang terjangkiti berbagai penyakit. Apabila ia berbicara, maka ia berani, dia orang yang menolak kebanggaan dunia, dan dia orang yang mengumpulkan tingkatan-tingkatan akhirat.”

Sesuai dengan apa yang dikatan oleh Abu Nua’aim Al Ashfahani diatas, bahwasannya Abu Darda’ adalah seorang yang bijak dalam berbicara terlihat ketika Abu Darda’ suatu kali menasehati sekelompok orang  yang mencaci orang lain lantaran orang  lain tersebut telah melakukan suatu dosa.

Dikisahkan dalam kitab Hilyatu al-Awliyaa’ karangan Abu Nu’aim Al Ashfahani, diceritakan bahwa suatu hari Abu Darda’ melewati seseorang yang telah berbuat suatu dosa, lalu orang-orang mencacinya. Melihat kenyataan seperti itu, Abu Darda’ bertanya “Menurut kalian, seandainya kalian mendapatinya berada dalam sumur, tidakkah kalian mengeluarkannya?” Mereka menjawab “Ya”.

Kemudian Abu Darda’ berkata “Kalau begitu janganlah kalian mencaci saudaramu, dan pujilah Allah yang telah menjagamu dari berbuat maksiat”. Mereka bertanya “Apakah engkau tidak membencinya?” Abu Darda menjawab “Aku hanya membenci perbuatannya. Apabila ia telah meninggalkan perbuatan tersebut, maka ia adalah saudaraku”. Kemudian abu Darda’ berkata “Berdoalah kepada Allah dimasa senangmu, semoga Allah memperkenankan doamu dimasa susah mu.”

Dari nasehat Abu Darda’ tersebut dapat kita ambil pelajaran yang sangat berharga bahwasannya kita dilarang membenci atau mencaci seseorang lantaran orang itu telah melakukan suatu perbuatan dosa. Tetapi bencilah perbuatan dosanya itu sendiri karena sejatinya kita bukanlah orang yang Ma’shum “terpelihara dari dosa” seperti para nabi-nabinya Allah. Maka bisa jadi kita sendiri yang melakukan perbuatan dosa tersebut.

Maka langkah yang tepat dan yang lebih baik kita lakukan adalah dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala karena telah menjaga kita dari perbuatan dosa yang telah dilakukan orang lain tersebut, malah bukan mencaci pelakunya. Wallahu Ta’ala A’lam…

BINCANG SYARIAH

MUI Imbau Ustadz dan Ustadzah Patuh Protokol Kesehatan

Para ustadz berperan penting untuk tidak menciptakan kerumunan.

Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis mengimbau ustadz dan ustadzah mematuhi protokol kesehatan. Sebab, virus Covid-19 dapat menyerang siapa pun tanpa mengenal status.

“Karena kondisi pandemi masih rawan, acara-acara keagamaan, acara sosial, dan bisnis kalau bisa menghindari berkerumun. Hindari kontak fisik. Jangan lupa memakai masker dan cuci tangan,” kata Cholil saat dikonfirmasi, Kamis (19/11).

Walaupun pemerintah menerapkan jaga jarak, bukan berarti aktivitas menjadi terhambat. Masyarakat tetap beraktivitas diiringi dengan penerapan protokol kesehatan.

“Kita tetap beraktivitas dengan menjaga protokol kesehatan. Saya atas nama Sekretaris Satgas Covid-19 MUI mengimbau kepada para asatidz mawas diri,” ujar dia.

Dia mencontohkan ada beberapa temannya yang enggan datang dalam acara keagamaan jika melanggar prosedur kesehatan, termasuk menghindari kontak fisik. Baru-baru ini, Ustadzah Mama Dedeh dikabarkan positif Covid-19. Kabar itu juga sempat menjadi trending di Twitter. Menanggapinya, Cholil memberikan doa dan harapan kepada Mama Dedeh.

“Kepada Mamah Dedeh, saya nggak tahu bagaimana bisa terpapar. Tapi saya berharap sabar dan tawakal kepada Allah, berdoa mudah-mudahan Mama Dedeh diberi kesembuhan dan kesehatan karena ilmu dan perjuangan kepada umat dibutuhkan. Semoga kita semua diselamatkan oleh Allah,” kata dia.

Cholil juga menekankan para ustadz dan ustadzah harus bertindak tegas. Pengajian dan sejumlah acara keagamaan memang tidak dilarang, namun sebaiknya mematuhi protokol kesehatan.

“Peraturan pemerintah wajib ditaati. Para ustadz berperan penting untuk tidak menciptakan kerumunan. Menerima undangan pun harus tau acaranya seperti apa, nggak setiap undangan diterima,” kata dia.

KHAZANAH REPUBLIKA

Aa Gym: Tokoh Beri Teladan Patuh Protokol Kesehatan

Aa Gym mengimbau, momentum Covid-19 perlu disikapi secara bijak.

Pendakwah senior sekaligus pendiri Daarut Tauhid, KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), menyampaikan pentingnya menjaga protokol kesehatan. Beliau pun mengimbau kepada semua elemen, terlebih tokoh, untuk memberikan teladan patuh protokol kesehatan.

“Inilah saatnya kita bahu-membahu, setiap tokoh harus berusaha memberikan yang terbaik minimal keteladanan dan perhatian yang sungguh-sungguh untuk mengingatkan seluruh masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (4/12).

Beliau mengingatkan seluruh elemen masyarakat di negeri ini jangan sampai lalai menerapkan protokol kesehatan. Sebab di tengah situasi pandemi dan tren peningkatan penularan yang meningkat, menurutnya, kelalaian menerapkan protokol kesehatan hanya akan memperburuk situasi.

Di sisi lain, ia pun mengingatkan sesungguhnya wabah Covid-19 bisa juga menjadi jalan keberkahan bagi Indonesia. Asalkan segenap umat dan masyarakatnya mampu bahu-membahu dan bersatu padu untuk berjuang memerangi Covid-19.

“Karena musuh kita yang paling utama saat ini adalah Covid-29,” ujarnya.

Wabah Covid-19 yang hadir di Indonesia dan dunia ini dinilai telah menjadi ancaman nyata pada kesehatan, ekonomi, penddidikan, hingga kegiatan ibadah yang dilakukan kurang sempurna. Wabah ini pun dinilai dapat merusak masa depan bangsa dan masyarakat apabila tidak dibenahi secara bersama-sama.

Aa Gym mengimbau, momentum Covid-19 perlu disikapi secara bijak dengan bersama-sama bisa mengerahkan pikiran, tenaga, waktu, serta kemampuan dalam memecahkan masalah di negeri ini. Sehingga ke depannya diharapkan Indonesia mampu menyelesaikan banyak permasalahan seperti perbedaan pendapat dengan cara yang baik. 

Aa Gym pun mengajak semua pihak fokus dan sungguh-sungguh ambil bagian di dalam membantu menyelesaikan wabah ini sebaik-baiknya. Dan kepada semua masyarakat, ia berpesan, kedisiplinan dalam mematuhi protokol kesehatan ditambah sebagai orang yang beriman harus dilengkapi dengan protokol ibadah, doa, istighfar, hingga protokol sedekah.

“Mudah-mudahan kesungguhan dalam menyempurnakan ikhtiar dan doa ini akan mendatangkan keberkahan pertolongan Allah bagi kita semua,” ujarnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Memakmurkan Masjid

Orang-orang yang memakmurkan masjid amat mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya.

Pada masa Rasulullah SAW, bangunan masjid begitu sederhana. Nabi SAW dan para sahabat membangunnya dengan tanah liat yang dikeraskan (batu bata). Atapnya berbahan dedaunan, sedangkan tiangnya hanya dari batang pohon kurma.

Masjid –dalam hal ini Mas jid Nabawi– kemudian mulai direnovasi semasa kekhalifahan Umar bin Khattab. Amirul Mukminin memberi tambahan batu bata dan dahan kurma meski masih mengikuti bentuk bangunan pada masa Rasulullah. Tiang utama diganti dengan kayu.

Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, renovasi masjid kian digencarkan. Utsman membangun dinding masjid dari batu yang diukir. Utsman juga menambahkan batu kapur. Dia juga menambahkan tiang dari batu berukir, sedangkan atapnya menggunakan batang kayu pilihan.

Meski bermaterial sederhana, masjid pada zaman Rasulullah SAW mempunyai fungsi yang istimewa. Almarhum Prof Mustafa Ali Yaqub, imam besar Masjid Istiqlal, menjelaskan, masjid pada zaman Rasulullah setidaknya memiliki lima fungsi. Masjid berfungsi sebagai tempat peribadatan, tempat pembelajaran, musyawarah, merawat orang sakit, hingga asrama.

Orang-orang yang memakmurkan masjid amat mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya. Pernah pada satu waktu, ada seorang perempuan berkulit hitam yang sudah renta selalu membersihkan masjid. Dialah Ummu Mahjan. Nenek yang setiap hari menjaga dan membersihkan Masjid Nabawi agar bersih dari kotoran.

Kala itu, dia sadar jika tenaganya sudah amat terbatas untuk membantu jihad di jalan Allah. Karena itu, Ummu Mahjan pun memilih mengabdikan dirinya untuk Masjid Nabawi. Saat dia wafat, para sahabat menguburkannya dan tidak memberitahu Rasulullah SAW yang sedang tidur.

Nabi SAW bertanya tentang dia. Masyarakat sekitar Madinah menjawab, “Dia telah meninggal.”

Beliau pun berujar, “Mengapa kalian tidak memberitahukan perihal kematiannya? Tunjukkan kuburnya kepadaku. Lantas beliau mendatangi kuburnya dan shalat di atasnya.” (HR Bukhari dan Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad).

Kemuliaan pemakmur masjid

Sungguh besar kemuliaan mereka yang kerap mendatangi masjid dengan berjalan kaki. Saat dia datang pada pagi dan sore hari, Allah akan menyediakan tempat tinggal baginya yang baik di surga.

Tidak hanya itu, jasadnya pun haram untuk dibakar api neraka. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang kedua kakinya berdebu di jalan Allah, maka Allah mengharamkan orang itu untuk masuk neraka.” (HR Bukhari, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ahmad).

Kemuliaan mereka bertambah besar karena Allah sendiri yang akan menjadi penjaminnya hingga meninggal dunia. Kalau sudah mendapatkan jaminan dari Allah SWT, para pencinta masjid tak perlu takut akan urusan dunia. Dengan ikhtiar dan tawakal, dunia akan mendatangi mereka. “…Orang yang pergi ke masjid. Ia akan mendapatkan jaminan dari Allah (Allah menjadi penjaminnya) hingga meninggalnya Allah akan memasukkannya ke dalam surga atau mengembalikan semua yang telah diperolehnya berupa pahala dan ghanimah….” (HR Abu Dawud).

Bonus lainnya adalah terhapusnya dosa. Nabi SAW juga mengungkapkan, orang yang memperbanyak langkah menuju ke masjid maka kesalahan-kesalahannya akan terhapuskan. Derajatnya pun akan terangkat.

Meski demikian, dalam hadis yang lain disebutkan jika penghapusan dosa tersebut hanya akan terjadi jika kita mendatangi masjid untuk mendirikan shalat. “… Tidak ada yang mendorongnya (menuju masjid) kecuali karena shalat, tidak ada keinginan kecuali untuk melaksanakan shalat, maka tidaklah ia melangkah kecuali diangkat satu derajat karenanya dan dihapus dosa karenanya sampai ia memasuki masjid.”

Apabila dia sudah memasuki masjid, pahalanya dihitung sama dengan melakukan shalat selama shalat yang menahannya. Tidak mengherankan jika Rasulullah SAW mengungkapkan, mereka yang paling banyak mendapatkan pahala dalam shalat adalah mereka yang paling jauh (jarak rumahnya ke masjid) dan paling jauh perjalanannya menuju masjid.

Orang yang akan menunggu waktu shalat hingga dia melaksanakan shalat bersama imam lebih besar phalanya dari orang yang melaksanakan shalat kemudian tidur. Wallahu a’lam.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Bekerja Sebagai Tukang Ojek

Pertanyaan:

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bagaimana Hukum bekerja Sebagai tukang Ojek ? Saya mahasiswa, dan di Selingan waktu ada rencana mau bekerja sebagai Driver Ojek Online.

جَزَاك اللهُ خَيْرًا

(Dari Arya Buana di Balikpapan Anggota Grup WA Bimbingan Islam N06 G-57)

Jawab

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Pada dasarnya boleh saja bekerja sebagai tukang ojek, asalkan tidak memboncengkan lawan jenis. Dan bila ojeknya secara online maka anda bisa memastikan terlebih dahulu bahwa yang akan anda antarkan adalah laki-laki.

Wallahu a’lam.

Konsultasi Bimbingan Islam

Dijawab oleh Ustadz Dr. Sufyan Baswedan Lc MA

BIMBINGAN ISLAM

Salah Paham Karena Baca Buku Terjemah Sendirian, Apakah Dosa?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang salah paham karena baca buku terjemah sendirian, apakah dosa?
selamat membaca.

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.

Ustadz mau bertanya, apakah saya berdosa jika pernah salah paham dalam membaca suatu kitab terjemahan yang mana saya sendiri bermalasan dalam mendengarkan kajian namun lebih suka dengan membaca buku saja?
Kajian-kajian video atau audio sangat jarang diikuti. Apakah ada udzur atas kesalahan saya?
Tapi ana bertekad untuk suatu saat nanti belajar langsung dari asatidz saat saya masuk mondok, insyaa Allah.
Jazaakallaahu khairan katsiiraa..

(Disampaikan oleh Fulan, Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Sahabat Bias yang semoga Allah muliakan anda dan kita semua.

Tekad yang sangat baik, semoga Allah mudahkan keinginan anda dalam belajar untuk masuk pesantren.

pesantren atau tidak, kewajiban kita adalah belajar, karena tidak semua orang di tuntut masuk pesantren, tetapi  yang dituntun adalah belajar islam. Sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim”
(HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)

kemudian dalam belajar maka hendaknya seorang mengikuti bagaimana para ulama belajar. Sehingga ada baiknya kita mencoba mencari tahu adab dan siroh mereka dalam balajar, supaya kita tergerak  dan berjalan sesuai dengan apa yang dinasihatkan oleh para salaf.
Diantara yang banyak mereka wasiatkan dan mereka anjurkan adalah pentingnya talaqqi/duduk langsung dengan guru dalam berjalan, terlebih pada awal kita melangkah untuk menuntut ilmu. itu yang harus diusahakan, sehingga mau tidak mau, cobalah duduk mencari majelis ilmu secara riil/nyata.
Bila belum memungkinkan, karena alasan kesibukan dan minimnya kajian yang ada di sekitar, minimalnya mencoba belajar dari mendengar atau melihat dari audio atau video. Sekali lagi hal ini dilakukan karena keadaan darurat atau sebagai tambahan jadwal belajar, bukan belajar utama, karena utamanya kita duduk di majelis ilmu dengan raga dan pikiran kita, ilmu lebih berkah dan bermanfaat insyaallah.

Terkait dengan membaca otodidak tanpa ada guru yang mengarahkan sebelum kita mempunyai modal dasar ilmu maka ini akan membahayakan diri kita.

sebagaimana ungkapan yang sering kita dengar ,’

مَنْ كَانَ شَيْخُهُ كِتَابَهُ فَخَطَئُهُ أَكْثَرْ مِنْ صَوَابِهِ

Barangsiapa yang gurunya adalah bukunya, maka kesalahannya lebih banyak daripada benarnya”.

Hal tersebut bila kita membaca ilmu tanpa dasar dasar ilmu yang benar atau kita membaca ilmu dari para penulis yang tidak kita kenal, sehingga banyak kesalahan kesalahan dalam memahami tulisan atau kita telan mentah mentah tulisan tersebut tanpa ada penimbang dengan pemikiran yang terlontar.

mengomentari pepatah diatas syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan,
“Bahwa perkataan ini tidaklah benar maupun salah secara mutlak. Akan tetapi seseorang yang belajar dari sebuah buku dan orang-orang yang dikenal dengan ilmunya serta dapat dipercaya dalam menyampaikan ilmunya, secara bersamaan maka hal ini dapat meminimalisir kesalahan yang terjadi.”

Ringkasnya, bila kita lalai dan bermudah mudah dalam membaca dan buku bacaan, maka ada potensi dosa karena kelalaian kita. Namun bila sudah mencoba belajar dengan cara dan proses yang benar, walau ada kesalahan dalam memahami karena ijtihad kita, selama kita terus mengembangkan diri dan siap untuk berubah, insyaallah tidak mengapa.
Sebagaimana para ulama di beberapa pendapat pernah salah dan berubah setelah mendapatkan pendapat atau dasar yang lebih kuat.

Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab oleh :
Ustadz Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله
Jum’at, 19 Rabiul Akhir 1442 H/ 04 Desember 2020 M

BIMBINGAN ISLAM