Rancunya Timbangan Kebaikan dan Geramnya Ibnu Al-Jauzi

Ibnu Al-Jauzi geram dengan sikap pemuda yang kehilangan timbangan kebaikan.

Dalam hal perintah, ada yang wajib ada yang sunnah. Dalam hal larangan, ada yang haram ada yang makruh. Karena itu, ada dosa besar (kabirah) ada dosa kecil (shaghirah).  

Untuk mengukurnya diperlukan timbangan (mizan) agar yang berat disebut berat dan yang ringan dikatakan ringan. 

 الله الذي أنزل الكتاب بالحق والميزان “Allah yang telah menurunkan Kitab dengan sebenarnya dan (menurunkan) timbangan…” (QS Asy-Syura: 18) 

Dengan timbangan itu dapat dikenali mana yang mesti didahulukan dan mana yang bisa dikemudiankan, mana yang prinsip dan mana yang bisa ditoleransi. Jika alat timbang sudah hilang maka yang terjadi adalah seperti kisah berikut: 

Seorang laki-laki datang menemui Ibnu al-Jauzi RA dan bertanya : “Wahai Imam, apakah saya boleh menggugurkan janin dari wanita yang aku zinahi?” 

Ibnu al-Jauzi berusaha tenang dan berkata, “Ketika engkau jatuh pada dosa zina, mengapa engkau tidak berusaha untuk ‘azal (membuang mani di luar rahim)?” 

Dengan santai laki-laki itu menjawab, “Saya dengar ‘azal itu makruh…” Dengan nada keras Ibnu al-Jauzi berkata: “Engkau dengar ‘azal itu makruh dan engkau tidak dengar zina itu haram?”

*Magister hadits Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang. 

Oleh Ustadz Yendri Junaidi, Lc MA

KHAZANAH REPUBLIKA


Gampang Tuduh Orang Munafik, Jangan-Jangan Kita Termasuk?

Sahabat Hudzaifah disebut sebagai Pemilik Rahasia Nabi Muhammad SAW. Hal ini karena Sahabat Hudzaifah pernah diberi tahu Rasulullah SAW tentang sosok-sosok orang munafik di antara para sahabat.  

ﻬﺎ ﺃﻭ ﻳﺮﻳﺪﻫﺎ، ﻓﺘﻌﻠﻘﺖ ﺑﻪ ﻓﻘﻠﺖ: اﺟﻠﺲ ﻳﺎ ﺃﻣﻴﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ; ﻓﺈﻧﻪ ﻣﻦ ﺃﻭﻟﺌﻚ، ﻓﻘﺎﻝ: ﻧﺸﺪﺗﻚ ﺑﺎﻟﻠﻪ، ﺃﻧﺎ ﻣﻨﻬﻢ؟ ﻗﺎﻝ: ﻻ، ﻭﻻ ﺃﺑﺮﺉ ﺃﺣﺪا ﺑﻌﺪﻙ. ﺭﻭاﻩ اﻟﺒﺰاﺭ، ﻭﺭﺟﺎﻟﻪ ﺛﻘﺎﺕ  

Hudzaifah berkata: Umar bin Khattab pernah diundang menghadiri jenazah, ia pun mendatanginya. Saya hubungi Umar dan saya bilang: “Duduklah (jangan ikut salat jenasah), Wahai Pemimpin Umat Islam. Jenasah ini termasuk orang munafik”. Umar berkata: “Aku sumpah engkau, apakah aku termasuk orang-orang munafik?” Kujawab: “Tidak! Aku takkan ceritakan lagi setelah ini” (Riwayat Al-Bazzar) 

Sejenak kita lihat sosok Sayidina Umar, beliau adalah salah satu pengganti Rasulullah, tergolong Sahabat yang telah dijamin masuk surga (HR Tirmidzi), ada banyak ayat Alquran diturunkan karena Sayidina Umar dan lainnya.

Namun beliau masih khawatir termasuk orang-orang munafik. Sementara itu, anehnya dengan kita, sering menuduh orang lain sebagai munafik. Jangan-jangan malah kita sendiri termasuk golongan yang dikecam agama itu?

Oleh Ustadz Yendri Junaidi, Lc MA  

*Magister hadits Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.    

KHAZANAH REPUBLIKA

The Power of Baik Sangka kepada Allah

TADI saya berkesempatan menyampaikan khutbah Jum’at di Masjid Islamic Center Surabaya. Protokol Covid dilaksanakan, jamaah membludak sampai ke luar masjid karena harus berjarak. Dalam khutbah itu saya sampaikan beberapa hal, salah satunya adalah berbaik sangka kepada Allah.

Saya menganggap tema ini adalah tema penting untuk direnungkan di tengan nuansa ketidakpastian karena pandemi ini. Keluhan semakin bertaburan, kegelisahan semakin merata, putus asa pun sudah mulai marak disuarakan. Saya mulai kajian saya dengan poin pembuka bahwa Allah tidak pernah salah, Allah Mahabaik dalam segalanya dan rahmat Allah menyelimuti segala sesuatu. Dalam musibah pun, betapapun tak enak dijalani, ada rahmat Allah. Sayangnya kebanyakan kita terhalang pandangan untuk melihat rahmat di balik musibah itu.

Keyakinan akan kemahabaikan Allah harus mengantarkan kita pada sikap terus beprasangka baik kepada Allah, optimis dalam hidup, tak putus asa menunggu suatu kejutan kebaikan dari Allah. Sikap berbaik sangka kepada Allah seperti ini amatlah terpuji dan mengantarkan kita pada kebahagiaan yang sesungguhnya tanpa pernah kita duga.

Coba perhatikan hadits Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa baiknya prasangka kita kepada Allah adalah termasuk baiknya ibadah kita kepadaNya. Perhatikan pula hadits lainnya yang menyatakan bahwa Allah adalah mengikuti apa yang diperaangkakan hambaNya kepadaNya. Jika seorang hamba berprasangka baik, maka kebaikan akan diberikan kepadanya. Jika berprasangka jelek, maka nasib jelek akan ditimpakan kepadanya.

Inilah alasan mengapa para pengeluh itu sulit sukses. Inilah alasa mengapa orang yang senantiasa bersyukur itu selalu saja menemukan peluang bahagia. Masihkah akan memelihara keluhan? Tersenyumlah, saudaraku dan sahabatku.

Ada banyak kisah menarik tentang kedahsyatan berbaik sangka kepada Allah. Inilah alasan mengapa Rasulullah menyuruh kita agar jangan meninggal dunia kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah. Perhatikan hadits berikut ini yang disampaikan Rasulullah 3 hari menjelang kewafatan beliau: “Sungguh jangan sampai salah seorang di antara kalian itu mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.”

Sahabat dan saudaraku, insyaAllah kita semua adalah ahli surga, berkumpul dengan orang-orang baik pilihan Allah. Mari kita selalu semangan berbuat baik, apapun yang bisa kita lakukan. Salam, Ahmad Imam Mawardi, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya. [*]

Oleh  KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK


Bersikap Benar dan Jujur dalam Seluruh Aspek Kehidupan

Allah Swt Berfirman :

وَقُل رَّبِّ أَدۡخِلۡنِي مُدۡخَلَ صِدۡقٖ وَأَخۡرِجۡنِي مُخۡرَجَ صِدۡقٖ وَٱجۡعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلۡطَٰنٗا نَّصِيرٗا

Dan katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(ku).” (QS.Al-Isra’:80)

Ayat ini adalah sebuah bimbingan Allah Swt pada Nabi Muhammad Saw dan sekaligus ingin mengajarkan kepada seluruh manusia agar menjadikan kebenaran dan kejujuran sebagai prioritas dalam seluruh sisi kehidupannya.

Sehingga semua prilaku, pemikiran dan sikap yang muncul darinya selalu dibarengi dengan kejujuran dan kebenaran tersebut.

Seluruh sisi kehidupan baik hubungannya dengan Allah, hubungan dengan diri sendiri dan hubungan dengan sesama manusia hendaknya dimulai dan dijaga selalu dengan kebenaran dan kejujuran. Bahkan seluruh kegiatan yang sedang kita geluti hendaknya tidak terlepas dari dua hal penting tersebut.

Secara ringkas ayat ini ingin mengajarkan tentang keimanan dan konsekuensinya.

Ketika kita mengimani sesuatu maka kita harus jujur untuk menjalankan apapun perintah dari yang kita imani. Bagaimanapun kondisi dan situasi kita, itu bukan alasan untuk menghindari perintah-Nya.

Karenanya, di akhir ayat tersebut Allah Swt mengajarkan kepada kita :

وَٱجۡعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلۡطَٰنٗا نَّصِيرٗا

“Dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(ku).”

Allah ingin membimbing agar hendaknya setiap mukmin memohon kepada Allah agar diberikan bantuan dan pertolongan oleh-Nya.

Dia lah Pemilik Kekuatan dan Kekuasaan, berdoa lah selalu agar Allah membantu kita agar ikhlas dalam beramal dan jujur dalam bersikap.

Kita perlu selalu memohon kepada Allah agar mampu melawan semua rayuan dan tantangan yang ingin menjauhkan kita dari kejujuran dan kebenaran.

Inilah yang perlu untuk kita lakukan. Niat yang kuat untuk jujur dalam beramal dan doa yang tak terputus untuk selalu memohon agar diberi pertolongan oleh Allah dalam melewati jalan kebenaran yang tentunya tidak mudah.

Bukankah Allah Swt memuji orang-orang yang gugur di jalan Allah karena kejujuran dan kesetiaan mereka atas apa yang mereka yakini.

مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ رِجَالٞ صَدَقُواْ مَا عَٰهَدُواْ ٱللَّهَ عَلَيۡهِۖ فَمِنۡهُم مَّن قَضَىٰ نَحۡبَهُۥ وَمِنۡهُم مَّن يَنتَظِرُۖ وَمَا بَدَّلُواْ تَبۡدِيلٗا

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).” (QS.Al-Ahzab:23)

Semoga Allah membimbing kita untuk selalu jujur dalam bersikap sesuai dengan apa yang kita yakini.

KHAZANAH ALQURAN

Arab Saudi Pulihkan Ibadah Umroh

Otoritas arab saudi mengumumkan penangguhan umrah yang diterapkan untuk mencegah penyebaran covid-19, akan dicabut secara bertahap, Senin (21/9).

Menteri Haji dan Umrah, Mohammed Saleh Benten, mengatakan untuk sementara kesehatan masyarakat tetap menjadi prioritas utama Kerajaan. Kementeriannya sedang mempelajari rencana tiga babak pemulihan haji secara bertahap.

Dilansir di Arab News, Selasa (22/9), pada fase pertama, warga negara Saudi dan ekspatriat yang tinggal di Kerajaan diizinkan untuk menunaikan ibadah haji kecil ini. Namun, layanan umrah hanya akan beroperasi dengan kapasitas 40 persen dari kapasitas normal.

Kapasitas jamaah yang menjalankan ibadah akan ditingkatkan menjadi 75 persen pada fase kedua. Selanjutnya, pada fase tiga, Saudi akan memulihkan kapasitas penuh dan peziarah dari luar Kerajaan kembali diizinkan melakukan perjalanan umrah.

Kementerian Haji dan Umrah juga menyebut, selama pelaksanaan tiga fase ini, tindakan pencegahan kesehatan yang ketat akan diberlakukan.

Menteri Benten lantas mengatakan, kementerian mendukung semua orang, baik investor dan pekerja, yang terlibat di sektor ini selama transformasi kelembagaan.  Pihaknya ingin memberdayakan perusahaan umroh dan organisasi terkait, agar menjadi entitas ekonomi yang kuat serta memberikan layanan berkualitas tinggi melalui aplikasi //I’tamarna//. Aplikasi ini akan memudahkan jamaah untuk merencanakan perjalanannya.

Lebih dari 30 perusahaan lokal dan internasional akan memberikan layanan kepada para peziarah melalui platform elektronik. Platform tersebut memungkinkan penyedia layanan melakukan tindak lanjut yang diperlukan saat melayani jamaah.

Benten juga menambahkan, perusahaan dan lembaga umrah melayani lebih dari 16 juta jamaah dari Kerajaan, wilayah dan seluruh dunia.

Pentingnya registrasi awal umrah ditekankan oleh Menteri Benten. Perusahaan umrah bertanggung jawab melakukan pembelajaran guna mengidentifikasi kebutuhan jamaah, termasuk mereka yang datang melalui negara transit.

“Warga dari 80 negara sekarang dapat mengunjungi Kerajaan untuk Umrah tanpa memerlukan visa dan jumlah ini akan meningkat,” ujar Benten.

Wakil Menteri Haji dan Umrah Saudi, Abddulfattah Mashat, mengatakan telah menyelenggarakan forum dengan tajuk “Mengelola Perubahan Kelembagaan dan Transformasi di Sektor Umrah”. Tujuan kegiatan ini untuk memperkaya pengalaman jamaah umrah.

Ekonomi haji dan umrah tidak terbatas pada layanan yang diberikan kepada jamaah. Di luar itu, perekonomian juga berputar dan mencakup pilihan layanan dan logistik lainnya.

Kementerian disebut berusaha mengelola transformasi kelembagaan secara efektif, meningkatkan layanan, memperkaya pengalaman dan memperbesar aspek keberlanjutan sektor untuk melayani lebih banyak jamaah.

Pada 2019, Mashat menyebut 5,3 juta warga Saudi, 6,4 juta ekspatriat, 1,2 juta penduduk negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC), dan 7,5 juta orang dari belahan dunia lain melakukan umrah.

Ia juga mengatakan, bagi jamaah yang bepergian dari negara lain, sebelumnya harus melalui agen dan perusahaan umrah terdaftar untuk mendapatkan visa dan membuat pengaturan lain. Kementerian sedang mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki keseluruhan sistem.

Sebagai bagian dari transformasi sektor yang direncanakan, Mashat mengatakan perusahaan Umrah dapat mengakuisisi perusahaan yang ada dan bergabung dengan mereka atas namanya, atau membentuk entitas baru.

Sehubungan dengan transformasi sektor ini, dia menekankan perlunya bisnis mengubah konsep layanan yang mereka berikan dan mengembangkan model bisnis baru.

IHRAM


Doa untuk Orang yang Pergi Safar (Musafir)

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seorang laki laki datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:

“Aku ingin safar maka bekali aku.”

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى

“Semoga Allah memberimu ketakwaan.”

Ia berkata, “Tolong tambahkan lagi.”

Beliau bersabda:

وَغَفَرَ ذَنْبَكَ

“Dan mengampuni dosamu.”

Ia berkata lagi, “Tolong tambahkan lagi, ayah dan ibuku sebagai tebusannya.”

Nabi bersabda:

وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ

“Dan memudahkan untukmu kebaikan dimana saja kamu berada.”

(HR At-Tirmidzi no. 3444)

Itulah seindah-indah ucapan..

Inilah doa yang engkau ucapkan untuk orang yang pergi safar:

زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى وَغَفَرَ ذَنْبَكَ وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ

ZAWWADAKALLAAHUT TAQWA WA GHOFARO DZANBAKA WAYASSARO LAKAL KHOIRO HAITSUMA KUNTA

Penyusun: Ustadz Badrusalam, Lc.

YUFIDIA

11 Kesalahan dalam Berwudhu

Sebagaimana ibadah yang lain, wudhu pun wajib untuk mengikuti tuntunan dari Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam mengerjakannya. Karena Al Qur’an dan hadits adalah sumber landasan hukum dalam Islam, serta acuan dalam mengerjakan ibadah. Maka tidak boleh kita melakukan ibadah hanya dengan dasar pendapat seseorang, opini seseorang atau logika semata. Lebih lagi jika tidak memiliki dasar sama sekali alias asal-asalan.

Oleh karena itu, pembahasan kali ini akan memaparkan secara ringkas beberapa amalan dan keyakinan yang salah seputar wudhu, karena amalan dan keyakinan tersebut tidak dilandasi oleh Al Qur’an dan hadits yang shahih. Beberapa amalan dan keyakinan tersebut adalah:

1. Melafalkan niat wudhu

Sebagian orang melafalkan niat wudhu semisal dengan mengucapkan: “nawaitul wudhu’a liraf’il hadatsil asghari lillahi ta’ala” (saya berniat wudhu untuk mengangkat hadats kecil karena Allah Ta’ala) atau semacamnya. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah mencontohkan melafalkan niat sebelum wudhu, dan niat itu adalah amalan hati. Mengeraskan bacaan niat tidaklah wajib dan tidak pula sunnah dengan kesepakatan seluruh ulama. Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi mengatakan, “Tidak ada seorang imam pun, baik itu Asy Syafi’i atau selain beliau, yang mensyaratkan pelafalan niat. Niat itu tempatnya di hati berdasarkan kesepakatan mereka (para imam)” (Al Ittiba’ hal. 62, dinukil dari Al Qaulul Mubin Fii Akhta-il Mushallin, hal. 91).

Sekali lagi niat itu amalan hati dan itu mudah, tidak perlu dipersulit. Dengan adanya itikad dan kemauan dalam hati untuk melakukan wudhu untuk melakukan shalat atau yang lainnya, maka itu sudah niat yang sah.

2. Tidak mengucapkan basmalah

Para ulama berbeda pendapat apakah basmalah atau mengucapkan “bismillah” hukumnya wajib ataukah sunnah. ٍSebagian ulama mewajibkan dengan dalil hadits: “tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil). Namun jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah karena beberapa hal:

a. Membaca basmalah tidak disebutkan bersamaan dengan hal-hal wajib lainnya dalam surat Al Maidah ayat 6

b. Keumuman hadits-hadits yang menjelaskan mengenai cara wudhu Nabi, tidak menyebutkan mengucapkan basmalah (lihat Asy Syarhul Mumthi’, 1/159).

c. Makna “tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala” adalah penafian kesempurnaan wudhu (lihat Asy Syarhul Mumthi’, 1/158 – 159).

Namun demikian, baik beranggapan hukumnya sunnah ataupun wajib, meninggalkannya dengan sengaja adalah sebuah kesalahan.

3. Melafalkan doa untuk setiap gerakan

Sebagian orang menganggap ada doa khusus yang dibaca pada setiap gerakan wudhu. Yang benar, doa-doa tersebut tidak pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan hanya berasal dari hadits-hadits yang palsu. Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad (1/195) mengatakan: “semua hadits tentang dzikir-dzikir yang dibaca pada setiap gerakan wudhu adalah kedustaan yang dibuat-buat, tidak pernah dikatakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedikit pun dan tidak pernah beliau ajarkan kepada umatnya”.

4. Memisahkan cidukan air untuk berkumur dan istinsyaq-istintsar

Jika dalam berwudhu anda berkumur-kumur tiga kali, kemudian setelah itu baru beristinsyaq (memasukan air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan cidukan air yang berbeda, maka ini tidak sesuai dengan praktek Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang beliau contohkan adalah berkumur-kumur, istinsyaq, dan istintsar itu dengan satu cidukan kemudian ulang sebanyak 3x. Sehingga untuk berkumur-kumur, istinsyaq, dan istintsar hanya melakukan 3 cidukanDari Abdullah bin Zaid radhiallahu’anhu beliau menceritakan cara wudhu Nabi, “Rasulullah menciduk air dengan kedua telapak tangannya dari bejana kemudian mencuci keduanya, kemudian mencuci (yaitu berkumur-kumur dan beristinsyaq) dari satu cidukan telapak tangan, beliau melakukannya 3x …” (HR. Bukhari 191).

5. Tidak mencuci lengan hingga siku

Padahal Allah Ta’ala berfirman mengenai rukun wudhu (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan basuhlah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al Maidah: 6).

6. Tidak membasuh seluruh kepada

Membasuh sebagian kepala semisal hanya membasuh bagian depannya saja, adalah sebuah kesalahan. Padahal dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas disebutkan “.. dan basuhlah kepalamu..”. “kepala” di sini maknanya tentu seluruh kepala, bukan sebagiannya saja. Diperkuat lagi oleh hadits lain dari Abdullah bin Zaid radhiallahu’anhu mengenai tata cara membasuh kepala dalam wudhu, “… kemudian Rasulullah membasuh kepalanya dengan kedua tangannya. Beliau menggerakan kedua tangannya ke belakang dan ke depan. Di mulai dari bagian depan kepalanya hingga ke tengkuknya, lalu beliau gerakkan kembali ke tempat ia mulai…” (HR. Bukhari 185, Muslim 235).

7. Membasuh leher setelah membasuh kepala

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “tidak shahih hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membasuh leher dalam wudhu, bahkan tidak diriwayatkan dalam hadits shahih satu pun. Bahkan hadits-hadits shahih mengenai tata cara wudhu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyebutkan mengenai membasuh leher” (Majmu’ Fatawa 21/127-128, dinukil dari Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah, 1/142).

8. Mengulang mencuci kaki, sehingga lebih dari sekali

Sebagian orang mencuci kaki kanan, lalu kaki kiri, lalu kembali ke kanan lagi, sampai 3 x. Hal ini tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Syaikh Husain Al ‘Awaisyah dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah (1/143) mengatakan: “(Yang sesuai sunnah adalah) mencuci kedua kaki tanpa berulang, berdasarkan hadits Yazid bin Abi Malik yang di dalamnya disebutkan, “Rasulullah berwudhu tiga kali – tiga kali, sedangkan beliau ketika mencuci kakinya tanpa berulang (cukup sekali)” (HR. Abu Daud 116, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud). Maka yang tepat adalah mencuci kaki kanan sekali, lalu kaki kiri sekali.

9. Kurang sempurna mencuci kaki, dan juga anggota wudhu yang lain

Terkadang karena kurang serius dalam berwudhu atau karena terburu-buru, seseorang tidak sempurna dalam mencuci kedua kakinya. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melihat sebagian sahabat yang ketika berwudhu tidak menyempurnakan mencuci kakinya, beliau memperingatkan mereka dengan keras dengan bersabda: “celaka tumit-tumit (yang tidak tersentuh air wudhu) di neraka” (HR. Bukhari 60, 165, Muslim 240). Tidak hanya kaki, pada anggota wudhu yang lain juga wajib isbagh (serius dan sempurna) dalam membasuh dan mencuci sehingga air mengenai anggota wudhu dengan sempurna.

10. Membiarkan ada penghalang di kulit

Dalam wudhu, ulama 4 madzhab mensyaratkan tidak adanya benda yang dapat menghalangi air mengenai kulit (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 43/330). Membiarkan adanya benda yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit adalah sebuah kesalahan dan bisa menyebabkan wudhunya tidak sah. Dikecualikan jika volumenya sangat kecil dan sedikit seperti kotoran yang ada di kuku, maka ini tidak mengapa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Jika kulit terhalang air oleh sesuatu yang yasiir (sedikit) seperti kotoran di kuku atau semisalnya, thaharah tetap sah” (Fatawa Al Kubra, 5/303). Juga jika benda tersebut tidak memiliki volume atau sulit dihilangkan, maka tidak mengapa. Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta‘ menyatakan: “jiak benda yang menghalangi tersebut tidak bervolume, maka tidak mengapa. Henna dan semacamnya, atau minyak yang dioleskan atau semacamnya, ini tidak mengapa. Adapun jika ia memiliki volume, dalam artian ia tebal dan bisa dihilangkan, maka wajib dihilangkan. Seperti cat kuku, ia memiliki volume, maka wajib dihilangkan. Adapun sekedar polesan tipis, maka itu tidak menghalangi air” (Fatwa Nuurun ‘alad Darbi, no. 161, juz 5 hal. 246).

11. Boros dalam menggunakan air

Berlebih-lebih dan boros adalah hal yang tercela dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan” (QS. Al A’raf: 31). Demikian juga dalam berwudhu, tidak boleh berlebih-lebihan dalam menggunakan air. Air adalah nikmat dari Allah yang wajib kita syukuri, dan salah satu cara mensyukuri nikmat air adalah dengan tidak menyia-nyiakannya. Dan banyak diantara saudara kita di tempat yang lain yang tidak bisa menikmat air yang melimpah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri mencontohkan hal ini. Beliau biasa berwudhu hanya dengan 1 mud saja. Anas bin Malik radhiallahu’anhu menyatakan, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya berwudhu dengan 1 mud air dan mandi dengan 1 sha’ sampai 5 mud air” (HR. Bukhari 201, Muslim 326). Sedangkan konversi 1 mud para ulama berbeda pendapat antara 0,6 sampai 1 liter. Sungguh hemat sekali bukan? Boleh saja berwudhu dengan air keran dan lebih dari 1 mud selama tidak berlebih-lebihan dan tetap berusaha untuk menghemat.

Wallahu ta’ala a’lam.

Referensi

  • Asy Syarhul Mumthi ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
  • Al Qaulul Mubin fii Akhta’il Mushallin, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi
  • Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Muyassarah, Syaikh Husain Al ‘Awaisyah
  • Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Departemen Agama Kuwait
  • Fatawa Nuurun ‘alad Darbi

***

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Makan dan Minum Bukanlah Pembatal Wudhu

Banyak masyarakat awam yang mengira bahwa ketika orang sudah berwudhu, lalu makan atau minum, maka batal wudhunya. Ini pemahaman yang keliru. 

Dua alasan bahwa makan dan minum bukan pembatal wudhu

Alasan yang pertama, karena tidak ada dalil yang menunjukkan makan atau minum itu adalah pembatal wudhu. Padahal kaidah fiqhiyyah yang disebutkan para ulama:

الأصل بقاء ماكان على ماكان

“Pada asalnya, hukum yang sudah ditetapkan itu tetap berlaku”.

Maka jika seseorang sudah berwudhu, ia dihukumi suci dan tidak batal wudhu. Kecuali terdapat dalil yang menunjukkan batalnya wudhu. Sedangkan tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa makan dan minum adalah pembatal wudhu.

Alasan kedua, terdapat hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak berwudhu lagi setelah makan atau minum. Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ عَرْقًا مِنْ شَاةٍ ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يُمَضْمِضْ وَلَمْ يَمَسَّ مَاءً

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memakan sepotong daging kambing. Kemudian beliau shalat, tanpa berkumur-kumur dan tanpa menyentuh air sama sekali” (HR. Ahmad no. 2541, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 3028).

Juga terdapat hadits dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

أن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرِبَ لَبَنًا فَلَمْ يُمَضْمِضْ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ وَصَلَّى

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam minum susu, kemudian beliau tidak berkumur-kumur juga tidak berwudhu lagi, lalu beliau shalat” (HR. Abu Daud no. 197, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa makan dan minum bukan pembatal wudhu.

Ada pengecualian untuk daging unta

Namun seseorang memang bisa batal wudhunya jika ia makan daging unta. Dan ini hanya khusus berlaku pada daging unta. Dari Jabir bin Samurah radhiallahu’anhu, ia berkata:

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ؟ قَالَ: «إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ، وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ»، قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ؟ قَالَ: «نَعَمْ، فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ

“Ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam: apakah saya wajib wudhu jika makan daging kambing? Nabi menjawab: “jika engkau mau, silakan berwudhu, jika tidak juga tidak mengapa”. Orang tadi bertanya lagi: apakah saya wajib wudhu jika makan daging unta? Nabi menjawab: iya, berwudhulah jika makan daging unta” (HR. Muslim no.360).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan:

الأكل والشرب لا ينقض الوضوء بعد الوضوء الأكل والشرب إلا إذا كان فيه لحم إبل، إذا كان فيه لحم إبل فلحم الإبل ينقض الوضوء، لحم الجمل الإبل، وأما لحم الغنم ولحم البقر، لحم الصيد لا ينقض الضوء، لكن لحم الإبل خاصة

“Makan dan minum bukanlah pembatal wudhu. Kecuali jika makan daging unta. Jika yang dimakan adalah daging unta, maka memang daging unta itu membatalkan wudhu. Adapun daging kambing, daging sapi, daging hewan buruan, ini semua tidak membatalkan wudhu. Khusus daging unta” (Website binbaz.org.sa, url: https://bit.ly/3iMbIf2).

Namun di sisi lain, terdapat juga hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: 

تَوَضَّؤوا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

“Berwudhulah jika memakan makanan yang dibakar dengan api” (HR. Muslim no.352).

Namun ulama ijma’ hadits ini mansukh dengan hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu:

أنَّهُ سَأَلَهُ عَنِ الوُضُوءِ ممَّا مَسَّتِ النَّارُ؟ فَقالَ: لَا، قدْ كُنَّا زَمَانَ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ لا نَجِدُ مِثْلَ ذلكَ مِنَ الطَّعَامِ إلَّا قَلِيلًا، فَإِذَا نَحْنُ وجَدْنَاهُ لَمْ يَكُنْ لَنَا مَنَادِيلُ إلَّا أكُفَّنَا وسَوَاعِدَنَا وأَقْدَامَنَا، ثُمَّ نُصَلِّي ولَا نَتَوَضَّأُ

“Ia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tentang kewajiban wudhu setelah makan makanan yang dibakar api. Nabi menjawab: tidak wajib. Jabir berkata: dahulu kami ketika di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mendapati makanan seperti itu kecuali sedikit saja. Dan jika kami makan makanan tersebut, lalu tidak ada kain lap kecuali hanya tangan, lengan dan kaki kami, kami pun shalat tanpa berwudhu lagi” (HR. Bukhari no. 5457). 

Maka tidak wajib berwudhu jika makan makanan yang tersentuh api. An Nawawi menukil ijma’ akan hal ini. Kesimpulannya, makan dan minum tidak membatalkan wudhu kecuali jika makan daging unta.

Dianjurkan berkumur-kumur setelah makan atau minum

Walaupun makan dan minum bukan pembatal wudhu, namun dianjurkan berkumur-kumur setelah makan atau minum yang memiliki rasa. Sehingga tidak menimbulkan gangguan ketika shalat. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan:

المضمضة مستحبة من آثار الطعام ، ولا يضر بقاء شيء من ذلك في أسنانك بحكم الصلاة ، لكن إذا كان المأكول من لحم الإبل فلا بد من الوضوء قبل الصلاة ؛ لأن لحم الإبل ينقض الوضوء

“Berkumur-kumur itu dianjurkan untuk membersihkan sisa-sisa makanan. Jika ada sisa makanan di mulut di sela-sela gigi, ini tidak membahayakan keabsahan shalatnya. Namun jika yang dimakan adalah daging unta, maka wajib berwudhu sebelum shalat. Karena makan daging unta itu membatalkan wudhu” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz, 29/52).

Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

ARtikel: Muslim.or.id

Mustajabnya Doa Hari Rabu Antara Zhuhur dan Ashar

Waktu antara zhuhur dan ashar di hari Rabu adalah waktu mustajab doa. Dianjurkan untuk memperbanyak doa ketika itu. Sunnah ini banyak belum diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin.

Diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

أن النبي صلى الله عليه وسلم دعا في مسجد الفتح ثلاثا يوم الاثنين، ويوم الثلاثاء، ويوم الأربعاء، فاستُجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين فعُرِفَ البِشْرُ في وجهه
قال جابر: فلم ينزل بي أمر مهمٌّ غليظ إِلاّ توخَّيْتُ تلك الساعة فأدعو فيها فأعرف الإجابة

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berdoa di Masjid Al Fath tiga kali, yaitu hari Senin, Selasa dan Rabu. Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu diantara dua shalat. Ini diketahui dari kegembiraan di wajah beliau. Berkata Jabir: ‘Tidaklah ada suatu perkara penting yang berat pada saya kecuali saya memilih waktu ini untuk berdoa, dan saya mendapati dikabulkannya doa saya‘”.

Dalam riwayat lain:

فاستجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين الظهر والعصر

Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu di antara shalat Zhuhur dan Ashar” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no.704, Ahmad no. 14603, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.3874).

Para ulama berbeda pendapat tentang derajat hadits ini. Sebagian ulama mendha’ifkan, diantaranya:

  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim, 1/433).
  • Syu’aib Al Arnauth (Takhrij Musnad Ahmad, no.14563).
  • Adh Dhiya’ Al Maqdisi (as Sunan wal Ahkam, 4/300).

Sebagian ulama menghasankan, diantaranya:

  • Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid (4/15), ia berkata: “Semua perawinya tsiqah”.
  • Al Mundziri (At Targhib wat Tarhib, 2/208).
  • Al Albani (Shahih At Targhib no. 1185, Shahih Al Adabil Mufrad no.704).

Poros masalah hadits ini ada pada perawi bernama Katsir bin Zaid. Ta’dil (pujian) terhadap beliau diantaranya:

  • Imam Ahmad berkata: “menurut saya beliau tidak mengapa”.
  • Yahya bin Ma’in dalam riwayat dari Ad Dauraqi mengatakan: “laysa bihi ba’sun“.
  • Yahya bin Ma’in dalam riwayat dari Mu’awiyah bin Shalih mengatakan: “(Katsir ini) shalih”.
  • Yahya bin Ma’in dalam riwayat dari Al Mufadhal bin Ghassan mengatakan: “(Katsir ini) shalih”.

Sedangkan jarh (celaan) terhadap beliau:

  • Abu Hatim berkata: “laysa bi qawiy, shalih, namun haditsnya ditulis”.
  • Abu Zur’ah berkata: “Shaduq, terdapat layyin (kelemahan)”.
  • Ibnu Hajar berkata: “Shaduq namun banyak salahnya”.
  • Yahya bin Ma’in dalam riwayat dari Abdullah bin Syu’aib As Shabuni mengatakan: “Laysa bi dzakin“.
  • Yahya bin Ma’in dalam riwayat dari Abu Bakar bin Abi Khaitsamah mengatakan: “Laysa bi dzakin“.

Kita lihat pada uraian di atas, ada khilaf tentang pendapat Ibnu Ma’in mengenai Katsir bin Zaid. Yang rajih, Ibnu Ma’in men-ta’dil Katsir bin Zaid dengan menganggapnya “shalih” (yakni hasan haditsnya) karena ini yang banyak diriwayatkan dari beliau.

Dengan ta’dil dari Ibnu Ma’in dan Imam Ahmad, maka ini sudah cukup menguatkan bahwa Katsir bin Zaid ini hasan haditsnya. Maka yang nampaknya kuat, hadits ini hasan. Wallahu a’lam.

Adapun fikih hadits, bahwa hadits ini adalah dalil dianjurkannya berdoa antara zhuhur dan ashar di hari Rabu, telah dijelaskan para ulama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, setelah menyatakan lemahnya hadits ini, beliau berkata:

وهذا الحديث يعمل به طائفة من أصحابنا وغيرهم فيتحرون الدعاء في هذا

Hadits ini diamalkan oleh beberapa orang ulama madzhab kami dan yang selain mereka. Sehingga mereka bersengaja berdoa di waktu tersebut” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim, 1/433).

Al Baihaqi setelah membawakan hadits ini dalam Syu’abul Iman, juga mengatakan :

ويتحرى للدعاء الأوقات والأحوال والمواطن التي يرجى فها الإجابة تماما فأما الأوقات فمنها ما بين الظهر والعصر من يوم الأربعاء

“Hendaknya bersengaja berdoa di waktu, keadaan dan tempat yang besar kemungkinan diijabahnya secara sempurna. Diantara waktu yang mustajab adalah antara zuhur dan ashar di hari Rabu”.

Syaikh Al Albani juga berkata:

لولا أَنَّ الصحابي – رضي الله عنه – أفادنا أَنَّ دعاء الرسول صلى الله عليه وسلم في ذلك الوقت من يوم الأربعاء كان مقصوداً – والشاهد يرى ما لا يرى الغائب، وليس الخبر كالمعاينة – لولا أَنَّ الصحابيّ أخبَرنا بهذا الخبر؛ لكنّا قُلْنا هذا قد اتفق لرسول الله صلى الله عليه وسلم أَّنه دعا فاستجيب له في ذلك الوقت من ذلك اليوم؛ لكن أَخَذَ هذا الصحابي يعمل بما رآه من رسول الله صلى الله عليه وسلم يوماً ووقتاً ويستجاب له؛ إِذاً هذا أمرٌ فهمناه بواسطة هذا الصحابي وأَنّه سنّةٌ تعبدية لا عفوية

“Kalau saja bukan karena Sahabat yang memberikan faedah kepada kita, yakni bahwasannya doa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pada saat itu yang dimaksud adalah hari Rabu (dimana tentunya yang menyaksikan langsung tidaklah sama seperti orang yang tidak hadir langsung), maka kami akan katakan bahwa hanya kebetulan saja Rasulullah diijabah doanya di hari Rabu.

Namun ketika sahabat Jabir ini mengamalkan juga apa yang dilihatnya dari Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, pada hari dan waktu yang sama, kemudian juga dikabulkan. Maka perkara ini kita pahami melalui perantaraan beliau bahwa amalan ini sunnah ta’abudiyah bukan kebetulan saja” (Syarh Shahih Al Adabul Mufrad karya Syaikh Husain Al Awaisyah, 2/380-381).

Namun memang, sebagian ulama berpendapat bahwa andai haditsnya hasan, tidak menunjukkan bahwa dianjurkan berdoa antara zuhur dan ashar di hari Rabu. Karena itu hanya perkara yang kebetulan saja. Namun ini sudah dijawab oleh Syaikh Al Albani rahimahullah di atas.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslimah.or.id