Ulama Ingatkan Indonesia Bahaya Adu Domba Dajjal Modern

Ulama mengingatkan bahaya adu domba yang dihasilkan Dajjal.

Ketua Umum Forum Komunikasi dan Konsultasi Badan Pembina Rohani Islam Nasional (FBN), Dr KH Ridwan Muhammad Yusuf,mengatakan agar masyarakat mewaspadai kelompok penebar kebencian dan perusak kedamaian di Indonesia.

“Saat ini memang ada pihak-pihak yang ingin menghancurkan kedamaian di Indonesia, di mana upaya-upaya itu dilakukan dengan sangat hebat dan masif. Kelompok-kelompok ini berupaya agar ada kebencian yang hadir kepada diri setiap manusia di muka bumi ini. Yang sebetulnya kita tahu bahwa kebencian ini datangnya dari Dajjal,” ujar dia, di Bogor, Sabtu (18/7), demikian dalam keterangan pers.

Dia mengatakan, kebencian yang ditebarkan itu membuat hati menjadi tidak suka terhadap satu sama lain dan dapat menimbulkan kemarahan.

Untuk itu perlu ada upaya bersama dari para tokoh agama maupun tokoh masyarakat untuk bisa membuat masyarakat menjadi tetap rukun menjaga persatuan dan kedamaian serta tidak mudah terprovokasi dan melawan kebencian itu dengan rasa cinta dan kasih sayang antar sesama umat manusia.

“Kebencian itu harus kita lawan dengan rasa cinta, dengan kasih sayang. Kita berikan pengertian kepada mereka bahwa setiap orang itu punya hak untuk hidup bahagia. Kita ajak seluruh elemen masyarakat agar sadar bahwa hidup ini adalah harmoni, suatu simfoni yang Allah  SWT buat bersama-sama, berwarna warni dan untuk saling menghormati satu sama lain,” katanya.

Ia menyebutkan, dalam kasus RUU Haluan Ideologi Pancasila ini ada pihak yang membela dan ada pihak yang menolak, meskipun sebetulnya ideologi Pancasila ini sudah menjadi harga mati bagi bangsa Indonesia ini.

Ia juga menyampaikan agar masyarakat mewaspadai gerakan-gerakan yang ingin mengganti NKRI dengan khilafah yang mendompleng seolah-olah membela Pancasila namun memiliki agenda sendiri.

“Karena dengan Pancasila semua aliran dan agama dapat bersatu dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Jadi tidak boleh ada pihak-pihak yang mendukung Pancasila tapi malah memiliki agenda lain dibalik itu, karena itu berarti dia ingin mengusung kebencian dan perpecahan,” katanya.

Ia berpendapat bahwa hal-hal seperti ini tentunya tidak akan pernah damai kalau terus dibicarakan dalam suasana hati yang panas dan kecewa.

“Karena itu perlu peran tokoh agama dan masyarakat untuk saling bahu-membahu menyelamatkan bangsa dan umat,” katanya.

Ia menyampaikan agar jangan lagi para tokoh agama maupun tokoh masyarakat menjadi egois karena ini kepentingan bersama yang harus dijaga demi kemanusiaan. Karena para tokoh tersebut punya peran untuk menyatukan dan menyelamatkan para umat.

Ia mengingatkan pemerintah juga tidak lupa untuk merangkul semua pihak, termasuk seluruh semua elemen masyarakat untuk diajak berdialog dan bersama-sama mencari solusi permasalahan bangsa, jangan malah memusuhi tokoh-tokoh masyarakat ataupun ulama.

“Rangkul mereka, ajak dialog, ajak berbicara, sehingga mereka bisa mengajak seluruh masyarakat untuk bisa dingin hati, berfikircerdas, kemudian bersama-sama mencari solusi bagaimana agar semuanya bisa damai dan bahagia yang tentu saja kita harus saling menghormati satu sama lainnya,” ujarnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Hagia Sophia, Bangunan Rupawan di Jantung Konstantinopel

Hagia Sophia di Turki menjadi magnet bagi umat Kristen dan Islam dunia.

Setelah Konstantinopel takluk, Kekhalifahan Ustmani membagi menjadi empat wilayah administratif. Pada 1459, Konstantinopel berganti nama menjadi Istanbul, yang berkembang menjadi sebuah kota terbesar pada zamannya.

Sultan Mehmed II selain terkenal sebagai jenderal perang yang berhasil memperluas kekuasaan Utsmani melebihi sultan lainnya, dia juga dikenal sebagai seorang penyair. Ia memiliki diwan, kumpulan syair yang dibuatnya sendiri.

Selama masa kejayaannya, dia mendirikan berbagai sarana dan prasarana publik. Seperti dibangun 300 masjid besar atau pun sedang, tersedianya 57 madrasahh, 59 tempat pemandian, diberbagai wilayah Utsmani termasuk Istanbul.

Masjid-masjid yang dibangun juga dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid yang asalnya gereja Hagia Sophia (Aya Sofya), hiasan kaligrafi itu dijadikan penutup gambar-gambar kristiani yang ada sebelumnya.

Pada 1727 berdiri badan penerjemah. Lalu buku-buku tentang kedokteran astronomi, ilmu pasti, sejarah dan lainnya pun mulai dicetak.

Pada masa dinasti Turki Utsmani, dibangun empat buah menara sebagai simbol Islam. Kini namanya Museum Aya Sofia. Sebelum menjadi museum, bangunan ini dulunya adalah masjid. Dan sebelum menjadi masjid, ia adalah gereja yang bernama Haghia Sopia.

Usia bangunan ini sudah sangat tua, sekitar lima abad. Bangunan ini merupakan kebanggaan masyarakat Muslim di Istanbul, Turki. Keindahan arsitekturnya begitu mengagumkan para pengunjung. Karenanya, jika berkunjung ke Istanbul, belum lengkap tanpa melihat kemegahan Aya Sofia.

Tampak dari luar, pengunjung disuguhkan ukuran kubah yang begitu besar dan tinggi. Ukuran tengahnya 30 meter, tinggi dan fundamennya 54 meter. Ketika memasuki area bangunan, pengunjung dibuai oleh keindahan interior yang dihiasi mosaik dan fresko. Tiang-tiangnya terbuat dari pualam warna-warni. Sementara dindingnya dihiasi beraneka ragam ukiran.

Selain keindahan interior, daya tarik bangunan ini juga didapat dari nilai sejarahnya. Di sinilah simbol pertarungan antara Islam dan non-Islam, termasuk di dalamnya nilai-nilai sekuler pascaruntuhnya Kekhalifahan Turki Usmani.

Gereja dan Museum

Gereja
Sebelum diubah menjadi masjid, Aya Sofia adalah sebuah gereja bernama Hagia Sophia yang dibangun pada masa Kaisar Justinianus (penguasa Bizantium), tahun 558 M. Arsitek Gereja Hagia Sophia ini adalah Anthemios dari Tralles dan Isidorus dari Miletus.

Berkat tangan Anthemios dan Isidorus, bangunan Hagia Sophia muncul sebagai simbol puncak ketinggian arsitektur Bizantium. Kedua arsitek ini membangun Gereja Hagia Sophia dengan konsep baru. Hal ini dilakukan setelah orang-orang Bizantium mengenal bentuk kubah dalam arsitektur Islam, terutama dari kawasan Suriah dan Persia. Keuntungan praktis bentuk kubah yang dikembangkan dalam arsitektur Islam ini, terbuat dari batu bata yang lebih ringan daripada langit-langit kubah orang-orang Nasrani di Roma, yang terbuat dari beton tebal dan berat, serta mahal biayanya.

Oleh keduanya, konsep kubah dalam arsitektur Islam ini dikombinasikan dengan bentuk bangunan gereja yang memanjang. Dari situ kemudian muncullah bentuk kubah yang berbeda secara struktur, antara kubah Romawi dan kubah Bizantium. Pada arsitektur Romawi, kubah dibangun di atas denah yang sudah harus berbentuk lingkaran, dan struktur kubahnya ada di dalam tembok menjulang tinggi, sehingga kubah itu sendiri hampir tidak kelihatan. Sedangkan kubah dalam arsitektur Bizantium dibangun di atas pendentive–struktur berbentuk segitiga melengkung yang menahan kubah dari keempat sisi denah persegi–yang memungkinkan bangunan kubah tersebut terlihat secara jelas.

Bangunan gereja ini sempat hancur beberapa kali karena gempa, kemudian dibangun lagi. Pada 7 Mei 558 M, di masa Kaisar Justinianus, kubah sebelah timur runtuh terkena gempa. Pada 26 Oktober 986 M, pada masa pemerintahan Kaisar Basil II (958-1025), kembali terkena gempa. Akhirnya, renovasi besar-besaran dilakukan agar tak terkena gempa di awal abad ke-14.

Pengembangan Turki Usmani
Pada 27 Mei 1453, Konstantinopel takluk oleh tentara Islam di bawah pimpinan Muhammad II bin Murad II atau yang terkenal dengan nama Al-Fatih yang artinya sang penakluk. Saat berhasil menaklukkan kota besar Nasrani itu, Al-Fatih turun dari kudanya dan melakukan sujud syukur.

Ia pergi menuju Gereja Hagia Sophia. Saat itu juga, bangunan gereja Hagia Sophia diubah fungsinya menjadi masjid yang diberi nama Aya Sofia. Pada hari Jumatnya, atau tiga hari setelah penaklukan, Aya Sofia langsung digunakan untuk shalat Jumat berjamaah.

Sepanjang kekhalifahan Turki Usmani, beberapa renovasi dan perubahan dilakukan terhadap bangunan bekas gereja Hagia Sophia tersebut agar sesuai dengan corak dan gaya bangunan masjid.

Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam ke negara-negara lainnya. Sementara dalam masalah keagamaan, orang-orang Turki terkenal sangat bijak, sebab mereka tidak memaksakan penduduk daerah taklukannya untuk masuk Islam, meskipun mereka berani berperang untuk membela Islam.

Karena orang-orang Turki yang beragama Islam cukup arif, maka ketika Gereja Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid pada 1453, bentuk arsitekturnya tidak dibongkar. Kubah Hagia Sophia yang menjulang ke atas dari masa Bizantium ini tetap dibiarkan, tetapi penampilan bentuk luar bangunannya kemudian dilengkapi dengan empat buah menara. Empat menara ini, antara lain, dibangun pada masa Al-Fatih, yakni sebuah menara di bagian selatan. Pada masa Sultan Salim II, dibangun lagi sebuah menara di bagian timur laut. Dan pada masa Sultan Murad III, dibangun dua buah menara.

Pada masa Sultan Murad III, pembagian ruangnya disempurnakan dengan mengubah bagian-bagian masjid yang masih bercirikan gereja. Termasuk, mengganti tanda salib yang terpampang pada puncak kubah dengan hiasan bulan sabit dan menutupi hiasan-hiasan asli yang semula ada di dalam Gereja Hagia Sophia dengan tulisan kaligrafi Arab. Altar dan perabotan-perabotan lain yang dianggap tidak perlu, juga dihilangkan.
Begitu pula patung-patung yang ada dan lukisan-lukisannya sudah dicopot atau ditutupi cat. Lantas selama hampir 500 tahun bangunan bekas Gereja Hagia Sophia berfungsi sebagai masjid.

Akibat adanya kontak budaya antara orang-orang Turki yang beragama Islam dengan budaya Nasrani Eropa, akhirnya arsitektur masjid yang semula mengenal atap rata dan bentuk kubah, kemudian mulai mengenal atap meruncing. Setelah mengenal bentuk atap meruncing inilah merupakan titik awal dari pengembangan bangunan masjid yang bersifat megah, berkesan perkasa dan vertikal. Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya gaya baru dalam penampilan masjid, yaitu pengembangan lengkungan-lengkungan pada pintu-pintu masuk, untuk memperoleh kesan ruang yang lebih luas dan tinggi.

Museum
Perubahan drastis terjadi di masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk di tahun 1937. Penguasa Turki dari kelompok Muslim nasionalis ini melarang penggunaan bangunan Masjid Aya Sofia untuk shalat, dan mengganti fungsi masjid menjadi museum. Mulailah proyek pembongkaran Masjid Aya Sofia. Beberapa desain dan corak bangunan yang bercirikan Islam diubah lagi menjadi gereja.

Sejak difungsikan sebagai museum, para pengunjung bisa menyaksikan budaya Kristen dan Islam bercampur menghiasi dinding dan pilar pada bangunan Aya Sofia. Bagian di langit-langit ruangan di lantai dua yang bercat kaligrafi dikelupas hingga mozaik berupa lukisan-lukisan sakral Kristen peninggalan masa Gereja Hagia Sophia kembali terlihat.

Sementara peninggalan Masjid Aya Sofia yang menghiasi dinding dan pilar di ruangan lainnya tetap dipertahankan.

Sejak saat itu, Masjid Aya Sofia dijadikan salah satu objek wisata terkenal di Istanbul oleh pemerintah Turki. Nilai sejarahnya tertutupi gaya arsitektur Bizantium yang indah memesona.

Menjadi Inspirasi dalam Perkembangan Arsitektur Islam

Arsitektur Islam dapat dikatakan identik dengan arsitektur masjid. Sebab, ciri-ciri arsitektur Islam dapat terlihat jelas dalam perkembangan arsitektur masjid. Salah satu masjid yang gaya arsitekturnya banyak ditiru oleh para arsitek Muslim dalam membangun masjid di berbagai wilayah kekuasaan Islam adalah Masjid Aya Sofia di Istanbul, Turki.

Desain dan corak bangunan Aya Sofia sangat kuat mengilhami arsitek terkenal Turki Sinan (1489-1588) dalam membangun masjid. Sinan merupakan arsitek resmi kekhalifahan Turki Usmani dan posisinya sejajar dengan menteri.

Kubah besar Masjid Aya Sofia diadopsi oleh Sinan–yang kemudian diikuti oleh arsitek muslim lainnya–untuk diterapkan dalam pembangunan masjid.

Salah satu karya terbesar Sinan yang mengadopsi gaya arsitektur Aya Sofia adalah Masjid Agung Sulaiman di Istanbul yang dibangun selama 7 tahun (1550-1557). Seperti halnya Aya Sofia, masjid yang kini menjadi salah satu objek wisata dunia itu memiliki interior yang megah, ratusan jendela yang menawan, marmer mewah, serta dekorasi indah.

Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam hingga ke negara lainnya. Misalnya Dinasti Seljuk yang menampilkan tiga ciri arsitektur Islam, khususnya arsitektur masjid.

Pertama, Dinasti Seljuk tetap mengembangkan konsep mesjid asli Arab, dengan lapangan terbuka di bagian tengahnya. Kedua, konsep masjid madrasah dan berkubah juga dikembangkan. Ketiga, mengembangkan konsep baru setelah berkenalan dengan kebudayaan Barat, terutama pada masa Dinasti Umayyah.

Ketika orang-orang Turki memperluas kekuasaannya atas dasar kepentingan ekonomi dan militer pada abad ke-11, mereka akhirnya bisa menguasai Bizantium.

Saat kebudayaan Islam bersentuhan dengan kebudayaan Eropa di Kerajaan Romawi Timur (Bizantium/Konstantinopel) pada abad ke-11, arsitektur Islam juga menimba teknik dan bentuk arsitektur Eropa, yang tumbuh dari arsitektur Yunani dan Romawi. Sebaliknya, teknik dan bentuk arsitektur Islam yang dibawa oleh bangsa Turki juga disadap oleh bangsa Romawi untuk dikembangkan di Kerajaan Romawi Timur.

Akibat adanya kontak budaya antara orang-orang Muslim Turki dan budaya Nasrani di Eropa Timur inilah, arsitektur Islam yang semula hanya mengenal atap bangunan rata dan bentuk kubah, kemudian mulai mengenal atap meruncing ke atas. Selain itu, sejak bersentuhan dengan kebudayaan Kerajaan Romawi Timur ini juga, arsitektur Islam mulai mengenal arsitektur yang bersifat megah, berkesan perkasa, dan vertikalisme.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hagia Sophia, dari Gereja, Masjid, Hingga Museum

Pemerintah Turki ingin menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid lagi.

Hagia Sophia adalah gereja pertama yang diresmikan pada 15 Februari 360 M di masa pemerintahan kaisar Konstantius II oleh uskup Eudoxius dari Antioka. Gereja dibangun di sebelah tempat istana kekaisaran Byzantium.

Pada 7 Mei 558 M, di masa kaisar Justinianus, kubah sebelah timur runtuh terkena gempa. Kemudian, pada 26 Oktober 986 M pada masa pemerintahan Kaisar Basil II (958-1025) juga kembali terkena gempa.

Akhirnya, pada awalan abad ke-14 dilakukan renovasi besar-besaran agar tidak terkena gempa lagi. Keistimewaan kubah ini terletak pada bentuk kubahnya yang besar dan tinggi. Ukuran tengahnya 30 meter, tinggi dan fundamentalnya 54 meter.

Interiornya pun dihiasi mosaik dan fresko, tiang-tiangnya terbuat dari pualam warna-warni dan dindingnya dihiasi ukiran. Saat Konstantinopel ditaklukkan Sultan Mehmed II pada 29 Mei 1453. Sultan turun dari kudanya dan bersujud syukur pada Allah SWT, lalu pergi ke Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan agar gereja tersebut diubah menjadi Masjid Aya Sofia yang dikemudian hari digunakan untuk melakukan shalat berjamaah, shalat Jumat, dan kegiatan keagamaan umat Islam lainnya.

Hingga pada 1937, Mustafa Kemal Ataturk mengubah status Hagia Sophia menjadi museum. Sehingga mulailah proyek pembongkaran Hagia Sophia, dimulai dari dinding dan langit-langit dikerok dari cat-cat kaligrafi hingga ditemukan kembali lukisan-lukisan sakral Kristen.

Sejak saat itu, Masjid Aya Sofya dijadikan salah satu objek wisata yang terkenal oleh pemerintah Turki di Istanbul. Nilai sejarahnya tertutupi gaya arsitektur Byzantium yang indah memesona.

Karakter arsitektur Byzantium menunjukkan pengembangan dari tiga periode utama. Pertama, 330-850 M termasuk masa permerintahan Justinian; Kedua, 850-1200 M termasuk dalam dinasti Macedonia dan Comnenia; Ketuga, 1200 M hingg saat ini.

Karakter arsitektur juga terpengaruh oleh budaya lokal, seperti yang terlihat di Turki, Italia, Yunani, Macedonia, Armenia, Syria, rusia Serbia, dan Prancis.

KHAZANAH REPUBLIKA

Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (5): Perang Shiffin

Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib telah menetapkan putusan. Ia akan menyerang penduduk Syam. Ia lazimkan penduduk Syam untuk baiat dan tunduk. Al-Hasan bin Ali berkata, “Ayah, jangan lakukan ini. Karena hal ini mengakibatkan pertumpahan darah di tengah kaum muslimin. Dan membuat jurang perselisihan di antara mereka.” Namun Ali tidak menerima saran putranya. Ia sudah membulatkan tekad untuk menyerang Syam yang tidak tunduk (ath-Thabari: Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk, 5/217).

Ini adalah nasihat kedua yang dilontarkan al-Husan kepada ayahnya. Sebelumnya ia menasihati ayahnya agar tak menggerakkan pasukan menuju Bashrah. Agar tidak terjadi perang saudara. Namun Ali tetap melakukan apa yang ia pikirkan. Terjadilah Perang Jamal.

Sekarang Ali menggerakkan pasukannya menuju an-Nakhilah. Sebuah daerah di dekat Kufah. Di sana pasukan akan berhimpun dengan pasukan Bahsrah yang dipimpin Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma. Dari sana mereka serentak bergerak menyisiri Sungai Eufrat menuju Shiffin. Di pihak lain, Muawiyah juga telah bergerak bersama pasukannya menuju Shiffin. Peristiwa ini terjadi pada awal bulan Dzul Hijjah tahun 36 H.

Yang perlu dicatat, sampai pada kondisi ini kedua pasukan tidak berkeinginan untuk berperang. Para sahabat adalah seorang yang sangat mengetahui betapa mahalnya darah seorang muslim. Sehingga pergerakan pasukan ini tidak ditujukan untuk saling bertumpah darah. Bukan untuk saling berperang dan menaklukkan. Mereka tidak mau apa yang terjadi di Perang Jamal terulang kembali.

Hal ini tak akan dipahami oleh mereka yang tidak mengenal para sahabat nabi. Seperti para orientalis dan orang-orang yang mengikutinya. Mereka tidak memahami bagaimana takwa para sahabat. Bagaiamana persaudaraan di antara mereka. Bagaimana keinginan mereka untuk islah. Bagaimana kecintaan mereka pada kebaikan. Para orientalis tak akan mampu merenungi bagaimana kisah Abdurrahman bin Auf dan Saad bin Rabi’ saat dipersaudarakan oleh Rasulullah. Mereka tak akan mengerti bagaimana itsar (mendahulukan dalam kebaikan) di tengah para sahabat Muhajirin dan Anshar yang dipuji Allah dalam surat Al-Hasyr. Para orientalis dan orang-orang yang sejalan dengan mereka dengan cepat bertanya, “Bagaimana bisa pasukan digerakkan tapi tidak ingin berperang?”

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Lebih dari satu orang dari pasukan Muawiyah mengatakan, ‘Mengapa engkau melawan Ali? Engkau bukan orang yang mengungguli Ali dalam keutamaan dan kekerabatan (dengan Rasulullah)? Ali-lah yang lebih layak menjabat khalifah dibanding dirimu’. Muawiyah pun mengakui hal tersebut. Namun mereka memihak Muawiyah karena mendapat informasi bahwa di pasukan Ali terdapat kezaliman terhadap mereka. Sebagaimana kezaliman terhadap Utsman. Mereka siap berperang untuk membela diri. Dan berperang karena hal ini boleh. Karena itulah mereka tidak memulai menyerang. Sampai mereka yang diserang (Ibnu Taimyah: Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, 4/217).

Artinya, pasukan Muawiyah mendapat informasi bahwa pasukan Ali telah disusupi oleh para pembunuh Utsman. Sebagaimana yang terjadi di Perang Jamal. Inilah yang terjadi. Dari Amir asy-Sya’bi dan Abu Ja’far al-Baqir, “Ali mengutus seseorang menuju Damaskus untuk memperingatkan mereka bahwa ia telah menyeru penduduk Irak tentang loyalitas kalian pada Muawiyah. Saat berita ini sampai pada Muawiyah, ia memerintahkan agar orang-orang dikumpulkan. Orang-orang pun berkumpul memenuhi masjid. Muawiyah naik mimbar dan berkhutbah, ‘Sesungguhnya Ali telah menyeru penduduk Irak menuju kalian. Bagaimana pendapat kalian’? Orang-orang menepuk dada mereka tanpa ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Dan tak ada yang mengangkat pandangan mereka.

Seseorang yang disebut dengan Dzul Kila’ berkata, ‘Hai Amirul Mukminin, engkaulah yang memutuskan dan kami akan melakukan’. Kemudian Muawiyah berkata di hadapan khalayak, pergilah kalian menuju kamp. Siapa yang tertinggal, biarkanlah. Kemudian berkumpullah’. Lalu utusan Ali itu berangkat menuju Ali dan mengabarkannya. Ali pun memerintahkan agar orang-orang dikumpulkan di masjid. Lalu ia berkhotbah, ‘Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian. Bagaimana pendapat kalian’? Orang-orang bergemuruh. Sehingga Ali tak bisa menangkap apa yang mereka ucapkan. Ali turun dari mimbar dan berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, 8/127).

Ali sadar pengikutnya tidak satu suara. Kesetiaan mereka tidak bisa diandalkan. Dan di tengah mereka ada pengkhianatan. Bandingkan dengan kesetiaan pengikut Muawiyah. Benar saja, para pengobar fitnah berusaha menggembosi peperangan. Terjadilah perang yang mayoritas para sahabat tidak turut serta di dalamnya. Diriwayatkan Muhammd bin Sirin rahimahullah berkata, “Saat fitnah bergejolak jumlah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekitar 10.000 orang. Yang turut serta di dalamnya tidak sampai 100 orang. Bahkan tidak sampai 30 orang (Ibnu Taimiyah: Minhaj as-Sunnah, 6/236).

Artinya, para sahabat memegang pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah. Mereka menjauhinya. Tidak seperti cerita yang disampaikan para pendusta. Seakan hampir semua atau bahkan semua sahabat terlibat dalam fitnah ini. Mereka kesankan para sahabat berpecah dan saling menumpahkan darah. Mengkhianati pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ammar bin Yasir dan Para Pemberontak

Di antara kejadian penting dalam rangkaian Perang Shiffin adalah syahidnya sahabat Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu. Ammar berada di barisan Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَيْحَ عَمَّارٍ! تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ

“Duhai Ammar, engkau akan dibunuh oleh kelompok pembangkang.” [HR. al-Bukhari (436, 2657) dan Ahmad (11879)).

Terbunuhnya Ammar ini memperjelas posisi Ali dan Muawiyah. Mana ijtihad keduanya yang benar dan mana yang salah. Ali dan orang yang bersamanya berada di pihak yang benar. Sementara Muawiyah dan orang yang bersamanya keliru dalam ijtihad mereka.

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6518-ringkasan-kisah-huru-hara-di-masa-sahabat-5-perang-shiffin.html

Ringkasan Kisah Fitnah dan Perpecahan di Masa Sahabat (4): Perang Jamal

Karena Ali menganggap Muawiyah membangkang, ia pun memutuskan mengambil sikap tegas. Ia berangkat ke Syam untuk memerangi gubernurnya itu. Dalam perselisihan ini, kita harus tetap menjaga adab terhadap para sahabat. Dua orang sahabat Nabi berselisih. Mereka berijtihad dengan argumentasi masing-masing. Ali berpendapat bahwa pembunuh Utsman tidak bisa ditangkap dan dieksekusi sesegera mungkin. Alasanya jumlah mereka banyak. Mereka mengepung Madinah. Mengeksekusi mereka saat itu akan membuat kekacauan dan pertumpahan darah yang lebih besar. Ditambah lagi para pelaku belum bisa diketahui dengan detil. Sehingga hukum sulit ditegakkan.

Sedangkan Muawiyah berpendapat dia adalah kerabat Utsman. Seorang kerabat berhak menuntut darah kerabatnya. Karena itu, ia menuntut Ali segera menegakkan hukum untuk para pembunuh. Muawiyah juga bukan tidak mau berbaiat. Bukan pula membangkang. Ia hanya menunda sampai tuntutannya dipenuhi.

Saat Ali tengah menyiapkan pasukan menuju Syam, ia dapati ada kelompok lainnya. Kelompok yang di dalamnya terdapat Aisyah, az-Zubair, dan Thalhah. Mereka keluar menuju Bashrah. Para sahabat ini memandang Ali keliru karena tidak bersegera menegakkan hukum. Dan mereka berpandangan, mereka memiliki kekuatan untuk melakukan apa yang tidak mampu dilakukan Ali. Karena itulah mereka memutuskan berangkat ke Bashrah untuk mengqishash para pembunuh Utsman radhiallahu ‘anhu. Kelompok ini memandang sikap mereka akan mewujudkan islah di tengah kaum muslimin. Sementara sikap kita adalah menahan diri, tidak berkomentar buruk terhadap para sahabat. Mengingat kedudukan mereka di sisi Allah dan Rasul-Nya. Peristiwa ini terjadi pada bulan Jamadil Akhir tahun 36 H.

Ali terkejut dengan pergerakan kelompok Aisyah. Ia pun mengubah rencana. Yang semula berencana menuju Syam, berubah menuju Bashrah. Tujuannya untuk menghentikan pasukan Aisyah, az-Zubair, dan Thalhah. Kemudian meminta mereka kembali ke Madinah. Bukan untuk memerangi mereka. Al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma menasihati sang ayah untuk tidak memobilisasi pasukan menuju mereka. Karena hal itu bisa dimaknai perang. Namun Ali tetap pada pendapatnya. Ia berangkat menuju pasukan yang menuju Bashrah ini. Tempat dimana para pembunuh Utsman berkumpul.

Saat gubernur Bashrah mendengar kedatangan Pasukan Jamal, ia keluar menemui Ali. Saat tiba di Dzi Qar, Ali mengutus al-Qa’qa’ menemui para sahabat yang sudah sampai di Bashrah. Ali berkata, “Temuilah Zubair dan Thalhah. Ajak mereka bersatu. Dan jelaskan buruknya perpecahan pada keduanya.” Ali menguji utusannya ini dengan mengatakan, “Apa yang akan kau perbuat saat menemui keduanya, padahal engkau tidak memiliki wasiat dariku”? al-Qa’qa’ menjawab, “Aku temui mereka dengan apa yang kau perintahkan. Apabila mereka menanggapi dengan sesuatu yang di luar rencana kita. Saya akan berijtihad. Saya akan bicara pada mereka. Mendengar pendapat mereka. Dan berpendapat sesuai kondisi yang selayaknya.” Ali berkata, “Bagus.” Al-Qa’qa’ pun berangkat memasuki Bashrah. Ia mulai dengan menemui Aisyah. Ia mengucapkan salam pada ibu dari orang-orang yang beriman itu. Kemudian mengatakan, “Ibu, apa yang mendorongmu datang ke tempat ini”?

Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab, “Anakku, aku menginginkan perdamaian terwujud di tengah khalayak.”

Al-Qa’qa’ berkata, “Utuslah orang kepada Thalhah dan Zubair agar Anda bisa mendengar ucapanku dan ucapan keduanya.” Lalu Aisyah mengirim seseorang untuk mengundang Thalhah dan Zubair berkumpul. Keduanya pun datang. Al-Qa’qa’ berkata, “Aku telah bertanya kepada Ummul Mukminin tentang alasan kedatangannya ke sini. Beliau menjawab, ‘Ingin mewujudkan perdamaian di tengah khalayak’. Lalu bagaiman dengan kalian berdua? Apakah kalian berdua sependapat dengan Ummul Mukminin”? Thalhah dan Zubair menjawab, “Kami sependapat.” (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/40).

Aisyah berkata, “Lalu bagaimana dengan engkau, Qa’qa’”?

Al-Qa’qa’ berkata, “Solusi dari permasalahan ini adalah ketenangan. Kalau tenang, kekisruhan ini akan hilang. Kalau Anda sekalian membaiat Ali, maka itu tanda kebaikan dan rahmat. Dan tuntutan terhadap darah Utsman dapat dilakukan. Terjadilah kebaikan dan kedamaian di tengah umat. Tapi kalau Anda sekalian menolak dan mengedepankan ego, sangat disayangkan, ini tanda keburukan dan kerugian. Kedepankanlah kebaikan dan berusahalah mewujudkannya. Jadilah kunci-kunci kebaikan sebagaimana dulu. Jangan kalian hadapkan kami pada bala’. Niscaya bala’ itu bersegera menerpa kalian pula. Aku ucapkan perkataanku ini dan aku ajak kalian dengan nama Allah. Aku benar-benar khawatir urusan ini tidak selesai hingga Allah mencabut kebaikan pada umat ini dan menyusahkan mereka. Terjadilah apa yang terjadi. Sungguh pembunuhan Utsman ini permasalahan yang sangat besar. Bukan seperti seseorang membunuh seorang lainnya. Bukan pula seperti satu kabilah membunuh seseorang.”

Mereka menjawab, “Engkau benar. Kembalilah. Kalau Ali sependapat dengan apa yang kau sampaikan, maka masalah ini akan menemui solusinya.”

Al-Qa’qa’ kembali menemui Ali. Ali pun takjub dengan apa yang ia sampaikan. Para sahabat sepakat bersatu. Orang-orang yang menginginkan perdamaian bergembira. Namun mereka yang ingin perpecahan terus terjadi (para pembunuh Utsman), merasa terancam dengan persatuan ini. Sebelum al-Qa’qa’ kembali, pasukan Arab yang berada Bashrah ini pergi menemui Ali di Dzi Qar. Mereka ingin tahu bagaimana pendapat saudara-saudara mereka (kelompok Ali) di Kufah. Apa yang memotivasi mereka ingin menghadang pasukan Bashrah. Dan pasukan Bashrah juga ingin menyampaikan kepada pasukan Kufah, kalau sebenarnya mereka menginginkan terwujudnya perdamaian. Tidak terbetik di pikiran mereka untuk mengusik dan memerangi mereka.” (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/40-41).

Saat itu, Ali pun tiba. Ia mengutus Hakim bin Salamah dan Malik bin Hubaib untuk menyampaikan pada Pasukan Jamal (pasukan Bashrah kelompok Aisyah, Thalhah, dan Zubair), “Kalau kalian masih dalam kondisi saat bertemu dengan al-Qa’qa’, tetaplah dalam kondisi tersebut. Lalu kita lihat apa yang akan terjadi.” Hakim dan Malik kembali menghadap Ali dan membawa kabar bahwa orang-orang Bashrah masih dalam kondisi saat al-Qa’qa’ bersama mereka (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/43).

Ali mengirim utusan kepada tokoh di pihaknya dan tokoh di pihak Thalhah dan Zubair. Ia mengabarkan untuk bertemu dan bersatu. Mereka pun melewati malam dalam kondisi ketenangan dan kedamaian yang tidak mereka rasakan di malam-malam sebelumnya. Kaum muslimin merasakan kegembiraan dengan terwujudnya perdamaian ini. Namun para pemberontak dan pembuat fitnah tidak tinggal diam. Mereka mengkhawatirkan keselamatan mereka kalau sampai perdamaian benar-benar terwujud. Mereka melewati malam yang buruk.

Para ahlul fitnah berkumpul. Hadir dalam pertemuan makar itu Ulba bin al-Haitsam, Adi bin Hatim, Salim bin Tsa’labah, Syuraih bin Aufa, al-Aystar, dan sejumlah orang lainnya yang terlibat dalam pembuhan Utsman. Perkumpulan ini dihadiri juga simpatisan mereka. Kemudian orang-orang dari Mesir. Seperti Abdullah bin Saba’ dan Khalid bin Muljim. Mereka berdiskusi. Mereka berkata, “Apa rencana kita? Lihatlah Ali. Demi Allah, di antara orang yang menuntut darah Utsman, dia adalah seorang yang paling paham tentang Alquran. Dan orang yang paling mengamalkannya. Dan kita telah mendengar apa yang dia putuskan. Tidak akan bergabung bersamanya selain mereka. Dan sedikit sekali dari golongan mereka. Bagaimana jika mereka semua bersatu? Lalu mereka yang jumlahnya menjadi besar itu bersepakat untuk menumpas kita? Demi Allah, kita semua orang yang diincar dan kita semua akan mati!”

Para pemberontak ini sangat khawatir kalau Ali dan pasukannya bersatu dengan Pasukan Jamal. Mereka pasti segera memerangi, menangkap, dan menerapkan hukum qishash pada pemberontak ini. Abdullah bin Saba’ berkata, “Teman-teman, mari kita berpencar, menelusup, dan membaur bersama mereka semua. Kalau mereka berkumpul besok, kita kobarkan peperangan. Buat mereka kaget dan panik. Masing-masing dari kalian yang bersamanya, tahan diri. Allah pun akan membuat Ali, Thalhah, Zubair, dan orang-orang yang sependapat (untuk berastu) menyaksikan apa yang tidak mereka inginkan.” Para ahlul fitnah ini pun sepakat dengan pendapat Abdullah bin Saba’. Mereka berpisah dan mulai menyusup ke berbagai kelompok tanpa disadari (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/42).

Ibnul Atsir berkata, “Mereka mulai bergerak di saat gelap pagi. Orang-orang pun tak menyadari pergerakan mereka. Mereka menyusup dalam jumlah bertahap di waktu yang gelap. Pemberontak dari kalangan Bani Mudhar, masuk ke Bani Mudhar. Yang dari Bani Rabi’ah, masuk ke Bani Rabi’ah. Yang dari Yaman, bergabung dengan penduduk Yaman. Mereka bawakan senjata untuk setiap kelompok. Lalu mereka profokasi orang-orang Bashrah (Pasukan Jamal). Dan memprfokasi semua kelompok yang mereka susupi (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/45).

Melihat kondisi tersebut, Ali radhiallahu ‘anhu menyangka kalau Pasukan Jamal telah mengkhianatinya. Sebagaimana juga Pasukan Jamal menyangka Ali telah berkhianat. Berkecamuklah pertempuran. Ali berusaha segera menghentikan peperangan agar tak banyak jatuh korban. Karena itu, saat melihat Pasukan Jamal, berusaha keras melindungi onta yang ditunggangi Aisyah radhiallahu ‘anha. Ia perintahkan pasukannya untuk melukai onta itu. Agar runtuh moral pasukannya dan peperangan pun segera berakhir.

Peristiwa ini menunjukkan benarnya pendapat Ali. Dan saat kecamuk perang terjadi az-Zubair sadar bahwa tujuan yang ingin ia wujudkan tidak terwujud. Ia pun meninggalkan pertempuran dan kembali ke Madinah. Seorang anggota pasukannya yang bernama Amr bin Jurmuz mendapatinya. Lalu ia bunuh az-Zubair saat sedang melaksanakan shalat. demikian juga Thalhah terbunuh dalam rangkaian peristiwa ini.

Usai perang, Ali tetap memuliakan Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha. Ali mengutus saudaranya, Muhammad bin Abu Bakr untuk menemaninya pulang ke Madinah. Mereka berangkat bersama empat puluh orang wanita dari kelompok Bashrah. Kemudian semuanya berangkat ke Mekah untuk berhaji. Setelah itu baru ke Madinah (ath-Thabari: Tarikh ar-Rusul wa al-Mulk, 5/281).

Dari sini juga kita mengetahui benarnya pendapat al-Hasan bin Ali yang melarang ayahnya untuk berangkat menghadang Pasukan Jamal. Dan sejarah ini kemudian dilebih-lebihkan oleh para orientalis. Demikian juga orang-orang yang di hatinya memiliki kebencinta terhadap salah seorang dari sahabat yang ikut dalam Perang Jamal. Mereka melebih-lebihkan jumlah korbannya. Mengada-ada ucapan. Sehingga terlihat para sahabat itu saling benci dan haus kekuasaan. Padahal mereka semua ingin bersatu menuntut keadilan. Mereka tidak ingin berperang. Mereka hanya ingin menangkap pembunuh Utsman. Namun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan caranya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pemberontak. Mereka memprofokasi. Mereka masuk di barisan semua pihak. Kemudian memprofokasi. Sehingga masing-masing pihak menyangka pihak yang lain mengangkat senjata untuk membatalkan perdamaian.

Perang ini berlangsung kurang lebih selama empat jam. Dan korban yang jatuh dari semua pihak tidak lebih dari 100 orang. Setelah Perang Jamal ini, Ali radhiallahu ‘anhu menetapkan ibu kota negara berpindah. Dari Madinah menjadi Kufah.

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6515-ringkasan-kisah-fitnah-dan-perpecahan-di-masa-sahabat-4-perang-jamal.html

Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (3): Kekacauan Setelah Wafatnya Utsman

Semakin hari, pengepungan terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan pun semakin ketat. Sejumlah sahabat dan putra-putra terbaik mereka berdatangan untuk membela pemimpin mereka. Namun Utsman memerintahkan mereka untuk pulang. Abdullah bin Amir bin Rabi’ah berkata, “Aku bersama Utsman di dalam rumahnya. Ia berkata, ‘Tegaskan pada mereka yang masih menaatiku untuk menahan diri dan meletakkan senjata mereka’. Kemudian ia mengatakan, ‘Berdirilah hai Ibnu Umar. Kabarkan pada orang-orang (perintahku)’. Ibnu Umar keluar bersama Hasan bin Ali. Lalu Zaid bin Tsabit datang dan berkata pada Utsman, ‘Sesungguhnya orang-orang Anshar berada di depan rumah. Mereka berkata, ‘Kalau kau mau, kami akan menjadi pembela-pembela Allah (Ansharullah) yang kedua kalianya (setelah membela Rasulullah saat hijrah)’. Utsman menanggapi, ‘Aku tak butuh hal itu. Tahan diri kalian’.”

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Hari ini kami akan bersamamu dan akan berperang membelamu.” Utsman menjawab, “Aku tegaskan agar engkau keluar.”

Al-Hasan bin Ali adalah orang yang paling terakhir keluar dari rumah Utsman. Sebelumnya datang al-Hasan, al-Husein, Abdullah bin Umar, Abdullah bin az-Zubair, dan Marwan. Utsman memerintahkan mereka semua untuk meletakkan senjata. Ia tak ingin darah seorang muslim pun menetes demi membela dirinya. Ia kedepankan keselamatan semuanya dan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang luar biasa.

Abdullah bin Zubair dan Marwan berakta, “Kami pertaruhkan diri kami dan kami tak peduli.” Utsman membuka pintu. Keduanya lalu masuk (al-Qadhi ibnul Arabi: al-Awashim min al-Qawashim fi Tahqiq Mawaqif ash-Shahabah ba’da Wafat an-Nabi, Hal: 138-141). Peristiwa ini terjadi pada hari Jumat 18 Dzul Hijjah 35 H (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 3/7).

Akhirnya, Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu terbunuh. Ini merupakan musibah besar yang menimpa umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sepeninggal Utsman, kepemimpinan umat Islam kosong hingga lima hari lamanya (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/208).

Tentu saja orang yang paling pantas memegang amanah khalifah setelah Utsman adalah Ali bin Abu Thalib. Namun Ali dan tokoh-tokoh besar sahabat yang lain menolak jabatan tersebut. Tidak ada di antara mereka yang berhasrat mendudukinya. Mereka memandang betapa berat tanggung jawab itu. Mereka pun menjauhinya. Di sisi lain, para pemberontak terus mencari-cari pemimpin baru. Tapi tak ada yang menanggapi mereka.

Orang-orang Mesir mendatangi Ali. Ali bersembunyi di kebun-kebun Madinah menghindari mereka. Apabila berjumpa dengan mereka, ia menjauh. Ali tidak merespon permintaan mereka. Meskipun telah diucapkan berulang-ulang. Orang-orang Kufah mencari az-Zubair bin al-Awwam radhialahu ‘anhu. Mereka mengirim utusan untuk menemuinya. Namun ia menolak dan menjauhi mereka. Orang-orang Bashrah meminta Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu ‘anhu untuk menjabat khalifah. Ia pun melakukan hal yang sama dengan dua orang sahabatnya. Ia menjauh dan tidak melayani permintaan orang-orang itu. Meskipun mereka mengajukannya berkali-kali.

Perhatikanlah! Para pembentontak ini bersepakat menjatuhkan Utsman, namun mereka beda pendapat tentang siapa penggantinya. Sepertinya, ini menjadi tradisi bagi orang-orang yang menggulingkan pemerintah setelah mereka.

Setelah mendapat penolakan dari tiga tokoh utama para sahabat tersebut. Mereka berkata, “Kita tak akan mengangkat ketiga orang itu menjadi pemimpin.” Lalu mereka menemui tokoh sahabat lainnya, yaitu Saad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu. Mereka berkata, “Sesungguhnya Anda termasuk salah seorang ahlu syura (tim musyawarah yang menunjuk khalifah setelah Umar). Kami sepakat mengangkat Anda. Majulah, kami akan membaiatmu.” Saad menjawab, “Aku dan Ibnu Umar tidak mau terlibat dalam hal ini. Saat ini, kami tidak merasa perlu untuk hal itu. Kemudian ia bersyair

لا تخلطنَّ خبيثات بطَيِّبة *** واخلع ثيابك منها وانجُ عريانا

Jangan campurkan keburukan dengan kebaikan
Lepaskan pakaian cari selamat walaupun bertelanjang

Para pemberontak belum menyerah, mereka lalu mendatangi Abdullah bin Umar. Mereka berkata, “Anda Ibnu Umar? Ambillah kepemimpinan ini.” Ibnu Umar menjawab, “Dalam permasalahan ini ada dendam. Demi Allah, aku tak akan menjerumuskan diriku di dalamnya. Carilah orang selainku.” Orang-orang itu pun kebingungan. Tak tau lagi apa yang harus mereka lakukan. Urusan berat ini sekarang menjadi tanggung jawab mereka (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/208). Demikianlah keadaan orang-orang yang bersemangat menjatuhkan pemimpin. Mereka menggulingkan pemimpin dengan alasan pemimpin sudah melakukan kerusakan. Tapi akhirnya mereka bingung. Malah menimbulkan kerusakan baru yang lebih besar.

Para ahlul fitnah ini mulai dihinggapi ketakutan. Mereka khawatir tak seorang sahabat pun mau menerima kekhalifahan. Mereka berkata, “Kalau kita kembali ke negeri kita masing-masing setelah terbunuhnya Utsman ini tanpa adanya seorang khalifah, pasti kita tak akan selamat.” (Ibnul Atsir: al-Kamil 3/99).

Mereka pun mengambil jalan pintas. Mereka kumpulkan penduduk Madinah dan berseru, “Hai penduduk Madinah, kalian adalah ahlu syura. Kalian adalah pemimpin. Kepemimpinan kalian layak diterima di tengah umat. Tunjuklah salah seorang dari kalian untuk menjadi pemimpin. Kami akan mengikuti kalian. Kami akan menghormati hari kalian ini. Demi Allah, sekiranya kalian tidak ada keputusan. Besok kami akan memerangi Ali, Thalhah, Zubair, dan banyak orang lainnya.”

Orang-orang bersegera menuju Ali. Mereka berkata, “Kami akan membaiatmu. Engkau telah melihat apa yang terjadi pada agama ini dan apa yang menimpa kita.” Ali menjawab, “Biarkan aku mencari orang selain diriku. Sesungguhnya kita sedang menghadapi kesimpang-siuran dan ketidak-jelasan. Keadaan yang membuat hati bimbang. Dan akal kebingungan.” Mereka berkata, “Kami bersaksi atas Allah padamu, tidakkah kau lihat kondisi kita sekarang? Bagaimana ancaman terhadap Islam? Tidakkah kau melihat fitnah? Tidakkah engkau takut kepada Allah?”

Ali berkata, “Kutanggapi permintaan kalian. Namun perlu kalian sadari, kalau kupenuhi permintaan kalian, aku berjalan bersama kalian sebatas pengetahuanku. Kalau kalian tidak menaatiku, maka tak ada beda antara aku (sebagai pemimpin) dengan kalian (sebagai rakyat). Ketauhilah, (sebagai seorang pemimpin) akulah orang yang paling didengarkan dan ditaati.” Mendengar Ali mulai menerima, orang-orang pun bubar. Dan mereka akan bertemu keesokan harinya.

Keesokan harinya, di pagi hari Jumat, orang-orang memenuhi masjid untuk membaiat Ali. Setelah itu, Ali naik mimbar. Ia berpidato. Ali berkata, “Saudara-saudara sekalian, sesungguhnya urusan kalian ini tidak ada seorang pun yang berhak kecuali orang yang memimpin kalian. Kemarin kita berbeda pendapat tentang masalah kepemimpinan ini. Kemarin aku tidak suka mengurusi perkara ini. Namun kalian menolak semua orang kecuali aku. Sadarilah, aku ini hanya sebagai kunci urusan kita bersama. Aku tidak akan mengambil satu dirham pun di belakang kalian. Kalau kalian mau kuserahkan perkara ini pada kalian. Kalau tidak, maka tak ada seorang pun yang mau.” Mereka menjawab, “Kami tetap bersama keputusan kami kemarin (bersamamu).” (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/210).

Ketika umat Islam semakin menegaskan keinginan membaiatnya, Ali berkata, “Lakukan baiat di masjid. Karena baiat padaku tidak akan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dan tidak akan terjadi kecuali atas ridha kaum muslimin.” Kemudian Muhajirin dan Anshar masuk masjid untuk berbaiat. Lalu diikuti oleh masyarakat secara umum (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, 7/238)

Awalnya, Ali tidak menyepakati ditunjuk seabgai khalifah. Bahkan beliau benci akan hal itu. Namun setelah menimbang maslahat dan melihat kondisi masyarakat, ia berubah pikiran. Ia ingin agar masyarakat bersatu dan kekacauan mereda. Artinya, ia menjabat bukan karena paksaan para pemberontak. Tapi memang benar-benar keinginan masyarakat. Al-Qadhi Ibnul Arabi mengatakan, “Terjadilah pembaiatan Ali. Kalau seandainya ia tidak cepat mengambil keputusan baiat. Pastilah orang yang tidak layak akan menduduki posisi. Ditambah lagi ia mendapat dukungan dari Muhajirin dan Anshar. Sehingga ia memandang wajib untuk memenuhinya. Kepemimpinan itu pun diberikan padanya (Ibnul Atsir: al-Kamil, 3/98).

Ali memulai kepemimpinannya di masa-masa kacau ini. Pikirannya pun tak tenang menghadapi tuntutan qishash terhadap pembunuh Utsman. Tidak diragukan lagi, qishash ini wajib ditegakkan. Dan tidak diragukan lagi, Ali pun berkeinginan untuk menegakkannya. Tapi tidak sesederhana itu masalahnya. Para pemberontak ini tengah mendominasi Madinah. Kalau seandainya ia memaksa untuk menegakkan hukuman sekarang juga, pasti para pemberontak akan melawan. Mereka bukan orang-orang yang bertakwa. Pasti mereka tak segan membunuhi penduduk Madinah dan merampas harta-harta mereka. Inilah alasan mengapa Ali menunda penegakan hukum.

Ali menginginkan agar kondisi Madinah tenang terlebih dahulu. Para pemberontak telah terpisah menuju daerah asal mereka masing-masing. Para pembunuh teridentifikasi secara pasti. Kemudian barulah qishahs ditegakkan. Asy-Sya’bi mengatakan, “Setelah terbunuhnya Utsman, Aisyah berangkat menuju Madinah dari Mekah. Ia berjumpa dengan seseorang kerabatnya. Aisyah bertanya, “Apa yang terjadi di Madinah”? Ia menjawab, “Utsman terbunuh. Dan orang-orang sepakat mengangkat Ali. Kondisi di sana kacau.” (Ibnul Atsir: al-Kamil, 3/107).

Meskipun banyak sahabat yang mendukung Ali, tapi saat itu ada dua kelompok sahabat lainnya yang memiliki pandangan berbeda. Ada yang berpendapat qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera ditegakkan. Inilah pendapatnya Aisyah, Thalhah bin Ubaidillah, dan az-Zubair bin al-Awwam radhiallahu ‘anhum. Mereka semua sama seperti Ali. Mereka adalah tokoh utama para sahabat. Dan orang-orang yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelompok lainnya adalah kelompok sahabat sekaligus keluarga Utsman bin Affan. Semisal Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.

Ali mengirim seorang utusan kepada Gubernur Syam, Muawiyah. Ia meminta agar Muawiyah dan penduduk Syam membaiatnya. Tapi, Muawiyah berpandangan -sebagai kerabat Utsman- ia meminta agar penegakan hukum qishash dilakukan terlebih dahulu. Baru ia berbaiat. Atau Ali membiarkan Muawiyah dan penduduk Syam menumpas pembunuh Utsman. Setelah itu, barulah Muawiyah dan penduduk Syam akan berbaiat kepada Ali. Tentu ini melampaui tugas khalifah. Sehingga Ali menolak usulan Muawiyah. Bahkan Ali memandang sikap Muawiyah ini sebagai bentuk pembangkangan. Ali pun mau mencopot Muawiyah dari kepemimpinan wilayah Syam. Ia mengirim Sahl bin Hunaif sebagai gubernur yang baru. Tapi, penduduk Syam sangat mencintai Muawiyah. Ia seorang pemimpin yang adil dan lembut terhadap rakyatnya. Mereka menolak kedatangan Sahl bin Hunaif radhiallahu ‘anhu.

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6508-ringkasan-kisah-huru-hara-di-masa-sahabat-3-kekacauan-setelah-wafatnya-utsman.html

Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (2): Terbunuhnya Utsman bin Affan

Awal Fitnah

Apa yang disampaikan Hudzaifah bin al-Yaman kepada Umar menunjukkan bahwa para sahabat tahu dengan syahidnya Umar terbukalah pintu fitnah. Karena itulah, Amirul Mukminin Utsman bin Affan cenderung mengambil sikap toleran kepada orang-orang yang menyelisihinya. Banyak meng-iyakan orang-orang yang mengadukan pemimpin daerah mereka. Bahkan saat pemberontak mulai mengincar dirinya. Ingin memakzulkannya dari pucuk pimpinan negara Islam, Utsman berkata kepada mereka, “Demi Allah, sesungguhnya lingkaran fitnah itu sesuatu yang tak berujung. Beruntunglah Utsman jika dia mati dalam keadaan tidak menggerakkannya. Menghalangi manusia, memberikan hak-hak mereka, dan memaafkan mereka. Dan apabila Anda adalah orang yang menjaga hak-hak Allah, janganlah Anda turut mengobarkan fitnah itu.” (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 2/471).

Para provokator membuat makar yang batil terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Mereka mulai memprovokasi masyarakat mencela kepemimpinanya. Namun Utsman tetap bersabar menghadapi mereka. Di tengah provokator tersebut terdapat seorang yang pandai memantik api. Bersabar menghidupkan amarah masa. Orang tersebut adalah Abdullah bin Saba. Atau yang dikenal dengan Ibnu as-Sauda. Ia menampakkan kesalehan. Namun di hatinya menyimpan kekufuran dan permusuhan terhadap Islam dan pemeluknya.

Abdullah bin Saba menyambangi Basrah. Kota besar di Irak yang dipimpin oleh Abdullah bin Amir. Ibnu Sauda datang menemuinya bersama beberapa orang. Abdullah bin Amir bertanya, “Kamu siapa”? Ibnu Sauda menjawab, “Aku seorang dari ahlul kitab yang tertarik pada Islam. dan aku juga ingin tinggal di kotamu.” Ibnu Amir menanggapi, “Tidak sampai kabar padaku. Usir dia.”

Abdullah bin Saba pun menuju Kufah. Di sana pun ia tertolak dan diusir darinya. Lalu ia berangkat ke Mesir dan menetap di sana. Ia berkorespondensi dengan penduduk setempat. Dan sebagian penduduk Mesir tidak sepakat dengan pemikirannya (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/4).

Abdullah bin Saba terus memprovokasi masa dengan mencela Utsman. Dan ia memuji-muji ahlul bait. Ia berkata, “Sesungguhnya Muhammad akan kembali. Sebagaimana kembalinya Isa.” Dari sinilah keyakinan reinkarnasi muncul di tengah orang-orang Syiah. Ia menyebutkan bahwa Ali merupakan orang yang diberi wasiat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan wasiat tersebut disembunyikan. Utman itu menyandang kepemimpinan tanpa alasanyang dibenarkan. Lalu ia memprovokasi masyarakat untuk melakukan makar dan terus mencela para pemimpin (Tarikh Ibnu Khaldun, 2/586).

Abdullah bin Saba adalah tokoh nyata. Dialah yang menggerakkan pemberontakan ini. Kalau disebut sebagai tokoh fiktif, maka siapakah penggerak pemberontakan di zaman Utsman?

Para Pemberontak di Kota Madinah

Surat-menyurat antara para penyulut fitnah di Mesir, Basrah, dan Kufah terus saja berlangsung. Mereka saling menyemangati dan memanas-manasi untuk menentang Utsman. Sampai mereka sepakat untuk datang ke Madinah di musim haji. Di sana mereka akan menyuarakan perlawanan dan penentangan terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.

Sebenarnya, Utsman bin Affan tahu apa yang direncakan para pembuat makar ini. Namun ia lebih memilih memaafkan dan senantiasa bersabar. Ia bantah semua tuduhan dan fitnah. Dan apa yang ia lakukan selalu didukung oleh Muhajirin dan Anshar. Hingga akhirnya para pembuat makar ini sepakat untuk membunuh Utsnam. Dan Utsman tetap pada pendiriannya. Tidak mau menjadi penyulut fitnah. Ia tetap tidak menumpas mereka dengan kekuatan militer. Pemberontak ini datang di musim haji. Mereka menyamar seolah hendak berangkat ke Baitullah menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Mereka berkoordinasi. Saling menyurati. “Waktu berkumpul kita adalah di bulan Syawwal di pinggiran Kota Madinah (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 4/438). Peristiwa ini terjadi pada tahun 35 H.

Sesampainya di Madinah, para pemberontak mengepung kota dan mengepung rumah khalifah. Mereka berdemonstrasi menyuarakan tuduhan dusta terhadap Utsman. Mereka menuntut apa yang mereka inginkan. Utsman dan penduduk Kota Madinah tidak menyangka hal ini terjadi. Ditambah sebagian dari mereka ada yang berangkat ke Mekah untuk berhaji.

Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu membantah tuduhan mereka. Namun api fitnah telah berkobar. Orang-orang yang tak mengerti sudah tersulut emosi. Ikut-ikutan menuntut sesuatu yang tidak mereka mengerti. Mereka lancang memberi pilihan. Lengser dari jabatan khalifah atau mati. Utsman menolak tuntutan mereka. Karena itu yang Nabi pesankan kepadanya. Ditambah lagi kalau keinginan pemberontak ini dituruti, ini akan menjadi tradisi. Setiap orang yang merasa tak cocok dengan khalifah akan menuntut mereka lengser dari jabatannya.

Sang Khalifah telah mendapat kabar, bahwa ia akan menyandang syahid di akhir hayatnya. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berada di kebun. Beliau duduk di sisi Sumur Aris. Kemudian datang seseorang mengetuk pintu. Abu Musa berkata, “Siapa?” Orang itu menjawab, “Utsman bin Affan.” Abu Musa berkata, “Tunggu. Lalu kutemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kusampaikan Utsman minta izin masuk. Beliau katakan, ‘Izinkan dia. Dan beri kabar gembira surge untuknya karena musibah yang ia hadapi’.” (HR. al-Bukhari (3471, 3492) dan Muslim (2403)).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya juga pernah berwasiat kepada Utsman.

فعن عائشة رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم دعا عثمان فناجاه فأطال، وإني لم أفهم من قوله يومئذٍ إلا أني سمعته يقول له: “ولا تنزعَنَّ قميص الله الذي قمَّصك”

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Utsman dengan doa yang panjang. kata Aisyah, “Saat itu aku tak memahami apa yang beliau katakan. Tapi aku mendengar beliau bersabda, ‘Jangan sampai kau lepaskan pakaian yang telah Allah kenakan untukmu’.” (Zhilalul Jannah, 2/328).

Karena itulah, meskipun para demonstran menuntutnya untuk mundur disertai dengan ancaman, Utsman bergeming. Tak menuruti mereka. Beliau teguh dengan pesan nabi. Walaupun nyawa harus dipertaruhkan. Sangat pengepungan semakin ketat, Utsman memanggil Ali, Thalhah, dan Zubair. Utsman muliakan mereka. Lalu berkata, “Duduklah kalian semua.” Yang mau memberontak dan penduduk asli Madinah pun duduk. Utsman berkata, “Penduduk Madinah, aku titipkan kalian kepada Allah. Aku memohon kepada-Nya agar memilihkan khalifah yang berbuat baik kepada kalian sepeninggalku.” Utsman menegaskan, “Aku bersumpah atas nama Allah kepada kalian. Ingatkah kalian, kalian berdoa kepada Allah saat Umar wafat, agar Allah memilihkan untuk kalian dan mengumpulkan urusan kalian kepada orang yang terbaik di tengah kalian”?

“Apakah kalian akan mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa kita’, lalu kalian menghinakan pilihan Allah itu, padahal kalian adalah orang yang patut menjaga haknya?

Atau kalian akan mengatakan, ‘Allah tidak peduli dengan agamanya. Dia tidak peduli siapa yang memimpin. Dan agama tidak memecah pemeluknya hari itu’.

Atau kalian akan mengatakan, ‘Ia tidak peduli dengan musyawarah. Ia seorang yang sombong. Allah pun membiarkan umat ini apabilah mereka bermaksiat. Dan mereka tidak bermusyawarah dalam menunjuk pemimpin’. Atau kalian akan mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah tidak tahu akhir dari urusanku’. (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).

Utsman radhiallahu ‘anhu menjelaskan kepada mereka kemuliaan sesuatu yang ingin mereka bunuh. Utman berkata, “Aku bersumpah atas nama Allah. Tidakkah kalian tahu, usaha kebaikan yang telah kuperbuat? Dan keutamaan yang telah Allah berikan padaku? Itu adalah sesuatu yang wajib bagi orang-orang yang setelahku mengetahui kemuliaanku. Karena itu, tahanlah diri kalian. Jangan sampai kalian membunuhku. Karena tidak halal membunuh kecuali pada tiga orang; seseorang yang telah menikah kemudian berzina, seseorang yang murtad, dan seseorang yang membunuh orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Apabila kalian membunuhku, itu artinya kalian telah menjatuhkan vonis hukuman mati untuk diri kalian sendiri. -Dan pembunuhanku akan mengakibatkan- Allah senantiasa membuat kalian berselisih selama-lamanya.” (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).

Setelah itu, Utsman tetap tinggal di rumahnya. Ia juga memerintahkan para penduduk Madinah untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka semua pun pulang. Kecuali al-Hasan bin Ali, Abdullah bin Abbas, Muhammad bin Thalhah, Abdullah bin az-Zubair, dan yang sebaya dengan mereka. Pengepungan terhadap Utsman ini berlangsung selama 40 hari. Beberapa hari kemudian pengepungan kian ketat. Sampai-sampai mereka melarang Utsman untuk keluar rumah. Bahkan untuk mengambil air minum di sumur.

Secara rahasia, Utsman mengirim berita kepada Ali, Thalhah, az-Zubair, dan para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa para pemberontak ini melarangnya untuk ke mengambil air minum. Utsman meminta kepada mereka, kalau seandainya mereka mampu mengiriminya air, lakukanlah. Ali dan Ummu Habibah adalah orang pertama yang merespon permintaan Utsman. Ali datang di kegelapan malam. Ia berkata, “Hai kalian, apa yang kalian lakukan ini bukan seperti perbuatan orang-orang beriman. Bahkan bukan perbuatan orang kafir sekalipun. Janganlah kalian larang dia untuk mengambil air atau memenuhi kebutuhannya. Karena orang-orang Romawi dan Persia pun kalau mereka menawan seseorang, mereka memberi makan dan minum.”

Mereka menjawab, “Tidak demi Allah. Itu bukan usulan yang bagus.”

Kemudian datang Ummu Habibah radhiallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan menunggangi Bighal. Ia membawa sebuah wadah. Lalu orang-orang itu memukul wajah Bighalnya. Ummu Habibah dan Utsman sama-sama berasal dari Bani Umayyah. Ummu Habibah berkata, “Sesungguhnya wasiat Bani Umayyah ada pada Utsman. Aku ingin memintanya agar harta anak-anak yatim dan para janda tidak sirna.” Mereka berkata, “Engaku dusta.” Lalu mereka potong tali Bighal itu dengan pedang mereka. Bighal itu tersentak lari. Hampir saja Ummu Habibah terjatuh. Lalu orang-orang menjumpai Ummu Habibah dan mengantarkannya ke rumahnya (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).

Sungguh keterlaluan sekali perlakuan para pemberontak ini. Mereka telah menghina keluarga Rasulullah. Menghina kehormatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Utsman berusaha menasihati mereka. Mengingatkan mereka bahwa beliau adalah seorang yang pertama-tama memeluk Islam. Yang langsung disebutkan pujiannya di dalam Alquran. Ia juga jelaskan kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah sahabat utama Nabi sekaligus menantunya yang menikahir dua orang putri beliau. Utsman berkata, “Aku bersaksi atas nama Allah, apakah kalian tahu bahwa aku adalah orang yang membeli Sumur Rumah dengan hartaku sendiri. Agar orang-orang bisa menikmati airnya.”

Mereka menjawab, “Kami tahu.”

Utsman berkata, “Lalu mengapa kalian menghalangiku untuk minum darinya”?

Utsman kembali mengatakan, “Aku bersaksi atas nama Allah, apakah kalian tahu kalau aku membeli sebidang tanah. Lalu kuinfakkan untuk perluasan masjid”?

Mereka menjawab, “Kami tahu.”

Utsman berkata, “Apakah kalian tahu ada seseorang yang dilarang shalat di dalamnya sebelum diriku ini”?

Utsman berkata lagi, “Aku bersaksi atas nama Allah, apakah kalian tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang diriku demikian dan demikian”? Beliau menyebut pujian Nabi terhadap dirinya.

Para pemberontak ini pun berkata, “Bersikap lembutlah kepada Amirul Mukminin.”

Lalu salah seorang dari mereka yang bernama al-Asytar berkata, “Ia melakukan tipu daya pada kalian.” (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).

Al-Asytar inilah yang akhirnya membunuh Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Ia tetap menggembosi teman-temannya. Bahkan menghina orang-orang yang bertaubat. Tidak mau lagi terlibat dalam pengepungan.

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6502-ringkasan-kisah-huru-hara-di-masa-sahabat-2-terbunuhnya-utsman-bin-affan.html

Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (1)

Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi beberapa peristiwa besar di tengah para sahabat beliau. Terjadi pembunuhan, perselisihan, dan fitnah yang ditujukan kepada para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti terjadinya pembunuhan Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Terjadi Perang Jamal dan Perang Shiffin. Ada pemberontakan Khawarij. Dll. benarlah sabda beliau:

َلنُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ. فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ. وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِـيْ. فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ. وَأَصْحَابِـيْ أَمَنَـةٌ لِأُمَّتِيْ. فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِـيْ أَتَى أُمَّتِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ.

“Bintang-bintang itu sebagai penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang maka datanglah apa yang dijanjikan atas langit itu. Dan aku adalah penjaga bagi para shahabatku, apabila aku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka. Dan para shahabatku adalah penjaga bagi umatku, apabila shahabatku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang apa yang dijanjikan kepada mereka.” [HR. Muslim]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penjaga sahabatnya. Sepeninggal beliau terjadilah pembunuhan, tuduhan, dan permusuhan di tengah para sahabatnya.

Kedudukan Sahabat

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan istimewa di hati kaum muslimin. Bagi umat Islam, tidak ada yang berada di atas mereka kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penghormatan itu karena apa yang telah mereka korbankan untuk membela Rasulullah, menyebarkan agama, dan pengorbanan jiwa, harta, waktu, dan tenaga untuk meninggikan syiar Islam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah menempatkan mereka di kedudukan yang mulia. Allah Ta’ala memuji mereka dengan firman-Nya,

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” [Quran Al-Fath: 29]

Inilah alasan yang membuat umat Islam menaruh rasa hormat yang besar kepada mereka. Mereka tak berani lancang menodai kehormatan mereka walaupun dengan satu kata.

Namun, bukan berarti para sahabat itu maksum. Tapi ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan kedudukan mereka ini menjadi rambu peringatan. Agar seseorang tidak melanggar hak mereka. Kalau mereka menerabas batasan tersebut, maka hal itu menjadi tanda kurangnya kualitas agama mereka.

Imam Malik rahimahullah menyifati orang-orang yang membenci para sahabat, “Mereka adalah orang-orang yang ingin mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi celaan tersebut tak mampu mereka tujukan secara langsung pada beliau. Lalu mereka cela sahabat-sahabatnya. Sehingga orang-orang berkesimpulan, ‘Nabi itu orang tidak baik. Kalau beliau orang yang baik, tentulah sahabatnya pun orang baik-baik’. Padahal para sahabat seluruhnya adalah orang yang membela Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harta dan jiwa mereka. Membantu beliau agar agama ini kuat. Meninggikan kalimat Allah. Dan menyampaikan risalah beliau. Dimana saat itu dakwah Nabi belumlah kokoh dan tersebar. Tentu saja, kalau ada seseorang yang melakukan upaya seperti ini. Kemudian ada yang menyakiti mereka, pastilah temannya akan marah. Karena meyakiti orang-orang yang membelanya sama saja dengan menyakitinya.” [Ibnu Taimiyah: ash-Sharim al-Maslul Hal: 583].

Kisah fitnah di tengah para sahabat ini dimulai di masa pemerintah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Tepatnya setelah enam tahun pemerintahan beliau berjalan. Kemudian berlanjut di masa Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu.

Dengan kedudukan para sahabat di sisi Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin dan pembelaan mereka kepada agama ini, tentu menjadi suatu kewajiban bagi kita untuk membela mereka tatkala ada yang menyakiti mereka. Wajib bagi kita meluruskan berita tatkala orang-orang mamalsukannya. Kita bela kehormatan mereka dari tuduhan orang-orang munafik dan pengikut hawa nafsu.

Perubahan Kondisi

Setelah wafatnya al-Faruq, Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu, terjadilah perubahan kondisi sosial yang besar. Hal ini dilator-belakangi luasnya penaklukkan. Berlimpahnya kas negara dan harta di tengah kaum muslimin. Masuk unsur budaya baru yang datang dari negeri-negeri taklukkan. Dan semua itu terjadi dalam waktunya yang singkat.

Di antara orang-orang yang negerinya ditaklukkan ada yang memeluk Islam dengan tulus. Namun di antara mereka, ada yang masuk Islam hanya menginginkan menjadi duri dalam sekam. Membalas dendam akan kekalahan negeri dan agamanya. Kondisi kedua ini, seperti kondisi sebagian orang-orang Yahudi dan orang-orang Persia. Kemudian diperparah dengan sebagian umat Islam yang mulai condong pada kehidupan dunia dan perhiasannya.

Kondisi ini bertolak belakang dengan keadaan Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Fisik beliau yang sudah mulai menua berhadapan dengan perubahan yang besar. Beliau yang sudah tidak sebugar dulu dihadapkan dengan luasnya wilayah pemerintahan. Beliau khawatir tidak maksimal dalam mengemban amanah kepemimpinan. Lalu beliau berdoa kepada Allah Azza wa Jalla:

اللهم كبُرَت سني، وضعفت قوتي، وانتشرت رعيتي؛ فاقبضني إليك غير مضيِّع ولا مفرط

“Ya Allah, usiaku telah menua. Kekuatanku telah melemah. Sementara tanggung jawabku semakin besar. Angkatlah aku kepadamu (wafatkan) tanpa menyia-nyiakan tugas dan tanpa berlebihan (dalam amanah pen.).” [al-Muwatta bi Riwayati Yahya al-Laitsi, 2/824].

Kondisi masyarakat berubah. Dan kondisi Umar sebagai pemimpin pun berubah. Namun perubahan itu saling berkebalikan dan membuat ketidak-seimbangan. Kemudian di zaman Utsman bin Affan, kondisi masyarakat tak lagi sesoleh orang-orang sebelumnya. Ia memimpin rakyat yang berbeda dengan rakyatnya Umar. Umar memimpin para sahabat. Sedangkan Utsman, mayoritas rakyatnya adalah orang-orang yang tak pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan orang-orang yang lahir dari pendidikan nubuwah. Bahkan sebagian mereka memiliki hasrat besar terhadap dunia. Dunia menguasai hati mereka. Dan harta daerah taklukkan membuat mereka mauk kepalang. Kondisi demikian pastilah memuncullah fitnah dan ketidak-stabilan.

Sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan hal ini. Dari Syaqib bin Salamah dia berkata,

سَمِعْتُ حُذَيْفَةَ يَقُولُ بَيْنَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ عُمَرَ إِذْ قَالَ أَيُّكُمْ يَحْفَظُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْفِتْنَةِ قَالَ فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ لَيْسَ عَنْ هٰذَا أَسْأَلُكَ وَلٰكِنْ الَّتِي تَمُوجُ كَمَوْجِ الْبَحْرِ قَالَ لَيْسَ عَلَيْكَ مِنْهَا بَأْسٌ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا بَابًا مُغْلَقًا قَالَ عُمَرُ أَيُكْسَرُ الْبَابُ أَمْ يُفْتَحُ قَالَ بَلْ يُكْسَرُ قَالَ عُمَرُ إِذًا لَا يُغْلَقَ أَبَدًا قُلْتُ أَجَلْ قُلْنَا لِحُذَيْفَةَ أَكَانَ عُمَرُ يَعْلَمُ الْبَابَ قَالَ نَعَمْ كَمَا يَعْلَمُ أَنَّ دُونَ غَدٍ لَيْلَةً وَذٰلِكَ أَنِّي حَدَّثْتُهُ حَدِيثًا لَيْسَ بِالْأَغَالِيطِ فَهِبْنَا أَنْ نَسْأَلَهُ مَنْ الْبَابُ فَأَمَرْنَا مَسْرُوقًا فَسَأَلَهُ فَقَالَ مَنِ الْبَابُ قَالَ عُمَرُ

“Aku mendengar Hudzaifah menuturkan, ‘Ketika kami duduk-duduk bersama ‘Umar, tiba-tiba ia bertanya, “Siapa di antara kalian yang menghafal sabda Nabi ﷺ tentang fitnah?” Maka Hudzaifah menjawab, “Fitnah seseorang di keluarganya, hartanya, dan anaknya serta tetangganya bisa terhapus oleh shalat, sedekah, dan amar makruf nahi mungkar.” ‘Umar berkata, “Bukan tentang ini yang aku tanyakan kepadamu akan tetapi tentang (fitnah) yang bergelombang seperti gelombang lautan.” Hudzaifah berkata, “Kamu tidak terkena dampaknya dari fitnah itu, ya Amirulmukminin, sebab antara kamu dan fitnah itu terdapat pintu tertutup.” ‘Umar bertanya, “Apakah pintunya dipecahkan atau dibuka?” Hudzaifah menjawab, “Bahkan dipecahkan.” Maka ‘Umar berkata, “Kalau begitu tidak ditutup selama-lamanya.” Aku menjawab, “Betul”.’ Saya bertanya kepada Hudzaifah, ‘Apakah ‘Umar mengetahui pintu itu?’ Hudzaifah menjawab, ‘Ya, sebagaimana ia mengetahui bahwa setelah esok ada malam, yang demikian itu karena aku menceritakan hadits kepadanya tanpa kekeliruan.’ Maka kami khawatir untuk menanyakan kepada Hudzaifah siapa pintu sebenarnya. Lalu kami perintahkan kepada Masruq untuk bertanya kepada Hudzaifah, (siapakah pintu itu), Hudzaifah menjawab, ‘ ‘Umar.’” [Muttafaq ‘Alaih, Shaḥiḥ al-Bukhari, no. 7096 dan Shaḥiḥ Muslim, no. 144].

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6499-ringkasan-kisah-huru-hara-di-masa-sahabat-1.html

Ketika Kenikmatan Menjadi Bencana

Allah Swt Berfirman :

وَٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَٰتِنَا سَنَسۡتَدۡرِجُهُم مِّنۡ حَيۡثُ لَا يَعۡلَمُونَ

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (QS.Al-A’raf:182)

فَذَرۡنِي وَمَن يُكَذِّبُ بِهَٰذَا ٱلۡحَدِيثِۖ سَنَسۡتَدۡرِجُهُم مِّنۡ حَيۡثُ لَا يَعۡلَمُونَ

“Maka serahkanlah kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). Kelak akan Kami hukum mereka berangsur-angsur dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS.Al-Qalam:44)

Salah satu dari Sunnatullah bagi kebanyakan manusia yang menyimpang dan menentang-Nya adalah dengan memberi siksa berupa “Istidraj”. Dan perkara ini sampai di ulang dua kali dalam Al-Qur’an.

Istidraj artinya Allah Swt mengulur “kenikmatan” kepada hamba-Nya sehingga ia semakin tenggelam dalam maksiat dan semakin lupa diri di bawah kendali hawa nafsunya, sampai pada akhirnya ia terjerumus dalam kehancuran.

Allah Swt Berfirman :

إِنَّمَا نُمۡلِي لَهُمۡ لِيَزۡدَادُوٓاْ إِثۡمٗاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ مُّهِينٌ

“Sesungguhnya tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka hanyalah agar dosa mereka semakin bertambah; dan mereka akan mendapat azab yang menghinakan.” (QS.Ali ‘Imran:178)

Kenikmatan yang tak di syukuri, apalagi kenikmatan yang digunakan untuk menentang Allah dan bermaksiat kepada-Nya seringkali akan berubah menjadi bencana.

Perlakuan kita terhadap sebuah nikmat itulah yang menentukan nilai dari kenikmatan itu sendiri. Nikmat yang direspon dengan rasa syukur akan membawa seseorang menuju kenikmatan yang lebih besar, karena Allah Swt telah berjanji bahwa bila kita bersyukur maka pasti kenikmatan akan bertambah.

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS Ibrahim:7)

Dan apabila respon kita terhadap sebuah nikmat adalah respon yang “negatif” dalam arti tidak bersyukur dan malah menjadikan nikmat itu sebagai modal maksiat, maka kenikmatan itu akan menjadi bumerang yang menenggelamkan manusia dalam kehancuran dan kerugian. Seorang yang terbiasa menggunakan nikmat Allah untuk maksiat perlahan akan merasa aman dari Murka Allah Swt. Tidak ada lagi rasa takut atau penyesalan dalam hatinya ketika berbuat maksiat.

Sayyidina Ja’far As-Shodiq pernah berpesan :

“Sesungguhnya apabila Allah Swt menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, lalu hamba ini melakukan sebuah dosa maka Allah akan segera menyertainya dengan sebuah cobaan sehingga ia beristighfar.

Dan apabila Allah Swt tidak menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, lalu hamba ini melakukan sebuah dosa maka Allah akan menyertainya dengan nikmat sehingga ia lupa beristighfar dan terus menerus melakukannya. Itulah yang difirmankan oleh Allah Swt

سَنَسۡتَدۡرِجُهُم مِّنۡ حَيۡثُ لَا يَعۡلَمُونَ

“Akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui”

Yaitu dengan diulurkan nikmat ketika ia bermaksiat.

Semoga Bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN

Mana Lebih Afdhal untuk Qurban, Jantan atau Betina?

Umat Islam di berbagai belahan dunia yang mampu akan melaksanakan ibadah qurban pada hari raya Idul Adha. Ibadah qurban adalah sunah muakkad yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.

Muncul pertanyaan, lebih afdhal (lebih utama) berqurban dengan hewan jantan atau betina?

Ustaz Muhammad Ajib Lc dalam buku Fikih Kurban Perspektif Mazhab Syafi’i terbitan Rumah Fiqih Publishing menjelaskan pendapat Imam an-Nawawi tentang berkurban hewan jantan atau betina. Karena di antara keduanya ada yang lebih utama menurut mazhab Syafi’i.

Ia menjelaskan, ketika ingin membeli hewan qurban baik sapi atau kambing diperbolehkan yang berjenis kelamin jantan maupun betina. “Namun menurut mazhab Syafi’i yang paling bagus dan afdhal adalah berqurban dengan hewan jantan,” kata Ustaz Ajib dalam bukunya.

Imam An-Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab menyebutkan bahwa qurban hewan jantan lebih utama daripada hewan betina.

“Qurban boleh dan sah dengan yang jantan atau betina. Mengenai mana yang afdhal ada perbedaan di antara ulama, namun yang benar menurut Imam Syafi’i dan para ulama syafi’iyah bahwa hewan jantan lebih afdhal daripada hewan betina.” (An-Nawawi, Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab).

IHRAM