Mengapa Pantang Memutus Sumsum Tulang Belakang Hewan Kurban?

Sumsum tulang tidak boleh diputus pada saat proses penyembelihan.

Ibadah kurban adalah persembahan terbaik kita kepada Allah SWT. Oleh karenanya, ibadah mulia ini dilakukan dengan cara istimewa agar amal kita diterima. Ibadah kurban juga merupakan demonstrasi kesempurnaan adab umat Islam ketika menjalankan ibadah penyembelihan hewan.

Allah SWT dan Rasul-Nya mewajibkan kita untuk berbuat ihsan (baik) saat menyembelih. Maka tidak disebut termasuk dalam kelompok umat Rasulullah SAW jika seseorang tidak mau mengikuti sunnah (tuntunan) Rasulullah SAW.

Dari Syaddad bin Aus RA, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan berbuat baik (ihsan) terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya serta senangkan (ringankan beban) hewan yang akan disembelih.” (HR Muslim nomor 1955)

Menurut Direktur Halal Research Centre Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Nanung Danar Dono, ada beberapa cara agar bisa menyembelih hewan kurban secara ahsan atau baik. Pertama, pantang memutus sumsum tulang belakang.

Pada saat menyembelih hewan kurban, jelas Nanung, hanya tiga saluran yang diizinkan untuk diputus, yaitu: hulqum (saluran nafas), mari’ (saluran makanan), dan wadajain (dua pembuluh darah: arteri karotis dan vena jugularis). Spinal cord atau kabel sumsum tulang tidak boleh diputus pada saat proses penyembelihan.

Mengapa? Nanung mengungkapkan, pada saat hewan disembelih, maka akan tampak darah memancar sangat kuat, deras keluar, lewat lubang yang terbuka di leher bagian depan. Darah memancar kuat karena jantung berdenyut, menarik darah dari semua bagian organ dan memompanya keluar tubuh. “Jantung memompa darah itu karena perintah otak yang dikirimkan lewat (kabel) sumsum tulang belakang,” kata Nanung.

Maka jika pada saat hewan disembelih (kabel) sumsum tulang belakang tersebut juga diputus, maka akibatnya jantung akan kehilangan kontak dari otak. Jantung pun segera berhenti berdetak atau berdenyut. “Sehingga jantung tidak dapat melaksanakan tugasnya untuk memompa darah keluar tubuh,” kata Nanung kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Selanjutnya yang terjadi, kata Nanung, akan ada darah dalam jumlah banyak tertahan di jaringan tubuh dan menjadi stok makanan yang berlimpah bagi bakteri pembusuk. “Selanjutnya, pertumbuhan bakteri pembusuk tidak terkendali dan daging menjadi cepat busuk,” papar Nanung.

Cara kedua menyembelih hewan secara baik dengan mengasah pisau setajam mungkin. Syariat Islam tentang penyembelihan hewan mewajibkan pisau diasah super tajam. Hewan tidak boleh disembelih menggunakan pisau yang tumpul, bergerigi, apalagi gergaji. 

Ibnu Umar RA berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan untuk mengasah pisau tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Hadits lain dari Ibnu ’Abbas RA, beliau berkata: ”Rasulullah SAW mengamati seseorang yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu memandang kepadanya. Lantas Nabi berkata, ‘Apakah sebelum ini kamu hendak mematikannya dengan beberapa kali kematian? Hendaklah pisaumu sudah diasah sebelum engkau membaringkannya’.” (HR Al Hakim no 4/257, Al Baihaqi no 9/280, ‘Abdur Rozaq no 8608).

Ketiga, hewan jangan dibuat stres dan ketakutan. Rasulullah SAW menegaskan bahwa kita harus berbuat baik (ihsan) ketika menyembelih hewan, termasuk hewan kurban. Hewan tidak boleh dibuat stres dan tidak boleh dibuat ketakutan ketika hendak disembelih. Hewan juga tidak boleh dibuat tersiksa ketika disembelih.

Di antara perbuatan yang dapat membuat hewan ketakutan maupun stres saat akan disembelih adalah memperlihatkan proses pengasahan pisau, membuat suasana sangat gaduh dan ramai, memperlihatkan hewan yang disembelih dan atau dikuliti serta dipotong-potong anggota tubuhnya di hadapan hewan lain yang masih hidup, membiarkan ada genangan darah di area penyembelihan.

Perbuatan membiarkan pelanggaran tersebut terjadi tidak hanya membuat hewan teraniaya saat disembelih, tapi secara ilmiah juga dapat membuat kualitas daging menjadi turun (drop).

Keempat, dilarang menyiksa hewan kurban. Hewan kurban tidak boleh dipotong kakinya, tidak boleh dipotong ekornya, dan tidak boleh dikuliti, jika ia belum mati secara sempurna. Apabila hewan dipotong kakinya, dipotong ekornya, atau dikuliti ketika masih hidup, maka hewan bisa kesakitan yang luar biasa. Bahkan, dalam keadaan tertentu, hewan bisa mati bukan karena disembelih, tapi karena kesakitan yang luar biasa. Hal ini tentunya diharamkan secara syariat agama.

Selain menyakiti, memotong-motong anggota tubuh hewan ketika masih hidup atau belum mati sempurna juga akan membuat daging hewan tersebut menjadi haram. Abu Waqid al-Laitsi berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Bagian tubuh bahiimah (hewan ternak) yang terpotong ketika hewannya masih hidup, maka ia adalah bangkai.” (HR Ibnu Majah no 2606 dan II/1072, no 3216; Abu Dawud VIII/60, no 2841).

Daging bangkai itu haram dikonsumsi. Di Alquran ada empat ayat di mana Allah Swt mengharamkan kita memakan daging bangkai. “Mari kita sempurnakan amal ibadah kurban dengan memahami dan melakukan proses penyembelihan hewan kurban dengan benar dan sesuai syariat Islam,” kata Nanung.

KHAZANAH REPUBLIKA

Mana Lebih Afdhal untuk Qurban, Jantan atau Betina?

Umat Islam di berbagai belahan dunia yang mampu akan melaksanakan ibadah qurban pada hari raya Idul Adha. Ibadah qurban adalah sunah muakkad yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.

Muncul pertanyaan, lebih afdhal (lebih utama) berqurban dengan hewan jantan atau betina?

Ustaz Muhammad Ajib Lc dalam buku Fikih Kurban Perspektif Mazhab Syafi’i terbitan Rumah Fiqih Publishing menjelaskan pendapat Imam an-Nawawi tentang berkurban hewan jantan atau betina. Karena di antara keduanya ada yang lebih utama menurut mazhab Syafi’i.

Ia menjelaskan, ketika ingin membeli hewan qurban baik sapi atau kambing diperbolehkan yang berjenis kelamin jantan maupun betina. “Namun menurut mazhab Syafi’i yang paling bagus dan afdhal adalah berqurban dengan hewan jantan,” kata Ustaz Ajib dalam bukunya.

Imam An-Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab menyebutkan bahwa qurban hewan jantan lebih utama daripada hewan betina.

“Qurban boleh dan sah dengan yang jantan atau betina. Mengenai mana yang afdhal ada perbedaan di antara ulama, namun yang benar menurut Imam Syafi’i dan para ulama syafi’iyah bahwa hewan jantan lebih afdhal daripada hewan betina.” (An-Nawawi, Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab).

IHRAM

Kenapa Masih Enggan Berqurban?

Sebagian orang memiliki kelebihan harta yang sebenarnya sudah bisa berqurban dengan satu ekor kambing atau 1/7 sapi secara patungan. Namun memang sifat manusia sulit mengeluarkan harta yang ia sukai. Padahal qurban mengandung hikmah dan keutamaan yang besar.

Qurban yang kita kenal biasa disebut dengan udhiyah. Secara bahasa udhiyah berarti kambing yang disembelih pada waktu mulai akan siang dan waktu setelah itu. Ada pula yang memaknakan secara bahasa dengan kambing yang disembelih pada Idul Adha.

Sedangkan menurut istilah syar’i, udhiyah adalah sesuatu yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Ta’ala pada hari nahr (Idul Adha) dengan syarat-syarat yang khusus. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 5: 74).

Perintah Qurban

Qurban pada hari nahr (Idul Adha) disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun nahr)”. Tafsiran ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas, juga menjadi pendapat ‘Atho’, Mujahid dan jumhur (mayoritas) ulama. (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 9: 249)

Dari hadits terdapat riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibasy putih yang telah tumbuh tanduknya. Anas berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor kambing tersebut dengan tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher kambing itu. Beliau membaca ‘bismillah’ dan bertakbir.” (HR. Bukhari no. 5558 dan Muslim no. 1966)

Kaum muslimin pun bersepakat (berijma’) akan disyari’atkannya qurban. (Fiqhul Udhiyah, hal. 8)

Hikmah Berqurban

1- Qurban dilakukan untuk meraih takwa. Yang ingin dicapai dari ibadah qurban adalah keikhlasan dan ketakwaan, bukan hanya daging atau darahnya. Allah Ta’ala berfirman,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)

Kata Syaikh As Sa’di mengenai ayat di atas, “Ingatlah, bukanlah yang dimaksudkan hanyalah menyembelih saja dan yang Allah harap bukanlah daging dan darah qurban tersebut karena Allah tidaklah butuh pada segala sesuatu dan Dialah yang pantas diagung-agungkan. Yang Allah harapkan dari qurban tersebut adalah keikhlasan, ihtisab (selalu mengharap-harap pahala dari-Nya) dan niat yang sholih. Oleh karena itu, Allah katakan (yang artinya), “Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai ridho-Nya”. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi ketika seseorang berqurban yaitu ikhlas, bukan riya’ atau berbangga dengan harta yang dimiliki, dan bukan pula menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan. Inilah yang mesti ada dalam ibadah lainnya. Jangan sampai amalan kita hanya nampak kulit saja yang tak terlihat isinya atau nampak jasad yang tak ada ruhnya.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 539).

2- Qurban dilakukan dalam rangka bersyukur kepada Allah atas nikmat hayat (kehidupan) yang diberikan.

3- Qurban dilaksanakan untuk menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim –kholilullah (kekasih Allah)- ‘alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam ketika hari an nahr (Idul Adha).

4- Agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimas salaam, yang ini membuahkan ketaatan pada Allah dan kecintaan pada-Nya lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan sehingga Isma’il pun berubah menjadi seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada Allah dan seharusnya mereka mendahulukan kecintaan Allah dari hawa nafsu dan syahwatnya. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 5: 76)

5- Ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah dengan uang yang senilai dengan hewan qurban.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Penyembelihan yang dilakukan di waktu mulia lebih afdhol daripada sedekah senilai penyembelihan tersebut. Oleh karenanya jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiron meskipun dengan sedekah yang bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai keutamaan qurban.” (Lihat Talkhish Kitab Ahkamil Udhiyah wadz Dzakaah, hal. 11-12 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 379)

Tetaplah Berqurban Ketika Mampu Walau Hukum Qurban Sunnah

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئً

Jika telah masuk 10 hari pertama dari Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian berkeinginan untuk berqurban, maka janganlah ia menyentuh (memotong) rambut kepala dan rambut badannya (diartikan oleh sebagian ulama: kuku) sedikit pun juga.” (HR. Muslim no. 1977)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini adalah dalil bahwasanya hukum qurban tidaklah wajib karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian ingin menyembelih qurban …”. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, beliau akan bersabda, “Janganlah memotong rambut badannya hingga ia berqurban (tanpa didahului dengan kata-kata: Jika kalian ingin …, pen)”.” (Disebutkan oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro, 9: 263)

Walau menurut pendapat mayoritas ulama hukum berqurban itu sunnah, tetaplah berqurban apalagi mampu. Untuk orang yang mampu dan kaya mengeluarkan 2,5 juta rupiah untuk qurban kambing atau patungan sapi sebenarnya begitu enteng. Tinggal niatan saja yang perlu dikuatkan.

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah setelah memaparkan perselisihan ulama mengenai hukum qurban, beliau berkata, “Janganlah meninggalkan ibadah qurban jika seseorang mampu untuk menunaikannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu dan ambil perkara yang tidak meragukanmu.” Selayaknya bagi mereka yang mampu agar tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan. Wallahu a’lam.” (Adhwa’ul Bayan, 5: 618)

Berutang Tidaklah Masalah untuk Berqurban

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah mengatakan, ”Dulu Abu Hatim pernah mencari utangan dan beliau pun menggiring unta untuk disembelih. Lalu dikatakan padanya, ”Apakah betul engkau mencari utangan dan telah menggiring unta untuk disembelih?” Abu Hatim menjawab, ”Aku telah mendengar firman Allah,

لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ

Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al Hajj: 36)”. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 415)

Untuk masalah aqiqah, Imam Ahmad berkata,

إذا لم يكن مالكاً ما يعقّ فاستقرض أرجو أن يخلف اللّه عليه ؛ لأنّه أحيا سنّة رسول اللّه صلى الله عليه وسلم

“Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” (Matholib Ulin Nuha, 2: 489, dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 278). Untuk qurban pun berlaku demikian, bisa dengan berutang.

Pilihlah Hewan Qurban Terbaik

Ciri-ciri hewan yang terbaik untuk qurban adalah: (1) gemuk, (2) warna putih atau warna putih lebih mayoritas, (3) berharga, (4) bertanduk, (5) jantan, (6) berkuku dan berperut hitam, (7) sekeliling mata hitam.

Hewan qurban yang dipilih adalah yang sudah mencapai usia musinnah. Musinnah dari kambing adalah yang telah berusia satu tahun (masuk tahun kedua). Sedangkan musinnah dari sapi adalah yang telah berusia dua tahun (masuk tahun ketiga). Sedangkan unta adalah yang telah genap lima tahun (masuk tahun keenam). Inilah pendapat yang masyhur di kalangan fuqoha. Atau bisa pula memilih jadza’ah yaitu domba yang telah berusia enam hingga satu tahun.

Kemudian jauhi cacat hewan qurban yang wajib dihindari yang bisa membuat qurbannya tidak sah. Ada empat cacat yang membuat hewan qurban tidak sah: (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya, (4) sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang. Kalau dianggap tidak sah, berarti statusnya cuma daging biasa, bukan jadi qurban.

Sedangkan cacat yang tidak mempengaruhi turunnya kualitas daging tidaklah masalah seperti ekor yang terputus, telinga yang terpotong dan tandung yang patah. Cacat ini yang dimakruhkan.

Intinya, ketika berqurban berusaha memilih hewan qurban yang terbaik, menghindari cacat yang membuat tidak sah dan cacat yang dimakruhkan. Ibnu Taimiyah sampai berkata,

وَالأَجْرُ فِي الأُضْحِيَّةِ عَلَى قَدْرِ القِيْمَةِ مُطْلَقًا

“Pahala qurban (udhiyah) dilihat dari semakin berharganya hewan yang diqurbankan.” (Fatawa Al Kubro, 5: 384). Semakin berharga hewan qurban yang dipilih, berarti semakin besar pahala.

Berqurban itu begitu mudah, kita bisa berqurban dengan 1 kambing atau patungan 1/7 sapi. Masing-masing qurban tersebut bisa diniatkan untuk satu keluarga. Imam Asy Syaukani rahimahullah pernah berkata, “Qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.” (Nailul Author, 8: 125).

Semoga bermanfaat. Moga Allah berkahi rezeki setiap yang mau berqurban.

* Diringkas dari bahasan buku “Panduan Qurban dan Aqiqah” karya Muhammad Abduh Tuasikal, MSc terbitan Pustaka Muslim Yogyakarta

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/22713-kenapa-masih-enggan-berqurban.html

Raih Al-Kautsar dengan Mendirikan Sholat dan Berqurban

Sebagai surat ke-108, Al Kautsar merupakan surat yang diturunkan di Makkah dan menjadi surat terpendek dalam Al-Quran. Namun demikian, Al-Kautsar nyatanya memiliki arti yang berlimpah atas nikmat.

Mengutip buku Tafsir Juz Amma karangan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, Al Kautsar memang merupakan nikmat yang berlimpah. Utamanya yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ia berkata, ‘’Muhammad bin Fudhail meriwayatkan kepada kami dari Al Mukhtar bin Fulful, dari Anas bin Malik, ia berkata ‘Rasulullah tidur sebentar lalu beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum, baik beliau bersabda kepada orang-orang, ataupun mereka berkata pada beliau, ‘’Kenapa engkau tertawa?’’ Rasulullah menjawab, ‘Baru saja diturunkan satu surat kepadaku.’’

Selanjutnya beliau membaca, ‘’Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. ‘Sungguh, kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.’’ Sampai selesai. Beliau kembali bertanya, ‘’Tahukah kalian apakah al-Kautsar itu?’’, ‘’Itulah sungai yang Tuhanku ‘Azza wa Jalla berikan kepadaku di surga. Di dalamnya banyak kebaikan. Umatku datang ke sana pada hari Kiamat.

Imam Ahmad juga berkata, ‘’Muhammad bin Abi Adi bercerita kepada kami dari Humaid, dari Anas, ia berkata, ‘’Rasulullah bersabda, ‘’Aku masuk surga. Ternyata aku sudah berada di sungai. Di kedua tepinya perkemahan mutiara. Lantas aku menemukan tanganku ke tempat yang mengalir, ternyata itu minyak kesturi adzfar. Aku bertanya, ‘Apa ini wahai Jibril?, ‘Ia menjawab, ‘Inilah Al-Kautsar yang telah Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepadamu. (HR. Ahmad, 12008).

Lebih lanjut, meski ada tiga ayat yang keseluruhannya menjelaskan nikmat, ada syarat sholat dan kurban yang harus dilakukan.

Secara spesifik, hal tersebut ada di ayat ke-2 Al-Kautsar.

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ

(Fa ṣalli lirabbika wan-ḥar)

Artinya: Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.

Mengutip buku Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jilid 24, disebutkan makna dalam ayat tersebut. Yaitu, setelah diberi penegasan terkait nikmat yang berlimpah, maka Rasulullah diarahkan untuk mensyukuri nikmat dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah, dengan menunaikan sholat dan menyembelih hewan qurban dengan ikhlas karena-Nya.

Hal itu, dinilai perlu dilakukan untuk menghiraukan kemusyrikan orang musyrik.

Tak hanya itu, dalam buku Tafsir Al-Fatihah dan Juz Amma karangan Muhammad Chirzin, juga menyebutkan hal serupa. Ayat itu menyerukan sholat dengan ikhlas, dan perintah menyembelih hewan qurban pada hari raya Idul Adha karena Allah.

Lebih lanjut, Tafsir Al Mukhtashar yang berada di bawah pengawasan Imam Masjidil Haram, Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid menyebutkan, ayat itu mengandung perintah, ‘Maka ikhlaskanlah sholatmu seluruhnya hanya untuk Tuhanmu,dan sembelih lah binatang sembelihanmu untuk Nya dan hanya dengan nama Nya semata.’

Lebih jauh, dalam Tafsir Min Fathil Qadir tulisan Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman menambahkan, dalam ayat tersebut menyebutkan, qurban pada hari tasyriq, lebih baik dari pada zakat yang dibayarkan pada hari fitri. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk mensyukuri Al-Kautsar pemberiannya dengan mendirikan sholat dan berqurban.

Dijelaskan juga, Allah menyebutkan ayat tersebut, dikarenakan dua perintah di dalamnya memiliki kandungan yang sebaik-baiknya amal ibadah seseorang. Selain, menjadi cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Sholat yang ditegaskan, juga bisa diartikan sebagai ketundukan hati dan jiwa hamba kepada Allah. Sedangkan, berqurban dalam perintah selanjutnya, merupakan langkah mendekatkan diri kepada Allah dengan hewan qurban terbaik, dan untuk mengeluarkan harta yang menjadi fitrah bagi setiap orang.

IHRAM

Kurban di Masa Pandemi

Ibadah kurban merupakan napak tilas perjalanan seorang ayah dan anak yang saling mencintai.

Tak lama lagi, Hari Raya Kurban atau Idul Adha 1441 H akan tiba. Umat Islam menyambutnya penuh sukacita dengan berkurban. Ibadah kurban merupakan napak tilas perjalanan seorang ayah dan anak yang saling mencintai, yakni Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS.

Karena itu, penyembelihan hewan kurban, selain mengajarkan kerelaan berkorban harta dan sifat kebinatangan, juga mengandung nilai historis, pendidikan keluarga dan spiritualitas seorang hamba di hadapan Tuhannya.

Perayaan Idul Kurban tahun ini sangat berbeda. Tidak ada perjalanan ibadah haji ke Baitullah karena pandemi Covid-19 yang masih mengancam keselamatan jiwa. Pupus sudah harapan calon dhuyufur rahman (tamu Allah) yang telah menyiapkan diri sejak lama, bahkan menabung puluhan tahun.

Betapa pun sedihnya, kita mesti melihat kejadian ini dengan kacamata tauhid. Segala musibah terjadi karena izin atau takdir Allah SWT (QS 64: 11). Juga, mesti direnung ke lubuk hati bahwa boleh jadi sesuatu yang tak disukai terselip kebaikan di dalamnya (QS 2: 216).

Ketika calon jamaah haji batal berangkat ke Tanah Suci, mereka dapat melakukan ibadah lain yang sangat dianjurkan agama.

Syekh Sayid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah mengutip Hadis Nabi SAW, “Tidak ada satu amalan manusia pada Hari Raya Kurban yang lebih dicintai Allah SWT. selain menyembelih hewan kurban. Sesungguhnya hewan kurban itu kelak di Hari Kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kukunya. Sebelum darahnya menyentuh tanah, pahalanya telah diterima di sisi Allah. Beruntunglah kalian dengan kurban itu.” (HR Turmudzi).

Bagi yang mampu, tetapi enggan menunaikannya dikecam oleh Nabi SAW. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Bulughul Maram mengutip sebuah riwayat, “Barang siapa mempunyai kelapangan untuk berkurban, tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR Ahmad).

Berkurban merupakan wujud kesyukuran atas limpahan nikmat yang tak terkira jumlahnya. “Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” (QS 108: 1-2).

Suatu ketika seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Beliau menjawab, “Kamu bersedekah ketika dalam keadaan sehat dan kikir, takut menjadi fakir dan berangan-angan menjadi orang kaya. Maka, janganlah menundanya hingga nyawamu berada di tenggorokan. Lalu kamu berkata, si fulan mendapatkan ini, dan si fulan kebagian ini. Padahal, harta itu memang milik si fulan.” (HR Bukhari).

Sementara, bagi orang yang kekurangan, tetapi berupaya menunaikannya, akan diganjar pahala yang berlipat ganda. Beliau SAW pernah ditanya, “Apakah sedekah yang paling utama?” Baginda SAW menjawab, “Sedekah orang yang dalam kekurangan.” (HR an-Nasa`i).

Walhasil, berkurban selalu memberi kesan mendalam bagi pekurban dan penerimanya. Apalagi dalam masa pandemi, kita masih mampu meringankan beban sesama. Tiada lain, kecuali untuk mendekat (taqarrub) kepada Allah SWT sesuai dengan hakikat kurban (QS 22: 37). Wallahu a’lam bish-shawab.

OLEH HASAN BASRI TANJUNG

KHAZANAH REPUBLIKA