Menyemai Toleransi di Masa Pandemi

Alhamdulillah, sujud penuh syukur Allah masih memberikan ni’mat sehat di bulan suci Ramadhan 1441 yang terasa istimewa ini. Istimewa bukan hanya karena hadirnya pandemi,  istimewa karena di bulan suci ini, menjadi momentum terbaik untuk menyemai toleransi. Umat Islam tengah khusyu’ dengan puasanya, sementara umat non-muslim, tetap menjaga dan menghormati kesucian bulan ini, demikian indahnya hidup ini!

Berdiskusi mengenai toleransi, kira-kira, apa yang ada di benak teman-teman? Menghargai ibadah umat lain? Menghormati apa yang diyakini orang yang berbeda keyakinan dengan kita? Atau mengikuti kepercayaan/praktik agama lain?

Sebelum beranjak kepada makna toleransi, maka ada baiknya kita pahami dulu mengapa toleransi ini sedemikian penting dan dipahami dengan benar. Bukan karena hanya bertujuan menciptakan keharmonisan antar umat beragama, namun juga ada hal penting yang sangat vital sebagai perwujudan sunnatullah/ ketentuan yang dikehendaki Allah.

Apakah itu? Perbedaan! Ya, karena perbedaan itulah, Allah menghendaki setiap umat beragama (khususnya umat Islam) memiliki perasaan mau menerima segala perbedaan. Baik berbeda secara fisik (warna kulit, bahasa, postur tubuh, perbedaan suku, dan lain sebagainya). Maupun perbedaan intrisik yakni perbedaan yang sifatnya abstrak namun sangat penting, dalam hal ini perbedaan pandangan atau ideologi atau keyakinan termasuk agama.

Menyoal perbedaan fisik maupun intrinsik ini, Alqur’an menyebutkan beberapa ayat terkait hakikat perbedaan ini. Perbedaan-perbedaan fisik misalnya dalam ayat, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui,” (Qs. ar-Rum 30: 22), atau dalam surah al-Hujurat 49: 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Kedua ayat di atas memberikan isyarat penting pertama, Allah menciptakan perbedaan bahasa dan warna kulit sebagai bukti bahwa Dia Maha Kuasa menjadikan perbedaan itu. Kedua, dalam surah al-Hujura>t/49: 13 Allah Yang Maha Menghendaki perbedaan itu ingin seluruh manusia yang tercipta dari banyak bangsa dan suku agar mau dan saling mengenal (li ta’a>rafu>). Melalui tujuan perbedaan inilah manusia sebenarnya harus menyadari secara penuh bahwa perbedaan itu tercipta berkat sifat rahmah-Nya (kasih sayang) agar manusia belajar dari perbedaan dan mau melengkapi satu sama lain—sebab dasarnya, tiada satu manusiapun yang sempurna, kita saling membutuhkan satu dengan lainnya.

Nah, setelah mengetahui hakikat perbedaan yang dikehendaki Allah inilah kesediaan dan mau bertoleransi atas perbedaan agama atau keyakinan menjadi hal yang sangat dianjurkan al-Qur’an. Mengawali makna kata toleransi, kata ini sebenarnya memiliki padanannya dalam bahasa Arab. Toleransi dalam bahasa Arab berasal dari kata tasa>muh (akar katanya samaha) yang berarti perasaan mau menerima apa yang diyakini orang lain, baik menyangkut pendapat, pandangan maupun kepercayaan. Namun demikian, kata ini tidak kita temukan di dalam satu surah pun dalam al-Qur’an. Kendati tidak ditemukan, ada beberapa ayat yang berkenaan/ berkaitan dengan isyarat toleransi, misalnya Qs. al-An’a>m/6: 35, Qs. Yunus 10: 99, Qs. Zukhruf 43: 33, Qs. ar-Ra’du/ 13: 31, Qs. at-Tagha>bu>n/ 64: 2 dan Qs. al-Ma>idah/ 5: 48, termasuk an-Nahl/16: 93.

Beberapa surah tersebut menegaskan bahwa Allah tidak menghendaki keseragaman/ satu umat. Allah justeru memberikan alternatif seluas-luasnya, agar manusia bisa memilih ingin beriman atau kafir, bahkan—pemaksaan atas nama agama tidak diperbolehkan. Hal ini terjadi karena Allah telah memberikan modal terbesar dalam hidup seluruh manusia yaitu akal pikiran yang tidak Dia berikan kepada makhluk selain manusia, agar mereka bisa memilih dengan hati dan pikiran jalan mana yang akan ia pilih, “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. an-Nahl/16: 93).

Selain beberapa ayat di atas, satu ayat yang paling eksplisit disebut sebagai dasar pondasi umat Islam dalam toleransi keyakinan (agama), ialah, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”  (Qs. al-An’a>m/6: 108).

Kata tasubbu (memaki) dalam lafadz di atas, berasal dari kata sabba yaitu ucapan yang mengandung makna penghinaan terhadap sesuatu atau penisbahan suatu kekurangan atau aib terhadapnya, baik hal itu benar maupun belum tentu benar. Sebab turunnya ayat tersebut di atas ialah untuk memberikan pengajaran pada Rasulullah, para sahabat dan semua umat Islam untuk  menahan diri sekaligus larangan agar tidak memaki kepercayaan/ sesembahan kaum musyrikin karena makian terhadap mereka tidak menghasilkan kemaslahatan apapun dalam agama. Makian dapat menimbulkan dampak yang berbahaya bukan saja kepada si pemaki (karena ia mengotori lisannya untuk memaki sesembahan sesamanya), terlebih juga kepada yang dimaki karena ia akan makin antipati bahkan menjauh.

Selain itu, larangan memaki tuhan-tuhan dan kepercayaan pihak lain, menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya, merupakan tuntunan agama guna memelihara kesucian agama-agama dan guna menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antar-umat beragama. Sebab, sudah menjadi fithrah dan tabiat bahwa manusia sangat sensitif dan terpancing emosinya jika agama dan kepercayaannya disinggung—apapun kedudukan sosial dan tingkat pengetahuannya, sebab agama bersemi di dalam hati penganutnya; sementara hati adalah sumber emosi.

Selain fitrahnya manusia tidak senang dengan segala bentuk penghinaan terhadap sesembahan, penganut madzhab Imam Malik misalnya, merespon ayat ini sehingga merumuskan istilah sadd adz-dzari’ah yaitu menampik peluang atau melarang sesuatu yang dibenarkan agama untuk mencegah segala macam faktor yang dapat menimbulkan kemudharatan, dengan menahan diri untuk tidak menghina sesembahan agama lain.

Dasar-dasar toleransi yang digaungkan Alqur’an ini sungguh rasional. Umat Islam diminta untuk menahan diri bukan hanya untuk kebaikan diri pribadi dan umat sesamanya, namun juga untuk menjaga kesucian Zat Allah. Secara tidak langsung, ketika kita memahami ayat ini sebagai tuntunan, kita berperan besar agar mereka (umat lain) tidak menghina Allah dengan melampaui batas (berlebihan) dan tanpa pengetahuan (tentang Allah). Hal ini ditegaskan oleh lafadz ‘adwan yang berarti permusuhan dan melampaui batas, dan dapat juga diartikan lari atau tegesa-gesa. Isyarat dari makna ‘adwan ialah bahwa setiap pelecehan agama—apapun agama itu—merupakan pelampauan batas serta mengundang permusuhan. Lebih lanjut, makna bi-ghayri ‘ilm (tanpa pengetahuan) memiliki dua arti; yakni kalau yang dicaci adalah agama yang haq, kebodohan si pencaci sangat jelas dan bila yang dicacinya agama yang sesat, ia pun  tidak memiliki pengetahuan yang benar mengenai larangan Allah ini.

Jika kita memahami lebih dalam, maka larangan ayat di atas sebetulnya sejalan dengan firman Allah berikutnya bahwa setiap umat merasa bahwa apa yang mereka lakukan (penghambaan terhadap apa yang ia yakini itu benar. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsirnya menguraikan, hal inilah yang mengakibatkan kaum musyrikin membela kepercayaan mereka yang sesat karena kebodohan dan pelampauan batas. Berikutnya, makna Kami perindah  untuk semua umat amal-amal mereka, terlepas dari apakah perbuatan itu baik atau buruk, apakah iman atau kufur, karena telah berlaku ketentuan Allah menyangkut tabiat manusia bahwa mereka menganggap baik kebiasaan mereka serta mempertahankan tradisi mereka.

Lantas? Apakah dengan Allah menjadikan indah amal-amal (penyembahan suatu kaum selain Allah) adalah sesuatu yang terjadi atas izin-Nya? Quraish Shihab kembali bependapat bahwa apa yang diizinkan terjadi, belum tentu sesuai dengan apa yang Dia ridhai. Dengan demikian, kekufuran dan keimanan tentu terjadi karena izin-Nya, namun, kekufuran sama sekali tidak diridhai-Nya. Dengan demikian, keterlibatan Allah adalah pada hal-hal yang sunnatullah yang berlaku untuk semua manusia antara lain siapa yang tidak membentengi diri dengan iman dan taqwa, dia akan terbawa hawa nafsu dan keburukan dianggapnya indah. Dengan penjelasan ini, sebenarnya kita bisa memahami bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih, bahkan al-Qur’an telah memberikan banyak petunjuk menuju keimanan sejati.

Nah, dalam kesempatan Ramadhan yang bertepatan dengan pandemi ini, menyemai kembali makna toleransi sangat penting. Bukan hanya karena Islam melarang keras menghina sesembahan kaum lain, namun karena toleransi dapat membawa kedamaian hakiki. Kedamaian yang akan terwujud jika seluruh umat secara sadar dan berlapang dada bersama-sama menghargai segala perbedaan yang ada. Perbedaan adalah rahmah, perbedaan seharusnya mampu menyatukan bukan menghancurkan. Wallahu a’lam..

 Oleh: Ina Salma Febriany

KHAZANAH REPUBLIKA

Berapakah Jumlah Asmaaul Husna?

Menjadi kewajiban bagi seorang mukmin untuk beriman dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Nama-nama Allah disebut dengan asmaaul husna, yang artinya nama yang paling baik dan sempurna. Berpakah sebenarnya jumlah asmaaul husna ? Simak pembahasan berikut.

Perbedaan Ulama Tentang Jumlah Nama Allah 

Terdapat perselisihan para ulama mengenai jumlah nama Allah menjadi dua  :

Pendapat Pertama. Nama Allah tidak terbatas jumlahnya. Nama dan sifat Allah tersimpan dalam ilmu ghaib di sisi Allah, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Inilah pendapat jumhur ulama seperti Al Khatabi, Al Qurtubi, Al Qadhi Abi Bakr bin Thayyib, Ibnul Arabi, Ar Raazi, dan juga Ibnu Hajar rahimahullah. Bahkan Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan terdapat kesepakatan bahwa nama Allah tidak terbatas jumlahnya sebagaimana disebutkan dalam kitab beliau Syarh Shahih Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “ Para ulama salaf dan para imam mereka berpendapat dengan pendapat ini. “

Pendapat Kedua. Nama Allah terbatas dengan jumlah tertentu. Namun terdapat perselisihan mengenai jumlahnya : 

  1.  Ada yang mengatakan jumlahnya 100 nama.
  2.  Ada yang mengatakan jumlahnya 1.000 nama.
  3.  Ada yang mengatakan jumlahnya 4.000 nama. Seribu nama hanya Allah yang mengetahuinya, seribu nama hanya diketahui oleh Allah dan para malaikat-Nya, seribu nama hanya diketahui oleah Allah, malaikat, dan para nabi. Adapun seribu nama sisanya maka orang beriman mengetahuinya. Tiga ratus ada pada Taurat, tiga ratus ada pada Injil, tiga ratus ada pada Zabur, sedangkan seratus sisanya ada dalam Al Qur’an. Sembilan puluh sembilan di antaranya jelas diketahui dan ada satu yang tersembunyi. 
  4.  Nama Allah ada 99 nama. Tidak boleh bagi seseorang untuk menambahkannya. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla.  Beliau berdalil dengan hadits :

إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا 

“”Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. ” (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang Benar Nama Allah Tidak Terbatas Jumlahnya

Nama-nama Allah yang termasuk asmaaul husna tidaklah terbatas jumlahnya. Yang benar jumlahnya bukan hanya 99 nama saja. Hanya Allah yang mengetahui berapa jumlahnya. Dalil-dalil dan alasan yang menunjukkan hal ini adalah sebagai berikut :

Pertama. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ

Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang menjadi milik-Mu, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu ” (HR. Ahmad, shahih)

Yang menjadi dalil dari hadits di atas terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ

atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu”

Ini menunjukkan bahwa nama-nama Allah lebih dari sembilan puluh sembilan. Ada di antara nama-nama Allah yang Allah sembunyikan dalam ilmu Allah Ta’ala,  di mana tidak ada yang mengetahui kecuali Dia.

Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi : 

إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“ Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, siapa yang menghafalnya pasti masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas tidak menunjukkan pembatasan nama Allah dengan jumlah sembilan puluh sembilan saja. Seandainya maksudnya adalah pembatasan jumlah, ungkapannya adalah sebagai berikut, “Sesungguhnya nama-nama Allah hanya ada sembilan puluh sembilan, barangsiapa yang menghitungnya akan masuk surga”, atau  ungkapan yang semisal.

Penyebutan jumlah dalam hadits di atas merupakan penjelasan bahwasanya bagi yang menghafal sembilan puluh sembilan nama akan masuk surga. Perkataan “barangsiapa ihso’ (menghafal, memahami, dan mengamalkannya) akan masuk surga” merupakan kalimat pelengkap yang menyempurnakan kalimat sebelumnya, bukan merupakan kalimat yang terpisah.

Hal ini bisa diperjelas dengan contoh sebagai berikut. Misalnya ada seorang yang mengatakan, “ Aku memiliki seratus uang dirham yang akan aku sedekahkan”. Hal ini tidak menafikan orang tersebut mempunyai uang lain yang tidak akan disedekahkan. Jadi uang yang dimiliki oleh orang tersebut tidak terbatas hanya seratus dirham saja. 

Kedua. Hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berdoa ketika sujud dengan mengucapkan : 

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan ridho-Mu  dari kemurkaan-Mu, dan aku berlindung dengan keselamatan-Mu  dari siksa-Mu, dan aku berlindung dengan-Mu dari-Mu.  Aku tidak mampu membatasi jumlah pujian kepada-Mu. Engkau adalah sebagaimana yang Engkau pujikan kepada diri-Mu”  (H.R. Muslim).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkabarkan behwasanya beliau tidak mampu menghitung pujian bagi Allah. Seandainya beliau mampu menghitung nama-nama Allah niscaya beliau mampu untuk menghitung sifat-sifat Allah seluruhnya, sehingga beliau bisa menghitung seluruh pujian bagi Allah. Karena seluruh sifat-sifat Allah diungkapkan dari nama-nama-Nya”

Ketiga. Nama-nama Allah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah kalau dikumpulkan semuanya lebih banyak dari 99. Para ulama yang mencoba mengumpulkan 99 asmaaul husna tidak semuanya menyebutkan nama Allah yang sama. Ini menunjukkan bahwa seluruh nama Allah apabila dikumpulkan dari seluruh para ulama yang mencoba mengumpulkan nama-nama Allah tersebut pasti jumlahnya akan lebih dari 99 nama.   

Keempat. Membatasi jumlah nama Allah hanya sembilan puluh sembilan dengan mafhuum ‘adad (mengaitkan pendalilan hukum dengan pembatasan angka tertentu) adalah cara pendalilan yang lemah.

Kelima. Tidak terdapat hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang nama apa saja yang termasuk dalam sembilan puluh sembilan nama tersebut. Hadits yg menyebutkan tentang hal itu adalah hadits dhaif sehingga para ulama pun berbeda-beda ketika menyebutkan sembilan puluh sembilan nama Allah tersebut.

Inilah pendapat yang lebih tepat berdasarkan dalil-dalil di atas. Dengan demikian wajib bagi kita untuk meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki asmaaul husna yang tidak terbats jumlahnya.

Referensi :  Al-Mujalla fii Syarh Al-Qawaa’idil Mutsla 123-132 karya Kaamilah al Kawaari hafidzahallah

Penulis : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56184-berapakah-jumlah-asmaaul-husna.html

Ramadhan Bulan Jihad, Produktifitas Harus Meningkat

Tidak sedikit orang yang menjadikan puasa sebagai alasan bermalasan. Sehingga produktifitas pun turun. Padahal Ramadhan adalah bulan jihad. Memaknainya, kita harus memiliki niat dan semangat jihad. Produktifitas mestinya justru meningkat.

Ramadhan dikenal dengan banyak nama. Syahrush shiyamSyahrush shabrSyarul Qur’an. Juga syahrul jihad, bulan jihad.

Mengapa Disebut Bulan Jihad

Mengapa Ramadhan disebut bulan jihad? Karena banyak jihad dan kemenangan yang diraih kaum muslimin pada bulan Ramadhan.

Simaklah kembali perang Badar. Ia terjadi pada bulan Ramadhan bertepatan dengan tahun diwajibkannya puasa Ramadhan, yakni tahun 2 H. 313 pasukan Islam berhasil mengalahkan 1000 pasukan kafir Quraisy yang bersenjatakan lengkap.

Kemenangan gemilang pertama yang diraih umat Islam ini kemudian menjadi penguat eksistensi kaum muslimin di Madinah dan pembuka bagi kemenangan-kemenangan Islam berikutnya. Adakah pakar militer saat itu yang bisa memprediksi bahwa Rasulullah dan para sahabatnya bisa memenangkan peperangan? Dan kemenangan jihad ini terjadi di bulan Ramadhan!

Enam tahun kemudian terjadi peristiwa yang jauh lebih besar dan mempesona. Inilah penaklukan paling indah dalam sejarah umat manusia. Penaklukan tanpa korban jiwa. Kemenangan besar tanpa tetesan darah!

Sepuluh ribu pasukan Islam yang dipimpin oleh Rasulullah memasuki Makkah dengan tenang, menang tanpa perlawanan. Bukan hanya kemenangan secara fisik yang membuat pasukan Makkah tidak berani memberontak, tetapi juga kemenangan jiwa sehingga keimanan masuk ke jiwa-jiwa mayoritas penduduk Makkah menggantikan seluruh kekufuran dan permusuhan mereka.

Maka, tak ada satupun yang membela saat 360-an berhala di sekeliling ka’bah dihancurkan. Tak ada yang meratapi atau melakukan demontrasi saat berhala-berhala itu dilenyapkan. Sebab, sesaat sebelum dilenyapkan dari masjidil haram, Allah telah melenyapkan dari hati mereka. Inilah jihad dan kemenangan besar yang juga terjadi di bulan Ramadhan.

Masih banyak sejarah jihad yang dimenangkan kaum muslimin di bulan Ramadhan. Pada Ramadhan 15 Hijriyah, terjadi perang Qadisiyyah di mana orang-orang Majusi di Persia ditumbangkan. Pada Ramadhan 53 Hijriyah, umat Islam memasuki pulau Rhodes di Eropa.

Pada bulan Ramadhan 91 Hijriyah, umat Islam memasuki selatan Andalusia. Pada Ramadhan tahun 92 Hijriyah, umat Islam keluar dari Afrika dan membuka Andalusia dengan komandan Thariq bin Ziyad. Pada Ramadhan 658 Hijriyah, Pasukan Islam di bawah kepemimpinan Saifuddin Qutuz berhasil mengalahkan pasukan Mongol dalam Perang Ain Jalut.

Definisi Jihad

Syaikh Abdullah Azzam dalam Tarbiyah Jihadiyah menjelaskan arti jihad. Secara bahasa jihad berarti: mencurahkan kesungguhan, mengerahkan kekuatan secara maksimal. Sedangkan menurut terminologi, kata jihad mempunyai makna: mengorbankan jiwa dan harta dalam rangka membela agama Allah dan melawan musuh-musuhnya.

Karenanya, mayoritas ayat dan hadits Nabi saat menggunakan kata jihad, yang dimaksud adalah penegrtian yang kedua. Meskipun ada pembagian atau macam-macam jihad yang bersumber dari hadits Nabi juga.

Keutamaan Jihad

Jihad merupakan ibadah yang memiliki keutamaan luar biasa di sisi Allah SWT. Di antara keutamaan itu adalah:

1. Derajat tinggi melebihi ibadah lain

Suatu ketika pada hari Jum’at Nu’man bin Basyir berada di sisi mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ada orang berkata, “Aku tak peduli, setelah aku masuk Islam tidaklah aku beramal melainkan memberi minum orang yang menjalankan ibadah haji.”

Yang lain berkata “Aku tak peduli, setelah aku masuk Islam tidaklah aku beramal melainkan memakmurkan masjidil haram.” Yang lain berkata, “Jihad membela agama Allah lebih utama dari apa yang kalian katakan”.

Lalu Umar bin Khattab menegur mereka seraya berkata, “Kamu jangan berdebat mengeraskan suaramu di mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Setelah selesai shalat Jum’at, Nu’man bin Basyir masuk ke rumah Rasulullah dan minta fatwa kepada beliau. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya:

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ * الَّذِينَ آَمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. At-Taubah : 19-20)

Sesungguhnya, amatlah wajar jika jihad memiliki nilai lebih dari pada ibadah lain sebab jihad menggabungkan amal maaliyah dan amal nafsiyah. Maka pengorbanannya sangat luar biasa, berkurangnya atau habisnya harta; resikonya juga sangat tinggi, kehilangan nyawa!

2. Pahala ribath dalam jihad lebih baik dari dunia seisinya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رِبَاطُ يَوْمٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا

Ribath (erjaga-jaga) satu hari di jalan Allah itu lebih baik dari pada dunia seisinya. (HR. Bukhari)

Karenanya kita kenal sahabat seperti Abbad bin Bisyr yang sangat menyukai ribath. Kita juga mengenal perkataan luar biasa dari Khalid bin Walid. “Berjaga pada sebuah malam yang dingin di tengah peperangan, lebih aku sukai daripada berada di sisi seorang gadis di malam pengantin.”

3. Selamat dari api neraka

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا اغْبَرَّتْ قَدَمَا عَبْدٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَتَمَسَّهُ النَّارُ

Tidaklah akan disentuh oleh api neraka, dua kaki hamba yang berdebu karena membela agama Allah. (HR. Bukhari)

4. Jihad dan syahid adalah cita-cita Rasulullah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوَدِدْتُ أَنِّى أُقْتَلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ

Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku senang sekali bila aku terbunuh fi sabilillah, lalu aku dihidupkan lalu aku terbunuh lalu aku dihidupkan lagi lalu aku terbunuh, lalu aku dihidupkan lagi lalu aku terbunuh. (HR. Bukhari dan Muslim)

Itulah cita-cita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Meskipun cita-cita syahid itu tidak terwujud, tetapi ia tetap menjadi motivasi bagi umatnya untuk berjihad dan syahid. Dengan jihad itulah tegak izzul Islam wal muslimin, dan saat jihad hilang dari sejarah umat maka yang terjadi adalah keterhinaan dan kekalahan.

Baca juga: Keutamaan Ramadhan

Macam-macam Jihad

Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad telah mengemukakan macam-macam jihad : jihad qital (jihad perang atau jihad dengan tangan) sampai jihad bil lisan. Dan antara keduanya ada berbagai jihad dalam bentuknya masing-masing. Maka, yang kemudian populer di zaman sekarang adalah 3 macam jihad sebagai berikut:

1. Jihad dengan tangan.

Inilah yang paling utama. Yaitu berjihad dalam rangka membela agama Allah dengan tangan melalui perang (qital). Paling utama karena memang ia membutuhkan dua kesiapan sekaligus; harta dan jiwa. Dan inilah yang dimaksudkan oleh Allah di banyak ayat-Nya termasuk firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (QS. At-Taubah : 111)

Secara tegas, penggunaan langsung kata qital dan kewajibannya ada pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 216)

Jihad model ini memiliki syarat-syarat tertentu. Sangat jauh dari apa yang dilakukan oleh teroris dan apa yang digambarkan musuh-musuh Islam sebagai terorisme.

Jihad qital ini saat bersifat ekspansif ia bersifat fardhu kifayah yang biasanya diwakili oleh para tentara Islam dengan diorganisir oleh daulah atau khilafah Islam. Sedangkan saat bersifat defensif, ia menjadi farlu ain bagi penduduk setempat yang diserang atau dijajah. Jika penduduk setempat tidak mampu mengusir penjajah/imperalis tersebut, maka kewajiban itu meluas kepada umat Islam di sekitarnya, demikian seterusnya sampai umat Islam mampu memenangkan peperangan.

Ini mirip dengan Indonesia saat menghadapi penjajahan Belanda dan mirip pula dengan Palestina yang menghadapi penjajahan Israel sampai saat ini.

Jihad qital, sesuai namanya hanya boleh terjadi di wilayah perang, bukan wilayah damai sebagaimana ia juga hanya boleh dilakukan saat berhadapan dengan musuh orang-orang kafir harbi.

2. Jihad dengan lisan

Membela Islam dengan sungguh-sungguh menggunakan lisan juga termasuk jihad. Bahkan jika ia dilakukan di depan penguasa yang zalim dengan cara yang tepat, ia termasuk jihad yang paling utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. (HR. Abu Dawud)

3. Jihad dengan pena

Kedudukannya juga serupa dengan jihad bil lisan. Inilah yang telah dilakukan para ulama’. Dengan kitab-kitabnya, mereka telah melakukan pembelaan sungguh-sungguh terhadap Islam. Dengan penanya, mereka telah menjaga kemuliaan Islam dan umatnya. Dengan tulisannya, mereka telah mengobati penyakit umat, melawan syubhat yang ditimbulkan orang-orang kafir dan munafik, serta mendidik umat.

Pada dua bentuk jihad ini kita bisa melihat, dakwah adalah bagian dari jihad. Dan inilah jihad yang saat ini terbuka momentumnya bagi kita. Dengan lisan, dengan pena. Bahkan di saat lockdown atau PSBB karena adanya pandemi virus corona, tetap terbuka bagi kita untuk jihad bil qalam. Bukankah kita punya media sosial? Yang bisa lebih, bisa menulis buku atau menulis di website.

Selain itu, sebagaimana telah disinggung di atas, jihad itu luas. Ketika kita bersungguh-sungguh berbagi manfaat kepada sesama dan melakukan berbagai hal untuk membela agama Allah, itu juga bagian dari jihad. Maka sebagaimana banyak kemenangan di bulan Ramadhan, seharusnya produktifitas kita juga meningkat di bulan ini.

Berniat Jihad Mulai Saat Ini

Terakhir kalinya, marilah kita niatkan diri kita untuk berjihad membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita memang belum bertemu dengan kesempatan jihad qital. Walau demikian Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk selalu berniat mendapatkannya suatu saat nanti. Itulah yang kita tangkap dari sabda Nabi:

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ

Barangsiapa yang mati dan belum berjihad dan tidak bertekad untuk berjihad, maka dia mati di atas cabang dari kemunafikan. (HR. Muslim)

Kalaupun sampai mati kita tidak mendapatkan kesempatan berjihad qital membela agama Allah, minimal kita telah memiliki niat dan tekad untuk itu. Serta kita telah berupaya melakukan jihad dalam bentuknya yang lain baik dengan lisan maupun dengan pena. Ramadhan merupakan momentum yang tepat untuk menanamkan komitmen ini. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH

Ramadhan Momentum Tepat untuk Taubat

Selain dikenal sebagai syahrul shiyamsyahrul shabrsyahrul Quran, dan syahrul jihad, Ramadhan juga dikenal sebagai syahrut taubah. Disebut sebagai syahrut taubah karena Ramadhan memang momentum yang tepat untuk bertaubat.

Sebaik-baik taubat adalah taubat yang segera, tanpa menunggu dan menunda-nunda. Maka terkumpullah dua keutamaan jika kita bertaubat saat ini: keutamaan karena Ramadhannya, dan keutamaan karena menyegerakan taubat.

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ

Dan bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu … (QS. Ali Imran : 133)

Allah Gembira Saat Hamba-Nya Bertaubat

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru kita dengan ayat di atas untuk menyegerakan taubat. Juga dalam ayat yang lainnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha. (QS. At-Tahrim : 8)

Allah menyeru hamba-Nya untuk bersegera bertaubat karena Dia menghendaki hamba-Nya mendapatkan ampunan dan surga.

وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ

Dan Allah menyeru kalian kepada surga dan ampunan dengan izin-Nya. (QS. Al-Baqarah : 221)

Allah sangat sayang kepada hamba-Nya. Dibukakan pintu taubat. Diserunya kita menuju ampunan dan surga-Nya. Allah sangat gembira saat hamba-Nya bertaubat. Kegembiraan Allah bahkan lebih besar daripada seorang musafir yang menemukan kembali untanya setelah hilang di gurun sahara berikut segala perbekalan yang ada padanya.

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِى ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِى وَأَنَا رَبُّكَ.  أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

Sungguh Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya daripada seseorang yang menunggang untanya di tengah gurun sahara yang sangat tandus. Lalu unta itu terlepas membawa lari bekal makanan dan minumannya. Ia putus harapan untuk mendapatkannya kembali. Kemudian dia menghampiri sebatang pohon lalu berbaring di bawah keteduhannya karena telah putus asa mendapatkan unta tunggangannya tersebut.

Ketika dia dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia mendapati untanya telah berdiri di hadapannya. Lalu segera ia menarik tali kekang unta itu sambil berucap dalam keadaan sangat gembira: Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu.” Dia salah mengucapkan karena sangat gembira. (HR. Muslim)

Apapun Dosa Kita, Bertaubatlah

Ada dua titik ekstrim bagi orang yang berdosa. Ekstrim pertama adalah mereka yang merasa dosanya terlalu besar hingga putus asa dari ampunan Allah. Maka, ia pun tidak kunjung bertaubat karena kekhawatiran taubatnya tidak diterima.

Ekstrim kedua adalah mereka yang merasa dosa-dosanya mudah terhapus. Merasa dosa-dosanya hanya dosa kecil. Sehingga membuatnya berlarut-larut dalam dosa demi dosa. Kalaupun bertaubat, ia hanya melakukan taubat sambal. Sekarang berhenti, besok kembali mengulangi. Tak pernah sungguh-sungguh melakukan taubat nasuha.

Untuk ekstrim pertama, lihatlah bagaimana seorang yang telah membunuh 99 nyawa. Saat ia bertanya kepada seorang ahli ibadah apakah ada kesempatan bertaubat, ternyata dijawab tidak bisa. Lalu ia pun dibunuh sebagai orang ke-100 yang mati di tangannya.

Niatnya bertaubat tidak berhenti. Ketika bertemu seorang alim, ia pun mengajukan pertanyaan serupa. Oleh sang alim ini dijawab kalau dosanya bisa diampuni. Dan sebagai upaya taubat nasuha, ia dianjurkan hijrah ke suatu daerah yang kondusif bagi taubatnya.

Di tengah jalan, ia meninggal. Hingga berdebatlah malaikat rahmat dan malaikat azab, orang ini menjadi urusan siapa. Lalu datanglah malaikat lain yang diutus Allah untuk menyelesaikan perselisihan itu. “Ukurlah jarak kedua tempat tersebut. Mana yang jaraknya lebih dekat, apakah tempat maksiat atau tempat hijrahnya, maka ia yang berhak atas orang ini.”

Ketika diukur jaraknya, ternyata ia lebih dekat ke tujuan hijrah. Hingga ruhnya pun menjadi urusan malaikat rahmat. Dalam riwayat lain disebutkan, Allah memendekkan jarak laki-laki itu dengan tujuan hijrah.

Contoh lain dialami oleh seorang wanita dari Juhanah. Ia mengaku telah berzina dan kini ia hamil. Wanita itu bertaubat dan meminta ditegakkan hudud (rajam) atasnya. Rasulullah menyuruh wanita itu kembali untuk menjaga kandungannya sampai bayinya lahir. Setelah berselang beberapa lama dan bayinya telah lahir, wanita itu datang lagi meminta dirajam. Akhirnya ia dirajam. Rasulullah menshalatkan jenazahnya.

“Ya Rasulullah, engkau menshalatinya padahal ia telah berbuat zina?” tanya Umar bin Khatab meminta penjelasan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى

Sungguh dia telah bertaubat. Seandainya taubatnya dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, taubat itu pasti mencukupinya. Apakah kamu menjumpai seseorang yang lebih utama daripada seorang yang mengorbankan dirinya untuk Allah Ta’ala? (HR. Muslim)

Pembagian Dosa

Imam Al-Ghazali di dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan sifat-sifat pembangkit dosa yang kemudian diringkas oleh Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin. Menurut beliau, sifat pembangkit dosa dibagi menjadi empat:

1. Sifat rububiyah (ketuhanan). Dari sini muncul takabur, membanggakan diri, mencintai pujian dan sanjungan, mencari popularitas, dan lain sebagainya. Ini termasuk dosa-dosa yang merusak, sekalipun banyak orang yang melalaikannya dan menganggap bukan dosa

2. Sifat syaithaniyah (kesetanan). Dari sini muncul kedengkian, kesewenang-wenangan, mnipu, berdusta, makar, kemunafikan, menyuruh pada kerusakan, dan lain-lain.

3. Sifat-sifat bahamiyah (kebinatangan). Dari sini muncul kejahatan, memenuhi nafsu perut dan syahwat kemaluan, zina, homoseks, mencuri, dan lain-lain

4. Sifat sabu’iyah (kebuasan). Dari sini muncul amarah, dengki, menyerang orang lain, membunuh, merampas harta, dan lain-lain.

Di antara empat sifat itu, penjenjangannya bermula dari bahamiyah. Bahamiyah yang dominan lalu diikuti oleh sabu’iyah, kemudian syaithaniyah dan rububiyah.

Dari keempat jenis itu, menurut sasarannya, dosa dibagi menjadi dua, yakni dosa yang berkaitan dengan hak Allah dan dosa yang berkaitan dengan hak sesama manusia. Dosa yang berkaitan dengan hak Allah ada yang diampuni dan ada yang tidak diampuni. Yang tidak diampuni adalah dosa syirik, sementara dosa yang lain akan diampuni oleh Allah, jika Dia Menghendaki. Sedangkan dosa kepada sesama manusia akan diampuni oleh Allah jika hak itu telah dihalalkan atau ditegakkan qishah atasnya di akhirat nanti.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الظلم ثلاثة فظلم لا يتركه الله وظلم يغفر وظلم لا يغفر فأما الظلم الذي لا يغفر فالشرك لا يغفره الله وأما الظلم الذي يغفر فظلم العبد فيما بينه وبين ربه وأما الظلم الذي لا يترك فظلم العباد فيقتص الله بعضهم من بعض

Kezaliman itu ada tiga: kezaliman yang Allah tidak meninggalkannya, kezaliman yang mendapat ampunan, dan kezaliman yang tidak mendapat ampunan. Kezaliman yang tidak mendapat ampunan adalah syirik, maka Allah takkan mengampuninya. Kezaliman yang mendapat ampunan adalah kezaliman antara hamba kepada Rabb-nya. Sedangkan kezaliman yang tidak akan ditinggalkan/dibiarkan Allah adalah kezaliman antar manusia, maka Allah akan memberi qashah sebagian atas sebagian lainnya. (HR. Thayalisi, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah)

Yang paling umum, biasanya dosa dibagi menjadi dua: dosa besar dan dosa kecil. Jika kita telusuri hadits, dosa besar yang biasa disebutkan adalah syirik, sihir, riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita mukminah yang baik sebagai pezina. Tujuh jenis dosa besar ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Sedangkan dalam riwayat Imam Bukhari yang lain disebutkan durhaka kepada orang tua termasuk dosa besar, sedangkan dalam riwayat Imam Muslim yang lain disebutkan pula perkataan atau kesaksian palsu.

Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin menyebutkan pendapat Abu Thalib Al-Makki yang merinci dosa besar menjadi 17 jenis. Empat jenis di hati: syirik, fasiq, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari tipudaya-Nya. Empat jenis di lidah: kesaksian palsu, menuduh wanita mukminah, sumpah palsu, dan sihir. Tiga di perut: minum khamr, memakan harta yatim, dan riba. Dua di kemaluan: zina dan homoseks. Satu di kaki: lari dari medan perang. Dan satu di seluruh badan: durhaka pada orang tua.

Imam Adz Dzahabi menulis kitab Al Kabair. Dosa-dosa besar. Dalam kitab itu dijelaskan ada 70 dosa besar.

Jangan Remehkan Dosa Kecil

Seringkali kita terjebak pada sikap meremehkan dosa kecil. Saat kita ghibah, bercanda yang sudah masuk kategori rafats (porno), bahkan bergaul dengan lawan jenis yang tidak islami, kita beralasan “itu kan dosa kecil, tidak apa-apa”.

Padahal orang yang meremehkan dosa ia tidak sadar sedang berhadapan dengan siapa. Siapakah yang ia maksiati? Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Besar dan Maha Keras adzab-Nya. Juga, tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus.

لا صغيرة مع الإصرار

Tidak ada dosa kecil selagi terus dikerjakan (HR. Dailami)

Ibarat sebuah bintik noda, dosa kecil pun akan mengotori hati. Semakin banyak dosa semakin banyak pula noda di hati.

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِى قَلْبِهِ فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صُقِلَ قَلْبُهُ فَإِنْ زَادَ زَادَتْ

Sesungguhnya, apabila seorang mukmin berbuat dosa, maka muncul bintik hitam dalam kalbunya. Kemudian jika ia bertaubat, meninggalkan dosa dan memohon ampun, maka hatinya bersih. Dan jika dosa-dosanya bertambah, bintik hitam itupun bertambah (HR. Ibnu Majah dan Ahmad, “hasan”)

Mari Taubat Sebelum Terlambat

Marilah kita sambut seruan Allah untuk bertaubat sebelum kita terlambat. Kini Allah menganugerahkan momentum yang luar biasa kepada kita untuk menjalani taubatan nasuha.

Ramadhan yang sangat kondusif dengan amal shalih dan minim pengaruh negatif dibandingkan bulan lainnya, adalah kesempatan berharga yang belum tentu datang lagi kepada kita. Bukankah kita tidak pernah bisa menjamin bahwa kita akan tetap hidup sampai Ramadhan berikutnya jika kita menunda taubat saat ini? Lihatlah betapa banyak orang yang Ramadhan lalu masih ada, kini sudah tiada. Bahkan ketika terjadi pandemi covid-19 seperti ini, betapa banyak orang yang kemudian meninggal setelah terjangkit virus corona.

Marilah kita sambut seruan Allah untuk bertaubat sebelum kita terlambat. Dan bukankah pintu taubat akan ditutup saat kita mengalami sakaratul maut?

إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi ia belum sekarat. (HR. Tirmidzi, Ahmad, Thabrani, Ibnu Hibban, dan Abu Ya’la)

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari agar orang yang berbuat maksiat di siang hari bertaubat, dan Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari agar orang yang berbuat maksiat di malam hari bertaubat. (Demikian itu tetap terjadi) sampai matahari terbit dari barat. (HR. Muslim)

Syarat Taubat

Imam An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin memaparkan syarat bertaubat secara singkat dalam tiga langkah. Pertama, berhenti dari dosa yang dilakukan. Kedua, menyesali dosa yang telah dilakukan. Dan ketiga, bertekad untuk tidak mengulangi dosa itu. Ini jika bertaubat terhadap dosa yang berkaitan dengan hak Allah.

Sedangkan jika dosa berkaitan dengan hak manusia, maka syarat taubat ditambah satu lagi, yaitu membebaskan diri dari hak manusia tersebut. Pembebasan ini tentu dengan penghalalan dari yang terzalimi atau mendapat keikhlasan darinya.

Maka orang yang minum khamr dalam kesendirian misalnya, untuk bertaubat cukup ia berhenti minum khamr, menyesalinya, dan tidak mengulanginya. Namun jika seseorang mencuri harta orang lain, selain tiga langkah tersebut ia harus mendapat maaf dari orang yang dicuri dengan mengembalikan hartanya atau mendapatkan kehalalan darinya.

Semoga Ramadhan yang juga dinamakan syahrut taubah ini kita manfaatkan bersama sebagai momentum taubatan nasuha. Dan karenanya Allah menganugerahkan ampunan dan surga-Nya kepada kita. Allaahumma aamiin. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH

Doa Nabi Muhammad untuk Umatnya di Waktu Pagi

RASULULLAH shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa:

“Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu paginya. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Marilah kita memperhatikan doa Nabi untuk umatnya, bahwa beliau mendoakan keberkahan bagi umatnya, di pagi harinya.

Waktu pagi adalah waktu yang penuh dengan berkah, terlebih jika dimanfaatkan untuk hal-hal dan aktifitas yang bermanfaat.

Tentunya bagi orang-orang yang melaksanakan salat subuh berjamaah dan tidak tidur lagi dia akan mendapatkan keberkahan dari Allah Taala. Karena didoakan oleh Rasulullah.

Namun tidak sedikit di antara manusia yang melalui waktu paginya dengan tidur terlelap, tidak bangun dari tidurnya kecuali setelah matahari meninggi.

Atau ada juga yang menghabiskan waktu paginya dengan bermalas-malasan, sehingga diapun jatuh dalam pelukan selimut dan guling, yang pada akhirnya dia terseret ke dunia lain dalam mimpi dan khayalan.

Sebaiknya kita isi waktu pagi dengan aktifitas yang bernilai ibadah dengan mengharapkan pahala di sisi Allah Taala, dengan itu kitapun mendapatkan doa Rasulullah berupa keberkahan di waktu pagi.

Ya Allah berkahilah kehidupan kami di dunia ini. Aamiin.

[Ust. Fuad Hamzah Baraba LC]

INILAH MOZAIK

Semula Masjid Nabawi tak Ada Menara, Lantas Siapa yang Buat?

Sebagai bagian dari simbol peradaban, menara dibangun umat Islam lantaran memiliki fungsi yang amat penting, yakni sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan. Sesuai dengan kondisi geografis dan situasi pada zamannya, selain sebagai tempat untuk adzan, beberapa menara yang dibangun juga berfungsi mercusuar atau menara pengintai.

Fungsi tambahan minaret itu biasanya terdapat pada menara-menara masjid yang berada di kota pelabuhan atau tepi sungai. Menara Masjid Ribbat Shushah di Tunisia, misalnya, juga befungsi sebagai sarana pertahanan, karena amat mirip sebuah markas militer. Di era modern, menara tak dijadikan tempat untuk azan, namun lebih sebagai tempat untuk meletakkan alat pengeras suara.

Lantas sejak kapan sebenarnya umat Islam melengkapi bangunan masjid dengan menara? Menurut sarjana Inggris terkemuka yang mengkaji arsitektur Islam, KAC Creswell, masjid Quba yang dibangun Rasulullah SAW di Madinah tak dilengkapi dengan menara. `’Pada saat Nabi Muhammad belum dikenal menara,” ungkap Creswell.

Pada era kepemimpinan Khulafa’ Ar Rasyiddin pun, papar Creswell, bangunan masjid belum dilengkapi dengan menara. Semasa Rasulullah SAW hidup, agar gema azan bisa terdengar sampai jauh, maka sahabat yang biasa menjadi muadzin naik ke atap rumah Nabi. Creswell memaparkan, jejak menara di dunia Islam pertama kali ditemukan di Damaskus mulai 673 M.

“Menara pertama kali berdiri di samping masjid 41 tahun setelah Nabi Muhammad SAW tutup usia,” tutur Creswell. Meski begitu, beberapa sarjana mengungkapkan, di rumah Abdullah Ibnu Umar berdiri sebuah tiang. Dari atas tiang itu adzan dikumandangkan adzan sehingga bisa terdengar sampai jauh. Konon, tiang itu masih berdiri hingga abad ke-10 Hijriyah.

Sekitar 703 M atau 91 H, Umar ibnu Abdul ِِAziz juga telah membangun empat menara di setiap sudut Masjid Nabi. Setiap menara tingginya mencapai sembilan meter. Melalui menara itu, muadzin bisa mengumandangkan panggilan shalat.

Sementara itu, Ensklopedia Britanicca menyebutkan, menara masjid tertua di dunia terdapat di Kairouan, Tunisia yang dibangun antara tahun 724 M hingga 727 M.

IHRAM

Tips Melawan Kemalasan Beribadah

SERINGKALI datang rasa malas dalam benak kita untuk melakukan amal ketaatan yang sebenarnya ringan, itulah lihainya setan dalam menggoda manusia.

Di antara tips untuk melawan kemalasan ini adalah dengan MENYEDERHANAKAN sebuah amalan, yakni menyadarkan diri bahwa amalan itu sangat ringan dan sederhana, hanya butuh LIMA MENIT saja.

Ketika Anda malas salat sunah 2 rakaat sebelum atau sesudah salat wajib, maka katakan pada diri Anda dan lihatlah jam, “Hanya butuh kurang dari lima menit, masa pelit beramal untuk diri sendiri?!”

Ketika Anda malas membaca Quran, maka katakan pada diri Anda, “Cobalah membaca Quran, lima menit saja, pahala untuk selamanya.”

Ketika Anda malas untuk membaca zikir-zikir setelah salat fardu, katakan pada diri Anda, “Tidak maukah berzikir meski hanya lima menit? Bukankah telah banyak waktu yang terbuang tanpa pahala?”

Selamat mencoba tips ini, dan ikutilah gerakan jam untuk membuktikannya bila diinginkan dan dimungkinkan, insyaAllah akan banyak amal ibadah yang bisa Anda lakukan.

[Ustaz Musyaffa’ Ad Dariny, MA]

INILAH MOZAIK

Cek Fakta: Suara Keras Akan Muncul 15 Ramadhan pada Malam Jumat?

Akhir-akhir ini, banyak pertanyaan seputar hadist tentang suara keras di pertengahan Ramadan karena pertengahan Ramadan tahun ini bertepatan dengan hari Jumat, suara yang muncul tersebut katanya sebagai tanda huru-hara akhir zaman. Teks panjang yang diklaim sebagai hadis Nabi itu berbunyi sebagai berikut.

Nu’aim bin Hammad berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abu Umar, dari Ibnu Lahi’ah, ia berkata; telah menceritakan kepadaku Abdul Wahhab bin Husain, dari Muhammad bin Tsabit Al-Bunani, dari ayahnya, dari Al-Harits Al-Hamdani, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا كَانَتْ صَيْحَةٌ فِي رَمَضَانَ فَإِنَّهُ يَكُونُ مَعْمَعَةٌ فِي شَوَّالٍ، وَتَمْيِيزُ الْقَبَائِلِ فِي ذِيِ الْقَعْدَةِ، وَتُسْفَكُ الدِّمَاءُ فِي ذِيِ الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمِ، وَمَا الْمُحَرَّمُ» ، يَقُولُهَا ثَلَاثًا، «هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ، يُقْتَلُ النَّاسُ فِيهَا هَرْجًا هَرْجًا» قَالَ: قُلْنَا: وَمَا الصَّيْحَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: ” هَدَّةٌ فِي النِّصْفِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ جُمُعَةٍ، فَتَكُونُ هَدَّةٌ تُوقِظُ النَّائِمَ، وَتُقْعِدُ الْقَائِمَ، وَتُخْرِجُ الْعَوَاتِقَ مِنْ خُدُورِهِنَّ، فِي لَيْلَةِ جُمُعَةٍ، فِي سَنَةٍ كَثِيرَةِ الزَّلَازِلِ، فَإِذَا صَلَّيْتُمُ الْفَجْرَ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَادْخُلُوا بُيُوتَكُمْ، وَاغْلِقُوا أَبْوَابَكُمْ، وَسُدُّوا كُوَاكُمْ، وَدِثِّرُوا أَنْفُسَكُمْ، وَسُدُّوا آذَانَكُمْ، فَإِذَا حَسَسْتُمْ بِالصَّيْحَةِ فَخِرُّوا لِلَّهِ سُجَّدًا، وَقُولُوا: سُبْحَانَ الْقُدُّوسِ، سُبْحَانَ الْقُدُّوسِ، رَبُّنَا الْقُدُّوسُ، فَإِنَّ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ نَجَا، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ هَلَكَ

“Bila telah muncul suara di bulan Ramadan, maka akan terjadi huru-hara di bulan Syawal, kabilah-kabilah saling bermusuhan (perang antarsuku) di bulan Dzulqa’dah, dan terjadi pertumpahan darah di bulan Dzulhijjah dan Muharram.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. “Mustahil, mustahil, manusia dibunuh ketika itu, banyak terjadi kekacauan.”

Kami bertanya: “Suara apakah, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Suara keras di pertengahan bulan Ramadan, pada malam Jumat, akan muncul suara keras yang membangunkan orang tidur, menjadikan orang yang berdiri jatuh terduduk, dan para gadis keluar dari pingitannya pada malam Jumat di tahun terjadinya banyak gempa. Jika kalian telah melaksanakan shalat Shubuh pada hari Jumat, masuklah kalian ke dalam rumah kalian, tutuplah pintu-pintunya, sumbatlah lubang-lubangnya, selimutilah diri kalian, dan sumbatlah telinga kalian. Jika kalian merasakan adanya suara menggelegar, maka bersujudlah kalian kepada Allah dan ucapkanlah: “Mahasuci Allah Al-Quddus, Mahasuci Allah Al-Quddus, Rabb kami Al-Quddus”. Barang siapa melakukan hal itu, niscaya ia akan selamat. Akan tetapi, barang siapa yang tidak melakukannya, niscaya ia akan binasa”.

(Hadist ini diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad di dalam kitab Al-Fitan 1:228, no.638, dan Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi di dalam kitab Kanzul ‘Ummal, no. 39627).

Ini hadits palsu

Perlu disampaikan bahwa hadist tersebut derajatnya palsu (maudhu’), karena di dalam sanadnya terdapat beberapa perawi hadis yang dicap sebagai pendusta dan bermasalah sebagaimana diperbincangkan oleh para ulama hadis. Para perawi tersebut antara lain:

  1. Nu’aim bin Hammad, dia seorang perawi yang dha’if (lemah),
  2. Ibnu Lahi’ah (Abdullah bin Lahi’ah), dia seorang perawi yang dha’if (lemah), karena mengalami kekacauan dalam hafalannya setelah kitab-kitab hadistnya terbakar.
  3. Abdul Wahhab bin Husain, dia seorang perawi yang majhul (tidak dikenal).
  4. Muhammad bin Tsabit Al-Bunani, dia seorang perawi yang dha’if (lemah dalam periwayatan hadist) sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Hibban, dan An-Nasa’i.
  5. Al-Harits bin Abdullah Al-A’war Al-Hamdani, dia seorang perawi pendusta, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Asy-Sya’bi, Abu Hatim, dan Ibnu Al-Madini.

Penilaian para ulama mengenai hadits ini

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Al-Manar Al-Munif (hlm. 98) tentang hadits-hadits yang tidak sahihyang membicarakan kejadian masa depan seperti hadits akan muncul suara keras yang membangunkan orang tidur, menjadikan orang yang berdiri jatuh terduduk, dan para gadis keluar dari pingitannya, akan terjadi huru-hara di bulan Syawal, perang antarsuku akan terjadi di bulan Dzulqa’dah, lalu di bulan Dzulhijjah terjadi pertumpahan darah. Dalam hadits disebutkan bahwa ada suara keras pada bulan Ramadhan pada malam Jumat pertengahan Ramadhan.

Mufti kerajaan Saudi Arabia pada masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan, “Hadits ini tidak sahih. Hadits ini adalah hadits yang batil dan berisi kedustaan. Padahal bertahun-tahun kita sudah melewati malam Jumat pada pertengahan Ramadhan, namun kejadian itu tidak ada, segala puji bagi Allah. Kaum muslimin yang mengetahui hal ini tidak boleh melariskan hadits batil semacam itu, bahkan wajib mengingatkan kebatilan hadits tersebut. Kita ketahui bersama bahwa wajib bagi setiap muslim untuk bertakwa kepada Allah pada setiap waktu dan hendaklah memperingatkan terkait larangan Allah sampai sempurna ajalnya. Sebagaimana Allah mengingatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99). Maksud al-yaqin dalam ayat ini adalah al-maut (kematian).

Begitu juga Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu’adz,

اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada; iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu; dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi, no. 1987 dan Ahmad, 5:153. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan). (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 26:339-341)

Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan dalam bab khusus “Bab: nampaknya tanda-tanda kuasa Allah dalam beberapa bulan, “Hadist ini dipalsukan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Mawdhu’aat, 3:191).

Jangan percaya pada tukang ramal, walau dia berlabel ustadz

Sebenarnya, kalau mau mengingat kembali Ramadan tahun 2012 dulu, di mana pertengahan Ramadan atau 15 Ramadan 1433 Hijriahnya juga bertepatan dengan hari Jumat, bahkan ada ramalan akhir dunia akan terjadi pada bulan Desember tahun tersebut. Coba lihat, apakah ramalan tersebut terbukti?!

Akhir kata, kami nasihatkan agar tidak mudah menyebarkan informasi yang tidak jelas kebenarannya. Apalagi yang mengatasnamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena menyebarkan kedustaan atas nama beliau, memiliki ancaman yang berat.

Dari Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barang siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari, no. 1291 dan Muslim, no. 4).

Semoga jadi ilmu yang bermanfaat dan tidak ada lagi penyebaran hadits palsu di tengah-tengah kaum muslimin Indonesia.

Referensi utama:

https://islamqa.info/ar/answers/132280/حديث-النفخة-في-اليوم-الخامس-عشر-من-رمضان-اذا-صادف-يوم-جمعة


Malam Kamis, 6 Mei 2020, 14 Ramadhan 1441 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24283-cek-fakta-suara-keras-akan-muncul-15-ramadhan-pada-malam-jumat.html

Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 4)

Baca pembahasan sebelumnya Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 3)

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 186

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” [QS. al-Baqarah: 186]

Makna Ayat

Firman Allah Ta’ala “وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ” menuntut hamba untuk bertakbir mengagungkan Allah dan bersyukur kepada-Nya, maka ayat ini menjelaskan Allah Ta’ala memperhatikan atas setiap dzikir orang yang mengingat-Nya dan syukur setiap orang yang bersyukur kepada-Nya, bahwa Dia mendengar panggilannya dan memenuhi permohonannya [Tafsir ar-Razi 5/260; Tafsir Abu Hayyan 2/205]. 

Makna ayat di atas adalah jika orang-orang beriman bertanya kepadamu, wahai Muhammad, perihal kedekatan diri-Ku, maka katakanlah Diri-ku dekat dengan mereka. Aku memenuhi permohonan setiap orang yang memohon kepada-Ku. Karena itu, hendaknya mereka tunduk kepada-Ku dengan menaati segala perintah-Ku dan menjauhi segenap larangan-Ku. Hendaknya mereka meyakini bahwa Aku akan memberikan ganjaran pahala atas ketundukan mereka kepada-Ku; memenuhi permohonan dan do’a mereka, sehingga dengan hal itu semua mereka berada di atas kebenaran dan taufik tetap menyertai mereka dalam mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih [Tafsir Ibnu Jarir 3/222-228; Tafsir as-Sa’di hlm. 87; Tafsir Ibnu Utsaimin –al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/342-343]. 

  Faidah-Faidah Ayat

  • Pada firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,…”

terdapat isyarat bahwa: 

  1. do’a orang yang berpuasa sangat berpotensi dikabulkan;
  2. do’a-do’a yang dipanjatkan di bulan Ramadhan sangat berpotensi dikabulkan; dan
  3. disyari’atkan berdoa di setiap penghujung hari Ramadhan [Tafsir Ibnu Asyur 2/179].  
  • Firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku…”

menunjukkan akan bimbingan Allah kepada para hamba-Nya untuk bermunajat (berbisik) dalam do’a mereka dan bukan menyeru dengan meninggikan suara. Itulah yang ditanyakan dan dijawab bahwa Allah Ta’ala dekat sehingga tidak perlu meninggikan suara dalam do’a dan permohonan mereka. Hal yang ditanyakan adalah perihal Dzat yang dekat dan menjadi tujuan bermunajat, bukanlah Dzat yang jauh sehingga perlu diteriaki. Kedekatan Allah Ta’ala dengan orang yang berdo’a kepada-Nya ini adalah kedekatan khusus dan tidak bersifat umum sehingga mencakup setiap orang [Badai’ al-Fawaid 3/7].

  • Disisipkannya perkara do’a dalam penyebutan hukum-hukum puasa, merupakan isyarat agar hamba bersungguh-sungguh dalam do’a ketika menyempurnakan bilangan hari bulan Ramadhan, bahkan sepatutnya bersungguh-sungguh berdo’a ketika berbuka puasa [Tafsir Ibnu Katsir 1/509; Tafsir Ibnu Asyur 2/179].
  • Setiap orang yang diberi ilham untuk berdo’a, sungguh do’a yang dipanjatkannya ingin dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ 

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” [QS. Ghafir: 60]

dan dalam redaksi ayat di atas Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku … ” [Al-Jawab al-Kafi hlm. 17].

  • Pada firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku…”

pengabulan do’a tidak dikaitkan dengan kehendak Allah Ta’ala, sementara pada firman Allah Ta’ala di surat al-An’am ayat 41, pengabulan do’a dikaitkan dengan kehendak-Nya. 

Allah Ta’ala berfirman,

فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ

“Maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki.” [QS. al-An’am: 41]

Hal ini dikarenakan ayat yang pertama berkenaan dengan do’a yang dipanjatkan orang-orang beriman, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kehendak Allah. Do’a orang beriman tidak akan ditolak kecuali karena adanya dosa atau faktor pemutus yang menyebabkan do’anya tertolak. Adapun ayat yang kedua, pengabulan do’a dikaitkan dengan kehendak Allah, karena berkenaan dengan do’a yang dipanjatkan orang-orang kafir [Al-Adzb an-Namir 1/239].

  • Apabila timbul pertanyaan, “Apa faidah dari firman Allah Ta’ala “إِذَا دَعَانِ” yang disebutkan setelah firman Allah Ta’ala “الدَّاعِ”. Padahal seseorang tidak disifati sebagai orang yang berdo’a setelah dia berdo’a terlebih dahulu?  

Jawabannya adalah karena ada maksud dari firman Allah Ta’ala “إِذَا دَعَانِ”, yaitu apabila dia jujur dalam berdo’a kepada-Ku, dengan menyadari bahwa dia sepenuhnya membutuhkan Allah Ta’ala; Dia Maha mampu untuk mengabulkan do’a yang dipanjatkan; dan memurnikan do’a hanya kepada Allah ‘azza wa jalla, dimana hati tidak bergantung kepada selain-Nya [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/342]

  • Pengabulan do’a hamba dipengaruhi oleh sejumlah hal seperti akidah yang benar dan ketaatan yang sempurna. Hal ini karena redaksi ayat yang membicarakan perihal do’a diikuti dengan firman Allah,

فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي

“ … maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku … ”

Ada arahan agar hamba menaati perintah-Nya dan beriman kepada-Nya dengan akidah yang benar dalam redaksi ayat tersebut  [Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah 14/33].

Aspek-Aspek Balaghah pada Ayat

  • Arah pembicaraan yang disampaikan Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku…”

menunjukkan akan kemuliaan dan kedudukannya yang tinggi [Tafsir Abu as-Su’ud 1/200].

  • Pada firman Allah Ta’ala,

فَإِنِّي قَرِيبٌ

“maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat”

terdapat upaya untuk mendekatkan jawaban dan mengingatkan betapa dekatnya hamba dengan Allah Ta’ala ketika berdo’a. Sekaligus Allah Ta’ala menginformasikan bahwa diri-Nya tidak membutuhkan perantara sehingga menegaskan akan kedekatan dan kehadiran-Nya bersama setiap orang yang berdo’a. 

Oleh karena itulah Allah Ta’ala berfirman dengan kata “فَإِنّي” dan bukan dengan frasa “فقل إني” yang berarti, “Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya Aku … ”. Hal ini dikarenakan apabila ditetapkan dengan redaksi “قل” niscaya akan menimbulkan kesan jauh padahal konteksnya tidak demikian. Selain itu, pengungkapan dengan redaksi “فقل: إني” akan menimbulkan kesan bahwa yang berbicara adalah selain Allah, sehingga perlu pengungkapan dengan redaksi “إن الله” atau yang semisal [Nazhm ad-Durar 3/71; Tafsir Ibnu Asyur 2/179].

  • Pada firman Allah Ta’ala,

فَإِنِّي قَرِيبٌ

“maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat”

terdapat penegasan dengan huruf “إن” untuk menegaskan bahwa Allah Ta’ala dekat dengan hamba-Nya, meski mereka tidak melihat-Nya [Tafsir Ibnu Asyur 2/179].

  • Penutupan ayat ini dengan firman Allah Ta’ala,

فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

merupakan salah satu hal yang terindah, karena ketika memerintahkan para hamba-Nya untuk memenuhi segala perintah dan beriman kepada-Nya, Allah Ta’ala memberitahukan bahwa tujuan pembebanan syari’at semata-mata agar hamba berada dalam jalan yang benar dengan menaati perintah-Nya. Tidak ada keuntungan yang diperoleh Allah dari hal itu, sehingga keuntungan itu hanyalah diperoleh hamba [Tafsir Abu Hayyan 2/210].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56277-ayat-ayat-shiyam-bag-4.html

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari Ke-13)

Allah Swt Berfirman :

إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ إِذَا مَسَّهُمۡ طَٰائِف مِّنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبۡصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (QS.Al-A’raf:201)

Ayat ini bercerita tentang sikap hamba-hamba Allah yang bertakwa. Bahwa ketika mereka mendapat bisikan setan dan dibayang-bayangi oleh pikiran jahat, maka spontan mereka mengingat dahsyatnya siksa Allah dan agungnya pahala dari-Nya, sehingga mereka segera bertaubat dan memohon ampunan.

Hamba yang bertakwa tau persis bahwa tiada yang bisa menyelamatkan mereka dari bisikan setan kecuali dengan kembali dan berlindung kepada Allah. Hanya dengan bantuan dan bimbingan Allah, seseorang mampu menghadapi dahsyatnya rayuan dan bisikan setan serta hawa nafsu.

Bila kita telusuri lebih jauh, ayat ini sangat berkait erat dengan ayat sebelumnya. Allah Swt Berfirman :

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٌ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS.Al-A’raf:200)

Ayat ini adalah sebuah penekanan bahwa satu-satunya jalan yang akan menyelamatkanmu dari bujuk rayu setan adalah berlindung kepada Allah Swt. Dan kebiasaan orang bertakwa adalah selalu sadar dan selalu meminta perlindungan kepada Allah dalam setiap kondisi dalam hidupnya.

Mari kita simak bagian-bagian dari ayat di atas lebih dekat.

(1) Kalimat :

إِذَا مَسَّهُمۡ طَٰٓائِفٌ مِّنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ

“Apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan…”

Adalah isyarat bahwa setan berupaya untuk membuat kita lupa dengan “rasa takut” kepada Allah swt. Karena apabila kesadaran untuk takut kepada Allah ini “ditunda” sejenak saja maka ia tidak akan mampu melawan bisikan setan dan mudah untuk mengikuti rayuannya.

(2) Kalimat :

تَذَكَّرُواْ

“Mereka pun segera ingat kepada Allah…”

Namun orang-orang yang bertakwa segera ingat dengan peringatan-peringatan dari Allah dan akibat yang akan mereka dapatkan dari perbuatan dosa tersebut. Dan mereka lebih memilih untuk segera kembali dan meninggalkan semua kebusukan itu demi meraih pahala dari-Nya.

وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya.” (QS.Ali ‘Imran:135)

(3) Kalimat :

فَإِذَا هُم مُّبۡصِرُونَ

“Maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya)….”

Maka setelah mereka sadar, setan pun gagal menjerumuskannya ke dalam jurang kemaksiatan yang lebih dalam. Mereka pun selamat dan segera kembali kepada Allah swt.

Uniknya, kalimat مبصرون dalam ayat ini menggunakan bentuk Isim Fa’il dan bukan menggunakan bentuk Fi’i. Yang artinya kesadaran itu sebenarnya telah ada dalam diri mereka sebelumnya. Kesadaran ini bukan hal yang baru muncul ketika mereka hendak berbuat kesalahan. Orang-orang yang bertakwa selalu dalam kondisi sadar dan waspada atas bujuk rayu setan.

Lalu bagaimana seseorang bisa terjerumus dalam bujuk rayu setan? Tentunya semua itu karena ia meninggalkan dzikir dan mengingat Allah swt. Sehingga ia tidak memiliki benteng yang menyelamatkannya dari bisikan dan rayuan setan. Sehingga dengan mudah setan mengarahkannya menuju jalan yang ia kehendaki.

(4) Adapun kalimat :

إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa…”

Kalimat ini menujukkan bahwa kesadaran itu bersumber dari ketakwaan. Semakin tinggi ketakwaan seseorang maka semakin kuat benteng kesadaran yang ia miliki untuk melawan bisikan setan. Hati orang yang bertakwa selalu mengajak untuk berdzikir dan mengingat Allah swt. Sehingga apabila pada suatu saat ia lalai, maka dengan segera ia akan kembali dan memohon ampunan kepada Allah swt.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN