Rajinlah Membaca: Yaa Dzal Jalaali wal Ikram

Ya dzal jalali wal ikram bisa digunakan dalam doa, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintah demikian.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Ad-Da’awaaat (16. Kitab Kumpulan Doa)

بَابُ الأَمْرِ بِالدُّعَاءِ وَفَضْلِهِ وَبَيَانِ جُمَلِ مِنْ أَدْعِيَّتِهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –

Bab 250. Perintah untuk berdoa dan keutamaan berdoa serta penjelasan beberapa doa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Hadits #1491

وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( أَلِظُّوا بِـ ( يَاذا الجَلاَلِ والإكْرامِ ) )) . رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَرَوَاهُ النَّسَائِيُّ مِنْ رِوَايَةِ رَبِيْعَةَ بْنِ عَامِرٍ الصَّحَابِي ، قَالَ الحَاكِمُ : (( حَدِيْثٌ صَحِيْحُ الإِسْنَادِ )) .

(( أَلِظُّوا )): بِكَسْرِ اللاَّمِ وَتَشْدِيْدِ الظَّاءِ المُعْجَمَةِ ، مَعْنَاهُ : اِلزَمُوا هَذِهِ الدَّعْوَةَ وَأكْثِرُوا مِنْهَا .

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Selalulah kalian membaca dengan doa, ‘YAA DZAL JALAALI WAL IKROM (wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan).’” (HR. Tirmidzi dan An-Nasai dari riwayat sahabat Rabi’ah bin ‘Amir. Al-Hakim berkata sanadnya sahih) [HR. Tirmidzi, no. 3525. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly mengatakan bahwa hadits ini sahih dengan syawahidnya, karena ada penguatnya].

Lafal alizhzhu dengan kasrahnya lam dan tasydidnya zha’ mu’jamah, artinya: jagalah selalu doa ini dan sering-seringlah mengucapkannya.

Faedah hadits

  1. Kita diperintahkan untuk memperbanyak dan menjaga bacaan ini karena di dalamnya mengandung pujian yang sempurna pada Allah Ta’ala dan sifat yang mulia bagi Allah.
  2. “Yaa dzal jalaali wal ikrom” mengandung sifat rububiyah dan uluhiyah, artinya Allah itu agung dan mulia dalam segala perbuatannya, sehingga Allah yang layak untuk disembah.
  3. Sebagian ulama menyatakan bahwa “Yaa dzal jalaali wal ikrom”, nama yang disebut termasuk dalam al-ismu al-a’zhom (nama Allah yang Agung). Namun Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly hafizhahullah tidaklah menyetujui hal ini.

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22933-rajinlah-membaca-yaa-dzal-jalaali-wal-ikram.html

Hadis Maudhu (Palsu) dan Larangan Mengamalkannya

Ustadz Apa itu hadis maudhu dan ciri2nya, apakah hadis maudhu yg secara matan shahih bisa diamalkan ? Syukron

Jawab:

Alhamdulillah, shalawat dan salam atas Nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya . Amma Ba’du:

Pertanyaan ini mengingatkan saya pada berita bombastis tentang sepeda Nabi Adam yang dijadikan pajangan di kota Jeddah, Saudi Arabia. Dikatakan oleh sebagian yang berkunjung ke kota tersebut, bahwa itulah sepeda Nabi Adam, begitu ceritanya. Cukup satu pertanyaan untuk menjelaskan, sejak kapan sepeda dibuat?

Dan sekarang ini bisa kita lihat, mulai sabun cuci sampai mesin suci ada label syar’i, mulai dari tanah sampai rumah mendapat stempel sunnah; mengingatkan pada zaman dulu bahwa salah satu sumber hadits-hadits palsu adalah para pedagang. Diantara hadits palsu yang banyak disebut para penuntut ilmu waktu itu adalah hadist tentang keutamaan terong.

Untuk memahami hadits palsu, kita harus memahami apa arti hadits yang asli dengan baik, sehingga kita bisa membedakan hadits asli dari yang palsu.

Hadits adalah perkataan, perbuatan, persetujuan (perkataan atau perbuatan shahabat disetujui oleh Nabi) dan sifat-sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits palsu artinya menisbatkan (menyandarkan) suatu perkataan, berbuatan, pengakuan atau sifat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal itu tidak dikatakan, tidak dilakukan, bukan merupakan persetujuan dan bukan merupakan sifat Nabi. Jadi, menisbatkan sesuatu kepada Nabi yang bukan merupakan darinya adalah hadits palsu.

Bagaimana kalau perkataan itu adalah perkataan yang baik dari seorang shahabat atau seorang ulama kemudian disandarkan kepada Nabi?

Tetap hadist palsu walaupun maknanya baik, karena yang palsu disini adalah penisbatan (penyandaran).

Berbeda halnya dengan Hadist Dhoif, yaitu hadits yang lemah penyandaran kepada Nabi, dan penisbataannya kepada Nabi adalah salah atau tidak kuat, dan hal itu karena kesalahan bukan kesengajaan. Bedanya dengan hadits palsu adalah bahwa hadits palsu diketahui bahwa itu bukan dari Nabi, akan tetapi tetap dinisbatkan kepada Nabi dengan sengaja

Maka hendaklah hati-hati yang menyandarkan sesuatu dengan sengaja kepada Nabi atau kepada sunnah (Nabi) padahal itu bukan darinya walaupun maknanya benar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di Neraka” (Hadits Mutawatir diriwayatkan Bukhari no. 1229, dll.).

Darimana kita mengetahui bahwa hadits itu palsu?

Kita mengetahui hadits itu palsu adalah dari penjelasan para ulama, diantaranya Imam Ibnul Jauzi mengarang kitab Al-Maudhu’at, kumpulan hadist-hadits palsu, untuk menjelaskan hal itu. Dan hadits menjadi palsu karena rawi di dalam sanadnya diketahui pernah sengaja berdusta atas nama Nabi, atau hadits tersebut tidak ada asal usulnya atau haditsnya dengan jelas bertentangan dengan al-Quran atau hadits shohih yang jelas, sehingga tidak mungkin bersumber dari Nabi.

Ibnu Qayyim al-jauziyah menyebutkan di dalam kitabnya al-Manar al-Munif 19 ciri-ciri hadits palsu, di antaranya adalah:

  1. Bertentangan dengan ayat al-Quran secara jelas, seperti hadits palsu: “Umur Dunia 7000 tahun, dan kita berada pada tahun yang ke-7000”. Bertentangan dengan ayat-ayat yang menjelaskan hanya Allah ta’ala yang mengetahui tentang waktu kejadian Hari Kiamat.
  2. Bertentangan dengan hadits yang shohih, seperti hadits palsu yang menjelaskan bahwa yang bernama Muhammad atau Ahmad tidak akan masuk Nereka, padahal sangat jelas di dalam hadits Nabi bahwa yang menyelamatkan seseorang itu adalah amalannya.
  3. Memiliki makna yang terlalu berelebihan, seperti Allah menciptakan seekor burung  yang memiliki 70 ribu lisan, setiap lisan bisa berbicara dalam 70 ribu Bahasa.
  4. Bertentangan dengan realita, seperti hadits palsu:”Terong menyembuhkan segala jenis penyakit”
  5. Maknanya tidak pantas dan hanya menjadi bahan ejekan, seperti hadits palsu:”Seandainya beras itu adalah seorang laki-laki, maka dia adalah seorang yang lembut, tidak ada yang memakannya kecuali menjadi kenyang”.
  6. Menyerupai resep dokter, seperti hadits palsu:”Al-Harisah (makanan) menguatkan punggung”

Ini adalah sebagian ciri yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim di dalam kitabnya.

Apakah hadits palsu bisa diamalkan kalau maknanya shohih?

Sumber Syariat Islam adalah Al Quran dan Sunnah, kalau ada kata atau makna yang bagus bukan dari keduanya maka bukan bagian dari Islam dan tidak boleh diamalkan sebagai ibadah.

Akan tetapi kalau yang dimaksud bahwa hadits palsu tapi secara makna shohih, dalam arti makna yang terkandung di dalamnya adalah sesuai atau serupa dengan Ayat atau hadits yang lain. Hadits palsu tersebut tetap tidak boleh diamalkan, tapi kita beramal dengan ayat atau hadits shohih yang menunjukkan kepada makna tersebut.

Kita ulangi lagi, bahwa hadits palsu itu adalah palsu walau kandungan isinya bagus, karena maksud dari palsu itu adalah palsu penisbatan (penyandaran) kepada Nabi.

Hendaklah kita terus belajar, karena di zaman sekarang hadits palsu tersebar dengan mudah, dan banyaknya hadits-hadits palsu baru yang bermunculan.

Semoga Allah taala selalu memberi taufik kepada kita untuk mengamalkan hadits yang shohih dan mengetahui hadits-hadits palsu, dan mampu menjelaskan tentang hadits palsu kepada umat. Amiin…!!

Read more https://konsultasisyariah.com/36006-hadis-maudhu-palsu-dan-larangan-mengamalkannya.html

Menghadiri Undangan Natal

Bolehkah seorang muslim menghadiri perayaan natal jika diundang? Atau mungkin ada acara natal bersama yang diadakan di lingkungan kantor, bolehkah dihadiri?

Perlu diketahui bahwa seorang muslim diharamkan loyal pada orang kafir sebagaimana disebutkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Di antara bentuk loyal pada orang kafir yang terlarang adalah menghadiri perayaan mereka.

Ibnul Qayyim berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Umar berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

Diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi dengan sanad yang jayyid dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata,

من مَرَّ ببلاد الأعاجم فصنع نيروزهم ومهرجانهم وتشبه بهم حتى يموت وهو كذلك حشر معهم يوم القيامة

Siapa yang lewat di negeri asing, lalu ia meniru yang dilakukan oleh Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka hingga mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka“. Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.

Jadi, jelaslah tidak boleh menghadiri undangan non muslim berkenaan dengan hari raya mereka. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Fatwa Syaikh Sholeh Al Munajjid no. 11427: http://islamqa.com/ar/11427

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/19237-menghadiri-undangan-natal.html

Abu Darda Menyesal Terlambat Menjadi Muslim

Setelah menjadi Muslim, gaya hidup Abu Darda berubah total

Namanya Uwaimir bin Malik al-Khazraji, lebih dikenal dengan panggilan Abu Darda. Sebelum Islam, Abu Darda berteman akrab dengan Abdullah bin Rawahah. Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dua orang teman akrab tersebut berbeda jalan.

Abdullah bin Rawahah segera menjadi Muslim sementara Abu Darda tetap dengan kemusyrikannya. Setiap hari dia menyembah berhala yang diletakkan di salah satu kamar rumahnya. Tiap hari pula berhala itu dibersihkan dan diberi wewangian.

Kesadarannya baru muncul tatkala pada suatu hari dia menemukan berhalanya itu hancur berkeping-keping karena dikapak oleh teman akrabnya sendiri, Abdullah bin Rawahah, secara diam-diam. Semula dia sangat marah, tetapi di ujung marahnya, kesadarannya muncul.

“Seandainya berhala itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Ditemani Abdullah bin Rawahah, Abu Darda segera menemui Nabi dan masuk Islam. Tetapi, dia sangat menyesal terlambat menjadi Muslim.

Temannya tidak hanya lebih dahulu masuk Islam, tapi juga sudah ikut berjuang dalam Perang Badar. Untuk mengejar ketertinggalannya itu, Abu Darda mengurangi aktivitas dagangnya agar lebih banyak waktu menghafal Alquran dan beribadah sepuasnya.

Gaya hidup Abu Darda berubah total, sekarang dia memilih hidup zuhud. Tatkala suatu kali tamu-tamunya bertanya ke mana perginya kekayaannya selama ini, Abu Darda menjawab, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap kali memperoleh harta, langsung kami kirim ke sana. Jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki sehingga kami sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”

Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, Abu Darda pernah ditawari jabatan yang tinggi di Syam, tapi dia tanpa ragu menolaknya. Tatkala Umar marah, Abu Darda menyatakan bersedia bertugas ke Syam bukan sebagai pejabat tinggi, melainkan jadi guru yang mengajarkan Alquran, sunah, serta membimbing umat. Umar setuju.

Maka, berangkatlah Abu Darda ke Damaskus. Dia tidak hanya mengajar di masjid, tapi juga berkeliling ke tengah-tengah masyarakat, masuk ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya, dijawabnya segera, jika bertemu dengan orang bodoh, diajarinya, jika melihat orang lalai, diingatkannya.

Abu Darda tidak mau kehilangan waktu sedikit pun dalam membimbing umat ke jalan Allah. Pada suatu hari, Abu Darda menyaksikan ada seorang laki-laki dipukuli orang banyak. Lalu, dia bertanya, “Apa yang terjadi?”

Dijelaskan bahwa laki-laki itu pendosa besar maka dipukuli. Dengan bijak, Abu Darda  bertanya, “Jika kalian melihat orang yang jatuh ke dalam sumur, apa yang akan kalian lakukan? Tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”

Jawab mereka, “Tentu.” “Oleh sebab itu, janganlah kalian memukulinya, tapi berilah dia nasihat dan sadarkan dia.” Mereka bertanya, “Apakah engkau tidak membencinya?” Abu Darda menjawab, “Saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatan dosanya maka dia adalah saudara saya.”

Tatkala seorang pemuda meminta nasihat kepadanya, Abu Darda mengatakan, “Wahai, anakku! Ingatlah kepada Allah pada waktu kamu bahagia maka Allah akan mengingatmu waktu kamu sengsara.”

“Hai, anakku,” lanjutnya, “Jadilah engkau orang yang berilmu atau penuntut ilmu atau pendengar, jangan jadi yang keempat karena yang keempat pasti celaka.”

Sampai akhir hayatnya, Abu Darda—radhiyallahu ‘anhu—tetap menjalankan tugas yang mulia menjadi guru di Damaskus.

KHAZANAH REPUBLIKA

Benarkah Dada Rasulullah SAW Pernah Dibelah?

Kisah dada Rasulullah SAW dibelah diperdebatkan antarulama.

Umat Islam pasti mendengar kisah pembelahan dada Nabi Muhammad SAW, baik ketika masih kecil maupun saat malam Miraj. 

Namun, menurut pendiri Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, yang juga pakar tafsir Indonesia, Prof M Quraish Shihab, kesahihan sumber-sumber kisah itu diperdebatkan dan perincian kandungannya berbeda pula.  

Dalam kitab  Musnad Imam Ahmad, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, Abdullah Putra Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa sahabat Nabi SAW, Ubay bin Ka’ab menuturkan, Abu Hurairah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah hal pertama yang engkau alami menyangkut kenabian?”  

Rasulullah Menjawab, “Aku berada di padang pasir dan umurku ketika itu sepuluh tahun dan beberapa bulan. Tiba-tiba aku mendengar suara di atas kepalaku, (dan kulihat) ada seseorang berkata kepada seorang lainnya, ‘Apakah dia!’.

Kedua orang itu lalu menghadap kepadaku dengan wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya, dengan keharuman yang belum pernah kudapatkan dari satu makhluk pun sebelumnya, dan dengan pakaian yang belum pernah kulihat dipakai sebelumnya.  

Mereka berdua menghampiriku hingga memegang bahuku, tetapi aku tidak merasa dipegang. Lalu salah seorang berkata kepada temannya, ‘Berbaringlah!’. Mereka berdua membaringkanku tanpa menarik (dengan keras) dan tidak juga mematahkan.  

Salah seorang berkata kepada temannya, ‘Belahlah dadanya!’. Ia memegang dan membelah dadaku. Temannya berkata, ‘keluarlah kedengkian dan iri hati!’. Ia mengeluarkan sesuatu seperti segumpal darah dan membuangnya. Kemudian temannya berkata, ‘Masukkanlah kasih sayang dan rahmat!’ Maka, kulihat serupa apa yang dikeluarkannya bagaikan perak.”  

Dalam buku berjudul “M Quraish Shihab Menjawab” dijelaskan bahwa tidak sedikit ulama yang menilai hadis tersebut sebagai hadits dhaif atau lemah. Di sisi lain ada sebagian ulama yang memahami ayat 1 dalam surah al-Insyirah sebagai ayat yang berbicara tentang pembelahan dadan Nabi Muhammad SAW.   

Ayat tersebut berbunyi: “Alam nasyrah laka shadrak.”  Bagi mereka, terjemahan ayat itu adalah, “Bukankah Kami telah membelah dadamu?”   

Seorang ulama tafsir, an-Naysaburi, memahami kata “nasyrah” itu dalam arti “pembedahan” yang menurutnya pernah dilakukan  para malaikat pada diri Nabi Muhammad SAW, baik ketika beliau remaja maupun ketika beberapa saat sebelum beliau melakukan Isra dan Miraj.  

Namun, Prof Quraish, cenderung tidak memahaminya demikian. Berdasarkan pengamatannya terhadap penggunaan kata “syaraha” yang terulang sebanyak lima kali dalam Alquran, ternyata tidak mendukung penafsiran yang demikian.  

Menurut Quraish, tidak ada ayat Alquran yang mengandung penafsiran pasti terkait pembedahan tersebut. Hadis Nabi pun hanya bersifat informasi perorangan. Karena itu, menurut dia, tidaklah wajib bagi seorang Muslim untuk mempercayai kisah pembelahan dada Nabi Muhammad tersebut.  

KHZANAH REPUBLIKA


Karena Tidak Ikhlas

SAUDARAKU, salah satu sebab yang membuat hidup kita terasa berat adalah keikhlasan. Bagi orang yang tidak ikhlas, pekerjaan kecil pun menjadi terasa berat.

Seperti sekadar memindahkan cangkang permen yang tergeletak sembarangan ke dalam tempat sampah. Ini pekerjaan ringan, namun jika tidak ikhlas maka berat rasanya. Orang yang tidak ikhlas akan berharap-harap ada orang lain melihatnya ketika dia memindahkan cangkang permen itu, sehingga ia pun terlihat sebagai orang baik. Namun, ketika tenyata tidak ada orang yang melihatnya, ia merasa rugi dan menyesal telah melakukan hal tersebut.

Betapa berat hidup ini rasanya bagi orang yang tidak ikhlas. Ke mana-mana yang dicari adalah penilaian makhluk. Amal yang dilakukan berharap mendapatkan imbalan. Kebaikan yang dilakukan berharap balas jasa. Sedekah yang dikeluarkan berharap sanjungan. Ketika yang diharapkan itu tidak ada, maka hati pun resah gelisah jauh dari rasa bahagia.

Selain membuat hidup ini terasa berat, ketidakikhlasan juga mendatangkan dosa karena tidak ikhlas atau riya (ingin amal dilihat orang lain) adalah salah satu ciri kemunafikan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. an-Nisaa [4]: 142)

Riya sungguh hal yang sangat merugikan bagi kita. Membuat hidup ini terasa sempit, dan amal perbuatan menjadi sia-sia tidak bernilai. Sebesar apa pun amal kita jika dilakukan dengan tidak ikhlas, mencari penghargaan makhluk, maka tidak ada catatan kebaikan baginya.

Tentunya kita masih ingat pesan dari Rasulullah tentang tiga orang yang kelak akan diperiksa amal perbuatannya di hadapan Allah. Ketiga orang ini adalah sosok-sosok yang luar biasa ketika di dunia. Mereka adalah seorang yang mati di medan perang ketika membela agama Allah, yang kedua adalah seorang yang berilmu dan pembaca al-Quran, dan yang ketiga adalah orang kaya yang gemar bersedekah. Di hadapan Allah, ketiganya mengakui mereka berbuat secara ikhlas mengharap rida-Nya.

Tetapi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Ternyata mereka beramal dengan tidak ikhlas. Mereka ingin dipandang oleh orang lain sebagai orang yang hebat, orang yang baik, berilmu, dan dermawan. Yang mereka cari adalah rasa cinta dari manusia, bukan dari Allah SWT. Maka, ketiga orang ini pun dimasukkan ke dalam neraka. Betapa besar bahayanya jika kita tidak ikhlas.

Saudaraku, pondasi dari akhlak mulia seseorang adalah ikhlas. Ikhlas wajib kita miliki. Karena tanpa keikhlasan, sehebat apa pun amal, maka bagaikan jasad tanpa ruh. Tidak ada nilainya sama sekali.

Ikhlas adalah bukti ketauhidan. Orang yang yakin kepada Allah, maka ia merasa hanya cukup mendapatkan pemberian dan penilaian dari Allah semata. Semakin ia yakin kepada Allah, maka ia semakin ikhlas dalam beramal kebaikan. Sebaliknya, kalau semakin tipis keyakinan kepada Allah, maka semakin besar pengharapan kepada penilaian dan pemberian makhluk. Padahal semakin seseorang berharap kepada makhluk, semakin jauh dia dari Allah SWT, semakin jauh dia dari kebahagiaan, dan semakin kering setiap amalnya.

Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk belajar ikhlas. Wajib bagi kita untuk berlatih sekuat tenaga agar ikhlas. Dan, wajib bagi kita menjaga keikhlasan. Ada lima langkah yang bisa kita lakukan untuk melatih keikhlasan:

Pertama, jangan berharap diketahui orang lain jika kita beramal. Namun, kalau memang ada yang tahu atau ada yang melihat, maka tidak apa-apa. Hanya saja pastikan di dalam hati kita untuk puas hanya dengan penilaian Allah SWT. Tidak perlu berharap orang lain tahu, apalagi sengaja mendramatisir keadaan supaya orang lain mengetahui. Memang benar, ada amal yang pada keadaan tertentu perlu diketahui orang lain, tetapi dalam keadaan demikian pun tancapkanlah dalam hati bahwa cukup penilaian Allah yang memuaskan kita.

Kedua, jangan ingin dilihat orang lain saat beramal. Orang lain melihat atau tidak, itu bukanlah masalah. Karena yang terpenting dari semua itu adalah kita hanya berharap pandangan Allah SWT. Sehingga kita bisa nilai hati kita ikhlas ataukah tidak dengan cara begini; kalau kita semangat beramal saat dilihat orang lain dan tidak semangat saat tidak dilihat orang lain, maka itu ciri kita tidak ikhlas.

Ketiga, jangan ingin dipuji orang lain saat beramal. Pujian dan cacian itu sama saja dengan suara ember yang jatuh. Hanya berupa getaran udara yang sampai ke gendang telinga kita. Tidak ada apa-apanya sama sekali. Bahkan malah bisa mengotori hati kalau kita tidak hati-hati. Orang yang hanya mendambakan pujian dari Allah, ia akan ringan menjalani hidup ini.

Keempat, jangan ingin dihargai orang lain. Penghargaan manusia adalah cobaan. Sedangkan penghargaan dari Allah SWT adalah karunia.

Kelima, jangan ingin diberi balasbudi. Karena sesungguhnya karunia Allah tidak akan meleset! Allah Maha Melihat siapa di antara hamba-Nya yang tulus berbuat baik, tulus beramal. Allah Maha Mencatat setiap kebaikan sekecil apa pun, dan Allah Maha Membalas. Jika Allah menghendaki, apa yang memang untuk kita, pasti akan sampai kepada kita, tanpa bisa dihalangi oleh apa dan siapa pun.

Allah SWT berfirman, “Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. al-Fath [48]: 28)

Cukuplah Allah sebagai saksi bagi setiap amal kita. Cukuplah Allah sebagai penjamin rezeki kita. Selamat menikmati kebahagiaan karena hati yang penuh keikhlasan. Semoga Allah SWT senantiasa memberi kita petunjuk dan pertolongan dalam menjalani hidup di dunia ini. Aamiin yaa Rabbalaalamiin. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Makna Hadis “Bukan Bagian dari Golonganku”

Apa arti dari ungkapan dalam hadis, “bukan termasuk golonganku”

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terdapat banyak hadis yang menyebutkan ancaman dalam bentuk kalimat semacam ini. Diantaranya,

hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ

“Bukan bagian dari golonganku, orang yang menipu” (HR. Ahmad 7292, Abu Daud 3454, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dan masih banyak hadis lainnya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai makna kalimat, “bukan bagian dari golonganku..

[1] Bukan pengikut sunahku.

[2] Tidak di atas agama yang sempurna.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan makna kalimat ini,

ليس منا: أي من أهل سنتنا وطريقتنا، وليس المراد به إخراجه عن الدين، ولكن فائدة إيراده بهذا اللفظ المبالغة في الردع عن الوقوع في مثل ذلك، وقيل المعنى ليس على ديننا الكامل أي أنه خرج من فرع من فروع الدين وإن كان معه أصله.

‘Bukan bagian dari goloanganku’ artinya bukan termasuk orang yang mengamalkan ajaranku dan mengikuti jalanku. Dan bukan maksudnya mengeluarkan pelakunya dari agama. Namun manfaat adanya lafadz ini adalah memperkeras calaan, agar tidak terjerumus ke dalam pelanggaran semacam ini. Ada juga yang mengatakan, makna kalimat ini adalah dia tidak berada di atas agamaku yang sempurna. Artinya, dia telah meninggalkan salah satu cabang agama, meskipun bagian yang paling prinsip dalam agama tetap ada pada dirinya. (Fathul Bari, 3/163)

Disini kita perlu memahami perbedaan antara ancaman dan konsekuensi ancaman. Ketika orang tua mengingatkan kepada anak-anaknya, siapa yang tidak pulang saat idul fitri, bukan anakku.

Ketika ada anak yang tidak hadir ke rumah ortu saat idul fitri, bukan berarti hubungan dia dengan ortunya menjadi putus. Dalam arti, anak tetap anaknya. Hanya saja, kalimat ini menunjukkan kalimat celaan yang sangat tegas.

Demikian. Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/36042-makna-hadis-bukan-bagian-dari-golonganku.html

Hukum Shalat dengan Menghadap Sutrah (Bag. 6)

Ketentuan Sutrah Ketika Shalat di Masjidil Haram

Perlu diketahui bahwa dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya sutrah ketika shalat dan mencegah orang yang hendak lewat di depan orang shalat itu bersifat umum, mencakup juga ketika berada di masjidil haram. Hal ini karena dalil-dalil tersebut bersifat umum dan tidak ada pengecualian. Bahkan terdapat hadits-hadits yang menunjukkan dipasangnya sutrah ketika shalat di Mekah secara umum atau ketika di masjidil haram secara khusus. Dari ‘Aun bin Abu Juhaifah, beliau berkata, 

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالهَاجِرَةِ، فَصَلَّى بِالْبَطْحَاءِ الظُّهْرَ وَالعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَنَصَبَ بَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةً وَتَوَضَّأَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar saat terik matahari. Kemudian beliau melaksanakan shalat zhuhur dan ‘ashar dua rakaat dua rakaat di Bathha’. Sementara di hadapannya ditancapkan sebuah tongkat. Ketika beliau berwudhu, maka orang-orang mengusapkan bekas air wudhunya (ke badan).” (HR. Bukhari no. 501 dan Muslim no. 503)

Al-Bukhari rahimahullah menempatkan hadits tersebut di bawah judul bab,

بَابُ السُّتْرَةِ بِمَكَّةَ وَغَيْرِهَا

“Bab (dipasangnya) sutrah di Makkah dan selainnya.”

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, 

فأراد البخاري التنبيه على ضعف هذا الحديث وأن لا فرق بين مكة وغيرها في مشروعية السترة واستدل على ذلك بحديث أبي جحيفة وقد قدمنا وجه الدلالة منه وهذا هو المعروف عند الشافعية وأن لا فرق في منع المرور بين يدي المصلي بين مكة وغيرها

“Al-Bukhari bermaksud memberikan tanbih (penekanan) atas lemahnya hadits (yaitu hadits Al-Muththalib yang nanti akan disebutkan, pent.) dan bahwa tidak ada perbedaan antara Mekah dan selainnya dalam hal disyariatkannya memasang sutrah. Al-Bukhari berdalil dengan hadits Abu Juhaifah dan telah kami bahas sisi pendalilannya. Inilah yang ma’ruf (dikenal) dalam madzhab Syafi’iyyah bahwa tidak ada perbedaan dalam mencegah orang yang lewat di depan orang shalat antara (shalat di) Mekah dan selainnya.” (Fathul Baari, 1: 576)

Demikian pula diriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu, dalam hadits yang sangat panjang ketika menyebutkan tatacara haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir berkata,

ثُمَّ نَفَذَ إِلَى مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام، فَقَرَأَ: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى} [البقرة: 125] فَجَعَلَ الْمَقَامَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ

“Kemudian beliau terus menuju ke maqam Ibrahim ‘alahis salaam, lalu beliau membaca ayat (yang artinya), “Jadikanlah maqam Ibrahim sebagai tempat shalat” (QS. Al-Baqarah [2]: 125). Lalu ditempatkannya maqam itu di antara beliau dengan baitullah.” Kemudian disebutkan bahwa beliau shalat dua raka’at. (HR. Muslim no. 1218)

Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir, beliau berkata, “Aku melihat Anas bin Malik di masjidil haram menancapkan tongkat kemudian shalat menghadapnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah 1: 277)

Tetap Disyariatkan Memasang Sutrah 

Maka dalil-dalil itu jelas menunjukkan bahwa memasang sutrah di masjidil haram atau di Mekah secara umum adalah perkara yang disyariatkan. Oleh karena itu, tidak boleh lewat di depan orang shalat secara umum, karena tidak ada dalil yang mengecualikan masjidil haram. Ancaman untuk orang yang lewat di depan orang shalat itu bersifat umum, mencakup semua orang yang lewat di depan orang shalat di tempat mana saja. 

Hadits Berkaitan Shalat Tanpa Sutrah di Masjidil Haram

Adapun berkaitan dengan hadits yang diriwayatkan dari Al-Muthallib bin Abi Wada’ah, beliau berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ بِحِذَائِهِ فِي حَاشِيَةِ الْمَقَامِ وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطُّوَّافِ أَحَدٌ

“Kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam thawaf di ka’bah sebanyak tujuh kali, kemudian beliau shalat dua raka’at dengan memakai sepatunya di ujung maqam Ibarahim, dan tidak ada seorangpun bersamanya ketika beliau thawaf.” (HR. Abu Dawud no. , An-Nasa’i no. 758, Ibnu Majah no. 2958)

Dalam riwayat lain disebutkan, “tidak ada sutrah antara beliau dan tempat thawaf.”

Di riwayat lain disebutkan, “tidak ada sutrah antara beliau dengan ka’bah.” 

Berdasarkan hadits tersebut, sebagian ulama mengatakan bahwa tidak disyariatkan memasang sutrah ketika shalat di masjidil haram. 

Argumentasi yang Lemah 

Argumentasi di atas lemah, berdasarkan alasan-alasan berikut ini.

Pertama, hadits tersebut dha’if (lemah). Karena di dalam sanadnya ada perawi yang majhul. 

Ke dua, hadits tersebut adalah perbuatan (fi’il) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan hadits-hadits berkaitan dengan perintah memasang sutrah bersumber dari perkataan (qaul) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kaidah ushul fiqh, fi’il Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah membatalkan qaul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Ke tiga, hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits lain yang lebih kuat, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam konsisten dalam memasang sutrah baik dalam kondisi safar maupun tidak safar yang disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih. Juga perintah beliau untuk memasang sutrah adalah perintah yang jelas dalam hadits-hadits yang banyak sekali.

Ke empat, yang terdapat dalam hadits Jabir bahwa beliau menjadikan maqam Ibrahim sebagai sutrah beliau untuk shalat dua raka’at setelah thawaf. 

Sebagian ulama memberikan keringanan untuk lewat di depan orang yang shalat di masjidil haram dalam kondisi darurat semisal ketika berdesak-desakan. 

Mengomentari hal ini, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,

“Perkara semisal ini tidak hanya terbatas ketika di masjidil haram saja ketika kondisi darurat, namun juga berlaku ketika musim haji dan bulan Ramadhan. Menjadi kewajiban bagi seorang hamba untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala sesuai dengan kemampuannya. Akan tetapi, jadilah lewat di depan orang shalat itu menjadi perkara yang biasa bagi kebanyakan manusia. Sampai-sampai sebagian mereka bolak-balik lewat di depan orang yang shalat sunnah untuk keperluan yang ringan tanpa ada kondisi sulit. Inilah yang kita saksikan dan patut disayangkan. Hal ini karena tidak diragukan lagi bahwa lewat di depan orang shalat itu menimbulkan gangguan dan was-was bagi orang shalat. Wallahul musta’an.” (Ahkaam Khudhuuril Masaajid, hal. 126)

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 24 Shafar 1441/23 Oktober 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1] Pembahasan ini kami sarikan dari kitab Ahkaam Khudhuuril Masaajid karya Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 195-197 (cetakan ke empat tahun 1436, penerbit Maktabah Daarul Minhaaj, Riyadh KSA). 

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53360-hukum-shalat-dengan-menghadap-sutrah-bag-6.html

Hukum Shalat dengan Menghadap Sutrah (Bag. 5)

Baca  pembahasan sebelumnya Hukum Shalat dengan Menghadap Sutrah (Bag. 4)

Ketentuan Jarak Tempat Berdiri dengan Sutrah

Adapun jarak antara tempat berdiri dengan sutrah, terdapat hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ

“Jarak antara tempat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dinding (pembatas) adalah selebar untuk jalan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 496 dan Muslim no. 508)

Yang dimaksud dengan “mushalla” adalah tempat shalat, yaitu jarak antara tempat seseorang berdiri meletakkan kaki ketika berdiri dengan meletakkan dahi ketika sujud. Sehingga jarak antara berdiri dengan sutrah itu kira-kira seukuran jalan yang cukup untuk lewatnya kambing. Atau kurang lebih setengah hasta. 

Dalam atsar yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

Al-Baghawi rahimahullah berkata,

“Inilah yang diamalkan oleh para ulama, yaitu dianjurkan mendekat ke arah sutrah. Jarak antara dia dengan sutrah itu sekitar jarak yang memungkinkan untuk sujud, demikian juga jarak antara dua shaf.” (Syarhus Sunnah, 2: 447)

Oleh karena itu, hendaknya shaf pertama itu dekat dengan tempat berdirinya imam. Karena dalam shalat berjamaah, sutrah imam adalah sutrah untuk makmum yang ada di belakangnya. 

Bolehkah Lewat di Depan Makmum yang sedang Shalat Berjamaah?

Sebelumnya telah kami sampaikan bahwa disunnahkannya sutrah itu berlaku untuk imam dan orang yang shalat sendirian. Adapun sutrah makmum itu mengikuti sutrah imam. Akan tetapi terdapat pembahasan, bolehkah lewat di depan makmum? Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. 

Pendapat pertama

Tidak boleh lewat di depan makmum. Mereka berdalil dengan cakupan makna umum dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Sekiranya orang yang lewat di depan orang yang mengerjakan shalat mengetahui akibat apa yang akan dia tanggung, niscaya dia berdiri selama empat puluh itu lebih baik baginya daripada dia lewat di depan orang yang sedang shalat.” (HR. Bukhari no. 510 dan Muslim no. 507)

Alasan lainnya bahwa terganggunya konsentrasi dan kekhusyu’an orang shalat itu terjadi pada semua kondisi, termasuk jika lewat di depan makmum, tidak hanya jika lewat di depan imam dan orang yang shalat sendirian saja. Terkadang, banyak sekali orang yang lewat di depan makmum sehingga makmum merasa bahwa dia shalat sendirian tanpa imam. Hal ini karena banyaknya orang yang lewat di depannya sehingga seperti tembok pembatas antara dia dengan imam. Lebih-lebih jika berada di masjid besar seperti masjidil haram dan masjid nabawi. Berdasarkan alasan-alasan ini, tidak boleh lewat di depan makmum.

Pendapat ke dua

Boleh lewat di depan makmum. Mereka berdalil dengan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, 

أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلاَمَ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ، فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَيَّ

“Aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh. Ketika itu, Rasulullah sedang shalat di Mina dengan tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang menyalahkanku.” (HR. Bukhari no. 76 dan Muslim no. 504)

Dalam hadits tersebut, Ibnu ‘Abbas radhiyallallahu ‘anhuma berjalan di depan shaf sambil menuntun keledainya untuk dilepas mencari makan kemudian dia berjalan masuk ke dalam shaf. Tidak ada yang mengingkari perbuatan Ibnu ‘Abbas ini, baik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Sehingga persetujuan ini mengkhususkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

لَوْ يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ

“Sekiranya orang yang lewat di depan orang yang mengerjakan shalat mengetahui akibat apa yang akan dia tanggung … “

Pendapat yang shahih

Setelah membawakan dalil masing-masing pendapat, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

فالصَّحيح: أن الإنسان لا يأثم، ولكن إذا وَجَدَ مندوحة عن المرور بين يدي المأمومين فهو أفضل، لأن الإِشغال بلا شَكٍّ حاصل، وتوقِّي إشغال المصلِّين أمرٌ مطلوب؛ لأن ذلك مِن كمال صلاتهم، وكما تحب أنت ألاّ يشغلك أحدٌ عن صلاتك فينبغي أن تحبَ ألا تشغلَ أحداً عن صلاته؛ لقول النبيِّ صلّى الله عليه وسلّم: «لا يؤمنُ أحدُكم حتى يحبَّ لأخيه ما يحبُّ لنفسه» .

“Pendapat yang shahih adalah (jika seseorang lewat di depan makmum) itu tidak berdosa. Akan tetapi, jika dia mendapatkan jalan lain untuk tidak lewat di depan makmum, itulah yang lebih afdhal. Karena tidak diragukan lagi bahwa lewat di depan makmum itu akan mengganggu konsentrasi mereka. Sedangkan menghindari mengganggu konsentrasi orang shalat adalah perkara yang dituntut oleh syariat, karena ini termasuk kesempurnaan shalat mereka. Sebagaimana Engkau tidak ingin ada satu orang pun yang mengganggu konsentrasi shalatmu, maka hendaknya Engkau juga tidak mengganggu konsentrasi shalat orang lain. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga dia menginginkan untuk saudaranya sebagaimana perkara yang dia inginkan untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45) (Asy-Syarhul Mumti’, 3: 278-279)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53332-hukum-shalat-dengan-menghadap-sutrah-bag-5.html

Nabi Isa ‘Alaihissalam Dalam Aqidah Umat Islam

Bismillah, walhamdulillah, washshalaatu wassalaamu ‘ala rasulillah,

Sungguh, Allah adalah Zat Yang Mahabijaksana. Dia memiliki kebijaksanaan yang sempurna yang jauh melampaui kebijaksanaan seluruh makhluk. Di antara bentuk kebijaksaan Allah adalah Ia ciptakan surga dengan segala macam kenikmatannya sebagai tempat kembali para hamba-Nya yang beriman kepadanya.

Dan merupakan bentuk keimanan kepadanya adalah beriman dengan para nabi dan rasul yang telah Ia utus ke dunia ini. Kita diperintahkan untuk meyakini mereka sesuai dengan apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sepanjang sejarah manusia, telah banyak para nabi dan rasul yang Allah utus ke dunia ini yang bertugas menyampaikan dan mengajarkan agama-Nya serta mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada-Nya. Salah satu di antara mereka adalah Nabi Isa ‘alaihissalaam.

Siapa itu Nabi Isa

Beliau adalah seorang lelaki yang lahir dari perut seorang wanita perawan nan suci bernama Maryam. Ibunya merupakan anak perempuan dari seorang lelaki pilihan Allah bernama ‘Imran dari keturunan Bani Israil (anak-anak Nabi Ya’kub alaihissalam). Keluarga Imran ini merupakan salah satu keluarga yang dipilih Allah untuk mendapatkan keistimewaan dari-Nya berupa nikmat kenabian.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ ذُرِّيَّةً بَعْضُهَا مِن بَعْضٍ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing). Sebagiannya merupakan keturunan dari yang lainnya. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Ali ‘Imran: 33-34)

Bagaimana Kelahiran Beliau?

Allah Ta’ala telah mengabarkan kepada kita bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam dilahirkan tanpa proses pernikahan ibunya Maryam dengan seorang lelaki. Artinya, beliau lahir tanpa ayah. Dan yang demikian itu bukanlah hal yang mustahil bagi Allah ‘Azza wa Jalla.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ ۖ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونُ

Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah”, maka jadilah ia.” (Ali ‘Imron: 59)

Ketika Maryam bertanya dengan penuh rasa heran saat mendapat kabar gembira berupa seorang putra yang akan lahir dari perutnya tanpa ‘sentuhan’ seorang lelaki, Allah menjelaskan dan menegaskan kepadanya serta kepada kita semua,

كَذَٰلِكِ اللَّهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ

Demikianlah Allah, yang menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Ia sudah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Ia hanya cukup mengatakan kepadanya, “jadilah kamu”, lalu jadilah ia.” (Ali’Imran: 47)

Proses penciptaan beliau adalah dengan ditiupkannya roh ke dalam rahim ibunya, Maryam. Kemudian Allah katakan kepadanya, “kun” (jadilah), sebagaimana yang Allah sebutkan pada ayat sebelumnya. Maka, seketika itu Maryam hamil sebagaimana wanita pada umumnya dan kemudian melahirkan Nabi Isa sebagai seorang anak manusia.

Sungguh, penciptaan ini merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Alquran,

وَجَعَلْنَا ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ آيَةً وَآوَيْنَاهُمَا إِلَىٰ رَبْوَةٍ ذَاتِ قَرَارٍ وَمَعِينٍ

Dan telah Kami jadikan (Isa) putra Maryam beserta ibunya sebagai tanda (kekuasaan kami), dan Kami lindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir.” (Al-Mu’minun: 50)

Ayat-ayat yang menerangkan tentang proses kelahiran Nabi Isa ‘alaihissalam di atas merupakan bantahan tehadap tuduhan orang-orang Yahudi, yang menganggap Maryam ‘alaihassalam telah berzina. Padahal, Allah telah menegaskan tentang kesucian wanita ini dari perbuatan keji itu.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ

Dan (ingatlah) Maryam putri ‘Imran yang memelihara kemaluannya (dari perbuatan keji). Maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami, dan Dia membenarkan kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya, dan dia itu termasuk orang-orang yang taat.” (At-Tahriim: 12)

وَإِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَىٰ نِسَاءِ الْعَالَمِينَ

Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata, “Hai Maryam, Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan juga mengistimewakan kamu atas segala wanita di seluruh dunia.” (Ali ‘Imran: 42)

Mukjizat Yang Diberikan kepada Beliau Ketika Bayi

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَيُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَمِنَ الصَّالِحِينَ

Dan dia (Isa) berbicara kepada manusia dalam buaian (ketika ia bayi) dan juga ketika sudah dewasa. Dan dia itu termasuk orang-orang yang saleh.” (Ali-‘Imran: 46)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا تَكَلَّمَ مَوْلُود فِي صِغَرِهِ إلا عِيسَى وصَاحِبَ جُرَيْج

“Tidak ada seorang anak yang berbicara ketika kecilnya kecuali Isa dan sahabat Juraij.”1

Dalam riwayat lain disebutkan,

لَمْ يَتَكَلَّمْ فِي الْمَهْدِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ: عِيسَى

tidak ada seorangpun yang berbicara sewaktu kecilnya kecuali tiga orang: (satu di antara mereka adalah) Isa …….” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika menafsirkan surah Ali ‘Imran ayat 46, Ibnu Katsir mengatakan, “Ia (Isa bin Maryam) mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata tanpa kesyirikan pada saat ia masih kecil sebagai mukjizat dan tanda (kenabian), serta saat beliau sudah dewasa ketika Allah wahyukan kepadanya untuk melaksanakan urusan itu (dakwah).”2

Kedudukan Nabi Isa ‘alaihissalam Dalam Islam

Di dalam Alquran, Allah telah menjelaskan kedudukan Nabi Isa ‘alaihissalam yang sesungguhnya, bahwa beliau adalah salah satu hamba terbaik pilihan Allah dan juga utusan-Nya yang memiliki kedudukan tinggi dan mulia di sisi-Nya. Bukan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Yahudi yang mengatakan beliau adalah anak zina. Bukan pula orang-orang Nasrani bahwa beliau adalah Allah atau anak Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membantah keyakinan buruk mereka ini dalam firman-Nya,

إِنْ هُوَ إِلَّا عَبْدٌ أَنْعَمْنَا عَلَيْهِ وَجَعَلْنَاهُ مَثَلًا لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ

Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan nikmat kepadanya dan Kami jadikan Dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani lsrail.” (Az-Zukhruf: 59)

إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ

Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah, kalimat-Nya yang Ia kirimkan kepada Maryam, dan juga roh dari-Nya.” (An-Nisaa’: 171)

Syaikh Abdurrahman bin Hasan mengatakan bahwa maksud dari Isa adalah kalimat Allah yaitu Allah menciptakan beliau dengan kalimat-Nya, “كن”. Sedangkan maksud dari Roh ialah Isa ‘alaihissalam merupakan salah satu dari sekian banyak roh yang telah Allah ciptakan.3 Dan beliau bukanlah roh kudus, karena roh kudus itu ialah Jibril ‘alaihissalam sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ahli tafsir dari kalangan sahabat dan yang setelah mereka.4

Dari ayat ini, kita dapati betapa mulia dan agungnya kedudukan Nabi Isa ‘alaihissalam di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga Allah sebutkan beliau sebagai kalimat dan juga roh-Nya. Dan idhafah (penyandaran) pada ayat ini merupakan bentuk penghormatan kepada beliau.

Dakwah Nabi Isa ‘alaihissalam

Dakwah beliau tidak berbeda dengan dakwahnya para Nabi dan Rasul yang lain, yaitu mengajak manusia untuk beriman dan beribadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya saja, Nabi Isa ‘alaihissalam diutus khusus kepada Bani Israil. Berbeda dengan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus kepada semua makhluk, dari kalangan jin dan manusia.

وَرَسُولًا إِلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنِّي قَدْ جِئْتُكُم بِآيَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ

Dan (Allah jadikan Isa) sebagai Rasul (yang diutus) kepada Bani Israil (dan berkata kepada mereka), “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa ayat (mukjizat) dari Rabb-mu.” (Ali ‘Imran: 49)

Di antara yang beliau serukan kepada Bani Israil adalah apa yang Allah abadikan dalam kitab-Nya,

وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ ۖ إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

Dan (Isa) Al-Masih berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Rabb-ku dan juga Rabb kalian. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah (dalam ibadahnya), maka Allah haramkan surga untuknya, dan tempat kembalinya ialah neraka. Dan orang-orang zalim itu tidak memiliki seorang penolong pun (yang akan menolongnya dari siksa api neraka).” (Al-Maaidah: 72)

إِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۗ هَٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ

Sesungguhnya Allah itu Rabb-ku dan juga Rabb kalian, maka beribadahlah kepada-Nya. Inilah jalan yang lurus.” (Ali-‘Imran: 51)

Walau Allah telah menganugerahi banyak mukjizat yang menunjukkan kenabian beliau, dan membenarkan kerasulan beliau, hanya sebagian saja yang menyambut dan menerima dakwah beliau. Mereka adalah al-hawariyyun yang menjadi pengikut dan penolong setia beliau.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللَّهِ ۖ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللَّهِ ۖ فَآمَنَت طَّائِفَةٌ مِّن بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَفَرَت طَّائِفَةٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah.” Maka (dengan begitu), segolongan dari Bani Israil beriman (al-hawariyyun) dan segolongan lain kafir.” (Ash-Shaff: 14)

Siapa yang disalib???

Sejak zaman Nabi Musa ‘alaihissalam, Bani Israil telah menunjukkan sikap-sikap melampaui batas. Mereka telah dikenal sebagai kaum yang sombong, berhati keras, pembangkang, suka berbohong dan ingkar janji, selalu mengingkari nikmat dan ayat-ayat Allah serta hobi mengakal-akali perintah dan larangan Allah. Karenanya, Allah selalu mengutus para Nabi kepada mereka untuk membimbing dan menuntun mereka ke jalan yang benar, serta menegakkan hukum Allah di tengah-tengah mereka.

Akan tetapi, ketika ada Nabi yang diutus kepada mereka, selalu saja mendapat ancaman kejahatan tangan-tangan mereka. Dan mereka tidak segan-segan membunuh para Nabi yang diutus kepada mereka. Di antara Nabi yang Allah utus kepada mereka adalah Isa ‘alaihissalam.

Tidak berbeda dengan nabi-nabi yang lain, Isa ‘alaihissalam juga mendapat perlakuan yang sama dari Bani Israil berupa pendustaan, pengingkaran, gangguan, dan permusuhan.

Tatkala Allah mengutusnya kepada mereka dengan bukti-bukti dan juga petunjuk, mulailah mereka iri dan dengki terhadap beliau karena kenabian dan mukjizat-mukjizat luar biasa yang Allah berikan kepada beliau. Karena dasar kedengkian itulah mereka mengingkari kenabian Isa ‘alaihissalam dan kemudian memusuhi serta menyakiti beliau.

Betapa besar permusuhan yang mereka sulutkan sehingga tidak membiarkan beliau ‘alaihissalam menetap di negeri bersama mereka. Bahkan beliau bersama ibunya selalu berkelana, berpindah-pindah tempat karena ulah orang-orang Yahudi tersebut.

Tidak sampai di sini. Karena kedengkian telah tertancap dan mendarahdaging, mereka berusaha membuat konspirasi untuk membunuh beliau dengan menghasut Raja Damaskus saat itu yang beragama penyembah bintang-bintang. Mereka membuat fitnah-fitnah serta tuduhan dusta tentang Nabi Isa ‘alaihissalam, sehingga Raja yang mendengar hal itu menjadi marah dan memerintahkan perwakilannya di al-Quds/Yerussalem untuk menyalibnya.

Setelah menerima perintah dari raja, wakil raja yang berada di al-Quds itu langsung berangkat bersama sekelompok Yahudi menuju rumah yang sedang ditempati oleh Nabi Isa ‘alaihissalam dan kemudian mengepungnya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Mereka telah merancang tipu muslihat, dan Allah juga membuat tipu muslihat (terhadap mereka). Sedangkan Allah adalah sebaik-baik perancang tipu muslihat.” (Ali ‘Imran: 54)

Dalam keadaan demikian, Nabi Isa ‘alaihissalam menanyakan kepada murid-muridnya tentang siapa yang bersedia diserupakan wajahnya seperti wajah beliau. Dan beliau menjanjikan surga bagi siapa yang bersedia. Maka, salah seorang pemuda di antara mereka ada yang merespon beliau dengan jawaban, “Saya bersedia”. Kemudian Allah serupakan wajahnya dengan wajah Nabi Isa ‘alaihissalam. Setelah itu, Nabi Isa tertidur dan diangkat Allah ke langit dari rumah tersebut dalam keadaan demikian. Tatkala para murid beliau keluar dari rumah itu, orang-orang Yahudi yang telah mengepung sejak sore menangkap dan menyalib lelaki tersebut.5 Setelah itu mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah membunuh Isa putra Maryam, yaitu utusan Allah” (An-Nisaa’: 157)

Namun, Allah membantah perkataan mereka ini pada ayat yang sama, “Dan mereka sama sekali tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya. Akan tetapi, (orang yang mereka salib itu) adalah yang diserupakan (wajahnya dengan Isa) untuk mereka.”

Dalam satu riwayat, disebutkan bahwa sebelum menangkap lelaki tersebut, mereka menghitung jumlah orang-orang yang keluar dari rumah itu karena mendengar bahwa Isa telah diangkat ke langit. Setelah dihitung, ternyata mereka mendapatkan ada satu orang yang kurang. Sehingga mereka ragu apakah yang mereka tangkap itu benar-benar Isa atau bukan?6

Inilah mengapa Allah sebutkan di akhir ayat, “Dan sungguh, orang-orang yang berselisih padanya (urusan pembunuhan Isa) benar-benar dalam keraguan. Mereka itu tidak memiliki ilmu yang pasti tentangnya. Dan mereka tidak membunuhnya dalam keadaan yakin (bahwa yang dibunuh itu benar-benar Isa).” (An-Nisaa’: 157)

Keberadaan Beliau Saat Ini

Para ulama telah sepakat tentang keberadaan beliau saat ini, yaitu di langit dalam keadaan masih hidup dan sama sekali belum mati. Dan hal ini telah disebutkan Allah dalam firman-Nya,

وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا بَل رَّفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

Mereka tidak membunuhnya dalam keadaan yakin. Akan tetapi (sebenarnya), Allah telah mengangkatnya (Isa) kepada-Nya. Dan Allah itu Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 157-158)

Pengangkatan Nabi Isa ‘alaihissalam terjadi ketika beliau dikepung oleh orang-orang Yahudi untuk ditangkap dan disalib, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Allah mengangkat beliau kepada-Nya, yaitu ke langit.

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَىٰ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا

(Ingatlah) ketika Allah berfirman, “Wahai Isa, sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku serta membersihkanmu dari orang-orang yang kafir tersebut.” (Ali-‘Imran: 55)

Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud wafat pada ayat ini adalah tidur. Maksudnya, Allah menjadikan beliau tertidur sebelum diangkat ke langit.7

Imam Ath-Thabari meriwayatkan dari al-Hasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang Yahudi, “Sesungguhnya Isa itu belum mati. Dan ia akan kembali kepada kalian sebelum hari kiamat nanti.”8

Dan sangat banyak hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa beliau saat ini masih hidup dan berada di langit.

Di antara hadis-hadis tersebut adalah kisah perjalanan mikraj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dalam kisah tersebut, beliau bertemu dengan Nabi Isa ‘alaihissalam di langit yang menyapa dan memberikan salam penghormatan kepada beliau.9

Turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam di Akhir Zaman

Turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam ke dunia pada akhir zaman nanti merupakan perkara yang pasti akan terjadi dan merupakan salah satu tanda-tanda besar dekatnya hari kiamat. Tidak ada satu orang pun dari ulama kaum muslimin yang mengingkari kejadian ini. Bahkan mereka menganggap perkara tersebut termasuk perkara yang wajib diyakini oleh setiap muslim.

Hal itu dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkannya dalam Alquran. Begitu pula dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah mengabarkan akan terjadinya kejadian itu.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا

Tidak ada seorang pun dari ahli kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa alaihissalam) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (An-Nisaa: 159)

Imam As-Saffarini menjelaskan bahwa mereka benar-benar akan beriman kepada Nabi Isa ‘alaihissalam sebelum wafatnya. Dan hal itu terjadi ketika beliau turun dari langit pada akhir zaman nanti, sehingga hanya akan ada satu agama, yaitu agama Ibrahim yang lurus.10

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya,

Demi Allah, sungguh hampir tiba saatnya putra Maryam itu turun di tengah-tengah kalian sebagai seorang hakim yang adil.11

Bagaimana Beliau Turun??

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam akan turun di dekat ‘menara putih’ yang berada di bagian timur Damaskus dengan mengenakan pakaian yang dicelupkan wars12 dan za’faran.13 Saat turun, beliau meletakkan kedua telapak tangannya di sayap dua malaikat. Ketika beliau menundukkan kepala, maka akan menetes. Dan ketika beliau mengangkatnya, maka akan bercucuran air yang sangat bening seperti mutiara. Tidak ada seorang kafir pun yang mencium aroma nafas beliau kecuali ia akan mati. Sedangkan nafas beliau itu menjangkau jarak yang sangat panjang, sejauh matanya memandang.14

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan bahwa ketika turun, Nabi Isa ‘alaihissalam akan disambut oleh Imam Mahdi beserta kaum muslimin, dan kemudian sholat bersama mereka.

Akan senantiasa ada segolongan dari umatku ini yang selalu berperang menampakkan kebenaran sampai hari kiamat tiba. Maka turunlah Isa alaihissalam, dan pemimpin mereka (Imam Mahdi) akan berkata (kepadanya), ‘Kemarilah anda dan sholatlah bersama kami (maksudnya jadilah imam dalam sholat kami-red).’ Kemudian ia menjawab, ‘Tidak, sungguh sebagian kalian adalah pemimpin bagi sebagian yang lain sebagai bentuk penghormatan Allah terhadap umat ini.’”15

Apa Yang Beliau Bawa Ketika Diturunkan dan Untuk Apa Beliau Turun??

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menetapkan suatu hal melainkan ia mempunyai misi tersendiri untuk itu. Dan Dia juga telah menetapkan misi khusus diturunkannya Nabi Isa ‘alaihissalam di akhir zaman nanti. Di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَيُوشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا مُقْسِطًا، فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ، وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ، وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ، وَيَفِيضَ الْمَالُ حَتَّى لَا يَقْبَلَهُ أَحَدٌ

Demi Allah, sungguh hampir tiba saatnya putra Maryam itu turun di tengah-tengah kalian sebagai seorang hakim yang adil. Maka ia akan memecahkan salib, membunuh babi, menghapus jizyah/upeti. Dan (saat itu) harta benda berhamburan sampai-sampai tidak ada seorang pun yang bersedia menerimanya (harta pemberian).” (HR. Bukhari no. 2222, Muslim no. 155)

Misi lain dari turunnya Isa ‘alaihissalam adalah untuk membunuh Dajjal. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يخرج الدجال في أمتي فيمكث أربعين –لا أدري أربعين يوما أو أربعين شهرا أو أربعين عاما– فيبعث الله عيسى بن مريم كأنه عروة بن مسعود فيطلبه فيهلكه

Dajjal akan keluar di tengah-tengah umatku dan akan menetap selama 40 –salah seorang perawi berkata, aku tidak tahu apakah itu 40 hari, 40 bulan, atau 40 tahun–. Maka Allah utus Isa putra Maryam. Kemudian beliau mencarinya dan akan berhasil membinasakannya.”16

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah beliau turun bukan sebagai Nabi yang membawa syariat baru setelah syariat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, sebagai imam kaum muslimin atau hakim yang adil sebagaimana yang disebutkan dalam hadis di atas.

Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam beribadah dengan syariat Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik dalam perkara-perkara pokok maupun cabang. Bukan dengan syariat beliau yang dahulu. Sebab, syariat tersebut telah dihapus.

Dengan demikian, beliau turun ke bumi sebagai khalifah bagi Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wasallam, sekaligus sebagai hakim bagi umatnya.17

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan Isa itu masih hidup di langit dan sama sekali belum mati. Dan ketika turun nanti, ia tidak akan menerapkan hukum kecuali dengan hukum kitab dan sunah, bukan dengan yang menyelisihi itu.”18

Inilah sedikit tentang hal-hal yang wajib kita yakini seputar Nabi Isa ‘alaihissalam. Semoga Allah menjadikan tulisan ini bermanfaat bagi setiap orang yang ingin mengambil manfaat darinya.

Wallaahu a’lam.

Catatan Kaki

1 HR. Bukhori dalam al-adabul mufrod no. 33, dan juga Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya no. 3572.

2 Lihat tafsir ibnu katsir surah Ali-‘Imran ayat 46.

3 Lihat fathul majid 42-43.

4 Tafsir ibnu katsir 1/190.

5 Lihat tafsir ibnu katsir 1/293-294.

6 Tafsir ath-thobari 9/371, maktabah syamilah.

7 Lihat tafsir ibnu katsir pada ayat ini.

8 Lihat tafsir ath-thobari pada ayat 55 surah Ali ‘Imran.

9 Bukhori (349), Muslim (259)

10 Al-irsyad ilaa shohihil-i’tiqood 1/215.

11 HR. Bukhori no. 2222, Muslim no. 155

12 Wars adalah salah satu jenis tumbuhan yang tumbuh di daerah Arab, Habasyah, dan juga India. Buahnya dilapisi oleh kelenjar merah seperti ada bulu-bulu halus diatasnya. Ini biasa digunakan untuk mewarnai pakaian (lihat almu’jamul-waasith).

13 Za’faran adalah salah satu jenis wewangian.

14 Lihat hadits riwayat Muslim (2937).

15 HR. Muslim no. 156

16 HR. Muslim no. 2940

17 Lihat kitab al-irsyad ilaa shohihil-i’tiqood 1/196, maktabah syamilah.

18Al-irsyad ilaa shohihil-i’tiqood 1/215, maktabah syamilah.

Referensi
  1. Jami’ul bayan fi tafsiril qur’an, karya Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari, maktabah syamilah.
  2. Tafsir ibnu abi hatim, maktabah syamilah.
  3. Tafsirul qur’anil ‘adzhim, karya Imam Ibnu Katsir, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Kairo.
  4. Al-musnadus shohih, karya Imam Bukhori, cetakan al-maktabah al-islamiyyah, Kairo.
  5. Ash-shohih, karya Imam Muslim, cetakan al-maktabah al-islamiyyah, Kairo.
  6. Fathul majid, karya syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan, cetakan daarul ‘aqidah, Kairo.
  7. Al-irsyad ila shahihil i’tiqod, karya syaikh Sholih Al Fauzan, maktabah syamilah.
  8. Al-mu’jamul wasiith, karya Syaikh Ibrahim Musthofa dkk, maktabah syamilah.

Penulis: Muhammad Nurul Fahmi

Murajaah: Ust. Suhuf Subhan, M.Pd.I

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/19334-nabi-isa-alaihissalam-dalam-aqidah-umat-islam.html