Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, Malik (ملك) berarti penguasa atau raja, pemerintah tertinggi atau sultan. Sedangkan jika mimnya dipanjangkan menjadi Maalik (مالك) artinya adalah yang memiliki.
“Dipanjangkan membaca mim ataupun dibaca tidak dipanjangkan, pada kedua bacaan itu terkandung kedua pengertian: Allah itu memang Raja dan Penguasa yang mutlak atas diri manusia. Allah Mahakuasa mentakdirkan dan mentadbirkan sehingga mau tidak mau, kita manusia mesti menurut peraturan yang telah ditentukanNya yang disebut sunnatullah,” kata Buya Hamka.
Kata ilah (إله) berasal dari kata aliha – ya’lahu (أله – يأله) yang berarti menuju dan bermohon. Disebut ilah karena seluruh makhluk menuju serta bermohon kepadaNya dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pendapat lain mengatakan kata tersebut awalnya berarti menyembah atau mengabdi sehingga ilah adalah Dzat yang disembah dan kepadaNya tertuju segala pengabdian.
Sayyid Qutb menjelaskan, al ilah adalah Tuhan yang Mahatinggi, Yang mengungguli, Yang mengurusi, Yang berkuasa. Sifat-sifat ini mengandung perlindungan dari kejahatan yang masuk ke dalam dada, sedang yang bersangkutan tidak mengetahui bagaimana cara menolaknya karena ia tersembunyi.
Ketiga ayat yang pertama merupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu sifat rububiyah, sifat mulkiyah dan sifat uluhiyah. Dia adalah Tuhan segala sesuatu, Yang memilikinya dan Yang disembah oleh semuanya. Maka segala sesuatu adalah Makhluk yang diciptakanNya dan milikNya serta menjadi hambaNya.
Orang yang memohon perlindungan diperintahkan agar dalam permohonannya menyebutkan sifat-sifat tersebut agar dihindarkan dari godaan yang tersembunyi, yaitu setan yang selalu mendampingi manusia. Karena tidak seorang manusia pun melainkan memiliki qarin (pendamping) dari kalangan setan yang menghiasi fahisyah hingga kelihatan bagus olehnya. Setan juga tidak segan-segan mencurahkan segala kemampuannya untuk menyesatkan melalui bisikan dan godaannya. Yang terhindari dari bisikannya hanyalah orang yang dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah bersabda, “Tidak seorang pun dari kalian melainkan telah ditugaskan terhadapnya qarin yang mendampinginya.” Sahabat bertanya, “Termasuk engkau juga ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya. Hanya saja Allah membantuku dalam menghadapinya akhirnya ia masuk Islam. Maka ia tidak menyuruh kecuali hanya kebaikan.”
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan dalam Tafsir Al Munir, “Karena sifat kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, Allah mengajari kita tentang tata cara untuk berlindung dari setan manusia dan jin. Dia memberitahu kita tentang tiga sifatNya; rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah. Dengan sifat-sifatNya tersebut, Allah akan menjaga hamba yang meminta perlindungan dari kejahatan setan-setan dalam agama, dunia dan akhirat.”
Surat An Nas ayat 4
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi
Kata syar (شر) pada mulanya berarti buruk atau mudharat. Lawan dari khair (خير) yang berarti baik. Ibnu Qayyim Al Jauziyah menjelaskan, syar mencakup dua hal yaitu sakit (pedih) dan yang mengantar kepada sakit (pedih). Penyakit, kebakaran, tenggelam adalah sakit. Sedangkan kekufuran, maksiat dan sebagainya mengantar kepada sakit atau kepedihan siksa Ilahi.
Kata al waswas (الوسواس) awalnya berarti suara yang sangat halus. Makna ini kemudian berkembang menjadi bisikan-bisikan, biasanya adalah bisikan negatif. Karenanya sebagian ulama memahami kata ini dalam arti setan. Karena setan sering membisikkan rayuan dan jebakan dalam hati manusia.
Sedangkan kata al khannas (الخناس) berasal dari kata khanasa (خنس) yang artinya kembali, mundur, bersembunyi. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna sering kali atau banyak sekali. Dengan demikian ia bermakna, setan sering kali kembali menggoda manusia pada saat ia lengah dan melupakan Allah. Sebaliknya, setan sering kali mundur dan bersembunyi saat manusia berdzikir dan mengingat Allah.
Saat menafsirkan Surat An Nas ayat 4 ini, Ibnu Abbas menjelaskan, “Setan bercokol dalam di atas hati anak Adam. Apabila ia lupa dan lalai kepada Allah, setan menggodanya. Apabila ia ingat kepada Allah, maka setan bersembunyi.”
Surat An Nas ayat 5
الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia
Kata Shudur (صدور) artinya adalah dada, yang dimaksudkan adalah tempat hati manusia. Maka ketika menjelaskan ayat ini, Syaikh Wahbah menjelaskan: “Yang menebarkan pikiran-pikiran buruk dan jahat di dalam hati. Dalam ayat tersebut disebutkan kata ash shudur karena dada adalah tempat hati. Pikiran-pikiran itu tempatnya di hati, sebagaimana dikenal dalam dialektika orang-orang Arab.”
Apakah ayat ini menyangkut bani Adam saja sebagaimana lahiriah ayat atau termasuk jin juga? Ibnu Katsir mengutip pendapat bahwa jin pun termasuk dalam pengertian an nas ini.
Surat An Nas ayat 6
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
dari (golongan) jin dan manusia
Kata min (من) dalam ayat ini bermakna sebagian. Karena memang sebagian manusia dan jin melakukan bisikan-bisikan negatif, tidak semuanya. Allah mengabadikan ucapan jin dalam Surat Al Jinn ayat 11:
“Dan sesungguhnya di antara kami ada yang shalih-shalih dan ada juga di antara kami yang tidak demikian halnya. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (QS. Al Jin: 11)
Ada pula yang berpendapat min di ayat ini berfungsi menjelaskan sehingga artinya adalah yaitu.
Kata al jinnah (الجنة) adalah bentuk jamak dari jinny (الجني) yang ditandai dengan ta’ marbuthah untuk menunjukkan bentuk jamak muannats. Kata jinn berasal dari akar kata janana (جنن) yang berarti tertutup atau tidak terlihat. Anak yang masih dalam kandungan disebut janin karena ia tidak terlihat. Surga dan hutan yang lebat disebut jannah karena mata tidak dapat menembusnya. Dinamai jin karena ia makhluk halus yang tidak terlihat.
Seluruh makhluk yang menggoda dan mengajak kepada kemaksiatan disebut setan, baik dari jenis jin maupun manusia. Setan jin tersembunyi tapi setan manusia tampak.
Abu Dzar Al Ghifari pernah ditanya seseorang, “apakah ada setan manusia?” Ia pun menjawab ada lalu membaca firmanNya:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
“Dan demikian itu, Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah-indah untuk memperdaya.” (QS. Al An’am: 112)
Ibnu Katsir menjelaskan, Surat An Nas ayat 6 merupakan tafsir dari Surat An Nas ayat 5. Sebagaimana pengertian setan dalam Surat Al An’am ayat 112 tersebut.
Sayyid Qutb menjelaskan, bisikan jin tidak dapat diketahui bagaimana terjadinya. Namun dapat dijumpai bekas-bekas pengaruhnya dalam realitas jiwa dan kehidupan.
“Adapun mengenai manusia, kita mengetahui banyak tentang bisikan mereka,” lanjutnya dalam Tafsir Fi Zilalil Quran. “Kita mengetahui pula bahwa di antara bisikannya itu ada yang lebih berat daripada bisikan setan jin.”
Beliau kemudian mencontohkan teman yang membisikkan kejahatan kepada temannya. Ajudan atau penasehat yang membisikkan kepada penguasa. Provokator yang memprovokasi dengan kata-katanya. Penjaja syahwat yang menghembuskan bisikan melalui insting. Dan bermacam pembisik lain yang menggodan dan menjerumuskan sesama manusia.
Penutup
Maka untuk menangkal bisikan-bisikan setan itu, baik dari golongan jin maupun manusia, kita harus memohon perlindungan kepada Allah. Surat An Nas ini mengajarkan demikian. Membaca Surat An Nas adalah bagian dari upaya perlindungan diri dari semua bisikan itu. Namun tidak hanya membacanya.
“Dan sesungguhnya engkau berlindung kepada Allah dari perdayaan setan itu ialah dengan meninggalkan apa yang disukai setan. Bukan semata-mata hanya berlindung diucapkan mulut,” tegas Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar.
Demikian Surat An Nas mulai dari terjemah, asbabun nuzul hingga tafsir. Yakni disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir dan Tafsir Al Misbah. Wallahu a’lam bish shawab.
[Muchlisin BK/BersamaDakwah]