BETAPA utama zikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala di saat orang-orang lupa dengan menghidupkan zikir, tasbih, dan shalat. Sebagian sahabat menyenangi menghidupkan waktu antara Maghrib dan Isya dengan shalat dan zikir. Mereka menyebutnya sebagai sa’ah al-ghaflah (waktu lupa).
Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu berkata, “Sebaik-baik waktu ghaflah adalah shalat pada waktu antara Isya dan Maghrib.” (Baihaqi). Disebutkan juga bahwa berdoa pada waktu ini (antara Maghrib dan Isya) tidak akan ditolak, artinya diijabah. Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa melaksanakan shalat setelah Maghrib enam rakaat, ia tidak bicara kejelekan pada waktu itu, maka baginya pahala ibadah sebanding dua belas tahun.” (H.R. Ibnu Majah Ibnu Huzaimah dan Tirmizi).
Dalam hadist riwayat Aisyah dijelaskan bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa melakukan shalat dua puluh rakaat setelah Maghrib, maka Allah akan membangun baginya satu rumah di surga.” ( H.R. Ibnu Majah dan Tirmizi). Huzhaifah radiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendatangi Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam, lalu aku shalat Maghrib bersama Nabi hingga shalat Isya.” (H.R. Nasa’i).
Abu Syaikh meriwayatkan hadis dari Zubair radiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa duduk berzikir setelah shalat Maghrib hingga shalat Isya, nilai duduknya itu sama dengan perang di jalan Allah. Dan barangsiapa duduk berzikir setelah shalat Subuh hingga matahari terbit, nilainya sama dengan pergi be juang di jalan Allah.”
Sayyidina Umar berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dari sesuatu yang dapat menjaga iman seseorang.” Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menghendaki Allah menjaga imannya hingga hari kiamat, hendaklah shalat dua rakaat setelah shalat Maghrib sebelum bicara apa pun. Pada setiap rakaat, ia membaca Al-Fatihah satu kali, surat Al-Ikhlas enam kali, Al-Falaq satu kali, An-Nas satu kali. Kemudian ia salam setelah dua rakaat. Sungguh Allah akan menjaga imannya hingga hari kiamat.”
Ka’bu Al-Akhbar radiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Allah merasa bangga kepada malaikat dengan orang yang melakukan shalat setelah Maghrib dan Isya.”
Dari Ibnu Syakhin dan Al-Khatib, dari Tsauban radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengitikafkan dirinya antara Maghrib dan Isya di masjid dengan berjamaah, dan tidak bicara apa-apa kecuali shalat dan membaca A1-Qur’an, maka adalah hak Allah membangunkan baginya sebuah rumah di surga.”
Manusia generasi salaf radiyaallahu ‘anhum biasa melakukan shalat di antara Maghrib dan Isya, sebab saat itu merupakan saat lupa dan sibuk dengan urusan dunia. Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menghidupkan waktu antara Zuhur dan Ashar, maka Allah akan menghidupkan hatinya pada hari ketika seluruh hati mati.”
Ibnu Umar sendiri mengaku bahwa ia biasa menghidupkan waktu antara Zuhur dan Ashar. Menurut Ibrahim Al-Nakha’i, para sahabat menyamakan nilai shalat antara Maghrib dan Isya dengan shalat antara Zuhur dan Asar.
Yang diceritakan di atas adalah kebiasaan kebanyakan ahli ibadah ketika mereka meng-qadha shalat malam yang tertinggal dengan melakukan shalat di antara Maghrib dan Isya. Mereka mengisolasi diri dari makhluk dan memutuskan waktu hanya untuk Allah. Inilah waktu yang amat baik dan mulia untuk berkhalwat dengan Tuhannya.
Disunatkan melakukan itikaf di masjid antara Zuhur dan Ashar untuk melaksanakan shalat dan zikir. Hendaklah seseorang menyatukan antara itikaf dan menunggu waktu shalat, kecuali kalau ia pada waktu itu biasa tidur (istirahat) siang; tidurlah pada waktu itu agar ia mendapat kekuatan untuk melakukan shalat malam.
Adapun kegiatan setelah shalat Ashar sampai tiba shalat Maghrib adalah zikir, istigfar, tafakur tentang alam malakut, membaca Al-Qur’an, sebab pada waktu itu shalat sunat dilarang. Mari kita simak riwayat berikut:
Hasan meriwayatkan bahwa Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan berdasarkan apa yang beliau dengar dari Tuhannya Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’alatelah berfirman, “Wahai anak Adam, zikirlah kamu kepada-Ku setelah shalat Subuh, meskipun hanya sesaat, dan setelah shalat Ashar, meskipun sesaat. Aku mencukupkan untukmu waktu selain di antara keduanya.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: “Bertasbihlah kamu dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari. Dan dan sebagian malam, bertasbihlah kamu; demikian juga di ujung siang. Mudah-mudahan kamu mendapat keridhaan-Nya.” (Thaha: 130).
Adapun shalat malam dilakukan pada saat semua manusia lupa kepada Tuhan, kecuali orang yang dipilih Allah untuk bermunajat dan ber-taqarrub kepada-Nya. Oleh karena itu, pada setiap zaman hanya sedikit orang yang diberi karunia oleh Allah untuk dapat melaksanakan zikir kepada-Nya.
Diriwayatkan dari Asma binti Yazid radiyallahu ‘Anha bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Pada hari kiamat manusia dikumpulkan dalam satu pelataran. Terdengarlah suara yang memanggil: ‘Di manakah orang-orang yang menjauhkan badannya dari tempat tidur’. Maka berdirilah mereka. Mereka ternyata hanya sedikit. Lalu mereka dimasukkan ke surga tanpa dihisab. Setelah itu, manusia yang lainnya diperintahkan untuk dihisab.” (H.R. Baihaqi).
Simak juga riwayat berikut:
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.; ia mengatakan bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Umat-umatku yang mulia adalah para pembaca Al-Qur’an dan orang-orang yang mendawamkan shalat malam (shalat Tahajud).” (H.R. Ibnu Abi Dunya dan Baihaqi).
Karena begitu pentingnya shalat malam tetapi begitu beratnya terhadap diri, terutama jika dilakukan tengah malam, maka pahalanya besar sekali bagi siapa saja yang dapat melakukannya dengan mengharap pahala dari Allah.
Anas radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Shalat di masjidku ini sebanding dengan sepuluh ribu kali shalat di masjid yang lain, sedangkan shalat di Masjidil Haram sebanding dengan seratus ribu kali shalat di masjid yang lain. Adapun shalat di tanah ribat (tempat yang dipakai para mujahidin di jalan Allah) sebanding dengan seribu kali shalat di masjid yang lain. Tetapi lebih banyak dari pahala tersebut adalah dua rakaat yang dilakukan oleh seseorang pada waktu tengah rnalam, yang tidak ia laksanakan kecuali mengharap pahala dari Allah.” (H.R. Abu Syaikh dan Ibnu Hibban dalam kitab Al-Tsawab).
Adapun menekuni shalat Dhuha merupakan amal yang amat dituntut dan paling utama, sebab shalat Dhuha juga dilaksanakan pada saat manusia lupa kepada Tuhan. Jika mampu melaksanakannya, kita dapat menambah-nambah kebaikan dan berkah. Jika tidak bisa, tidaklah apa-apa. Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Dalam riwayat berikut disebutkan:
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Kekasihku Shalallaahu ‘Alaihi Wasallamtelah berwasiat kepadaku dengan tiga perkara; aku tidak boleh meninggalkannya: Pertama, aku tidak boleh tidur kecuali di atas bilangan ganjil. Kedua, aku tidak boleh meninggalkan dua rakaat Dhuha, sebab shalat ini adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada Tuhan. Ketiga, aku harus selalu melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan.” (H.R. Bukhari Muslim).
Abu Darda radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa melaksanakan dua rakaat shalat Dhuha, ia tidak akan ditulis dari sebagian orang-orang yang lupa. Barangsiapa melaksanakan empat rakaat Dhuha, ia akan dituliskan sebagai bagian dari orang-orang yang beribadah (ahli ibadah). Barangsiapa melakukan shalat Dhuha dengan enam rakaat, maka dipenuhi keperluan hidupnya hari itu juga. Dan barangsiapa yang melakukannya dengan delapan rakaat, Allah akan mencatatkannya sebagai bagian dari orang-orang yang taat.”
Tidaklah berlalu suatu hari atau malam, kecuali bagi Allah, ada suatu anugerah dan sedekah (pemberian), yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Tidak ada anugerah yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang lebih utama daripada “ilham” untuk dapat berzikir kepada-Nya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa amal yang paling utama dan paling dicintai oleh Allah adalah seseorang yang bermeditasi dengan Tuhannya sambil meninggalkan tempat-tempat yang tiada berguna dan dapat membawa kelalaian kepada Allah, lalu ia mensucikan Allah, memuji-Nya, dan mengagungkan-Nya.*Dr. Usman Sa’id Sarqawi, dari bukunya Zikir Itu Nikmat.
HIDAYATULLAH