Saudaraku, Jaga Lisan dan Tanganmu

DARI Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya,. (HR Bukhari dan Muslim)

Seorang muslim hendaknya menegakkan hak Allah dengan benar, dan menunaikan hak sesama dengan benar pula. Dan menjadi kewajibannya adalah bergaul dengan orang lain tanpa menyakiti mereka, baik dengan lisannya maupun tangannya.

Seorang muslim adalah orang yang selamat dan menyelamatkan (aslam). Yakni selamat dari berbuat dzalim dan menyelamatkan orang lain dari perbuatan dzalimnya.

Perbuatan dzalim dapat melingkupi perbuatan, persangkaan, dan perkataan. Jangankan perbuatan, perkataan seseorang pun dapat mendatangkan mudharat atau melukai hati orang lain. Dan seorang muslim adalah orang yang orang lain dapat selamat dari lisan dan tangannya.

Di antara keburukan lisan manusia adalah tajassus (mencari-cari kesalahan oranglain), ghibah (menggunjing keburukan orang lain), berdusta dan menyebarkan kedustaan (termasuk hoax), mencela dan mengumpat orang lain.

Mencela dan mengumpat termasuk dengan menyebut orang lain dengan sebutan atau gelar buruk. Juga apa yang dilakukan sebagian orang di dunia maya dengan menuliskan atau menyebut orang lain dengan (akronim) umpatan anjg, bgsd, dan yang semisalnya.

Di antara kedzaliman yang dilakukan oleh tangan dan dapat menyebabkan tetangga atau orang lain terdzalimi adalah membuang sampah sembarangan. Membuang sampah sembarangan mengakibatkan pemandangan yang tidak rapi dan aroma yang tidak sedap. Tentu itu menyakitkan tetangga kita.

Pilar akhlak yang baik adalah menempatkan dan menggunakan lisan dan perbuatannya dengan benar. Sedangkan akhlak yang baik akan mengantarkan pelakunya kepada surga. Karena berakhlak baik adalah perintah Allah dan Rasul-Nya.

Allahu A’lam. [*]

 

INILAH MOZAIK

3 Rangkaian Dosa: Buruk Sangka, Tajassus dan Ghibah

Allah Ta’ala mengingatkan kita tentang adanya tiga rangkaian dosa yang bisa jadi kita terjatuh di dalamnya tanpa sadar. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 12)

Renungkanlah ayat ini, ketika Allah Ta’ala menyebutkan tiga rangkaian dosa, yaitu su’udzan (buruk sangka tanpa dasar), tajassus (berusaha mencari-cari keburukan orang lain) dan ghibah (menggunjingkan orang lain).

 

Orang yang memiliki sifat suka berburuk sangka kepada orang lain tanpa dasar, maka dia akan berusaha mencari-cari kesalahan dan keburukan saudaranya tersebut untuk mengecek dan membuktikan prasangkanya. Inilah yang disebut dengan tajassus. Sedangkan tajassus itu sendiri adalah pintu awal menuju dosa berikutnya, yaitu ghibah. Karena orang tersebut berusaha untuk menampakkan aib dan keburukan saudaranya yang berhasil dia cari-cari, meskipun dia berhasil mendapatkannya dengan susah payah.

Al-Qasimi rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Ketika buah dari su’udzan adalah tajassus, hati seseorang tidak akan merasa puas dengan hanya ber-su’udzan saja. Maka dia akan mencari-cari bukti (aib saudaranya tersebut) dan akan sibuk dengan tajassus. Allah Ta’ala menyebutkan larangan tajassus setelah su’udzan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Dan janganlah mencari-cari keburukan orang.’” (Mahaasin At-Ta’wiil, 9: 3690)

Sekali lagi, renungkanlah, ketika su’udzan tersebut diiringi dengan dua dosa besar lainnya, yaitu tajassus dan ghibah. Karena ketika seseorang sudah berburuk sangka kepada saudaranya, dia akan melakukan tajassus, yaitu dia mencari-cari bukti aib dan keburukan saudaranya tersebut untuk membuktikan prasangkanya. Dan jika dia sudah menemukannya, dia akan bersemangat untuk melakukan ghibah, alias menyebarkan keburukan saudaranya tersebut. Inilah urutan yang disebutkan dalam ayat di atas.

 

Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala berkata,

فإن بقاء ظن السوء بالقلب، لا يقتصر صاحبه على مجرد ذلك، بل لا يزال به، حتى يقول ما لا ينبغي، ويفعل ما لا ينبغي

“Sesungguhnya adanya su’udzan buruk sangka dalam hati tidak akan menyebabkan pelakunya tersebut akan berhenti di situ saja. Akan tetapi, buruk sangka tersebut akan terus-menerus ada sampai pelakunya tersebutberkata dan berbuat yang tidak sepatutnya.” (Taisiir Karimirrahman, hal. 801)

Maksud “berbuat yang tidak sepatutnya” adalah dengan melakukan tajassus, sedangkan maksud “berkata yang tidak sepatutnya” adalah dengan melakukan ghibah. Maka hal ini menjelaskan rahasia kerasnya syariat dalam melarang salah satu akhlak yang buruk ini, yaitu su’udzan (buruk sangka) kepada saudara sesama muslim.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44672-tiga-rangkaian-dosa-buruk-sangka-tajassus-dan-ghibah.html

Jangan Sembarang Share Berita dan Wacana yang Membuat Resah

Diantara adab Islam yang sudah mulai luntur di zaman media sosial ini adalah sikap al hilm dan al ‘anahAl hilm adalah bersikap tenang adapun al anah adalah bersikap hati-hati dalam bertindak. Termasuk dalam masalah menyebarkan dan menyampaikan berita. Hendaknya seorang Muslim tenang dan bersikap tenang dan hati-hati dalam menyebarkan dan menyampaikan berita. Karena andaikan berita itu benar pun, tidak boleh sembarang menyampaikan dan menyebarkan berita yang menyebabkan keresahan di tengah masyarakat. Ini perkara yang dilarang dalam syariat. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)” (QS. An Nisa: 83).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan: “Ini adalah bimbingan Allah kepada para hambanya agar tidak melakukan hal yang tidak layak. Yaitu bahwasanya jika datang suatu perkara yang terkait dengan suatu hal yang urgen dan merupakan urusan banyak orang, atau yang terkait dengan keamanan atau kebahagiaan kaum Mu’minin, atau bisa menimbulkan ketakutan karena di dalamnya terdapat musibah bagi kaum Mu’minin, hendaknya mereka timbang dengan matang terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa dalam menyebarkan khabar tersebut. Bahkan yang benar adalah mengembalikannya kepada Rasulullah dan kepada ulil amri di antara mereka, yaitu para ulama. Yang mereka memahami duduk permasalahan dan memahami apa yang maslahah dan apa yang mafsadah. Jika mereka memandang bahwa menyebarkannya itu baik dan bisa memotivasi kaum Mu’minin dan membuat mereka bahagia, membuat mereka kuat menghadapi musuh, maka silakan dilakukan. Jika para ulama memandang bahwa perkara tersebut tidak ada maslahahnya atau ada maslahah namun lebih besar mudharatnya, maka jangan disebarkan” (Tafsir As Sa’di, 1/190).

Sebagian ulama mengatakan, bahwa perbuatan seperti ini adalah tabiat orang-orang munafik. Disebutkan dalam Tafsir Al Qurthubi,

قَالَ الضَّحَّاكُ وَابْنُ زَيْدٍ: هو فِي الْمُنَافِقِينَ فَنُهُوا عَنْ ذَلِكَ لِمَا يَلْحَقُهُمْ مِنَ الْكَذِبِ فِي الْإِرْجَافِ

“Adh Dhahhak dan Ibnu Zaid mengatakan: ayat ini tentang orang munafik. Mereka dilarang melakukan hal tersebut karena mereka biasa berdusta dalam menyebarkan kabar tentang ketakutan dan bahaya” (Tafsir Al Qurthubi, 5/297).

Orang munafik adalah orang yang menampakkan Islam namun dalam hatinya menyimpan kebencian dan permusuhan kepada Islam. Mengapa perbuatan ini disebut sebagai tabiat orang munafik? Karena orang munafik itu senang jika kaum Mu’minin sedih, resah dan takut, dan mereka sedih jika kaum Mu’minin senang. Allah Ta’ala berfirman:

إِنْ تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكَ مُصِيبَةٌ يَقُولُوا قَدْ أَخَذْنَا أَمْرَنَا مِنْ قَبْلُ وَيَتَوَلَّوْا وَهُمْ فَرِحُونَ

“Jika kamu mendapat sesuatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata: “Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi berperang)” dan mereka berpaling dengan rasa gembira” (QS. At Taubah: 50).

 

Bersikaplah Tenang Dan Hati-Hati

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang Al Asyaj ‘Abdul Qais:

إن فيكَ خصلتينِ يحبهُما اللهُ : الحلمُ والأناةُ

“sesungguhnya pada dirimu ada 2 hal yang dicintai Allah: sifat al hilm dan al aanah” (HR. Muslim no. 17).

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

التَّأنِّي من اللهِ و العجَلَةُ من الشيطانِ

“berhati-hati itu dari Allah, tergesa-gesa itu dari setan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra [20270], dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1795).

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

السَّمْتُ الحَسَنُ والتُّؤَدَةُ والاقتصادُ جزءٌ من أربعةٍ وعشرينَ جُزءًا من النبوةِ

“Sikap yang baik, berhati-hati dalam bersikap, dan sederhana adalah bagian dari 24 sifat kenabian” (HR. At Tirmidzi no. 2010, ia berkata: “hadits hasan gharib”, dihasan Al Albani dalam Sunan At Tirmidzi).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

“Al Hilm adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya ketika marah. Ketika ia marah dan ia mampu memberikan hukuman, ia bersikap hilm dan tidak jadi memberikan hukuman.

 

Al Aanah adalah berhati-hati dalam bertindak dan tidak tergesa-gesa, serta tidak mengambil kesimpulan dari sekedar yang nampak sekilas saja, lalu serta-merta menghukuminya, padahal yang benar hendaknya ia berhati-hati dan menelitinya.

Adapun Ar Rifq, adalah bermuamalah dengan orang lain dengan lembut dan berusaha memberi kemudahan. Bahkan ketika orang tersebut layak mendapatkan hukuman, tetap disikapi lembut dan diberi kemudahan” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/573).

Maka bertaqwalah kepada Allah, jangan sembarang melontarkan suatu perkara ke tengah kaum Mu’minin yang membuat mereka resah, takut dan sedih. Jangan tiru perbuatan kaum munafik. Bersikap tenang dan penuh kehatian-hatian dalam menyebarkan berita. Konsultasikanlah dengan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang paham duduk permasalahannya. Minta pendapat mereka mengenai bagaimana sikap dan solusi yang benar.

Semoga Allah memberi taufik.

 

Penulis: Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44200-jangan-sembarang-share-berita-dan-wacana-yang-membuat-resah.html

Kenali 10 Pemicu Ghibah yang Perlu Anda Waspadai

Mengapa dorongan ingin menggunjing dan membicarakan keburukan sesama muncul dalam kehidupan sehari-hari secara kolegial? Seringkali bahkan dilakukan secara sengaja.

Jawaban atas pertanyaan ‘mengapa’ inilah yang hendak diungkap Imam Zainuddin al-Juba’i al-Amili as-Syami ( w 965 H) dalam karyanya yang cukup langka dan fenomenal berjudul Kasyf ar- Raibah ‘An Ahkam al-Ghibah. Ada sepuluh hal yang bisa memicu perbuatan menggunjing keburukan orang lain yaitu:

Pertama, Kemarahan dalam diri pelaku ghibah terhadap si obyek. Amarah terhadap seseorang mendorong pelaku membeberkan aib yang bersangkutan. Terlebih jika ruh keagamaan dan sikap //wara’//hilang dari mereka yang tengah dirundung amarah.

Jika amarah tersebut tak tersalurkan atau ternetralisir dengan permintaan maaf, atau jiwa besar mengikhlaskan, yang akan terjadi selanjutnya adalah, amarah itu mengendap dan semakin mengeras dalam batinnya.

Amarah itu menjelma menjadi dendam kesumat, selamanya akan mengingat dan menyebutkan keburukan si fulan. Berhati-hatilah, kata al-Juba’I, amarah dan dendam pemicu dominan ghibah.

Kedua, solidaritas yang salah tempat. Berkumpul dalam perkumpulan, yang mungkin, tujuan awalnya baik, ternyata di tengah-tengah perbincangan tersebut, pelaku ghibah mengawali melontarkan isu, gosip, dan kabar burung tentang seseorang, lalu mengajak kita, benar-benar ikut dalam pusaran ghibah.

Kerap kali, dalam kondisi demikian, kita menyadari larangan berghibah, akan tetapi karena menjaga perasaan dan solidaritas salah tempat tadi, akhirnya, kita turut menjerumuskan diri, bersama-sama si pelaku berghibah.

Ketiga, mendegradasi kredibilitas si obyek ghibah. Ini bisa jadi muncul karena misal faktor persaingan tak sehat, atau untuk tujuan mereduksi kredibilitas seseorang dalam hal persaksian. Pelaku dalam kondisi semacam ini, melakukan ‘serangan’ lebih awal untuk menjatuhkan ‘lawannya’ itu di depan publik.

Keempat, cuci tangan atas perbuatan yang sama-sama pernah dilakukan dengan si obyek ghibah.

Ia ingin mencitrakan seolah-olah bersih dan sepenuhnya tak terlibat, padahal fakta tidak demikian. Pelaku ghibah akan menguak aib yang sebenarnya, ia juga melakukannya. Ia berbohong untuk dirinya sendiri, namun ia jujur menguliti keburukan orang lain.K

Kelima, keinginan mengangkat status pelaku dan menjatuhkan martabat si obyek dengan merendahkan dan atau menyebarkan kekurangan intelektualitasnya misal, kepada orang lain.

Seperti tudingan bahwa si fulan itu bodoh, tak pandai bicara, dan minim wawasan. Tujuannya hanya satu, meninggikan derajat dan nilai si pelaku di mata orang.

Keenam, dengki. Ia tak ingin saudaranya mendapat nikmat. Jika publik memuji ‘lawannya’, kedengkian si pelaku, akan membakar hatinya dan menggerakkannya melakukan ghibah.

Bagaimana agar publik berhenti memuji ‘saingannya’ itu. Caranya sangat tak santun dan tak beretika. Ia akan membuka aib orang tersebut di depan khalayak. Harapannya, rangkaian pujian demi pujian yang selama ini tertuju pada si obyek akan terhenti.

Ketujuh, kekurangan dan aib seseorang sebagai bahan candaan. Sadar atau tidak, candaan tak pantas kita terhadap si fulan di belakangnya, bermuatan ghibah, meski sekadar ingin mencairkan suasana, memancing gelak tawa. namun, ketahuilah hal itu sama sekali tak pantas.

Kedelapan, keinginan merendahkan dan menghina si fulan. Menurut al-Juba’i, sekalipun pembeberan keburukan itu dilakukan di hadapannya, dan ia mengetahui dan mendengar, itu pun, bisa dikategorikan sebagai ghibah, sebab ia tak menutupi aib, malah membuka dan menjadikannya bahan ejekan.

Kesembilan, menurut al-Juba’i, sangatlah tipis dan halus muatannya. Ini terkadang terjadi di kalangan orang-orang terdidik. Seperti perkataan demikian,”Kasihan si fulan saya ikut prihatin.”

Tak ada yang salah dengan kalimat ini, yang keliru ialah, biasanya kalimat ini disusul dengan membeberkan kekurangan-kekurangan si fulan yang melatarbelakangi mengapa si pelaku ghibah prihatin.

Kesepuluh, kemurkaan karena Allah SWT. Kok bisa? Ya, ini lagi-lagi kerap menghinggapi mereka yang terdidik dan kalangan khusus seperti ulama. Seseorang bisa saja marah, karena si fulan bermaksiat, melanggar larangan-larangan-Nya, namun, secara spontan kerap, ia justru membuka aib si fulan tersebut di hadapan orang lain.

KHAZANAH REPUBLIKA

Fitnah, Ghibah dan Namimah, Lahan Subur di Medsos

TIGA perilaku negatif dalam judul di atas adalah senjata ampuh untuk meruntuhkan kehormatan dan harga diri seseorang. Ada banyak tokoh yang tidak mempan dibunuh dengan senjata tajam namun bisa roboh dengan tiga senjata bermodalkan mulut itu.

Kalau pada masa dulu, dibutuhkan banyak tenaga dan waktu untuk memfitnah, mengghibah dan menamimah, saat ini hanya butuh beberapa menit dengan menarikan jemarinya di keyboard media sosialnya. Dengan segera, fitnah, ghibah dan namimah itu menyebar.

Dengan tiada sadar, ada banyak orang yang termakan oleh senjata-senjata itu dengan semakin menggemari isu-isu yang tidak jelas dan ikut men-viralkan seviral-viralnya. Samakah dosa sang menebar fitnah dan penyebarnya? Pertanyaan ini tak perlu dijawab karena hati nurani kita pasti sudah menjawabnya sendiri. Masalahnya bukan lagi masalah hukum, melainkan masalah manfaat dan madlaratnya. Umat Islam harus cerdas dalam konsiderasi masalah yang terakhir ini.

Saatnya kita kini berpikir tentang ummat sebagai keseluruhan, bukan sebagai pribadi saja. Kemaslahatan ummat harus benar-benar menjadi perhatian utama. Tanpa begini, maka kesatuan dan kemaslahatan ummat akan mudah tercabik dan terceraiberaikan. Berhati-hatilah menulis dan menyebarkan status atau berita. Tanyakan dulu apa ada muatan kemaslahatan di dalamnya ataukah justru kemadlaratan.

Bukan tidak mungkin bahwa kita sebenarnya tengah diadudomba, namun kita tidak pernah sadar. Ceklah kebenaran berita dan tabayyun lah sebelum dijadikan sebagai bahan berpikir dan berkeyakinan. Tidak semua hati tulus sebagaimana tidak semua lisan lurus. Tidak semua berita itu benar sebagaimana tidak semua cerita itu nyata.

Cerdas dan pintarlah dalam beragama dan bermasyarakat. Jangan mau diadodomba dan diceraiberaikan. Tolak fitnah, ghibah dan naminah, maka kita akan senantiasa kuat dalam persatuan.

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

 

INILAH MOZAIK

Dosa Lisan: Ghibah (Menggunjing)

DARI Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim, no. 2589)

Ghibah bisa dengan isyarat jari saja. Buktinya dari hadits Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, “Aku berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Cukup sudah engkau berkata tentang Shafiyyah seperti ini dan itu, ia itu wanita yang pendek (sambil berisyarat dengan jari).” Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda,

“Sungguh engkau telah mengatakan suatu perkataan yang andai saja tercampur dengan air laut, kalimat itu akan mengotorinya.” (HR. Abu Daud, no. 4875 dan Tirmidzi, no. 2502. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

 

INILAH MOZAIK

Hukum Berghibah dan Mendengarkan Ghibah

Membicarakan keadaan seseorang, termasuk aib seseorang, adalah perbuatan yang bisa mendatangkan dosa pada pengghibah itu sendiri. Apalagi jika yang dibicarakan ditambahkan atau dibumbui dengan cerita dia sendiri, hal itu bisa menimbulkan fitnah.

Penggagas gerakan Subuh Keliling (Suling) di Ketapang, Kalimantan Barat, Ustaz Uti Konsen mengatakan, bahwa fitnah itu adalah membicarakan keburuhan orang lain yang belum tentu kebenarannya. Ghibah dan fitnah bisa menimbulkan bahaya dan kesalahfahaman.

Ustaz Uti mengatakan, sanksi bagi pengghibah sangat berat. Salah satunya, pahala yang mengghibah pindah kepada orang yang dibicarakan dan dosa-dosa yang dibicarakan pindah kepada pengghibah tersebut.

“Coba kita bayangkan bagaimana rasanya memakan bangkai menjijikan sekali ya, apalagi itu bangkai saudara sendiri. Namun ada juga yang tidak sadar dengan perbuatannya itu. Bahkan mengghibah menjadi sebuah kebiasaan rutin yang tidak bisa dilepaskan,” kata Ustad Uti, melalui pesan WhatsApp, Selasa (2/1).

Dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa orang yang mengghibah diibaratkan memakan daging bangkai. “Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim). (H.R. Bukhari)

Dari Anas bin Malik ra, Rasulullah bersabda: Ketika saya dimirajkan, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga sedang mencakar wajah dan dada mereka. Saya bertanya: Siapakah mereka ini wahai Jibril? Jibril menjawab: Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan melecehkan kehormatan mereka, (HR Abu Daud 4878. Hadis shahih).

Lalu bagaimana hukumnya orang yang mendengarkan ghibah? Ustaz Uti mengatakan, orang yang mendengarkan ghibah mendapatkan dosa yang sama seperti pelakunya. Dengan demikian, orang yang mendengarkan ghibah tidak selamat dari dosa. Kecuali, jika ia mengingkari dengan lisannya atau dengan hatinya.

Jika bisa, Ustaz Uti mengatakan, sebaiknya dia meninggalkan majelis atau tempat yang tengah mengghibah tersebut. Jika tidak, ia bisa memutusnya dengan mengalihkan ke pembicaraan yang lain.

“Karena orang yang diam ketika mendengar ghibah, maka ia termasuk bergabung dengan pelakunya,” tambah Ustaz Uti.

Sehingga, kata Ustaz Uti, Ibnu Mubarak mengingatkan agar pergi meninggalkan ghibah. Pergilah dari orang yang menggunjing, sebagaimana engkau lari dari kejaran singa.

Ustaz Uti mengatakan, setiap orang memiliki cacat, kekeliruan, kesalahan dan aib masing-masing. Oleh karenanya, ia mengingatkan agar kita tidak merasa mengetahui apa yang tidak diketahui orang lain.

“Daripada mengurusi aib orang lain, mengapa kita tidak menyibukkan diri dengan aib sendiri? Jagalah hak dan kehormatan saudaramu!” ujarnya.

Dalam sebuah hadis dinyatakan:”Barangsiapa yang membela daging (kehormatan) saudaranya dari ghibah, maka menjadi hak Allah untuk membebaskannya dari api Neraka.”

“Barangsiapa yang berkata tentang seorang mukmin yang tidak ada padanya, (maka) Allah akan menempatkannya pada lumpur ahli Neraka, sampai dia keluar dari apa yang dia ucapkan.”

 

REPUBLIKA

Sukakah Anda Berbuat Namimah?

Orang yang senang mengadu domba (namimah) akan mendapatkan siksa kubur, bahkan dia disiksa di dalam neraka di akhirat kelak. Rasulullah SAW bersanda : “Tidak akan masuk surga orang yang senang mengadu domba” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Ibnu Abbas Ra, meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW melewati dua buah kuburan , lalu beiau bersabda , “Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang disiksa. Dan keduanya tidak disiksa kecuali  karena dosa besar, tetapi karena masalah besar. Salah satunya disiksa karena senang mengadu domba, sedangkan lainnya disiksa karena tidak bersuci dari kencingnya (Muttafaq alaih)

Namimah adalah memindahkan perkataan sebagian orang kepada sebagian lainnya dengan maksud mencelakakan dan mengadu domba di antara mereka. Adapun ghibah yaitu membicarakan orang lain dengan sesuatu yang tidak disukainya, sekalipun itu adalah benar. Banyak orang yang sering keliru dalam memahami makna dua kata ini; ghibah dan namimah. Dan perbedaannya ialah sebagaimana yang tadi dijelaskan.

Menjerumuskan manusia ke dalam jurang permusuhan adalah perbuatan dan pekerjaan syetan. Itulah makanya, hal ini dapat menyebabkan orang yang melakukannya disiksa dalam kubur. Dan di akhirat dia diakhirkan masuknya dalam surge. Sebab, perbuatan ini membuat keislamannya menjadi ternoda.

Jika engkau memahami ini, maka tanyakanlah kepada dirimu; Apakah saya senang dan sering berbuat Namimah?

 

– Syaikh Amin Muhammad Jamal –

 

sumber:Era Muslim

Kejujuran Yang Tercelah

Kejujuran Yang Tercelah, Tidaklah kejujuran selalu mendapat pujian bahkan di sana ada beberapa sikap jujur yang tercela, sebab bisa saja nilai kejujuran sama dengan kedustaan dalam keburukan dan kekejian bahkan menambah celaka dan bahaya seperti jujur dalam ghibah, namimah dan memecah belah. Bahasan ini semakin jelas tatkala kita tinjau dari nilai-nilai yang terkandung di dalam Al Qur’an dan As Sunah serta atsar yang shahih.

Ghibah meski jujur tetapi sebenarnya adalah kianat dan menodai harga diri bisa menimbulkan rasa dengki,  hasad dan kianat. Sebagaimana kita tidak boleh memakan daging bangkai teman sendiri maka tidak boleh ghibah ketika masih hidup, lebih jelas lagi setelah melihat penuturan kekasih mulia lagi terpilih, Rasulullah tentang bahaya ghibah beliau bersabda:

أتدرون ما الغيبة ؟ قالوا : الله ورسوله أعلم. قال : إذا ذكرت أخاك بما يكره ,فقد اغتبته. قيل أرأيت إن كان في أخي ما أقول ؟! قال :إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته,وإن لم يكن فيه ما تقول فقد بهتّه

”Apakah kalian tahu apa itu ghibah? Mereka berkata; Allah dan RasulNya lebih tahu.Beliau bersabda, Jika kamu menyebut saudaramu tentang apa yang ia benci maka kamu telah melakukan ghibah. Beliau ditanya; Bagaimana jika sesuatu yang saya katakan ada pada saudaraku? Beliau bersabda; Bila sesuatu yang kamu bicarakan ada padanya maka kamu telah melakukan ghibah dan bila yang kamu bicarakan tidak ada padanya maka kau telah membuat kebohongan atasnya,”

Perhatikan bagaimana Rasulullah mendidik istri tercinta Aisyah ketika seorang wanita datang kepada Nabi untuk meminta fatwa dan setelah keluar maka Aisyah berkata,”Betapa pendeknya wanita itu!” Maka Nabi bersabda,” Kamu telah menggunjingnya” atau beliau bersabda ”Hati-hati terhadap perbuatan ghibah!” Aisyah berkata,”Wahai Rasulullah saya tidak mengatakan kecuali tentang sesuatu yang ada padanya!”Beliau bersabda ”Bukankah engkau telah menyebutkan keburukannya? atau beliau bersabda,”Itulah ghibah,bila tidak ada padanya maka kamu telah membuat kebohongan.”

Pada zaman Rasulullah ada dua orang yang sedang berpuasa mengunjing orang lalu hal itu sampai kepada Nabi maka beliau bersabda,” Mereka berdua berpuasa dengan sesuatu yang halal tetapi berbuka dengan sesuatu yang haram.”

Semoga Allah merahmati penyair yang berkata:

لا تلتمس من مساوي الناس ما ستروا

فيهتك الله سترا عن مساويكا

واذكر محاسن ما فيهم إذا ذكروا

ولا تعب أحدا منهم بما فيكا

Janganlah mencari-cari kesalahan orang yang tertutupi

Maka Allah akan membongkar aibmu yang tertutupi

Sebutlah tentang kebaikan mereka, ketika mereka di bicarakan

Janganlah mencela seorangpun dari mereka ketika kamu melihat

Kesalahan mereka yang tanmpak padamu

Imam mawardi berkata, ”Mungkin orang yang menggunjing mencari-cari pembenaran dengan alasan menampakan kebenaran dan mengkikis kemungkaran,namun akhirnya justru menjauh dari kebenaran dan etika,walaupun ghibah dilakukan secara jujur tetapi ia telah membogkar aib orang lain yang lebih pantas untuk dijaga.Menampakan suatu yang rahasia dan tersembunyi dan membicarakan secara terang-terangan suatu yang tersembunyi tidak memberi faedah melainkan kerusakan akhlak tanpa memberi kebaikan pada orang lain.”

Dari Jabir bin Abdullah bahwa pernah tercium bau yang sangat menyengat pada zaman rasulullah maka nabi bersabda:

((إن ناساً من المنافقين قد اغتابوا ناساًمن المسلمين فلذلك هاجت هذه الريح المنتنة ))

” Sesunguhnya segolongan munafik telah menggunjing segolongan muslimin sehingga tercium bau yang sangat menyengat.”

Di tuturkan dari ibrahim bin adham bahwa ketika beliau menjamu tamu pada saat mereka hendak duduk mereka menggunjing seorang muslim, Ibrahim berkata, “Orang-orang terdahulu bila makan memulai dengan roti lalu daging tetapi kenapa kamu memulai makan daging terlebih dahulu baru roti ?!”

Dari hasan al bashri bahwa ada seseorang yang telah menggunjingnya lalu beliau mengiriminya segantang kurma dan beliau berkata saya telah mendegar kamu telah menghadiahkan kebaikanmu kepadaku dan saya ingin membri balasan atas kebaikanmu dan saya mohon maaf belum bisa memberi balasan yang lebih baik dan sempurna.

Yahya bin mu’adz ar razi berkata, ” Hendaklah kamu berbuat baik kepada saudaramu dengan tiga hal:

Jika kamu tidak bisa memeri manfaat maka janganlah kamu membuat kerugian kepadanya.
    Jika kamu tidak bisa membuat senang maka janganlah kamu membuatnya bersedih.
    Jika tidak bisa memujinya maka janganlah kamu mencelanya.

Namimah (mengadu domba)

Namimah lebih tercela dan lebih buruk dari ghibah. Itu juga merupakan suatu penghianatan dan kehinaan kemudian berakhir dengan percekcokan dan pemutusan silaturahim serta kebencian diantara teman.

Rasulullah telah melarang namimah karena termasuk dosa besar sebagaimana sabda beliau:

(( لايدخل الجنة قتات ))

”Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba”.

Orang yang mengadu domba adalah makhluk yang paling buruk di sisi Allah, penghni neraka jahanam dan bila tidak bertaubat akan menjadi hamba yang terhina di dunia dan putus asa dari rahmat Allah di akhirat.

Yahya bin aktsam berkata;”Pengadu domba lebih jahat dari tukang sihir, dia mampu berbuat kejahatan dalam sesaat dan tukang sihir tak mampu melakukannya dalam sebulan”.

Diriwayatkan bahwa amal perbuatan pengadu domba lebih buruk dari amal usaha setan karena setan hanya berusaha merayu dan menipu tetapi pengadu domba berbuat kejahatan secara konfrontasi dan terang-terangan. Allah berfirman, ”Pembawa kayu bakar.” (Al lahab: 4).

Kebanyakan ahli tafsir berkata ” yang dimaksud dengan kayu bakar adalah namimahcdan namimah disebut kayu karena perbuatan namimah bissa menyulut permusuhan, peperangan dan percekcokan sehinggga laksana membakar kayu.”

Pengadu domba hidup terhina,tercampakan dan tersisih serta tidak mempunyai peran dan posisi dalm masyarakat kecuali merusak dan merobohkan tatanan kehidupan dan moralitas umat karena dia merekam informasi atau ucapan secar atidak lengkap dan namimah merupakan pedang beracun yang mematikan.

Aktsum bin shafi berkata, ”orang terhina ada empat, pengadu domba, pendusta, pengutang dan anak yatim.”

Hasan al bashri berkata, ”Orang yang suka mengadukan kepadamu ucapan orang lain maka dia juga suka mengadukan ucapanmu kepada orang lain.”

Abu Laits as Samarqandi berkata, ”Jika ada orang datang mengadu kepadamu bahwa ada seseorang yang telah mengatakan begini dan begitu tentang dirimu maka kau wajib melakukan enam langkah

Pertama, Jangan kamu percaya sebab pengadu domba ditolak kesaksiannya di kalangan kau muslimin karena Allah berfirman,

”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al Hujurat: 6)

Kedua, Kamu harus melarang orang tersebut dari perbuatan itu karena melarang kemungkaran wajib

Ketiga, Hendaklah kamu membencinya karena Allah sebab dia sedang melakukan maksiat dan membenci orang maksiat itu wajib karena Allah membencinya.

Keempat, Janganlah kamu berprasangka buruk dengan saudaramu yang tidak ada di tempat sebab berburuk sangka terhadap sesama Muslim adalah haram, sebagaimana firman Allah,

”Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa.” (Al hujurat: 12)

Kelima, Jangan memcari-cari kesalahan-kesalahan saudara yang menjadi pembicara, karena Allah melarang hal itu seperti dalam firmannya,

”Dan janganlah sebagian kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (Al Hujurat: 12)

Keenam, Apa yang tidak kamu sukai dari pengadu domba ini mak kamu jangan sampaikan pengaduannya pada orang lain.

As si’ayah (menghasud)

As si’ayah (menghasud) lebih buruk dan tercela daripada ghibah dan namimah sebab si’ayah menyatukan ghibah dan namimah; bangga dengan diri dan harta, serta mencela kedudukan dan keadaan orang lain.

Salah seorang ahli hikmah berkata,” penghasud diantara dua posisi, yang keduanya jelek bila berada diatas kebenaran maka ia telaah berkianat dan bila berdusta maka telah merusak muru’ah.

 

 

sumber: Radio Tamhid

Bahaya Lisan

Nabi Muhammad SAW suatu ketika menjelaskan ikhwal makna ghibah, “Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

“Engkau mengabarkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya,” sabdanya. Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika yang aku katakan itu memang terdapat pada saudaraku?”

Kemudian Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan terdapat pada saudaramu, maka kamu telah menggunjingnya (melakukan ghibah) dan jika ia tidak terdapat padanya, maka kamu telah berdusta atasnya.” (HR Muslim).

Lidah memang tidak bertulang. Namun, banyak terjadi lisan seseorang berdampak buruk terhadap bangunan sosial kemasyarakatan. Ucapan seseorang dapat mengakibatkan kebahagiaan suami istri hancur, harmoni sosial cerai-berai, dan merenggangkan ikatan emosional antarsesama.

Ucapan, sebagai kerja lisan, kerap kita gunakan untuk menyampaikan informasi kepada sesama. Namun, kita acap kali tak berhati-hati menggunakan lisan sehingga informasi itu menghancurkan bangunan sosial.

Rasulullah SAW mengancam orang yang selalu mengadu domba untuk menanamkan kebencian dalam hati seseorang, melalui sabdanya, “Tidak akan masuk surga al-qattat (tukang adu domba).” (HR Bukhari).

Menjaga lisan dari ucapan memfitnah, menggunjing, dan mengadu domba merupakan salah satu wujud dari menjaga hati. Lisan kita merupakan representasi hati dan pikiran. Ketika hati dan pikiran kita buruk, ucapan yang keluar juga berwujud keburukan. Ketika hati dan pikiran kita baik, ucapan kita pun akan berbentuk kebaikan juga.

Karena itulah, kita semestinya menjaga lisan agar mengucapkan kebaikan, tidak berbicara sesuatu yang tak bermanfaat, pandai menjaga rahasia, dan tidak tergesa-gesa ketika hendak berbicara. Qul khairaan aw liyashmut–ucapkanlah kebaikan (dan kalau tidak bisa), maka hendaklah berdiam diri.

Mukmin yang saleh dan salehah ialah yang pandai menjaga kehormatan saudaranya, meskipun pada kenyataannya, mereka itu pernah melakukan perbuatan buruk. Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa membela (dari ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menghindarkan api neraka dari wajahnya.” (HR Ahmad).

Menjaga lisan mudah diucapkan, tetapi sangat sulit dilakukan. Realitas masyarakat kita telah akrab dengan budaya gosip, fitnah, gunjingan (ghibah), mengadu domba (namimah), dan menyebarkan berita bohong. Pekerjaan lisan di atas, lahir dari orang yang berhati dan berpikiran buruk. Sebab, di dalam jiwanya tertanam kebencian. Bila kebencian sudah mengerangkeng jiwa, pendengaran, penglihatan, dan perasaan pada seseorang pun akan tertutup dari kebaikan. Setiap yang dilakukannya adalah salah!

Karena itu, jauhilah kebencian karena kebencian itu lahir dari prasangka-prasangka yang buruk tentang seseorang. Jangan pernah membuka aib dan kesalahan seseorang karena bila melakukannya, kita dianalogikan sebagai “pemakan daging saudaranya”. Bertakwalah kepada Allah, lalu bertobatlah bila kita pernah menyebarkan fitnah, menggunjing, dan mengadu domba dalam hidup ini.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hujurat [49] 12). Wallahu a’lam.

 

sumber: Republka Online

 

Simak juga:7 CaraMenghindari Ghibah