Keutamaan Berpuasa pada 9 Hari Awal Dzulhijjah

Memang tidak ada hadits khusus yang menunjukkan anjuran terhadap hal ini. Akan tetapi anjuran berpuasa pada hari-hari ini sudah tercakup dalam keumuman hadits karena puasa termasuk amal salih.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam al-Liqa’ asy-Syahri (no. 26):

Telah sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر – أي: عشر ذي الحجة- قالوا: يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء

“Tidaklah ada suatu hari yang beramal salih pada hari-hari itu lebih dicintai Allah daripada beramal pada sepuluh hari ini –yaitu sepuluh hari awal Dzulhijjah-.” Mereka [para sahabat] bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah jihad fi sabilillah juga tidak lebih utama darinya?”. Beliau menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seorang lelaki yang berangkat berjihad dengan jiwa dan hartanya lalu dia kembali dalam keadaan tidak membawa apa-apa dari itu semua (alias mati syahid, pent).” [1]

Hadits ini menunjukkan bahwa seyogyanya kita memperbanyak amal salih pada sepuluh hari awal Dzulhijjah… Dan semestinya kita juga mengerjakan puasa pada sepuluh hari itu; karena puasa termasuk bentuk amal salih. Memang tidak ada hadits khusus yang menunjukkan anjuran terhadapnya. Akan tetapi anjuran ini sudah termasuk dalam keumuman hadits tersebut, karena puasa termasuk dalam kategori amal salih. Oleh sebab itu, seyogyanya kita berpuasa pada sembilan hari yang pertama, karena hari yang kesepuluh adalah hari raya (Iedul Adha) sehingga tidak boleh berpuasa pada hari itu. Anjuran puasa ini semakin diperkuat pada hari Arafah kecuali bagi para jama’ah haji.

Catatan Akhir:
[1] HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma

Sumber : تبشير الإخوة بثبوت سُنِّية صوم أيام عشر ذي الحجة (Tabsyir al-Ikhwah bi Tsubut Sunniyati Shaumi Ayyami ‘Asyara Dzilhijjah) karya Syaikh Abdul Qadir bin Muhammad bin Abdurrahman al-Junaid.

Makalah beliau selengkapnya dapat Anda download di situs: http://islamancient.com/play.php?catsmktba=102101

Oleh Ustadz Ari Wahyudi

KONSULTASI SYARIAH

Amal Saleh Disukai Allah di Sepuluh Hari Pertama Dzulhijjah

Dilansir dari buku Hikmah dan Rahasia Puasa oleh Al-Ghazali, bahwa Allah SWT telah memilih dalam satu tahun hanya ada tiga kali bulan-bulan yang utama yaitu sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan (Lailatul Qadar), sepuluh hari bulan Dzulhijjah yaitu hari tarwiyah, hari Arafah, hari qurban, haji, manasih, dan sepuluh hari bulan Muharrom. 

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra bahwa Rosulullah Saw bersabda, “Tidak ada hari-hari yang amal salehnya paling disukai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Bertanya para sahabat, ‘Sekalipun jihad fi sabilillah, wahai Rosulullah?’ Rosulullah menjawab, ‘Sekalipun jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (jihad fi sabilillah) dengan dirinya dan hartanya kemudian tidak kembali.” 

Karena itu, dianjurkan bagi umat Islam untuk melaksanakan puasa 9 hari pertama di bulan Dzulhijjah. Tentu saja selama 9 hari berpuasa ini memiliki pahala yang berbeda-beda sebagaimana  diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.

1 Dzulhijjah adalah hari di mana Allah mengampuni Nabi Adam as. Sehingga barang siapa berpuasa pada hari itu, maka Allah SWT akan mengampuni segala dosanya.

2 Dzulhijjah adalah hari di mana Allah mengabulkan doa Nabi Yunus as, dengan mengeluarkannya dari mulut ikan. Barang siapa yang berpuasa pada hari itu, seakan-akan dia telah beribadah selama setahun penuh tanpa disertai dengan kemaksiatan sekejap mata sekalipun.

3 Dzulhijjah ialah hari di mana Allah SWT mengabulkan doa Nabi Zakaria as. Barang siapa berpuasa pada hari itu, maka Allah SWT akan mengabulkan doanya. 

4 Dzulhijjah ialah hari di mana Nabi Isa as dilahirkan. Barang siapa yang berpuasa pada hari itu, akan diselamatkan dari kesengsaraan dan kemiskinan.

5 Dzulhijjah ialah hari di mana Nabi Musa as dilahirkan. Barang siapa berpuasa pada hari itu, maka akan terbebas dari kemunafikan dan siksa kubur.

6 Dzulhijjah ialah hari ketika Allah SWT membuka pintu kebajikan bagi para Nabi-Nya. Barang siapa yang berpuasa pada hari itu, akan dipandang oleh Allah SWT dengan pandangan rahmat dan tidak akan disisihkan. 

7 Dzulhijjah ialah hari di mana ditutup pintu-pintu neraka Jahanam dan tidak akan dibuka kembali sebelum hari yang kesepuluh. Barang siapa yang berpuasa pada hari itu, Allah SWT akan menutup tiga puluh pintu kesusahan dan kesukaran serta membuka tiga puluh pintu kesenangan dan kemudahan.

8 Dzulhijjah ialah hari tarwiyah, barang siapa yang berpuasa pada hari itu, akan memperoleh pahala yang tidak diketahui besarnya kecuali oleh Allah SWT

9 Dzulhijjah ialah hari Arafah. Barang siapa berpuasa pada hari itu, puasanya menjadi tebusan dosa untuk setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. 

10 Dzulhijjah ialah hari Idul Adha. Barang siapa menyembelih qurban pada hari itu, maka untuk tetes pertama yang mengalir dari darah qurban itu Allah SWT mengampuni dosa-dosanya dan dosa-dosa anak keluarganya. Barang siapa yang pada hari itu memberi makan kepada orang mukmin atau bersedekah, akan dibangkitkan oleh Allah SWT pada hari kiamat dalam keadaan aman dan amal salehnya lebih berat daripada Gunung Uhud.

IHRAM

Ada Apa dengan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah?

Sebentar lagi musim haji akan tiba. Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan yang dimuliakan di dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kalian semuanya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. At Taubah: 36)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الزمان قد استدار كهيئته يوم خلق الله السموات والأرض، السنة اثنا عشر شهرا، منها أربعة حرم، ثلاثة متواليات: ذو القعدة وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر، الذي بين جمادى وشعبان

“Sesungguhnya waktu itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun ada 12 bulan. Di antara bulan-bulan tersebut ada 4 bulan yang haram (berperang di dalamnya – pen). 3 bulan berturut-turut, yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah,  Al Muharram, (dan yang terakhir –pen) Rajab Mudhar, yaitu bulan di antara bulan Jumaada dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari)

Di dalam bulan Dzulhijjah ada hari-hari yang dipilih oleh Allah sebagai hari-hari terbaik sepanjang tahun. Allah berfirman:

والفجر وليال عشر

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (Qs. Al Fajr: 1-2)

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan 10 malam yang dimaksud oleh Allah dalam ayat tersebut. Penafsiran para ulama ahli tafsir mengerucut kepada 3 pendapat:

Yang pertama: 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Yang kedua: 10 malam terakhir bulan Ramadhan.

Yang ketiga: 10 hari pertama bulan Al Muharram.

Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal ini berdasarkan atas 2 hal sebagai berikut:

  1. Hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Jabir radhiyallaahu ‘anhuma

إن العشر عشر الأضحى، والوتر يوم عرفة، والشفع يوم النحر

“Sesungguhnya yang dimaksud dengan 10 itu adalah 10 bulan Al Adh-ha (bulan Dzulhijjah –pen), dan yang dimaksud dengan “ganjil” adalah hari Arafah, dan yang dimaksud dengan “genap” adalah hari raya Idul Adh-ha. (HR. Ahmad, An-Nasaa’i, hadits ini dinilai shahih oleh Al-Haakim dan penilaiannya disepakati oleh Adz-Dzahabi)

2. Konteks ayat dalam surat Al Fajr. Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “al fajr” dalam ayat tersebut adalah fajar pada hari raya Idul Adh-ha. Oleh karena itu yang dimaksudkan dengan “10 malam” yang termaktub dalam ayat kedua surat tersebut adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini lebih sesuai dengan konteks antar ayat. Wallaahu a’lam.

Keutamaan-keutamaan bulan Dzulhijjah

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر. قالوا ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ولم يرجع من ذالك بشيء. (رواه البخاري)

“Tidak ada hari yang amal shalih lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini (10 awal Dzulhijjah –pen).” Para sahabat bertanya: “Apakah lebih baik daripada jihad fii sabiilillaah ?” Beliau bersabda, “Iya. Lebih baik daripada jihad fii sabiilillaah, kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan harta dan jiwa raganya kemudian dia tidak pernah kembali lagi (mati syahid –pen).” (HR. Al Bukhari)

Ibnu Rajab Al Hanbaly berkata:

وإذا كان أحب إلى الله فهو أفضل عنده

“Apabila sesuatu itu lebih dicintai oleh Allah, maka sesuatu tersebut lebih afdhal di sisi-Nya.”

Berikut ini di antara keutamaan bulan Dzulhijjah:

1. Islam disempurnakan oleh Allah pada bulan Dzulhijjah

Allah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah meridhai Islam itu agama bagi kalian.”  (Qs. Al Maidah: 3)

Para ulama sepakat bahwa ayat itu turun di bulan Dzulhijjah saat haji wada’di hari Arafah. Hal ini berdasarkan atsar dari Umar bin Al Khaththaab radhiyallaahi ‘anhu, bahwasanya seorang ulama Yahudi berkata kepada Umar, “Wahai Amiirul Mu’miniin, tahukah engkau satu ayat dalam kitab suci kalian yang kalian baca, yang jika seandainya ayat itu turun kepada kami maka kami akan jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai hari raya.” Umar berkata, “Ayat apakah itu?” Yahudi itu membacakan ayat tersebut, “Al yauma akmaltu lakum….” Umar pun berkata, “Sungguh kami telah mengetahui di mana dan kapan ayat itu turun. Ayat itu turun pada saat Nabi sedang berada di padang Arafah di hari Jum’at.” (HR. Al Bukhari)

2. Puasa Arafah adalah di antara kekhususan umat Islam

Di dalam bulan Dzulhijjah ada sebuah hari yang sangat agung, yaitu hari Arafah. Pada hari tersebut disunnahkan bagi yang tidak sedang melaksanakan haji untuk melakukan puasa. Puasa Arafah dapat menggugurkan dosa-dosa selama dua tahun. Pahala puasa Arafah (9 Dzulhijjah) lebih afdhal daripada pahala puasa Asyura (10 Al Muharram).

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صوم عاشوراء يكفر السنة الماضية وصوم عرفة يكفر السنتين الماضية والمستقبلة (رواه النسائي)

“Puasa Asyura dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu, dan puasa Arafah itu dapat menghapuskan dosa selama dua tahun, setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. An Nasaa’i)

Puasa Arafah termasuk keistimewaan ummat Islam, berbeda halnya dengan puasa Asyura. Oleh karena berkahnya Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Allah melipatgandakan penghapusan dosa dalam puasa Arafah dua kali lipat lebih besar daripada puasa Asyura. Walillaahil hamd.

3. Darah-darah hewan kurban ditumpahkan terbanyak di bulan Dzulhijjah

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أفضل الحج العج والثج

“Sebaik-baik pelaksanaan haji adalah yang paling banyak bertalbiyah dan yang paling banyak berhadyu (menyembelih hewan sebagai hadiah untuk fuqara’ Makkah -pen).” (HR. Abu Ya’la, An Nasaa’i, Al Haakim, dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albaani menilai hadits ini hasan)

Bulan Dzulhijjah selain sebagai bulan haji juga disebut sebagai bulan kurban, karena banyaknya hewan kurban yang disembelih pada bulan tersebut.

4. Dzulhijjah adalah bulan muktamar umat Islam tingkat dunia

Di hari Arafah, umat Islam yang datang dari seluruh penjuru dunia untuk melaksanakan haji berkumpul di padang Arafah, demi melakukan prosesi puncak pelaksanaan manasik haji, yaitu wukuf di Arafah.

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الحج عرفة (رواه الجماعة)

“Haji itu (wukuf –pen) di Arafah.” (HR. Al Jama’ah)

Amalan-amalan di bulan Dzulhijjah

Karena keutamaan yang banyak inilah, maka disyari’atkanlah amal-amal shalih dan diberi ganjaran yang luar biasa. Di antara amal-amal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dzikir

Allah berfirman:

ليشهدوا منافع لهم ويذكروا اسم الله في أيام معلومات

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Hari-hari yang telah ditentukan adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.”

Berdzikir yang lebih diutamakan di hari-hari yang sepuluh ini adalah memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid.

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد

Maka perbanyaklah di hari-hari tersebut dengan tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad, Shahih)

Bukan hanya dilakukan di masjid atau di rumah, namun berdzikir ini bisa dilakukan di mana dan kapan saja. Bahkan para Sahabat Nabi sengaja melakukannya di tempat-tempat keramaian seperti pasar.

Al Bukhari berkata:

وكان ابن عمر، وأبو هريرة يخرجان إلى السوق في أيام العشر، فيكبران ويكبر الناس بتكبيرهما

“Ibnu Umar dan Abu Hurairah senantiasa keluar ke pasar-pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Mereka bertakbir, dan orang-orang pun ikut bertakbir karena mendengar takbir dari mereka berdua

2. Puasa

Tidak syak lagi kalau berpuasa termasuk amal shalih yang sangat disukai oleh Allah. Di samping anjuran melakukan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, maka disukai juga untuk memperbanyak puasa di hari-hari sebelumnya (dari tanggal 1 sampai dengan 8 Dzulhijjah) berdasarkan keumuman nash-nash hadits tentang keutamaan berpuasa.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

والذي نفسي بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada wangi minyak kasturi.” (Muttafaqun ‘alaih)

3. Tilawah Al Qur’an

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

القرآن أفضل الذكر

“Al Qur’an adalah sebaik-baik dzikir.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih)

Adalah hal yang sangat baik jika dalam waktu 10 hari tersebut, kita dapat mengkhatamkan bacaan Al Qur’an dengan membaca 3 juz setiap harinya. Hal ini sebenarnya mudah untuk dilakukan, yaitu dengan memanfaatkan waktu sebelum dan sesudah shalat fardhu. Dengan membaca 3 lembar sebelum shalat dan 3 lembar sesudah shalat, insyaAllah dalam 10 hari kita mampu mengkhatamkan Al Qur’an. Intinya adalah mujaahadah (bersungguh-sungguh).

4. Sedekah

Di antara yang menunjukkan keutamaan bersedekah adalah cita-cita seorang yang sudah melihat ajalnya di depan mata, bahwa jika ajalnya ditangguhkan sebentar saja, maka kesempatan itu akan digunakan untuk bersedekah.

Allah berfirman menceritakan saat-saat seseorang menjelang ajalnya:

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkanku sampai waktu yang dekat, sehingga aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.” (Qs. Al Munaafiquun: 10

5. Kurban

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فصل لربك وانحر

“Maka shalatlah kamu untuk Tuhanmu dan berkurbanlah!” (Qs. Al Kautsar: 2)

Kurban adalah ibadah yang disyari’atkan setahun sekali dan dilaksanakan di bulan Dzulhijjah.

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من صلى صلاتنا، ونسك نسكنا، فقد أصاب النسك. ومن نسك قبل الصلاة فلا نسك له

“Barangsiapa yang shalat seperti kita shalat, dan berkurban seperti kita berkurban, maka sungguh dia telah mengerjakan kurban dengan benar. Dan barangsiapa yang menyembelih kurbannya sebelum shalat ‘Idul Adh-ha, maka kurbannya tidak sah.” (HR. Al Bukhari)

Ini menunjukkan bahwa ibadah kurban itu merupakan kekhususan dan syi’ar yang hanya terdapat di dalam bulan Dzulhijjah

6. Haji

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الحج أشهر معلومات

“Haji itu pada bulan-bulan yang tertentu.” (Qs. Al Baqarah: 197)

Yang dimaksudkan dengan haji dalam ayat di atas adalah ihram untuk haji bisa dilaksanakan dalam bulan-bulan yang sudah ditentukan, yaitu: Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Selain bulan-bulan tersebut, maka ihram seseorang untuk haji tidak sah.

Bahkan hampir sebagian semua prosesi manasik haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah.

Akhirnya, kita memohon kepada Allah agar diberi kekuatan dan taufiq-Nya agar kita bisa mengisi sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah dengan amal-amal shalih, dan diterima oleh Allah sebagai pemberat timbangan kebaikan kita di yaumil hisaab kelak.

Washallallaahu ‘ala nabiyyinaa Muhammad, walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.

Ditulis oleh Al Faqiir ilaa ‘afwi Rabbihi –l Majiid

Penerjemah: Teuku Muhammad Nurdin Abu Yazid

Sumnber: https://muslim.or.id/31753-ada-apa-dengan-10-hari-pertama-bulan-dzulhijjah.html

“Saya Manut Sama Allah, Memang Tak Bisa Dipaksakan Haji”

MANUSIA mana yang tidak merasa kecewa jika rencana besarnya gagal terlaksana. Apalagi jika rencana itu sudah sejak lama diimpi-impikan untuk dilaksanakan. Bahkan dengan dana tidak sedikit.

Begitulah mungkin yang dirasakan ratusan ribu jamaah calon haji (calhaj) asal Indonesia yang bisa dipastikan gagal berangkat ke Tanah Suci pada musim haji tahun 1441H/2020M ini.

Perasaan kecewa tentu manusiawi. Tapi, tenggelam dalam kekecewaan tentu tidaklah semestinya. Pelajaran ini bisa dipetik dari sikap Saptuari Sugiarto dan ibunya, Kasilah.

Keduanya termasuk jamaah calhaj Indonesia tahun ini yang tidak jadi berangkat haji akibat pandemi Covid-19.

Pada Senin (22/06/2020), demi keselamatan di tengah pandemi, Kerajaan Arab Saudi memutuskan untuk menggelar ibadah haji 1441H/2020M hanya secara terbatas bagi Warga Negara Saudi dan Warga Negara asing atau ekspatriat yang saat ini sudah berada atau berdomisili di Arab Saudi.

Sedangkan sebelumnya, pada 2 Juni 2020 lalu, pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama telah lebih dulu mengumumkan keputusan tidak memberangkatkan jamaah haji Indonesia pada tahun 1441H/2020M ini akibat pandemi.

Kuota haji Indonesia tahun ini berjumlah 221.000 jamaah, terdiri dari kuota haji reguler (203.320) dan kuota haji khusus (17.680). Jamaah calhaj itu termasuk di dalamnya adalah Saptuari dan Kasilah.

“Intinya kami pasrah dengan kondisi ini, karena semuanya sudah diatur oleh Allah Subhanahu Wata’ala,” tutur Saptuari kepada Suara Hidayatullah – hidayatullah.com beberapa waktu lalu.

Saat wawancara itu, belum ada kepastian dari pemerintah Indonesia maupun Arab Saudi mengenai penyelenggaraan haji di tengah pandemi Covid-19. Situasi itu membuat banyak calhaj masih was-was.

“Memang di grup haji, sempat ada gonjang-ganjing kekhawatiran,” tutur Saptuari, jamaah calhaj reguler asal Jogjakarta.

Ia dan ibunya mendaftar haji pada tahun 2011 silam. Sembilan tahun lamanya ia menanti giliran untuk pergi ke Baitullah.
“Umur saya sekarang 40 tahun. Ibu 65 tahun. Satu grup rombongan saya, ada sekitar 40 orang,” sebutnya saat itu.

Meskipun harus menelan kenyataan pembatalan haji tahun ini, Saptuari dan ibunya tak menuntut apa-apa.

“Saya manut sama Allah, karena memang tidak bisa dipaksakan (haji). Berangkat ya berangkat. Kalau harus diundur, semoga dikasih kesehatan dan panjang umur hingga tahun depan bisa berangkat,” ungkapnya.

Ia mengaku saat itu sudah memprediksi kemungkinan besar hajinya akan ditunda.

“Karena melihat dan membaca berita di Saudi banyak warga yang positif (virus corona), negara-negara lain yang masih dalam kondisi “merah” banyak dan termasuk juga Indonesia. Kalau dipaksakan resikonya sangat besar,” sebutnya.

Apalagi, pelaksanaan haji diikuti sekitar 2 juta orang dari berbagai negara di penjuru dunia.

“Katakanlah jadi digelar, tapi sebulan sebelum berangkat tes Covid-19 dulu. Siapa yang dapat menjamin rentang waktu sebulan itu tidak akan tertular? Belum lagi tidak semua negara bisa melakukan tes secara detail.

Dari situ saya pribadi cenderung, bukan hanya 50 persen tapi kemungkinan besar haji tahun ini akan ditunda,” ungkapnya kala itu.

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Prof Dr H Hasanuddin AF MA, menjelaskan, tidak masalah ibadah haji ditunda karena adanya wabah.

“Sama dengan ibadah-ibadah lainnya. Misalnya, shalat Jumat, boleh saja tidak diselenggarakan, lalu diganti dengan shalat dhuhur. Itu contoh kecil.kembali

Nah, ibadah yang lebih besar seperti haji, (ditunda) lebih enggak masalah lagi, jika jiwa manusia bisa terancam dengan wabah itu. Saya kira, apa yang dilakukan pemerintah Saudi sudah tepat. Mereka kan memang yang memiliki otoritas untuk menutup Ka’bah,” ujarnya dalam wawancara terpisah.* Artikel ini telah dimuat Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2020/Ramadhan 1441H. Dimuat kembali hidayatullah.com dengan penyesuaian redaksi.

HIDAYATULLAH

Kebolehan Menunaikan Haji untuk Orang Lain

Menurut kesepakatan para ulama, wanita Muslimah diperolehkan untuk menunaikan ibadah haji bagi wanita Muslimah lainnya. Baik untuk putrinya maupun orang lain dan juga menunaikan haji untuk laki-laki.

“Sedangkan menurut empat Imam yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali serta jumhur ulama lainnya, diperbolehkan juga baginya menunaikan haji untuk orang laki-laki,” kata Syekh Kamil Muhammad uwaidah dalam kitabnya fiqih wanita. 

Hal ini kata Syekh Kamil, Rasulullah SAW pernah memerintahkan seorang wanita dari kabilah Khats’amiyah menunaikan ibadah Haji untuk ayahnya. Yaitu ketika ia bertanya: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kewajiban haji itu berlaku atas semua hamba-nya. Ayahku telah mendapatkan kewajiban itu Sedangkan ia sudah sangat tua titik untuk itu apa yang harus aku lakukan? Maka beliau memerintahkannya untuk menunaikan haji bagi ayahnya (HR jamaah).

“Imam at Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berstatus Hasan Shahih,” kata Syekh Kamil.

Menurut para ulama dari kalangan sahabat nabi dan juga yang lainnya, diperbolehkan untuk mengamalkan hal itu. Pendapat senada juga disampaikan oleh Ats-Tsauri,Ibnu Mubarok, Asy Syafi’i Imam Ahmad dan Ishaq.

Syekh Kamil melanjutkan, Imam Malik menegaskan, jika hal itu diwasiatkan, maka harus ditunaikan. Adapun Asy-syafi’i dan Ibnu Mubarok memberikan keringanan untuk menghajikan orang dewasa yang masa masih hidup, dengan syarat orangnya tak mampu arah tidak Istithaah. “Akan tetapi dalam keadaan tidak mampu menunaikannya,” katanya

Syekh Kamil mengatakan dari hadis di atas terdapat dalil yang menunjukkan bahwa wanita Muslimah diperbolehkan untuk menunaikan haji bagi orang laki-laki dan juga wanita lainnya. Sebaliknya laki-laki Muslim juga boleh menaikkan haji untuk orang laki-laki dan juga wanita Muslimah yang lain. “Karena terkait hal idak ada nash yang menantangnya,” katanya.

IHRAM

Berhaji Mestikah Berkurban?

Perlu diketahui bahwa yang menjalankan ibadah haji dengan mengambil manasik tamattu’ dan qiron punya kewajiban untuk menunaikan hadyu (hewan sembelihan yang dihadiahkan untuk tanah haram Mekkah). Sedangkan di sisi lain saat Idul Adha juga dianjurkan bagi kaum muslimin untuk berqurban (menunaikan udhiyah). Bagaimanakah dengan jama’ah haji? Apakah mereka disunnahkan pula melakukan kedua-duanya? Apakah berhaji mesti juga berqurban?

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Udhiyah (qurban) disunnahkan untuk jama’ah haji dan seorang musafir sebagaimana disunnahkan bagi orang yang mukim. Tidak ada beda dalam hal ini dan tidak ada beda pula sunnahnya hal ini bagi laki-laki maupun perempuan.” (Al Muhalla, 7: 375)

Riwayat berikut ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk istri-istrinya saat berhaji.

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا وَحَاضَتْ بِسَرِفَ ، قَبْلَ أَنْ تَدْخُلَ مَكَّةَ وَهْىَ تَبْكِى فَقَالَ « مَا لَكِ أَنَفِسْتِ » . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ « إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَاقْضِى مَا يَقْضِى الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ » . فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا قَالُوا ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (ia berkata), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah  menemui ‘Aisyah di Sarif sebelum masuk Mekkah dan ketika itu ‘Aisyah sedang menangis. Beliau pun bersabda, “Apakah engkau haidh?” “Iya”, jawab ‘Aisyah. Beliau bersabda, “Ini adalah ketetapan Allah bagi para wanita. Tunaikanlah manasik sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berhaji selain dari thawaf di Ka’bah.” Tatkala kami di Mina, kami didatangkan daging sapi. Aku pun berkata, “Apa ini?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan udhiyah (berqurban) atas nama dirinya dan istri-istrinya dengan sapi.” (HR. Bukhari no. 5548)

Guru kami, Syaikh Dr. ‘Abdullah As Sulmiy, Dosen Ma’had ‘Ali lil Qodho di Riyadh KSA ditanya, “Apa hukum menggabungkan antara hadyu dan udhiyah (qurban)?”

Beliau -semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- berkata,

“Yang kita bahas pertama, apakah udhiyah (qurban) dianjurkan (disunnahkan) untuk jama’ah haji. Para ulama Hanafiyah, Malikiyah dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah bahwasanya hal itu tidak dianjurkan (disunnahkan). Sedangkan ulama Syafi’iyah, Hambali dan juga Ibnu Hazm berpendapat tetap disunnahkannya udhiyah (qurban) bagi jama’ah haji. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat. Karena udhiyah itu umum, untuk orang yang berhaji maupun yang tidak berhaji. Dan ada hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berqurban (menunaikan udhiyah) padahal beliau sedang berhaji. Seperti riwayat Daruquthni, namun asalnya dalam shahih Muslim yaitu dari hadits Tsauban …. Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban saat haji dan waktu lainnya.” [Sumber fatwa: http://www.youtube.com/watch?v=F-Oy26wROk0]

Lantas bagaimana mengenai larangan mencukur bagi shohibul qurban, apa berlaku juga untuk jama’ah haji yang juga berqurban di negerinya?

Syaikh Dr. Abdullah As Sulmi mengatakan bahwa larangan tersebut tetap berlaku bagi jama’ah haji yang berqurban. Namun setelah tahallul awal mereka boleh memotong kuku dan mencukur rambut meski qurbannya belum disembelih. Karena mencukur saat tahallul itu perintah dan untuk shohibul qurban tadi adalah larangan. Berdasarkan kaedah, perintah didahulukan dari larangan. [Faedah dari ceramah beliau pada link di atas]

Mudah-mudahan bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Setelah shalat Isya’ @ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSU, 29/11/1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/18147-berhaji-mestikah-berkurban.html

Jangan Ragu Hajikan Orang Tua yang Wafat, Ini Dalilnya

Apabila ibu telah meninggal atau tidak mampu, anak dianjurkan menunaikan ibadah haji untuk ibu, sebagai wujud bakti padanya. 

Demikian pendapat yang dikemukakan ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Pendapat mereka itu menurut Wafa binti Abdul Aziz As-Suwailim didasarkan pada sejumlah dalil-dalil berikut.

Pertama: وَرَوَى زَيْدُ بْن أَرْقَمَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا حَجَّ الرَّجُلُ عَنْ وَالِدَيْهِ يُقْبَلُ مِنْهُ وَمِنْهُمَا وَاسْتَبْشَرَتْ أَرْوَاحُهُمَا فِي السَّمَاءِ، وَكُتِبَ عِنْدَ اللَّهِ بَرًّا

Dari Zaid bin Arqam, ia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda “Ketika seorang menunaikan ibadah haji untuk kedua orang tuanya, amalan hajinya dan juga untuk kedua orang tuanya diterima, ruh mereka berdua senang di langit dan dia dicatat sebagai anak berbakti di sisi Allah.” 

Kedua:  وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ حَجَّ عَنْ أَبَوَيْهِ أَوْ قَضَى عَنْهُمَا مَغْرَمًا، بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الْأَبْرَارِ

Dari Ibnu Abbas RA dia menuturkan Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menunaikan haji untuk kedua orang tuanya, atau melunasi utang keduanya maka pada hari kiamat dia dibangkitkan bersama orang-orang yang berbakti.” 

Ketiga: وَعَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ حَجَّ عَنْ أَبِيهِ أَوْ أُمِّهِ، فَقَدْ قَضَى عَنْهُ حَجَّتَهُ، وَكَانَ لَهُ فَضْلُ عَشْرِ حِجَجٍ  

Dari Jabir RA, dia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda “Siapa yang menaikkan haji untuk ayahnya atau ibunya, sungguh dia telah menunaikan haji untuknya dan Dia memiliki lebih lebihan sepuluh kali haji.”

Wafa dalam “Buku Fiqih Ibu Himpunan Hukum Islam Khas Ummahat” menuturkan ketika haji hukumnya wajib atau sunnah bagi kedua orang tua maka dianjurkan untuk mendahulukan haji untuk ibu. 

Tapi jika Haji wajib bagi ayah sementara sunnah bagi ibu, maka harus didahulukan untuk ayah agama hukumnya wajib. “Wajib tentu lebih utama dari sunnah,” katanya.  

Anjuran menunaikan ibadah haji untuk ibu lebih dulu merupakan tekstual pada pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat kalangan Hanabilah, karena ibu lebih diprioritaskan untuk diperlukan secara baik sebelum ayah, sehingga dalam hal ini harus didahulukan. 

Memprioritaskan perlakuan baik untuk ibu didasarkan pada riwayat Abu Hurairah:  

جَاءَ رَجُلٌ إلى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، فَقالَ: مَن أَحَقُّ النَّاسِ بحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قالَ: أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أَبُوكَ. وفي حَديثِ قُتَيْبَةَ: مَن أَحَقُّ بحُسْنِ صَحَابَتي وَلَمْ يَذْكُرِ النَّاسَ.

Seseorang datang kepada Rasulullah SAW selalu bertanya, ” Wahai Rasulullah Siapa yang paling berhak untuk melakukan dengan baik? ibumu, jawab beliau, lalu siapa? tanya kembali “ibumu jawab beliau, lalu siapa? tanya kembali “ibumu”jawab beliau lalu siapa? tanya kembali “ibumu”jawab beliau, lalu siapa? tanya kembali “ayahmu” jawab beliau.”

Agama Islam mendorong umatnya untuk berbakti kepada kedua orang tua dan perhatian terhadap keduanya. Islam juga menjelaskan hak mereka berdua yang begitu besar terhadap anak. 

Alquran menunjukkan besarnya hak kedua orang tua dan kewajiban untuk berbakti pada keduanya, diantaranya firman Allah surah An-Nisaa ayat 36:  

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”

Sementara itu, surat Al An’am ayat 151 begitu tegas. Allah  SWT menjajikan bagi siapa saja seorang anak tidak mempersekutukan Allah dan berbakti kepada kedua orang tua maka Allah menjamin anak itu tidak akan masuk neraka.

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۖ

“Katakanlah Muhammad Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apapun dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”

Melalui ayat-ayat di atas kata Wafa, Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk beribadah dan mengesakan-Nya. Di samping itu, menyandingkan perintah berbakti kepada kedua orang tua dalam perintah tersebut ketika hal itu menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua itu wajib hukumnya dan hak keduanya yang begitu besar. 

IHRAM

Mendahulukan Melunasi Hutang daripada Menunaikan Haji

Pertanyaan:
Apa pendapatmu mengenai orang yang belum berhaji dan punya keinginan untuk berhaji, padahal dia memiliki banyak jalan untuk melaksanakannya. Akan tetapi orang ini memiliki hutang. Apakah seharusnya orang ini membulatkan tekadnya untuk haji ataukah dia membatalkannya?

Jawaban:

Perlu diketahui bahwa melunasi hutang tentu saja lebih penting daripada menunaikan haji. Uang yang seseorang gunakan untuk melunasi hutangnya tentu saja lebih baik dari 10 riyal yang dia gunakan untuk naik haji.
Akan tetapi apabila orang yang memiliki hutang tadi dihajikan oleh orang lain secara cuma-cuma, misalnya dia naik haji karena diberi tugas untuk melayani jama’ah haji lainnya, atau mungkin ada sahabatnya yang ingin memberi dia sedekah untuk naik haji; maka seperti ini tidaklah mengapa, karena haji pada saat itu tidak membawa dampak yang membahayakan dirinya.

SumberLiqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset pertama, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin

Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/2613-mendahulukan-melunasi-hutang-daripada-menunaikan-haji-2.html

Negara tak Kirimkan Jamaah Haji Terus Bertambah

Negara yang memutuskan tak mengirimkan jamaah hajinya pada tahun ini bertambah. Setelah Singapura, Indonesia, dan India, sekarang bertambah Afrika Selatan dan Brunei Darussalam.

Pemerintah Afrika Selatan memutuskan menunda pemberangkatan jamaah haji 2020. Keputusan tersebut diambil, menimbang pandemi covid-19 yang masih menyelimuti banyak negara dan kemungkinan adanya gelombang kedua dari pandemi tersebut.

Sekretaris Jenderal Dewan Haji dan Umroh Afrika Selatan, Moaaz Casoo dalam siaran persnya menyatakan, Afrika Selatan tidak akan mengirimkan jamaah haji tahun ini ke Arab Saudi. 

“Dengan menyesal kami informasikan Afrika Selatan mengakreditasi Hujaaj bahwa pilgrim Afrika Selatan tidak akan bisa memulai Haji 1441/2020,” ujar Casoo dalam siaran persnya yang dilansir dari Sahuc.org pada Jumat (12/6).

Keputusan tersebut ujar Casoo diambil setelah menggelar pertemuan untuk membahas pelaksanaan haji 2020. Dewan Haji dan Umrah Afrika Selatan (SAHUC) telah berdiskusi dengan Kementerian Haji dan Umrah, Kedutaan Besar Kerajaan Arab Saudi di Pretoria serta Departemen Hubungan dan Kerjasama Internasional Afrika Selatan (DIRCO) sehubungan dengan Haji dalam situasi Pandemi. Pertemuan tersebut berlangsung pada Kamis (11/6). 

Menteri Departemen Hubungan Internasional dan Kerjasama, Menteri Kehormatan Naledi Pandor, menyatakan bahwa perbatasan Afrika Selatan saat ini masih ditutup dan tidak akan dibuka untuk perjalanan komersial maupun Internasional. Selain itu, dari hasil pemantauan kementerian saat ini, bahwa jumlah kasus di Arab Saudi pun terus melonjak sehingga dikhawatirkan akan terjadi penularan virus.

“Jumlah kasus aktif di Arab Saudi terus bertambah dan ada kekhawatiran tentang gelombang kedua coronavirus secara internasional,” kata Casoo.

Atas pertimbangan tersebut, Pemerintah Afrika Selatan memilih menunda pemberangkatan haji 2020. Keputusan ini, ungkapnya, tentu akan mengecewakan umat Islam yang akan melaksanakan ibadah haji.

Sebagaimana hadits yang juga diceritakan sahabat bahwa Nabi Muhamaad SAW pernah melarang bepergian dalam kondisi wabah. 

“Jika Anda mendengar wabah penyakit di suatu negeri, jangan memasukinya. Tetapi jika wabah itu terjadi di tempatkan Anda berada di dalamnya, (maka) jangan tinggalkan tempat itu.”

Casoo juga mengimbau kepada calon jamaah haji yang gagal berangkat untuk menghubungi operator haji yang terakreditasi masing-masing untuk mengatur pembebasan dari kontrak dan untuk pengembalian uang haji. Operator haji terakreditasi tidak akan memungut biaya administrasi apapun.

“Untuk tiket penerbangan, petugas akan mengembalikan uang (jamaah) sesuai dengan kebijakan pembatalan perusahaan penerbangan tersebut. Di mana setoran dibayarkan ke Kerajaan Arab Saudi Bagi operator, bagian-bagian pengembalian dana akan berkurang begitu dana diterima dari mitra Saudi. SAHUC Akan mengembalikan biaya akreditasi R1500 ke semua jamaah. Setelah Anda dibebaskan dari kontrak dengan operator haji, silakan kirim detail perbankan Anda bersama dengan nomor referensi akreditasi Anda ke info@sahuc.org.za ,” terang Casoo.

Sementara, Pemerintah Brunei Darussalam mengumumkan tahun ini pemberangkatan haji tidak akan dilakukan mengingat kondisi yang berisiko di tengah pendemi Covid-19. Menteri Agama Brunei Darussalam Awang Badaruddin Othman telah mengumumkan keputusan pembatalan keberangkatan jamaah haji ke tanah suci tahun ini.

“Negara tidak akan mengirim 1.000 jamaah haji yang dipilih setiap tahun dan begitu pula mereka yang bepergian dengan biaya sendiri untuk melakukan haji,” ujar Menteri Agama Brunei Darussalam, Awang Badaruddin Othman yang dikutip di Anadolu Agency, Jumat (12/6).

Baddarudin mengatakan, keputusan itu dibuat setelah Sultan Hassanal Bolkiah memberikan persetujuannya atas rekomendasi Dewan Agama Islam Brunei untuk membatalkan partisipasi jamaah Brunei dalam haji tahun ini. Menurutnya, penyebaran virus yang masih menjadi ancaman global dan masih dapat terselesaikan, menjadi alasan utama diputuskannya pembatalan haji.

“Mengenai keikutsertaan jamaah haji, dipastikan pandemi Covid-19 masih menjadi ancaman global dan bahwa penyebaran virus ini sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat,” ujar Baddarudin.

IHRAM

Berhaji Harus Ikhlas dan Sesuai Tuntunan

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Seperti diketahui bahwa syarat-syarat diterimanya amal ibadah ada dua yaitu; ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

{قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا }

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya sembahan kalian adalah sembahan Yang Esa”. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (QS. Al Kahfi: 110).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ketika mengomentari ayat di atas,

وَهذانِ ركُنَا العملِ المتقَبَّلِ. لاَ بُدَّ أن يكونَ خالصًا للهِ، صَوابُا  عَلَى شريعةِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم.

“Ini adalah dua rukun diterimanya amalan yaitu harus ikhlas karena Allah dan harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir.

Sedangkan Ibnul Qayyim mengatakan suatu perkataan yang sangat indah dan penuh makna,

أي كَما أنهُ إلهٌ واحدٌ لاَ إلهَ سواهُ فَكذلكَ ينبغِي أَنْ تكُونَ العبادةُ لهُ وحدَهُ فَكمَا تَفَرَّدَ بِالالهيةِ يُحِبُّ أنْ يُفردَ بِالعبوديةِ فالعملُ الصالحُ هوَ الْخالِى مِن الرياءِ المُقَيَّدُ بِالسُّنةِ وَكان مِنْ دُعَاء عمرِ بنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِى كلَّهُ صَالحِاً وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصاً وَلاَ تَجْعَلْ لِأَحَدٍ فِيْهِ شَيْئاً

 “Sebagaimana Allah adalah sembahan satu-satu-Nya, tidak ada sesembahan selain-Nya, maka demikian pula seharusnya ibadah hanya milik-Nya semata, sebagaimana Allah satu-satu-Nya di dalam perkara kekuasaan, maka Dia menyukai disendirikan dalam hal peribadatan. Jadi, amal shalih adalah amal perbuatan yang terlepas dari riya’ dan yang terikat dengan sunnah. Termasuk doa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu adalah “Allahummaj’al ‘amali kullaha shoolihan waj’al liwajhika kholishon wa la taj’al li ahadin fihi syai-an” (Wahai Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal shalih/baik dan jadikanlah amalanku hanya murni untuk wajah-Mu dan janganlah jadikan dalam amalku sedikitpun untuk seorang makhluk). Lihat Kitab Al Jawab Al Kafi.

Dan demikian pula dalam ibadah haji, harus:

Pertama: Ikhlas, yaitu mengerjakan amal ibadah murni hanya kepada Allah Ta’ala saja bukan kepada yang lain.

Dan ikhlas adalah,

الإِخْلاَصُ أَلاَّ تَطْلُبَ عَلَى عَمَلِكَ شاَهداً غَيْرَ اللهِ ، وَلاَ مُجَازِياً سِوَاهُ

 “Tidak mencari yang melihat atas amalmu adalah selain Allah dan tidak mencari yang memberi ganjaran atas amalmu selain-Nya”. Lihat Madarij As Salikin.

Orang yang ikhlas tidak akan pernah suka dipuji oleh manusia dan tidak akan pernah berharap apa yang ada ditangan manusia.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

لاَ يَجْتَمعُ الإِخلاصُ فيِ الْقلْبِ وَمحبةُ الْمَدحِ وَالثَّنَاءِ وَالطَّمَعِ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ إِلاَّ كَمَا يَجْتَمِعُ المْاءُ والنارُ والضَّبُ والحُوتُ

“Tidak akan berkumpul di dalam hati, keikhlasan dengan kecintaan terhadap pujian dan ketamakan terhadap yang ada di tangan manusia kecuali seperti berkumpulnya air dengan api atau biawak dengan ikan”. Lihat kitab Al Fawaid, karya Ibnul Qayyim.

Amalan yang tidak ikhlas tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Tabaraka wa Ta’ala  berfirman: “Aku Maha tidak butuh kepada sekutu, barangsiapa beramal suatu amalan yang dia menyekutukan-Ku di dalamnya, maka Aku tinggalkan amalan itu bersama apa yang dia sekutukan”. (HR. Muslim)

Khusus mengenai ikhlas dalam ibadah haji, Allah Ta’ala berfirman,

{وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}

Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud“. (QS. Al Hajj: 26).

Kedua: Mutaba’ah, yaitu amalan ibadah tersebut hendaklah sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada asalnya dari agama kita maka amalan itu tertolak”. (HR. Muslim).

Khusus di dalam pelaksanaan ibadah haji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ عَامِى هَذَا

“Wahai manusia, ambilah manasik kalian (dariku), karena sesungguhnya aku tidak mengetahui mungkin saja aku tidak berhaji setelah tahun ini”. (HR. Muslim dan lafazh ini dari riwayat An Nasai).

 خُذُوا عَنِّى مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى أَنْ لاَ أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ

 “Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini”. (HR. Muslim).

Tidak akan lurus perkataan, perbuatan dan niat kecuali mengikuti sunnah. Sufyan bin Sa’id Ats Tsaury rahimahullah berkata,

” كان الفقهاءُ يَقُولُونَ : لاَ يَسْتَقِيْمُ قَولٌ إِلاَّ بِعَملٍ ، وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قولٌ وعملٌ إِلاَّ بِنِيَّةٍ ، وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قولٌ وعملٌ ونيةٌ إِلاَّ بِمُوَافقةِ السُّنَّةِ”.

 “Para Ahli Fikih berkata: “Tidak akan lurus perkataan kecuali dengan perbuatan, tidak akan lurus perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat dan tidak akan sempurna perkataan dan perbuatan serta niat kecuali dengan mengikuti ajaran (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”. Lihat kitab Al Ibanah, karya Ibnu Baththah.

Siapa yang beribadah menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ibadahnya akan melenceng dari kebenaran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

من فارق الدليل ضل السبيل، ولا دليل إلا بما جاء به الرسول – صلى الله عليه وسلم –

 “Barangsiapa yang menjauhi dalil maka ia telah tersesat jalan, dan tidak ada dalil kecuali dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Lihat kitab Miftah Dar As Sa’adah

Jadi hajipun harus ikhlas dan harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga Allah memberi kita semua kaum muslim haji mabrur.

Rabu, 23 Syawwal 1432 H, Dammam KSA

Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/10261-haji-mabrur-1-berhaji-harus-ikhlas-dan-sesuai-tuntunan.html