Hukum Berangkat Haji Secara Ilegal

Di Saudi Arabia, ada sebuah aturan agar seseorang diizinkan untuk berhaji. Aturan ini dikeluarkan oleh pemerintah. Seseorang yang akan berhaji harus punya syarat tashrih. Namun syarat ini hanya dikeluarkan lima tahun sekali. Artinya lima tahun sekali baru bisa berhaji. Selain menjadi keputusan pemerintah, syarat ini menjadi keputusan negara-negara Islam dalam naungan OKI[1].

Kadang aturan yang kami sebutkan di atas tidak diindahkan. Kami temui di kalangan mahasiswa bahkan yang kuliah di Jami’ah Islamiyah terkemuka melanggar aturan ini. Bukan hanya satu atau dua orang nekad untuk berangkat haji tanpa adanya tashrih ini, namun bisa ratusan orang. Akhirnya Makkah dan Masy’aril Harom jadi penuh sesak di antara sebabnya karena pelanggaran ini. Kalau kita menilai, sungguh yang mereka lakukan memang menyesahkan. Tujuannya memang baik yaitu ibadah. “Kita kan mau ibadah”, kata mereka. Tetapi di satu sisi itu melanggar aturan. Juga di sisi lain hanya menyesakkan tempat-tempat haji. Padahal ribuan orang ingin berhaji sampai harus mengantri bertahun-tahun, namun diresahkan dengan mereka-mereka yang secara ilegal datang ke tanah suci tanpa tasyrih.

Ada fatwa ulama Saudi Arabia yang kami temukan tentang masalah tasyrih ini. Fatwa pertama adalah dari Syaikh Dr. ‘Abdul Karim Al Khudair hafizhohullah. Beliau adalah salah satu pengajar di Fakultas Ushulud-din Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyah di Riyadh. Beliau pun menjadi anggota Hai’ah Kibaril ‘Ulama dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’.

Beliau hafizhohullah ditanya,

ما حكم من يَحُجُّونَ بدُونِ تصريح، وبعضُهُم يلبسُ المخيط بعد المِيقات حتَّى لا يُمنع؟

Apa hukum seseorang berangkat haji tanpa tashrih? Mereka yang berangkat haji tanpa tashrih ini sengaja menggunakan pakaian ihrom setelah miqot sehingga mereka pun tidak dicegat (oleh aparat).

أوَّلاً التَّصريح هذا التَّحديد بِخمس سنوات مَبْنِيّ على فتوى من أهلِ العِلم، ومُخالَفَتُهُ لا شكَّ أنَّها مُخالفة لولِيِّ الأمر الذِّي لُوحِظَ فيهِ المَصْلَحَة، ولُوحِظَ فيهِ أيضاً البِناء على قولِ أهلِ العلم، فلا ينبغي مُخالفة هذا الأمر؛ لكنْ إنْ رَأى الشَّخص أنْ يَحُجّ امتِثالاً لِما وَرَدَ من الأحاديث الكثيرة في التَّرغيبِ في الحج، ولمْ يَتَرَتَّب على ذلك لا كَذِب، ولا رِشْوَة ولا احتِيَال ولا ارْتِكابِ محظُور، فَيُرْجَى؛ أمَّا إذا أدَّى ذلك إلى الكذب أو رِشْوَة، أو تَحَايُل، أو ارْتِكاب مَحْظُور كما يُفْعَل الآن، بَعْضُهُم يَرْتَكِب مَحْظُور ويدخُل ويَتَجَاوز المِيقات بِثَِيَابِهِ، هذا كُلُّهُ لا يَجُوز، ولا يُسَوِّغ لهُ ذلك.

Pertama, tashrih ini adalah aturan yang ditetapkan setiap lima tahun sekali (artinya setiap lima tahun sekali izin tashrih ini keluar baru ia dibolehkan untuk berhaji, pen). Ini telah menjadi fatwa para ulama (saat ini). Dan tidak diragukan lagi, orang yang berangkat haji tanpa tashrih sangat jelas telah menyelisihi aturan penguasa yang ada. Apalagi penetapan adanya syarat tasyrih ini ada maslahat yang besar. Bahkan dalam hal ini dibangun di atas fatwa para ulama. Sehingga tidak pantas seorang pun menyelisihi syarat tasyrih ini.

Akan tetapi jika seseorang ingin menjalankan haji dalam rangka menjalankan perintah Allah karena melihat hadits-hadits yang banyak yang memotivasi hal ini, lalu ia tidak berbuat dusta (dengan menyelisihi aturan, pen), tidak menyogok, tidak mengelabui dan tidak melakukan yang terlarang, maka hendaklah ia melaksanakan haji. Namun jika ia malah melakukan haji dengan melakukan dusta,  mengelabui (petugas yang ada), atau melakukan pelanggaran seperti yang dilakukan sekarang, yaitu sebagian orang bersengaja melakukan larangan dengan memasuki miqot untuk berhaji tanpa mengenakan pakaian ihrom, ini tentunya tidak boleh. Sama sekali hal ini tidak dibolehkan.

Demikian fatwa Syaikh Al Khudair. (Silakan lihat di http://www.khudheir.com/text/875)

Setelah melakukan searching lagi, kami pun mendapat beberapa kalam ulama kibar lainnya tentang tidak bolehnya berhaji tanpa tashrih.

Al Mufti Al ‘Amm, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhohullah berkata, “Sesungguhnya penguasa tidaklah menetapkan syarat berangkat haji harus dengan tasyrih dengan sia-sia belaka. Keputusan seperti ini bisa ada karena sebagian orang mengadukan kepada penguasa bahwa terlalu sesaknya orang-orang saat haji. Oleh karena itu, mereka keluarkan syarat tashrih yaitu untuk memberikan kemudahan bagi orang-orang yang berhaji (agar tempat haji tidak penuh sesak).”

Syaikh ‘Abdullah bin Sulaiman Al Manii’ hafizhohullah, anggota Hay’ah Kibaril ‘Ulama berkata, “Barangsiapa berhaji tanpa tashrih, maka ia berhaji dengan maksiat dan dosa. Mengenai kadar dosanya adalah perhitungan di sisi Allah. Namun, orang yang berhaji dengan tashrih seperti ini, hajinya sah, akan tetapi ia bedosa. Jika Allah kehendaki, Allah akan menghukumnya. Jika tidak, Allah akan maafkan dia. Hal ini sama halnya dengan orang yang berhaji tanpa mahrom.”

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah, anggota Hay’ah Kibaril ‘Ulama menyatakan tentang berhaji tanpa tashrih, “Tidak boleh seseorang berhaji dengan menyelisi aturan (yaitu berangkat haji tanpa adanya tashrih, pen)”.

Syaikh Sulaiman Al Majid mengatakan, “Asalnya seseorang wajib memenuhi syarat tasyrih. Karena ini adalah bagian dari aturan yang wajib ditaati. Inilah aturan yang harus diperhatikan oleh orang yang berhaji. Aturan ini masuk dalam aturan siyasah yang dibenarkan.”

Syaikh Yusuf bin ‘Abdillah Asy Syubaili, Guru Besar Fiqh di Ma’had Al ‘Ali Lil Qodho’ berkata, “Barangsiapa yang tidak mampu mendapatkan syarat tasyrih untuk berhaji, maka afdholnya ia tidak berhaji dalam rangka mentaati penguasa dan memberikan kelonggaran (kemudahan) untuk berhaji bagi kaum muslimin lainnya. Cobalah ia gunakan hartanya yang ada untuk bersedekah, menolong orang-orang yang tidak berhaji supaya dapat berhaji. Jika ia melakukan demikian, ia akan mendapatkan pahala semisal itu pula (semisal pahala haji). Karena dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menolong orang yang berperang (berjihad), maka ia pun terhitung berjihad.”

(Kami sarikan penjelasan ulama-ulama di atas dari http://www.islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=549)

Bentuk Kezholiman Orang yang Berhaji Tanpa Tashrih

Kita sudah tahu bahwasanya wajibnya haji itu hanya sekali. Namun begitulah, kenapa sebagian orang nekad-nekadan untuk tunaikann haji. Katanya sih, “Kok mau ibadah haji saja dilarang?”

Ya ikhwan … Aturan ini dibuat karena ada maslahat. Di antara maslahatnya adalah agar orang tidak terlalu banyak yang berhaji, masy’aril harom tidak sesak. Coba bayangkan jika setiap orang nekad-nekadan seperti Saudara, berhaji tanpa tashrih, atau diistilahkan lewat jalur Cowboy (“Ngoboy”, kata mereka). Bukankah ini menyesaki Masjidil Haram, tempat thawaf, tempat wuquf dan lainnya? Saudara sama saja mengambil hak orang lain. Masih banyak yang ingin berhaji, yaitu tunaikan  yang wajib, namun karena ada Saudara, akhirnya mereka pun susah. Bukankah demikian?

Sungguh, sikap yang baik, berilah kesempatan bagi mereka yang belum berhaji. Berilah kesempatan pada mereka jika Saudara tinggal jalankan haji yang sunnah. Cobalah miliki akhlaq sebagaimana kaum Muhajirin dan Anshar, di mana mereka saling mendahulukan saudaranya dalam kebutuhan padahal mereka sendiri butuh.

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan” (QS. Al Hasyr : 9).

Kaum Anshor yang terlebih dahulu menempati kota Madinah, mereka mendahulukan saudara mereka dari kaum Muhajirin dalam segala keperluan, padahal mereka sendiri membutuhkannya.

Sungguh sangat menakjubkan, seorang sahabat Anshor yang memiliki dua istri ingin menceraikan salah satu istrinya. Kemudian setelah masa ‘iddahnya berakhir dia ingin menikahkannya dengan sahabatnya dari kaum muhajirin. Adakah bentuk itsar yang lebih daripada ini?!! (Aysarut Tafaasir, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi)

Saudaraku … renungkan hal ini. Cobalah seperti kaum Muhajirin dan Anshor yang saling mendahulukan satu dan lainnya. Tidakkah kau ingin dapat keutamaan seperti mereka (Muhajirin dan Anshar)? Dahulukanlah saudaramu, di balik itu pasti ada balasan dari Allah dengan yang lebih baik.

Melanggar Aturan Penguasa Juga Berdosa

Saudaraku … Melanggar aturan penguasa juga sebenarnya keliru. Ini bukan sembarang aturan. Karena jika kita mentaati penguasa, sama saja kita mentaati Allah. Renungkanlah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4] : 59)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)

Juga dalam sabda beliau,

مَنْ أَمَرَكُمْ مِنْهُمْ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ تُطِيعُوهُ

Jika ada yang memerintah kalian untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah mentaatinya.” (HR. Ahmad. Dikatakan oleh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini hasan)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)

Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata, “Tidak boleh mereka (satu pun makhluk) ditaati dalam kemungkaran. Yang dimaksud perbuatan ma’ruf (yang wajib ditaati) adalah perkataan yang dibolehkan oleh syari’at.” (‘Aunul Ma’bud, 7/208). Syarat tashrih adalah aturan makhluk yang tidak menyelisihi syariat, sehingga sudah sepatutnya ditaati.

Apalagi sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al Khudair, aturan tasyrih ada maslahat. Para ulama terangkan bahwa  selama aturan penguasa itu ada maslahat, maka wajib ditaati. Aturan penguasa yang tidak wajib ditaati adalah aturan yang menyelisihi syariat Allah. Dan sama sekali aturan tasyrih ini tidak menyelisihi aturan Allah sehingga sudah sepatutnya ditaati.

Demikian, tulisan ini kami rangkai sebagai nasehat untuk mahasiswa KSU (King Saud University). Agama adalah nasehat. Hanya Allah yang beri hidayah dan petunjuk. Kami hanya sekedar menyampaikan.

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى

Berilah peringatan, sesungguhnya peringatan (nasehat) itu bermanfaat.” (QS. Al A’la: 9)

Written on 4th Dzulhijjah 1431 H (10/11/2010), KSU, Riyadh, KSA

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/2584-hukum-berangkat-haji-secara-ilegal250.html

Hukum Shalat Sunnah Dua Raka’at Ihram

Tentang shalat sunnah dua raka’at ihram, para ulama berselisih pendapat tentang disyariatkannya shalat tersebut. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat dianjurkannya (baca: sunnah) shalat dua rakaat ihram sebelum memulai talbiyah sebagai tanda memulai rangkaian manasik haji atau umrah.

Di antara dalil yang dipakai oleh jumhur ulama adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

َسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَادِي العَقِيقِ يَقُولُ: أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي، فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الوَادِي المُبَارَكِ ، وَقُلْ: عُمْرَةً فِي حَجَّةٍ

“Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di lembah Al-‘Aqiq, beliau berkata, “Malaikat yag diutus oleh Rabbku datang kepadaku dan berkata, “Shalatlah di lembah yang penuh berkah ini dan katakanlah, “Aku berniat melaksanakan ‘umrah dalam ibadah haji ini.” (HR. Bukhari no. 1534)

Jumhur ulama mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini, dianjurkan untuk shalat sunnah (khusus) dua raka’at sebelum memulai ihram(Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 17: 68-69)

Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat sunnah dua rakaat ihram, yaitu shalat sunnah khusus dua raka’at yang dikerjakan oleh jamaah haji atau umrah sebelum memasuki rangkaian manasik haji atau umrah.

Yang terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau memulai ihram setelah shalat fardhu (yaitu shalat dzuhur) di Dzul Hulaifah (sekarang disebut Bir ‘Ali), kemudian beliau mulai berihram. Dzul Hulaifah adalah miqat jamaah haji yang datang dari arah Madinah. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memulai ihram setelah melaksanakan shalat fardhu, jika hal itu memungkinkan (mudah) baginya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

َينلأمته صلاة للإحرام لا بقوله ولا بفعله ولا بإقربغي أن نعلم أن الإحرام ليس له صلاة فإنه لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلّم أنه شرع اره.

“Hendaknya diketahui bahwa ihram itu tidak memiliki shalat tertentu (yang dikerjakan sebelum ihram, pent.). Karena tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mensyariatkan untuk umatnya shalat ihram, baik dengan perkataan, perbuatan, atau dengan persetujuannya.” (60 Su’aalan fi Ahkaamil Haidh wan Nifaas, hal. 43)

Beliau rahimahullahu Ta’ala juga menjelaskan,

َوذهب شيخ الإسلام ابن تيمية ـ رحمه الله ـ إلى أن ركعتي الإحرام لا أصل لمشروعيتهما، وأنه ليس للإحرام صلاة تخصه لكن إن كان في الضحى، فيمكن أن يصلي صلاة الضحى ويحرم بعدها، وإن كان في وقت الظهر، نقول: الأفضل أن تمسك حتى تصلي الظهر، ثم تحرم بعد الصلاة، وكذلك صلاة العصر. وأما صلاة مستحبة بعينها للإحرام، فهذا لم يرد عن النبي صلّى الله عليه وسلّم وهذا هو الصحيح.

“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala berpendapat bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat dua raka’at ihram. Ihram tidak memiliki shalat khusus sebelumnya. Akan tetapi, jika seseorang berada di waktu dhuha, dan memungkinkan baginya untuk shalat dhuha dan memulai ihram setelahnya, meskipun dia ihram di waktu dhuhur, maka kami katakan bahwa yang lebih baik adalah menunggu sampai tiba waktu dhuhur, kemudian memulai ihram setelah shalat dzuhur. Demikian pula untuk shalat ashar. Adapun shalat sunnah khusus untuk memulai ihram, maka tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat yang shahih.” (Asy-Syarhul Mumti’, 7: 69)

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Adapun shalat sebelum ihram, maka pendapat yang benar adalah ihram itu tidak memiliki shalat khusus. Akan tetapi, jika bertepatan dengan waktu shalat fardhu, maka dia ihram setelah shalat fardhu tersebut. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai talbiyah pertama setelah shalat fardhu (yaitu shalat dzuhur, pent.).” (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, hal. 198)

Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata,

َولم ينقل عنه أنه صلى للإحرام ركعتين غير فرض الظهر.

“Tidaklah dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalat dua raka’at untuk ihram, kecuali shalat dzuhur.” (Zaadul Ma’aad, 2: 101)

Adapun sebagai sanggahan terhadap hadits yang dipakai sebagai dalil oleh jumhur ulama, perkataan malaikat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalatlah di lembah yang penuh berkah ini” tidaklah menunjukkan diperintahkannya shalat sunnah dua raka’at ihram. Karena kalimat ini mengandung kemungkinan yang lain, yaitu melaksanakan shalat wajib (shalat fardhu) yang lima, dan bukan shalat sunnah dua raka’at ihram.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullahu Ta’ala berkata,

َوكونه أحرم بعد الفريضة لا يدل على شرعية ركعتين خاصة بالإحرام وإنما يدل على أنه إذا أحرم بالعمرة أو بالحج بعد صلاة ، يكون أفضل إذا تيسر ذلك .

“Adapun yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berihram setelah shalat wajib, hal ini tidak menunjukkan disyariatkannya dua raka’at khusus sebelum ihram. Hal tersebut hanyalah menunjukkan bahwa jika seseorang berihram untuk umrah atau haji setelah shalat wajib, itulah yang lebih baik (lebih afdhal) ketika mudah (memungkinkan) baginya untuk mengerjakannya.” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 17: 69)

Bagaimana jika diniatkan sebagai shalat sunnah setelah wudhu’?

Terdapat pertanyaan yang ditujukkan kepada Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, “Jika seseorang berwudhu dan kemudian shalat dua raka’at setelah wudhu, bukankah hal ini disyariatkan?”

Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab,

َنعم مشروعة، وعلى هذا فنقول: أنت إذا اغتسلت وتوضأت فصلِّ ركعتين سنة الوضوء، ولكن يبقى النظر إذا كان ليس من عادته في غير هذا المكان أن يصلي ركعتي الوضوء، فأراد أن يصلي هنا، أليس سوف يشعر في نفسه أن هذه الصلاة من أجل الإحرام؟ أو على الأقل من أجل الاشتراك بين الإحرام والوضوء؟
الجواب: هذا هو الظاهر، ولذلك نقول: إذا كان سيبقى الإنسان في الميقات حتى يأتي وقت الفريضة، فالأفضل أن يهل بعد الفريضة.

“Betul bahwa ini perkara yang disyariatkan. Oleh karena itu kami katakan, jika Engkau mandi dan berwudhu, shalatlah sunnah dua raka’at wudhu’. Akan tetapi, terdapat ganjalan bagi mereka yang tidak memiliki kebiasaan untuk shalat sunnah wudhu selain di tempat ini (yaitu miqat jama’ah haji dan umrah, pent.), kemudian ingin shalat sunnah wudhu di tempat (miqat) tersebut. Tidakkah akan muncul dalam dirinya bahwa shalat ini dia kerjakan dalam rangka ihram? Atau minimal karena adanya irisan (pertemuan) antara ihram dan wudhu’? Jawabannya, inilah yang lebih tampak (dzahir). Oleh karena itu kami katakan, jika seseorang berada di miqat sampai tiba waktu shalat wajib, maka yang lebih afdhal adalah memulai ihram setelah shalat fardhu.” (Asy-Syarhul Mumti’, 7: 69)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/46447-hukum-shalat-sunnah-dua-rakaat-ihram.html

Lansia Naik Haji dengan Modal Menabung Rp 30 Ribu

Tingginya biaya ibadah haji, plus daftar tunggu yang begitu lama bagi masyarakat Indonesia ke Tanah Suci Makkah, Arab Saudi tidak menyurutkan keinginan banyak umat Muslim di Banua Kalimantan Selatan untuk bisa berangkat menunaikan Rukun Islam kelima itu. Materi pun tak jadi halangan. Dengan niat lurus ingin jadi tamu Allah SWT beribadah menatap Ka’bah secara langsung, ternyata ada saja jalan dan rezekinya.

Seperti yang dilakukan Ibu bernama Inar Amit Undal. Lansia yang pada 19 Oktober 2019 nanti genap berusia 85 tahun ini hanya mengumpul uang dari hasil berjualan di kantin sekolah, akhirnya bisa berhaji tahun ini.

“Saya menabung Rp30 ribu sehari dari hasil jualan. Setelah terkumpul Rp25 juta, saya lakukan setoran awal daftar haji pada tahun 2016,” kata Mama Idil, begitu biasa dia kerap disapa di kampung tempat tinggalnya.

Mama Idil pun terbilang sangat beruntung. Doanya untuk bisa berhaji di sisa masa hidupnyadiijabah oleh Allah SWT. Betapa tidak, jika sesuai daftar tunggu haji di Kalsel saat ini 31 tahun, maka seharusnya dia mendapat giliran berangkat pada tahun 2047 nanti. Tentu waktu yang sangat lama dan rasanya kecil peluang untuknya yang sudah lansia.

Namun, tidak ada yang mustahil di dunia, sepanjang ada niat pasti ada jalan. Rezeki untuk beribadah haji pun datang menghampirinya. Dimana ada kuota tambahan untuk haji Indonesia keberangkatan 2019 sebanyak 10 ribu jamaah, setelah Pemerintah Arab Saudi memberikannya setelah Presiden RI Joko Widodo bertemu dengan Raja Kerajaan Arab Saudi, Raja Salman di Istana Al-Qahr al-Khas di Riyadh pada 14 April 2019.

Sang anak bungsu, Badrun tiba-tiba dihubungi petugas Kantor Kementerian Agama Kota Banjarmasin pada Ramadhan lalu yang memberitahukan bahwa ibunda tercinta termasuk dalam kuota tambahan untuk berangkat tahun ini.

Uang tabungan yang dikumpulkannya pun dibuka dan dihitung untuk segera melunasi sisa biaya haji reguler yang tahun ini Rp 37.885.084.

“Alhamdulilah uangnya cukup dan saya bisa melunasi,” tutur wanita kelahiran Desa Masukau Luar, Kecamatan Murung Pudak, Kabupaten Tabalong ini saat ditemui di kantin MAN 3 Banjarmasin, tempatnya berjualan makanan ringan dan aneka minuman instan khas kantin sekolah.

Sebelum mulai berjualan secara menetap di kantin sekolah sejak 2005, wanita yang memiliki enam anak ini hanya jadi pedagang kue tradisional Banjar secara keliling dari kampung ke kampung sekitar rumahnya Jalan Sutoyo S Komplek Hidayatullah RT 30 Banjarmasin Tengah.

Lantaran kerap menitipkan dagangannya di kantin sekolah, dia pun mendapat tawaran untuk menggunakan satu blok kantin sekolah berukuran tidak lebih dari 1,5 meter persegi untuk berjualan. Alhasil, sejak saat itulah Mama Idil berjualan dengan dibantu anaknya.

Sepeninggal sang suami, Jamhari (alm) 17 tahun silam, Mama Idil memang harus banting tulang bekerja mencari nafkah. Niatnya pun hanya satu yaitu ingin naik haji.

“Mama memang niatnya kuat mau naik haji dan hasil untung berjualan beliau tabung terus,” ujarBadrun, sang anak yang kerap membantu ibunya berjualan.

Badrun mengungkapkan jika ibunya rajin shalat malam untuk Tahajut dan puasa Senin Kamis. Lantunan bacaan shalawat juga terus mengalir di bibir sang ibunda.

“Alhamdulilah beliau juga sangat sehat. Mengangkat air dua ember saja masih kuat. Insya Allah beliau dapat mengikuti seluruh rangkaian ibadah haji nanti dan kembali dengan selamat menjadi haji mabrur,” tandasnya.

Atas keberangkatan ibunya, Badrun menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada Allah SWTdan Presiden RI Joko Widodo yang telah berhasil memperjuangkan tambahan kuota haji, sehingga para calon jamaah haji kategori lansia seperti ibunya dapat terpilih untuk berangkat tahun ini.

Ditemui terpisah, Kasi Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kantor Kementerian Agama Kota Banjarmasin H Burhan Noor mengatakan, Mama Idil termasuk dalam kloter 19 yang akan masuk Asrama Haji pada tanggal 3 Agustus 2019 dan berangkat ke Tanah Suci hari berikutnya.

Burhan juga menjelaskan terkait kuota tambahan, dimana dari 10.000 jamaah, Kalsel mendapatkan jatah 324 orang dan termasuk di dalamnya untuk Kota Banjarmasin 58 orang.

Adapun kategori terseleksi dijatah 50 persen untuk urut umur paling tua hingga ke bawah sampai 75 tahun dan 50 persen nomor porsi selanjutnya.Berita Terkait

“Setelah ada kepastian tambahan kuota, lalu dibuka pelunasan tahap ketiga dan ada 49 orang melunasi dengan rincian 30 lansia dan pendamping serta 19 orang untuk nomor porsi selanjutnya. Kemudian masih ada tersisa dari jatah 324 orang tadi, ditambah lagi sembilan orang terdiri dari empat lansia dan lima orang nomor porsi selanjutnya,” kata Burhan sembari mengatakan jika tahun ini total untuk kota Banjarmasin 690 jamaah calon haji yang berangkat.

Berdasarkan data Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Selatan, calon jamaah haji yang terdaftar melakukan setoran awal haji sebanyak 118 ribu orang. Itu artinya, masa tunggu jika daftar sekarang, maka perkiraan 31 tahun baru dapat giliran berangkat.

Hindari Antrian Bus, Jemaah Diimbau Tidak Langsung Pulang Usai Shalat di Haram

Makkah (Kemenag) — Jemaah haji Indonesia di Makkah semakin banyak. Selain dari Madinah, mulai hari ini, jemaah haji Indonesia juga sudah datang dari Tanah Air melalui King Abdul Aziz International Airport (KAAIA) Jeddah.

Hingga sore ini, lebih 31ribu jemaah yang sudah berada di Kota Kelahiran Nabi. Antrian bus shalawat di terminal pun kerap terjadi, utamanya setelah selesai jemaah Isya dan Subuh.

“Kami imbau, jemaah tidak bergegas pulang secara bersamaan usai salat berjemaah. Manfaatkan waktu untuk beribadah di Masjidil Haram kurang lebih hingga setengah jam usai salat sehingga jemaah tidak menumpuk di terminal,” terang Kadaker Makkah Subhan Cholid di Syisyah, Sabtu (20/07).

Menurutnya, sampai hari ini, Daker Makka sudah mengoperasikan 111 bus shalawat untuk melayani jemaah haji Indonesia beribadah di Masjidil Haram. Jumlah ini akan terus ditambah secara bertahap sesuai proporsi jumlah jemaah yang sudah ada di Makkah.

“Total kami akan siapkan 419 armada dan 31 bus cadangan pada fase puncak kepadatan jemaah haji Indonesia di Makkah,” lanjutnya.

Dijelaskan Subhan, bus shalawat melayani seluruh rute jemaah haji Indonesia selama 24 jam, sehingga jemaah tidak perlu khawatir tidak mendapat layanan. Ada 9 rute bus dengan 56 halte terdekat hotel jemaah, serta tiga terminal di sekitar Masjidil Haram,  yaitu: Terminal Bus Jiad, Syib Amir, dan Bab Ali, semuanya beroperasi 24 jam.

“Jangan langsung pulang secara bersamaan usai jemaah di Haram, agar tidak terjadi penumpukan di terminal,” imbau Subhan.

Disinggung soal kekurangan armada, Subhan menjelaskan penggunaan bus shalawat sudah dihitung secara proporsional dan memperhatikan kepadatan lalu lintas di Makkah. Penambahan armada secara tidak terukur, justru berpotensi menambah kemacetan di Makkah. Sebab, ke depan akan semakin banyak jemaah haji dari berbagai negara yang tiba di Makkah.

KEMENAG RI

Kiat Menjadi Haji Mabrur

Bagi yang Allah karuniai kecukupan rizki maka hendaklah dia menunaikan ibadah haji, karena haji merupakan kewajiban dan rukun Islam.

Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji menurut cara dan tuntunan yang disyariatkan, maka insya Allah dia termasuk dalam kandungan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang berbunyi:

العُمْرَةُ إِلىَ العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ

Umrah ke umrah adalah penghapus dosa diantara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga” (HR. Bukhari – Muslim).

Haji mabrur adalah haji yang sesuai dengan tuntunan syar’i, menyempurnakan hukum-hukumnya, mengerjakan dengan penuh kesempurnaan dan lepas dari dosa serta terhiasi dengan amalan shalih dan kebaikan.

Bila ada yang bertanya, bagaimanakah kriteria haji mabrur?

Pertama: Ikhlas, seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer, kebanggan, atau agar dipanggil oleh masyarakatnya “pak haji” atau “bu haji”.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّـهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ﴿٥﴾

Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan” (QS. Al-Bayyinah: 5)

KeduaIttiba’ (meneladani) kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dia berhaji sesuai tata cara haji yang diperaktekkan oleh Nabi dan menjauhi perkara-perkara bid’ah haji. Beliau sendiri bersabda:

خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ

Contolah cara manasik hajiku” (HR. Muslim).

Ketiga: Harta untuk berangkat hajinya adalah harta yang halal. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ, لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik” (HR. Muslim).

Keempat: Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan.

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّـهُ ۗوَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ ﴿١٩٧﴾

Barangsiapa yang menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak boleh rafats (kata-kata tak senonoh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan pada masa haji” (QS. Al-Baqarah: 197).

Kelima: Berakhlak baik antar sesama, tawadhu dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainnya.

Alangkah bagusnya ucapan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (22/39): “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya’ dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal”.

Semoga Allah menganugerahkan kita haji mabrur.

***

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28607-kiat-menjadi-haji-mabrur.html

Belajar Dahulu Fikih Haji, Semoga Dimudahkan Segera

Sebagian orang sangat ingin bisa segera naik haji, akan tetapi sebagian lagi berpikir “nanti saja” belajar fikh haji yaitu setelah sudah mendaftar haji atau menjelang keberangkatan haji saja. Hendaknya seorang muslim segera belajar fikh haji, tidak harus menunggu sudah mendaftar dulu haji dahulu atau menjelang keberangkatan. 

Haji dan umrah adalah salah satu dari rukun Islam yang mana seorang muslim harus mengetahuinya dan mempelajarinya. Ini termasuk ilmu yang hendaknya dipelajari sebagaimana hadits tentang menuntut ilmu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” [HR. Ibnu Majah]

Suatu fakta dan tidak sedikit kami temui bahwa orang yang belajar fikh haji terlebih dahulu dengan niat ikhlas menunaikan perintah Allah, lalu diberi kemudahan untuk bersegera naik haji atau umrah. Padahal secara logika saat itu, orang tersebut sulit untuk bisa segera menunaikan ibadah haji dan umrah baik dilihat dari sisi ekonomi, usia, kesehatan dan kesempatan waktu.

Demikianlah Allah lebih tahu apa yang menjadi niat utama dan usaha seorang hamba. Apabila seorang hamba sangat ingin naik haji dan benar-benar tulus dari hati yang paling dalam, tentu ia berusaha dari awal dengan mempelajari fikh ibadah haji meskipun belum mendaftar haji atau umrah.

Allah mengetahui apa yang disembunyikan hati sebagaimana firman Allah,

وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ

Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan. [An-Nahl/16: 19]

Allah juga berfirman,

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

“Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” [Ghafir: 19]

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah tahu apa yang ada dalam hatinya, yaitu keinginan yang sangat kuat untuk segera naik haji, maka bisa jadi Allah memudahkan jalannya menunju baitullah. Ibnu Katsir berkata,

ويعلم ما تنطوي عليه خبايا الصدور من الضمائر والسرائر .

“Allah mengetahui apa yang menjadi keinginan hati dan rahasia serta yang tependam di dalam hati.” [Tafsir Ibnu Katsir 7/137]

Sebagian orang juga memang sengaja menunda haji, mereka berpikir bahwa haji itu adalah ibadah yang bisa ditunda, padahal mereka sudah mampu dan wajib. Mereka menunggu ketika sudah tua dahulu baru berangkat pergi haji. Hal ini tidaklah tepat, ibadah haji itu dilakukan sesegra mungkin apabila telah  mampu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ – يَعْنِي : الْفَرِيضَةَ – فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ

“Bersegeralah kalian berhaji-yaitu haji yang wajib-karena salah seorang diantara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya” [HR.Ahmad, dihasankan oleh Al-Albany]

Beliau juga bersabda,

مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيضُ وَتَضِلُّ الضَّالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ

“Barangsiapa yang ingin pergi haji maka hendaklah ia bersegera, karena sesungguhnya kadang datang penyakit, atau kadang hilang hewan tunggangan atau terkadang ada keperluan lain (mendesak)”. [HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Albani]

Semoga kita dimudahkan untuk segera mempelajari fikh ibadah haji dan Allah pun memudahkan kita untuk segera naik haji memenuhi panggilan Allah.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47771-belajar-dahulu-fikih-haji-semoga-dimudahkan-segera.html

Fatwa Ulama: Sahkah Haji Dan Muamalah Yang Menggunakan Harta Haram?

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Soal:

Seseorang semua hartanya haram, dan ia menikah dari harta tersebut, berhaji dari harta tersebut, dan juga melakukan jual beli dengan harta tersebut. Ia ingin bertaubat, apa yang semestinya ia lakukan?

Jawab:

Jika ia bertaubat, Allah akan memberikan taubat kepadanya. Adapun masalah hartanya, perlu ditinjau. Sebagian ulama memandang bahwa ia boleh memanfaatkannya. Berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala :

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah: 275).

Maka apabila mengambil dari harta tersebut sebatas yang jadi kebutuhan dan bersedekah dengannya insya Allah sudah cukup. Namun jika ia ingin mensucikan harta itu seluruhnya dan menyedekahkannya seluruhnya dengan cara yang baik dan memperbarui usahanya dengan baik maka ini lebih hati-hari dan lebih baik.

Tapi jika ia miskin ia boleh mengambil manfaat dari harta tersebut. Karena Allah subhanahu wata’ala berfirman: “… maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu” dan ini mencakup orang-orang kafir yang mereka masuk Islam dan dulunya ia bermuamalah dengan riba, sedangkan riba itu haram dan mereka sudah meninggalkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berkata kepada mereka: “kembalikan harta ribamusetelah kalian taubat darinya dan masuk islam“.

Untuk muslim yang demikian dikatakan oleh sebagian ulama bahwa kasusunya sebagaimana orang kafir, bahkan tidak separah orang kafir. Maka ia lebih utama dari orang kafir jika taubat, Dan karena melarangnya memiliki hartanya terkadang membuatnya lari dari taubat juga.

Jika memang mudah baginya untuk mengeluarkan harta tersebut dan bersedekah dengannya maka ini lebih hati-hati, dalam rangka keluar dari perselisihan ulama. Sedangkan hajinya sah, karena haji adalah amalan badan, tidak ada hubungannya dengan harta.

***

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/node/1588

Penerjemah: Andi Ihsan

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26660-fatwa-ulama-sahkah-haji-dan-muamalah-yang-menggunakan-harta-haram.html

Makna Tauhid di Balik Kalimat Talbiyah Haji

Tentu kita sering mendengar kalimat talbiyah yang diucapkan oleh jamaah haji dan umrah. Kalimat tersebut sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu”. [HR. Muslim] 

Tahukah anda, bahwa dahulu orang kafir quraiys juga melakukan haji dan tawaf yang merupakan warisan dari ajaran nabi Ibrahim. Mereka juga dan mengucapkan talbiyah. Hanya saja ucapan talbiyah mereka ditambah dengan ucapan kesyirikan, padahal lafadz talbiyah yang mereka ucapkan menyatakan “Tidak ada sekutu bagi-Mu”. Namun, orang kafir quraiys menambahkan dengan lafadz “Kecuali sekutu yang Engkau miliki” yaitu berhala-berhala orang kafir Quraisy sembah sebagai sekutu bagi Allah.

Mendengar lafadz tersebut diucapkan oleh orang kafir Quraisy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

وَيْلَكُمْ قَدْ قَدْ فَيَقُولُونَ إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ

“Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan.” Tapi mereka meneruskan ucapan mereka; illaa syariikan huwa laka tamlikuhu wamaa malaka (kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai).” Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf di Baitullah. [HR. Muslim no. 1185]

Berikut beberapa makna dari kalimat talbiyah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ

“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu.

Makna kalimat ini: Saya benar-benar adalah memenuhi panggilan-Mu wahai Allah

لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَبَّيْكَ

Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu

Makna kalimat ini: Adalah menyatakan tidak ada sekutu bagi Allah dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah

إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu”

Makna kalimat ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim:

حمداً لله الذي هو من أحب ما يتقرب به العبد إلى الله

وعلى الاعتراف لله بالنعم كلها

“Pujian kepada Allah adalah yang paling bisa mendekatkan hamba kepada Allah yaitu mengakui bahwa Allah yang memberikan nikmat semuanya.” [Mukhtashar Tahdzib Sunan 2/335]

Makna yang sangat jelas dan dalam, karena dalam ibadah haji kita benar-benar mengorbankan banyak hal, di mulai dari harta, tenaga, pikiran dan meninggalkan keluarga di rumah cukup lama. Sangat disayangkan apabila tercampur dengan riya’ atau ditujukan bukan untuk selain Allah (menyekutukan Allah). Hendaknya kita mengakui besar nikmat Allah kita mampu naik haji dengan memuji Allah karena tidak semua orang diberikan nikmat ini.

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47799-makna-tauhid-di-balik-kalimat-talbiyah-haji.html

Jamaah Haji Suriah, Kesabaran Yang Tak Berbatas

Seorang jamaah haji Suriah. Dia kehilangan istrinya, lima anak, rumah, dan tanah airnya. Tragedi dan bencana yang ia alami di tanah airnya, Suriah, bertubi-tubi menimpanya tanpa jeda di saat ia telah tua. Meskipun banyak kehilangan dan mengalami duka lara, ia tetap membulatkan niatnya untuk datang berziarah ke Baitullah al-Haram untuk mendoakan tanah airnya. Jiwa yang rapuh itu ia kuatkan. Perasaan yang lebur berkeping-keping, terus ia tata untuk terus istiqomah tidak berputus asa dari rahmat Allah.

Nama pria tua asal Suriah itu adalah Muhammad Husein. Ia mengatakan, “Saya di Mina dengan tubuh yang cacat dan perasaan yang hancur. Perang di Suriah telah merenggut seluruh keluarga saya –istri dan lima anaknya-, dan jari-jari tangan kanan saya pun lumpuh karena luka tembak.”

Husein menceritakan kepada surat kabar al-Hayat bahwa semua anggota keluarganya meninggal ketika rumahnya di Aleppo rata berubah menjadi puing-puing oleh serangan jet tempur pasukan pemerintah Suriah. “Tidak ada yang selamat dari serangan itu. Kami menyeret semua mayat dari reruntuhan kemudian menguburkan mereka. Sejak saat itu, saya pun hidup sendiri.” katanya.

Ia melanjutkan, “Mimpi yang telah saya idam-idamkan selama lebih dari 50 tahun, melihat anak-anak saya menikah dan hidup bahagia, sirna begitu saja oleh hujan bom pada hari itu.”

Dengan kesedihan, ia tetap melanjutkan ceritanya, “Selain kehilangan istri, anak-anak, dan tempat tinggal, saya juga merasakan kehilangan yang sangat besar, yaitu kehilangan negeri saya Suriah. Negeri yang direnggut oleh Presiden Bashar al-Assad dan kroni-kroninya.”

Husein menggambarkan perang adalah sebuah “kutukan”, tapi ia tetap menasihatkan agar rakyat Suriah tetap bersabar atas apa yang menimpa mereka. Betapapun lamanya bencana ini menghujam malam-malam Suriah, suatu hari ia pun akan berakhir.

Dalam kesabaran dan harapan terhadap rahmat Allah, cinta dan kasih sayangnya terhadap anak dan istrinya terus hidup di sanubarinya. “Mereka selalu terukir di dalam hatiku. Mungkin dari luar, orang-orang melihatku seolah-olah tidak apa-apa. Namun di dalam ragaku, kurasakan luka besar yang menganga karena kehilangan mereka.”

Pelajaran:

Pertama: Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah. Sebgaimana firman Allah,

لَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87).

Berharap jalan keluar dan rahmat dari Allah adalah sifat orang yang beriman. Sedangkan berputus asa dari rahmat Allah adalah sifat orang-orang kafir.

Kedua: Sabar terhadap takdir dan ketetapan Allah. Muhammad Husein ditimpa ujian yang sangat berat dengan kehilangan keluarga, harta, tanah air, bahkan anggota tubuhnya, namun ia tetap bersabar atas ketetapan Allah. Lebih dari itu, ia juga mengajak agar semua rakyat Suriah bersabar.

Ketiga: Berprasangka baik terhadap Allah. Muhammad Husein tidak mencela Allah atas duka lara yang ia terima. Ia terus berprasangka baik kepada Allah dengan keyakinan semua musibah itu akan berakhir pada waktu yang Allah tetapkan.

Keempat: Semakin dekat kepada Allah saat mendapatkan ujian. Banyak orang ketika mendapatkan ujian, ia malah menjauh dari Allah. Ujian yang ia terima, direspon dengan malas beribadah, atau bahkan bermaksiat kepada Allah, wal ‘iyadzubillah. Hal ini sama saja dengan mendapat musiah terbesar karena kehilangan Allah. Muhammad Husein merespon ujian yang ia terima dengan cara yang sangat positif. Ia semakin dekat dengan Allah, dengan menunaikan haji ke Baitullah.

Kelima: Tetap berdoa meminta kebaikan terahadap tanah air. Pemandangan di Suriah adalah pemandangan yang mengenaskan. Melihat apa yang terjadi di sana, seolah-olah tidak ada lagi harapan untuk hidup. Setiap jengkal adalah gedung yang hancur, darah yang mengalir, mayat yang terkapar, atau derai air mata dan kelaparan. Namun Husein tetap mendoakan negerinya. Demikian juga semestinya kita rakyat Indonesia, tetap mendoakan kebaikan untuk negeri kita dan pemimpin-pemimpin kita.

Keenam: Semangat berhaji di tengah berbagai kekurangan yang dialami.

Sumber: saudigazette.com.sa

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/4623-jamaah-haji-suriah-kesabaran-yang-tak-berbatas.html

Dehidrasi Bisa Picu Disorientasi, Jemaah Diimbau Banyak Minum

Makkah (Kemenag) — Kehilangan cairan tubuh atau dehidrasi seringkali menyebabkan seseorang mengalami disorientasi. Kasus semacam ini juga kerap ditemui pada jemaah  haji Indonesia saat berada di tanah suci, di mana kondisi iklim dan cuacanya berbeda jauh dengan Indonesia.

Keterangan ini disampaikan oleh dokter spesialis kejiwaan pada Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Daerah Kerja Makkah Herlina Pohan. “Berdasarkan data kasus yang dialami jemaah haji tahun lalu, banyak ditemui jemaah haji yang dirawat di KKHI karena mengalami disorientasi, semula disebabkan kurangnya cairan di dalam tubuhnya,” jelas Herlina, Senin (15/07). 

Herlina menambahkan, jemaah haji Indonesia  memiliki kebiasaan minum yang cenderung rendah. Biasanya jemaah baru minum kalau merasa haus. “Padahal di tanah suci, kita akan alami suhu tinggi dan kelembaban rendah, ini membuat kita jarang haus. Maka sebaiknya kita tetap minum sebelum haus,” pesan Herlina. 

Hal ini juga bertujuan untuk memastikan tubuh tidak mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan disorientasi.

Kebiasaan minum jemaah haji Indonesia yang baru minum saat haus, menurut Herlina perlu segera diubah setibanya di tanah suci. “Bila di tanah air, haus dapat jadi ciri bila tubuh kita kekurangan cairan. Karena kelembaban  udara di sana tinggi. Tapi setibanya di tanah suci, sebaliknya. Kita jarang merasa haus karena kelembaban  udaranya rendah,” papar Herlina. 

“Maka di KKHI, biasanya kita akan memberikan terapi cairan terlebih dahulu bila menemukan kondisi seperti itu. Kita berharap  bila cairan tubuhnya cukup, maka kesadarannya pun akan pulih kembali,” kata Herlina. 

Ini yang membedakan ruang layanan rawat inap gangguan kejiwaan yang terdapat di KKHI Makkah dengan klinik pada umumnya di tanah air. “Berbeda dengan di tanah air di mana klinik kejiwaan tidak menyertakan fasilitas infus pada bed nya, kalau di sini kita sediakan. Karena terapi yang pertama digunakan  dengan memberikan cairan itu,” kata Herlina. 

KEMENAG RI