Tag: hijrah
Makna dan Hukum Seputar Hijrah
Pengertian hijrah
Hijrah secara bahasa diambil dari kata (الهجر) yang artinya meninggalkan. Adapun secara istilah syariat yaitu sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad at Tamimi Rahimahullah dalam risalahnya Tsalatsatul Ushul,
وَالهِجْرَةُ: الاِنْتِقَالُ مِنْ بَلَدِ الشِّرْكِ إِلى بَلَدِ الإِسْلاَمِ
“Hijrah adalah berpindah dari negeri syirik menuju negeri Islam” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin).
Sebab disyariatkannya hijrah adalah karena seorang mukmin wajib untuk menampakkan agamanya dan bangga denganya, dalam rangka menjelaskan kepada manusia bahwa dirinya telah bersaksi dengan kebenaran. Dalam persaksian syahadat tauhid Laa ilaha illallah dan syahadat risalah Muhammad Rasulullah, terdapat unsur kewajiban untuk mengabarkan kepada orang lain. Pemberitahuan tentang kabar ini mencakup dengan lisan dan juga amal perbuatan. Menampakkan agama merupakan bentuk pengabaran kepada orang lain yang merupakan kandungan dan makna sayahadat. Oleh karena itu, hijrah dari negeri syirik menuju negeri Islam adalah suatu yang wajib apabila seorang muslim tidak mampu menampakkan agamanya di negeri tersebut.
Bentuk hijrah
Hijrah ada dua bentuk, yaitu:
Pertama, hijrah tempat
Hijrah tempat adalah hijrah dari negeri musyrik ke negeri Islam sebagaimana penjelasan di atas. Hijrah berdasarkan tempatnya dibagi menjadi dua:
1. Hijrah yang umum, yaitu setiap hijrah yang dilakukan dari negeri kafir ke negeri Islam. Kewajiban hijrah ini berlaku sampai hari kiamat.
2. Hijrah yang khusus, yaitu hijrah dari Mekah ke Madinah di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat Nabi meninggalkan negeri Mekah, status Mekah dalah negeri syirik. Kemudian Nabi hijrah ke Madinah dan di negeri tersebut tersebarlah agama Islam ke setiap rumah sehingga Madinah menjadi negeri Islam. Sehingga pada saat itu, Nabi hijrah dari negeri syirik, yaitu Mekah, menuju negeri Islam, yaitu Madinah. Ini adalah hijrah yang khusus dan hanya berlaku pada saat itu.
Hal ini sesuai sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada hijrah setelah Fathul Mekah.” Yang dimaksud dalam hadis ini adalah hijrah khusus, yaitu dari Mekah ke Madinah (lihat penjelasan dalam Syarh Kitabi Tsalatsatil Ushul li Syaikh Shalih Alu Syaikh).
Kedua, hijrah maknawi
Hijrah maknawi adalah hijrah dari kemaksiatan menuju kepada ketaatan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang” (HR. Bukhari).
Contohnya hijrah dari memakan harta riba, mendengrakan musik, meminum khamr, dan perbuatan maksiat lainnya (lihat Syarh Al Ushul Ats Tsalatsah karya Ustadz Dr. Firanda Andirja Hafiidzahullah).
Hukum hijrah
Dalam permasalahan hijrah, kondisi manusia dibagi menjadi tiga golongan:
Petama, golongan yang wajib untuk hijrah
Ini berlaku bagi orang yang mampu untuk hijrah sementara dia tidak mampu menampakkan agamanya di negeri tempat dia tinggal saat ini. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)’. Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa: 97).
Sisi pendalilannya yaitu bahwa Allah menyifati orang yang tidak mau hijrah bahwa mereka menzalimi diri mereka sendiri. Barangsiapa yang tinggal di negeri kafir, sementara dia mampu untuk berhijrah dan dia tidak mampu menampakkan agama Islam di negeri tersebut, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri. Orang ini telah melakukan hal yang haram berdasarkan kesepakatan para ulama.
Kedua, golongan yang tidak wajib hijrah
Golongan ini adalah orang-orang yang tidak mampu hijrah baik karena sakit atau dipaksa untuk tetap tinggal sehingga tidak bisa meninggalkan tempat tersebut. Begitu juga orang-orang yang lemah seperti wanita dan anak-anak. Allah Ta’ala berfirman,
إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً
“Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS. An-Nisa: 98).
Kewajiban golongan ini adalah mengasingkan diri dari orang-orang kafir ketika melaksanakan agamanya dan bersabar terhadap gangguan dari mereka.
Ketiga, golongan yang dianjurkan untuk hijrah
Tidak diwajibkan atas mereka untuk berhijrah seperti golongan yang pertama, yaitu bagi orang-orang yang mampu hijrah namun dia masih bisa menampakkan agamanya di negeri kafir tersebut. Bagi golongan ini dianjurkan untuk berhijrah agar dapat ikut jihad memerangi orang kafir dan memperkuat barisan kaum muslimin serta menjauhkan diri dari orang-orang kafir dan tidak berbaur dengan mereka (Hushulul Ma’mul hal. 171-172).
Hukum di atas berkaitan tentang hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam. Selain itu ada jenis hijrah yang lain yaitu dari negeri yang banyak maksiat dan bid’ah menuju ke negeri yang tidak ada atau sedikit perbuatan maksiat dan bid’ah. Sebagian ulama menjelaskan hijrah seperti ini hukumnya mustahab (dianjurkan) (lihat penjelasan dalam Syarh Kitabi Tsalatsatil Ushul li Syaikh Shalih Alu Syaikh).
Kewajiban hijrah berlaku hingga hari kiamat
Dalil tentang kewajiban hijrah dari sunah adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
لا تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة، ولا تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها
“Tidak terputus (kewajiban) hijrah sampai terputusnya taubat, dan bertaubat tidak terputus waktunya sampai terbitnya matahari dari barat.”
Hadis ini menunjukkan bahwa kewajiban hijrah terus berlaku sampai tegaknya hari kiamat. Selama seseorang masih diterima taubatnya, maka tetap ada kewajiban hijrah baginya. Pintu taubat tertutup ketika hari kiamat tiba. Termasuk tanda awal terjadinya kiamat adalah terbitnya matahari dari barat. Jika matahari terbit dari barat, maka pada saat itu taubat sudah tidak diterima. Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْساً إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْراً قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا مُنتَظِرُونَ
“Pada hari datangnya sebagian ayat-ayat Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, ‘Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula)’“ (QS. Al-An’am: 158).
Yang dimaksud dengan “sebagian ayat-ayat Tuhanmu” di sini adalah terbitnya matahari dari barat. Hal ini menunjukkan bahwa taubat seorang hamba dapat diterima sebelum terbitnya matahari dari barat. Jika taubat masih dapat diterima, maka kewajiban hijrah tidak terputus.
Penyusun: Adika Mianoki
Sumber: https://muslim.or.id/69586-makna-dan-hukum-seputar-hijrah.html
Mengapa Sesuatu yang Najis Itu Haram untuk Dikonsumsi?
Allah memerintahkan manusia agar mengkonsumsi makanan yang halal serta thayyib. Halal dalam arti tidak dilarang oleh syariat, serta thayyib dalam arti tidak mengandung keburukan, aman dikonsumsi, serta tidak memudaratkan terhadap diri. Lalu mengapa sesuatu najis itu haram untuk dikonsumsi?
Dalam Al-Qur’an Allah menghalalkan segala yang baik, dan mengharamkan segala hal yang buruk. Sebagaimana berikut,
يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Dia (Nabi Muhammad) memerintah mereka kepada yang ma’ruf serta mencegah mereka dari yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan atas mereka segala yang buruk. (QS. Al-A’raf: 157)
Pada ayat di atas, hal yang buruk disebut dengan istilah al-khabaits. Lafadz khabits sendiri dalam ilmu Sharraf merupakan sifat musyabbihat yang diambil dari fiil madi lafadz khabutsa – yakhbutsu – khubtsan, yang bermakna sesuatu yang rusak, menjijikkan, buruk, atau tidak menyenangkan. Rupanya kata al-khabits juga mencakup makna barang yang najis. Sebagaimana dalam hadis Nabi yang berbunyi,
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
Tatkala air telah mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung najis. (HR. Bukhari & Muslim)
Lafadz khabats dalam hadis di atas dipahami oleh sebagian ulama dengan makna najis. Sebab, najis merupakan sesuatu yang buruk dan khabats (menjijikan), maka ia diharamkan.
Pada suatu ketika Imam Zuhri pernah ditanya perihal hukum minum air kencing sebagai cara berobat. Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri ini merupakan ulama yang mempelopori kodifikasi hadis-hadis Nabi. Imam Zuhri lantas menjawab bahwa air kencing bukanlah sesuatu yang thayyibat. Karena tidak thayyib, maka air kencing merupakan sesuatu yang buruk. Dan kita telah mengetahui bahwa air kencing hukumnya najis.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
Diharamkan atas kalian, yaitu; bangkai, darah, daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih atas berhala-berhala. (QS. Al-Maidah: 3)
Ayat di atas mengindikasikan bahwa bangkai, darah dan hewan yang tidak disembelih sesuai syariat Islam, kesemuanya diharamkan oleh agama. Syaikh Khotib Al-Syirbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj menjelaskan bahwa keharaman yang tidak sebab pemuliaan atau kondisi yang menjijikkan, menunjukkan statusnya ialah najis.
Contoh kasusnya adalah status keharaman bangkai. Bangkai tidak dimuliakan, dan jika belum membusuk, bagi sebagian orang ia belum dinilai sesuatu yang menjijikkan. Sedangkan dalam kajian Fikih, bangkai tidak hanya dipahami sebagai makhluk mati. Bangkai didefinisikan sebagaimana berikut,
وَالْميتَة مَا زَالَت حَيَاتهَا بِغَيْر ذَكَاة شَرْعِيَّة
Bangkai ialah makhluk yang hilang nyawanya dengan cara penyembelihan yang tidak syar’i. (Al Iqna’, juz 1, hal. 24).
Pengertian “bangkai” ini tidak hanya mencakup kepada hewan yang tidak disembelih secara syar’i, namun juga hewan yang haram dimakan dagingnya meski disembelih sesuai ketentuan Islam. Karena keharaman bangkai ini karena ia najis. Beberapa benda najis lain yang kita ketahui antara lain adalah babi dan anjing, benda cair yang memabukkan, air kencing, nanah, darah dan muntahan. Status benda-benda najis ini hukumnya haram untuk dikonsumsi.
Setelah kita mengetahui bahwa benda najis itu haram untuk dikonsumsi (selain dalam kondisi darurat dan mendesak), bagaimana dengan benda dengan yang terkena najis (mutanajjis)? Pertanyaannya apakah barang yang mutanajjis ini juga haram untuk dikonsumsi?
Di dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah pernah ditanya tentang adanya bangkai tikus yang jatuh di permukaan mentega (sementara ulama mengartikannya dengan lemak) yang padat. Kemudian Nabi menjawab, “Apabila mentega itu padat, maka buanglah tikus itu dan buang juga mentega di sekitar daerah yang kejatuhan tikus itu. Dan bila mentega itu cair, maka jangan digunakan.” (HR. Bukhari)
Bangkai tikus itu sendiri adalah najis. Permukaan mentega yang terkena bangkai tersebut, adalah barang yang mutanajjis (terkena najis). Dari situ dapat kita ketahui bahwa benda padat yang terkena najis, selama masih bisa dihilangkan wujudnya maka ia bisa dikonsumsi kembali. Akan tetapi jika ia bercampur, maka bangkai itu menjadikan seluruh bagian dari benda cair itu menjadi najis. Wallahua’lam.
Kenapa Nabi Muhammad Hijrah ke Negeri Madinah?
Hampir 13 tahun Nabi berdakwah di Mekah. Mengetuk hati penduduk Mekah untuk menerima Islam sebagai agama. Dari satu pintu ke pintu yang lain. Dari satu orang ke orang lain. Namun, dakwah Nabi tersebut juga belum membuahkan hasil yang positif.
Justru caci-maki, cemooh, dan hinaan yang diperoleh Nabi dari kaum pagan Mekah. Arogansi kaum Quraisy kian meningkat tatkala paman tercinta Nabi, Abu Thalib meninggal dunia. Orang yang senantiasa melindungi Nabi dan dakwahnya. Pun siksaaan terhadap Nabi dan sahabat lain meningkat ketika istri beliau, Khadijah berpulang ke hadirat Allah.
Eskalasi siksaan dan hinaan yang diterima kaum muslimin kian menjadi-jadi. Pada tahun ke 8 dan 10 kenabian, akhirnya Nabi berencana hijrah ke Thaif— sebuah kota dengan ketinggian 1.520 meterdari permukaan laut. Daerah Thaif sekitar 60-70 km ke arah timur laut Mekah. Thaif termasuk kota terbesar ketiga di Jazirah Arab; Mekah, Yastrib (Madinah), dan Thaif.
Sayang, harapan untuk hijrah ke Thaif tak membuahkan hasil. Kehadiran Nabi Muhammad tak diterima. Penolakan keras justru yang diterima Nabi dan sahabat lainnya. Penduduk Thaif dengan ganas melempar Nabi dengan bebatuan. Lemparan batu itu mengakibatkan pelipis Nabi berdarah.
Titik terang dakwah Nabi terjadi pada musim haji, kabilah Kharraj dan Aus—dua suku terbesar di Yastrib—, datang untuk melaksanakan haji ke Mekah. Kabilah ini menjalin korespondensi dengan Nabi Muhammad. Hasil dari korespondensi ini berujung adanya Bait Aqabah I dan II. Perjanjian ini menjadi angin segar bagi dakwah Nabi. Pasalnya, warga Madinah banyak yang mendukung dakwah Nabi ini.
Tingginya animo masyarakat Madinah terhadap dakwah Nabi, membuat Rasulullah untuk mengirim Mush’ab bin Umair untuk menyebar luaskan Islam di Yastrib. Dan pada akhirnya, Nabi juga memutuskan untuk hijrah ke Yastrib. Hijrah ke Yastrib merupakan perintah Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an, Q.S al Ankabūt/29;56;
يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ أَرْضِى وَٰسِعَةٌ فَإِيَّٰىَ فَٱعْبُدُونِ
Yā ‘ibādiyallażīna āmanū inna arḍī wāsi’atun fa iyyāya fa’budụn
Artinya: Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja
Lantas muncul persoalan, kenapa Nabi memilih Hijrah ke Madinah? Bukankah sebelumnya Nabi sempat mengirim sahabat Ja’far bin Abu Thalib hijrah ke Habasah (Etiopia). Dan juga sempat mengirim Usman bin Affan untuk mencari suaka politik dari raja Habsyah—raja yang Kristen. Apa rahasianya Nabi memutuskan hijrah ke Madinah?
Dalam buku Kearifan Syariat; Menguak Rasionalitas Syariat dari Perspektif Filosofis, Medis, dan Sosiohistoris, menyebutkan bahwa ada banyak alasan Nabi memutuskan untuk hijrah ke negeri Madinah. Pertama, karateristik penduduk Madinah yang solider dan mau menerima dakwah Nabi. Inilah tampaknya termasuk pertimbangan Nabi dalam melaksanakan hijrah.
Ajaran Islam yang komplit terkait muamalah, ekonomi, hukum, politik, dan ubudiyah mampu diterapkan di Madinah. Hal-hal ini yang dapat diperhatikan dalam kandungan yang tertuang dalam ayat-ayat Madaniyah. Sehingga peradaban Islam mampu terwujud dari Madinah. Kota yang subur dan penduduk yang ramah.
Kedua, karateristik penduduk Madinah. Karateristik penduduk Madinah terbilang penduduk yang tangkas, pemberani, kuat, mencintai kebebasan, serta konsisten dengan asas pembelaan harga diri. Masyarakat Madinah tidak mau tunduk pada perintah siapapun. Tidak pernah juga menyerahan hasil bumi mereka untuk penguasa sebagai jaminan keamananan.
Hasil bumi hanya diserahkan sebagai jamuan makan untuk tamu. Juga hasil bumi diserahkan dalam bentuk transaksi jual-beli. Di samping itu, karateristik penduduk Madinah yang memiliki tingkat solidaritas tinggi membuat sahabat Nabi yang hijrah menemukan saudara dan keluarga baru.
Ketiga, letak strategis kota Madinah. Letak geografis Yastrib (Madinah) terbilang sangat strategis. Pasalnya, daratan Yastrib didominasi oleh gurun pasir, pegunungan, vegatasi pohon kurma, dan pelbagai tanaman tebal. Wilayah ini banyak memiliki kebun kurma yang luas. Kondisi ini, mempersulit dan memperlemah musuh untuk menyerang Madinah.
Tak sampai di situ, wilayah Madinah sebelah Barat terdapat hirrah wabrah. Sedangkan pada sisi Timur terdapat hirrah waqim. Ada pun hirrah merujuk pada bebatuan hitam dan keras yang terbentuk dari aliran lahar gunung berapi. Medan lapangan ini sulit didahului oleh pejalan kaki dan juga kendaraan. Kondisi ini juga menjadi tempat strategis untuk pertahanan militer.
Keempat, Nabi Muhammad sebagai juru damai Madinah. Pasalnya sebelum Nabi hijrah ke Madinah, wilayah ini rawan konflik antar suku. Beberapa kali terjadi konflik antar suku yang berujung kematian. Suku Aus, Khazraj, dan Yahudi sering bertikai. Hingga membuat terjadi perang Buats—sekitar tahun ke lima kenabian.
Pada perjanjian Aqabah salah satu permintaan kabilah Khazraj adalah agar Nabi mau mengambil peran dalam mendamaikan suku yang berkonflik. Pasalnya, kabar tentang Nabi sebagai al Amin—terpercaya dan amanah—, tersebar hingga negeri Madinah. Dengan kedatangan Nabi Muhammad, maka pelbagai suku yang berkonflik menjadi damai.
Inilah Rute Hijrah Nabi Muhammad SAW Dahulu
Nabi Muhammad menunjukkan kelasnya sebagai ahli strategi saat merencanakan hijrah
Ketika berbagai cobaan dan ujian silih berganti dialami umat Islam, Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk segera berhijrah ke Yatsrib. Perihal tempat untuk hijrah ini, Allah SWT telah memberitahukan Rasulullah.
Dalam buku berjudul Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Martin Lings mengungkapkan, Nabi SAW sudah mengetahui bahwa Yastrib adalah lahan subur di antara dua jalur batu-batu hitam yang beliau lihat dalam mimpinya. Beliau juga tahu bahwa tibalah waktunya untuk hijrah.
Sementara itu, Dr Ahzami Samiun Jazuli dalam bukunya mengenai Hijrah dalam Pandangan Al-Quran menuliskan, Imam Muslim mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Aku melihat dalam tidur bahwa aku berhijrah dari Makkah menuju suatu tempat yang banyak terdapat pohon kurma. Aku mencoba menebak apakah itu Yamamah atau Hajar? Namun, ternyata, itulah Kota Yatsrib.” (Shahih Muslim: 2272).
Rasul pun memerintahkan para sahabatnya untuk segera berhijrah, baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok. Adapun Rasul SAW, rencananya akan menyusul setelah semua umat Islam berhijrah ke Madinah. Sebab, Rasul mengetahui, yang dimusuhi oleh kaum kafir Quraisy adalah diri beliau, dan bukan kaum Muslimin.
Kaum Quraisy pun menyiapkan strategi untuk melakukan penangkapan terhadap Rasul SAW. Namun, rencana kaum Quraisy ini diketahui oleh Nabi SAW. Saat itu, Rasulullah sendiri memang masih tinggal di Makkah dan kaum Muslim sudah tidak ada lagi yang tinggal, kecuali sebagian kecil. Sambil menunggu perintah Allah SWT untuk berhijrah, Nabi SAW menemui Abu Bakar dan memberitahukannya untuk bersiap hijrah ke Madinah.
“Dan, katakanlah, Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.”(Al-Isra [17]: 80).
Di sinilah, sebagaimana dipaparkan Muhammad Husain Haekal dalam bukunya Hayatu Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya demi kebenaran, keyakinan, dan keimanan.
Untuk mengelabui kaum Quraisy, Rasulullah memutuskan akan menempuh jalan lain (rute yang berbeda) dari jalur yang biasa digunakan penduduk Makkah untuk menuju Madinah. Rasulullah SAW memutuskan akan berangkat bukan pada waktu yang biasa.
Padahal, Abu Bakar sudah menyiapkan dua ekor unta sebagai kendaraan yang akan dipergunakan Nabi SAW pada saat berhijrah. Hijrah ini dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan dakwah dan akidah Islam serta kaum Muslimin.
Rute yang ditempuh Rasul itu adalah setelah keluar dari rumah beliau, jalan yang ditempuh adalah Gua Tsur, berjarak sekitar 6-7 kilometer di selatan Makkah. Sedangkan Madinah berada di sebelah utara Makkah. Langkah ini diambil untuk mengelabui kafir Quraisy. Di Gua Tsur ini, Rasulullah dan Abu Bakar tinggal selama kurang lebih tiga hari.
Selanjutnya, beliau mengambil jalur ke arah barat menuju Hudaibiyah, arah sebelah timur desa Sarat. Kemudian, menuju arah Madinah dan berhenti di sebuah kawasan di al-Jumum dekat wilayah Usfan. Lalu, bergerak ke arah barat dan memutar ke perkampungan Ummul Ma’bad dan berhenti di wilayah Al-Juhfah.
Selanjutnya, beliau menuju Thanniyat al-Murrah, Mulijah Laqaf, Muwijaj Hujaj, Bath Dzi Katsir, hingga tiba di Dzu Salam. Di sini, beliau memutar ke arah barat sebelum meneruskan ke arah Madinah dan berhenti di daerah Quba. Di sinilah beliau mendirikan Masjid Quba, yaitu Masjid pertama yang didirikan Rasul SAW.
Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilometer dari Quba, beliau bersama umat Islam lainnya, melaksanakan shalat Jumat. Untuk memperingati peristiwa itu, dibangunlah masjid di lokasi ini dengan nama Masjid Jumat. Setelah itu, barulah Rasul SAW menuju Madinah.
Hijrahnya Seorang Pencuri Ulung
Menjadi seorang pencuri sudah seperti pekerjaan saya sehari hari. Ketika itu, jika tidak mencuri, tangan saya rasanya gatal sekali. Dari hasil nyolong itu, saya pakai untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan, bayar kontrakan, dan sebagainya.
Saya biasa mencuri di banyak tempat, mulai dari warung kecil, kotak amal masjid hingga rumah sakit. Dulu, sangat gampang mencuri barang orang di rumah sakit, karena kebanyakan pemiliknya lengah. Apalagi, saat itu belum ada kamera CCTV.
Hingga suatu hari, pada penghujung malam, terjadi sebuah kejadian aneh, ketika saya tengah ‘bergerilya’ untuk melakukan aksi pembobolan rumah di sebuah kota di Jawa Tengah. Rumah yang menjadi sasaran saya ternyata milik pasangan suami istri yang sudah lanjut usia. Namun, dari peristiwa itulah justru menjadi titik balik bagi kehidupan saya.
Setelah berhasil masuk ke rumah, saya menyisir setiap ruangan, mencari barang-barang berharga yang dapat dibawa pulang. Kemudian saya kumpulkan di sebuah ruang yang langsung menghadap pintu keluar supaya lebih mudah membawanya.
Sementara, pemilik rumah masih tertidur pulas. Saya masih terus menyisir hingga merasa cukup puas. Lalu, memutuskan untuk segera keluar meninggalkan rumah.
Namun, ketika ingin keluar rumah, terjadi peristiwa yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Bukan kepergok pemilik rumah atau warga sekitar, tetapi tiba-tiba saya kesulitan untuk menemukan pintu keluar.
Hampir setiap sudut rumah sudah saya jamah, tetapi entah kenapa saya seperti tersesat dan kebingungan. Pintu yang sedianya sudah saya pilih untuk jalan keluar tak kunjung saya temukan. Setelah capek keliling, perut saya keroncongan. Tanpa pikir panjang, saya langsung menuju dapur untuk mengambil sepiring nasi beserta lauk pauk.
Setelah makan dan perut kenyang, tiba-tiba rasa kantuk yang teramat menyergap hingga membuat saya tertidur nyenyak.
Adzan Shubuh pun berkumandang dari masjid yang tak jauh dari rumah itu. Saya terbangun oleh tepukan ringan di pundak. Saya pun kaget bukan kepalang, sebab yang menepuk ternyata sang pemilik rumah. Bukanya dimarahi atau dilaporkan, ia justru menyuruh saya untuk Shalat Shubuh berjamaah ke masjid. Tetapi, ternyata saya tetap tak sanggup keluar rumah, seolah tubuh ini tidak bisa leluasa bergerak.
Karena itu, saya diminta menunggu di rumah, sementara mereka menuju masjid untuk Shalat Shubuh berjamaah. Dengan perasaan bercampur aduk; takut, malu, dan was-was, saya pun menunggu mereka hingga kembali dari masjid.
Lalu, apa yang terjadi? Pasangan lansia itu datang sambil tersenyum. Kemudian, memberikan nasihat. Mereka menyarankan agar saya mencari nafkah yang halal. Tak sekadar itu, saya juga diberi uang sebesar 20.000 rupiah bergambar burung cendrawasih. Waktu itu, uang segitu cukup besar. Sebelum saya beranjak keluar, mereka mengatakan, kalau ada kebutuhan lebih baik bilang dari pada mencuri.
Dalam perjalanan pulang, peristiwa aneh itu terus terngiang-ngiang dalam benak, hingga akhirnya membuat saya berpikir, mungkin Allah sedang memberi hukuman karena sudah bertahun-tahun lamanya saya menjadi seorang pencuri. Dari situlah saya mulai tersadar dan berkeinginan untuk berubah.
Namun, di saat yang sama, saya bingung harus memulai dari mana. Apakah harus langsung ke masjid untuk shalat? Sementara, saya sudah lama tidak mengerjakan shalat sehingga lupa semua doa-doanya. Ditambah perasaan malu, karena banyak tato permanen yang di tubuh saya.
Padahal, ketika itu perasaan ingin berubah dan berhijrah sudah terbesit di lubuk hati yang terdalam, tapi saya tak tahu bagaimana caranya. Di tengah kebingungan saya masih mencuri agar sekadar bisa makan.
Hingga suatu ketika, saya mendapat kabar bahwa di Kota Solo ada seorang ustadz yang menerima orang-orang yang mau berhijrah seperti saya. Panggilan akrabnya Abah Ali. Beliau pun sering membina orang-orang marjinal seperti saya.
Tanpa banyak berpikir, saya pun bergegas menuju basecamp Abah Ali. Gayung bersambut, pelan-pelan Abah Ali membimbing saya serta memberi pemahaman tentang kehidupan dan apa yang harus kita lakukan sebagai seorang hamba.
Kemudian, saya memutuskan untuk keluar seratus persen dari dunia pencuri sejak bergabung serta belajar kepada Abah Ali. Saya mulai membuka usaha kecil-kecilan di samping basecamp-nya. Saya membuka warung di sebuah gerobak, meski kecil-kecilan, tetapi setidaknya saya sudah bisa mencari nafkah halal untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sejak dibina Abah Ali, alhamdulillah, saya merasakan ada perubahan besar dalam hidup. Dari perasaan yang lebih tenang dan bahagia, sampai kucuran rezeki yang selalu datang tak terduga.
Puncak dari semuanya, saya dipilih oleh Abah Ali untuk diberangkatkan umrah ke Tanah Suci. MasyaAllah, saya tidak pernah menyangka sama sekali. Hanya tangis bahagia dan rasa syukur kepada Allah yang hanya bisa saya lakukan waktu itu.
Juga bersyukur sekali, karena ternyata Allah masih memberi kesempatan kepada saya untuk bertaubat dan merasakan kasih sayang-Nya.
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. an-Nisa’ : 17)
*Seperti yang dikisahkan Hendri kepada Hidayatullah.com
Saudaraku, Inilah Waktu Hijrahmu
Berhijrah ke tempat yang lebih baik
Tidak ada kata lain selain “tinggalkan”. Tinggalkan hal-hal yang dapat mencelakai diri -baik secara duniawi maupun ukhrowi- yang tidak ada lagi jalan lain untuk menghindarinya selain dengan meninggalkannya.
Allah Ta’ala memerintahkan agar kita meninggalkan kesyirikan sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an-Nisa’: 48)
Namun, apabila kita tinggal di tempat sarang praktik kesyirikan, setiap orang-orang yang hidup di sekitar kita sulit untuk meninggalkan penyakit batin yang paling akut itu. Dakwah menyeru kepada tauhid dan sunnah pun diabaikan. Tidak ada obat memang, selain doa untuk kebaikan mereka. Maka, tinggalkanlah tempat itu, berhijrahlah ke tempat yang lebih baik.
Allah Ta’ala mewajibkan kita mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh utusan-Nya shallahahu ‘alaihi wa sallam, khususnya dalam perkara ukhrowi sebagaimana firman-Nya,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya dia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS an-Nisa’: 80)
Ibadah tidak diterima apabila tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini, apa-apa yang bukan padanya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Ketika kita hidup di tengah-tengah manusia yang mengangkangi ketentuan sunnah yang jelas-jelas telah dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian telah datang kepada mereka seruan untuk kembali kepada kemurnian ajaran Muhammad shallahualaihi wa sallam, hendaklah bersegera tinggalkan tempat itu, berhijrahlah ke tempat yang lebih baik sebagaimana perintah hijrah dalam al-Qur’an,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah: 218)
Allah Ta’ala telah menerangkan secara gamblang kepada hamba-Nya, apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan. Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam pun telah mengurai secara rinci halal-haramnya segala perkara duniawi-ukhrowi sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu ‘Abdillah Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-Nya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ketika kita saat ini berada di tengah-tengah umat yang kental dan familiar dengan kemaksiatan kepada Sang Pencipta, kemudian mereka pun sejatinya mengetahui bahwa apa yang sedang mereka asyikkan itu adalah larangan, maka bergegaslah tinggalkan tempat itu, berhijrah ke tempat yang lebih baik.
Akibat buruk di tempat yang buruk
Jika kita pertahankan hidup di tempat yang demikian, dikhawatirkan perlahan tapi pasti kita akan mengikuti jejak mereka -waliyadzu billah-. Karena setiap harinya kita berinteraksi dengan mereka, mau tak mau mereka adalah manusia yang kita mesti bermuamalah dengannya.
Oleh sebab itu, berhijrahlah sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
” … Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika lingkungan tidak lagi ramah terhadap perintah Allah Ta’ala, bahkan malah cenderung mengakomodir larangan-Nya, hijrah adalah satu-satunya jalan terbaik untuk ditempuh seorang hamba yang lemah dan tidak berdaya untuk menepis segala pengaruh buruk yang bisa menimpa diri dan keluarganya.
Oleh karena itu, terima atau tidak mereka -orang-orang yang hidup di sekeliling kita- adalah teman/saudara kita yang setiap hari bertatap muka dan saling bertegur sapa dengan kita. Sedangkan dalam timbangan syariat bahwa agama seseorang itu dapat dinilai dari sisi agama temannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
“Agama seseorang itu sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 927)
Perbaiki niat sebelum berhijrah
Akan tetapi, niat dalam hati perlu diperbaharui, kepada siapa tujuan hijrah kita. Karena setiap amal tergantung kepada niat orang yang melakukannya dan seseorang akan dinilai berdasarkan bagaimana dia meletakkan niat di dalam hatinya, apakah dia ikhlas memurnikan tujuan hijrah hanya kepada Allah Ta’ala ataukah kepada selainnya. Ini merupakan perkara besar karena hijrah merupakan ibadah, sedangkan ibadah adalah terlarang apabila tidak diikhlaskan hanya kepada Allah Ta’ala semata.
Perhatikanlah hadits berikut. Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Khawatir terhadap rezeki ketika hijrah?
Sumber ekonomi merupakan hal yang paling dikhawatirkan oleh seorang hamba apabila hendak berhijrah meninggalkan lingkungan yang tidak lagi bersahabat dengan syariat Allah. Padahal berhijrah dengan niat lillahi Ta’ala akan membuka pintu rezeki sebagaimana firman AllahTa’ala,
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak.” (QS. An-Nisaa’: 100)
Allah menjanjikan bahwa orang yang berhijrah di jalan Allah akan mendapati dua hal : Pertama (مُرَاغَمًا ), Kedua (سَعَةً).
Imam Ar-Razi rahimahullah menjelaskan makna “مُرَاغَمًا” dalam ayat di atas yaitu kebaikan dan kenikmatan di negeri/tempat yang baru yang menjadi sebab kehinaan dan kekecewaan para musuh yang berada dinegeri asalnya. Karena ketika orang di negeri asal mendengar berita bahwa kenikmatan da kebaikan yang ia dapatkan di negeri asing tersebut mereka akan merasa mala atas buruknya muamalah yang mereka berikan. Maka dengan demikian mereka merasa hina (1).
Sedangkan makna “سَعَةً” menurut Qatadah rahimahullah adalah “keluasan dari kesesatan kepada petunjuk dan dari kemiskinan kepada banyaknya kekayaan” (2). Maka kekhawatiran akan sulitnya mencari sumber ekonomi bukanlah alasan seorang mukmin apabila waktu berhijrah telah tiba. Karena justru dengan berhijrah pintu rezeki terbuka dengan luasnya, insyaa Allah Taala.
Semoga kita termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang mendapatkan petunjuk dan hidayah-Nya serta Allah Ta’ala mudahkan kita untuk beribadah, beramal, dan bermuamalah di lingkungan orang-orang yang takut terhadap azab Allah. Sehingga bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk meningkatkan kualitas amal dan ibadah semata-mata hanya bagi Allah Ta’ala.
[Selesai]
Penulis: Fauzan Hidayat, S.STP, MPA
Artikel: Muslim.or.id
Mengapa Harus Hijrah? Ini Kisah Nabi Muhammad SAW
Ketika berbagai cobaan dan ujian silih berganti dialami umat Islam, Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk segera berhijrah ke Yatsrib. Perihal tempat untuk hijrah ini, Allah SWT telah memberitahukan Rasulullah.
Dalam buku berjudul Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Martin Lings mengungkapkan, Nabi SAW sudah mengetahui bahwa Yastrib adalah lahan subur di antara dua jalur batu-batu hitam yang beliau lihat dalam mimpinya. Beliau juga tahu bahwa tibalah waktunya untuk hijrah.
Sementara itu, Dr Ahzami Samiun Jazuli dalam bukunya mengenai Hijrah dalam Pandangan Al-Quran menuliskan, Imam Muslim mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Aku melihat dalam tidur bahwa aku berhijrah dari Makkah menuju suatu tempat yang banyak terdapat pohon kurma. Aku mencoba menebak apakah itu Yamamah atau Hajar? Namun, ternyata, itulah Kota Yatsrib.” (Shahih Muslim: 2272).
Rasul pun memerintahkan para sahabatnya untuk segera berhijrah, baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok. Adapun Rasul SAW, rencananya akan menyusul setelah semua umat Islam berhijrah ke Madinah. Sebab, Rasul mengetahui, yang dimusuhi oleh kaum kafir Quraisy adalah diri beliau, dan bukan kaum Muslimin.
Kaum Quraisy pun menyiapkan strategi untuk melakukan penangkapan terhadap Rasul SAW. Namun, rencana kaum Quraisy ini diketahui oleh Nabi SAW. Saat itu, Rasulullah sendiri memang masih tinggal di Makkah dan kaum Muslim sudah tidak ada lagi yang tinggal, kecuali sebagian kecil. Sambil menunggu perintah Allah SWT untuk berhijrah, Nabi SAW menemui Abu Bakar dan memberitahukannya untuk bersiap hijrah ke Madinah.
“Dan, katakanlah, Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.”(Al-Isra [17]: 80).
Di sinilah, sebagaimana dipaparkan Muhammad Husain Haekal dalam bukunya Hayatu Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya demi kebenaran, keyakinan, dan keimanan.
Untuk mengelabui kaum Quraisy, Rasulullah memutuskan akan menempuh jalan lain (rute yang berbeda) dari jalur yang biasa digunakan penduduk Makkah untuk menuju Madinah. Rasulullah SAW memutuskan akan berangkat bukan pada waktu yang biasa.
Padahal, Abu Bakar sudah menyiapkan dua ekor unta sebagai kendaraan yang akan dipergunakan Nabi SAW pada saat berhijrah. Hijrah ini dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan dakwah dan akidah Islam serta kaum Muslimin.
Rute yang ditempuh Rasul itu adalah setelah keluar dari rumah beliau, jalan yang ditempuh adalah Gua Tsur, berjarak sekitar 6-7 kilometer di selatan Makkah. Sedangkan Madinah berada di sebelah utara Makkah. Langkah ini diambil untuk mengelabui kafir Quraisy. Di Gua Tsur ini, Rasulullah dan Abu Bakar tinggal selama kurang lebih tiga hari.
Selanjutnya, beliau mengambil jalur ke arah barat menuju Hudaibiyah, arah sebelah timur desa Sarat. Kemudian, menuju arah Madinah dan berhenti di sebuah kawasan di al-Jumum dekat wilayah Usfan. Lalu, bergerak ke arah barat dan memutar ke perkampungan Ummul Ma’bad dan berhenti di wilayah Al-Juhfah.
Selanjutnya, beliau menuju Thanniyat al-Murrah, Mulijah Laqaf, Muwijaj Hujaj, Bath Dzi Katsir, hingga tiba di Dzu Salam. Di sini, beliau memutar ke arah barat sebelum meneruskan ke arah Madinah dan berhenti di daerah Quba. Di sinilah beliau mendirikan Masjid Quba, yaitu Masjid pertama yang didirikan Rasul SAW.
Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilometer dari Quba, beliau bersama umat Islam lainnya, melaksanakan shalat Jumat. Untuk memperingati peristiwa itu, dibangunlah masjid di lokasi ini dengan nama Masjid Jumat. Setelah itu, barulah Rasul SAW menuju Madinah.
Yang harus di hindari saat Beramal: Riya’
Dalam beralamat shaleh memiliki nilai pahala yang sangat besar , karena Allah SWT memang memerintahkan kita untuk saling membantu dan berbuat baik serta saling memberi kepada sesama umat manusia , namun ada beberapa sifat yang harus kita hindari dalam menyempurnakan amal yang kita lakukan , salah satunya adalah Riya’.
PENGERTIAN RIYA MENURUT BAHASA
Pengertian Riya menurut Bahasa: riya’ (الرياء) berasal dari kata الرؤية /ru’yah, yang artinya menampakkan Riya ’ adalah memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia.
PENGERTIAN RIYA MENURUT ISTILAH:
Pengertian Riya Menurut Istilah yaitu: melakukan ibadah dengan niat supaya ingin dipuji manusia, dan tidak berniat beribadah kepada Allah SWT. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan itu”. Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Imam Habib Abdullah Haddad pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan atau meminta dihormati daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk akhirat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan bukan karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal kebaikannya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan padanya.
JENIS-JENIS RIYA
Riya’ dibagi kedalam dua tingkatan:
1. riya’ kholish yaitu melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia,
2. riya’ syirik yaitu melakukan perbuatan karena niat menjalankan perintah Allah, dan juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia, dan keduanya bercampur”. Riya’ bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai dilakukan
Perbuatan riya bila dilihat dari sisi amal/citra yang ditonjolkan menurut Imam Al-Ghazali dapat dibagi atas 5 kategori, yaitu:
1. Riya dalam masalah agama dengan penampilan jasmani, misalnya memperlihatkan badan yang kurus dan pucat agar disangka banyak puasa dan shalat tahajud;
2. Riya dalam penampilan tubuh dan pakaian, misalnya memakai baju koko agar disangka shaleh atau memperlihatkan tanda hitam di dahi agar disangka rajin sholat.
3. Riya dalam perkataan, misalnya orang yang selalu bicara keagamaan agar disangka ahli agama.
4. Riya dalam perbuatan, misalnya orang yang sengaja memperbanyak shalat sunnah di hadapan orang banyak agar disangka orang sholeh. Atau seseorang yang pergi berhaji/umroh untuk memperbaiki citranya di masyarakat.
5. Riya dalam persahabatan, misalnya orang yang sengaja mengikuti ustadz ke manapun beliau pergi agar disangka ia termasuk orang alim. Jangan biarkan pahala ibadah-ibadah yang telah sulit kita kumpulkan hilang tanpa arti dan berbuah keburukkan lantaran masih ada riya di hati kita.
Allah SWT mengingatkan dalam firmannya: “Janganlah kalian menghilangkan pahala shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak berimana kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 264) “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat karena riya” (Al Maa’uun 4-6) Maka dari itu marilah kita sucikan niat kita untuk beramal hanya karena Allah , jangan ada sedikitpun niatan untuk mendapat perhatian atau sanjungan dari orang lain. Agar apa yang kita kerjakan dana keluarkan menjadi amal ibadah yang diterima oleh Allah SWT.
Artikel ini ditulis oleh
Didit, didit@lazharfa.org
T
Berguguran di Jalan Hijrah dan Dakwah
Bisa jadi ada dari saudara kita yang dahulunya istiqamah di jalan hijrah dan dakwah. Dahulunya bersemangat akan agama, amal shalih dan memberi manfaat bagi sesama, akan tetapi seiring berjalannya waktu ia hilang dari peredaran hijrah dan dakwah. Seolah-olah gugur sebelum waktunya dan mengingatkan kita pada ayat yang menjelaskan kerasnya hari seiring berjalannya waktu akibat fitnah yang begitu dahsyat.
Allah berfirman,
فَطَالَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
“kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” [Al-Hadiid: 16]
Saudara kita yang berguguran dijalan hijrah dan dakwah kini sudah tidak tahu rimbanya, sudah hilang dari majelis ilmu, sudah tidak lama kita berjumpa lagi. Sekali berjumpa, tiba-tiba ia terlihat sudah banyak meninggalkan sunnah dan ajaran Islam semisal sudah memotong jenggot, sudah melepas jilbab atau kembali memakai jilbab kecil dan ketat atau sudah kembali bekerja di instansi riba
Hal ini bisa saja terjadi akibat tidak menempuh sebab-sebab istiqamah sedangkan fitnah dan manisnya dunia benar-benar menipu dan menyeret secara perlahan-lahan orang-orang yang dahulunya istiqamah. Fitnah yang datang secara perlahan-lahan dan terus-menerus inilah yang lebih berbahaya, menyebabkan orang yang terkena fitnah tidak sadar bahwa mereka digiring dalam kelalaikan akan akhirat serta tamak akan dunia. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memisalkan dengan fitnah seperti ini dengan anyaman tikar yang lepas satu-persatu dan perlahan-lahan.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا
“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas”. [HR.Muslim no 144]
Agar tidak gugur di jalan hijrah dan dakwah ada dua hal yang kami sangat tekankan, meskipun banyak sebab-sebab lainnya yang menyebabkan seseorang istiqamah dalam agama. Dua poin tersebut:
Pertama: Jangan pernah tinggalkan majelis ilmu sama sekali
Setelah kita perhatikan bahwa orang-orang yang meninggalkan majelis ilmu secara perlahan-lahanlalu hilang secara total, mereka Inilah yang futur dan berguguran di jalan hijrah dan dakwah. Pada majelis ilmu hampir terkumpul semua sebab istiqmahnya seseorang, sebagaimana dalam hadits berikut:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah; mereka membaca Kitab Allah dan saling belajar diantara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim]
Majelis dzikir adalah majelis apapun yang di dalamnya ada kegiatan mengingat Allah dan hari akhir. Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan,
المراد بمجالس الذكر وأنها التي تشتمل على ذكر الله بأنواع الذكر الواردة من تسبيح وتكبير وغيرهما وعلى تلاوة كتاب الله سبحانه وتعالى وعلى الدعاء بخيري الدنيا والآخرة وفي دخول قراءة الحديث النبوي ومدارسة العلم الشرعي ومذاكرته والاجتماع على صلاة النافلة في هذه المجالس نظر والأشبه اختصاص ذلك بمجالس التسبيح والتكبير ونحوهما والتلاوة حسب وإن كانت قراءة الحديث ومدارسة العلم والمناظرة فيه من جملة ما يدخل تحت مسمى ذكر الله تعالى
“Yang dimaksud dengan majelis-majelis dzikir adalah mencakup majlis-majlis yang berisi dzikrullah, dengan macam-macam dzikir yang ada (tuntunannya, Pent) berupa tasbih, takbir, dan lainnya. Juga yang berisi bacaan Kitab Allah Azza wa Jalla dan berisi doa kebaikan dunia dan akhirat. menghadiri majelis pembacaan hadits Nabi, mempelajari ilmu agama, mengulang-ulanginya, berkumpul melakukan shalat nafilah (sunah) ke dalam majlis-majlis dzikir adalah suatu visi. Yang lebih nyata, majlis-majlis dzikir adalah lebih khusus pada majlis-majlis tasbih, takbir dan lainnya, juga qiraatul Qur’an saja. Walaupun pembacaan hadits, mempelajari dan berdiskusi ilmu (agama) termasuk jumlah yang masuk di bawah istilah dzikrullah Ta’ala”. [Fathul Bari, 11/212]
Kedua: Mencari teman dan lingkungan yang baik
Hal ini juga sangat penting karena agama seseorang itu tergantung dengan teman dekatnya.
ﺍﻟْﻤَﺮْﺀُ ﻋَﻠَﻰ ﺩِﻳﻦِ ﺧَﻠِﻴﻠِﻪِ ﻓَﻠْﻴَﻨْﻈُﺮْ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣَﻦْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻞُ
“Seseorang akan sesuai dengan kebiasaan/sifat sahabatnya. Oleh karena jtu, perhatikanlah siapa
yang akan menjadi sahabat kalian ”. [HR. Abu Daud]
Teman sangat mempengaruhi dan memberikan sifat yang ‘menular’ kepada kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101)
Serta perintah Allah dalam Al-Quran agar kita senantiasa sering berkumpul bersama orang-orang yang jujur dalam keimanannya. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)
Demikian semoga bermanfaat
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id