Salah satu elemen kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali adalah mengenal Allah (ma’rifatullah), yang akan mengantarkan manusia tidak salah memilih Tuhannya
SEMUA orang pasti menginginkan kebahagiaan. Namun belum tentu semua orang mengetahui hakikat kebahagian yang sebenarnya.
Secara sederhana, kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali adalah merasakan kelezatan atau kenikmatan pada suatu kecenderungan yang menjadi tabiat segala sesuatu.
Dipilah dari sifatnya, setidaknya ada dua macam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Sehingga dalam penyikapannya, diantara manusia ada yang standar kebahagian hanya diukur dengan nilai duniawi, ada pula yang pandangan jauh kedepan, yakni yang utama adalah ukhrawi.
Kebahagiaan dunia dan akhirat
Dunia yang tampak indah dan mempesonakan. Namun sesungguhnya kesenangan atau kebagiaan dunia itu semua hanyalah menipu, sementara atau fana.
Maka sungguh alangkah bijak bila kenikmatan dunia yang fana ini digunakan untuk meraih kenikmatan hakiki di akhirat nanti.
Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ, perbandingan nikmat dunia dengan nikmat akhirat itu ibarat tetesan air pada jari yang dicelupkan ke lautan, tak sebanding dengan akhirat yang nikmatnya seluruh air di lautan. Rasulullah juga menyebutkan bahwa nikmat dunia itu tak lebih berharga dari sayap nyamuk.
Dari Sahl bin Sa’id as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir.” (HR: Tirmidzi).
Nikmat dunia apa yang tidak sementara? Kenikmatan tamasya di hari weekend misalnya, menikmati indahnya alam sembari berkumpul bersama keluarga tercinta tentu mengasyikan.
Tapi kalau hari weekend sudah habis, maka kembali sibuk dengan aktivitas biasanya, dan nikmat tamasya itu juga sudah habis. Bukan berarti weekend itu tidak boleh, cuma menunjukkan kalau nikmatnya itu sementara saja.
Dan sudah semestinya liburan weekend itu tidak membuat kita lupa mengingat Allah, seperti tidak melalaikan sholat, senantiasa berdzikir, dan seterusnya.
Terus contoh lagi, seseorang yang dikaruniai istri cantik atau suami ganteng, apakah kalau sudah tua juga masih secantik dan seganteng waktu muda? Apakah mereka juga tak akan pernah berpisah di dunia?. Itulah realita kenikmatan dunia.
Fana, semua bakal ditinggalkan alias sementara. Mana ada orang yang hidupnya abadi. Suka atau tidak suka. Harta kita, istri kita yang cantik, kendaraan-kendaraan kita. Semua akan ditinggalkan di dunia ini.
Dunia ini tidak ada keadaan yang bisa dikatakan benar-benar bahagia atau sebaliknya betul-betul sedih. Begitulah hidup yang kita jalani; bahagia sebentar. Lalu datang masalah melanda, sedih sebentar.
Dunia akan berputar tTerus begitu. Demikian pula tak da keberhasilan hakiki di dunia, kadang berhasil, kadang gagal.
اِعْلَمُوْۤا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَا خُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَا ثُرٌ فِى الْاَ مْوَا لِ وَا لْاَ وْلَا دِ ۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّا رَ نَبَا تُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰٮهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطٰمًا ۗ وَفِى الْاٰ خِرَةِ عَذَا بٌ شَدِيْدٌ ۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَا نٌ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَاۤ اِلَّا مَتَا عُ الْغُرُوْرِ
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS: Al-Hadid: 20).
Orang yang cerdas ialah yang menggunakan kenikmatan dunia ini sebagai bekal untuk kenikmatan abadi diakhirat.
Sebuah kisah nyata menarik yang bisa diambil ibrahnya bagaimana kisah akhir hidup seseorang yang bergelimang harta dunia. Seorang miliader dan salah satu CEO Top di Amerika Serikat Steven Job, meninggal dunia di usia 56 tahun, karena Cancer Pankreas.
CEO perusahaan Apple ini meninggalkan kekayaan senilai USD 7 Milyar. Wow, yang jelas nolnya amat banyak kalau dirupiahkan. Simak pesan terakhirnya.
“Menurut saya saat ini, hidupku adalah inti dari kesuksesan itu sendiri. Tapi, saya tidak bahagia dengan apa yang saya miliki. Akhirnya aset itu hanya angka, atau sesuatu yang saya kumpulkan. Saat ini, ketika saya tergeletak di tempat tidur, sakit, saya mengenang hidupku.”
“Saya tahu, semua ketenaran dan asetku tak ada artinya saat menghadapi kematian. Anda bisa bayar orang untuk menyetir mobil, memenuhi kebutuhan Anda, membayar manajer memimpin perusahaan Anda, mengumpulkan banyak harta dan ketenaran. Tapi, Anda tidak bisa membayar orang memikul rasa sakit Anda. Ada banyak materi saat hilang bisa diganti, tapi tidak dengan kehidupan,” begitu katanya.
Elemen kebahagian
Karena itulah manusia perlu mengetahui hakikat kebahagiaan yang sejati. Selain itu, manusia juga harus mengetahui elemen-elemen apa saja yang bisa mengantarkan untuk memperolehnya.
Menurut Imam Al-Ghazali Rahimahullah, ada 4 elemen supaya kita mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Yakni: mengenal diri, mengenal Allah, mengenal dunia, dan mengenal akhirat.
Pertama; Mengenal diri (Ma’rifatun Nafs).
Al-Ghazali mengatakan; mengenal adalah kunci untuk mengenal Tuhannya yaknia Allah Swt. Sebagaimana dikatakan Al-Quran:
سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰ فَا قِ وَفِيْۤ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَـقُّ ۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS: Fussilat: 53)
Dengan bertafakkur bertafakur siapakah kita ini, darimana ia berasal, siapa yang menciptakannya, berfikir tentang keadaanya, anggota tubuhnya, serba kelemahannya, maka hal itu akan mendorong dia menemukan Tuhannya.
Karena apapun di dunia ini pasti ada yang menciptakan, mustahil kalau adanya manusia, dan alam semesta itu tiba-tiba ada dengan sendirinya. Dialah Allah Sang Pencipta.
Kedua: mengenal Allah (Ma’rifatullah)
Mengenal Allah dengan sebaik-baiknya akan mengantarkan seorang manusia untuk tidak salah dalam memilih Tuhannya. Ia akan terhindar dari sifat menyekutukan-Nya karena Allah tida suka untuk disekutukan.
Bila manusia mengenal Allah dengan baik maka ia juga tidak akan putus asa dari rahmat-Nya yang begitu luas. Sehinga Ia akan berusaha menaatinya dalam rangka untuk memperoleh ridha-Nya.
Ketiga: Mengenal dunia (Ma’rifatuddunya
Seseorang yang mengenal dunia dengan baik, maka ia tidak akan menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Melainkan menjadikannya wasilah untuk memperoleh kebahagiaan yang sejati di akhirat.
Imam Al-Ghazali membuat perumpamaan dunia penumpang kapal yang kemudian kapal istirahat sebentar di pelabuhan.
Nahkoda kapal mengumumkan bahwa kapal akan berlabuh selama beberapa jam, dan mereka boleh berjalan-jalan di pantai, tetapi jangan terlalu lama.
Akhirnya, para penumpang turun dan berjalan ke berbagai arah. Kelompok penumpang yang bijaksana akan segera kembali setelah berjalan-jalan sebentar dan mendapati kapal itu kosong sehingga mereka dapat memilih tempat yang paling nyaman. Ada pula para penumpang yang berjalan-jalan lebih lama di pulau itu, mengagumi dedaunan, pepohonan, dan mendengarkan nyanyian burung.
Saat kembali ke kapal, ternyata tempat yang paling nyaman telah terisi sehingga mereka terpaksa diam di tempat yang kurang nyaman. Kelompok penumpang lainnya berjalan-jalan lebih lauh dan lebih lama; mereka menemukan bebatuan berwarna yang sangat indah, lalu membawanya ke kapal.
Namun, mereka terpaksa mendekam di bagian paling bawah kapal itu. Batu-batu yang mereka bawa, yang kini keindahannya telah sirna, justru semakin membuat mereka merasa tidak nyaman.
Kelompok penumpang lain berjalan begitu jauh sehingga suara kapten, yang menyeru mereka untuk kembali, tak lagi terdengar. Akhirnya, kapal itu terpaksa berlayar mereka. Dan mereka menjadi terlunta-lunta serta santapan binatang buas.
Kelompok pertama adalah orang beriman yang sepenuhnya menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok terakhir adalah orang kafir yang hanya mengurusi dunia dan sama sekali tidak memedulikan kehidupan akhirat. Dua kelompok lainnya adalah orang ber iman, tetapi masih disibukkan oleh dunia. yang sesungguhnya tidak berharga.
Keempat: mengenal akhirat (Ma’rifatul akhirah)
Manusia yang mengenal akhirat dengan baik akan membuatnya tidak silau dengan gemerlap dunia. Ia tahu bahwa perjalannya sangat panjang dan melelahkan setelah menjalani hidup di dunia yang sementara, sehingga berusaha untuk mempersiapkan bekal sebaik-baiknya menuju akhirat.
Syahdan, dengan mengetahui keempat elemen tersebut, seorang manusia akan mendorong memahami hakikat tujuan manusia di ciptakan. Dari mana ia hidup, untuk apa dan mau kemana?. Semoga kita semua dimudahkan oleh Allah untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Aamiin. Wallahu a’lam.*/Ali Musthofa Akbar, bahan dari Kimiyaus Sa’adah
HIDAYATULLAH