Hadiah atau yang sekarang disebut dengan gratifikasi juga merupakan harta haram. Nabi menyebutnya ghulul atau suhut
Oleh: Dr. Budi Handrianto
SETELAH beberapa tahun kerja, saya ditempatkan di bagian marketing. Kira-kira sebelum tahun 2000 karena seingat saya, saya baru punya anak 1.
Karena yang kami jual barang komoditi, maka yang mendekati justru pihak konsumen daripada produsen. Di mana-mana yang “nyogok” itu biasanya yang jualan, bukan yang beli.
Pada industri ini memang beda. Bargaining position produsen lebih tinggi dari pada konsumen, berbeda dengan barang customer goods atau yang lainnya.
Beberapa hari memegang jabatan tersebut, saya didatangi seorang customer lama. Katanya ingin main ke rumah.
Karena masih lugu, saya persilakan saja karena menjamu tamu bagi kami sebuah kemuliaan. Setelah selesai makan siang sang tamu berpamitan kepada saya dan mengeluarkan segepok amplop -tentu berisi uang.
“Ini buat anak-anak ya pak.”
Saya terima saja dan besoknya saya berikan kepada salah seorang direksi, minta untuk dikembalikan dan “menegur” customer lama tersebut. Kalau langsung saya kembalikan, orang-orang yang pernah menerima pasti menyangka saya juga menerimanya.
Karena butuh “saksi”, uang itu saya bawa ke pimpinan untuk dikembalikan.
Kejadian di atas merupakan bentuk penyuapan, meski berdalih hadiah. Sang pemberi pasti mempunyai niat mengambil keuntungan daripada sekedar kehilangan uang dalam amplop tersebut.
Mungkin ia bermaksud supaya pasokan barang ke pabriknya lancar, mendapatkan harga lebih murah, mengutamakannya ketika pasokan barang minim dan sebagainya. Untuk jasa saya mempermudah urusannya, dia memberikan “hadiah”. Tapi betulkah ini hadiah?
Nabi ﷺ pernah marah besar ketika beliau ﷺ memperkerjakan Ibnul Atabiyah sebagai pengumpul zakat dari Bani Sulaim.
Dalam haditsnya Beliau ﷺ bersabda; Diriwayatkan dari Abu Humaid As Sa’idi RA dia berkata :
اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا
“Rasulullah ﷺ pernah mengutus seorang laki-laki untuk mengumpulkan zakat dari Bani Sulaim, dia bernama Ibnu Al Latabiyyah. Maka ketika laki-laki itu datang, Rasulullah ﷺ memeriksanya. Berkata Ibnu Al Latabiyyah,”Ini harta [zakat] Anda. Sedang ini adalah hadiah.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah bapakmu atau ibumu hingga datang kepadamu hadiah kamu jika kamu memang benar?” (HR: Bukhari).
Hadiah yang diberikan kepada para pejabat baik di institusi pemerintah maupun perusahaan adalah harta haram. Benar kata Nabi ﷺ Kalau seseorang tidak menduduki jabatan itu, alias berdiam diri saja di rumah orang tuanya, apakah hadiah itu akan datang? Tentu tidak.
Orang memberi -apapun namanya, pasti karena jabatan yang dipegang orang itu. Hak dari orang yang memegang jabatan itu dari kantornya hanyalah gaji dan tunjangan -mungkin juga ada bonus atau insentif, yang resmi diberikan pemerintah atau perusahaan.
Gampangnya, apa yang ada di dalam slip gaji, itulah hak pekerja. Di luar itu adalah barang haram. Kekayaaan yang didapat di luar yang disebutkan itu (tentunya di luar warisan, pengembangan usaha dari sisa gajinya, pemberian orang tua atau pekerjaan di luar kantor yang tidak mengganggu dsb) tidak sah.
Jabatan strategis -termasuk yang disebut-sebut sebagai bagian yang “basah” harus dipegang orang yang tepat, yang kompeten. Dikatakan kompeten karena memenuhi tiga unsur yaitu knowledge (pengetahuan), skill (ketrampilan) dan attitude (sikap).
Tidak sekedar mampu, tapi juga kuat mental. Mental untuk menghadapi godaan jabatan. Kalau tidak kuat atau tidak mampu, jangan diangkat menduduki jabatan tersebut.
Apalagi, untuk menduduki jabatan tersebut dia juga “nyogok”.
Abu Dzar al-Ghifari pernah meminta jabatan kepada Nabi ﷺ Mendengar permintaanku tersebut beliau menepuk pundakku seraya bersabda: يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَ إِنَّها أَمَانَةٌ وَ إِنَّها يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَ نَدامَةٌ إِلاَّ من أَخَذَها بِحَقِّها وَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْه فِيْها
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim no. 1825).
Hadits ini merupakan petunjuk bagi pimpinan dalam mengangkat seseorang pada jabatan strategis. The right man on the right place, sudah diterapkan oleh Nabi ﷺ sejak dulu.
Maka beliau ﷺ bersabda,
مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلاً عَلَى عَصَابَةٍ وَ فِيْهِمْ مَنْ هُوَ اَرْضَى اللهُ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ وَ اْلمُؤْمِنِيْنَ. الحاكم
“Barangsiapa mengangkat seorang sebagai pemimpin padahal ia tahu di dalam kelompok itu terdapat orang yang lebih baik, maka dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin.” (HR: al-Hakim).
Urusan amanah jabatan ini sangat penting dalam ajaran Islam. Sampai-sampai Nabi ﷺ memanggil kembali Mu’adz bin Jabal yang diutus ke Yaman.
Mu’adz bercerita, “Rasulullah ﷺ mengutusku ke Yaman menjadi penguasa daerah itu. Setelah aku berangkat, beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pulang kembali.
Nabi ﷺ bertanya kepadaku, ‘Tahukah kamu mengapa aku mengutus orang menyusulmu? Janganlah engkau mengambil sesuatu untuk kepentingan sendiri tanpa seijinku. Itu merupakan pengkhianatan dan barangsiapa berbuat khianat, kelak di hari kiamat akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban apa yang dikhianatinya. Untuk itu engkau kupanggil dan sekarang berangkatlah untuk melaksanakan tugasmu.”
Bayangkan, Madinah-Yaman bukan jarak yang dekat waktu itu. Tapi Mu’adz dipanggil “hanya” untuk mendengarkan nasihat singkat Nabi ﷺ. Kesimpulannya, nasihat beliau ini sangat penting.
Abu Mas’ud al-Anshari berkata, ”Rasulullah ﷺ pernah mengangkatku menjadi petugas pengumpul zakat.” Beliau ﷺ bersabda, “Hai Abu Mas’ud, berangkatlah. Semoga pada hari kiamat kelak aku tidak mendapatimu datang dalam keadaan punggungmu memikul seekor unta sedekah yang meringkik-ringkik yang kamu khianati.” Aku berkata, “Kalau begitu aku tidak berangkat.” Beliau ﷺ bersabda, “Aku tidak memaksamu.” (HR: Abu Dawud)
Para sahabat kalau merasa tidak mampu mengerjakan tugas langsung mengundurkan diri karena merasa takut tidak mampu menunaikan amanah dari pada sekedar imbalan materi dan kekuasaaan.
Nabi ﷺ mengingatkan, yang artinya;
“Barangsiapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rizqi (gaji, tunjangan dan fasilitas) maka apa yang diambil olehnya selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR Abu Dawud).
Hukuman yang diterapkan Rasulullah ﷺ pun tidak main-main dari mulai pemberhentian, pemecatan, denda, penjara, sampai hukuman mati (jika menyangkut masalah besar seperti membocorkan rahasia negara). Bahkan hukuman publikasi atas kecurangan koruptor sangat dianjurkan.
Maka kalau ada orang korupsi silakan diungkap, diberitakan, diviralkan. Biar kapok dan ditangkap KPK (semoga masih bisa diharapkan).
Dalam Perang Hunain seorang muslim tewas dalam peperangan dan dilaporkan kepada Nabi ﷺ. Beliau bersabda, “Shalatkan sahabatmu itu!” Maka para sahabat kaget karena seorang muslim yang mati syahid tidak perlu dishalatkan pada saat mau dikubur. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya sahabatmu itu telah berbuat khianat dalam perjuangan di jalan Allah.”
Zaid bin Khalid al-Juhaini yang juga perawi hadits ini, membongkar barang milik orang itu dan ternyata menemukan beberapa butir permata milik orang Yahudi senilai 2 dirham. Walaupun dua dirham kalau didapat dengan cara khianat, tetap itu korupsi dan Nabi ﷺ tidak mau menyolatkan.
Islam sangat melarang segala bentuk harta haram. Karena harta haram yang masuk ke tubuh manusia akan membuat manusia cenderung berbuat jahat dan kejam.
Jika seorang bapak membawa harta haram ke rumah, lalu dimakan anak istrinya, kemungkinan besar akan berpengaruh buruk terhadap mereka. Fakta kejadian akhir-akhir ini telah membuktikannya.
Bagi pejabat pemerintah maupun swasta, suap atau mendapatkan harta secara ilegal untuk mempermudah urusan sangat dilarang dan disebutkan secara khusus oleh Nabi ﷺ;
Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah ﷺ bersabda:
لعنةُ اللَّهِ علَى الرَّاشي والمُرتَشي
“Laknat Allah terhadap orang yang memberi suap dan menerima suap.” (HR. Ibnu Majah).
Bahkan dalam hadits riwayat Thabrani dan Ahmad ada tambahan, “dan orang yang menyaksikan penyuapan.”
Suap menyuap terjadi agar pejabat tidak menjalankan tugas sebagaimana kewajibannya. Abdullah bin Rawahah diutus Nabi ﷺ berangkat ke Khaibar (daerah Kaum Yahudi yang baru ditaklukkan) untuk menaksir kebun kurma di daerah itu.
Nabi ﷺ memutuskan hasil bumi Khaibar dibagi separuh untuk kas negara, separuh untuk orang Yahudi pemilik kebun. Ketika Abdullah sedang menjalankan tugasnya, orang-orang Yahudi datang kepadanya dengan membawa berbagai perhiasan.
Kepada Abdullah mereka berkata, “Perhiasan ini untuk Anda, tolong ringankan kami dan berikan kepada kami bagian lebih dari separuh.” Abdullah bin Rawahah marah besar dan berkata, “Hai Kaum Yahudi! Demi Allah, kalian memang manusia-manusia yang paling kubenci. Apa yang kalian perbuat justru mendorong diriku lebih merendahkan kalian. Suap yang kalian tawarkan adalah barang haram dan kami kaum muslimin tidak akan memakannya!” Mendengar jawaban itu mereka menyahut, “Karena itulah langit dan bumi masih tetap tegak.” (HR Malik dalam al-Muwatha’).
Orang Yahudi paham dari kitab suci mereka bahwa kalau ada sekelompok orang yang masih bersih tidak mau menerima suap maka langit dan bumi ini masih tetap tegak. Sebaliknya, kalau suap menyuap sudah marak di masyarakat, berarti bencana sebentar lagi akan terjadi.
Hadiah atau yang sekarang disebut dengan gratifikasi juga merupakan harta haram. Nabi menyebutnya ghulul atau suhut.
Rasulullah ﷺ bersabda:
هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ
“Hadiah bagi pejabat (pegawai) adalah ghulul (khianat).” (HR. Ahmad
Menurut Ibnu Mas’ud, suhut adalah jika seorang minta bantuanmu untuk melakukan kezaliman kemudian ia memberi hadiah kepadamu.
Dr. Syamsuddin Arif menyebutkan ada tiga teori mengapa orang korupsi. Teori pertama, teori “kesempitan”. Karena gaji kecil, hidup dalam kesempitan, maka mereka korupsi.
Maka sudah selayaknya pemerintah maupun pimpinan perusahaan memberikan gaji, tunjangan dan fasilitas yang memadai bagi para pejabat. Nabi ﷺ bersabda, yang artinya;
عن الْمُسْتَوْرِدَ بْنَ شَدَّادٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَنْ وَلِيَ لَنَا (1) عَمَلًا وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ، فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا، أَوْ لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ، أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا، أَوْ لَيْسَتْ لَهُ دَابَّةٌ فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً، وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ ” (أخرجا أحمد: 19015, 29/543 وصححه أحمد شاكر)
Nabi ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah (dinikahkan), jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya (untuk diri sendiri), itulah kecurangan (ghalin).” (HR: Imam Ahmad, disahihkan Syeikh Amhad Syakir).
Faktanya, orang yang korupsi di negeri ini adalah orang yang kehidupannya lebih dari cukup. Terlihat mereka pamer kekayaan di media sosial, baik diri dan anak istrinya. Lalu, mengapa orang korupsi? Ada teori kedua, karena “kesempatan”. Jika tidak ada kucing, tikus berpesta pora. Ada kucing, tikus tidak berani menampakkan diri. Jika ada pengawasan, tidak ada kesempatan untuk melakukan korupsi. Tapi, di negeri ini juga, semakin ketat pengawasan, semakin mudah orang bermain. Justru bisa bermain dengan aman karena sistem yang mengatur sudah tidak bisa mendeteksinya.
Kadang, seseorang melakukan pengawasan/aturan ketat agar ada yang datang lewat pintu belakang untuk dilonggarkan. Tentu tidak gratis. Jadi, sebenarnya bagaimana?
Maka, teori ketiga ini menjadi solusi yaitu teori “kelemahan”. Orang korupsi karena lemah mentalnya, lemah iman dan rendah akhlaknya. Maka, jika ingin korupsi diberantas, perbaiki orangnya. Tepatnya mental orangnya.
Untuk menghasilkan orang-orang baik (a good man) melalui institusi pendidikan. Jika pendidikan sekarang tidak menghasilkan a good man, hanya orang-orang cerdas yang bermental korup dan silau dengan kemewahan dunia, review kembali kurikulum pendidikan kita, apakah sudah sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki akhlak mulia, atau belum.
Kalau pendidikan hanya bertujuan untuk menghasilkan orang-orang pintar saja, mungkin sekarang sudah tercapai. Termasuk pintar korupsi.*
Sekretaris Program Doktor Pendidikan Agama Islam Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor
HIDAYATULLAH