Mengubah Harta dan Anak sebagai Ujian Menjadi Anugerah

Harta dan anak merupakan sebuah anugerah besar yang datang dari Allah sekaligus menjadi cobaan dan juga ujian bagi semua orang. Baik harta dan anak keduanya menjadi petaka ketika semakin menjauhkan diri dari Allah. Sebaliknya keduanya akan menjadi anugerah ketika menjadi perantara medekatkan diri kepada Allah.

Pertanyaannya, tidak bolehkah kita bersenang-senang dengan anugerah baik harta dan anak? Bukankah anugerah harus dinikmati dan disyukuri? Dalam surat al-Anfal ayat 28 Allah memperingatkan, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.”

Anak dan harta bukan petaka, tetapi cobaan dan ujian. Ia akan menjadi anugerah ketika mampu menjadi media yang menghantarkan kepada pahala. Sebagai anugerah, harta dan anak harus mampu menjadikan kita semakin dekat dengan Allah. Dan jika sebagai ujian, anak dan harta akan mampu menjauhkan kita dari Allah karena cinta dan takut yang berlebihan kepada selain Allah dan selalu merasa takut kehilangan apa yang kita miliki.

Rasa cinta yang berlebihan kepada harta dan anak akan mampu membuat sorang mukmin tergelincir sampai Allah menyebutnya tidak lagi sebagai ujian, tetapi sebagai musuh. Karena kecintaannya kepada anak mampu menjerumuskannya kepada hal-hal yang dilarang oleh Allah. Sehingga di akhirat kelak peran seorang anak bukan membantu meringankan beban dosa orang tuanya, melainkan justru memberatkannya.

Dan apabila dengan kekayaan yang mereka peroleh kemudian mereka bertambah tamak dan berusaha menambah kekayaannya dengan jalan yang tidak halal, berarti orang yang demikian ini adalah orang yang mengingkari nikmat Allah. Kebanggaan harta dunia semacam ini yang akan nantinya menjadi boomerang di akhiratnya kelak.

Karena itulah, perlunya kita berhati-hati ketika menerima anugrah dari Allah, kita harus mampu memahami tugas dan tanggungjawab seorang orang tua dengan memberinya pendidikan yang baik sehingga menjadi anak yang shaleh, dan membekalinya dengan ajaran agama. Karena agama yang nantinya akan menuntun mereka di masa depan, supaya anak tidak serta merta menuruti hawa nafsu, sehingga enggan untuk melaksanakan perintah agama.

Orang tua harus menyadari bahwa anak merupakan penerus orang tua, itulah alasan mengapa orang tua wajib untuk mendidik anaknya dengan tegas dan memberikan edukasi tentang agama. selain itu larangan untuk berlebihan dalam mencintai anak, karena anak juga merupakan cobaan dari Allah. Anak sebagai amanah harus dijaga dengan sebaik-baiknya, dipenuhi hak-haknya, disayang, dirawat, dididik agar memiliki masa depan yang cerah dan membahagiakan orang tuanya.

Pentingnya pendidikan agama dengan mengenalkan siapa Tuhannya, siapa Rasulnya, serta mengapa manusia diwajibkan untuk beribadah, penting untuk membekalinya dimasa depan, sehingga anak tidak mudah terbawa arus lingkungannya kelak.

Begitu pula Allah mempercayakan harta kepadamu juga salah satunya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan, karena terdapat 2,5 persen harta anak yatim dan fakir miskin dalam harta kita. Islam memberikan perlakuan khusus kepada mereka para fakir miskin dan anak yatim. Islam memerintahkan kaum muslimin untuk senantiasa memperhatikan nasib mereka, berbuat baik kepada mereka. Terlebih jika mau menjadi orangtua angkat bagi anak-anak yang membutuhkan.

Kapan Harta dan Anak Menjadi Anugerah?

Umat Islam harus membalik cobaan menjadi tantangan dan menjadikan ujian menjadi anugerah. Bagaimana caranya? Dalam hadist disebutkan bahwa, “Jika meninggal Anak Adam, akan terputus semua amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang selalu mendoakannya” (HR Muslim).

Harta dan anak bukan lagi sebagai cobaan, tetapi sarana yang menjadi amal dan pahala kita tidak pernah berhenti sekalipun sudah meninggal. Ketika meninggal dunia, semua amalan kita di dunia akan terputus kecuali kita mampu memaksimalkan harta sebagai ujian menjadi anugerah pahala yang tidak pernah berhenti. Bagaimana?

Diinfakkan, disedekahkan dan diberikan kepada berhak. Pahala itu terus mengalir sebagaimana orang terus memanfaatkan harta yang telah kita berikan. Menyumbangkan harta untuk masjid, lembaga pendidikan, fakir miskin dan mereka yang membutuhkan akan terus mengalir dari mereka yang terus merasa bermanfaat dari pemberian kita.

Begitu pula, anak yang kita didik dengan baik akan menjadi lampu penerang kita di alam kubur. Anak bukan saja menjadi pewaris keluarga, tetapi juga anugerah bagi keluarga. Anak yang shaleh akan terus memberikan yang terbaik dalam Tindakan kebaikan. Amal kebaikan dan doa yang terus mereka panjatkan kepada orang tuanya akan menjadi pahala yang terus dinikmati oleh orang tua.

ISLAMKAFFAH

Pengaruh Keshalihan Orang Tua Terhadap Anak

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Inilah pepatah yang menggambarkan karakter, akhlak, dan keilmuwan seorang anak akan mirip atau tidak jauh beda dengan orang tua. Meskipun terkadang takdir Allah Azza wa Jalla menjadikan orang tua shalih namun anak-anaknya tidak taat beragama, atau sebaliknya.

Salah satu kewajiban asasi orang tua adalah memberikan pendidikan agama yag sesuai dengan syariat Islam. Jadi sebelum menshalihkan anak, orang tua harus menjadikan dirinya paham agama baik akhlak serta ibadahnya dan mampu menjadi figur teladan dalam kebaikan baik itu ucapan mamupun perbuatan sehari-hari. Ketika orang tua shalih dan dekat dengan agama niscaya anak-anaknya akan mencontoh kedua orang tuanya karena melihat akhlak dan kebiasaan baik orang tua lebih mengena dan berbekas di hati dari pada seribu ucapan tanpa teladan konkret. Mendidik anak adalah amanah dan tanggung jawab. Allah Azza wa Jalla berfirman:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ

Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim: 6).

Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu berkata tentang arti ayat ini: “ajari dan didiklah keluarga dan anak-anak kalian” (Lihat Tuhfatu al-Maudud bi Ahkam al-Maulud, Ibnul Qayyim, Dar al-Kitab al-Arabi, hal.192).

Kewajiban utama orang tua adalah menjadikan anak-anaknya memahami agama yang benar, mendidik dengan nilai-nilai Islam baik dalam keyakinan, ibadah, akhlak mulia dan ilmu-ilmu yang lain bermanfaat untuk kehidupan dunia akhiratnya. Orang tua yang shalihlah yang akan mampu membersamai dan membimbing buah hatinya untuk cinta Islam. Ini akan dipertanggung-jawabkan kelak di akhirat.

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Tuhfatu al-Maudud, hal.192 membawakan perkataan sebagian ulama, bahwa Allah akan terlebih dahulu meminta pertanggung-jawaban orangtua terhadap pengelolaan anaknya sebelum meminta pertanggung-jawaban anak dalam bersikap terhadap orang tuanya. Seperti halnya orang tua memiliki hak yang wajib dipenuhi anaknya, maka anak pun memiliki hak yang wajib dipenuhi orangtuanya.

Keluarga Muslim butuh ilmu agar keberlangsungan hidupnya senantiasa dibimbing Kitabullah dan sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Orang tualah lokomotif utama agar anak mampu bercermin pada keshalihan keduanya dalam kecintaannya pada ilmu syariat. Sosok ayah yang selalu bergelut dalam ilmu akan lahirlah sosok generasi yang juga mencintai ilmu. Dari pohon yang baik akan muncul buah yang manis.

Potret Keluarga Para Ulama

Imam as-Suyuthi rahimahullah yang dijuluki sebagai Ibnul Kutub (si anak buku), karena ia lahir di antara buku-buku ayahnya. Pada waktu itu, ayahnya ingin membaca suatu buku ia meminta tolong istrinya yang sedang hamil ntuk mengambilkannya di antara buku-buku yang lain di rumahnya. Sesampainya di tempat buku-buku tersebut Imam as-Suyuthi rahimahullah dilahirkan (An-Nur as-Safir, an Akhbaril Qarnil ‘Asyir, hlm. 51). Subhanallah di tengah keluarga yang sarat ilmu beliau dibesarkan hingga beliau menjadi ulama terpercaya. Dari orang tua berkualitas diharapkan keturunannya pun memiliki kapasitas ilmu dan amal yang shalih pula.

Lihat juga keluarga Imam Ahmad bin Hambal asy-Syaibani rahimahullah. Bermula dari pendidikan seorang ayah yang cinta ilmu dan amal. Abdullah bin Ahmad tumbuh menjadi anak yang shalih dan menjadi sosok ulama periwayat kitab Musnad ayahnya maupun kitab-kitab lainnya, sehingga menjadi orang nomor satu di dunia ini yang banyak meriwayatkan hadits. Imam Ahmad bin Hambal ibnu al-Munadi rahimahullah mengatakan, ”Tidak ada seorang pun di dunia ini yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Ahmad bin Hambal melibihi putranya (Abdullah bin Ahmad) karena ia telah belajar dari ayahnya 30.000 hadits dari kitab Musnad, 80.000 hadits dari kitab tafsir dan selebihnya adalah wijadah (mendapati hadits dari buku tulisan ayahnya). Ia juga belajar dari ayahnya tentang nasikh dan mansukh, tarikh, hadits riwayat syu’bah, ilmu yang berkaitan dengan al-Quran, kitab manasik yang besar maupun yang kecil dan lain sebagainya (Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir al-A’lam, VI/762, karya adz-Dzahabi).

Demikian sekilas pentingnya keshalihan orang tua agar anak-anaknya tumbuh kecintaan pada agama sebagai modal besar untuk kebaikan dan keberkahan hidupnya. Keluarga harmonis dan bahagia ketika pasutri mampu menshalihkan dirinya terlebih dahulu sehingga dengan petunjuk Allah Azza wa Jalla anak-anaknya mengikuti jejaknya.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/13714-pengaruh-keshalihan-orang-tua-terhadap-anak.html

Birrul Walidain

Birrul walidain merupakan ketaatan terhadap perintah Allah SWT, bukan sekadar memenuhi norma kehidupan secara umum.

Katakanlah: “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apapun, berbuat baiklah kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin.” (QS al-An’am [6]: 151).

“Dan Tuhan-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak .” (QS al-Isra’ (17) : 23).

Dua ayat di atas menempatkan perintah berbakti kepada orang tua (birrul walidain) setelah larangan untuk mempersekutukan Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua termasuk amal utama dan harus mendapat perhatian dengan baik. Berbakti kepada orang tua merupakan ketaatan terhadap perintah Allah SWT dan bukan sekadar memenuhi norma kehidupan secara umum.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada ibu bapak, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan…” (QS al-Ahqaf  [46]: 15).

Di samping perintah-Nya untuk berbuat baik kepada orang tua, yang diterangkan pada ayat di atas, Allah juga mengingatkan kita terhadap jasa dan pengorbanan orang tua, terutama ibu. Hal yang sama juga diterangkan pada ayat lain dengan tambahan untuk bersyukur kepada Allah dan kepada orang tua, serta tidak mengikuti mereka, jika mereka memaksa untuk mempersekutukan Allah dengan sesuatu. (QS Luqman [31]: 14-15).

Sikap dan perbuatan yang menunjukkan bakti kepada orang tua  adalah bersikap merendah dengan penuh sayang kepada orang tua dan selalu mendoakan mereka, tidak berkata ‘ah’ yaitu ucapan pendek yang menunjukkan kejengkelan, dan tidak membentak mereka. (QS al-Isra’ (17): 23 – 24).

Ada orang yang mendatangi Rasulullah SAW dan meminta izin untuk berjihad, kemudian beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Orang itu menjawab, “Ya, masih hidup.” Rasulullah SAW berkata, “Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya”. (HR Muslim).

Rasulullah SAW juga bersabda, “Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR Bukhari).

Pada intinya, birrul walidain meliputi beberapa sikap dan perbuatan kepada orang tua. Pertama, berbuat baik kepada mereka. Kedua, memenuhi hak-hak mereka. Ketiga, taat kepada mereka. Keempat, melakukan perbuatan yang diridhai mereka dan tidak melakukan perbutan yang menyakiti mereka.

Jika orang tua telah tiada, kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tua harus terus dilakukan. Selalu mendoakan mereka dan menjaga silturahim dengan para kerabat maupun teman mereka. (HR Ibnu Majah, Abu Daud dan Ibnu Hibban).

Ketika ibunya wafat, Sa’ad bin Ubadah  mendatangi Rasulullah SAW untuk bertanya. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah wafat, apakah jika aku bersedekah untuknya bermanfaat baginya?”

Rasul menjawab: “Ya.” Sa’ad berkata: “Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya.” (HR Muslim).

Kisah pada hadis ini menerangkan bahwa anak bisa bersedekah untuk orang tua tua yang telah tiada, sehingga orang tua mendapat pahala dari amal tersebut.

Wallahu a’lam.

OLEH SIGIT INDRIJONO

KHAZANAH REPUBLIKA

Ramadan: Kedudukan Mulia Orangtua karena Alquran

RAMADAN di samping bulan untuk berpuasa dan qiamullayl diapun merupakan bulannya Al-Quran, padanya Allah azza wa jalla turunkan Al-Quran dan pada bulan ini pula Rasulullh shalallahu alaihi wasallam saling memperdengarkan Al-Quran bersama Jibril alaihis salaam.

Bahkan untuk lebih menegaskan besarnya ganjaran membaca Al-Quran, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menyebutkan nilai perhuruf yang akan diperoleh seorang hamba dari membaca Al-Quran. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda

“Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Quran maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kebaikan, aku tidak katakan sebagai satu huruf tetapi alif itu satu huruf, lam itu satu huruf, mim itu satu huruf.” [HR. At-tirmizi no. 2910].

Ketahuilah pula bahwa sesungguhnya Rasululllah telah memberikan kedudukan mulia untukmu serta telah mengutamakan dirimu pada momen ibadah yang sangat agung semua itu karena Al-Quran, sebagaimana sabda Nabi: “Hendaklah yang mengimami Suatu kaum adalah yang paling bagus diantara mereka bacaan (hapalan) alqurannya.” [HR. Muslim no. 673].

Sungguh ini adalah kemuliaan yang sangat agung, ketika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengutamakanmu pada ibadah yang sangat utama.

Saudaraku tidakkah kita semua ingin atau tidakkah kita semua senang dan bangga ketika pada suatu hari nanti di akhirat, ketika kedua orang tua kita tiba-tiba merasa aneh dan heran ketika keduanya dipakaikan dengan pakaian yang sangat menakjubkan yang tidak dimiliki oleh penduuduk dunia? Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

“Kedua orang tuanya akan dipakaikan dengan pakaian yang tidak dimiliki oleh penduduk dunia, mereka berdua bertanya, kenapa kami di anugerahkan pakaian ini?, merekapun dijawab bahwa sebabnya adalah karena anak mereka yang menghapal Al-Quran.” [HR. Ahmad no. 22950].

Alangkah indah balasan dan pahala bagi para pembaca dan penghapal Al-Quran, oleh karena itu janganlah bulan yang suci ini terlewatkan begitu saja, marilah kita isi dengan memperbanyak membaca Al-Quran terlebih apabila kita sanggup untuk menghapalnya, maka ini sungguh kebaikan di atas kebaikan. []

INILAH MOZAIK

Sabar Menahan Gangguan Dari Orang Tua

Salah satu akhlak yang harus dimiliki oleh para anak adalah tahammul al adza minal walidain, yaitu bersabar menahan gangguan dari orang tua.

Andaikan orang tua memarahi anda, mengomeli anda, menghukum anda, mencaci maki anda, merendahkan anda, membanding-bandingkan anda dengan orang lain, melakukan kezaliman kepadamu, maka hendaknya diam, tahan dan bersabarlah. Jangan membantahnya, jangan mendebatnya, jangan membalasnya dengan keburukan, jangan membalasnya dengan kemarahan juga, jangan pergi berpaling. Tapi diam, tahan dan bersabarlah.
Allah ta’ala berfirman :

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Luqman: 15).

Perhatikan dalam ayat ini ketika orang tua mengajak berbuat syirik, Allah perintahkan untuk jangan taat kepada mereka dalam kesyirikan. Maka ketika itu biasanya orang tua akan marah bila tidak ditaati. Mungkin mereka akan memukul anda. Mungkin mereka akan mencaci maki, menganggap anda radikal, fanatik, sok suci, sok pintar dan lainnya.

Namun Allah tetap perintahkan untuk menghadapi orang tua dengan sikap yang baik. Diantaranya dengan tahammul al adza (menahan gangguannya dengan sabar).
Syaikh Musthafa al ‘Adawi hafizhahullah mengatakan:

فإذا نال من ولده أو ضربه أو سبه فليس من الأدب ولا من الخلق الحسن بحال من الأحوال أن يرد الابن على الأب بمثل الذي صنع, بل أن هذا يحرم في أكثر الأوقات والأحوال

“Jika orang tua memberikan gangguan pada anaknya, atau orang tua memukul anaknya, atau mencelanya, maka bukan termasuk adab dan akhlak yang baik, apapun keadaannya, jika sang anak membalas ayahnya dengan semisal yang dilakukan sang ayah. Bahkan ini hukumnya haram secara umum” (Fiqhu at Ta’amul ma’al Walidain, hal. 45).

Kemudian Syaikh Musthafa al ‘Adawi membawakan kisah keteladanan dari Abdurrahman bin Abi Bakar Ash Shiddiq, ketika ia dimarahi oleh Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhuma, karena Abdurrahman dianggap kurang maksimal dalam memuliakan tamunya Abu Bakar. Maka Abu Bakar mengatakan kepada Abdurrahman:

يَا غُنْثَرُ فَجَدَّعَ وَسَبَّ وَقَالَ كُلُوا لَا هَنِيئًا فَقَالَ وَاللَّهِ لَا أَطْعَمُهُ أَبَدًا وَايْمُ اللَّهِ مَا كُنَّا نَأْخُذُ مِنْ لُقْمَةٍ إِلَّا رَبَا مِنْ أَسْفَلِهَا أَكْثَرُ مِنْهَا قَالَ يَعْنِي حَتَّى شَبِعُوا وَصَارَتْ أَكْثَرَ مِمَّا كَانَتْ قَبْلَ ذَلِكَ فَنَظَرَ إِلَيْهَا أَبُو بَكْرٍ فَإِذَا هِيَ كَمَا هِيَ أَوْ أَكْثَرُ مِنْهَا فَقَالَ لِامْرَأَتِهِ يَا أُخْتَ بَنِي فِرَاسٍ مَا هَذَا قَالَتْ لَا وَقُرَّةِ عَيْنِي لَهِيَ الْآنَ أَكْثَرُ مِنْهَا قَبْلَ ذَلِكَ بِثَلَاثِ مَرَّاتٍ فَأَكَلَ مِنْهَا أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ إِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ يَعْنِي يَمِينَهُ

“Wahai Ghuntsar (kalimat celaan)!” Abu Bakar terus saja marah dan mencela Abdurrahman. Kemudian ia berkata (kepada tamu-tamunya), “Makanlah kalian semua.” Kemudian Abu Bakar mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan berikan ia (Abdurrahman) makanan”. Demi Allah, tidaklah kami ambil satu suap kecuali makanan tersebut justru bertambah semakin banyak dari yang semula.” ‘Abdurrahman berkata, “Mereka kenyang semua, dan makanan tersebut menjadi tiga kali lebih banyak dari yang semula. Abu Bakar memandangi makanan tersebut tetap utuh bahkan lebih banyak lagi. Kemudian ia berkata kepada istrinya, “Wahai saudara perempuan Bani Firas, bagaimana ini?” Istrinya menjawab, “Tak masalah, bahkan itu suatu kebahagiaan, ia bertambah tiga kali lipatnya.” Abu Bakar kemudian memakannya seraya berkata, “Itu pasti dari setan!” (yaitu sumpah serapah yang ia ucapkan kepada Abdurrahman)” (HR. Bukhari no. 602, 3581, Muslim no. 2057).

Dalam hadits ini, Abdurrahman dimarahi dan dicela oleh Abu Bakar Ash Shiddiq namun ia tidak membalas sedikitpun dan tidak mendebatnya. Ia tahan kemarahan dan cacian ayahnya dengan sabar. Dan justru hal itu berbuah keberkahan dari Allah dan penyesalan dari Abu Bakar.

Juga keteladanan yang ditunjukkan oleh Aisyah radhiallahu’anha. Sebagaimana diceritakan beliau:

خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في بعض أسفاره ، حتى إذا كنا بالبيداء أو ذات الجيش انقطع عقد لي ، فأقام رسول الله صلى الله عليه وسلم على التماسه ، وأقام الناس معه ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ، فأتى الناس أبا بكر رضي الله عنه ، فقالوا : ألا ترى ماصنعت عائشة ؟ ! أقامت برسول الله صلى الله عليه وسلم وبالناس ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ، فجاء أبو بكر رضي الله عنه ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم ، واضع رأسه على فخذي قد نام ، فقال حبست رسول الله صلى الله عليه وسلم والناس ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ؟ ! قالت عائشة : فعاتبني أبو بكر وقال : ما شاء الله أن يقول ، وجعل يطعن بيده في خاصرتي ، فما منعني من التحرك إلا مكان رسول الله صلى الله عليه وسلم على فخذي ! فنام رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أصبح على غير ماء ، فأنزل الله عز وجل آية التيمم . فقال أسيد بن حضير : ما هي بأول بركتكم يا آل أبي بكر ! قالت : فبعثنا البعير الذي كنت عليه ، فوجدنا العقد تحته

“Kami keluar bersama Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam pada beberapa perjalanan beliau. Tatkala kami sampai di Al-Baidaa atau di daerah Dzatul Jaisy, kalungku terputus. Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam pun berhenti untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang yang ikut bersama beliau pun ikut berhenti mencari kalung tersebut. Padahal mereka tatkala itu tidak dalam keadaan bersuci (dalam keadaan berwudu) dan tidak membawa air. Sehingga orang-orang pun berdatangan menemui Abu bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Tidakkah engkau lihat apa yang telah dilakukan oleh Aisyah? Ia membuat Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam dan orang-orang berhenti padahal mereka tidak dalam keadaan bersuci dan tidak membawa air. Maka Abu Bakar pun menemuiku, lalu ia mengatakan apa yang dikatakannya. Lalu ia memukul pinggangku dengan tangannya. Tidak ada yang mencegahku untuk menghindar kecuali karena Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam yang sedang tidur di atas pahaku. Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam terus tertidur hingga subuh dalam keadaan tidak bersuci. Lalu Allah menurunkan ayat tentang tayammum. Usaid bin Al-Hudhair mengatakan, “Ini bukanlah awal keberkahan kalian wahai keluarga Abu Bakar”. Lalu kami pun menyiapkan unta yang sedang aku tumpangi, ternyata kalung itu berada di bawahnya”. (HR. An Nasa-i no.309, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i).

Aisyah radhiallahu’anha dipukul oleh ayahnya (dengan pukulan yang tidak menyakitkan), namun ia tidak membalas, tidak membantah, dan tidak protes kepada ayahnya. Dan hal tersebut kembali berbuah keberkahan dan kebaikan.

Inilah salah satu akhlak mulia kepada orang tua, yaitu sabar menahan kemarahan dan gangguan dari orang tua.

Tentunya dengan catatan, selama gangguan dan kemarahan tersebut masih bisa ditahan dan tidak membahayakan diri. Jika gangguan tersebut bisa membahayakan diri maka tidak mengapa menghindar dan menyelamatkan diri. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, Nabi Shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

لا ضَرَرَ ولا ضِرَارَ

tidak boleh membiarkan bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah no.1910, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257, Muslim, no. 1840).

Perkara yang ma’ruf didefinisikan oleh As Sa’di:

المعروف: الإحسان والطاعة، وكل ما عرف في الشرع والعقل حسنه

Al ma’ruf artinya perbuatan kebaikan dan perbuatan ketaatan dan semua yang diketahui baiknya oleh syariat dan oleh akal sehat” (Tafsir As Sa’di, 1/194-196).

Maka jika orang tua melakukan perkara yang membahayakan agama si anak atau perkara yang dipastikan oleh akal bahwa itu membahayakan diri, ketika itu boleh menghindar dan menyelamatkan diri.

Tetap memberikan nasehat
Ketika orang tua memberikan gangguan, maka akhlak yang mulia adalah diam, bersabar dan menahannya. Namun bukan berarti membiarkan kekeliruan atau pelanggaran syari’at yang dilakukan orang tua. Allah ta’ala berfirman:

أَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan”(QS. Asy Syu’ara: 216).

Namun hendaknya memberi nasehat kepada orang tua dengan cara yang hikmah, santun dan di waktu yang tepat. Allah ta’ala berfirman:

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An Nahl: 125).

Dengan sabar dan perlahan, disertai terus memohon hidayah kepada Allah untuk orang tua. Ini adalah cara dalam menasehati orang tua.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslimah.or.id

Pulang Lah Nak, Berbakti pada Ibu-mu

Semua orang tua pasti ingin dekat dengan anak-anaknya, terutama di masa tua dan masa sepuh mereka. Setiap orang tua, terutama ibu pasti sangat ingin berada bersama anak-anak yang sangat ia cintai. Tidak jarang sang ibu meminta anaknya agar tidak tinggal jauh darinya atau agar tidak tinggal di luar kota, atau sang ibu meminta anaknya agar segera pulang ke kampung masa kecilnya untuk menemani orang tua dan ibunya.

Kasih Sayang Ibu Tidak Lekang Oleh Jarak dan Waktu

Sekiranya sang ibu mengatakan:
“Ibu sih terserah kamu nak, jika di kota A kamu lebih sukses, ibu hanya bisa mendoakan kamu dari kampung masa kecilmu ini”

Ketauhilah, ketika engkau memilih bertahan di kota A, hati ibumu sangat kecewa sekali tetapi ia berusaha menguatkan diri dan tersenyum di depan mu dan tentunya selalu mendoakanmu, buah hati tercinta.

Saudaraku, meskipun kita sukses di kota A atau merasa sangat senang dan nyaman tinggal di kota A, jika engkau ada kesempatan tinggal bersama orang tua khususnya ibumu, maka pulang lah, temani ibumu dan berbaktilah. Mereka lah yang menjadikan engkau suskes dan berhasil dengan izin Allah

Catatan: berbakti pada ibu adalah prioritas utama anak laki-laki, adapun anak perempuan yang sudah menikah, maka ia mengikuti suaminya.

Jangan Sia-Siakan Kesempatan Berbakti Kepada Ibu

Berbaktilah kepada kedua orang tua kita, terutama ibu, karena berbakti kepada orang tua adalah salah satu amalan yang paling mudah memasukkan seseorang ke surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟْﻮَﺍﻟِﺪُ ﺃَﻭْﺳَﻂُ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﺈِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﺄَﺿِﻊْ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﺒَﺎﺏَ ﺃَﻭِ ﺍﺣْﻔَﻈْﻪُ

Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya. (HR. Ahmad, hasan)

Maksud pintu yang paling tengah adalah pintu yang palong mudah dimasuki. Perhatikan jika ada tembok di depan kita, lalu ada pintu di tengah, di samping pinggir kanan dan kiri, tentu secara psikologi kita akan pilih yang tengah karena mudah untuk memasukinya.

Mengapa mudah berbakti pada orang tua, terurama ketika mereka sudah tua? Karena orang yang sudah tua sudak tidak menginginkan “gemerlapnya dunia” lagi.

Ibu Merindukan Kehadiranmu, Nak!

Mereka sudah tidak minta pada anaknya makanan-makanan lezat karena lidah mereka mungkin sudah kaku
Mereka sudah tidak minta pada anaknya jalan-jalan yang jauh karena kaki sudah mulai rapuh
Mereka sudah tidak minta kepada anaknya perhiasan dunia karena mata mulai merabun

Yang mereka inginkan hanyalah engkau menemani mereka, mengajak ngobrol, membawa cucu-cucu mereka untuk bermain dengan mereka. Suatu perkara yang cukup mudah dengan balasan yang surga Allah

Saudaraku, karenanya sangat celaka seseorang yang mendapati kedua orang tuanya sudah tua dan sepuh tetapi tidak masuk surga, karena tidak memanfaatkan amalan yang cukup mudah yaitu berbakti kepada mereka kemudian masuk surga.

Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

“Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” [HR. Muslim 2551]

Baktimu untuk Ibu adalah Kewajiban

Perintah berbakti kepada orang tua terutama ibu

Allah memerintahkan kepada kita dalam Al-Quran agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bagaimana pengorbanan dan perjuangan ibu untuk anaknya. Beliau menafsirkan,

وقال هاهنا {ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن} . قال جاهد: مشقة وهن الولد. وقال قتادة: جهدا على جهد. وقال عطاء الخراساني: ضعفا على ضعف

“Mujahid berkata bahwa yang dimaksud [“وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ”] adalah kesulitan ketika mengandung anak. Qatadah berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dengan penuh usaha keras. ‘Atha’ Al Kharasani berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.”[Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim 6/336,]

Demikian juga firman Allah,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” Al-Ahqaaf : 15)

Pengorbanan Ibu Tidak Akan Terbalas

Diriwayatkan Dari Abi Burdah, ia melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang yaman itu bersenandung,

إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ – إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ

Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh.

Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.

Orang itu lalu bertanya kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.”[Adabul Mufrad no. 11, shahih]

Az-Dzahabi rahimahullah menyusun sebuah tulisan yang sangat menyentuh mengenai jasa dan pengorbanan ibu dan motivasi agar kita berbakti pada ibu. Beliau berkata,

حملتك في بطنها تسعة أشهر كأنها تسع حجج و كابدت عند الوضع ما يذيب المهج و أرضعتك من ثديها لبنا و أطارت لأجلك وسنا و غسلت بيمينها عنك الأذى و آثرتك على نفسها بالغذاء و صيرت حجرها لك مهدا و أنالتك إحسانا و رفدا فإن أصابك مرض أو شكاية أظهرت من الأسف فوق النهاية و أطالت الحزن و النحيب و بذلت مالها للطبيب و لو خيرت بين حياتك و موتها لطلبت حياتك بأعلى صوتها هذا و كم عاملتها بسوء الخلق مرارا فدعت لك بالتوفيق سرا و جهارا فلما احتاجت عند الكبر إليك جعلتها من أهون الأشياء عليك فشبعت و هي جائعة و رويت و هي قانعة و قدمت عليها أهلك و أولادك بالإحسان و قابلت أياديها بالنسيان و صعب لديك أمرها و هو يسير و طال عليك عمرها و هو قصير هجرتها و مالها سواك نصير هذا و مولاك قد نهاك عن التأفف و عاتبك في حقها بعتاب لطيف ستعاقب في دنياك بعقوق البنين و في أخراك بالبعد من رب العالمين يناديك بلسان التوبيخ و التهديد ( ذلك بما قدمت يداك و أن الله ليس بظلام للعبيد )

Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun.

Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya.

Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu.

Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu dari padadirinya serta makanannya.

Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.

Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu.

Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik.

Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.

Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu.

Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar.

Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan.

Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu.

Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat.

Berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah.

Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek.

Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.

Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.

Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu.

Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin.

(Akan dikatakan kepadanya),

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya”. (Al-Hajj : 10) [Al-Kaba’ir hal. 39, Darun Nadwah]

Semoga Allah Ta’ala Memudahkan Kita untuk Berbakti pada Ibu

Semoga kita termasuk orang yang bisa berbakti kepada orang tua khususnya ibu. Semoga kita termasuk orang yang tidak melupakan jasa-jasa ibu kita. Semoga anak-istri dan pekerjaan kita tidak menyibukkan kita dan melalaikan kita untuk berbakti dan memberikan perhatian kepada ibu kita. Ingatlah di masa kecil kita sangat sering membuat susah orang tua terutama ibu kita, bersabarlah ketika berbakti kepada keduanya

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44335-pulang-lah-nak-berbakti-pada-ibu-mu.html

Berkah Memuliakan Ibu

Durhaka kepada ibu adalah dosa besar yang harus dihindari.

Di sudut Ka’bah, tampak seorang laki-laki tengah menggendong ibunya dan bertawaf bersama. Sang anak lalu bersandung puisi, “Saya akan menggendongnya tiada henti, ketika penumpang beranjak, saya tidak akan pergi. Ibuku mengandung dan menyusuiku lebih dari itu, Allah Tuhanku yang Mulia dan Mahabesar.” Ia melihat Abdullah bin Umar dan bertanya, apakah segala yang telah ia lakukan tersebut cukup membalas pengorbanan ibunya? “Tidak sedikit pun,” jawab Ibn Umar.

Kasih sayang ibu tak terhingga. Kebaikan yang telah ia curahkan kepada anak-anaknya tak akan pernah terhitung. Cinta kasih ibu laksana mentari menyinari dunia. Terus berbagi cahaya untuk alam semesta, tanpa pamrih. Sekali pun ia dipenuhi dengan panas yang membara.

Seorang ibu mengandung anak dengan segala kelelahan dan risiko yang ada. Bersusah payah melahirkan, lalu membesarkannya. Karena itu, Allah SWT memerintahkan agar manusia mengingat pengorbanan tersebut. “Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS al-Ahqaaf [46]:15).

Bagi generasi salaf, penghormatan atas jerih payah mereka tekankan. Mereka menempuh bermacam cara untuk menunjukkan bakti terhadap ibundanya. Muhammad bin al-Munakkar, misalnya. Ia sengaja meletakkan kedua pipinya di tanah. Hal ini bertujuan agar dijadikan sebagai pijakan melangkah ibunya.

Selain itu, Ali bin al-Husain tak ingin makan satu meja dengan ibundanya. Alasannya? Ia takut bila merebut menu yang diinginkan ibunya. Ada lagi Usamah yang pernah memanjat pohon kurma, lalu mengupasnya dan menyuapi ibunya. Mengapa ia melakukan hal itu? Ia menjawab, “Ibuku memintanya. Apa pun yang ia minta dan saya mampu, pasti saya penuhi.”

Begitulah perhatian salaf terhadap ibu mereka. Aisyah bahkan pernah bertutur, ada dua nama yang ia nilai paling berbakti kepada sosok ibu, yaitu Usman bin Affan dan Haritsah bin an-Nu’man. Nama yang pertama tak pernah menunda-nunda perintah ibundanya. Sedangkan yang kedua, rajin membasuh kepala sang ibu, menyuapinya, dan tidak banyak bertanya saat ibundanya memerintahkan suatu hal.

Menurut Syekh Muhammad bin Ali Asa’awy dalam artikelnya yang berjudul “al-Ihsan ila al-Umm”, pengabdian dan bakti kepada kedua orang tua, terutama ibu, wajib hukumnya. Ini merujuk pada surah al-Isra’ ayat 23-24. Tingkat kewajiban berbuat baik (ihsan) kepada ibu itu bertambah kuat saat anak-anaknya dewasa.

Ia menjelaskan, bentuk ihsan kepada ibu bervariasi. Di level pertama ialah menjauhkan segala perkara buruk darinya, memberikan hal positif, berinteraksi dengan pekerti yang luhur dan etika kesopanan, peka terhadap perkara yang ia suka dan tidak, berdoa untuknya, dan segala ihsan yang dilakukan bertujuan untuk menggapai ridanya.

Berbakti dan berihsan kepada ibu adalah kunci dikabulkannya doa. Pengabdian kepada sosok ibu juga dikategorikan sebagai sebab masuk surga. Ini seperti tertuang dalam kisah Uwais. Tabiin tersebut adalah orang yang beruntung.

Rasulullah SAW menyebut bahwa siapa pun yang melihat Uwais maka hendaknya  meminta doa ampunan kepadanya. Ini lantaran dirinya terkenal taat dan berbakti pada sang ibunda. Itulah yang mendorong Umar bin Khatab mencari keberadaan Uwais. Kisah pencarian Umar itu seperti tertuang di riwayat Muslim.

Syekh Asa’awy menjelaskan, pengabdian yang penuh (ikhlas) kepada ibu bisa mengantarkan seorang anak ke surga. Hal ini sebagaimana terjadi kepada Haritsah bin an-Nu’man. Dalam riwayat Ahmad disebutkan, Haritsah masuk surga berkat ihsan yang ia tujukan kepada ibunda. Dan, Haritsah adalah sosok paling berbakti untuk ibu.

Sebaliknya, mereka yang durhaka kepada kedua orang tua, khususnya ibu, akan mendapatkan ganjaran setimpal. Sanksi yang akan ia terima bukan hanya di akhirat. Akan tetapi, ia akan menerima akibat ulahnya itu di dunia.

Seperti ditegaskan dalam riwayat Muslim, setiap perbuatan dosa, Allah akan menunda siksaannya kapan pun Ia berkehendak hingga kiamat. Kecuali, durhaka kepada kedua orang tua. Allah akan mempercepat siksa bagi pelakunya di kehidupan dunia, sebelum mati. Ini mengingat durhaka—sebagaimana riwayat Bukhari—termasuk pelanggaran berat, dosa besar. Imam Syafi’i pernah bertutur dalam syairnya, “Tunduk dan carilah rida ibumu karena mendurhakainya termasuk dosa besar.

 

REPUBLIKA

Renungan Hubungan Hati Anak dengan Orang Tua

“ORANG tua kita tidak pernah takut miskin walau mengeluarkan uang berapapun untuk membesarkan dan mendidik kita. Lalu mengapa kini kita selalu takut kekurangan harta saat harus memberikan sesuatu kepada orang tua kita?”

Saat orang tua kita meninggal dunia, barulah kita menyesal karena ternyata kita salah duga. Harta yang kita miliki ternyata adalah buah doa beliau, berkah tetesan air mata beliau, dan hasil jerih payah beliau. Kitapun menangis dan menangisi yang telah berlalu. Lalu kita bertanya-tanya apakah gerangan yang bisa dilakukan kini demi kebahagiaan orang tua yang sudah meninggal.

Jangan lupakan berdoa untuk beliau dan kenanglah kebaikan-kebaikannya agar talian kasih sayang bersambung sampai akhirat kelak. Jangan lupakan melakukan apa yang paling suka dilakukan oleh orang tua kita yang sudah meninggal dan jangan berhenti menyambung tali kasih dengan orang-orang yang bersahabat akrab dengan orang tua kita. Lebih dari itu, sempatkan bershadaqah atas nama orang tua kita sehingga ada pahala yang terus mengalir kepadanya.

Talian hati antara anak dan orang tua adalah talian hati yang sulit untuk diputuskan. Yang mampu memutuskan hanyalah kesombongan dan ketamakan. Salam, AIM. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK