Allah Ta’ala menganugerahkan perasaan bagi manusia dengan segala hikmahnya. Ada rasa senang, sedih, bahagia, cemas, bahkan rasa benci dan marah. Semua jenis perasaan tersebut apabila dapat dikendalikan dengan niat ingin mendapatkan rida-Nya, tentu akan berbuah pahala. Sebab, bagaimanapun keadaan kita, baik dalam kesusahan maupun kesenangan, tetap saja ada celah untuk mendapatkan limpahan pahala dari Allah Ta’ala. Itulah indahnya menjadi seorang muslim, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
عجبًا لأمرِ المؤمنِ . إن أمرَه كلَّه خيرٌ . وليس ذاك لأحدٍ إلا للمؤمنِ . إن أصابته سراءُ شكرَ . فكان خيرًا له وإن أصابته ضراءُ صبر . فكان خيرًا له
“Alangkah mengagumkan keadaan orang mukmin (yang beriman). Semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya). Dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur. Maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar. Maka itu adalah kebaikan baginya.” [1]
Amarah Ibarat Dua Sisi Mata Pisau
Kita ambil contoh rasa marah. Ketika melihat atau mendengar seseorang yang melakukan perbuatan melanggar syariat Allah Ta’ala, maka amarah yang kemudian timbul karena membenci perbuatan orang tersebut akan menjadi pahala. Hal ini karena kita telah menjalankan amanah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنَ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْـمَـانِ
“Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya. Apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan lisannya. Apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan hatinya. Yang demikian adalah selemah-lemah keimanan.” [2]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan kita untuk membenci perbuatan kufur untuk diri kita sendiri. Hal ini menandakan bahwa perasaan marah atau benci ada tempatnya. Bahkan rasa marah atau benci tersebut bisa menghantarkan kita untuk mendapatkan manisnya iman. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu:
(1) Siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya.
(2) Apabila ia mencintai seseorang yang ia mencintainya hanya karena Allah.
(3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.” [3]
Namun, ketika kita tidak mampu mengendalikan semua perasaan itu, maka kita justru akan melakukan banyak kekeliruan yang bermuara pada dosa dan penyesalan. Seperti dalam kondisi marah, kadangkala kita melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Mulai dari berkata kasar, memecahkan benda-benda, menyalahkan siapa saja, hingga bertindak di luar kesadaran yang pada akhirnya merugikan diri sendiri.
Oleh karenanya, penting bagi kita untuk membekali diri dengan mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat perhatian terhadap pengendalian amarah. Kita dapat melihat banyak riwayat yang menerangkan betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di banyak kesempatan selalu mengajarkan ummatnya agar mampu untuk mengendalikan amarahnya.
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Amarah
- Wasiat dalam mengendalikan amarah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan pengendalian amarah sebagai wasiat kepada kita.
Sebagaimana hadis Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Berilah aku wasiat!”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berkali-kali, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Engkau jangan marah!” [HR Al-Bukhari].
- Kendalikan amarah dengan duduk, berbaring, dan diam
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar orang yang marah untuk duduk, berbaring, ataupun diam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ.
“Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk! Apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya). Dan jika belum, hendaklah ia berbaring!” [4]
Diam juga menjadi solusi ketika amarah menghampiri diri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam!” [5]
- Menahan amarah, bentuk kekuatan yang hakiki
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa kekuatan sejati ada pada seseorang yang mampu mengendalikan diri ketika marah. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
“Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.” [6]
- Janji surga bagi orang yang mampu menahan amarah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada seorang sahabatnya,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّة
“Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga.” [7]
- Bidadari dan tempat khusus di hari kiamat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
« مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ »
“Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah Ta’ala akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya.” [8]
Saudaraku, betapa kita dapat membuktikan kasih sayang Allah Ta’ala di setiap lini kehidupan yang kita jalani. Semua hal yang terjadi pada diri kita dapat berbuah pahala dan kemuliaan di sisi Allah yang kemudian dapat memberikan jalan untuk menggapai surga-Nya. Bahkan, rasa amarah yang dari sudut pandang lain, kita ketahui sebagai sumber malapetaka. Akan tetapi, dapat menjadi sumber pahala, tergantung pada bagaimana niat dan sikap kita dalam mengendalikannya sesuai dengan tuntunan syariat. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menganugerahkan keimanan dan ketakwaan kepada kita agar selalu ingat bahwa kita selalu berada dalam pengawasan-Nya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Catatan Kaki :
- HR. Muslim No. 2999 dari Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ’anhu.
- HR. Muslim dan lainnya dari Abi Said Al-Khudri.
- HR. Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43), At-Tirmidzi (no. 2624), An-Nasa’i (VIII/95-96), dan Ibnu Majah (no. 4033) dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu.
- HR. Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu.
- HR Ahmad (I/239, 283, 365), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 245, 1320), Al-Bazzar (no. 152- Kasyful Atsar) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
- HR. Bukhari (no. 6114) dan Muslim (no. 2609) dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
- HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Ausath (no. 2374) dari Sahabat Abu Darda radhiyallahu ‘anhu.
- HR. Abu Dawud (no. 4777), At-Tirmidzi (no. 2021), Ibnu Majah (no. 4186) dan Ahmad (3/440).
Penulis: Fauzan Hidayat
Sumber: https://muslim.or.id/68825-menggapai-pahala-dalam-amarah.html