Politik adalah siasat. Politik adalah strategi. Hanya tinggal apakah siasat tersebut semata untuk meraih kekuasaan. Memenangkan satu kelompok saja. Atau lebih dari itu, siasat untuk mengatur kebaikan publik. Menghadirkan kemaslahatan masyarakat. Mewujudkan kebaikan bagi semua anak bangsa. Di titik terakhir ini, Baginda Nabi telah memberikan teladan. Jelas dan terang benderang. Persatuan, persamaan, saling hormat, dan bertindak adil adalah prinsip politik kebangsaan ala Rasulullah.
Persatuan adalah salah satu kunci sukses dakwah Nabi Muhammad saw. Hal ini terekam jelas dalam sejarah Islam. Sesampainya Nabi hijrah di Yatsrib, banyak langkah strategis dan taktis yang dilakukan. Baik dalam rangka memperkokoh persatuan antar sesama Muslim ataupun dengan masyarakat Yatsrib lainnya. Di internal umat Islam, Nabi Muhammad saw menyatukan kaum Anshar dan Muhajirin.
Di antaranya ialah dengan jalan pernikahan dan persaudaraan. Meskipun awalnya tidak memiliki garis keturunan, Nabi menjalinkan ikatan persaudaraan antar sesama sahabat. Satu dari sahabat Anshar dan satunya dari sahabat Muhajirin.
Sebagai misal adalah ikatan persaudaraan antara Abu Bakar al-Shidiq dengan Kharijah bin Zuhair, Umar bin Khattab dengan Utbah bin Malik, Ja’far bin Abu Thalib dengan Mu’adz bin Jabal, dan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin al-Rabi’. Selain melakukan pertalian persaudaraan, Nabi Muhammad saw juga menekankan pentingnya untuk selalu menjaga tali persaudaraan yang telah ada. Meskipun beda ras dan golongan.
Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari (194-256 H), Rasulullah saw menandaskan bahwa seorang Muslim itu satu dengan yang lainnya adalah saudara. Karena itu, janganlah ia menzaliminya atau membiarkannya terzalimi. Siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa yang membantu menghilangkan kesulitan yang dialami saudaranya, maka Allah akan menghilangkan kesulitan-kesulitan yang menimpanya di hari kiamat. Siapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.
Nabi Muhammad saw juga mempelopori persatuan seluruh kabilah yang hidup di Madinah. Perbedaan golongan, suku, dan agama tidak menghalangi untuk bersatu menjaga keamanan kota Madinah. Ikatan persatuan ini tertuang dalam perjanjian Piagam Madinah. Masing-masing agama dan kepercayaan dijamin keamanan dan kebebasannya. Tidak diperkenankan untuk saling cibir dan mengganggu. Apalagi saling bermusuhan dan berperang.
Dalam banyak riwayat hadits, disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw juga memiliki hubungan baik dengan beberapa tokoh Yahudi. Di antaranya ialah Mukhairiq dan Abu Syahm. Mukhairiq adalah tokoh Yahudi yang ikut dalam perang Uhud. Bahkan gugur dalam perang yang sengit ini.
Dikisahkan bahwa saat itu Mukhairiq sempat berpesan, seandainya ia gugur dalam peperangan, maka kebun kurma miliknya harus diberikan kepada Nabi. Benar adanya, dalam kecamuk perang Uhud, Mukhairiq gugur. Kebun kurmanya lantas diserahkan kepada Nabi. Mendengar berita gugurnya Mukhairiq, Nabi Muhammad saw bersaksi bahwa Mukhairiq adalah sebaik-baiknya Yahudi.
Demikian halnya Abu Syahm, Nabi juga menjalin hubungan baik. Salah satunya ialah Nabi Muhammad saw menggadaikan baju perang kepada Abu Syahm. Baju perang Nabi digadai dengan 30 sho’ gandum. Hingga wafatnya Nabi, baju perang itu masih tergadaikan di sisi Abu Syahm. Baru kemudian Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. yang menebusnya. Kisah ini terdapat dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim (204-261 H).
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَنَّ النَّبِيَّ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ (رواه البخاري)
Artinya: Diriwayatkan dari Sayidah ‘Aisyah ra, sesungguhnya Nabi Muhammad saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perangnya (H.R. Muslim)
Beberapa kisah ini merupakan contoh nyata bahwa Nabi Muhammad saw mengutamakan persatuan. Perbedaan suku, kabilah, bahkan agama tidak menjadi halangan untuk saling bekerja sama. Khususnya untuk membangun peradaban bersama. Mewujudkan bangsa yang adil dan harmoni.
Tidak pelak, dengan prinsip politik ini, dalam waktu yang relatif singkat, yakni 10 tahun, Nabi mampu menorehkan peradaban baru. Membumikan pesan-pesan mulia agama dalam kehidupan masyarakat kota Madinah dan sekitarnya. Setelah 14 abad berselang, suri teladan apa yang dapat kita petik dari prinsip politik kebangsaan beliau? Terlebih untuk membawa kemajuan bangsa Indonesia?
Persatuan di Tengah Keragaman
Bagi bangsa Indonesia, tahun ini, 2023 adalah tahun politik. Puncaknya 2024 nanti. Untuk melewatinya, tentu butuh kesadaran bersama. Termasuk sadar untuk mengedepankan politik kebangsaan. Bukan semata politik kekuasaan. Tak dapat dimungkiri bahwa Pemilu 2019, terasa berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Keterbelahan sosial yang terjadi di masyarakat tampak lebih menganga. Terlebih jika dilihat dari perseteruan antar pendukung dua kubu di media sosial. Istilah cebong dan kampret deras mengalir dipertukarkan. Padahal dua istilah ini tidak pantas disematkan untuk sesama anak bangsa. Selain itu, dalam beberapa kesempatan, saling ejek, saling usir, bahkan saling baku hantam sempat terjadi.
Sudah barang tentu, hal ini patut disayangkan. Di tengah proses pematangan demokrasi Indonesia Pasca Reformasi, budaya politik sebagian elit dan masyarakat ternyata belum begitu matang. Tak pelak, ragam cara masih dilakukan untuk mendapatkan legitimasi, seraya mendelegitimasi pihak lain.
Tak terkecuali adalah eksploitasi isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Perbedaan suku, agama, dan ras yang sedari awal menjadi kekayaan bangsa Indonesia berubah menjadi mesiu untuk bermusuhan. Jika sesama anak bangsa tidak segera berbenah, tidak menutup kemungkinan ironi ini akan terulang di pemilu-pemilu selanjutnya. Termasuk Pilpres 2024 nanti. Imbasnya, persatuan Indonesia akan terkoyak dan melemah.
Memudarnya persatuan Indonesia merupakan sinyal buruk bagi masa depan kemajuan bangsa. Tanpa persatuan, berat rasanya generasi penerus bangsa mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Hal ini tentunya bertentangan dengan teladan politik kebangsaan Nabi Muhammad saw di atas. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Kesemuanya mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah uswatun hasanah, suri teladan terbaik bagi umat. Di titik inilah peran cendekiawan, ulama, dan agamawan sangat penting. Ulama yang menjadi panutan umat harus mampu menjadi garda terdepan dalam membina persatuan dan keutuhan bangsa. Mengarusutamakan politik kebangsaan.
Seharusnya, keberhasilan Nabi dalam mengokohkan persatuan antar sesama Muslim di atas menjadi panduan dan oase inspirasi. Demikian pula, kepeloporan Nabi Muhammad saw dalam mewujudkan persatuan masyarakat Yatsrib. Jika dibandingkan, terdapat kemiripan antara keragaman kota Yatsrib dengan keragaman suku dan agama di Indonesia. Jika keragaman di Yatsrib disatukan Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinah, maka sudah benar adanya jika keragaman Indonesia disatukan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila.
Inspirasi Politik Baginda Nabi
Semestinya bangsa ini mencoba membaca kembali gagasan-gagasan yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa. Mereka meninggalkan bekal untuk bangsa ini berupa Pancasila. Dengan kelima silanya, Pancasila merupakan formula yang tepat untuk merekatkan kemajemukan yang ada di negeri ini.
Pada dasarnya, bangsa Indonesia sedari awal mengambil sikap bijaksana, seperti keserasian tanpa menghilangkan kreativitas seseorang, kesediaan mengorbankan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain, tanpa mengharapkan imbalan. Prinsip ini merupakan terjemahan bebas dari pepatah Jawa “sepi ing pamrih, rame ing gawe”.
Karena adanya sikap yang demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia seharusnya menjadi bangsa pecinta perdamaian dan ramah. Baik dengan sesama anak bangsa atau dengan bangsa lain.
Keragaman tidak harus diseragamkan. Perbedaan tidak harus dihilangkan. Akan tetapi harus dibingkai dengan semangat persatuan. Bentuk implementasi dari dasar negara kita yaitu Pancasila, khususnya sila ketiga. Persatuan Indonesia.
Di satu sisi, bijak menyikapi keragaman merupakan bukti kuatnya keimanan. Allah ta’ala telah menegaskan dalam al-Qur’an bahwa sudah menjadi sunnatullah manusia diciptakan dalam keragaman suku dan ras. Hanya saja, keragaman ini bukan untuk saling bertikai dan bermusuhan, akan tetapi agar saling mengenal dan belajar. Ujungnya adalah saling menopang untuk bekerja sama mewujudkan kebaikan bersama.
Allah swt berfirman dalam al-Quran, surat al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات: 13)
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Q.S. Al- Hujurat: 13)
Seperti yang ditegaskan oleh Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah bahwa ayat 13 surat al-Hujurat adalah pedoman mengenai prinsip dasar hubungan antar manusia. Hal ini didasari pada penggunaan panggilan yang ditujukan kepada manusia dari segi jenisnya, bukan dengan atribut panggilan lainnya.
Setelah memahami manusia sebagai makhluk yang setara dan keutamaan dirinya dilihat dari ketakwaan kepada pencipta-Nya, sudah selayaknya kita sebagai manusia yang hidup dalam sebuah negara menempatkan diri secara adil. Kita bersikap dan bertindak untuk mewujudkan tatanan yang mengarah kepada persatuan.
Kisah-kisah heroik Rasulullah saw di awal tentu bukan sebatas cerita pengantar tidur, tetapi ada nilai-nilai yang bisa kita ambil. Yakni tentang bagaimana menyikapi keragaman. Siasat menjalin tenun keragaman bangsa. Mengutamakan persatuan dan memberikan keadilan bagi semua.
Ujungnya, dapat menumbuhkan sikap menerima satu dengan yang lainnya. Sehingga bisa menumbuhkan semangat kebersamaan. Semangat mengokohkan persatuan untuk kemajuan dan peradaban bangsa. Di titik inilah, politik kebangsaan ala Rasulullah penting kita jadikan sebagai inspirasi bersama.
Demikian penjelasan tentang politik kebangsaan ala Rasulullah. Semoga praktik politik kebangsaan ala Rasulullah ini memberikan manfaat.