Hukum Jual Beli Petasan untuk Lebaran

Saat ini umat muslim sudah memasuki hari ke-10 terakhir bulan Ramadhan. Umumnya di masyarakat sudah mempersiapkan menabung menyisihkan uangnya untuk membeli petasan yang akan dibakar saat lebaran nanti. Lantas, bagaimana hukum jual beli petasan untuk lebaran?

Di pelosok-pelosok desa biasanya bikin sendiri. Biasanya mereka cukup bermodal kertas, kemudian digulung dengan agak tebal sampai kisaran ukuran lutut atau bahkan paha besarnya. Yang ukuran seperti paha biasanya bunyinya agak kencang. Butuh kesiapsiagaan saat hendak membakarnya, karena letusannya membuat kaget bagi sebagian orang yang mendengar letusannya. 

Selanjutnya timbul pertanyaan, Kira-kira bagaimana hukum menjual petasan dalam menyambut hari raya yang sebentar lagi sudah mau masuk Idul Fitri tersebut? Sahkah jual beli petasan untuk merayakan hari raya? 

Dalam muktamar Nahdlatul Ulama ke 2 di surabaya pada tanggal 12 Rabiuts Tsani  1346 H/9 Oktober 1927 M. memutuskan sebuah kesepakatan, bahwa membeli dan atau menjual petasan adalah sah, karena bertujuan untuk kebahagiaan.

Orang-orang yang membeli petasan lebaran tersebut pada dasarnya adalah untuk melupakan rasa kegembiraan karena selama bulan Ramadhan berhasil menjalankan ibadah puasa. Mereka melupakan rasa gembira melalui suara petasan. 

Dalam putus tersebut para ulama merujuk pada kitab i’anatut thalibin, yang menjelaskan bahwa ketika menggunakan uang yang disalurkan pada sesuatu yang mengandung tujuan baik, yakni ingin memperoleh pahala dan bersenang-senang, maka hal itu tidak termasuk berlebihan. 

اما صرفه في الصدقة وجوه الخير والمطاعم والملابس والهدايا التي لاتليق به فليس بتقدير قوله ليس بتبدير) اي على الاصح لان له في ذالك غرضا صحيحا وهو الثواب والتلذ   ومن ثم قالوا لا إصراففي الخير ولا خير في الاشراف

 Artinya: “Adapun mempergunakan atau menyalurkan pada sedekah dan berbagai jalur kebaikan, makanan, pakaian dan hadiah yang layak baginya maka tidak termasuk mubazir menurut pendapat yang lebih benar, karena dalam hal yang demikian itu, ia bertujuan baik, yakni ingin memperoleh pahala dan bersenang-senang.

Oleh karenanya, mereka mengatakan, “Tidak berlebihan dalam kebaikan dan kebaikan dalam berlebihan”.

Jual beli petasan dapat dikategorikan boleh karena petasan termasuk barang yang suci. Dalam kitab al-Bajuri dijelaskan:

بيع عين مشاهدة، اي حاضرة، فجائز، إذا وجدت الشروط من كون المبيع طاهرا منتفعا به مقدارا علي تسليمه للعاقد عليه ولاية

Artinya: “Jual-beli sesuatu yang tampak riil itu boleh, jika memang memenuhi berbagai syarat, seperti barang yang dijual itu suci, bisa dimanfaatkan, bisa diserahkan dan bagi yang bertransaksi mempunyai kuasa (terhadap barang tersebut).

Demikian keterangan dalam beberapa kitab-kitab fikih seputar hukum  jual beli petasan untuk lebaran. Selamat membaca.

BINCANG SYARIAH

8 Pelajaran Madrasah Ramadhan

Jika dicermati secara lebih teliti setidaknya ada delapan pelajaran mendasar (dirasah asasiyyah) yang telah kita peroleh dari bulan Ramadhan, apa saja?

SELAMA sebulan kita ditarbiyah bulan Rajab, disamping kita dipersegar ingatan kita tentang peristiwa isra dan mikraj yang menghasilkan kewajiban shalat, kita juga telah ditempa dengan bulan mulia tersebut. Sekarang kita telah masuk Ramadhan pada hari kelima belas.

Bulan mubarak yang dirindukan kehadirannya oleh orang-orang shalih. Kita tidak tahu, sudah berapa kali kita berpuasa sepanjang hayat kita? Apakah puasa demi puasa yang kita lakukan secara rutin hanya sebatas rutinitas belaka atau memberikan dampak yang signifikan (atsarun fa’aal) pada penataan ulang (rekonstruksi) pola pikir dan sikap kita?

Para ulama dahulu memandang bulan Rajab, Sya’ban bagaikan atletik yang mendekati garis finish, sehingga segala potensi yang dimilikinya dikerahkan/dimobilisir untuk mengungguli atletik yang lain. Dengan harapan besar menjadi pemenang. Ternyata, kemenangan itu diraih tidak secara gratis. Kemenangan itu harus dikejar dan diperjuangkan.

Pujangga Arab mengatakan : بقَدر ما تتعَنّى تَناَلُ ما تَتَمَنَّى

(Cita-cita, harapan itu akan bisa diwujudkan berbanding lurus dengan kelelahan kalian dalam memburunya).

Allah SWT memberi nama Ramadhan, sesungguhnya menggambarkan esensi (hakikatnya). Arti kebahasaan Ramadhan adalah panas yang terik. Karena, bulan hijriyah yang kesembilan ini datang pada musim kemarau yang siangnya lebih lama dari waktu malamnya.

Jika dicermati secara lebih teliti setidaknya ada delapan pelajaran mendasar (dirasah asasiyyah) yang telah kita peroleh dari bulan Ramadhan : 

Pertama:  kita menyadari bahwa Allah selalu membersamai kita. 

Di bulan Ramadhan, saat berpuasa, meski di tempat yang sangat sepi dan kita sendirian tak mungkin kita diam-diam minum air meski hanya seteguk. Bahkan air setetes pun kita jaga agar tidak sampai masuk ke dalam tenggorokan kita.

Mengapa? Karena kita sadar bahwa Allah melihat kita. Meski kita sendirian tetap dilihat Allah.

Meski satu tetes juga tetap dilihat oleh Allah. Karena kita merasa bahwa Allah selalu bersama dengan kita dan kita selalu dilihatnya, maka meski Subuh kurang satu menit kita pun sudah tak mau makan dan minum lagi, dan begitu juga meski maghrib kurang satu menit kita juga pantang berbuka.

Kita takut dengan ancaman Allah ketika berbuka tanpa udzur syar’i,  sebagaimana hadits berikut :

مَنْ أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذُرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ

“Barangsiapa yang berbuka di siang hari bulan Ramadhan tanpa sebab dispensasi yang diberikan oleh Allah Swt, maka tidak dapat diganti sekalipun ia berpuasa seumur hidupnya.” (HR: Ath Thayalisi, Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al Baihaqi, dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Masud secara mauquf).

Sungguh luar biasa pendidikan ini. Puasa Ramadhan telah menyadarkan dan memberi kita pelaharan akan pengawasan Allah atas diri kita hingga pada tingkat yang sekecil-kecilnya dan seremeh-remehnya. Inilah level keimanan yang paling tinggi yaitu derajat ihsan.

أنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأنَّكَ تَرَاهُ فإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فإنَّهُ يَرَاكَ

“Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Dan bila kamu tidak melihat-Nya, maka kamu sadar bahwa Ia melihatmu.” (HR: Muslim).

Kita merasakan musyahadatullah dan muraqabatullah. Dan kedua potensi keimanan tersebut tanpa kita peroleh tanpa diawali dengan mujahadah dalam beribadah, baik ibadah mahdhah dan ibadah muamalah.

Di mana pun kita berada; Di kantor, di pasar, di rumah sendiri, atau di hotel saat tak ada istri/suami. Betapa indahnya apabila semua pejabat, pegawai negeri, para pengusaha, politisi, guru dll tak ada yang korupsi, karena sadar berapa pun uang diambil adalah dilihat oleh Allah.

Kita sadar dari lubuk hati sendiri, bahwa kita tak bisa bersembunyi dan tak ada yang bisa kita sembunyikan sama sekali di mata Allah Swt. Allah berfirman :

وَاَسِرُّوۡا قَوۡلَـكُمۡ اَوِ اجۡهَرُوۡا بِهٖؕ اِنَّهٗ عَلِيۡمٌۢ بِذَاتِ الصُّدُوۡرِ

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS: Al-Mulk : 13).

Kedua, kita menyadari bahwa kewajiban didahulukan baru mendapatkan hak.  Banyak orang yang hanya pandai menuntut hak, insentif,  bisyarah, mukafaah, – dan itu tidak dilarang – tapi sangat disayangkan, ia tak pandai menunaikan kewajiban.

Orang yang sukses adalah orang mau  melaksanakan kewajiban secara tuntas, baru setelah itu mendapatkan hak. Puasa benar-benar menyadarkan kita semua akan adanya hukum kausalitas (hak dan kewajiban ini).

Kita menjalankan puasa, lalu kita dapatkan hak untuk berbuka. Kita lakukan perintah-perintah Allah dan kita tinggalkan larangan-larangan-Nya selama kita berpuasa, dan kita diberikan hak untuk dikabulkannya doa.

Allah berfirman :

وَاِذَا سَاَلَـكَ عِبَادِىۡ عَنِّىۡ فَاِنِّىۡ قَرِيۡبٌؕ اُجِيۡبُ دَعۡوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ فَلۡيَسۡتَجِيۡبُوۡا لِىۡ وَلۡيُؤۡمِنُوۡا بِىۡ لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُوۡنَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS: Al-Baqarah (2) : 186).

Inilah jalan yang lurus, benar dan logis (diterima oleh akal sehat). Memenuhi panggilan Allah, beriman kepada-Nya lalu silakan untuk minta tolong (isti’anah) dan berdoa kepada-Nya.

Banyak orang yang tak malu; minta masuk surga tapi shalat lailnya bolong-bolong, lebih banyak membuka whatsapp daripada membaca Al Quran.

Banyak orang meminta dan berdoa kepada Allah, tapi saat dipanggil Allah untuk ibadah dan halaqah (thalabul ‘ilmi) tidak kunjung datang. Bahkan, sering absen.

Saat senang lupa kepada Allah, tapi saat susah baru ingat dan berdoa kepada-Nya. Saat miskin, kuat saat taqarrub ilallah. Ketika kaya, jarang kelihatan di masjid.

Nabi bersabda :

تَعرَّفْ إِلَى اللهِ في الرَّخَاءِ يَعْرِفكَ في الشِّدَّةِ

“Ingatlah kepada Allah saat senang niscaya Allah ingat kepadamu saat susah.” (HR. Ahmad)..

Ketiga, kita menyadari bahwa hidup berjamaah adalah indah dan berkah.  Puasa Ramadhan membuktikan bahwa kebersamaan (berjamaah) adalah penuh berkah dan menjadikan sesuatu yang berat menjadi sangat ringan, yang rumit menjadi sederhana.

Bukankah berpuasa itu sebenarnya berat? Bukankah sebenarnya shalat Tarawih, shalat tahajjud itu berat? Namun, karena kita lakukan berjamaah (bersama-sama) maka menjadi terasa sangat ringan dan indah sekali. Inilah ajaran berjamaah.

Kita umat Islam ini adalah umat yang satu. Andaikan semangat dan spirit kebersamaan ini benar-benar kita wujudkan maka kita pasti menjadi umat yang paling baik, kuat dan hebat, tak mungkin tertandingi.

Apa yang tak bisa dilakukan umat Islam ini andaikan bersatu padu? Tapi sebaliknya, ketika kita tidak bersatu padu, bercerai berai, karena faktor beda suku, bahasa, organisasi, partai, mazhab, maka inilah musibah.

Apa yang bisa kita lakukan dengan jumlah 1,6 milyar saat saudara-saudara kita di Palestina dibantai oleh kaum Yahudi yang kecil itu? Demikian pula nasib minoritas di belahan dunia yang lain.

Kita hanya bisa kaget-kaget saja. Padahal kaum Yahudi sudah setengah abad berbuat biadab seperti itu dan menguasai Masjidil Aqsha.

Puasa Ramadhan hendaknya segera menyadarkan kita semua untuk berjamaah secara benar. Yaitu berjamaah atas dasar Islam.

Bukan berjamaah atas dasar organisasi, partai, suku atau bangsa. Kita boleh saja memiliki suku, bangsa, bahasa, organisasi, mazhab, partai yang berbeda-beda, tapi kita semua haruslah berjamaah dan bersatu padu di bawah ikatan Islam.

Bukankah saat Ramadhan kita kompak berpuasa dan beribadah, meskipun kita memiliki suku yang berbeda, bangsa yang berbeda, organisasi yang berbeda, partai yang berbeda ?

Marilah kita buang fanatisme sempit, pikiran yang jumud, egoisme sektoral,  yang membuat umat Islam bercerai berai. Mari kita masuk dalam ikatan Islam yang utuh dan satu, utamanya setelah Ramadhan meninggalkan kita.

Nabi bersabda :

وَكُونُوا عِبَادَ الله إخْوَاناً

“Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR.  Muslim).

Keempat, kita menyadari bahwa kesulitan membawa kemudahan. 

Perjuangan membawa kemenangan. Kesedihan mendatangkan kebahagiaan.

Puasa mendatangkan kenikmatan berbuka dan menghadirkan hari raya. Inilah kaidah penting yang harus kita camkan.

Siapa saja yang ingin sukses, tidaklah mungkin tidak menghadapi kesulitan. Tak ada orang yang sukses tanpa perjuangan. Bahkan kesulitan adalah bagian dari tangga kesuksesan.

Puasa mengajarkan kita semua, tak mungkin bisa merasakan nikmatnya berbuka dan hari raya kecuali yang telah berpuasa dengan baik. Wahai anak-anak, para pemuda, yang yatim dan yang papa, yang sedang sakit dan yang lemah, jangan anggap kesulitan itu rintangan.

Sesungguhnya kesulitan adalah tangga manis untuk mengantarkan kita menjadi juara. Keberhasilan itu harus dibayar dengan darah dan air mata. Harap senang ada ujian, sebentar lagi kita akan naik kelas.

Allah berfirman:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ

وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ  

“Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS: Al-Insyrah : 5-8).

Kelima, kita menyadari bahwa Allah sangat mencintai kita semua.  Kepada hamba-hamba-Nya yang beriman ini.

Allah menganugerahkan Ramadhan yang penuh berkah sebagai madrasah dan pelajaran. Allah telah membuka pintu-pintu Surga. Allah telah menutup semua pintu neraka.

Syetan pun dibelenggu dan pahala dilipat gandakan dengan melimpah ruah. Lailatul qadar yang lebih baik daripada seribu bulan telah dianugerahkan. Inilah kecintaan Allah kepada kita umat Nabi Muhammad yang beriman, bukan kepada umat sebelum kita.

Keenam, kita menyadari bahwa dalam hidup ini hendaknya saling cinta mencintai. 

Madrasah dan pelajaran Ramadhan telah mengajarkan kita empati dan berbagi terhadap sesama. Kita berpuasa tapi hanya dalam hitungan beberapa jam saja.

Sementara ada di antara kita yang berpuasa tapi tak ada makanan untuk berbuka dan tanpa batas waktu karena memang tak ada. Itulah maka di bulan Ramadhan kita gemar memberi.

Dan, semuanya kita di akhir Ramadhan diwajibkan menunaikan zakat fitrah, untuk kaum fakir dan miskin. Jadi, puasa mengajarkan kita semua untuk saling berbagi dan cintai mencintai.

Nabi ﷺ bersabda :

لاَ تَدْخُلُوا الجَنَّةَ حَتَّى تُؤمِنُوا ، وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا ،. (رواه مسلم)

“Tidaklah kamu masuk Surga sehingga kamu beriman kepada Allah, dan tidaklah kamu beriman sehingga kamu saling cinta mencintai.” (HR. Muslim).

Ketujuh, kita menyadari bahwa semua kenikmatan dunia hanyalah sementara.

Puasa selama Ramadhan memberi kita pelajaran bahwa lapar dan kenyang di dunia ini tidaklah lama. Makanan dan minuman terasa nikmat bila masih di atas tenggorokan.

Tapi kalau sudah kita telan, maka tak terasa lagi aromanya. Oleh karena itu yang kaya di dunia ini adalah sementara.

Yang sehat, yang cantik, yang muda, semua semenyara. Pejabat  saja ada masa pensiunnya. Apalagi kehidupan di dunia ini bersifat khayali.

Sesungguhnya kehidupan akhirat itulah yang hakiki.  Dan semua fatamorgana itu menjadi sia-sia, bahkan menjadi sumber malapetaka, bila tidak dilandasi dengan agama yang baik.

Kedelapan, kita menyadari sepenuhnya bahwa hakikat diri kita adalah jiwa, bukan jasad. 

Madrasah dan pelajaran puasa Ramadhan telah menyadarkan kita bahwa tubuh ini hanyalah rangka atau rumah belaka. Hakekat manusia adalah jiwa atau ruuhnya, bukan badannya.

Cepat atau lambat tubuh ini pasti akan kita tinggalkan. Dan kalau sudah kita tinggalkan maka tak berarti dan tak bernilai sama sekali.

Kematian adalah terpisahnya jasad dari ruh. Manusia yang ruhaniyahnya keropos sesungguhnya ia telah mati (hatinya).

Maka betapa merugi orang yang hanya sibuk mengurusi kesehatan jasmaninya saja, sementara ruh dan jiwa tak pernah diberikan haknya. Betapa buruknya orang yang hanya sibuk makan dan minum hingga tak peduli halal dan haram, padahal jasmani  ini bakal dikubur dan dijadikan santapan cacing dan binatang yang ada dalam tanah.

Puasa Ramadhan memberi kita pelajaran bahwa jiwa inilah yang terpenting. Ruh inilah yang tetap ada dan bakal mendapatkan balasan.

Nabi ﷺ bersabda :

إنَّ الله لا ينْظُرُ إِلى أجْسَامِكُمْ ، ولا إِلى صُوَرِكمْ ، وَلَكن ينْظُرُ إلى قُلُوبِكمْ وأعمالكم. (رواه مسلم)

“Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh-tubuh kamu dan juga tidak melihat kepada rupa-rupa kamu. Tetapi Allah melihat kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu.” (HR: Muslim).

Kalau pada hari ini ada di antara kita yang sedang sakit, itu tak mengapa.. kalau ada yang hartanya berkurang, tak mengapa.

Kalau ada yang matanya mulai rabun, telinganya tuli, dan giginya mulai hilang, tak mengapa. Tak perlu bersedih.

Karena pada dasarnya memang badan ini semuanya takkan bergerak sama sekali. Saat itu tak perlu khawatir.

Di mana pun kita meninggal dunia, maka tubuh ini pasti ada yang mengurusnya. Ada yang memandikannya, ada yang mengafaninya, ada yang menshalatinya dan ada yang menguburnya. Itulah urusan dan nasib tubuh kita.

Yang cantik, yang kaya, yang sehat sama. Akhirnya bercampur dengan tanah dan jadi makanan binatang-binatang di dalamnya.

Apakah urusan selesai ? Tidak. Yang mati hanya tubuh kita. Tapi ruh kita, jiwa kita masih ada. Di situlah babak kehidupan yang sejati (hakiki) dimulai.

Tak ada sandiwara dan tak ada basa basi. Yang dipanggil bukan lagi jasmani ini, tapi jiwa yang berada di dalam tubuh ini.

Yang baik mendapatkan kebaikannya dan yang buruk mendapatkan keburukannya.  Mudah-mudahan kita semua ini nanti dipanggil oleh Allah dengan panggilan :

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr : 27-30)..*/ Sholih Hasyim, anggota Dewan Murabbi Pusat Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Fatwa Ulama: Hikmah Diwajibkannya Puasa Ramadan

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Apakah hikmah diwajibkannya puasa Ramadan?

Jawaban:

Kalau kita membaca firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

kita mengetahui apa hikmah dari kewajiban berpuasa (Ramadan). Hikmahnya adalah (untuk meraih) ketakwaan dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Takwa adalah meninggalkan hal-hal yang Allah Ta’ala haramkan. Kalau disebutkan secara mutlak (tidak ada tambahan keterangan apapun, pent.), istilah “takwa” mencakup melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi perkara-perkara yang dilarang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan keji (kotor), Allah tidak butuh orang itu meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari no. 1903)

Oleh karena itu, sangat ditekankan bagi orang yang berpuasa untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Maka, janganlah orang yang sedang berpuasa itu melakukan gibah terhadap orang lain, berdusta, tidak melakukan namimah (adu domba) di antara mereka, tidak melakukan jual beli yang haram, dan menjauhi seluruh perbuatan yang diharamkan. Jika seseorang melakukan hal itu selama sebulan penuh (di bulan Ramadan), maka dirinya akan terus-menerus melakukan hal itu di bulan-bulan sisanya di tahun itu.

Akan tetapi, sangat disayangkan, banyak di antara orang yang berpuasa itu tidak ada bedanya antara hari ketika mereka berpuasa (yaitu selama bulan Ramadan, pent.) dan hari ketika mereka tidak berpuasa (yaitu di luar bulan Ramadan, pent.). Mereka tetap berada pada kebiasaan mereka, yaitu meninggalkan kewajiban dan melakukan hal-hal yang dilarang. Tidak ada pengaruhnya bagi mereka kemuliaan puasa (Ramadan). Perbuatan-perbuatan ini memang tidak membatalkan puasa, akan tetapi mengurangi pahala puasa. Dan terkadang ketika ditimbang, dosa tersebut lebih besar daripada pahala puasa yang didapatkan, sehingga sia-sialah pahala puasanya.

***

@Rumah Kasongan, 16 Sya’ban 1443/ 19 Maret 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/73554-fatwa-ulama-hikmah-diwajibkannya-puasa-ramadan.html